HABITUS MASKULINITAS DALAM CERITA PENDEK “KUKILA”
KARYA M. AAN MANSYUR: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia Pada Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
M. J. E. Sara Denisha NIM 164114017
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKATRA
2019
ii
iii
iv
PERYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
.
v
Peryataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : M. J. E. Sara Denisha NIM : 164114017
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya Ilmiah saya yang berjudul
“Habitus Maskulinitas dalam Cerita Pendek “Kukila” Karya M. Aan Mansyur: Perspektif Pierre Bourdieu” berserta perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebgai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
vi MOTO
Salam Maria, penuh rahmat Tuhan Sertamu, terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus. Santa Maria, bunda Allah doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin
Ternyata semua yang berkilau itu belum tentu emas – Spongebob Squarepants
Berkerja keraslah hingga pada saat hendak membeli sesuatu kita tidak lagi melihat harganya terlebih dahulu - Sarden
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Agung yang telah memberkati dan melimpahkan roh kudus dalam proses penelitian yang berjudul
“Habitus Maskulinitas dalam Cerita Pendek Kukila karya M.Aan Mansyur:
Perspektif Pierre Bourdieu” ini. Proses yang panjang telah menjadi pembelajaran dan pemantapan batin bagi penulis.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah mendukung serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis bermaksud mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi atas bantuan, doa, dukungan, dan motivasi yang sudah diberikan secara terus-menerus.
Pertama-tama penulis mengucpakan banyak terima kasih kepada Dr.
Yoseph Yapi Taum, M.Hum. serta Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. Selaku dosen pembimbing yang dengan sangat sabar memberikan arahan dan masukkan yang sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.
Kedua, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada para dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma; Susiliawati Endah Peni Adji, M.hum, selaku Kepala Program Studi Sastra Indonesia, Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. selaku Wakil Kepala Program Studi Sastra Indonesia. Prof.
Dr. Praptomo Baryadi Isodarus, M. Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs.
B. Rahmanto, M.Hum., (alm) Drs. Hery Antono, M.Hum., (alm) Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., dan Dra. Fr.
Tjandrasih Adji, M.Hum yang telah memberikan ilmunya selama perkuliahan di Program Studi Sastra Indonnisa Universitas Sanata Dharma. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada para karyawan Sekertariat Fakultas Sastra atas pelayanannya.
Ketiga, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis;
kedua orang tua, Shanty Daryanto serta Herman Yosep Wermasubun sebagai ibunda dan ayahanda tercinta yang memberikan perhatian dan banyak kasih sayang dari pertama kali penulis dilahirkan sampai mengenyam pendidikan strata satu ini yang tidak henti-hentinya memberikan doa, harapan serta dukungan baik moral dan moril. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar Wermassubun dan juga Daryanto yang telah menjadi inspirasi kepada penulis.
Terima Kasih juga kepada Melan, Stevanie, Juan, dasn Sean sebagai adik yang sangat mencintai penulis.
Keempat, penulis mengucapkan selamat dan rasa syukur atas sekian tahun perjuangan yang dilalui bersama teman-teman sejawat Sastra Indoneisa angkatan 2016. Terima kasih atas segala kenangan yang sangat berkesan. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang
viii
memeberi dukungan lewat Ikatan Alumni Teruna Bakti (IATB) Yogyakarta yang juga banyak memberikan kesan yang sangat berarti bagi penulis.
Kelima, Secara khusus penulis berterima kasih juga kepada teman-teman dekat yang sangat mengerti dan memberikan harapan-harapan istimewa kepada penulis juga menjadi teman serta tempat curahan hati yang sangat berarti bagi penulis yaitu Friska Sibarani, Agustina Alomang, Agustinus Iriance M. Ola, Claudia V.A, Paulina Was Howay, Patricia Avelin Nella Keyn, dan Mariani Deysi Ngasar, dan kepada pihak-pihak yang tidak penulis sebutkan namanya satu- persatu dan telah memberikan banyak hal penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Penelitian ini juga masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat terbuka akan kritik dan masukan dari pembaca. Semoga penelitiaan ini bisa menambah wawasan dan manfaat bagi pembaca.
ix ABSTRAK
Denisha, M. J. E. Sara. 2020. “Habitus Maskulinitas dalam Cerita Pendek
„Kukila‟ Karya M. Aan Mansyur: Perspektif Pierre Bourdieu”
Skripsi S-1. Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji habitus maskulinitas dalam cerpen “Kukila” karya M. Aan Mansyur dalam perspektif Pierre Bourdieu. Tujuan penelitan adalah (i) mendeksripsikan struktur sastra dan (ii) mendeskripsikan habitus maskulinitas dalam cerpen “Kukila” karya M. Aan Mansyur.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (i) metode dan teknik pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka, (ii) metode analisis data menggunakan metode analisis isi, dan (iii) metode penyajian analisis data mrnggunakan metode kualikatif. Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian dari M. H. Abrams dan direposisi oleh Taum dengan dua pendekatan yaitu objektif dan diskursif.
Hasil penelitian ini meliputi analisis struktur dan habitus maskulinitas.
