• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak pengalaman traumatik dalam pembentukan konsep diri remaja adopsi : sebuah studi kasus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak pengalaman traumatik dalam pembentukan konsep diri remaja adopsi : sebuah studi kasus."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE IMPACT OF TRAUMATIC EXPERIENCE IN FORMING THE SELF-CONCEPT IN ADOPTED ADOLESCENT

(A CASE STUDY)

This study intends to understand the problems faced by the subject and to gain an overview of social development. The obstacles appear due to the pressure that is affected by the rejection and the demands of the society. The subjects expect to be accepted around the community, as well as real experiences that have an impact on the formation of the subject’s self-concept. The condition happened due to the current subject status as an adopted teenager.

The type of this research is descriptive-qualitative research with case study research design. The methods of data collection in this study are observation, home visits, and counseling interviews in an effort to help the subject overcome the problem. The data or information obtained is used to describe the current situation as well as the subject’s problems. The researchers obtained the data from the subject and other resources, so that the researcher can determine the appropriate approach for counseling in providing assistance. The subject of this study is a student of a private university in Yogyakarta, aged 21 years. During the research, the subject was in semester 9.

(2)

DAMPAK PENGALAMAN TRAUMATIK

DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI REMAJA ADOPSI (SEBUAH STUDI KASUS)

Penelitian ini bermaksud untuk memahami permasalahan yang dihadapi subyek dan memperoleh gambaran tentang perkembangan sosial. Hambatan yang nampak, dikarenakan adanya tekanan yang dipengaruhi oleh adanya penolakan dan tuntutan dari masyarakat. Subyek mengharapkan untuk diterima masyarakat sekitar, serta pengalaman nyata yang berdampak pada pembentukan konsep diri subyek. Hal tersebut di latar belakangi oleh status subyek saat ini sebagai remaja adopsi.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi, kunjungan rumah, dan wawancara konseling sebagai suatu usaha untuk membantu subyek mengatasi masalah. Data atau informasi yang diperoleh peneliti manfaatkan untuk menggambarkan keadaan serta permasalahan subyek saat ini. Data peneliti peroleh dari subyek dan beberapa sumber informasi lainnya, sehingga peneliti dapat menentukan pendekatan konseling yang tepat san sesuai dalam memberikan pendampingan. Subyek penelitian ini adalah seorang mahasiswa dari universitas swasta di Yogyakarta, berusia 21 tahun. Saat penelitian berlangsung, subyek duduk di semester sembilan.

(3)

i

DAMPAK PENGALAMAN TRAUMATIK

DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI REMAJA ADOPSI

(SEBUAH STUDI KASUS)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Stanislaus Murdisantana

NIM: 081114026

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,

maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahan sendiri.

Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”

(Mat. 6:33-34)

PERSEMBAHAN

Bersama dengan Tuhan Yesus yang telah memampukanku dan selalu membimbingku dengan segala macam cara-Nya, memberikan petunjuk jalan untuk ku lalui, dan segala anugerah dalam hidupku untuk mengingatkanku juga akan doa,

Maka kupersembahkan skripsi ini untuk yang tercinta:

Ayah, Ibu, dan Kakakku yang Terkasih, Penuh Kesabaran, Kasih Sayang, dan Dukungan Doa.

Lucia Sumiyati, teman-teman keluarga besar BK Sanata Dharma, dan saudara-saudara yang telah banyak membantu dengan segala doa,

(7)
(8)
(9)

vii

ABSTRAK

DAMPAK PENGALAMAN TRAUMATIK

DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI REMAJA ADOPSI (SEBUAH STUDI KASUS)

Penelitian ini bermaksud untuk memahami permasalahan yang dihadapi subyek dan memperoleh gambaran tentang perkembangan sosial yang mengalami hambatan karena tekanan yang dipengaruhi oleh adanya penolakan dan tuntutan dari masyarakat dengan harapan untuk diterima dan pengalaman nyata yang berdampakpada pembentukan konsep diri. Hal tersebut di latar belakangi oleh status subyek saat ini sebagai remaja adopsi.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi, kunjungan rumah, dan wawancara konseling sebagai suatu usaha untuk membantu subyek mengatasi masalah. Data atau informasi yang diperoleh peneliti manfaatkan untuk menggambarkan keadaan serta permasalahan subyek saat ini. Data peneliti peroleh dari subyek dan beberapa sumber informasi lainnya, sehingga peneliti dapat menentukan pendekatan konseling yang tepat san sesuai dalam memberikan pendampingan. Subyek penelitian ini adalah seorang mahasiswa dari universitas swasta di Yogyakarta, berusia 21 tahun. Saat penelitian berlangsung, subyek duduk di semester sembilan.

(10)

viii

ABSTRACT

THE IMPACT OF TRAUMATIC EXPERIENCE IN FORMING THE SELF-CONCEPT IN ADOPTED ADOLESCENT

(A CASE STUDY)

This study intends to understand the problems faced by the subject and to gain an overview of social development. The obstacles appear due to the pressure that is affected by the rejection and the demands of the society. The subjects expect to be accepted around the community, as well as real experiences that have an impact on the formation of the subject’s self-concept. The condition happened due to the current subject status as an adopted teenager.

The type of this research is descriptive-qualitative research with case study research design. The methods of data collection in this study are observation, home visits, and counseling interviews in an effort to help the subject overcome the problem. The data or information obtained is used to describe the current situation as well as the subject’s problems. The researchers obtained the data from the subject and other resources, so that the researcher can determine the appropriate approach for counseling in providing assistance. The subject of this study is a student of a private university in Yogyakarta, aged 21 years. During the research, the subject was in semester 9.

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yesus

Kristus yang telah melimpahkan dan memampukan penulis, sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dapat selesai tentu pula karena adanya

bantuan dari berbagai pihak. Bantuan berupa bimbingan, kritik, saran, dukungan

maupun doa, maka dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang

setulus-tulusnya, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Gendon Barus, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling, serta selaku pembimbing yang dengan sabar dan penuh perhatian

mendengarkan keluh kesah penulis, memberikan kesempatan pada penulis

untuk menulis skripsi dengan model studi kasus pada Program Studi

Bimbingan dan Konseling.

2. Para Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah banyak

memberikan bekal dan bantuan kepada penulis, selama menjalani studi di

Universitas Sanata Dharma.

3. Isan (bukan nama yang sebenarnya), atas kesediaannya menjadi subyek

penelitian dalam skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

dengan baik.

4. Khusus kepada orangtua dan kakak yang telah sabar menanti kelulusan

penulis dalam menyelesaikan studi S1, serta selalu memberikan motivasi,

materi, dan doa restu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

(12)
(13)

xi

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian... 6

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Batasan Istilah ... 9

F. Rencana Terapi bagi Kasus ... 10

BAB II... 11

KAJIAN TEORITIS ... 11

A. Hakekat Remaja ... 11

1. Pengertian Remaja ... 11

2. Ciri-ciri Masa Remaja... 12

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ... 15

B. Konsep Diri ... 17

1. Pengertian Konsep Diri... 17

2. Terbentuknya Konsep Diri... 18

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ... 19

4. Penggolongan Konsep Diri... 21

5. Konsep Diri pada Anak atau Remaja Adopsi ... 22

C. Pengalaman Trauma ... 22

(14)

xii

BAB III... 27

METODE PENELITIAN... 27

A. Desain Penelitian ... 27

B. Subyek Penelitian ... 28

C. SettingPenelitian ... 28

D. Instrumen Penelitian... 29

E. Validasi Data ... 33

F. Teknik Analisis Data ... 33

BAB IV... 35

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Deskripsi Umum Kasus... 35

B. Analisis Lingkungan Keluarga, Sosial, dan Suasana Akademik... 36

C. Sintesis... 46

D. Diagnosis ... 49

E. Prognosis ... 50

F. Pengobatan/Treatment... 50

G. Evaluasi dan Tindak Lanjut... 63

BAB V... 64

KESIMPULAN DAN SARAN... 64

A. Kesimpulan... 64

B. Saran ... 69

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Wawancara ... 31

Tabel 2

Panduan Observasi ………... 32

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini disajikan latar belakang masalah, fokus dan pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan rencana terapi bagi kasus.

