56 BAB IV
“MAKANAN NASIONAL” DALAM RITUAL PADUNGKU DI KOTA POSO
IV.1 Pengantar
Pembahasan pada bab ini akan menyajikan deskripsi proses kehadiran “makanan nasional”
dalam ritual Padungku di Kota Poso. Pembahasan akan dimulai dengan deskripsi sejarah pelaksanaan ritual Padungku di Poso. Deskripsi awal ini hendak memaparkan bahwa Padungku awalnya merupakan ritual budaya Pamona yang bertransformasi menjadi bagian dari Ibadah Kekristenan di Poso, secara khusus Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Pembahasan selanjutnya adalah deskripsi pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso yang disajikan dalam tiga tahap yakni: sebelum konflik, saat konflik dan pasca konflik. Pembahasan terakhir pada bab ini akan menyajikan deskripsi “makanan nasional” di Kota Poso. Selanjutnya diakhiri dengan
“makanan nasional” dalam ritual Padungku di Kota Poso.
IV.2 Sejarah Pelaksanaan Ritual Padungku di Poso
Padungku awalnya merupakan ritual budaya masyarakat Pamona di Kabupaten Poso.
Pada perkembangannya, Padungku selanjutnya bertransformasi menjadi ritual Kekristenan.
Sebagai sebuah ritual Kekristenan, Padungku dilaksanakan dalam bentuk ibadah dan jamuan makan bersama. Saat ini ritual Padungku lebih dikenal sebagai hari dimana orang saling mengunjungi dan menikmati jamuan makan bersama. Karena itu Padungku selalu menjadi hari yang sangat dinantikan oleh penduduk Kota Poso khususnya dan masyarakat di Kabupaten Poso pada umumnya.
4.2.1 Ritual Padungku dalam Budaya Pamona
57
Padungku adalah ritual budaya suku Pamona sebagai penanda selesai masa panen.1 Suku Pamona atau To Pamona merupakan identitas kultural penduduk asli Poso, sebagai gabungan dari beberapa sub etnis berdasarkan kesamaan mitos asal-asul kerajaan Pamona.2 To Pamona hidup menyebar di hampir sebagian besar tana Poso yakni wilayah lembah di dataran tinggi yang dikelilingi tiga sungai besar, yaitu: Sungai Poso, yang bermuara ke arah utara di teluk Tomini;
Sungai Laa, yang bermuara ke arah timur di Teluk Mori; dan Sungai Kalaena, yang bermuara ke arah selatan di Teluk Bone.3 To Pamona sebagai penduduk asli Poso, lebih spesifik berdiam di wilayah Pamona, Lage dan sebagian Poso Pesisir.4 Penelitian terkini menyebutkan bahwa To Pamona juga tersebar di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una dan Morowali Utara, bahkan sampai ke Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan.5 To Pamona terdiri dari sub-sub suku yakni: To Pebato, To Lage, To Kadombuku, To Rompu,To Peladia To Palande, To Wingkem Poso, To Longkea, To Wisa, To Buju, To Lamusa, To Ondae, To Langgeni dan To Tawualongi, To Pakambia, To Pada, To Watu, To Kalae, To Tananda, To Torau, To Bau, dan To Lalaeo.6
To Pamona merupakan masyarakat agraris tradisional yang menanam padi dengan sistim pengolahan ladang berpindah.7 Proses menanam padi To Pamona dimulai dengan memilih dan menentukan lokasi (hutan) yang akan diolah, dilanjutkan dengan membuka lokasi tersebut secara gotong royong (mesale).8 Mesale yang juga disebut pesale, merupakan ajakan untuk bekerja
1 Informan 1, Wawancara oleh penulis, Poso Sulawesi tengah, 6 Desember 2020.
2 Alberth Schrauwers, Colonial 'Reformation' in the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892-1995, (Toronto: University of Toronto Press, 2000), 62.
3 Schrawers, Colonial ‘Reformation’ … 65.
4 Tony Tampake, “Redefinisi Tindakan Sosial Dan Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso, Studi Sosiologis Terhadap Jemaat Eli Salom Kele’i di Poso,” Disertasi Doktor, Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga: 2014), 96.
5 Suku Pamona, UNKRIS, Pusat Ilmu Pengetahuan, Jakarta http://p2k.unkris.ac.id/id1/2-3065- 2962/Pamona_43265_p2k-unkris.html, diakses 17 Juni 2021.
6 Laporan Penelitian Bisnis Militer di Poso Sulawesi Tengah, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), (FEBRUARI – MARET 2004), 13-14.
7 Samhis Setiawan, Sejarah Suku Pamona, Gurupendidikan.com (6 April 2021) https://www.gurupendidikan.co.id/suku-pamona/, diakses 17 Juni 2021.
8 Wilianita Selviana, “Mesale Perempuan di Wilayah Kelola Rano Poso,”
https://ciptamedia.org/hibahcme/686, diakses 18 Juni 2021.
58
secara bersama (gotong royong) mengolah kebun.9 Setelah lokasi dibuka dengan cara mesale, pekerjaan selanjutnya adalah menentukan waktu menanam mengikuti kalender musim tanam berdasarkan petunjuk posisi bulan di langit.10 To Pamona menanam padi dengan cara mompaho,11 yaitu membuat lubang di tanah dengan menancapkan ujung kayu (oleh laki-laki), yang akan diisi dengan benih padi (oleh perempuan).12 Tahap selanjutnya adalah menjaga dan merawat pertumbuhan padi sampai pada masa panen.
Masa panen padi bagi To Pamona dijalani dalam proses ritual tersendiri. Ritual panen tersebut dimulai dengan Tadulako Mpojamaa (Tua adat) akan memetik empat tangkai bulir padi terbaik. Bulir padi tersebut diikat dan diletakan di sebuah Bingka (wadah), kemudian ditutupi dengan Fuya (kulit kayu). Tindakan ini bermakna, jiwa padi telah terikat dibumi dan tidak kaget ketika dipotong.13 Berakhirnya seluruh ritual ini menjadi tanda bahwa panen sudah boleh dimulai, ditandai dengan mangore (makan nasi baru) yang dari panen padi pertama.14
Ketika seluruh proses panen selesai, maka dilaksanakanlah sebuah ritual pengucapan syukur kepada Pue mPalaburu (Tuhan Pencipta) yang ditandai dengan makan bersama.15 Acara makan bersama selesai panen inilah yang disebut dengan Padungku. Istilah Padungku berasal dari kata dungku yang artinya selesai, habis, sampailah.16 Padungku berarti penyelesaian masa panen
9 Gerrit Noort, “Agama Kristen dan Kaitannya dengan Agama-Agama Lain. Visi dan Praktek Albert Christian Kruyt,” dalam Melayani Sepenuh Diri: In Memoriam Pdt. Dr. Lian Padele (1961-2020), edit. Aser Tandapai, dkk.
(Makassar: Yayasan Oase Intim, 2021), 109.
10 Jimmy Methusala, “Kalender Musim Tanam Suku Pamona,” Akar Poso (March 16, 2017) https://jimmymethusala.blogspot.com/2017/03/kalender-musim-tanam-suku-pamona.html, diakses 17 Juni 2021.
11 Lian Gogali, Mompaho, “Tradisi Tanam Berirama di Ladang,” Mosintuwu.com, Jumat, 5 Juni 2020, http://www.mosintuwu.com/2020/06/05/mompaho-tradisi-tanam-berirama-di-ladang/, diakses 17 Juni 2021.
12 Noort, “Agama Kristen… 109.
13 Nofianti Lapasila, Tuti Bahfiarti, Muhammad Farid, “Etnografi Komunikasi Pergeseran Makna Pesan Tradisi Padungku Pasca Konflik Poso di Sulawesi Tengah”, Jurnal SCRIPTURA, Vol. 10, No. 2 (Desember 2020): 114- 115.
14 I Gede Supradnyana, “Memaknai Padungku Kita,” 22 November 2014, https://igedesupradnyana.wordpress.com/2014/11/22/memaknai-padungku-kita/, diakses 7 Juli 2021.
15 Informan 1, Wawancara oleh Penulis, Poso, Sulawesi Tengah, 17 Juni 2021.
16 Dj. Tiladuru, Kamus Bahasa Pamona – Indonesia, edit. Albert Schrauwers (LOBO: Annals of Sulawesi Research Volume 1), 21.