Hasil analisis struktur meliputi (i) tokoh sebagai penggerak cerita adalah Kukila, Rusdi, dan Pinlang, (ii) terdapat sudut pandang campuran yaitu akuan tokoh utama, akuan tokoh pendamping, dan orang ketiga pengamat (iii) latar tempat meliputi kota Mabela, rumah (kamar, meja makan, beranda, halaman, jendela), sekolah (perpustakaan, kantin), lobi hotel, pelaminan, kantor, dan kota Macawe.
Ketiga unsur dalam struktur cerpen “Kukila” tersebut sangat mendukung penggambaran habitus maskulinitas. Habitus maskulinitas dalam cerpen ini terdiri dari enam habitus yaitu, (i) homoseksualitas, (ii) perceraian, (iii) kawin paksa, (iv) perselingkuhan, (v) hukum adat, dan (vi) cinta segitiga. Enam habitus ini menunjukkan bagaimana para tokoh dalam cerpen “Kukila” merupakan korban dari dominasi maskulinitas.
Kata kunci : habitus, maskulinitas, dominasi maskulinitas
x ABSTRACT
Denisha, M. J. E. Sara. 2020. "Habitus of Masculinity in Kukila's Short Story Written by M. Aan Mansyur: Perspective Pierre Bourdieu”. An Undergrated Thesis S-1. Indonesian Literature departemet. Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
This research studies so-called the habitus of masculinity in the short story
"Kukila" short story by M. Aan Mansyur in the perspective of Pierre Bourdieu.
The purpose of this research is (i) to describe the structure of literature and (ii) to describe the habitus of masculinity in the short story "Kukila" by M. Aan Mansyur.
The research method uses descriptive qualitative. This research was conducted in three stages, namely (i) data collection methods and techniques using literature study methods, (ii) data analysis methods using content analysis methods, and (iii) data analysis presentation methods using discursive methods.
This study uses a research paradigm from M. H. Abrams and is repositioned by Taum with two approaches namely objective and discursive.
The results of this study include the analysis of the structure and habitus of masculinity. The results of the structural analysis include (i) the characters as the movers of the story are Kukila, Rusdi, and Pinlang, (ii) the mixed viewpoints are the main characters, the companion figures, and third-person observers (iii) the setting of the place including Mabela, the house ( rooms, dining tables, porches, courtyards, windows), schools (libraries, canteens), hotel lobbies, auctions, offices, and Macawes. The three elements in the "Kukila" short story structure strongly support the depiction of habitus masculinity. Habitus of masculinity in this short story consists of six habitus namely, (i) Homosexuality, (ii) divorce, (iii) forced marriage, (iv) infidelity, (v) customary law, and (vi) love triangle. These six habitus show how the characters in the short story "Kukila" are victims of dominance of masculinity.
Key words: habitus, masculinity, dominance of masculinity
xi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
MOTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 8
1.5 Tinjauan Pustaka ... 8
1.6 Landasan Teori ... 11
1.6.1 Struktur Prosa ... 11
1.6.1.1 Tokoh ... 12
1.6.1.2 Sudut Pandang ... 14
1.6.1.3 Latar ... 16
1.6.2 Habitus dalam Kajian Diskursif Pierre Bourdieu ... 17
1.7 Metode Penelitian ... 19
1.7.1. Paradigma dan Pendekatan ... 21
1.7.5 Sumber Data ... 21
1.8 Sistematika Penyajian ... 22
xii
BAB II STRUKTUR SASTRA DALAM CERPEN “KUKILA” KARYA M.
AAN MANSYUR ... 24
2.1 Analisis Tokoh ... 24
2.1.1 Tokoh Utama 1: Kukila ... 25
2.1.2 Tokoh Utama 2: Rusdi ... 28
2.1.3 Tokoh Tambahan: Pinlang ... 31
2. 2 Sudut Pandang ... 34
2.2.1 Sudut Pandang “aku” Tokoh Utama ... 34
2.2.2 Sudut Pandang “aku” Tokoh Pendamping... 35
2.2.3 Sudut Pandang Orang Ketiga Pengamat ... 36
2.3 Latar Tempat ... 36
2.3.1 Mabela ... 37
2.3.2 Rumah ... 38
2.3.2.1 Kamar ... 39
2.3.2.2 Meja Makan ... 39
2.3.2.3 Beranda ... 40
2.3.2.4 Halaman ... 40
2.3.2.5 Jendela ... 41
2.4.3 Sekolah... 42
2.4.3.1 Perpustakaan ... 42
2.4.3.2 Kantin ... 43
2.4.4 Lobi Hotel ... 43
2.4.5 Pelaminan... 43
2.4.6 Kantor ... 44
2.4.7 Macawe ... 44
2.3 Rangkuman ... 44
BAB III HABITUS MASKULINITAS DALAM CERITA PENDEK “KUKILA” KARYA M. AAN MANSYUR ... 46
3.1 Habitus Homoseksualitas ... 47
3.2 Habitus Kawin Paksa ... 49
3.3 Habitus Perceraian ... 50
xiii
3.4 Habitus Perselingkuhan ... 52
3.5 Habitus Hukum Adat ... 54
3.6 Habitus Cinta Segitiga ... 56
3.7 Rangkuman ... 59
BAB IV PENUTUP ... 61
4.1 Simpulan ... 61
4.2 Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
LAMPIRAN ... 65
Sinopsis ... 65
BIOGRAFI PENULIS ... 67
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan. Inilah sebabnya setiap usaha membuat batasan tentang apa yang disebut sastra, selalu hanya merupakan pemerian atau gambaran dari suatu segi sastra saja. Tiap segi hanya memunculkan sebagian dari kebenaran, sehingga tidak mungkin ada batasan sastra yang sanggup meliputi semua segi kebenaran tentang sastra (Sumardjo dan Saini 1986 :1).