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga terbentuk karena adanya ikatan perkawinan yang lazim

yaitu pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

kemudian menjadi sepasang suami dan istri. Pernikahan merupakan suatu

ikatan yang erat, sakral dan suci. Ikatan pernikahan banyak mengandung

kewajiban dan tanggung jawab yang perlu dilaksanakan oleh masing-masing

peran suami dan istri. Dikatakan banyak mengandung kewajiban dan tanggung

jawab, karena perkawinan bukan sekedar cara manusia memuaskan kebutuhan

biologisnya saja, melainkan sebagai pemenuhan dari fungsi kemanusiaan

terhadap kebutuhan untuk saling mencintai. Dari suatu ikatan perkawinan

setiap pasangan suami istri mendambakan keluarga yang bahagia, sejahtera,

dan langgeng. Untuk itu suami istri harus saling membantu dan saling

melengkapi, sehingga masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

untuk mencapai harapan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehadiran

(17)

Kehadiran anak sebagai anggota baru di dalam keluarga menjadi

kebahagiaan tersendiri bagi pasangan suami istri. Dengan hadirnya anak

dalam keluarga, peran pasangan tunggal berubah bukan sekedar peran sebagai

suami istri, melainkan peran suami istri menjadi orang tua bagi anak-anaknya.

Orang tua bertanggung jawab untuk mengasuh anak hingga tumbuh dewasa.

Untuk melengkapi keluarga agar menjadi “Keluarga Ideal”, terdapat pilihan

mempunyai anak kandung atau mengadopsi anak dari orang lain. Adopsi

biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau

pasangan suami istri yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak yang

mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga

bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam

perkawinan, namun ingin memiliki anak, mereka dapat mengadopsi anak

sesuai dengan prosedur yang ada. Keluarga adalah lingkungan sosial bagi

anak untuk mulai tumbuh dan berkembang. Anak mulai belajar bersosialisasi

dengan anggota keluarganya. Setiap anggota keluarga penting pula untuk

memberikan kasih sayang bagi anak tersebut dan bagi setiap anggota lainnya.

Kehadiran anak kandung maupun adopsi di dalam keluarga, tidak

terlepas dari perannya sebagai anggota dalam masyarakat. Proses penerimaan

anak di dalam masyarakat tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja,

khususnya bagi anak adopsi. Ejekan, perlakuan yang berbeda dan juga

sindiran, terkadang menimbulkan tekanan pula bagi si anak, karena

keberadaannya di masyarakat belum dapat diterima dan dihargai. Saat masih

(18)

orang lain terhadapnya, namun pada saat beranjak remaja atau dewasa,

pengalaman masa kanak-kanak dapat diingat kembali dan dapat memicu

timbulnya suatu masalah. Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, anak akan

mengalami berbagai kejadian, entah itu kejadian yang menyenangkan atau

kejadian yang dianggapnya tidak menyenangkan. Kejadian yang tidak

menyenangkan akan dipendam dan direkam dalam ingatan karena

ketidakmampuan anak menyelesaikan permasalahan yang timbul dari kejadian

yang tidak menyenangkan saat itu. Pada saat kejadian yang tidak

menyenangkan yang mirip dengan kejadian sebelumnya terjadi kembali, hal

tersebut akan menjadi beban dan seringkali menimbulkan perasaan

tersinggung, marah, sakit hati, tidak dihargai atau perasaan negatif lainnya.

Apabila anak berada di dalam lingkungan yang tidak mendukung baginya,

anak akan merasa tidak nyaman dan tidak tenang, sehingga muncullah pikiran

dan perilaku untuk “membentengi diri”. Perilaku “membentengi diri” dapat

berupa kurangnya bersosialisasi dengan orang sekitar, menjadi pendiam,

bersikap acuh tak acuh, atau menjadi seorang yang suka memberontak.

Perilaku tersebut muncul karena kejadian yang tidak menyenangkan yang

pernah dialami yaitu, perasaan tidak dihargai kehadirannya di lingkungan

tempat ia berada.

Masalah-masalah yang dialami individu seringkali dan hampir semua

berasal dari dalam diri. Tanpa sadar individu telah menciptakan rantai masalah

yang berasal dari kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan yang pernah

(19)

suatu waktu dapat muncul kembali dan mempengaruhi pembentukan konsep

diri. Konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya. Burns (1993)

menjelaskan konsep diri merupakan pusat dunia seseorang dan kerangka

referensi dalam membuat pengamanan terhadap dirinya. Tiga hal yang

berpengaruh pada pembentukan konsep diri. Pertama, pengalaman masa lalu.

Kedua, kelompok di mana subyek mengidentifikasikan dirinya. Ketiga, peran

dalam kehidupan, yaitu peran yang dicapai oleh subyek seperti kecerdasan dan

keterampilan serta peran sosial yang diberikan oleh masyarakat seperti peran

menurut umur maupun menurut jenis kelamin. Terbentuknya konsep diri

subyek tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya selama hidup.

Anak mulai mengingat kembali kejadian yang tidak menyenangkan

saat masa kanak-kanak dimulai saat anak beranjak pada masa remaja. Dapat

pula kejadian yang tidak menyenangkan yang pernah dialaminya, dialami

kembali pada masa remaja sehingga rentan bagi anak dalam membentuk

konsep diri. Menurut Erikson (1982), masa remaja atau pubertas adalah

sebuah tahapan krusial karena pengertian seseorang tentang identitas muncul

di periode ini. Seringkali individu pada masa remaja harus menolak kebajikan

orangtua atau nilai kelompok sebayanya, sebuah dilema yang semakin

meningkatkan kebingungan identitas. Menurut Erikson (Jess Feist & Gregory

J. Feist, 2008) Kebingungan identitas adalah gejala masalah yang mencakup

gambar-diri yang terpecah-belah, sebuah ketidakmampuan membangun

(20)

tugas-tugas yang disyaratkan, dan penolakan terhadap standar keluarga atau

komunitas.

Pengalaman anak adopsi tidak dihargai kehadirannya yang timbul

saat kanak-kanak dengan adanya cemoohan dan perilaku negatif lainnya,

menimbulkan perasaan-perasaan negatif dan konflik batin yang dapat memicu

timbulnya suatu masalah khususnya pembentukan konsep diri anak pada masa

remaja. Dilihat dari sikap orangtua yang memutuskan untuk melakukan

adopsi, terdapat dua kemungkinan, yakni:

Pertama, tidak dapat menerima kenyataan, di dalam hati pasangan

suami istri ada perasaan memberontak, karena mereka beranggapan adalah

suatu aib apabila mereka tidak dapat melahirkan anak-anak sendiri.

Masing-masing pihak melemparkan kesalahan kepada pihak lain.

Kedua, menerima kenyataan ini dengan rela dan wajar, tidak

menganggap hal ini sebagai suatu kelemahan. Suami istri semacam ini

beranggapan bahwa kebahagiaan suatu keluarga tidak hanya ditentukan oleh

ada tidaknya anak kandung dalam suatu keluarga.

Pasangan itu menganggap adopsi sebagai suatu hal yang wajar dan

tidak perlu ditutup-tutupi, tetapi tidak berarti juga untuk diceritakan kepada

sembarang orang tanpa alasan-alasan tertentu. Sikap anak-anak adopsi

merupakan pantulan dari sikap orangtua yang mengadopsi mereka. Hal inilah

yang menjadi alasan ketertarikan peneliti untuk mengambil judul “Dampak

Pengalaman Traumatik dalam Pembentukkan Konsep Diri Remaja Adopsi”.

(21)

genap di sebuah perguruan tinggi swasta Yogyakarta. Subyek menceritakan

adanya hambatan-hambatan yang terasa saat mulai menjalani masa remaja.