59
yang ditandai dengan memasukan padi di lumbung dan mengembalikan alat-alat ke tempatnya.17 Ritual panen ini terus berlangsung hingga Kekristenan diperkenalkkan kepada To Pamona.
4.2.2 Padungku Sebagai Ritual Kekristenan
Albert Christian Kruyt, penginjil utusan Nederlandesch Zendeling Genootschap (NZG)18 mulai memperkenalkan Kekristenan kepada To Pamona sejak kedatangannya di Poso pada tahun 1892.19 Kurang lebih sembilan belas tahun lamanya barulah upaya pelayanan Kruyt di Poso membuahkan hasil. Buah pelayanan Kruyt kepada To Pamona di Poso adalah baptisan terhadap kepala suku To Pebato yakni Papa I Wunte dan istrinya Ine I Maseka yang dilaksanakan pada hari Natal 25 Desember tahun 1909 di Kasiguncu. Baptisan ini selanjutnya diikuti oleh seratus enam puluh To Pebato lainnya.20 Papa I Wunte dan istrinya Ine I Maseka menjadi orang pertama di Poso yang menerima Kekristenan dan memberi diri untuk dibaptis.
Baptisan pertama ini menjadi awal Kekristenan diterima oleh To Pamona di Poso. Sejak 25 Desember 1909, pelaksanaan baptisan berlangsung secara bergantian terhadap sub-sub suku To Pamona lainnya. Sejak saat itu pula baptisan terhadap To Pamona mengalir bagaikan air yang tidak bisa dibendung. Sehingga hampir seluruh To Pamona di Poso pada akhirnya memeluk agama Kristen sebagai hasil karya pelayanan Kruyt. Tak salah jika Kruyt kemudian dinobatkan oleh To Pamona sebagai tokoh penginjil di tana Poso. Pemerintah Daerah Kabupaten Poso bekerja sama dengan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) mengabadikan
17 Yombu Wuri, “Padungku, Sebuah Pesta atau Pengucapan Syukur?” Mosintuwu.com (Jumat, 9 Oktober 2020) http://www.mosintuwu.com/2020/10/09/padungku-sebuah-pesta-atau-pengucapan-syukur/, diakses 30 Juni 2021.
18 NZG adalah lembaga zending yang berpusat di Belanda.
19 Noort, “Agama Kristen… 90, 92.
20 A. C Kruyt, Kaluar Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen, terj. Th. V. D. End dan P. S. Naipospos (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 11.
60
pernghormatan terhadap Kruyt dalam bentuk prasasti yang dibangun tepat di pintu gerbang memasuki Kota Tentena.
Kekristenan membawa perubahan besar dalam kehidupan To Pamona. Pekerjaan Kruyt selanjutnya setelah pembatisan adalah membimbing To Pamona pada pengajaran-pengajaran Kekristenan. Berbagai kebiasaan To Pamona secara bertahap mulai diarahkan mengikuti ajaran Kekristenan. Mulai dari kebiasaan sehari-hari sampai pada aktifitas ritual mendapakan pencerahan baru dalam sorotan iman Kristen. Ada Beberapa kebiasaan yang dihilangkan karena dianggap bertentangan dengan ajaran Kekristenan. Salah satu dari kebiasaan yang dihilangkan tersebut adalah tradisi mengayau yang di sebut pupu wo’o (potong kepala musuh). Ada pula kebiasaan dan tradisi To Pamona yang diberi makna baru berdasarkan sorotan iman terhadap Kristus. Salah satu dari kebiasaan dan tradisi yang diberi makna baru tersebut adalah ritual Padungku. Sejak saat itu Padungku mulai bertransformasi menjadi ritual Kekristenan.21
4.2.3 Ritual Padungku Sebagai Ibadah Pengucapan Syukur Tahunan Gereja Kristen Sulawesi Tengah
Hasil pelayanan Kruyt di Poso berlanjut dengan berdirinya Jemaat-jemaat baru di beberapa wilayah. Mulai dari daerah pesisir sampai ke pedalaman terbentuk Jemaat-jemaat baru. Bahkan jemaat-jemaat ini tidak hanya di wilayah Poso, tetapi sampai ke wilayah Malili di Sulawesi Selatan. Pada akhirnya Jemaat-jemaat hasil pelayanan Kruyt ini mendirikan wadah bersama sebagai Satu Gereja Tuhan, pada tanggal 18 Oktober tahun 1947. Gereja Tuhan ini diberi nama Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), sebagai representasi anugerah keselamatan Tuhan yang dicurahkan kepada To Pamona di Poso, bahkan kepada seluruh masyarakat di Sulawesi Tengah.
21 P. Manyonyo, “Sekelumit Tentang Kekayaan Budaya di Wilayah Pelayanan GKST,” dalam Wajah GKST:
Buku Kenangan 100 Tahun Injil Masuk Tana Poso, Panitia Perayaan 100 Tahun Injil Masuk Tana Poso (Kantor Sinode GKST Tentena, 1992), 114.
61
Ritual Padungku diakomodir menjadi ritual ibadah GKST. Pada buku Kumpulan Tata Ibadah GKST, ritual Padungku disebut sebagai Ibadah Pengucapan Syukur Tahunan Jemaat.22 Ritual Padungku sebagai Ibadah Pengucapan Syukur Tahunan, menjadi saat dimana masing- masing Jemaat GKST mempersembahkan tanda pengucapan syukurnya atas anugerah dan berkat Tuhan dari hasil usaha pekerjaan selama satu tahun. Karena itu ritual Padungku ini kemudian dikenal sebagai Ibadah Pengucapan Syukur Tahunan warga GKST. Waktu pelaksanaan ritual Padungku ini bebeda-beda di tiap Jemaat, disesuaikan dengan kesiapan masing-masing. Ada Jemaat yang melaksanakan sendiri, tetapi ada juga yang secara bersama dua atau tiga Jemaat sekaligus. Ada pula yang melaksanakan ritual ini secara bersama se-Klasis (Wilayah).
Pada prakteknya, ritual Padungku bagi Jemaat GKST diwujudkan dalam bentuk ibadah di gedung Gereja dan jamuan makan bersama di rumah-rumah anggota Jemaat. Rata-rata Jemaat akan melaksanakan ibadah Padungku pada pagi hari, sehingga tepat waktu makan siang anggota Jemaat dapat melayani tamu di rumah masing-masing. Tidak ada pembatasan tamu yang datang.
Siapa saja dapat menghadiri jamuan makan bersama di rumah-rumah anggota Jemaat. Dan setiap tamu bebas memilih rumah mana untuk dimasuki. Sepanjang satu hari pelaksanaan ritual tersebut, semua orang dilayani jamuan makan bersama. Selesai jamuan makan, tuan rumah akan menyediakan sedikit bekal makanan untuk dibawa pulang oleh tamu. Jamuan makan bersama yang berlanjut dengan membawa pulang makanan disebut dengan mangkoni mangkeni.23 Mangkoni mangkeni adalah simbol pengormatan dan penghargaan tuan rumah kepada para tamu.
IV.3 Ritual Padungku di Kota Poso
22 Majelis Sinode GKST, Kumpulan Tata Ibadah Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Edit. Herry J. Kopalit (Departemen Litbang dan Publikasi GKST: 2007), 42.
23 Mangkoni mangkeni adalah dua kata dalam bahasa Pamona. Mangkoni artinya makan. Mangkeni artinya membawa. Jadi mangkoni mangkeni berarti makan dan membawa pulang makanan. Maknanya adalah tamu tidak hanya disuguhi makanan tetapi juga disediakan sebagian makanan untuk dibawa pulang.
62
Kota Poso merupakan salah satu wilayah pelayanan GKST yang disebut Klasis Poso Kota. Ada 10 Jemaat dan 4 Kelompok Kebaktian GKST di Klasis Poso Kota.24 Ritual Padungku di Klasis Poso Kota dilaksanakan secara serempak oleh 10 Jemaat dan 4 Kelompok Kebaktian ini.
Waktu pelaksanaan yang serempak ini selalu diputuskan dalam Rapat Tahunan Klasis Poso Kota.