Sastra (Sansekerta, / śāstra) merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau pedoman, dari kata dasar śās- yang berarti instruksi atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu Sebagai seni, sastra dapat digambarkan sebagai organisasi kata-kata untuk memberikan kesenangan. Namun melalui kata-kata sastra mengangkat dan mengubah pengalaman di luar kesenangan "belaka". Sastra juga berfungsi lebih luas dalam masyarakat sebagai sarana mengkritik dan menegaskan nilai-nilai budaya (Sadikin 2010:6).
Secara literer, habitus berasal dari bahasa Latin yang mengacu pada kondisi, penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh. Bourdieu mengajukan konsep khasnya yaitu habitus untuk menengahi dualism individu atau masyarakat pelaku struktur (Fashri, 2014: 93). Bagi
Bourdieu habitus adalah suatu jenis sistem disposisi: “kondisi yang terkait dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas menghasilkan suatu habitus: sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk yang dimasukkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk, artinya sebagai prinsip penggerak dan pengatur. Praktik-praktik hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengadaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan seacara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya. Secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen” (Bourdieu dalam Haryatmoko, 2016:41)
Menurut Pierre Bourdieu (Bourdieu, 2010 :15) akar prinsip-prinsip dominasi maskulinitas terdapat pada relasi arbitrer dominasi yang dilakukan laki- laki atas perempuan, sebab dengan pembagian kerja dominasi itu sendiri memang tertera dalam realitas tatanan sosial. Perbedaan biologis antar-seks yaitu antar tubuh maskulin dan feminim, dan khususnya perbedaan anatomis antarorgan- organ seksual, bisa hadir sebagai justifikasi kodrat atas perbedaan yang dikonstruksi secara sosial antar-gender, dan terutama sebagai justifikasi kodrat terhadap pembagian kerja secara seksual. Dengan begitu penulis bisa membedakan bagaimana dominasi maskulinitas yang ada pada cerpen Kukila karya M. Aan Mansyur ini.
Cerpen Kukila merupakan sebuah monolog dari tokoh Kukila sendiri yang menulis surat kepada anak-anaknya dan membeberkan alasan mengapa ia dan
suaminya, Rusdi, memutuskan untuk berpisah. Bagaimana rahasia yang selama ini ia simpan dengan sangat rapat, akhirnya ia beberkan bahwa sebenarnya Rusdi bukanlah ayah kandung dari ketiga anaknya. Cerita pendek Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) merupakan cerita yang membutuhkan kejelian dari pembaca untuk mengurainya.
Cerita yang ditulis dengan kalimat-kalimat bernada puitis ini merupakan gabungan dari isi surat, curahan hati, dan penceritaan dari perspektif orang ketiga.
Rahasia setiap tokoh akan dikelupas dan menginformasikan kepada pembaca, betapa rumitnya kehidupan ini. Itulah sebabnya, kehidupan rumah tangganya tidak selalu bisa berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Kisah-kisah yang dialami tokoh-tokoh ini umumnya sederhana, terkadang terkesan sepele, dan tampaknya, sering dipulung dari kehidupan pribadi pengarangnya. Dalam cerpen ini kesederhanaan yang ada selalu berpeluang menghadirkan kisah yang meninggalkan kesan mendalam.
Menurut Dewojati (2010:169), unsur karakter yang dalam drama biasa disebut tokoh adalah bahan yang paling aktif untuk menggerakkan alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku tokoh. Perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita adalah pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada cerita.
Sudut pandang (point of view, viewpoint), merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal itu tidak berarti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. sudut
pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah cerita fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang (Nurgiyantoro, 2015: 336).
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya. Walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, ketiga unsur itu pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Jadi pembicaraan secara terpisah hanya bersifat teknis dan untuk dimudahkannya saja (Nurgiyantoro, 2015: 314).
Cerita pendek Kukila ini pun menghadirkan akhir yang mengejutkan. Di dalam kisah hubungan romantis antara tiga tokoh tersebut, muncul persoalan dominasi maskulinitas. Dua tokoh laki-laki, Rusdi dan Pinlang menghadirkan karakter dominan yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Oleh karena itu, permasalahan yang ingin penulis pecahkan dalam skripsi ini adalah tentang dominasi maskulinitas yang terdapat dalam cerpen ini.
