• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB II"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB 2

SPIRITUAL CAPITAL

ARTI DAN MAKNANYA

Spiritual capital yang menjadi fokus dalam tulisan ini bukan berdiri sendiri. Sebagai capital atau modal, spiritual capital adalah salah satu dari sekian capital yang ada dalam diri manusia dan didaya-gunakan oleh manusia untuk membangun diri, sesama dan alam sekitar. Apa itu sebenarnya spiritual capital? Apa kaitannya dengan capital yang lain? Dalam Bab 2 ini penulis berupaya mengulas jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama urain tentang spiritual capital, apa itu sebenarnya spiritual capital. Mengapa spiritual capital ini dimunculkan sebagai salah satu capital yang begitu penting? Hal ini ada kaitannya dengan esensi manusia itu sendiri.

Spiritual capital tidak berdiri sendiri. Ada capital yang lain. Capital yang yang lain itu dijelaskan dan bagaimana setiap capital itu berperan dan bagaimana ada keterkaitan antara capital-capital itu dengan spritual capital. Pokok inilah yang menjadi fokus dalam Bab 2 ini.

PENGERTIAN ISTILAH

‘SPIRITUAL CAPITAL’

(2)

16

hasil-hasil pembangunan. Kegiatan membangun itu didorong oleh pengetahuan dan intuisi manusia. Oleh karena itulah pengalaman dan pengamatan yang sifatnya konkrit dan aksidental, dapat terwujud hanya karena adanya faktor yang lebih tinggi dan lebih kuat, yaitu pengetahuan dan intuisi yang bersifat abstrak dan transendental (Cheryl Moana Rowles Waetford 2007:8-15).

Hasil pembangunan yang sifatnya konkrit, aksidental (sementara), bergantung pada ‘spiritual capital’ yang sifatnya abstrak dan transendental. Jadi Müller masih menyama-artikan dua istilah ini : ‘moral capital’, dan ‘spiritual capital’ (Cheryl Moana Rowles Waetford, 2007:8).Max Weber (1864-1920) melanjutkan pendapat Müller dengan mengatakan bahwa ada kaitan erat antara pola kepercayaan dengan kegiatan sosial dan pola kepercayaan dengan kegiatan perdagangan. Kegiatan sosial termasuk perdagangan itu mempunyai hubungan timbal-balik dengan kepercayaan yang dianut oleh orang kristen Protestan. Weber berpendapat bahwa perubahan sosial itu dipicu oleh agama. Dalam agama, menurut Weber, khususnya kristen Protestan, ada faktor pendorong yang kuat untuk kemajuan dunia perdagangan, dan faktor itulah yang secara implisit dimaksudkan dengan ‘spiritual capital’.

Gary Becker (1964) seorang ahli ekonomi, pemenang hadiah Nobel menegaskan pendiriannya tentang ‘human capital’ dalam pembangunan, dan dalam ‘human capital’ itu terdapat ‘spiritual capital’. Gary Becker mengemukakan pendapatnya itu untuk mengkritik teori ekonomi klasik yang membatasi diri pada tiga ‘capital’, atau modal, yaitu: tanah, tenaga kerja dan alam. Pendapat ini memberikan tempat sentral untuk manusia sebagai pelaku pembangunan dan apa pun saja yang dilaksanakan harus diarahkan kepada kesejahteraan manusia itu sendiri.

(3)

17 menempatkan dan mendorong orang untuk berprestasi. Seluruh ‘capital’ ini didorong dan disemangati oleh ‘spiritual capital’ yang muncul dalam dan dari ‘religious capital’ (kekuatan dari ajaran dan tradisi agama tertentu) yang membuat manusia itu terdorong untuk berbuat baik bagi masyarakat.4 James Coleman (1990) melanjutkan pemikiran Bordieu

bahwa ‘social capital’ adalah payung yang berada di atas semua kapasitas untuk berelasi dalam masyarakat. Dan James Coleman juga searah dengan Bordieu yang mengemukakan bahwa dalam ‘social capital’ itu ada kekuatan dan pendorong, dan secara implisit, inilah ‘spiritual capital’.

Robert Putnam (2000) terkenal dengan ‘social capital’ yang dibedakan antara dua bentuk: bridging form dan bonding form. Menurut Putnam, ‘bonding socialcapital’ membangun hubungan antara anggota kelompok dan memperkuat kohesi sosial. Sedangkan ‘bridging social capital’ menjalin hubungan antara individu dari kelompok yang berbeda dan dengan demikian melahirkan jejaring (network) antar kelompok. Gerakan baik di dalam masyarakat sendiri (bonding form) maupun antar masyarakat (bridging form) secara implisit didorong oleh satu kekuatan yang tidak terlihat, yaitu: ‘spiritual capital’.

Bradford Verter (2003) seorang sosiolog Amerika Serikat dengan tegas berbicara tentang ‘spiritual capital’ sebagai kekuatan (power) yang menguasai dan mendorong manusia untuk bertindak dalam situasi apa pun saja. Verter membedakan ‘spiritual capital’ atas tiga ranah atau keadaan (state): embodied state (pembiasaan / habitus ), objectified state (perwujudan) dan institutional state (pelembagaan). Embodied state (pembiasaan/habitus), adalah kebiasaan hidup, bergaul dan berperilaku sesuai pendidikan dalam agama tertentu. Objectified state

4 Dalam pendapat Bordieu ini terlihat titik tolak yang dipakai ialah

pandangan yang dikaitkan dengan agama sebagai sumber spiritual capital. Jadi ada agama baru ada spiritual capital. Agama dilihat sebagai sumber spiritual capital. Hal inilah yang harus dikoreksi. Bukan agama yang melahirkan

(4)

18

(perwujudan) merupakan pengejawantahan ajaran dan tradisi dalam ilmu teologi, beribadat, simbol-simbol keagamaan dan upacara-upacara liturgis. Dalam keadaan ini, agama dapat dilihat dan dialami secara konkrit. Institutional state (pelembagaan) nyata dalam lembaga-lembaga agama yang berwenang menjaga dan melanjutkan ajaran dan tradisi dari agama itu. Jadi Verter mengartikan ‘spiritual capital’ itu ada di dalam lingkup agama.