Ritual Padungku di Kota Poso juga dilaksanakan dalam bentuk Ibadah di gedung Gereja dan jamuan makan bersama di rumah-rumah anggota Jemaat.
4.3.1 Padungku Sebelum Konflik
Kota Poso sebelum konflik adalah tempat tinggal yang aman bagi berbagai komunitas.
Masyarakat Kota Poso yang berbeda latar belakang dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain. Sekalipun polarisasi masyarakat Kota Poso sebagian besar berada dalam kelompok- kelompok berdasarkan daerah asal, tetapi kohesi sosial tetap terpelihara dengan baik. Pada konteks ini, Padungku yang berakar dari ritual budaya suku Pamona, turut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kota Poso.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kota Poso, ritual ini telah menjadi moment menerima kunjungan dari berbagai tempat. Salah seorang warga yang berdomisili di Tentena pada tahun 90-an mengatakan bahwa dia dan beberapa temannya tidak akan melewatkan moment Padungku di Kota Poso. Baginya perayaan Padungku di Kota Poso sebagai Ibu Kota Kabupaten Poso memiliki daya tarik tersendiri.25 Tidak heran jika banyak warga dari luar Kota Poso akan berusaha hadir ketika pelaksanan Padungku di Kota Poso. Sebagian warga tersebut sekaligus memanfaatkan pelaksanaan Padungku ini untuk mengunjungi teman dan saudara mereka yang berdomisili di Kota Poso.26
24 Statistik Klasis Poso Kota Tahun 2019.
25 Informan 8, Wawancara Penulis, Tentena-Kabupaten Poso-Sulawesi Tengah, 25 Februari 2022.
26 Informan 8, Wawancara Penulis, … 25 Februari 2022.
63
Transportasi penghubung antar daerah di Kabupten Poso sebelum konflik belum lancar seperti saat ini. Kondisi ini terkadang mendesak sebagian warga untuk datang ke Kota Poso sehari sebelum pelaksanaan ritual Padungku. Demikian pula mereka akan kembali sehari setelah Padungku. Akibatnya para warga ini pasti akan menginap di rumah-rumah keluarga dan teman selama berada di Kota Poso. Sebagian lain memang datang sehari sebelum Padungku dengan maksud membawa bahan-bahan yang akan diolah dan sekaligus membantu mengolah bahan makanan yang akan disajikan. Biasanya mereka akan membawa bahan-bahan untuk olahan inuyu seperti beras ketan, daun pisang muda dan bambu muda yang memang kurang tersedia di Kota Poso.27 Di sinilah keakraban semakin terjalin dalam moment Padungku di Kota Poso sehingga ikatan kekeluargaan itu semakin terasa. Jalinan interaksi yang membangun ikatan kekeluargaan ini semakin luas berdampak pada terbangunnya ikatan kebersamaan dengan kehadiran dan keterlibatan warga beragama lain yang ada di Kota Poso.
Padungku tidak hanya menjadi ritual warga GKST tetapi juga warga beragama lain di Kota Poso. Padungku memang merupakan ritual Keristenan yang dilaksanakan oleh warga GKST di Kota Poso. Tetapi penghormatan dan penghargaan atas keberagaman yang diperlihatkan oleh warga Kristen telah menempatkan Padungku sebagai ritual yang melibatkan agama lain yang ada di Kota Poso secara khusus warga Muslim. Sehingga ritual yang merupakan ajang menerima tamu untuk makan bersama ini telah membentuk sebuah kondisi yang saling memahami, menghormati dan menghargai antarumat beragama di Kota Poso.
Warga Kristen di Kota Poso sangat memahami bahwa saat Padungku mereka harus menyediakan hidangan makanan yang khusus untuk teman dan saudara yang Muslim. Hal ini menjadi sebuah kelaziman setiap pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Salah seorang warga mengatakan: tidak ada masalah kalo ba Padungku di Poso sebelum 98 (tidak ada gesekan dalam
27 Informan 8, Wawancara Penulis, … 25 Februari 2022.
64
pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso sebelum konflik tahun 1998).28 Perkataan ini menjelaskan bahwa kehadiran warga Muslim saat Padungku adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi. Warga Muslim akan disambut dengan dengan gembira dan penuh penghargaan. Lebih lanjut warga tersebut mengatakan: so biasa torang sadia daging ayam tiap ba Padungku di Poso (sudah menjadi kebiasaan dalam keluarganya untuk menyediakan menu olahan daging ayam setiap kali melaksanakan Padungku di Kota Poso).29
Seorang warga lain mengungkapkan kesaksiannya ketika menjamu tamu dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso:
tiap ba Padungku torang di rumah salalu sadia dua meja. Meja yang satu sadia makanan khusus untuk tamu Muslim. Meja yang laen sadai Makanan untuk umum. (Setiap pelaksanaan ritual Padungku selalu disediakan dua meja untuk tamu. Meja pertama khusus menyajikan hidangan makanan yang diolah dari bahan-bahan khusus bagi tamu Muslim.
Meja kedua menyajikan berbagai hidangan makanan yang dapat dikonsumsi oleh warga Kristen dan yang lain).30
Menyediakan dua meja merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan bagi warga Muslim yang datang.31 Menyediakan dua meja saat pelaksanaan jamuan makan ritual Padungku di Kota Poso menjadi sesuatu yang biasa pada saat itu. Warga Kristen dan Muslim dapat menerima kondisi ini. Sebagai bentuk rasa hormat atas pelayanan tuan rumah, biasanya ada beberapa tamu Muslim yang mengatakan tidak perlu melayani mereka dengan dua meja terpisah.32 Realitas ini menjadi salah satu gambaran kebersamaan yang tercipta antarwarga Muslim Kristen di Kota Poso dalam pelaksanaan ritual Padungku sebelum konflik.
Kebersamaan yang penuh penghormatan dan penghargaan atas keberagaman antara warga Muslim Kristen dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso telah berlangsung dengan baik sebelum konflik. Kehadiran dan keterlibatan warga Muslim dalam jamuan makan bersama telah
28 Informan 7, Wawancara Penulis, Tentena Kabupaten Poso, 25 Februari 2022.
29 Informan 7, Wawancara Penulis, … 25 Februari 2022.
30 Informan 6, Wawancara Penulis, Kawua-Kecamatan Poso Kota Selatan-Kabupaten Poso-Sulawesi Tengah, 27 Februari 2022.
31 Informan 6, Wawancara Penulis, … 27 Februari 2022.
32 Informan 6, Wawancara Penulis, … 27 Februari 2022.
65
memberi nilai tambah tersendiri pada pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Kondisi ini memperlihatkan bahwa peran dan keterlibatan warga yang beragama lain juga sangat terlihat, sekalipun Padungku adalah ritual Kekristenan. Sehingga Padungku tidak hanya mempererat hubungan kekeluargaan sesama warga Kristen, tetapi juga telah mempererat jalinan antaragama (Muslim Kristen) lebih luas di Kota Poso.
Sangat disayangkan jalinan hubungan yang lebih luas antarawarga Muslim Kristen dalam ritual Padungku di Kota Poso telah mengalami penurunan sejak konflik melanda. Tidak sebebas dulu lagi untuk menyediakan makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso pasca koflik. Demikian pula hidangan makanan yang disajikan, sekalipun sudah lebih menekankan penghormatan dan penghargaan atas keberagaman tetapi keakraban yang terlihat dalam jamuan makan bersama tidak seperti yang dulu lagi. Konflik telah menghancurkan nilai-nilai kebersamaan dalam ritual Padungku di Kota Poso. Untuk lebih jelasnya realitas ini akan diuraikan pada bagian selanjutnya yang akan mendeskripsikan pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso saat konflik.
4.3.2 Perbedaan Konsep Makanan dalam Ritual Padungku di Kota Poso Saat Konflik
Konflik berdampak pada pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Konflik horisontal bernuansa agama yang terjadi di Poso sejak Desember 1998, menghasilkan kerenggangan hubungan antara Muslim Kristen di Kota Poso. Kerenggangan hubungan antaragama ini merubah kebersamaan Muslim Kristen di Kota Poso yang sudah terjalin sejak awal. Salah satunya yang paling nyata adalah perjumpaan dan kebersamaan Muslim Kristen pada jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso. Sejak konflik, kebersamaan dalam jamuan makan ritual Padungku di Kota Poso jauh dari kehadiran dan keterlibatan warga Muslim.