Adanya ketakutan, kecemasan, kekhawatir, dan perasaan-perasaan lainnya

dalam diri yang mengganggu akibat tanggapan negatif lingkungan sekitar

yang mengetahui akan statusnya sebagai anak adopsi hingga saat ini.

Perasaan-perasaan yang ditangkap tersebut, mempengaruhi pola pikir yang

beragam serta mempengaruhi sikap yang nampak seperti tertutup untuk

menceritakan masalah yang dihadapi dan berani cerita hanya pada

orang-orang tertentu yang dia percayai. Selain itu, menurut beberapa teman-teman

subyek, subyek dianggap sebagai orang yang sombong, pendiam dan juga

egois, namun selain pendapat negatif terhadap subyek, terdapat pula pendapat

bahwa subyek adalah orang yang sederhana, perhatian, dan juga jujur.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menggali, memahami, mendiskripsikan

sejauh mana pengalaman traumatik bagi anak adopsi dalam membentuk

konsep diri seorang remaja. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana subyek memaknai penerimaan/penolakan akan dirinya sebagai

anak adopsi?

2. Bagaimana subyek memaknai penerimaan/penolakan keluarga asuhnya?

3. Bagaimana subyek memaknai penerimaan/penolakan lingkungan di luar

(22)

4. Apakah dampak pengalaman traumatik sebagai anak adopsi melukai

konsep diri subyek?

5. Bagaimana subyek mampu menumbuhkan rasa aman dalam dirinya?

6. Bagaimana subyek memenuhi kebutuhan rasa dicintai dan dimiliki dalam

dirinya?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian dan menjawab pertanyaan penelitian

tujuan penelitian adalah:

1. Mengetahui bagaimana subyek memaknai penerimaan/penolakan akan

dirinya sendiri sebagai anak adopsi.

2. Mengetahui bagaimana subyek memaknai penerimaan/penolakan keluarga

asuhnya.

3. Mengetahui bagaimana cara subyek memaknai penerimaan/penolakan

lingkungan di luar keluarga asuhnya.

4. Mengetahui dampak pengalaman traumatik subyek sebagai anak adopsi

melukai konsep diri subyek.

5. Mendiskripsikan kemampuan subyek dalam menumbuhkan rasa aman

dalam dirinya.

6. Mendiskripsikan bagaimana subyek memenuhi kebutuhan rasa dicintai dan

(23)

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat teoritik:

Penelitian ini dapat mendiskripsikan kepada pembaca mengenai

pengalaman traumatik anak adopsi dalam membentuk konsep diri sebagai

remaja, sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana berempati,

memberlakukan dan bersikap terhadap individu yang merupakan anak

adopsi.

2. Manfaat praktis:

a. Bagi subyek

Membantu individu sebagai subyek penelitian untuk

memiliki pemahaman yang kian baik tentang konsep dirinya sebagai

anak adopsi, sehingga dapat mengaktualisasikan potensinya sebagai

makhluk individual, sosial, spiritual, menuju kepada keseimbangan

hidup yang lebih sejahtera.

b. Bagi orangtua

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan tentang peran

orang tua yang menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi

terbentuknya konsep diri anak. Selain itu, hasil penelitian ini dapat

memberikan masukan untuk lebih memahami kehidupan dan

(24)

c. Bagi masyarakat umum

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan untuk

mengetahui lebih dalam tentang anak adopsi dalam membentuk konsep

diri, serta memperluas wawasan masyarakat awam sebagai bahan

pertimbangan dalam memahami dan memberlakukan anak adopsi.

d. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

pengalaman traumatik anak adopsi dalam membentuk konsep diri pada

subyek penelitian. Selain itu peneliti juga dapat berlatih dalam

menggunakan teori yang diperoleh dalam perkuliahan dan

mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki dalam bidang

penelitian.

E. Batasan Istilah

1. Pengalaman traumatik adalah suatu benturan atau suatu kejadian yang

dialami seseorang dan meninggalkan bekas yang bersifat negatif.

2. Anak adopsi adalah anak yang diangkat dalam suatu keluarga untuk

menjadi anggota keluarga tersebut yang bukan merupakan keluarga

biologisnya.

3. Konsep diri adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan dan

penghargaan, penilaian seseorang tentang dirinya.

4. Studi kasus adalah suatu metode untuk mempelajari keadaan dan

(25)

memahami keberadaan dirinya dengan lebih baik dan membantunya dalam

perkembangan selanjutnya.

F. Rencana Terapi bagi Kasus

Bentuk terapi yang peneliti rencanakan untuk menolong kasus adalah

pendekatan konseling Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT).

Pendekatan ini bermaksud membantu merubah pikiran dan perasaan irasional

subyek agar menjadi labih rasional dalam menghadapi permasalahannya,

(26)

11

BAB II

KAJIAN TEORITIS

Dalam bab ini disajikan pengertian pengalaman, trauma, adopsi, konsep

diri, hakekat remaja, dan konsep diri remaja anak adopsi.

A. Hakekat Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja sering disebut sebagai masa adolesen, yang berasal dari kataadolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.

Kedewasaan atau kematangan ini mencakup kematangan fisik, mental,

emosional, dan sosial (Sudirman, 1995:121).

Sarlito (1989:14) menjelaskan bahwa untuk masyarakat Indonesia,

masa remaja berlangsung pada usia antara 11-14 tahun, sedangkan menurut

WHO tahun 1974 (dalam Sarlito, 1989:9) remaja adalah suatu masa di

mana:

a. Individu berkembang dari saat pertama ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Indvidu mengalami perkembagan psikologi pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh

(27)

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Adapun ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock, (1980:207):

a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

Bagi sebagian besar anak muda antara 12-16 tahun, masa

remaja merupakan tahun yang penuh kejadian yang menyangkut

pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan

fisik merupakan hal yang penting karena perkembangan fisik yang

cepat disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada

awal masa remaja. Perkembangan fisik pada remaja mengakibatkan

seorang remaja perlu melakukan penyesuaian mental dan membentuk

sikap, nilai dan minat yang baru dalam melakukan kegiatannya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan tidak berarti lepas dari kejadian atau peristiwa yang

terjadi sebelumnya, melainkan berkembang dari satu tahap

perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Artinya,

pengalaman terhadap kejadian yang telah terjadi sebelumnya akan

meninggalkan bekas pada masa sekarang dan yang akan datang.

Kadang perlu disadari bahwa apa yang telah terjadi pada masa anak

akan meninggalkan bekas dan mempengaruhi masa remaja.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi

dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat.

(28)

1) Meningginya emosi yang intesitasnya bergantung pada tingkat

perubahan fisik dan psikologis yang terjadi

2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok

sosial, menimbulkan masalah baru.

3) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap

perubahan. Mereka sering takut bertanggung jawab akan

akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat

mengatasi tanggung jawab tersebut.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit di atasi,

baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan karena:

1) Sepanjang masa kanak-kanak masalah anak-anak sebagian

diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan

remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi

masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas.

Seperti dijelaskan Erikson (Hurlock, 1980:207) identitas diri

yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, dan

apa peranannya dalam masyarakat. Remaja mempertanyakan apakah ia

seorang anak atau orang dewasa; apakah ia mampu percaya diri;

(29)

f. Anggapan stereotip budaya.

Bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak

dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, menyebabkan orang

dewasa yang harus memimbing dan mengawasi kehidupan remaja.

Keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan buruk tentang

remaja membuat peralihan remaja ke masa dewasa menjadi sulit. Hal

di atas menimbulkan pertentangan antara remaja dengan orang tua,

sehingga orang tua dan remaja terjadi jarak yang menghalangi anak

untuk meminta bantuan orang tua apabila menemui masalah.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik.

Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

yang ia inginkan dan bukan sebagaiman adanya terlebih daam cita-cita.

Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi

juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya

emosi remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain

mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang

ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang

dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman

keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat perbuatan seks. Mereka

(30)

dilakukan orang dewasa, remaja akan dianggap dewasa dan dapat

diterima oleh lingkungan tempat tinggalnya.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Pada setiap tahap perkembangan dalam kehidupan manusia ada

sejumlah tugas perkembangan yang harus dilalui. Tugas perkembangan

pada masa remaja menuntut adanya perubahan besar dalam sikap dan pola

perilaku. Havighurt (Willis, 1981:8) mendefinisikan tugas perkembangan

adalah suatu tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan

individu, jika tugas perkembangan itu berhasil akan menimbulkan

kebahagiaan individu, sebaliknya jika tugas itu gagal akan menimbulkan

kesulitan baginya pada masa mendatang.

Menurut Wattenberg (Mappiare, 1982:106) tugas perkembangan

remaja sebagai berikut:

a. Memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa.

Ketika memasuki masa remaja seorang remaja diharapkan

dapat mengontrol dirinya sendiri. Tugas perkembangan ini timbul

karena remaja sudah dianggap seperti orang dewasa yang umumnya

mampu mengontrol dirinya. Kemampuan dalam mengontrol dirinya

membuat dia diterima oleh lingkungannya.

b. Memperoleh kebebasan.

Memperoleh kebebasan termasuk salah satu diantaranya

(31)

belajar dan berlatih membuat rencana, bebas membuat alternatif

pilihan, dan bebas melaksanakan pilihan-pilihannya itu dengan

bertanggung jawab. Remaja diharapkan dapat melepaskan diri dari

ketergantungannya pada orang tua atau orang dewasa lainnya secara

berangsur-angsur.

c. Bergaul dengan teman lawan jenis.

Di dalam hati remaja mulai muncul rasa tertarik dengan

lawan jenisnya. Pada mulanya mereka merasa ragu dan malu untuk

bergaul lebih dekat dengan lawan jenisnya, tetapi lama-kelamaan

mereka terbiasa bahkan ada yang lebih banyak bergaul dengan lawan

jenisnya.

d. Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru.

Remaja diharapkan mulai belajar mengembangkan

ketrampilan-ketrampilan baru yang sesuai dengan tuntutan hidup dan

pergaulannya dalam masa dewasa kelak. Ketrampilan-ketrampilan

baru itu tidak saja menyangkut apa yang dituntut pada bidang

pekerjaan, melainkan juga bersangkutan dengan ketrampilan dalam

kehidupan berkeluarga. Remaja perempuan misalnya dapat melakukan

latihan mengatur meja makan, memasak, mencuci dan sebagainya.

Remaja lelaki dapat membantu membersihkan halaman, mengepel

(32)

e. Memiliki citra diri yang realistis.

Remaja diharapkan dapat memberi penilaian terhadap dirinya

secara apa adanya. Mereka diharapkan dapat mengukur kelebihan dan

kekurangannya dan dapat menerima diri apa adanya, memelihara dan

memanfaatkannya secara positif. Remaja juga diharapkan memiliki

gambaran diri secara realistis dan bukan lagi berdasarkan fantasi

seperti yang pernah mereka alami semasa anak-anak.

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Noesjirwan (1979:13), konsep diri adalah seluruh pandangan

seseorang tentang dirinya. Pandangan itu adalah hasil dari bagaimana

seseorang melihat dirinya, bagaimana pemikiran atau pendapatnya tentang

dirinya sendiri, bagaimana sikapnya terhadap dirinya.

Menurut Rogers (Takiuddin, 1999) konsep diri adalah suatu

bentuk konseptual yang tetap, teratur dan koheren yang dibentuk oleh

persepsi-persepsi individu tentang kekhasan dirinya yang berhubungan

dengan orang lain. Lebih lanjut ia mengatakan konsep diri merupakan

gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya yang meliputi

pengamatan, penilaian dan sikap-sikap yang dianggap sebagai miliknya

sendiri.

Hurlock, (1992:58) berpendapat bahwa konsep diri adalah

(33)

merupakan gambaran dari kenyataan yang dimiliki tentang dirinya sendiri

yang mencakup citra fisik diri dan citra psikologis diri. Terbentuknya citra

fisik berkaitan dengan penampilan fisik seseorang, daya tariknya, dan

kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, dan berbagai

bagian tubuh untuk berperilaku, dan harga diri orang tua di mata yang lain.

Dasar psikologis diri adalah pikiran, perasaan, dan emosi yang terdiri atas

kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada

kehidupan seperti kejujuran, keberanian, kemandirian, kepercayaan diri,

dan kemampuan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri

(self-concept) adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan, dan penghargaan, perasaan seseorang tentang dirinya sendiri yang diperoleh

dari bagaimana individu itu melihat dirinya, dan perhatian individu

terhadap lingkungan atau orang lain kepadanya yang meliputi dimensi

fisik, moral, sosial, dan psikologis.

2. Terbentuknya Konsep Diri

Terbentuknya konsep diri seseorang dimulai sejak kanak-kanak,

dan bukan merupakan bawaan sejak lahir. Ini didukung oleh pendapatnya

Burns (1993:186) bahwa konsep diri merupakan hasil belajar, bukan

bawaan sejak lahir, tetapi perkembangan secara bertahap sebagai hasil

pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang diperolehnya dari

(34)

Rogers (dalam Burns, 1993) mengemukakan bahwa gambaran

diri yang sudah tertanam dengan baik di masa kecil akan berkembang dan

mengambil cara khusus untuk mengungkapkannya. Salah satu alasan

mengapa rasa hormat dan penghargaan terhadap diri seseorang sangat

penting adalah ketika orang melepaskan sikap kekanak-kanakkannya dan

memperluas pandangannya di masa dewasa, dia tetap mempertahankan

gambaran dirinya yang sudah terbentuk dan akan memilih tujuan-tujuan

serta mengerjakan apa yang dirasa tepat untuk orang sepertinya. Apabila

gambaran baik mengenai diri sendiri dicemoohkan oleh orang lain,

pengalaman ini merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi dirinya.

Jadi, konsep diri merupakan hasil dari pengalaman belajar, bukan

pembawaan sejak lahir, berkembang secara bertahap sebagai hasil dari

pemahaman tentang dirinya dan orang lain yang diperoleh dari

pengalaman-pengalaman.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Hurlock (1980:235) menjelaskan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi konsep diri pada remaja:

a. Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal, diperlakukan seperti orang yang

hampir dewasa akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan

sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sedangkan remaja

(35)

salah mengerti dan bernasib kurang baik sehingga kurang dapat

menyesuaikan diri.

b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri

meskipun perbedaan yang ada menambah daya tari fisik. Tiap cacat

fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan

perasaan rendah diri, sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan

penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah

dukungan sosial.

c. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang

anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan

ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.

d. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu

remaja mencapai konsep diri yang baik.

e. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompoknya

menilai namanya buruk atau bila mereka memberikan julukan yang

bernada cemoohan.

f. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi konsep diri dalam dua cara.

(36)

tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua ia berada

dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang

diakui kelompok.

g. Kreativitas

Remaja yang sejak kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain

dan dalam mengerjakan tugas-tugas akan mengembangkan perasaan

dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep diri.

h. Cita-cita

Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistik ia akan

mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak

mampu dan reaksi-reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang lain

atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih

banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan, ini akan

menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar

yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

4. Penggolongan Konsep Diri

Konsep diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Konsep diri positif

Menurut Burns (1993:72) konsep diri positif selalu dianggap

sinonim dengan gambaran diri yang menyenangkan, konsep diri yang

baik atau harga diri yang tinggi. Seseorang yang memiliki konsep diri

(37)

;kekurangan maupun kelebihannya, dan mampu mengembangkan

kemampuannya secara baik.

b. Konsep diri negatif

Menurut Burns (1993:72) konsep diri negatif sinonim dengan

harga diri rendah. Konsep diri rendah menunjukkan pada orang-orang

yang umumnya memiliki perasaan rendah diri, ragu-ragu tentang nilai

yang dimiliki, merasa diri tidak berharga, tidak merasa puas dengan

keunikan dirinya. Konsep diri negatif diartikan sebagai evaluasi diri

yang negatif dan membenci diri. Orang yang memiliki konsep diri

negatif merasa tidak diperhatikan, merasa tidak disenangi, dan

bersikap pesimis terhadap kompetisi. Orang yang memiliki konsep diri

negatif peka terhadap kritikan dan cenderung menyalahkan dirinya atas

pengalaman buruk yang menimpanya.