Dalam cerpen yang ditulis oleh M. Aan Mansyur ini, dikisahkan gambaran kehidupan masyarakat yang sesungguhnya banyak terjadi di sekitar kita. Didalam cerita pendek ini banyak terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang secara implisit dituliskan oleh pengarangnya. Yang ditampilkan dalam cerita Kukila adalah sebuah dominasi maskulinitas dari tokoh Rusdi dan juga Pinlang terhadap seorang
perempuan bernama Kukila. Hal tersebut diperkuat dengan monolog dari tokoh Rusdi yang ditujukan kepada Pinlang.
“Pinlang, kemarin aku bertengkar dengan Kukila. Kau penyebabnya.
Ide Gilaku dulu memintamu menggauli istriku adalah bumerang”
(Mansyur, 2012:41).
Ada beberapa ciri habitus maskulinitas yang lain yang terjadi di dalam cerpen “Kukila” yang akan menjadi objek kajian. Untuk itu, penulis akan mengkaji struktur cerpen ini yang mencakup tokoh, sudut padang, latar tempat dan habitus maskulinitasnya. Hal ini berkaitan dengan penjelasaan yang akan dijabarkan pada Bab II dan Bab III. Hal lainnya adalah ada tiga alasan penulis memilih satu cerpen saja berjudul “Kukila” karya M. Aan Mansyur sebagai topik penelitian skripsi. Yang dibagi menjadi dua yaitu, alasan kualikatif dan kuantitatif.
Alasan kualikatif adalah pengumpulan data yang menyimpulkan penuturan deskriptif yang tersusun dan berusaha memahami bagaiamna orang memberikan deskriptif mengenai opininya dalam bentuk bahasa atau hal lain yang menyangkut dengan konteks khusus mengenai perspektif. Sedangkan alasan kuantitatif adalah berdasarkan dengan jumlah atau proposisi deduktif yang memiliki keterbatasannya.
Pertama, alasan kuantitatif. Alasan kuantitatif berkaitan dengan jumlah halaman cerpen ini yang termasuk cukup panjang, yakni 65 halaman. Cerpen ini sebetulnya memenuhi syarat menjadi sebuah buku. Kedua, alasan kualitatif yang berkaitan dengan mutu cerpen ini. Secara keseluruhan, cerpen ini ditulis dalam bahasa yang sangat puitis. Selain itu, cerpen ini menyajikan dilema dan komplikasi persoalan cinta dan perkawinan yang sangat mencekam. Ketiga,
cerpen ini merepresentasi persoalan dominasi maskulinitas yang terlihat dalam aspek habitus tokoh-tokohnya. Kajian yang mendalam terhadap cerpen “Kukila”
dengan memanfaatkan pendekatan objektif dan diskursif dapat menjawab persoalan-persoalan dalam penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana struktur sastra dalam cerita pendek “Kukila” karya M.
Aan Mansyur?
1.2.2 Bagaimanakah gambaran habitus maskulinitas yang ada dalam cerita pendek “Kukila” karya M. Aan Mansyur?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan sebagai berikut.
1.3.1 Mengkaji dan mendeskripsikan sruktur sastra dalam cerita pendek
“Kukila” karya M. Aan Mansyur. Hal ini akan dibahas dalam Bab II
1.3.2 Mengkaji dan mengungkap gambaran habitus maskulinitas yang ada dalam cerita pendek “Kukila” karya M. Aan Mansyur. Hal ini akan dibahas dalam Bab III.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Mengacu pada tujuan pokok penelitian di atas, maka hasil dari penelitian ini diharapkan teoritis dan praktis sebagai berikut;
1) Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitan ini dapat menjadi rujukan penelitian diskursif mengenai habitus maskulinitas Pierre Bourdieu dalam studi Sastra Indonesia.
2. Memberikan teori struktur contoh penerapan teori habitus maskulinitas Pierre Bourdieu.
2) Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian dapat menjadi sebuah alternatif bahan rujukkan bagi penelitian berikutnya yang meneliti masalah yang sama, atau berkaitan dengan topik penelitian ini.
2. Memberikan pandangan atau pemahaman baru bagi pembaca cerita pendek “Kukila” karya M. Aan Mansyur.
1.5 Tinjauan Pustaka
Dalam kaitannya dengan bidang penelitian, penulis sudah menemukan peneliti lain yang menggunakan cerita pendek “Kukila” karya Aan Masnyur ini sebagai bahan penelitian namun menggunakan teori yang berbeda. Penulis menemukan beberapa peneliti lain yang menggunakan cerita ini dan teori lain
untuk dianalisi. Berikut ini yang menggunakan cerita “Kukila” dan teori lain untuk menentukan penulis gunakan sebagai tinjauan pustaka.
Penelitian pertama ditulis Ani (2015) dalam penelitian tersebut Ani mengambil Penelitian yang difokuskan pada wujud penyimpangan psikologis tokoh perempuan dan faktor- faktor penyebab penyimpangan psikologis tokoh perempuan dalam kumpulan cerita pendek Kukila karya M. Aan Mansyur yang dikaji dengan menggunakan teori psikologi sastra. : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) wujud penyimpangan psikologis tokoh perempuan meliputi, depresi, anxiety, oppresed, death wish, adultery, prostitusi, dan salah satu “maladjustment” dan (2) faktor-faktor yang menyebabkan tokoh perempuan mengalami penyimpangan psikologis meliputi, faktor rumah tangga, psikologi, keluarga, agama, seksual, sosial, dan kekerasan.