Laurence Iannaccone (2003) mengemukakan satu istilah yang lain, ‘religious human capital’ dengan suatu definisi: “bentuk-bentuk kepercayaan dan pola tindak keagamaan yang mempengaruhi seluruh siklus hidup, berlangsung antar generasi dan antar keluarga serta antar kenalan”. (Patterns of religious beliefs and behaviour, over the life-cycle, between generations, and among families and friends) (Dikutip oleh Cheryl Moana Rowles Waetford, 2007: 16).

Roger Finke dan Rod Stark (2000) mengemukakan definisi yang hampir sama dengan Iannaccone hanya dalam rumusan yang lebih padat dan berbunyi sebagai berikut, “derajat penguasaan dari dan keterpautan pada kebudayaan religius tertentu”. (The degree of mastery of and attachment to a particular religious culture).

Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi, “Spiritual capital refers to the power, influence and dispositions created by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice”. (Spiritual capital merujuk pada kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi). Kelompok Pasadena ini menyatakan bahwa definisi tersebut merupakan penemuan mereka dan mereka memegang hak cipta / copyright © The RM Institute 2007, 2008 (The RM Institute’ , RM = Research Method).

Dalam definisi yang terakhir ini, terlihat dua bahagian: bahagian pertama terdiri dari tiga unsur, bahagian kedua terdiri dari tiga unsur pula.

Bahagian pertama: merujuk pada kekuatan, pengaruh dan keadaan. Jadi spiritual capital ini keterpaduan dari tiga unsur:

(5)

19 mendayagunakan semua ‘capital’ yang ada. Berarti, sesuatu yang dihasilkan itu harus demi kesejahteraan manusia sebagai hasil dari pembangunan yang utuh dan menyeluruh.

Kedua, Pengaruh (influence). Kekuatan tadi tidak terkurung dalam diri manusia pribadi atau kelompok. Kekuatan itu mendorong manusia untuk beraksi. Itu pengaruh dari dalam. Hasil dari aksi itu nampak dalam hal-hal yang konkrit di luar diri manusia. Dan proses dari pengaruh yang ke luar dari diri manusia dan menyata di luar dirinya, kembali lagi mempengaruhi manusia. Ada saling mempengaruhi, timbal-balik.

Ketiga, Keadaan (dispositions). Keadaan yang dimaksudkan di sini ialah kenyataan yang terlihat dalam keseluruhan pola tindak dan hasil-hasil kegiatan yang ada dari masyarakat tertentu.

Bahagian kedua: yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi. Bahagian kedua ini dihubungkan oleh kata ‘created’ (diciptakan, tercipta, terjadi), sehingga dalam kalimat pasif, bahagian ini menjadi penyebab (causa) untuk bahagian pertama. Jadi tiga unsur dalam bahagian pertama: kekuatan, pengaruh dan keadaan, berasal dari tiga unsur dari bahagian kedua ini. Yang pertama adalah akibat, yang kedua ini penyebab.

Tiga unsur dari bahagian kedua itu, ialah:

(6)

20

zaman tertentu (Aloysius Pieris, 1996: 22-28). Kepercayaan rohani ini bukan agama, melainkan keadaan dalam diri manusia yang mendorong dirinya untuk beragama.

Kedua, Pengetahuan rohani (spiritual knowledge). Kepercayaan rohani itu dirumuskan entah secara lisan (dalam agama asli) atau secara tertulis (dalam agama monoteis besar seperti: Yahwismus, Kristen, Islam) menjadi pengetahuan yang didalami dan diwartakan dari generasi ke generasi baik ke dalam kelompok (missio ad intra) maupun ke luar kelompok (missio ad extra) (Aloysius Pieris 1996:67-72).

Ketiga, praktek rohani (spiritual practice). Praktek rohani ini meliputi kegiatan doa dan ritus/upacara serta pembuatan sarana dan prasarana yang ditata untuk kepentingan keagamaan. Semua praktek rohani ini yang pada mulanya spontan, kemudian diatur oleh lembaga keagamaan demi adanya kebersamaan dan keberlangsungan suatu kepercayaan atau agama.

Dua bahagian dari definisi ini dengan masing-masing tiga unsurnya dihubungkan dengan kata-kata keterangan milik: ‘by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice” (oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi). Jadi orang atau organisasi/kelompok itulah yang menjadi pemilik dari kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani yang menyebabkan timbulnya kekuatan, pengaruh dan keadaan yang semuanya terpadu dalam rumusan: ‘spiritual capital’.

Sesudah mengkaji berbagai pendapat tentang spiritual capital ini penulis berpendapat, spiritual capital itu ada dalam diri manusia secara pribadi dan kelompok kecil dan besar sebagai bawaan dalam kodrat manusia. Spiritual capital merupakan pemberian cuma-cuma dari Pencipta kepada manusia. Pemberian cuma-cuma dalam bahasa Latin disebut gratia atau dalam bahasa Arab, rahmat yang masuk dalam kosakata bahasa Indonesia dan dikenal istilah rahmat sebagai pemberian dari Pencipta kepada manusia.

(7)

21 dalam diri manusia. Oleh Pencipta diberikan lagi kepada manusia, capital yang lain yaitu akal budi, nalar atau dalam kaitan sebagai modal untuk berkarya, nalar ini dikenal sebagai intellectual capital. Pada kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun terlihat bahwa manusia itu secara pribadi tidak dapat berdiri sendiri. Dia harus bersama manusia lain. Kemampuan untuk bergaul, berkenalan dan bekerjasama dengan orang lain inilah yang dikelompokkan dalam kemampuan bermasyarakat atau social capital. Daya kehidupan dalam manusia yang digunakan secara teratur melalui akal budi dalam kerjasama dengan orang lain hanya dapat terwujud dalam benda-benda yang nyata. Benda-benda yang tersedia untuk didaya-gunakan itulah yang dinamakan modal bendawi atau material capital. Tubuh manusia itu sendiri masuk kategori ini, material capital.