5. Konsep Diri pada Anak atau Remaja Adopsi

Adopsi mencakup tindakan mengadopsi dan diadopsi.

Mengadopsi adalah untuk mengambil ke dalam keluarga seseorang (anak

dari orang tua lain), terutama akibat perbuatan hukum formal. Hal ini juga

dapat berarti tindakan hukum mengasumsikan orangtua seorang anak yang

bukan milik sendiri (Wikipedia, 2011).

C. Pengalaman Trauma

Pengalaman merupakan sesuatu yang pernah dialami (dijalani,

(38)

memungkinkan seseorang menjadi tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan (Vardiansyah, 2008).

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut

digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami

seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti

suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan

bekas. Biasanya bersifat negatif, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder. Trauma (psikologis) adalah pengalaman-pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri,

sehingga menimbulkan luka psikologis yang sulit disembuhkan sepenuhnya

(Supratiknya, 1995).

Pengalaman trauma berarti kejadian yang menjadikan seseorang tahu

akan peristiwa yang meninggalkan bekas dan menjadi suatu benturan jika

kejadian terulang kembali dan sifat kejadian negatif. Selain trauma,

hubungan-hubungan yang patogenik terhadap orangtua atau masyarakat

sekitar pun mempengaruhi pembentukan konsep diri. Patogenik adalah

hubungan tidak serasi yang berakibat menimbulkan masalah atau gangguan

tertentu pada individu. Coleman, Butcher dan Carson (1980), ada tujuh

macam pola hubungan yang bersifat patogenik:

a. Penolakan

Bentuk-bentuknya antara lain melantarkan secara fisik, tidak menunjukkan

(39)

prestasi, tidak meluangkan waktu, menghukum secara kejam dan

sewenang-wenang, tidak menghargai hak dan perasaan.

b. Overproteksi dan sikap serba mengekang

Bentuknya antara lain mengawasi secara berlebihan, menyediakan

berbagai kemudahan hidup secara berlebihan, menerapkan aturan-aturan

yang ketat sehingga membatasi otonomi dan kebebasan individu.

c. Menuntut secara tidak realistik

Memaksa individu agar memenuhi standar yang sangat tinggi dalam segala

hal, sehingga menimbulkan rasa tidak mampu pada individu.

d. Bersikap terlalu memanjakan

Perlakuan yang seperti ini akan menjadikan individu egois, serba

menuntut, dan sebagainya.

e. Disiplin yang salah

Penanaman disiplin yang terlalu keras atau terlalu longgar oleh orang tua

dan masyarakat sekitar. Yang penting adalah memberikan rambu-rambu

dan bimbingan sehingga individu tahu apa yang dianggap baik atau buruk

serta apa yang diharapkan atau tidak diharapkan darinya.

f. Komunikasi yang kurang atau yang irasional

Situasi komunikasi di mana terjadi ketidakcocokan antara kata dan

(40)

g. Teladan buruk dari orang

Orang memberikan teladan yang tidak baik kepada individu. Teladan

buruk dari orang dapat menjadi persemaian bagus untuk melahirkan

individu yang bermasalah.

D. Dampak Pengalaman Traumatik Anak Adopsi terhadap Pembentukan Konsep Diri

Salah satu kebutuhan anak adopsi adalah penerimaan dirinya, baik

secara fisik dan juga psikologis, selain itu adanya penghargaan dan juga

kepercayaan akan apa yang dikerjakan sebagai sebuah rasa aman anak. Saat

anak masih kecil, anak belum mengerti akan apa yang dilontarkan orang lain

terhadap dirinya. Anak cenderung mengerti akan keberadaannya pada suatu

lingkungan, namun belum paham akan aura atau perasaan-perasaan yang

terlontar dari orang lain pada dirinya. Perasaan-perasaan negatif yang

terlontar pada diri anak, baru dapat diolah pada saat anak masuk usia remaja

dengan berbagai anggapan yang menjadikan mempengaruhi pembentukan

konsep diri.

Saat masih kecil, cenderung anak melakukan aktivitasnya atas

tuntutan dari orang tuanya. Namun saat anak mulai beranjak dewasa dan

belajar untuk menentukan sebuah pilihan, penghargaan dan kepercayaan

sangatlah dibutuhkan dan diharapkan oleh anak. Namun terkadang orangtua

pun selaku yang mengasuh, belum dapat menerima anak asuhnya menentukan

(41)

itu pun yang menjadi salah satu sumbangan orang tua dalam membentuk

konsep diri anak, khususnya bagi anak adopsi dalam mewujudkan tuntutan

dari pihak luar dirinya.

Pada masa pertumbuhannya seorang anak membutuhkan lingkungan

yang mampu menyediakan figur yang lengkap. Yang paling penting adalah

figur ayah dan figur ibu, lebih beruntung lagi jika ia mampu menemukan

figur seorang kakak dan adik. Figur kakak dan adik akan membantu

perkembangan relasi sosialnya, yakni suatu kesediaan untuk berbagi dan peka

akan kebutuhan orang lain. Figur ayah dan ibu akan membantu membentuk

norma-norma dasar hidupnya. Figur seorang ayah akan memenuhi

perkembangan rasionalitasnya: cara berpikir logis, sikap tegas, pengambilan

keputusan. Sedangkan figur seorang ibu akan memenuhi perkembangan

afeksinya: nilai rasa, kepekaan, sikap sosial, emosi, dan perasaannya.

Keluarga yang tak mampu memenuhi kebutuhan akan figur-figur

yang lengkap akan terasa sama seperti keadaan panti asuhan ataupun model

single parent bagi si anak. Sisi-sisi perkembangannya tidak sempurna. Baik dalam aspek kognitif, afeksi ataupun kemandirian terjadi ketimpangan. Aspek

(42)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti menyajikan hal-hal yang terkait dengan

metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini, yaitu: desain penelitian, subyek

penelitian, setting penelitian, instrumen penelitian, validasi data, teknik analisis

data. Furchan (1982) mengatakan bahwa dengan metodologi inilah kita

menentukan strategi yang harus dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang

diperlukan guna menjawab persoalan yang dihadapi.

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Menurut Furchan

(1982) studi kasus adalah penyelidikan intensif tentang seorang individu.

Studi kasus ini merupakan suatu studi kasus yang mendalam tentang individu

dan berjangka waktu relatif lama, terus menerus, mendalam dengan

menggunakan subyek tunggal yang artinya kasus yang dialami satu orang.

Studi kasus ini bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dari suatu

obyek. Hal ini berarti data dan informasi yang diperoleh, baik melalui

wawancara, observasi, dan bentuk lainnya dipelajari sebagai suatu

keseluruhan yang terintegrasi.

Penelitian kualitatif ini bersifat alamiah. Peneliti tidak berusaha memanipulasi

keadaan maupun kondisi lingkungan penelitian melainkan melakukan studi

terhadap suatu fenomena pada situasi di mana fenomena tersebut ada. Studi

(43)

(discovery oriented). Penelitian ini secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam keadaan yang sesungguhnya.

Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dimana peneliti berusaha

menggali, memahami, mendiskripsikan sejauh mana dampak pengalaman

traumatik dalam pembentukan konsep diri remaja adopsi. Subyek penelitian di

sini adalah Isan (nama samaran) seorang mahasiswa universitas swasta di

Yogyakarta berumur 21 tahun.

B. Subyek Penelitian

Poerwandari (Dinoto, 2004) menjelaskan karakteristik penelitian

kualitatif diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar melainkan pada

kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian. Subyek

penelitian adalah seorang mahasiswa dari salah satu unversitas swasta di

Yogyakarta. Subyek berusia 21 tahun, subyek lahir dan dibesarkan di

Yogyakarta. Penampilan psikis nampak pendiam, kurang terbuka, berwajah

muram, kurang perhatian, tampak sombong. Subyek memiliki pikiran yang

irasional dalam menanggapi berbagai pendapat dari masyarakat sekitar

mengenai statusnya sebagai anak adopsi.