Mazzyya (2015) menarik simpulan dalam penelitiannya sebagai berikut.
(1) mengetahui penceritaan yang ada pada enam cerita pendek melalui struktur naratif yang mengggambarkan perselingkuhan. (2) penceritaan yang menghadirkan makna “perselingkuhan” seperti “perselingkuhan” yang juga dilakukan oleh perempuan, “perselingkuhan” yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja, rasa setia yang diselimuti oleh “perselingkuhan”,
“perselingkuhan” yang diselimuti oleh rahasia besar, “perselingkuhan” sebagai bentuk pemberontakan, “perselingkuhan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pasangan, dan “perselingkuhan” sebagai alternatif solusi bagi tokoh yang bermasalah.
Barata (2017) dalam penelitian ini mengkaji modal, kelas, dan habitus dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan teori kekerasan simbolik. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Cerpen-cerpen yang sudah terpilih ini di baca secara mendalam kemudian data yang diperoleh dicatat. Data-data tersebut dianalisis menggunakan teori kekerasan simbolik. Hasil analisis dideskripsikan secara kualikatif, yaitu penelitian mendeskripsikan jenis-jenis modal, kelas, habitus, arena, kekuasaan dan kekuasaan serta kekuasaan simbolik.
Ahsana (2018) dalam penelitian ini, Ahsana mengungkapkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 1). terdapat 10 gaya bahasa yang sesuai dengan rumusan masalah peneliti yang terdiri dari gaya bahsa perbandingan yang meliputi Perumpamaan atau Simile, Metafora, Personifikasi, Depersonifikasi, Alegori, Antitesis, Pleonasme dan Tautologi, Perifrasis, Koreksio atau Epanortosis, dan Prolepsis. 2). Fungsi gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Kukila karya M. Aan Mansyur adalah memberikan efek keindahan, mencerminkan perasaan tertentu yang berhubungan dengan emosi, membuat kalimat atau gagasan menjadi lebih hidup, serta membuat penggambaran menjadi lebih konkret.
Ginting (2019) dalam penelitian yang dilakukannya ini mengkaji tentang habitus dan modal dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata.tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah mendiskripsikan hasil analisis struktur prosa dalam novel Sang Pemimpi yang terbatas hanya pada tokoh dan latar dan juga mendeskripsikan habitus dan modal yang terdapat pada novel tersebut.
Bila mengamati hasil penelitian berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan di atas, penulis tidak menemukan penelitian tentang cerpen “Kukila”
dengan perspekstif Pierre Bourdieu dan ini adalah sebuah penelitian yang baru dan belum pernah dilakukan oleh orang lain.
1.6 Landasan Teori
Teori berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Peradaban manusia melakukan pengetahuan, yaitu berbagai pemahaman manusia terhadap gejala-gejala alam (Ratna,2004: 2). Teori sastra sebenarnya menjabarkan bagaimana konsep dari teori sastra itu sendiri sebagai suatu bidang studi humaniora yang bisa bertujuan untuk mengetahui dan menikmati sebuah fenomena yang mau dijabarkan oleh teori sastra secara jelas.
Dalam penelitian ini, kerangka teori yang akan digunakan adalah analisis struktur dan konsep habitus dari Pierre Bourdieu.
1.6.1 Struktur Prosa
Aminuddin (2002: 34) Prosa Fiksi adalah kisahan atau ceritera yang diemban oleh pemeran tertentu dengan memperhatikan, latar, tahapan dan rangkaian. Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya.
Unsur instrinsik (instrisic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur instrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar unsur instrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel (Nurgiyantoro, 2012: 30).
Struktur prosa yang akan dianalisis dalam penelitian ini hanya akan terbatas pada tokoh , sudut pandang dan latar tempat. Pembatasaan ini dilakukan karena fokus penelitan ini adalah habitus tokoh utama dalam cerpen “Kukila”
karya M. Aan Mansyur yang akan dianalisis adalah Kukila dan Rusdi sebagai tokoh utama dan Pinlang sebagai tokoh pengganti. Perlu lebih diketahui bagaimana karakter dan sudut pandang dalam cerpen tersebut.
1.6.1.1 Tokoh
Setiap tokoh memiliki watak atau karakter. Watak atau karakter setiap tokoh berbeda-beda. Adapun penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya dalam cerita. Watak tokoh dalam cerita dijelaskan pengarang secara langsung dan tidak langsung.
Menurut Aminudin, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama hadir di setiap kejadian dalam cerita. Dia dapat ditemukan dalam setiap halaman novel maupun buku cerita yang berkaitan. Tokoh
tambahan tidak hadir pada setiap kejadian, karena dia tidak secara langsung menjadi fokus penceritaan. Dia tidak hadir pada setiap bab demi bab dalam cerita itu. Tokoh tambahan atau tokoh lainnya selalu muncul jika ada kaitannya dengan tokoh utama. Biasanya tokoh utama yang terdapat dalam sebuah novel ada yang lebih dari satu, sehingga kadar keutamannya pun jadi berbeda (Aminudin, 2012:
86).