Ritual Padungku di Kota Poso saat konflik tetap dilaksanakan sekalipun sebagian besar warga Kristen telah mengungsi ke berbagai tempat. Seorang Pendeta yang melayani di salah satu Jemaat GKST Kota Poso tahun 2000 mengatakan, beberapa warga Kristen yang masih tinggal
66
bertahan di Kota Poso tetap melaksanakan ritual Padungku sekalipun dalam kondisi yang sederhana di tempat-tempat pengungsian.33 Pelaksanaan ritual Padungku di tempat-tempat pengungsian ini tidak memungkinkan adanya kunjungan dari warga Muslim. Ritual Padungku dalam kondisi konflik ini murni hanya melibatkan warga Kristen. Akibatnya warga Kristen hanya menyajikan hidangan makanan dari olahan daging babi dan anjing di satu meja makan.34 Tidak ada lagi hidangan yang dikhususkan bagi warga Muslim. Sejak saat itu ritual Padungku di Kota Poso menjadi identik dengan hidangan makanan yang khusus diperuntukan bagi warga Kristen.
Padungku saat konflik (identik dengan makanan khusus bagi warga Kristen) memunculkan kesan di kalangan warga Kristen sendiri bahwa ritual ini memang hanya dikhususkan bagi mereka.35 Kesan ini berangkat dari kenyataan pada saat itu (konflik), segala sesuatu yang terkait dengan Padungku hanya melibatkan kalangan Kristen. Mulai pelaksanaan ibadah sampai pada jamuan makan bersama, memang hanya melibatkan warga Kristen. Kesan ini menjadi kuat tartanam di benak setiap warga Kristen di Kota Poso. Hampir seluruh warga Kristen di Kota Poso menyediakan menu makanan yang sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran warga Muslim. Akibatnya pelaksanaan Padungku di Kota Poso saat konflik menjadi sebuah ritual yang tertutup bagi warga Muslim.
Pelaksanaan ritual Padungku yang terkesan tertutup, secara perlahan membentuk stigma negatif di mata warga Muslim. Padungku dianggap sebagai ritual Kekristenan yang identik dengan hidangan makanan yang tidak lagi menekankan penghormatan dan pengharagaan atas keberagaman umat beragama di Kota Poso.36 Stigma negatif ini menimbukan keraguan yang semakin menutup kehadiran dan keterlibatan warga Muslim dalam ritual Padungku di Kota Poso.
Kehadiran dan keterlibatan warga Muslim dalam ritual Padungku yang tertutup karena konflik
33 Informan 9, Wawancara Penulis, Poso Sulawesi Tengah, 27 Februari 2022.
34 Informan 9, Wawancara Penulis, … 27 Februari 2022.
35 Informan 9, Wawancara Penulis, … 27 Februsri 2022.
36 Informan 9, Wawancara Penulis, … 27 Februsri 2022.
67
semakin diperparah dengan keraguan terhadap menu makanan yang disajikan. Keraguan itu bukan hanya pada bahan bakunya, tetapi juga cara pengolahan serta alat-alat yang dipakai.37 Wajarlah jika warga Muslim meragukan kejelasan menu makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku.
Pilihan terbaik adalah membatasi diri bahkan menjauhkan diri dari aktifitas ritual Padungku.
Akibatnya sekat antara Muslim Kristen di Kota Poso semakin melebar karena menu makanan yang disediakan dalam pelaksanaan ritual Padungku.
Pada akhirnya konflik yang menimbulkan perubahan relasi Muslim Kristen telah berdampak pada munculnya perbedaan konsep makanan dalam ritual Padungku di Kota Poso.
Situasi dan kondisi yang belum aman karena konflik telah mendorong pelaksanaan ritual Padungku lebih menyajikan hidangan yang hanya dapat dikonsumsi oleh warga Kristen.
Sementara warga Muslim melihat Padungku bukan hanya sebuah ritual Kekristenan, tetapi terutama karena ketidak jelasan menu makanan yang disajikan. Hal-hal inilah yang menjadi faktor pendorong munculnya perbedaan konsep makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Dapat dipastikan bahwa perbedaan konsep makanan ini semakin memperlebar jarak interaksi Muslim Kristen di Kota Poso.
4.3.3 Pasca Konflik: Keberlanjutan Perbedaan Konsep Makanan dalam Ritual Padungku
Upaya untuk mengembalikan harmonisasi hubungan Muslim Kristen di Kota Poso pasca konflik secara khusus dalam pelaksanaan ritual Padungku ternyata bukan sesuatu yang mudah.
Sekalipun makanan telah diolah dan disajikan dengan baik, ternyata sebagian besar warga Muslim masih membatasi diri ketika menikmatinya. Stigma negatif Padungku yang tidak lagi menekankan penghormatan dan penghargaan atas keberagaman sepertinya masih melekat dalam pemahaman warga Muslim. Beberapa warga Muslim memang mulai menunjukan keterterlibatan dan
37 Informan 10, Wawancara Penulis, Poso Sulawesi Tengah, 15 Juni 2021.
68
kehadirannya dalam ritual Padungku, tetapi aspek makanan masih menjadi catatan penting bagi mereka. Komunikasi baru memang mulai terjalin tetapi sikap sensitif pada aspek makanan dalam jamuan makan bersama ritual Padungku masih sangat terlihat.
Sikap sensitif terhadap aspek makanan dalam ritual Padungku terlihat dalam pengalaman yang diungkapkan oleh salah seorang warga Kota Poso yang beragama Kristen tetapi memiliki ikatan kekerabatan (kekeluargaan) yang cukup kuat dengan warga Muslim karena perkawinan.
Menurut warga tersebut, sejak konflik sensifitas pada aspek makanan memang menjadi sangat nyata dalam pelaksanan ritual Padungku.38 Ia menegaskan bahwa ikatan kekeluargaan dalam pelaksanan ritual Padungku yang sebelumnya telah terjalin kuat, berubah total sejak konflik.39 Ia juga membenarkan bahwa selain situasi konflik yang memang tidak memungkinkan kebersamaan, aspek makanan juga menjadi alasan ketidak hadiran kerabat Muslim.40 Ikatan kekeluargaan pada akhirnya mendorong warga tersebut meminta kesediaan beberapa saudaranya yang Muslimnya untuk mengolah, menyediakan serta menyajikan menu makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di rumah kediamannya.41 Permintaan ini disambut baik, seluruh persiapan terkait aspek makanan yang akan disajikan diserahkan sepenuhnya kepada saudara yang Muslim. Menurut warga tersebut, keterlibatan kerabat Muslim dalam mempersiapkan sajian menu makanan dalam jamuan makan bersama ritual Padungku menjadi kebiasaan yang dikembangkan dalam keluarganya.42 Sehari sebelumnya mereka sudah hadir untuk mempersiapkan serta mengolah bahan makanan. Pengolahan makanan yang sepenuhnya diatur oleh kerabat Muslim ternyata menjadi salah satu pendorong kehadiran kerabat dekat, bahkan warga Muslim lainnya dalam jamuan makan bersama ritual Padungku. Sekalipun kebiasaan ini menuntut pengorbanan besar
38 Informan 11, Wawancara Penulis, Poso - Sulawesi Tengah, 27 April 2021.
39 Informan 11, Wawancara Penulis, … 27 April 2021.
40 Informan 11, Wawancara Penulis, … 27 April 2021.
41 Informan 11, Wawancara Penulis, … 27 April 2021.
42 Informan 11, Wawancara Penulis, … 27 April 2021.
69
(tidak bebas menyajikan Makanan), namun keputusan seperti ini menjadi jalan tengah untuk tetap mempererat relasi kekerabatan beda agama dalam situasi pasca konflik di Kota Poso.
Relasi kekerabatan beda agama menjadi salah satu pendorong kuat warga Kristen di Kota Poso membaharui kebiasaan pengolahan dan penyajian makanan dalam ritual Padungku.