(8)

22

akal-budi (Latin, intellectus; Inggris, intelligence, intellectual) sehingga dipakai istilah intellectual capital. Naluri terarah kepada tentang kecenderungan pada yang lain, ketertarikan pada sesama (Latin, socius, teman; Inggris, society,social) sehingga dipakai istilah social capital. Nafsu terarah kepada pendaya-gunaan benda-benda oleh manusia yang dirinya sendiri juga adalah benda yang mendaya-gunakan benda lain(Latin,materia, benda; Inggris, matter, material, benda/bendawi) sehingga digunakan istilah material capital. Empat unsur ini ditampilkan dalam gambar 8 dan 9.

Dalam gambar 8 dikemukakan empat capital dengan pengisitilahan yang lain. Spiritual capital diistilahkan dengan istilah Indonesia, nurani. Intellectual capital diistilahkan dengan nalar. Social capital dengan istilah naluri. Material capital diistilahkan dengan kata nafsu dalam arti yang netral, yaitu dorongan dan ketertarikan manusia yang terarah kepada benda. Benda dalam hal ini dikenal pula dengan istilah jasmani. (Van Peursen, 1983:23). Keempat capital ini merupakan empat aspek yang berdiri sendiri dalam ikatan yang erat antara satu dengan yang lain.

nafsu

nurani nalar naluri

(9)

23 Kesatuan antara empat capital dalam diri manusia itu dilukiskan dalam gambar 9 di mana empat capital itu berada dalam satu segi-tiga yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Manusia dari kodratnya mempunyai empat capital itu sebagai pemberian langsung dari Pencipta. Empat capital itu dapat dibedakan dalam penampilannya. Dalam gambar 9, nalar berada di puncak dari segitiga. Nalar (intellectual capital) itu merupakan kemampuan manusia untuk berpikir dan mencari tahu tentang diri dan di luar dirinya (Driyarkara 1956/2006:62-67). Sering nalar diartikan dengan akal budi. Naluri (social capital) ditempatkan di dasar segitiga sebelah kiri dalam gambar 9. Naluri ini kemampuan manusia untuk hidup bersama orang lain dan bersama orang lain. Dengan naluri inilah manusia itu memanusiakan diri (hominisasi) dan memanusiawikan diri (humanisasi) (Driyarkara 1956/2006: 366-375; 398-399). Di dalam gambar 9, sudut kanan ditempati oleh segitiga yang ketiga, nafsu (material capital). Nafsu di sini tidak diartikan khusus dalam arti negatif seperti nafsu marah, nafsu mencuri dan nafsu membunuh. Tetapi istilah nafsu di sini diberi arti yang netral misalnya nafsu makan, dorongan untuk makan, nafsu tidur, dorongan untuk tidur. Jadi nafsu di sini mencakupi segala macam dorongan manusia untuk menguasai dan memiliki diri dan benda lain di luar dirinya. Tiga capital ini, intellectual, social dan material harus dikendali oleh capital

nafsu nurani

nalar

naluri

Gambar 2 Kesatuan empat segi kehidupan. Empat segi kehidupan itu merupakan satu kesatuan

(10)

24

yang keempat yaitu spiritual capital. Atas dasar itulah dalam gambar 9, segitiga naluri (spiritual capital) ditempatkan di tengah.

Jadi pada kenyataannya, empat segi kehidupan itu menyatu dalam diri pribadi seorang manusia, tak terpisahkan dan saling melengkapi. Manusia itu terdiri dari empat segi ini dan empat segi ini merupakan satu kesatuan capital atau modal untuk hidup.

PEMAHAMAN TENTANG

‘SPIRITUAL CAPITAL’

Berdasarkan penelusuran kronologi terjadinya rumusan ‘spiritual capital’ dalam nomor 2.1, terlihat ada satu pergeseran dari ‘agama’ ke ‘sosial’, dari yang sakral ke yang profan. Pengetahuan dan praktek rohani dilihat sebagai basis munculnya kekuatan, pengaruh dan keadaan yang terjadi dalam diri pribadi atau kelompok tertentu untuk membangun.

Kelompok Pasadena (2008) jelas menunjuk warnanya sebagai kelompok penganut ‘spiritual capital’ yang bernuansa humanis global. Mereka tidak mendasarkan diri pada agama sebagai titik pijak dalam berlangkah tetapi bertolak dari visi tentang kemanusiaan yang utuh, jasmani-rohani.

(11)

25 dunia di Eropa dengan kualitas hidup yang sangat baik dan berada dalam inti arena persaingan antar kota beragama).

Untuk mewujud-nyatakan visi ini, dicanangkan delapan program oleh Pemerintah wilayah Wales meliputi kota Cardiff: Delapan program itu terdiri dari : 1. menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja dalam kelompok masyarakat (bottom up ); 2. menjamin pendidikan untuk kehidupan; 3. menciptakan masyarakat yang jujur dan adil; 4. mendukung bahasa Welsh sebagai bahasa daerah di samping bahasa Inggris; 5. mempromosikan masa depan yang sehat (healthy future); 6.menjamin lingkunan yang berkelanjutan (sustainable environment); 7. membangun satu bangsa yang kuat dan terpercaya; 8. mengembangkan suatu kebudayaan yang kaya dan beraneka-ragam, dengan mempromosikan Wales sebagai bangsa yang berdua-bahasa dan ber-budaya aneka-ragam (bilingual and multicultural nation).

Jadi kelompok Cardiff menggagaskan ide tentang ‘spiritual capital’ lalu Pemerintah menyambutnya dengan membuat program pembangunan yang sejalan dan sejiwa dengan pengertian ‘spiritual capital’ itu sendiri.