Istilah tokoh merujuk pada orangya, perilaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: siapakah tokoh utama dalam novel itu?” atau “ada berapa orang jumlah tokoh novel itu?” dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro 2015: 247).
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan pembedaan sudut pandang dan tinjauan tertentu, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal (Nurgiyantoro, 2015: 258). Pembedaan tokoh antara lain tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonist dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan tokoh statis dan tokoh berkembang. Namun yang menjadi fokus penelitian pada skripsi ini adalah tokoh utama dan tokoh tambahan.
Pembedaan tokoh ke dalam kategori ini berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi secara keseluruhan. Membaca keseluruhan sebuah novel, biasanya, kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh
yang di hadirkan di dalamnya. Namun dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan atau tokoh periferal (peripheral character) (Nurgiyantoro, 2015:
258).
1.6.1.2 Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view, viewpoint) merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal itu tidak berarti bahwa perananya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah cerita fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang (Nurgiyantoro, 2015: 336).
Hakikat sudut pandang, point of view, menunjuk pada sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015: 338). Penggunaan sudut pandang dengan gaya “aku” ataupun gaya “dia”, yang biasanya juga berarti: tokoh aku atau dia, dalam cerita fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yang dimaksudkan pengarang. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup, kritik, pelukisan, penjelasan, dan penginformasian, namun juga
demi kebagusan cerita, yang kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik (Nurgiyantoro, 2015: 342).
Penyimpangan sudut pandang, seperti dikemukakan, tidak hanya menyangkut masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak- anak, dewasa, orang desa yang tidak tahu apa-apa, orang modern, politikus, pelajar, atau yang lain (Nurgiyantoro, 2015: 344).
Terdapat bermacam-macam sudut pandang, ada sudut pandang persona ketiga “dia” yang terbagi menjadi “dia” mahatahu dan “dia” terbatas hanya sebagai pengamat, sudut pandang persona pertama “aku” yang mana “aku”
sebagai tokoh utama dan “aku” sebagai tokoh tambahan, sudut pandang kedua
“kau”, dan sudut pandang campuran. Selain itu, pembedaan sudut pandang juga dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca: lebih bersifat penceritaan, telling, atau penunjukan, showing, naratif dan dramatik (Nurgiyantoro, 2015: 347).
Namun dalam penelitian ini memiliki batasan, batasan yang dimaksudkan oleh penulis adalah penelitian ini hanya menjabarkan bagaimana bentuk akuan pada sudut pandang yang dimiliki oleh orang pertama. Sudut pandang akuan adalah sudut pandang dimana sang pengarang seolah-olah menjadi dan menceritakan kisah hidupnya kepada para pembaca yang ditandai dengan penyebutan tokoh dengan menggunakan kata “Aku”. Sudut pandang ini juga
terbagi lagi menjadi dua misalnya “Aku” sebagai tokoh utama dan “Aku” sebagai tokoh pendampingnya dan sudut pandang orang ketiga pengamat.
1.6.1.3 Latar
Latar sebagai unsur fiksi yaitu latar fisik dan latar spiritual, natar netral dan latar fungsional. Unsur latar juga terbagi dalam banyak hal yaitu latar tempat, waktu, latar sosial budaya. Ada juga hal lain tentang latar yang terbagi menjadi dua yaitu latar sebagai metaforik dan latar sebagai atmosfer. Dalam penelitian ini latar atau setting adalah landasan tumpu, tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu dan sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peritiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro 2015:
302). Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat lain, misalnya Gunung Kidul, Juranggede, Pejaten, dan Paruk, atau sungai, hutan, jalan raya, dan kamar hotel (Nurgiyantoro, 2015: 315).
Namun, tidak semua latar tempat digarap secara teliti dalam berbagai fiksi, novel atau cerpen. Dalam sejumlah karya fiksi tertentu, penunjukkan latar hanya sebagai latar, lokasi hanya sekedar perkembangan alur dan tokoh. Misalnya, nama-nama tempat tertentu sekedar disebut: Jakarta, hotel, Yogyakarta,
Malioboro, Palembang, New York, atau yang lai sehingga nama-nama itu dapat diganti dengan nama-nama lain begitu saja tanpa memengaruhi perkembangan cerita (Nurgiyantoro, 2015: 316).
Penelitian ini juga memiliki batasan, yaitu hanya memfokuskan penelitian pada latar tempat yang ada pada cerpen “Kukila”. Hal ini dilakukan penulis agar tidak terlalu luas dan berbelit-belit.
1.6.2 Habitus dalam Kajian Diskursif Pierre Bourdieu
Teori habitus dari Pierre Bourdieu dibangun untuk menjembatani subjektivisme dan objektivisme. Pandangan subjektivisme beranggapan bahwa manusia (subjek) menentukan struktur. Sebaliknya, pandangan objektivisme menganggap manusia (subjek) justru menjadi objek dan ditentukan oleh struktur.
Habitus merupakan struktur mental (kognitif) yang digunakan aktor (individu atau kelompok) untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitus diperoleh atau terbentuk melalui proses yang panjang, tergantung pada tempat dimana aktor itu tinggal.