Beberapa keluarga Kristen di Kota Poso memang memiliki kekerabatan yang kuat dengan warga Muslim karena kawin mawin. Penulis tidak mendapatkan data yang jelas tentang jumlah keluarga- keluarga ini. Tetapi pengalaman salah seorang warga sebagaimana yang sudah diungkapkan di atas, menjadi salah satu contoh bahwa relasi kekerabatan beda agama sangat mendorong terbangunnya interaksi dan komunikasi baru pasca konflik. Sikap untuk tetap mempertahankan relasi kekerabatan di tengah situasi konflik menjadi sebuah kesadaran bersama yang tumbuh di antara beberapa keluarga. Menemukan jalan tengah dalam penyajian makanan ritual Padungku lebih utama dari pada mempertentangkannya. Kekerabatan menjadi perekat utama harmonisasi hubungan pada keluarga-keluarga ini. Namun demikian situasi menjadi berbeda ketika melihat pada relasi di luar hubungan kekerabatan sebagaimana dialami oleh sebagian besar warga Kota Poso.
Sikap sensitif pada aspek makanan saat pelaksanaan ritual Padungku masih terlihat pada sebagian besar warga Muslim di Kota Poso. Seorang warga yang bekerja di salah satu instansi pemerintah mengungkapkan pengalamannya saat menjamu rekan kerjanya yang Muslim dalam ritual Padungku. Ia mengatakan: iyo dorang datang tapi dorang te mau mo makan… dorang cuma ambe aer aqua. (iya teman-teman Muslim datang tetapi tidak makan. Mereka hanya minum air mineral).43 Kesaksian ini menegaskan bahwa kehadiran warga Muslim mulai terlihat tetapi belum diikuti dengan tindakan mengambil bagian dalam jamuan makan.
Seorang warga lain yang juga bekerja di salah satu instansi pemerintahan mengungkapkan pengalaman yang sama:
43 Informan 12, Wawancara Penulis, Poso Sulawesi Tengah, 5 Desember 2021
70
“dorang so hadir Padungku, tapi cuma minum aer putih karena tidak jelas bagimana dioleh itu makanan deng sapa yang masak…” (beberapa rekan kantor yang Muslim sudah hadir saat Padungku, tetapi sebatas minum air mineral karena tidak jelas bagi mereka bagaimana dan siapa yang mengolah makanan).44
Pengalaman ini cukup menjelaskan bahwa memulihkan relasi hubungan Muslim Kristen di Kota Poso bukanlah pekerjaan mudah. Sekalipun pertikaian telah berhenti tetapi dampak yang ditimbulkan masih terus terpelihara. Perbedaan konsep makanan dalam perlaksaan ritual Padungku di Kota Poso pasca konflik yang masih terpelihara hingga saat ini (pasca konflik).
Memang ada keinginan yang kuat untuk menjalin kembali relasi kebersamaan Muslim Kristen dalam jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso pasca konflik, tetapi aspek makanan masih menjadi kendala utama.
IV.4 “Makanan Nasional” dalam Ritual Padungku di Kota Poso
Bagian ini akan memaparkan konsep “makanan nasional” dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso pasca konflik. Pemaparan akan diawali dengan deskripsi konsep
“makanan nasinal” dalam pemahaman masyarakat Kota Poso. Selanjutnya akan memaparkan hasil amatan pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso tanggal 10 September 2021. Hasil Amatan ini hendak mendeskripsikan proses hadirnya “makanan nasional” dalam ritual Padungku di Kota Poso.
4.4.1 “Makanan Nasional” di Kota Poso
Dua dekade pasca konflik, terjadi perkembangan baru dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Sebelumnya, jamuan makan bersama ritual Padungku telah memperhadapkan warga Muslim Kristen di Kota Poso pada perbedaan konsep makanan berdasarkan identitas agama.
44 Informan 13, Wawancara Penulis, Poso Sulawesi Tengah, 31 januari 2022
71
Perkembangan terkini memperlihatkan adanya kebersamaan baru dalam jamuan makan bersama ritual Padungku. Fenomena ini terlihat pada pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso tahun 2020. Ritual Padungku tahun 2020 tersebut sebenarnya masih berlangsung seperti biasanya, masih minim kehadiran warga Muslim karena ketidak jelasan faktor makanan. Ada juga beberapa warga Muslim yang memang sudah hadir, tetapi ketidak jelasan faktor makanan membuat mereka menghindari jamuan makan bersama.45
Pelaksanaan ritual Padungku tahun 2020 memperlihatkan sesuatu yang lain. Ada beberapa warga Muslim yang telah menghadiri ritual tersebut, serta sangat antusias menikmati jamuan makan bersama dengan penuh keakraban.46 Hal ini memang baru terjadi pada beberapa warga Kristen yang melaksanakan ritual Padungku di Kota Poso. Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari salah seorang informan, kehadiran dan keterlibatan beberapa warga Muslim dalam jamuan makan bersama tersebut disebabkan oleh sajian menu makanan yang disebut sebagai “makanan nasional”.47
“Makanan nasional” sebenarnya merupakan kumpulan jenis masakan Indonesia dengan aneka bumbu dan rempah yang disajikan bersama menu pelengkap.48 “Makanan nasional” juga disebut sebagai masakan yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia,49 yang sudah dikenal di berbagai wilayah tanah air tetapi hanya mengangkat identias daerah.50 Pandangan lain mengatakan tidak ada “makanan nasional” Indonesia, yang ada hanyalah makan khas daerah.51
45 Lihat uraian pada bagian sebelumnya yang dibagikan oleh informan 12 dan 13.
46 Radar Sulteng, Melihat Upacara Padungku Poso, Kuatkan Silaturahmi Sesama Warga, 21 Januari 2021.
47 Informan 4, Wawancara Penulis, Poso-Sulawesi Tengah, 17 Juni 2021.
48 Titin Hera Widi Handayani dan Marwanti, Pengolahan Makanan Indonesia, Kementrian Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Yogyakarta (2011) 1
49 Tempo, Makanan Indonesia adalah...? Tempo.co, 27 November 2014, https://travel.tempo.co/read/624888/makanan-indonesia-adalah, diakses Kamis 10 Juni 2021.
50 Tempo, William Wongso Geregetan Kuliner Indonesia Kaya Tapi Tertinggal Jauh, Tempo.co, 9 April 2021, Edit. Istiqomatul Hayati, https://seleb.tempo.co/read/1450634/william-wongso-geregetan-kuliner-indonesia-kaya- tapi-tertinggal-jauh, diakses 10 Juni 2021.
51 Henri Chambert-Loir, Fadly Rahman. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (« Sur les traces d’un goût insulindien ; Histoire de l’alimentation en Indonésie »), Archipel Études interdisciplinaires sur le monde insulindien (Paris: Desember 2019) 246.
72
Beberapa pandangan ini sebenarnya hendak mengatakan bahwa “makanan nasional” merujuk pada berbagai masakan khas daerah yang umum dikenal di Indonesia tetapi sebatas mencitrakan identitas kedaerahan. Menu-menu khas daerah kemudian diangkat dan diresmikan menjadi
“makanan nasional” oleh Kementrian Pariwisata, dalam rangka promosi wisata kuliner Indonesia di mata dunia.52 Dengan demikian dapat dipahami bahwa “makanan nasional” sebenarnya merupakan masakan khas daerah yang dipromosikan ke mancanegara untuk memperkenalkan identitas kuliner Indonesia di mata dunia.
Pengertian tentang “makanan nasional” sebagaimana yang telah diuraikan di atas, memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan apa yang dipahami oleh masyarakat Kota Poso.
Penduduk Kota Poso sebagai masyarakat penyintas konflik lebih memahami “makanan nasional”
sebagai hidangan yang dapat menjembatani perbedaan antaragama. Istilah “makanan nasional”
ini sering digunakan dalam acara jamuan makan bersama komunitas Kristen yang menghadirkan komunitas Muslim, seperti acara resepri pernikahan. Pada acara resepsi penikahan seperti ini, pembawa acara biasanya akan menginformasikan secara resmi kepada para tamu undangan bahwa seluruh menu yang disajikan merupakan hidangan “makanan nasional”. Pembawa acara hendak menegaskan kepada para tamu Muslim bahwa menu makanan yang disediakan telah terjamin jenis bahan dan pengolahannya, sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan termasuk warga Muslim.53 Informasi yang disampaikan oleh pembawa acara ini juga hendak menegaskan bahwa tuan rumah pelaksana resepsi pernikahan sangat mengapresiasi kehadiran para tamu yang Muslim.