Berdasarkan pemahaman kelompok Cardiff ini sebenarnya setiap orang atau kelompok itu membawa nilai-nilai agama masing-masing dan dihimpun menjadi satu kekuatan yang membangun masyarakat sebagai kesatuan kelompok-kelompok dari agama-agama. Mereka tidak menamakan diri ‘religious capital’, tetapi ‘spiritual capital’ yang mau membantu pemerintahan Kota Cardiff untuk membangun masyarakat kota Cardiff yang hidup rukun saling mengasihi satu sama lain tanpa dibatasi oleh sekat-sekat agama.

Kelompok Chicago (1993) sebagai kelompok yang ketiga, menyatukan pendapat mereka pada ‘etika’, cara berperilaku yang baik. Para utusan dari agama-agama di seluruh dunia ini yang menamakan diri Parlemen Agama-agama mendeklarasikan ‘etika global’ sebagai suatu seruan untuk memperbaiki masyarakat dunia.

Seruan kelompok Chicago ini sangat mengesankan dan mendesak:

(12)

26

atau berpikir positif, bagi perubahan hati. Bersama-sama kita bisa memindah gunung! Tanpa kesediaan untuk mengambil resiko dan kesiapan untuk mengorbankan tidak mungkin ada perubahan fundamental dalam situasi kita! Karena itu, kami mengikatkan diri kepada etik global umum, kepada saling pengertian yang lebih baik, juga kepada pandangan hidup yang menguntungkan secara sosial, mengembangkan perdamaian, dan ramah kepada bumi. Kami mengajak semua laki-laki dan perempuan, yang beragama atau tidak, untuk melakukan hal yang sama.”

Dari tiga kelompok ini yang paling mutakhir pendapatnya adalah kelompok Pasadena. Kelompok Cardiff berkutat pada agama sebagai institusi dan Chicago bertolak dari rumus-rumus etika sebagai ajang spiritual capital. Sedangkan kelompok Pasadena mengandalkan curah pendapat dari tim ahli ekonomi dan sosiologi serta agamawan untuk memperbaiki keadaan masyarakat dunia dari sudut modal atau ‘capital’ yang ada dalam diri pribadi dan kelompok manusia, yaitu ‘spiritual capital’. Sebelum dihasilkan definisi Pasadena, kelompok ini sudah mengadakan berbagai seminar di berbagai tempat di belahan dunia ini dengan tema sentral, ‘spiritual capital’.

Kelompok Pasadena menyatakan bahwa masyarakat itu mempunyai ‘performance’ atau ‘penampilan’ yang kenyataannya dan seharusnya ditunjang oleh empat pilar ‘capital’, yakni material capital,

Kelompok

Cardiff

Kelompok

Chicago

Kelompok

Pasadena

Gambar 3 Tiga kelompok pemrakarsa Spiritual Capital:

(13)

27 intellectual capital, social capital dan spiritual capital. Pribadi yang utuh sebenarnya penampilan diri atas dasar empat modal ini sebagai empat pilar kehidupan manusia. Kelompok Pasadena memrihatinkan keadaan dunia sekarang ini yang sangat mengesampingkan ‘spiritual capital’ dalam pembangunan masyarakat dunia. Semua gejala yang negatif dalam masyarakat, antara lain materialisme, hedonisme dan individualisme disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan kurangnya perwujudan ‘spiritual capital’ dalam hidup sehari-hari.

Perwujudan ‘spiritual capital’ yang dimaksudkan oleh kelompok Pasadena, tidak terbatas pada ranah atau keadaan (state) beragama, pembiasaan (embodied state / habitus), perwujudan(objectified state ) dan pelembagaan(institutional state) seperti yang dikemukakan oleh Verter (2003) dalam pemahamannya tentang spiritual capital’ (Cheryl Moana Rowles Waetford 2007:16-24).

Orang beragama belum tentu menghayati nilai-nilai kemanusiaan dan keilahian yang terpadu dalam spiritual capital. Sebaliknya orang yang menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam spiritual capital dengan sendirinya menghayati nilai-nilai luhur yang diajarkan dan dianjurkan dalam agama mana pun di dunia ini biarpun orang tersebut mungkin tidak menganut salah satu agama pun yang ada pada zamannya. Agama bukanlah prasyarat untuk menghayati spiritual capital dalam hidup seseorang atau sekolompok manusia. Sebaliknya, spiritual capital merupakan prasyarat mutlak bagi orang atau masyarakat untuk menghayati agama yang dianutnya secara benar.

Kelompok Pasadena menganjurkan agar manusia entah secara pribadi atau kelompok, mewujudkan ‘spiritual capital’ sebagai penampilan yang biasa dan tetap dalam hidup harian. Kehidupan beragama ditunjang dengan kehidupan yang mengambil hikmah dari ‘spiritual capital’ yang dimiliki oleh setiap pribadi dan setiap kelompok. Jadi dalam hidup manusia, agama merupakan saluran bagi spiritual capital yang tertanam dalam diri manusia, bukan sebaliknya, spiritual capital merupakan saluran dari ketentuan-ketentuan dalam agama.

(14)

28

dan berlaku secara mutlak. Untuk perwujudan nilai-nilai spiritual capital inilah agama itu ada. Bukan sebaliknya, agama ada baru nilai-nilai spiritual capital itu dirumuskan. Karena religious capital’ milik orang yang seagama dan tergantung pada orang atau kelompok itu untuk membagikannya kepada orang atau kelompok lain. Sedangkan spiritual capital kalau dihayati dengan sendirinya terbagi kepada orang lain atau kelompok lain karena menjadi darah daging dan menjadi milik dari setiap orang atau kelompok.

Ada jarak antara orang yang beragama yang mempunyai religious capital’ yang kokoh dengan orang yang mempunyai spiritual capital’ yang siap diabdikan kepada sesama manusia. Dalam diri seorang yang menampilkan spiritual capital, sudah terakumulasi semua capital’ yang lain, termasuk ‘religious capital’. Orang yang rajin beribadat, luas pengetahuannya tentang agama, ditambah dengan dirinya itu sebagai seorang pejabat dalam lingkaran pemimpin agama, belum tentu dapat menampilkan ‘spiritual capital’ yang benar dan baik. Misalnya kalau ‘dia’ itu rajin beribadat tetapi kurang jujur dalam tugas di kantor atau sekolah, maka ‘spiritual capital’ tidak digunakan atau ditampilkan dengan baik. Atau kalau ‘dia’ itu menjadi penghasut untuk memusuhi orang dari agama lain, sama saja, dia tidak menampilkan ‘spiritual capital’ yang ada dalam dirinya dengan baik dan benar. Jadi ‘spiritual capital’ itu inti (core) dari tindakan manusia. Sebagai inti, tidak berdiri sendiri, tetapi berasal dari pengalaman keberagamaan dan menjiwai kehidupan keberagamaan.