Habitus menghasilkan atau dihasilkan oleh dunia sosial. Di sisi lain habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial (menstrukturkan struktur). Tetapi di sisi lain, habitus adalah struktur yang distrukturkan oleh dunia sosial (struktur yang terstruktur). Melalui suatu praktik, habitus diciptakan, tetapi dapat juga bahwa habitus akibat praktik tersebut (Demartoto dkk, 2014: 28)
Habitus adalah pengetahuan, yang bisa menunjukkan aktor memahami dunia dan memahami kepercayaan dari nilai-nilai kehidupan sehari-hari. Dalam praktik sosial habitus merupakan hasil dari sebuah relasi habitus yang
menghasilkan produk sejarah dan aturan yang terdapat didalammnya adalah kekuatan-kekuatan dan semua orang yang mempunyai modal yang banyak dan orang yang sama sekali tidak memiliki modal. Modal yang dibahas adalah sebuah kekuatan atau kekuasaan yang beroprerasi di dalam ranah. Padahal dalam habitus juga terdapat strategi, kerangka tingkah laku yang bisa memenempatkan diri dengan ranah. Habitus sendiri adalah sebuah jenis metode disposisi yang bisa membuat orang menentukan sikapnya, kecendrungan dalam mengambil sudut pandang, berfikir dan merasa.
Secara literer, habitus adalah salah satu bahasa latin yang mengacu kepada kondisi, penampakan atau situasi yang tipikal atau bitual, khususnya pada tubuh.
Dalam menjelaskan kata itu Bourdieu menjabarkannya pertama kali pada tahun 1967 dalam suatu appendiks dimana dia menulis pengantar pada edisi terjemahaanya sendiri kedalam bahasa Prancis pada tulisan Panofsky, Gothic Architecture and Scholasticism (Jenkis dalam Demartoto dkk, 2014:28).
Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan tereformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada di dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjektif terhadap posisi itu. Umpamanya, dalam tingkah laku seseorang, „penyesuaian diri‟ semacam ini seringkali terimplikasikan dalam sikap-sikap tubuh mereka. Oleh sebab itu, tempat dan habitus seseorang membentuk basis persahabatan, cinta, dan hubungan pribadi lainya, dan juga mengubah kelas-kelas teoritis menjadi kelompok-kelompok real (Harker dkk, 2005:13).
Menurut Bourdieu, disposisi yang dipresentasikan habitus bersifat :
1. „Bertahan lama‟, bertahan disepanjang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen.
2. „Bisa dipindahkan‟, sanggup melahirkan praktik-praktik diberbagai arena aktivitas yang beragam.
3. „Struktur-struktur yang distrukturkan‟, mengikutsertakan kondisi-kondisi sosial objektif pembentukkannya.
4. „Struktur-struktur yang menstrukturkan‟, mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi khusus tertentu (Demartoto, dkk, 2014:28-29)
Laki-laki yang jarang diasosiasikan dengan rumah dan yang sering dihadirkan di tempat-tempat eksotis. Harapan-harapan kolektif itu terdapat pada oposisi antar tempat-tempat yang dikhusukan bagi laki-laki; seperti bar, klab bergaya anglo-saxon, dengan jaket kulit, perabotan berat, yang penuh dengan sudut-sudut suram, yang memberikan citra keras laki-laki, sementara tempat- tempat yang berkaitan dengan “feminin”, berwarna lembut, demgan penuh hiasan, rumbai-rumbai dan pita-pita yang memberi kesan rapuh dan ringan (Bourdieu, 1998: 81).
1.7 Metode Penelitian
Dalam proses penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian deskriptif kualikatif. Metode kualikatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannnya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara
inilah yang mendorong metode kualikatif dianggap sebagai multimode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relavan (Ratna, 2004: 47).
Penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) metode dan teknik pengumpulan data, (2) metode analisis data, dan (3) metode penyajian analisis data. Tahap-tahap penelitian ini akan mencakup data, analisis data, dan penyajian dari hasil analisis data. Pengumpulan data akan dilakukan dengan melalui studi pustaka. Metode ini akan mencapai semua data yang diperlukan, yaitu berupa buku-buku referensi dan penunjang lainnya yang berupa teks.
Data yang dikumpulkan akan dinalisis dengan memakai metode analisis isi. Objek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi (Ratna, 2004: 49).
Setelah melakukan pembacaan terhadap cerpen Kukila, penulis akan mengindentifikasi struktur prosa dan dominasi maskulinitas dalam perspektif Piere Bourdieu.
Hasil dari analisis data, akan disajikan menggunakan metode kualikatif, metode deskriptif kualikatif adalah metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskripsi yang dikaitkan dengan hakikat penafsiran yakni pendeskripsian hasil analisis dalam bentuk kalimat-kaliamat yang berupa hasil analisis dara stuktur prosa dan dominasi maskulinitas dalam cerpen Kukila karya M. Aan Mansyur.
1.7.1. Paradigma dan pendekatan
Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian dari M. H. Abrams.