C. Setting Penelitian

Penelitian dilakukan saat subyek memiliki waktu luang dan juga

pada hari-hari tertentu di mana tidak mengganggu waktu beraktivitas.

(44)

secara mendalam dilakukan di kampus, tempat makan, ataupun di tempat lain

yang kiranya mendukung proses penelitian.

D. Instrumen Penelitian

Menurut Winkel (1997) pengumpulan data bertujuan untuk

mendapatkan pengertian yang luas, lebih lengkap dan lebih mendalam tentang

subyek yang hendak diteliti, serta membantunya untuk memperoleh

pemahaman akan diri sendiri. Penelitian ini menggunakan metode wawancara

mendalam dan observasi.

Teknik pencatatan data dalam penelitian ini adalah narrative recording yaitu dengan cara menceriterakan kembali suatu kejadian, keadaan lingkungan yang bertujuan untuk memperoleh data yang luas dan

komprehensif tentang tingkah laku, kehidupan sosial serta lingkungan sosial

subyek. Metode pencatatan ini dilakukan dengan cara mengidentifikasikan

konsep diri dalam perilaku yang akan diamati, dan mengidentifikasi

pengalaman traumatik.

Peneliti menggunakan beberapa metode dalam usaha untuk

memperoleh data dan informasi tersebut, antara lain:

1. Wawancara

Poerwandari (Dinoto, 2004) menyatakan metode wawancara

adalah percakapan dan tanya-jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan

tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang

(45)

yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu atau makna

subyektif yang muncul.

Wawancara informasi menurut Winkel (1997) adalah teknik

pengumpulan data untuk memperoleh informasi secara lisan mengenai

subyek. Dalam wawancara informasi ini, penulis melengkapi informasi

yang telah terkumpul dan mengecek kebenaran informasi yang telah

penulis peroleh. Wawancara ini dilakukan terhadap subyek sendiri dan

teman akrab subyek.

Wawancara mendalam individu (individual depth interview/IDI), merupakan interaksi antara peneliti (pewawancara) dengan seseorang

peserta tunggal (Cooper& Schindler, 2006:241-250). Wawancara mendalam

individu biasanya membutuhkan waktu antara 20 menit (melalui telepon)

sampai 2 jam (wawancara tatap muka), tergantung pada isu atau topik

yang dibahas. Wawancara mendalam individu biasanya direkam (audio

dan atau video) dan kemudian diterjemahkan sehingga memberikan

rincian informasi yang kaya bagi peneliti. Informan yang dipilih sebagai

peserta wawancara dipilih bukan karena opini mereka mewakili opini

umum tetapi karena pengalaman serta sikap mereka mencerminkan

keseluruhan cakupan isu yang sedang dipelajari. Selain itu informan yang

diwawancara memiliki kemampuan verbal agar dapat memperkaya rincian

informasi yang dinginkan peneliti. Alat yang digunakan sebagai panduan

(46)

Tabel 1

(47)

2. Observasi

Poerwandari (Dinoto, 2004) menyatakan metode observasi

merupakan kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena

yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam

fenomena tersebut. Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang

dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dari perspektif mereka

yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Alat yang digunakan

sebagai panduan adalah panduan observasi (observation guide).

(48)

E. Validasi Data

Validasi data menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah pengamatan dalam suatu konteks yang harus dicek dengan

membandingkannya dengan pengamatan lain yang situasinya setara (J. Nisbet

& J. Watt, 1994). Dalam pengumpulan data untuk sebuah studi kasus

triangulasi dilakukan dengan mengecek data yang diperoleh dari hasil

penggunaan teknik utama dengan berbagai metode dan berbagai sumber

lainnya. Sumber yang dimaksud di sini orang-orang yang terdekat dengan

subyek penelitian, misalkan orang tua, teman-teman, sahabat dekat, dll.

Peneliti menggunakan Triangulasi Peneliti, yaitu hasil penelitian baik data

maupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya dapat diuji

validitasinya dari beberapa peneliti atau evaluator yang berbeda (Patton,

2006).

F. Teknik Analisis Data

Poerwandari (Dinoto, 2004) menyatakan, setelah melakukan

observasi dan wawancara terhadap subyek, peneliti melakukan pengolahan

data dengan cara:

1. Peneliti menuliskan transkrip dari hasil wawancara yang telah dilakukan.

2. Peneliti membaca transkrip dari hasil wawancara yang telah dilakukan.

3. Mengidentifikasi tema-tema yang muncul (coding). Peneliti mengenali dan mengelompokkan hasil wawancara yang telah ditulis tersebut ke dalam

(49)

4. Mengintepretasikan data. Peneliti menjelaskan data yang telah

dikumpulkan dan dikelompokkan tersebut sebagai keseluruhan rangkaian

(50)

35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil pelaksanaan penelitian sebagaimana

diugkapkan pada bab sebelumnya, bahwa data yang sudah diperoleh dianalisis

dengan menggunakan Prosedur Laporan Studi Kasus.

Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti menggunakan agenda untuk

wawancara informasi dengan sumber informasi yaitu dengan beberapa teman

akrab subyek, beberapa teman yang mengenal subyek, ibu dan kakak angkat

subyek dan dengan subyek penelitian sendiri.

A. Deskripsi Umum Kasus

1. Nama : Isan (samaran)

2. Usia : 21 tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Sekolah : universitas swasta Yogyakarta

5. Penampilan fisik : Tinggi badan 160 cm, berat badan ± 47 kg, kulit

bewarna hitam keciklatan, rambut pendek rapi, cara berpakaian rapi dan

sederhana.

6. Penampilan psikis : Pendiam, kurang terbuka, berwajah muram,

perhatian, tampak sombong.

7. Gejala yang ditampakkan :

a. Isan dipandang menampakkan wajah kurang senyum dan sikap serius,

(51)

b. Isan juga dipandang sebagai orang yang agak sombong dengan sikap

pendiam dan tidak terlalu merespon lingkungan sekitar.

c. Lebih suka menyendiri atau menyibukkan diri sendiri dengan

mendengarkan musik melaluiheadsetatau dengan aktivitas lainnya. 8. Sumber Informasi :

a. Ibu Ana (ibu angkat)

b. Tini (kakak angkat)

c. Yati (pacar subyek)

d. Anto dan Rena (teman akrab)

e. Isan (subyek sendiri)

Hari/tanggal Waktu Sumber Informasi Tempat

Senin, 21-10-2012 13.00 WIB Anto (teman akrab) Kamar kos Anto Senin, 29-10-2012 16.00 WIB Rena (teman akrab) Taman kampus Sabtu, 31-10- 2012 15.00 WIB Yati (pacar) Tempat makan Kamis, 21-11-2012 13.00 WIB Ibu Ana (Ibu angkat) Rumah subyek Sabtu, 21-12- 2012 15.00 WIB Tini (Kakak angkat) Rumah subyek

B. Analisis Lingkungan Keluarga, Sosial, dan Suasana Akademik

1. Lingkungan Sosial

a. Suasana di rumah

Rumah Isan terletak di daerah pedesaan kecamatan

Minggir-Yogyakarta dengan status ekonomi warga termasuk tingkat menengah

ke atas dan sebagian tingkat menengah ke bawah. Keadaan rumah

tampak bersih dengan peralatan rumah yang lengkap, terawat, dan

tersusun rapi. Fasilitas yang ada di rumah cukup lengkap dan cukup

(52)

b. Hubungan Isan dengan keluarga

Secara pribadi, Isan mengakui bahwa Ia pernah mengenal,

orang yang telah memperjuangkannya masuk ke dalam keluarganya

saat ini. Namun saat Isan berumur ± 8 tahun, ayah angkatnya telah

meninggal dunia, belum banyak yang dikenal atau didapat dari sosok

ayah tersevut. Hal itu yang membuat Isan kurang paham bagaimana

sebaiknya sebagai seorang anak laki-laki di keluarga atau di

masyarakat.