Bentuk “makanan nasional” tersebut tidak menunjuk pada satu jenis makanan khusus atau makanan khas daerah tertentu. “Makanan nasional” ini, lebih menunjuk pada keseluruhan hidangan makanan yang dapat membangun kebersamaan penduduk Kota Poso yang pernah dilanda konflik antaragama.
52 Vita Ayu Anggraeni, 5 Makanan Nasional Diresmikan Oleh Kemenpar, 23 SEPTEMBER 2018, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/09/23/5-makanan-nasional-diresmikan-oleh-kemenpar, diakses 10 Juni 2021
53 Informan 5, Wawancara penulis, Poso, Sulawesi Tengah, 20 Juni 2021
73
4.4.2 Proses Kehadiran “Makanan Nasional” dalam Ritual Padungku di Kota Poso
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso pada tahun 2020 memperlihatkan sesuatu yang lain dari sebelumnya. Padungku yang sejak konflik hanya dihadiri oleh warga Kristen, pada tahun 2020 mulai memperlihatkan keterlibatan warga Muslim. Jika tahun-tahun sebelumnya, Padungku hanya dirayakan oleh warga Kristen, pada tahun 2020 beberapa warga Muslim sudah menghadiri dan turut menikmati jamuan makan bersama ritual ini. Kehadiran dan keterlibatan warga Muslim dalam jamuan makan bersama ritual Padungku tahun 2020 ini terlihat pada kediaman salah sorang warga beragama Kristen yang berdomisili di Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota Selatan. Menurut keterangan warga Kristen tersebut, pelaksanaan ritual Padungku di tempat kediamannya, pada tahun-tahun sebelumnya belum dihadiri rekan-rekannya yang Muslim. Tetapi pada tahun 2020 hampir seluruh rekan kantornya datang, tidak terkecuali yang Muslim. Bahkan rekan-rekannya yang Muslim tidak ragu menikmati hidangan makanan yang disajikan.54
Keterangan warga Kristen yang berdomisili di Kelurahan Kawua di atas, memberi gambaran adanya perubahan bentuk pelaksanaan jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso. Terjadi lompatan perubahan bentuk pelaksanaan jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso tahun 2020 jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari yang sebelumnya tidak memperhitungkan keberagaman karena imbas konflik antaragama, menjadi sebuah jamuan makan bersama yang lebih akomodatif bagi kehadiran warga beragama lain secara khusus Muslim. Lompatan perubahan bentuk pelaksanaan jamuan makan bersama ritual Padungku tahun 2020 tersebut terjadi karena hadirnya sajian menu yang disebut “makanan nasional”.55 Pertanyannya adalah bagaimana proses kehadiran menu “makanan nasional” dalam jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso tahun 2020? Pertanyaan penting ini adalah
54 Informan 4, Wawancara Penulis, … 17 Juni 2021.
55 Informan 4, Wawancara penulis, … 17 Juni 2021.
74
rumusan masalah pertama yang diajukan dalam penelitian ini. Pertanyaan ini selanjutnya menjadi pokok pembahasan yang akan diuraikan pada bagian ini.
Pertanyaan tentang bagaimana proses kehadiran menu “makanan nasional” dalam jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso tahun 2020, akan dijelaskan berdasarkan hasil percakapan dengan salah seorang informan yang juga terlibat langsung dalam pelaksanaan ritual Padungku tahun 2020. Apa yang disampaikan oleh informan ini merupakan keterangan yang didasarkan pada pengalaman pribadinya melihat dan mengalami langsung kehadiran serta keterlibatan warga Muslim dalam jamuan makan bersama ritual Padungku tahun 2020 tersebut.
Selengkapnya informan tersebut mengatakan bahwa kehadiran menu “makanan nasional” tersebut berawal dari percakapan yang terjadi antara dirinya dengan beberapa teman Muslimnya seminggu sebelum pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Seminggu sebelumnya beberapa teman Muslimnya mulai mempertanyakan kesiapannya dalam menyambut pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso tahun 2020.56 Pertanyaan mereka lebih merujuk pada kesiapan menu apa yang akan disediakan dalam jamuan makan nanti. Salah satu teman Muslimnya bertanya: Mo sadia makanan apa kalo ba Padungku nanti? (Akan menyediakan menu apa saja pada pelaksanaan ritual Padungku nanti?)57 Pertanyaan seperti ini sangat berkaitan dengan pemahaman umum warga Muslim di Kota Poso tentang kejelasan bahan makanan dan pengolahannya. Pertanyaan ini semacam strategi untuk menelusuri apakah ritual Padungku yang akan dilaksanakan tersebut menyediakan menu yang layak mereka konsumsi atau tidak. Apa yang tersirat di balik pertanyaan ini direspon balik dengan bertanya soal keseriusan mereka untuk hadir dalam pelaksanaan ritual tersebut: Kamu butul mo datang ba padungku di rumah? (apakah kalian sungguh-sungguh akan datang pada saat Padungku nanti?) Mereka (teman Muslim) merespon pertanyaan balik ini dengan mengatakan “kalo diundang pasti torang mo datang” (kalau diundang pasti kami akan datang).58
56 Informan 4, Wawancara Penulis, …17 Juni 2021.
57 Informan 4, Wawancara Penulis, … 17 Juni 2021.
58 Informan 4, Wawancara Penulis, … 17 Juni 2021.
75
Jawaban ini menjadi pertanda bahwa beberapa warga Muslim memang memiliki keseriusan dan kerinduan untuk turut menghadiri dan mengambil bagian dalam kebersamaan jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso. Keseriusan dan kerinduan ini berlanjut dengan pertanyaan tentang menu makanan. Informan kemudian bertanya kepada mereka: Kamu mo suka makang apa nanti? (Kalian ingin disajikan menu makanan apa nantinya?) Rangkaian tanya jawab seminggu sebelum pelaksanaan ritual Padungku ini akhirnya menghasilkan kesepakatan terkait menu apa saja yang akan disajikan. Rangkaian jenis menu jamuan makan bersama ritual Padungku tahun 2020 itulah yang disebut dengan “makanan nasional”.
Menu “makanan nasional” sebenarnya merupakan istilah yang tidak lazim dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Masyarakat Kota Poso lebih dekat dengan istilah
“makanan nasional” ini pada acara-acara resepsi pernikahan. Tetapi istilah “makanan nasional”
ini kemudian hadir dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso tahun 2020. Pemakaian istilah “makanan nasional” pada jamuan makan bersama ritual Padungku tahun 2020 ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan atas keberagaman.59 Istilah “makanan nasional” ini sebenarnya memang tidak memiliki keterkaitan dengan ritual Padungku. Percakapan antara informan dengan teman-temannya seminggu sebelum pelaksanaan ritual Padungku sebenarnya juga tidak menyinggung atau menyepakati penggunaan istilah “makanan nasional”.
Percakapan tersebut hanya menyepakati jenis-jenis menu yang layak untuk dinikmati semua kalangan. Penggunaan istilah “makanan nasional” tersebut muncul saat semua menu yang disepakati telah tersaji di atas meja dan semua tamu (termasuk yang Muslim) menikmatinya tanpa ada keraguan.60 Kebersamaan yang terjalin dalam jamuan makan bersama tersebut telah mendorong lahirnya penggunaan istilah “makanan nasional” dalam ritual Padungku di Kota Poso.
“Makanan nasional” menjadi sebuah penegasan bahwa hidangan jamuan makan bersama ritual
59 Informan 4, Wawancara Penulis, … 17 Juni 2021.
60 Informan 4, Wawancara Penulis, … 17 Juni 2021.
76
Padungku di Kota Poso merupakan menu yang dapat dikonsumsi oleh semua kalangan. “Makanan nasional” ini juga hendak memberi penegasan yang kuat bahwa tidak ada pemisahana atau perbedaan konsep makanan berdasarkan identitas agama dalam jamuan makan bersama ritual Padungku. Melalui “makanan nasional” perbedaan konsep makanan justru mulai terjembatani.