PERANAN ‘SPIRITUAL CAPITAL’

DALAM PEMBANGUNAN

Pemahaman tentang ‘spiritual capital’ dari Kelompok Pasadena ini menghantar pribadi manusia dan masyarakat untuk mengadakan refleksi yang mendalam tentang keberadaan diri pribadinya dan kelompoknya dalam tatanan masyarakat di mana dia berada.

(15)

29 harus dijiwai atau diresapi oleh spiritual capital supaya pembangunan itu kokoh, seimbang dan utuh.

Contoh konkrit: sebuah gedung megah dibangun, pasti dibangun dengan keterpaduan antara material capital (tanah, bahan bangunan, uang), intellectual capital (teknologi), social capital (pengerahan tenaga manusia). Di mana peranan dan tempat spiritual capital? Dalam ketiga-tiganya. Dalam material capital, harus jelas bahwa benda-benda itu bukan hasil curian atau hasil perusakan lingkungan. Dalam intellectual capital, bangunan itu harus terjamin dari segi teknologi tanpa ada penipuan atau pemalsuan mutu barang. Jadi harus ada kejujuran secara intelektual dalam bangunan itu. Inilah namanya spiritual capital yang tidak terlihat dan tak dapat diukur, tetapi harus ada. Dalam social capital (misalnya pengerahan tenaga kerja) harus diperhatikan upah yang adil. Ini sudah masuk dalam wilayah spiritual capital .

Dalam contoh yang konkrit ini jelas terbaca bahwa spiritual capital yang diharuskan ada dalam setiap segi pembangunan itu, ada dalam diri setiap manusia dan kelompok. Hanya timbul pertanyaan, apakah pribadi atau kelompok pembangun itu menyadari dan mendaya-gunakan spiritual capital itu atau tidak. Empat pilar dalam pembangunan ini tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas satu dari yang

material capital (NAFSU)

intellectual capital (NALAR)

social capital (NALURI)

spiritual capital (NURANI)

Gambar 4. Kuadran N. Empat capital pada dasarnya ada secara seimbang dalam setiap pribadi atau

(16)

30

lain. Dalam contoh konkrit tadi, orang dengan mudah mengatakan bahwa itu ‘religious capital’ atau ‘moral capital’. Kedua istilah ini benar tetapi cakupannya tidak luas dan tidak menyeluruh. Spiritual capital mencakup dua-duanya, baik religious capital (pemunculan dari penghayatan Agama tertentu) maupun moral capital (Norma Perilaku sesuai ajaran tertentu). Jadi ‘spiritual capital’ lebih terbuka dan lebih luas serta dalam, karena didasarkan atas kodrat manusia itu sendiri yang terdiri dari segi insani (material) dan segi ilahi ( spiritual).

Kelompok Pasadena mengemukaan bahwa ‘spiritual capital’ itu berlaku untuk tiga level atau tingkatan: pribadi, kelompok dan masyarakat. Pribadi mempunyai ‘spiritual capital’ sendiri yang harus ditampilkan dalam kelompok. Kelompok mempunyai ‘spiritual capital’ sebagai akumulasi dari ‘spiritual capital’ pribadi. Dan kelompok tidak dapat menutup diri, tetapi terbuka untuk masyarakat di luar kelompok. Masyarakat pun mempunyai ‘spiritual capital’ sendiri sebagai akumulasi dari ‘spiritual capital’ kelompok-kelompok. Begitu seterusnya sampai seluruh masyarakat dunia ini mempunyai ‘spiritual capital’ dalam arti menjadi masyarakat yang baik, benar dan indah. Maka ada mata rantai tak terputus yang terjalin dalam masyarakat di level yang lebih luas, nasional, regional dan global.

Penampilan empat capital’ ini akan terlihat dalam etik yang oleh kelompok Chicago disebut ‘etik global’.

“Yang kami maksud dengan etik global bukan sebuah ideologi global atau kesatuan agama di atas semua agama yang ada, dan tentu bukan dominasi satu agama atas agama lainnya. Dengan etik global, kami maksudkan sebuah konsensus fundamental tentang nilai yang mengikat, standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap personal. Tanpa konsensus etik fundamental semacam itu, cepat atau lambat, setiap komunitas akan terancam oleh kekacauan atau penindasan, dan manusia akan menderita”.

(17)

31 sungguh-sungguh akan peranan ‘spiritual capital’ dalam pembangunan. Kelompok Chicago menuntut adanya empat komitmen dari umat manusia saat ini:

Komitmen pada budaya non-kekerasan dan hormat pada kehidupan;

Komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil; Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus; Komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara

laki-laki dan perempuan.

Tidak ada tatanan global baru tanpa etik global baru

(Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel 1999: 21-39).

Tuntutan akan kesadaran manusia sekarang akan peranan ‘spiritual capital’ dalam pembangunan yang holistik, jasmani-rohani, tidak lagi suatu ide yang mengambang, tak berdasar, tetapi sudah merupakan suatu keharusan, tanpa ada tawar-tawar lagi. Sekarang tinggal proses: pemahaman, penyadaran, pengetrapan ‘spriritual capital’ yang adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan dalam diri manusia itu mau diterapkan dalam pembangunan atau tidak.

(18)

32

Dari enam belas macam capital ini, Alex Liu bersama Roger Finke dalam kelompok Metanexus Institute di bawah pimpinan Dana Zohar merumuskan hanya empat modal, yaitu, 1. material capital (modal benda), 2 intellectual capital (modal akal budi), 3. social capital (modal sosial), dan 4. spiritual capital (modal rohani).