Hubungan Isan dengan ibunya pun baik, namun Isan

mengakui bahwa tidak setiap masalah yang Ia hadapi mampu Ia

ceritakan kepada ibunya, karena ketidakinginan Isan menjadikan

beban bagi ibunya atau keterikatan yang berlebihan antara Isan dan

ibunya. Mengingat Isan adalah anak adopsi dan pernah kehilangan

ayah asuhnya, layaknya anak yang haus akan figur peran ayah.

Hubungan Isan dengan kakaknya pun baik, Isan mengakui

bahwa lebih banyak hal-hal yang dihadapi dan diceritakan kepada

kakaknya dibanding dengan ibunya, walaupun tidak semua Isan

ceritakan kepada kakaknya dikarenakan Isan masih

mempertimbangkan seandainya cerita itu mengganggu kerja kakaknya

di luar kota atau pun menjadikan salah paham dalam berkomunikasi

(53)

c. Suasana di kampus

Mahasiswa/mahasiswi yang studi di kampus tempat Isan

kuliah mayoritas dari keluarga yang mampu dengan tingkat ekonomi

menengah atau menengah ke atas, karena Isan kuliah di salah satu

universitas ternama di Yogyakarta. Namun teman-teman Isan menilai

penampilan Isan nampak sederhana dibandingkan dengan mahasiswa

lainnya.

Menurut Anto, Isan merupakan mahasiswa yang tidak terlalu

mencolok dalam berpenampilan daripada teman-teman di sekitarnya.

Dalam memutuskan sesuatu hal yang menjadi masalah atau kendala

dalam beraktivitas Ia selalu memberikan pertimbangan dan juga

pilihan-pilihan yang memudahkan teman-teman menangkap inti

masalahnya, walaupun terkadang dengan bahasa yang singkat dan

“kurang enak” bagi teman-teman yang belum mengenal dekat Isan.

Isan sendiri menanggapi memang dirinya tidak pintar dalam

merangkai bahasa, terlebih bahasa yang ingin dia katakan terkadang

rumit dalam merangkai kata yang dimaksud.

Di kampus, Isan tidak banyak mengikuti kegiatan-kegiatan

dari kampus atau pun dari program studinya, sehingga Isan tidak

terlalu dikenal oleh mahasiswa lainnya terutama bagi angkatan yang

lebih muda dibanding Isan. Namun, Isan tetap mau mengikuti dan ikut

(54)

studinya menyelenggarakan acara seandainya Isan cocok dengan acara

itu.

Menurut beberapa teman Isan sesaat setelah bekerjasama atau

pun sekilas memandang gaya Isan bekerja, mereka menilai bahwa Isan

tidak terlalu banyak bicara saat bekerja dan lebih banyak beraktivitas

yang bermanfaat saat bekerja. Cara itu banyak membantu dan

memuaskan dalam hasil kerjanya.

d. Hubungan Isan dengan teman-teman di kampus

Isan cenderung mendekati teman-teman yang dianggap

kurang terkenal di program studinya, karena Ia berpendapat bahwa:

“teman-teman yang pintar atau sudah terpandang, sudah banyak yang memperhatikan dibanding teman-teman yang biasa-biasa saja dengan potensi yang melebihi teman-teman yang

terpandang”.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Isan enggan untuk

banyak bergaul dengan teman-teman yang terpandang dan hal itulah

yang menjadikan Isan dianggap sebagai mahasiswa yang pendiam.

Sedangkan menurut Anto dan juga beberapa teman-teman

Isan, Isan adalah orang yang peduli atau perhatian terhadap

teman-teman lainnya. Isan lebih banyak bergaul pada orang-orang tertentu

saja di kampus, tidak terlalu mencolok dalam bergaul dengan

teman-teman yang dianggap pintar atau terpandang di program studinya.

Karena saat bergaul dengan teman-teman yang dikiranya cocok

(55)

Namun, terdapat juga beberapa teman yang menganggap Isan

adalah orang yang pendiam dan keras kepala. Pendapat itu yang

cenderung muncul dari teman-teman yang tidak terlalu dekat dengan

Isan dan beberapa teman yang dianggap terpandang dalam satu

program studi dengan Isan. Isan sendiri tidak begitu mempedulikan

pendapat/penilaian negatif yang diberikan oleh teman-teman di

kampus terhadap dirinya terlebih pendapat yang kurang baik kepada

Isan, Isan mengatakan:

“Mereka tidak mengenal saya dan apa yang telah saya alami, karena mereka hanya sebatas tahu dan kenal saya, mereka mempunyai hak untuk menilai/berpendapat tentang saya, jika memang menerima saya, ok, tetapi jika tidak ya maaf. Saya tidak mau memaksakan, jika mau belajar bersama ya ayo, karena saya tidak mau mereka mengenal sebatas kasihan terhadap saya dan tidak banyak pula yang mengetahui masalah saya sebenarnya”

Isan terkadang memilih untuk diam dan menyingkir jika

dituntut untuk menonjolkan masalah apa yang sedang Ia hadapi. Ia

Nampak ingin berusaha sendiri dan mungkin hanya beberapa orang

saja yang Ia perkenankan mengetahui masalah apa yang Ia hadapi dan

mengganggunya.

e. Hubungan Isan dengan lingkungan masyarakat

Menurut Ana (Ibu subyek):

(56)

Hal itu nampak saat seperti saat masyarakat sekitar mengadakan acara

gotong royong atau acara nikahan, Isan sudah diakui dan diajak untuk

ikut serta dalam acara atau kegiatan tersebut. Orang-orang sudah tidak

banyak yang menyindir Isan, walaupun masih tetap ada beberapa

orang yang terkadang menganggap Isan sebagai anak adopsi.

Menurut Isan sendiri, saat masih kecil memang dia sering

kali diejek mengenai posisinya sebagai anak adopsi oleh banyak

masyarakat sekitar atau pun oleh teman-temannya saat Isan kecil.

Menurut Isan:

“Pada saat itu aku belum mengetahui maksud dari apa yang dikatakan orang kepadaku, aku tidak terlalu menanggapinya karena ibuku sudah sering mengatakan dan menjelaskan hal itu kepadaku, dimana posisiku sebagai seorang anak adopsi, tetapi ibuku memperlakukanku selayaknya anak kandungnya”

Walaupun terkadang perkataan orang itu sangat mengganggu,

tetapi tidak setiap saat, hanya pada saat Isan menyendiri atau pada saat

Isan mengalami masalah yang tak tahu harus bagaimana sebaikya

menanggapi.

2. Kelompok sosial

a. Teman perempuan yang dekat dengan Isan

Menurut pangakuan Isan, Ia memiliki banyak teman

perempuan yang kenal dengan Isan dan beberapa dekat dengan Isan,

baik itu di kampus ataupun di luar kampus. Namun yang paling dekat

(57)

telah dialaminya, Ia ceritakan pada Yati hingga hal-hal yang pernah

mengganggu Isan.

Isan mengatakan:

“walaupun aku punya kenalan cewek, tetapi aku hanya sebatas

berteman dengan mereka. Aku enggan untuk menceritakan apa yang aku alami kepada setiap orang, aku hanya menceritakan pada Yati karna aku memiliki impian bersamanya, sehingga aku ingin dia mengenal aku yang sebenarnya dan dia tidak mempermasalahkan itu”.

Hal itulah yang menjadikan Isan tidak sembarangan menceritakan apa

yang Ia alami termasuk dengan lawan jenis, namun Ia tetap mau

berkomunikasi dan bergaul dengan mereka.

b. Teman laki-laki yang dekat dengan Isan

Isan mengakui bahwa Ia punya teman laki-laki, namun

sekedar mereka mengenal Isan, tidak sampai mereka mengetahui

masalah-masalah yang Isan alami. Anto pun mengungkapkan bahwa

Isan bukanlah seorang yang suka akan kebiasaan banyak anak

laki-laki saat ini lakukan yaitu, suka merokok, minum-minuman

beralkohol ataupun free sex. Terkadang teman-teman yang mengajak Isan kumpul-kumpul tidak enak sendiri atau menghormati dengan

sikap yang dimiliki oleh Isan.

c. Siapa yang menjadi teman cerita saat Isan mengalami masalah?