Temuan penelitian ini menegaskan bahwa “makanan nasional” merupakan istilah yang diadopsi ke dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Adopsi istilah “makanan nasional”
ini hendak menyikapi perbedaan konsep makanan yang terjadi dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso pasca konflik. Karena itu kehadiran “makanan nasional” dalam ritual Padungku di Kota Poso sangat terkait dengan perbedaan konsep makanan berdasarkan identitas agama, yang menguat pasca koflik. Perbedaan konsep makanan tersebut telah mendorong menguatnya kerinduan untuk dapat menjalin kembali kebersamaan dalam aktifitas ritual Padungku. Kerinduan untuk sebuah kebersamaan telah menciptakan perjumpaan-perjumpaan baru lintas identitas, memungkinkan adanya diskusi dan percakapan yang melahirkan kesepakatan bersama sebagai jalan tengah. Hadirnya “makanan nasional” ini memperlihatkan adanya kerinduan yang kuat dari masyarakat untuk melakukan evaluasi dan perbaikan pada hal-hal yang dijalaninya. Kerinduan yang kuat untuk evaluasi dan perbaikan ini telah menjadi pemicu hadirnya kreatifitas-kreatifitas baru dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Kreatifitas-kreatifitas baru ini memungkinkan masyarakat membangun cara-cara tersendiri sebagai solusi permasalahan sesuai dengan konteksnya. Pada konteks Kota Poso pasca konflik, “makanan nasional” merupakan salah satu bentuk kerinduan masyarakat untuk memperbaiki situasinya berdasarkan caranya sendiri.
4.4.3 “Makanan Nasional” dalam Jamuan Makan Bersama Ritual Padungku di Kota Poso tanggal 10 September 2021
77
Ritual Padungku di Kota Poso tanggal 10 September 2021 terbagi atas dua kegiatan besar, pertama ibadah syukur di gedung Gereja dan kedua jamuan makan bersama yang berlangsung di rumah-rumah warga Kristen. Sehubungan dengan pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 maka ibadah syukur Padungku di gedung Gereja ditiadakan dan diganti dengan ibadah virtual melalui siaran Poso TV.61 Ibadah virtual ini dilaksanakan secara terpusat oleh Majelis Klasis Poso Kota dan diikuti oleh sepuluh Jemaat GKST di Kota Poso. Ibadah yang dilaksanakan mulai jam 08.00 pagi ini di pimpin oleh Pdt. Yulianus Tolewo, M.Kon. sebagai Sekertaris Umum Majelis Sinode GKST. Sekalipun terjadi pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, tetapi bagian pertama dalam ritual Padungku yaitu ibadah syukur yang dilaksanakan secara virtual, tidak mempengaruhi suasana sukacita ucapan syukur warga GKST di Kota Poso. Ibadah pengucapan syukur Padungku tetap berjalan dengan baik dari awal sampai selesai.
Menyikapi penyebaran Covid-19 yang semakin terlihat di Kota Poso, Majelis Klasis Poso Kota telah mengeluarkan surat himbauan pelaksanaan ritual Padungku tahun 2021 satu minggu sebelum pelaksanaan. Melalui surat tersebut Majelis Klasis Poso Kota mengharapkan ritual Padungku, baik ibadah maupun jamuan makan bersama dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat: mencuci tangan, menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Pandemi yang mulai merebak dan surat himbauan Majelis Klasis Poso Kota, mendorong warga GKST melaksanakan jamuan makan bersama ritual Padungku dengan cara sederhana dan terbatas. Beberapa keluarga bahkan tidak melaksanakan jamuan makan bersama alias tidak menerima tamu. Situasi pandemi Covid-19 memang cukup mempengaruhi pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso pada tanggal 10 September 2021.
Sekalipun pandemi Covid -19 cukup mempengaruhi pelaksanaan ritual Padungku, tetapi tidak sampai menyurutkan kehadiran tamu dan secara khusus beberapa warga Muslim dalam jamuan makan bersama. Pandemi Covid-19 memang membatasi pelaksanaan ritual Padungku di
61 Poso TV adalah salah satu perusahaan televisi melalui jaringan kabel yang ada di Kota Poso.
78
Kota Poso tahun 2021, tetapi sebagian besar warga Kristen tetap melaksanakan jamuan makan bersama di rumah masing-masing. Kehadiran tamu memang tidak seramai tahun-tahun sebelumnya, tetapi beberapa keluarga dan relasi terdekat tetap menghadiri jamuan makan bersma tersebut. Beberapa warga Muslim pun turut hadir dan terlibat dalam jamuan makan bersama pada beberapa rumah.
Terlihat beberapa tamu menghadiri rumah kediaman warga yang menerima warga Muslim pada Padungku tahun 2020. Ternyata kehadiran dan keterlibatan rekan-rekan Muslim tahun 2020, memotivasi warga tersebut untuk menyediakan kembali “makanan nasional” pada pelaksanaan ritual Padungku tahun 2021. Kahadiran tamu memang tidak sebanyak tahun 2020 karena masih dalam suasana mencekam karena pandemi Covid-19. Tetapi beberapa temannya yang beragama Islam tetap hadir dan terlibat aktif dalam jamuan makan. Ada lima orang perempuan dan beberapa tamu lain (keluarga dekat) yang terlihat di rumah warga tersebut. Lima orang perempuan tersebut adalah teman sekantor, diantaranya ada tiga orang menggunakan busana Muslim lengkap dengan jilbab menutupi kepala, sementara dua orang lagi berpakaian biasa. Tampilan ini dapat memastikan bahwa tiga orang perempuan berbusana Muslim tersebut beragama Islam, sementara dua yang berpakaian biasa beragama Kristen. Kelima orang ini masing-masing berdomisili di Kelurahan Bonesompe, Kelurahan Kayamanya, Kelurahan Lawanga, Kelurahan Kasintuwu dan satu di Desa Tagolu. Kelurahan Bonesompe, Lawangan dan Kasintuwu berada di wilayah Kecamatan Poso Kota Utara. Kelurahan Kayamanya berada di wilayah Kecamatan Poso Kota.
Sementara Desa Tagolu berada di wilayah Kecamatan Lage,62 yang bertetangga dengan Kecamatan Poso Kota Selatan.
Suasana yang di dalam rumah memperlihatkan bahwa kelima orang perempuan yang beda agama tersebut sementara menikmati sajian menu makanan di satu meja sederhana yang terdapat diruang utama. Mereka asyik menikmati berbagai menu makanan yang disajikan secara rapi pada
62 Lage adalah Kecamatan yang sudah berada di luar wilayah Kota Poso.
79
beberapa wadah di meja tersebut. Menu makanan yang disediakan antara lain berupa: sambal goreng daging sapi, sup bakso ayam, ayam masak rica-rica, nasi, burasa, dan buah segar. Ada tambahan beberapa jenis kue yaitu cake susu, kue cucur dan krupuk melengkapi sajian tersebut.63 Rangkaian menu yang tersaji di meja utama ini dipadukan dengan makanan khas Padungku yaitu inuyu64 yang dihidangkan dalam ukuran kecil siap dikonsumsi. Inuyu menjadi penanda utama mempertegas bahwa seluruh sajian tersebut merupakan hidangan makanan ritual Padungku.
Rangkaian menu makanan yang dipadukan dengan inuyu inilah yang dimaksud dengan “makanan nasional”. Rangkaian menu ini disebut “makanan nasional” karena bahan dan pengolahannya terjamin sehingga dapat dikonsumsi semua kalangan.
Gambar 2.
Menu Padungku
Sumber: Dokumentasi Pribadi
63 Informan 4, Wawancara penulis, Poso – Sulawesi Tengah, 10 September 2021.
64 Inuyu adalah olahan beras ketan yang dimasukan ke dalam bambu lalu dipanggang, setelah
sebelumnya diberi bumbu dan santan kelapa. Inuyu yang juga dikenal sebagai nasi jaha atau nasi bambu, menjadi pembeda Padungku dengan acara-acara makan lainnya.
80 Gambar 3.
Salah Seorang Tamu Muslim
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Setelah mengambil beberapa menu yang tersedia, kelima orang tersebut mengambil posisi duduk berdekatan tidak jauh dari meja jamuan. Terlihat kelima orang ini begitu menikmati hidangan makanan yang ada di piring masing-masing. Mereka mencoba seluruh menu makanan yang tersedia sambil mengevaluasi kualitas rasa menu-menu tersebut. Jika ada menu yang dirasa cocok dengan selera mereka, menu tersebut akan ditambahkan kembali ke piring mereka.