Dalam pembangunan terbukti bahwa material capital, intellectual capital dan social capital dimanfaatkan dengan sangat intens, sedangkan spiritual capital diabaikan. Ini berarti alam digarap secara luar biasa malah secara brutal dengan bantuan modal berupa uang (financial capital). Penggarapan alam (natural capital) secara serakah ini meupakan akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (intelectual capital) yang begitu pesat berkembang dan dikuasi serta digunakan untuk keuntungan sesaat tanpa memperhitungkan secara matang risiko bagi manusia yang lain. Penggarapan alam dengan bantuan teknologi mutakhir ini didukung oleh jaringan sosial (social capital) yang begitu kuat di seantero dunia. Sementara itu modal rohani (spiritual capital) diabaikan dengan pemikiran bahwa kerohanian (spiritual capital) yang dikandangkan dalam agama (religious capital) tidak ada sangkut pautnya dengan pembangunan fisik.

Spiritual capital boleh disebut juga modal rohani merupakan capital atau modal yang ada dalam diri manusia sejak adanya manusia itu. Spiritual capital itu ada dalam diri manusia yang adalah roh yang membadan dan badan yang me-roh (Driyarkara 1956/2006: 366-375; 398-399). Kalau dilihat hanya sebagai capital atau modal saja, maka spiritual capital itu merupakan salah satu dari enam belas capital atau modal yang sampai sekarang ini diungkapkan oleh

berbagai ahli dari sudut pandang keahliannya masing-masing (Alex Liu dkk. 2007). 5

5 Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan

menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi, “Spiritual capital refers to the power, influence and dispositions created by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice”. (Spiritual capital

(19)

33

Tabel 1:Bermacam-macam capital atau modal dan pengelompokannya

Nomor Capital/modal Digabungkan ke dalam:

1 material capital

10 educational capital (modal di bidang pendidikan)

11 social capital (modal sosial)

social capital

(modal social/naluri) 12 individual capital, (modal

berupa milik pribadi)

13 erotic capital, (modal dalam daya tarik erotik dari seseorang)

14 political capital (modal di bidang politik)

15 spiritual capital

(modal rohani). spiritual capital

(modal rohani/nurani) 16 religious capital

(modal agama)

Sumber: Ditabulasikan berdasarkan uraian dari kelompok

(20)

34

Satu kelompok ahli dari kelompok Pasadena (The RM Institute’ , RM = Research Method, 2007-2008) merangkum semua capital yang berjumlah enam belas capital itu ke dalam empat kelompok besar atau hanya empat capital saja, yaitu material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital. Mereka tidak mempersoalkan arti dan peranan dari tiga capital yang lain, material capital, intellectual capital, social capital. Mereka memfokuskan diri pada spiritual capital dengan alasan bahwa kepincangan dalam pembangunan secara menyeluruh di dunia saat ini karena masyarakat global sedang mengabaikan arti dan tempat serta peranan spiritual capital dalam pembangunan. Penekanan terlalu material capital sambil mengabaikan spiritual capital, membuat manusia semakin materialistis, egoistis dan hedonistis. Penekanan terlalu pada intellectual capital sambil mengabaikan spiritual capital, masyarakat semakin intelektualistis dan mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi sampai melecehkan sesama manusia dan terutama melecehkan eksistensi Yang Maha Tinggi. Penekanan terlalu pada social capital sambil mengabaikan spiritual capital mengakibatkan masyarakat manusia terjerumus ke dalam korporasi atau persekongkolan jahat antara sesama manusia yang mencelakakan diri sendiri. Inilah masyarakat dunia kita sekarang ini yang dilukiskan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai “Monster yang memangsa dirinya sendiri” (Danah Zohar dan Yan Marshall 2004: 53).

Kedua orang ini mengatakan bahwa masyarakat internasional sekarang ini sedang membuat diri stress karena ulahnya sendiri yaitu tindakan ‘despiritisasi’, menghindari malah mau menyangkali adanya roh dalam diri dan di luar diri sehingga manusia baik pribadi maupun kelompok, semakin keropos, tak bertulang, sakit dan sakit yang paling parah yaitu sakit jiwa. Gejala gunung es yang sudah mulai muncul, kasus-kasus bunuh diri6 yang terjadi di mana-mana merupakan akibat

dari ‘despiritisasi’ ini, atau dengan kata lain, mengabaikan spiritual capital oleh manusia yang tertanam dalam diri setiap manusia yang sedang diabaikan pemberdayaannya dalam kegiatan pembangunan diri, sesama dan alam sekitar. Keluhan tentang kebobrokan tindakan manusia ini sudah diungkapkan oleh Driyarkara pada tahun 1956

6 Ada data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, tercatat kasus bunuh diri di

(21)

35 dengan mengungkapkan bahwa ibu kota (Jakarta) itu “ pusat kebudayaan juga pusat kebuayaan”. (Driyarkara 2006/1956: 603).

Kelompok Pasadena secara tegas membuat satu rumusan khusus tentang apa itu spiritual capital. Mereka membuat satu definisi: Spirituaal capital adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi. (The RM Institute’ , RM = Research Method, 2007-2008). Untuk mengungkapkan apa itu spiritual capital dalam kaitan dengan setiap capital dan implikasinya dalam pembangunan, penulis kemukakan ulasan dalam Bab 2 ini.

PENGELOMPOKAN MACAM-MACAM CAPITAL

ATAS EMPAT CAPITAL

Enam belas capital yang sempat terhimpun sampai sekarang mempunyai makna dan tujuan masing-masing. Setiap capital itu dikaitkan dengan makna dan peranannya masing-masing dalam pembangunan. Enam belas capital itu dikelompokkan dalam empat gugus dan setiap gugus itu menjadi satu aspek yang mengungkapkan hal-hal yang paling esensial dalam diri manusia.

financial capital economic

capital

Material Capital natural

capital

health capital

Gambar 5. Lima capital digabungkan menjadi material capital.