Isan mengakui bahwa teman ceritanya adalah pertama Yati

(pacar subyek) dan kedua adalah Tini (kakak subyek). Namun tidak

setiap permasalahan yang dialami Isan, Ia ceritakan kepada mereka

(58)

selesaikan sendiri, karena Isan merasa tidak ingin terlalu

menggantungkan diri dengan orang lain dan ingin menjadi orang yang

mandiri.

d. Apa perasaan Isan saat mengalami permasalahan yang sedang Ia

hadapi?

Isan mengakui perasaan yang dialaminya saat menghadapi

permasalahan yang dianggapnya berat adalah kesepian, bersalah,

marah, kecewa, dan putus asa. Secara sadar Isan merasakan

perasaan-perasaan tersebut dikarenakan campur aduk dan ketidak fokusan

dalam mencari pemecahan masalahnya. Isan ingin berbagi dengan

orang lain, tetapi enggan jika mendapatkan respon yang sekedar

setengah-setangah atau tidak memuaskan hasratnya untuk

diperhatikan dan keinginan mendapat solusi dalam usaha

menyelesaikan masalahnya.

e. Apakah Isan berusaha mengatasi masalah-masalahnya dan bagaimana

caranya?

Menurut Isan, Ia berusaha untuk mengatasi permasalahannya

dengan cara meminta pertimbangan dari teman yang menurutnya Ia

percayai dan memiliki respon yang cukup baik terhadap apa yang Ia

ceritakan, walaupun Isan tidak sepenuhnya menceritakan

permasalahannya. Isan enggan untuk menceritakan sepenuhnya karena

Isan tidak mau orang yang meresponnya hanya karena belas kasihan

(59)

disebar-sebarkan kepada orang lain. Maka Isan hanyalah menceritakan

permasalahannya kepada orang yang dikiranya Ia percayai.

3. Pengalaman Stres

Stres yang dialami Isan dikarenakan adanya perbedaan antara

konsep diri sebagai diri yang ideal menurut orang di sekitar dan diri nyata

yang dilatarbelakangi oleh konsep anak kandung dengan anak adopsi,

sehingga menyebabkan setiap permasalahan berat diarahkan oleh Isan

kepada kenyataan diri sebagai anak adopsi, ditambah lingkungan sekitar

yang masih/pernah menganggap dirinya sebagai anak adopsi dengan

sebutan yang bermacam-macam.

Permasalahan yang dihadapinya membuat perubahan pikiran dan

perilaku pada diri Isan. Menurutnya, anak adopsi bukanlah sebuah

kesalahan, karena anak adopsi pun memiliki hak untuk hidup, merasakan

sesuatu, memikirkan sesuatu, dan melakukan sesuatu. Namun, pada

kenyataan masyarakat masih belum dapat menerima keberadaan subyek

sebagai anak adopsi. Cemoohan, perlakuan yang tidak sama, dan

pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi saat kecil,

terolah saat mulai beranjak remaja. Tanggapan subyek pun beragam,

sekedar diam, menahan rasa marah, menahan rasa diadili secara tidak

langsung, hingga diam menyalahkan diri sendiri, dan masih banyak

(60)

4. Perkembangan Konsep Diri

a. Sifat dan sikap positif Isan

Menurut Ibu Ana, Isan adalah anak yang telaten dalam bekerja,

tahu akan pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan (menyapu,

mengepel, dll). Makanannya pun tidak terlalu menntut, apa yang

dimasak Ibu Ana untuk Isan, ia mau memakannya. Maka Ibu Ana

memiliki pengharapan yang besar kepada Isan untuk menjadi orang

yang sukses terlebih dahulu dan tidak menjadi bahan cemoohan orang.

Menurut Yati, Isan adalah orang yang totalitas dalam

mengerjakan peran yang dtanggungnya, orangnya humor, memiliki

perhatian saat teman membutuhkan bantuan, dan tepat waktu dalam

berjanji. Yati menambahkah, beberapa hal tersebut menjadi beberapa

alasan untuk nyaman berhubungan dengannya.

b. Sifat dan sikap negatif Isan

Menurut Rena, terkadang sikap Isan dalam berbicara terkadang

mengungkit-ngungkit masalah yang pernah terjadi, walaupun untuk

yang sudah cukup mengenal Isan itu adalah konteks bercandaannya,

namun bagi yang lainnya mungkin dapat sakit hati atau marah.

Isan memiliki pemikiran apa pun yang ia lakukan harus dapat

terwujud dan dilakukannya sendiri, sesuai dengan apa yang

direncanakan sebelumnya. Hal ini yang membuat Isan merasa

(61)

Isan merasa mendapatkan tekanan pada saat dituntut atau didesak

dalam mengerjakan pekerjaan yang memilik tanggung jawab besar.

C. Sintesis

Isan diadopsi oleh orangtua angkatnya ketika masih bayi di sebuah

rumah sakit. Saat berumur sekitar 5-6 tahun, Isan seringkali diberitahu oleh

Ana ibunya untuk tidak terlalu mendengarkan perkataan orang di sekitarnya

saat bermain, khususnya warga sekitar tempat tinggal Isan. Isan hanya

mengiyakan apa yang dikatakan ibunya tersebut yang ternyata adalah ibu

angkatnya. Seringkali orang sekitar mengejek Isan saat itu dengan perkataan

bocah le nemu” atau “bocah le tuku” (“anak dari hasil menemukan” atau “anak dari hasil beli”).

Isan tidak memahami apa kata orang saat itu, bahkan tetap saja

bermain dengan anak-anak lainnya layaknya anak kecil di masa itu. Hingga

ketika berumur sekitar 6-7 tahun, Ibu Ana (ibu angkatnya) memberitahukan

dengan perlahan dan menjelaskan terhadap Isan status sebenarnya dalam

keluarga tersebut. Isan saat itu sedikit demi sedikit mulai memahami, namun

tetap beranggapan bahwa keluarga yang ada di sekelilingnya adalah keluarga

sesungguhnya, dikarenakan Isan tidak pernah bertemu dengan orangtua

kandungnya dan tidak pernah tahu alasan pasti kenapa Isan ditinggalkan oleh

orangtua kandungnya.

Pada umur 8 tahun, Isan mulai kehilangan figur seorang ayah tiri,

Gambar

Tabel 2
Tabel 1Panduan Pertanyaan Wawancara
Tabel 2Panduan Observasi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Inilah kenikmatan yang sempurna dan kesenangan yang sesungguhnya. Berbeda dengan dunia, ketika senang disudahi dengan kesedihan, ketika hidup disudahi dengan kematian, ketika

Potensi pendanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya pada APBD Kabupaten Klungkung dan. Provinsi lima tahun terakhir menunjukan fluktuasi perkembangan baik

به اقلاعتم .قيقلحا تٌعم نم فلايخ نآرقلا نم ةجمرت ثبح لمتشت ةثحابلاف ثحبلا ذ. ليوادتلا لاا

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam optimasi PCR adalah konsentrasi enzim, konsentrasi Magnesium, komponen reaksi lain, pelekatan primer (primer annealing), pemanjangan

Di samping itu, sebagaimana di- kutip oleh ‘Abdallâh, at-Tûfî ber- pendapat bahwa (1) perlindungan ter- hadap kemaslahatan manusia merupakan sumber atau prinsip hukum yang paling

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan suatu pemikiran yang dapat disumbangkan pada para praktisi hukum, dan menambah wacana maupun wawasan pada masyarakat

Mikrobiologi Umum, Mikrobiologi Terapan I (pangan dan industri), Mikrobiologi Terapan II (lingkungan) Biologi Umum, Pengetahuan Lingkungan, Kultur Jaringan, Mikro