Demikianlah situasi yang tercipta pada saat itu. Mereka begitu serius menikmati dan mengeksplorasi menu makanan yang tersedia sambil diselingi senda gurau dan canda tawa penuh keakraban. Bahkan kelima orang tersebut tanpa ragu meminta kepada tuan rumah untuk menyiapkan wadah sebagai tempat mereka akan menyisihkan sebagian dari sajian tersebut untuk di bawa pulang yang disebut mangkeni. Nofia dengan sukacita menyediakan apa yang mereka butuhkan.
81 Gambar 4.
Mangkoni: Menikmati Jamuan Makan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 5.
Mangkeni: Membawa Pulang Makanan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pelaksanaan ritual Padungku Kota Poso tanggal 10 September 2021 yang digambarkan di atas merupakan salah satu bentuk kebersamaan antarumat beragama yang nyata. Interaksi dan komunikasi Muslim Kristen terjalin dengan baik dalam ritual Padungku tersebut, mulai dari persiapan sampai pada jamuan makan bersama. Sekalipun kebersamaan ini masih berlangsung dalam kelompok kecil dan sederhana, tetapi kebersamaan baru relasi Muslim Kristen telah
82
terbangun. “Makanan nasional” telah mengambil peran penting terciptanya kebersamaan sejak percakapan awal sampai pelaksanaan jamuan makan bersama tersebut. “Makanan nasional” telah menjadi salah satu jembatan yang menghubungkan perbedaan konsep makanan dalam ritual Padungku di Kota Poso yang menguat pasca konflik.
Kehadiran “makanan nasional” yang menjembatani perbedaan konsep makanan dalam ritual Padungku di Kota Poso didorong oleh dua faktor. Pertama, adanya percakapan awal mendiskusikan yang menghasilkan jenis-jenis menu yang dihidangkan. Kedua, adanya kesepakatan pengolahan menu makanan, yang memberi kejelasan tentang jenis bahan dan pengolahannya. Tanpa dua faktor ini, sepertinya jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso masih akan memperlihatkan kesenjangan relasi Muslim Kristen yang dibatasi oleh makanan.
Kehadiran “makanan nasional” dalam jamuan makan bersama ritual Padungku di Kota Poso perlu diapresiasi sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa tamu yang hadir saat itu.
Salah seorang tamu mengatakan: kita sebenarnya kurang suka pi Padungku. Selain karena itu acara Kristen, depe makanan juga kurang jelas. (saya sebenarnya kurang suka menghadiri pelaksanan ritual Padungku Selain karena Padungku merupakan ritual Kekristenan, ketidak jelasan bahan makanan dan cara pengolahannya menjadi alasan ketidaksukaannya.65 Sebagai seorang Muslim yang taat tentunya dia harus tetap berpijak pada apa yang diimaninya. Karena itu selama ini dia kurang melibatkan diri dalam pelaksanaan ritual Padungku. Adanya percakapan awal yang menghasilkan kesepakatan, merubah sudut pandangnya terhadap jamuan makan bersama ritual Padungku. Ia menjadi lebih berani hadir dalam pelaksanaan ritual Padungku sebagaimana yang dilakukannya pada tanggal 10 September 2021. Karena itu ia sangat setuju jika dalam ikatan pertemanan sebagai rekan sekerja perlu dilakukan percakapan terkait menu makanan yang akan disajikan dalam pelaksanaan ritual Padungku.66
65 Informan 14, Wawancara Penulis, Poso-Sulawesi Tengah, 6 Oktober 2021.
66 Informan 14, Wawancara Penulis, … 6 Oktober 2021.
83
Tamu yang satunya memiliki pandangan yang agak berbeda dengan sebelumnya. Ia mengakui bahwa ritual Padungku bukanlah hal yang asing baginya. Sebagai orang yang lahir dan besar di Kota Poso, ia memiliki banyak kenangan masa lalu tentang kebersamaan dalam ritual Padungku. Ia sebenarnya tidak terlalu mempersoalkan aspek makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku.67 Namun baginya aspek makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso memang perlu didiskusikan lebih jauh. Ia melihat bahwa asing-masing orang memiliki pandangan tersendiri tentang makanan dalam ritual Padungku.68 Karena itu ia sangat berterima kasih atas kesediaan mendiskusikan menu yang disediakan dalam jamuan makan bersama ritual Padungku tanggal 21 September 2021.
Tamu yang selanjutnya adalah seorang pendatang baru di Kota Poso yang lahir dan dibesarkan di Kota Kota Palu. Pekerjaan dan pernikahan telah mengharuskan dia untuk tinggal dan menetap di Kota Poso. Sebagai seorang Muslim, ia sangat memahami bahwa Padungku adalah ritual Kekristenan yang dilaksanakan dalam bentuk jamuan makan bersama. Sekalipun demikian, ia sebenarnya tidak ragu untuk menghadiri pelaksanaan ritual Padungku. Tetapi peringatan dari saudara dan kerabatnya soal kejelasan pengolahan makanan dalam jamuan makan bersama ritual Padungku cukup membebani pikirannya.69 Baginya, mempercakapkan menu makanan yang akan dihidangkan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menghilangkan keraguan. Itulah yang ia rasakan saat menghadiri ritual Padungku tanggal 10 September 2021.
Menurut dia, apa yang sudah dilakukan tanggal 21 September 2021 perlu dipertahankan dan ditingkatkan.70 Terlihat harapan besar untuk sebuah hubungan antaragama yang lebih baik di Kota Poso, dibalik ungkapannya. Segala sesuatu yang baik untuk kebersamaan tentunya memang perlu untuk di pertahankan dan ditingkatkan.
67 Informan 15, Wawancara Penulis, Poso-Sulawesi Tengah, 6 Oktober 20221.
68 Informan 15, Wawancara Penulis, … 6 Oktober 2021.
69 Informan 16, Wawancara Penulis, Poso-Sulawesi tengah, 6 Oktober 2021.
70 Informan 16, Wawancara Penulis, … 6 Oktober 2021.
84
Rangkaian hasil percakapan di atas dapat menjadi dasar untuk menegaskan peran penting
“makanan nasional” dalam ritual Padungku di Kota Poso sebagai jembatan yang dapat mengatasi perbedaan konsep makanan yang selama ini membatasi kebersamaan Muslim Kristen. “Makanan nasional” sebagai hasil dari percakapan awal dan kesepakatan pengolahan menu, menampung berbagai perbedaan konsep makanan. “Makanan nasional” ini membuka kemungkinan baru jalinan kebersamaan pada jamuan makan bersama ritual Padungku. Lebih jauh “makanan nasional” ini telah menjembatani perbedaan konsep makanan dalam ritual Padungku di Kota Poso pasca konflik. Demikianlah proses kehadiran “makanan nasional” yang telah menjembatani perbedaan konsep makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso.
IV.5 Kesimpulan
Padungku adalah ritual budaya selesai panen padi To Pamona di Poso yang telah bertransformasi menjadi ritual pengucapan syukur tahunan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Ritual Padungku telah menjadi perayaan bersama yang mempertamukan berbagai komunitas di Kota Poso. Pada perkembangan selanjutnya, aspek makanan telah membatasi kebersamaan dalam pelaksanan ritual Padungku di Kota Poso. Konflik antaragama yang mendorong penguatan identitas agama, semakin mempertajam perbedaan konsep makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Perbedaan konsep makanan telah menyebabkan ritual Padungku menjadi perayaan yang tertutup bagi kehadiran komunitas Muslim di Kota Poso.
Sejak tahun 2020 muncul konsep baru hidangan makanan dalam pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso. Konsep baru hidangan makanan tersebut oleh masyarakat Kota Poso dikenal sebagai “makanan nasional”. Amatan pelaksanaan ritual Padungku di Kota Poso tanggal 10 September 2021 memperlihatkan bahwa konsep “makanan nasional” ini menjembatani perbedaan konsep makanan. “Makanan nasional” ini mempertemukan kembali komunitas Muslim Kristen di Kota Poso dalam jamuan makan bersama.