(22)

36

Pengelompokan atas empat aspek ini dibuat oleh kelompok studi dari Pasadena – Amerika Serikat (The RM Institute 2007, 2008).

Gugus capital yang pertama terdiri dari lima capital, yaitu (1) material capital (modal benda), (2) natural capital (modal alam), (3) financial capital (modal uang), (4) economic capital, (modal di bidang ekonomi), (5) health capital, (modal berupa kesehatan jasmani). Lima capital ini dikelompokkan menjadi satu aspek saja yaitu material capital.

Dalam kelompok pertama, material capital ini terlihat penggabungan antara, pertama benda-benda (material capital) di mana tubuh manusia itu sendiri termasuk benda. ( Van Peursen 1983: 36-37). Sebagai benda, manusia itu terikat pada alam sekitar (natural capital) yang juga adalah benda. Untuk mengupayakan adanya benda dari tempat lain, system perekonomian mengisyaratkan adanya financial capital (modal uang). Manusia yang sehat sajalah yang dapat bekerja secara optimal. Atas dasar itulah health capital dimasukkan dalam kelompok ini (Iannaccone 2003:1-2). Empat capital ini menggerakkan dan digerakkan oleh system ekonomi yang disebut economic capital. Rasionalisasi inilah yang mendasarkan penggabungan lima capital itu dalam satu kelompok menjadi satu capital, yaitu material capital. Penulis meng-indonesia-kan konsep ini ke dalam konsep yang lazim di Indonesia yaitu modal berupa dorongan dan ketertarikan manusia dari benda ke benda lain dan istilah yang penulis gunakan ialah nafsu.

educational capital

cultural capital

symbolic capital Intellectual

capital

human capital

(23)

37 Sebagai konsep kerja, dalam tulisan ini kelompok pertama ini penulis berikan kode N1 sebagai modal yang pertama. Konsep-konsep tentang capital dalam kelompok pertama ini dimunculkan dari para pencetusnya, Gary Becker, Coleman dan Bordieu (Iannaccone 2003:2).

Kelompok yang kedua adalah kelompok intellectual capital

terdiri dari lima capital juga. Kelima capital itu terdiri dari (1) intellectual capital (modal akal budi), (2) cultural capital (modal

kebudayaan), (3) symbolic capital (modal dalam bentuk gelar dan status), (4) human capital (modal manusia), (5) educational capital (modal di bidang pendidikan).

Lima capital ini dikelompokkan di bawah judul intellectual capital atas kedekatan mereka satu sama lain yang berkaitan dengan akal-budi atau intelek manusia sehingga disebut intellectual capital (Roger Finke 2003: 2).

Dalam kelompok kedua, intellectual capital ini terlihat penggabungan antara, pertama akal budi manusia (intellectual capital) sebagai pengendali yang mengaktifkan manusia untuk berbudaya sehingga muncul cultural capital. Bermacam-macam gelar dan status yang dinamakan symbolic capital masuk dalam kelompok ini. Secara keseluruhan manusia yang berakal budi cerdas dan berbudaya itulah yang menjadi modal dalam pembangunan yang disebut human capital. Dan manusia yang tampil sebagai orang intelek, berbudaya, berdaya itu merupakan hasil dari suatu proses pendidikan sehingga keadaan ini dilukiskan sebagai educational capital.

Gambar 7. Empat capital digabungkan menjadi social capital. (Sumber Anton Bele, dipadukan dari kelompok Pasadena 2004)

political capital

Individual capital

social capital

(24)

38

Kelompok ketiga adalah social capital (Putnam dalam Iannaccone 2003:3). Dalam kelompok ini terhimpun empat capital. Kedekatan dari empat capital ini satu sama lain menjadi alasan untuk digabungkan bersama social capital menjadi kelompok social capital yang terdiri dari, (1) social capital (modal sosial), (2) individual capital, (modal berupa milik pribadi), (3) erotic capital, (modal dalam daya tarik erotik dari seseorang) dan (4) political capital (modal di bidang politik).

Dalam kelompok ketiga, social capital ini kesadaran manusia akan dirinya sebagai pribadi itu menjadi penting karena dia akan bertemu dengan pribadi-pribadi yang lain. Itu termasuk dalam individual capital. Sudah hukum alam, manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan ini ada rasa ketertarikan satu sama lain dan ini dimungkinkan oleh adanya satu modal ini, erotic capital. Tanpa mendaya-gunakan capital ini, manusia sudah lama punah. Pertemuan manusia dengan manusia yang sekian banyak dan berhimpun di satu tempat pada satu kurun waktu tertentu perlu ada pengaturan. Dan pengaturan itulah yang terjadi dalam kemampuan manusia untuk berpolitik dalam arti yang tulus dan murni yaitu mengupayakan kesejahteraan bersama. Itulah political capital. Wajar kalau empat capital ini digabungkan di bawah satu judul, social capital.

Kelompok keempat adalah spiritual capital. Dalam kelompok ini terhimpun dua capital yang terdiri dari (1) spiritual capital (modal rohani) dan (2) religious capital (modal agama). Kedekatan dari dua capital ini satu sama lain menjadi alasan untuk digabungkan menjadi kelompok spiritual capital.

religious capital

Spiritual capital

Gambar 8. Dua capital : religious capital digabungkan menjadi

spiritual capital.

(25)

39 Dalam kelompok keempat ini religious capital itu begitu erat berkaitan dengan spiritual capital sehingga dua capital ini digabungkan menjadi satu capital yaitu spiritual capital. Nama yang diberikan bukan religious capital tapi spiritual capital karena spiritual capital itu lebih mendasar dan lebih umum daripada religious capital. Religious capital itu muncul dari pengalaman beragama, sedangkan spiritual capital itu bukan muncul atau dimunculkan tetapi diletakkan oleh Pencipta dan berada langsung dalam diri manusia sebagai sesuatu yang kodrati (Rachmat Subagya 1981: 64-66).

KETERPADUAN EMPAT CAPITAL

Munculnya istilah empat capital sebagai satu kerangka teori merupakan hasil studi kelompok Pasadena yang belum terlalu lama, baru pada tahun 2007 pemahaman ini dimunculkan dan dirumuskan

(The RM Institute’, RM = Research Method, 2007-2008). Bagaimana keterpaduan antara empat capital itu, material, intellectual, social dan spiritual capital dalam diri manusia?

(26)

40

tanda suatu perlakuan adi-kodrati, menggantungkan hidup pada kuasa Yang Maha Tinggi (Frans Magnis-Suseno 2005: 66-70).

Manusia bekerjasama dengan sesama untuk menggarap tanah agar ada hasil untuk dimakan, itu suatu perlakuan manusia terhadap manusia lain dalam alam sekitar secara kodrati. Bahwa manusia itu ada bersama yang lain dan saling mengadakan merupakan tuntutan kodrat. Menghargai keberadaan sesama ini atas dasar kesamaan kodrati itu merupakan tuntutan kodrati juga. (Van Peursen 1983: 174-5). Tetapi keberadaan itu harus diarahkan kepada keberadaan yang lebih tinggi sampai kepada keberadaan manusia sesudah hidup di dunia ini merupakan suatu kesadaran adi-kodrati. Ini merupakan kesadaran dari manusia yang adalah roh dan menyadari diri dan sesama manusia lain itu sama-sama roh yang akan mengalami hidup sesudah hidup di dunia ini. Inilah yang namanya kesadaran rohani atau dalam tulisan ini disebut spiritual capital (Danah Zohar dan Ian Marshall 2004/2005: 16).

Dengan uraian ini keterpaduan itu nampak dengan jelas bahwa manusia yang adalah badan (materia) 7yang menampung dalam dirinya

roh (spiritus) membutuhkan sesama (socius) dengan penuh kearifan akal (intellectus). Manusia sebagai materi menampung modal bendawi atau material capital. Dalam dirinya ada roh yang memampukan manusia itu mempunyai dorongan rohani atau spiritual capital. Manusia itu juga membutuhkan manusia lain dan dorongan serta kemampuan untuk ada bersama orang lain inilah yang disebut social capital. Untuk menata ketiga kemampuan itu manusia dibekali dengan kemampuan akal budi (intellectus) dan itulah intellectual capital (J.W.M. Bakker SJ 1984:18)

KESIMPULAN

Pemahaman tentang spiritual capital ini sementara diperbincangkan di banyak tempat di seantero dunia sebagai satu kerangka teori yang dirumuskan untuk merobah pemahaman manusia dari pemahaman yang dangkal tentang keberadaan manusia kepada pemahaman yang lebih mendasar bahwa manusia itu terdiri dari badan dan roh. Di dalam badan ada capital atau modal untuk bergerak,

(27)

41 bertumbuh dan berbuat sesuatu secara bertanggung-jawab. Capital itu dipadatkan pemahamannya pada empat unsur, yaitu material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital. Setiap manusia dilengkapi dengan empat capital ini yang merupakan sesuatu yang kodrati, tertanam dalam diri manusia sebagai sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma (gratis, gratia = rahmat) oleh Pencipta.

Ada paradigma yang diterima umum bahwa manusia itu makhluk ciptaan Pencipta yang terdiri dari badan dan roh. Badan itu fana, akan mengalami akhir dan kehancuran. Roh itu abadi, tidak akan mengalami akhir. Tiga capital yang dapat terlihat dan terpantau ialah material capital, intellectual capital, social capital. Untuk semakin menjelaskan apa itu spiritual capital dipakai lagi satu fenomen yang terwujud dalam kebiasaan orang-orang suku Buna’.

Jadi di antara empat capital ini, spiritual capital bersama tiga capital yang lain merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam diri manusia. Manusia adalah makhluk berakal budi berarti mempunyai modal untuk berpikir dan itulah intellectual capital. Manusia itu juga mempunyai dorongan, nafsu untuk mengolah dan memiliki benda apa saja yang bermakna bagi dirinya. Dalam hal ini tubuh manusia yang adalah materi, membutuhkan materi yang lain. Dorongan atau nafsu dalam arti positif dari manusia yang adalah materi untuk bersatu dengan materi atau benda di luar dirinya, disebut material capital. Dan dorongan untuk hidup bersama manusia lain itu adalah social capital.

Keseluruhan fenomen dan pendapat tentang capital, khususnya spiritual capital dalam keterikatan dengan tiga capital yang lain merupakan bahan kajian di kalangan masyarakat suku Buna’ sebagai suatu model dalam kehidupan manusia.

(28)

Gambar

Gambar 1  Empat segi kehidupan itu dilihat secara sejajar
Gambar 2   Kesatuan empat segi kehidupan.
Gambar 3  Tiga kelompok pemrakarsa Spiritual Capital:
Gambar 4. Kuadran N. Empat capital pada dasarnya
+6

Referensi

Dokumen terkait

Semua kegiatan kepustakawanan yang dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pustakawan adalah semata-mata ditujukkan untuk pelayanan kepada masyarakat luas umumnya dan

Tipe masyarakat (apakah mandiri atau tergantung) sangat ditentukan oleh kelas yang mendominasi, kalau birokrasi yang menguasai / mendominasi tidak berorientasi ke publik, maka

Pokja IV ULP Kabupaten Belitung Timur, telah melaksanakan pelelangan Seleksi Umum untuk4. DOKUMEN LINGKUNGAN JALAN KABUPATEN BELITUNG TIMUR dengan

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini

yang berjudul “Makna Tanda – tanda Pada Iklan Pariwisata Daerah Pulau Lombok (Studi Semiotik Pada Iklan Televisi Pesona Indonesia Versi Lombok Oleh Kementrian

Sehubungan dengan Paket Pekerjaan PENYUSUNAN DED GEDUNG CRITICAL CARE DAN VIP RUMAH SAKIT(Lelang Ulang) dan sesuai dengan hasil evaluasi Kelompok Kerja IV Unit Layanan

[r]

[r]