Paradigma Abrams memiliki empat pendekatan yaitu; pendekatan ekspresif, pendekatan objektif, pendekatan mimetik dan pendekatan pragmatik. Dalam (Taum, 2017: 4). Paradigma Abrams direposisikan sehingga memperoleh dua tambahan pendekatan, pendekatan tersebut adalah pendekatan ekletik dan pendekatan diskursif. Pendekatan ekletik menurut (Taum,2017: 4) adalah pendekatan yang menggabungkan secara selektif beberapa pendekatan untuk memahami sebuah fenomena. Sedangkan pendekatan diskursif (Taum,2017: 4) adalah pendekatan yang menitik beratkan pada diskursus (wacana sastra) sebagai sebuah praktik diskursif.
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan diskursif. Pendekatan objektif menggunakan teori struktural yang digunakan agar memperoleh hasil dari analisis terkait dengan tokoh dan sudut pandang. Sedangkan pendekatan diskursif dengan teori dari Piere Bourdieu digunakan untuk memperoleh hasil analisis dari habitus maskulinitas.
1.7.5 Sumber Data
Dalam penelitian ini cerpen yang dijadikan sebagai objek penelitian, dengan identitas sebagai berikut :
Judul Cerpen : “Kukila” dalam Kumpulan Cerpen Kukila Rahasia Pohon Rahasia yang Terdiri dari 15 Cerpen
Pengarang : M. Aan Mansyur
Tahun Terbit : 2012
Cetakan : Cetakan Keenam
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 192. (Cerpen Kukila dimuat dalam Halaman 7-67)
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini akan disajikan didalam tiga bab dengan pembagian sebagai berikut. Bab I merupakan Bab pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Latar belakang menguraikan alasan mengapa penulis melakukan penelitian ini. Rumusan masalah menjelaskan masalah-masalah yang ditemukan dalam penelitian ini.
Tujuan penelitian mendeskripsiskan tujuan diadakan penelitian ini.
Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini. Tinjauan pustaka mengemukakan pustaka yang pernah membahas tentang objek material atau formal yang diteliti oleh penulis. Landasan teori menyampaikan teori yang digunkan sebagai landasan penelitian. Metode penelitian berisi tentang jenis penelitian, objek penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab II berisi deskripsi struktur tokoh dan sudut pandang, dalam cerpen
“Kukila”. Bab III berisi tentang pembahasan yang dibahas dengan analisis. Bab IV berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil analisis data dan saran untuk peneliti selanjutnya terhadap hal-hal yang belum dikaji dalam peneltian ini.
24 BAB II
STRUKTUR SASTRA CERITA PENDEK “KUKILA”
KARYA M. AAN MANSYUR
Dalam bab ini, dikaji dan dideskripsikan struktur prosa dalam cerita pendek “Kukila” Karya M. Aan Mansyur. Analisis dari struktur prosa yang akan dibahas dalam penelitian ini memiliki pembatasan, yang bertujuan agar pembahasan tidak melebar dan hasil analisis yang lebih mendalam. Fokus analisis struktur cerita pendek ini terbatas hanya pada analisis tokoh, sudut pandang, dan latar tempat alasan dari analisis tokoh dan sudut pandang ini digunakan agar mempermudah pemahaman yang terkait dengan habitus maskulinitas yang terdapat dalam cerita pendek “Kukila” Karya M. Aan Mansyur.
2.1 Analisis Tokoh
Tokoh menurut KBBI Daring (2019) adalah pemegang peran (peran utama) dalam roman atau drama. Atau dengan kata lain tokoh adalah orang yang memerankan suatu karakter di dalam cerita baik itu berbentuk cerita naratif yang bisa ditafsirkan bebas oleh pembaca. Menurut Nurgiyantoro, tokoh merupakan tokoh yang diutamakan dalam suatu karya sasrta baik itu novel maupun cerpen, tokoh juga merupakan orang yang paling banyak diceritakan. Sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2012: 259).
Dalam penelitian ini, Tokoh yang dianalisis dibatasi yaitu pada tokoh utama dan tokoh tambahan dalam cerita pendek Kukila Karya M. Aan Mansyur.
Tokoh utama merupakan seorang yang digambarkan menjadi penggerak alur dan menajadi seseorang yang digambarkan memiliki peranan yang penting, sedangkan tokoh tambahan biasanya tidak selalu ditampilkan pada cerita namun berpenan penting dalam alur cerita. Tokoh-tokoh yang berperan penting dalam perjalanan cerita ialah Kukila, dan Rusdi yang menjadi tokoh utama dan Pinlang merupakan tokoh tambahan dari cerita pendek “Kukila”.
2.1.1 Tokoh Utama 1: Kukila
Tokoh utama 1 dalam cerpen “Kukila” adalah Kukila. Kukila merupakan tokoh perempuan yang kehadirannya cukup konsisten dalam cerita pendek ini. Kukila adalah si aku yang juga menceritakan kisahnya.
Namanya Kukila di ambil dari cerita masa kecil yang selalu diceritakan ayahnya. Ibunya meninggal saat dia berumur satu tahun dan Kukila tidak pernah mengingatnya lagi. Ia adalah seorang ibu dari ke tiga orang anak dan seorang istri. Seorang istri yang menyesal karena kehidupan pernikahaanya harus kandas di tengah bulan September. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan (1) sampai (5) berikut ini.
(1) Nak, dua hal aku benci dalam hidup: September dan Pohon manga.
September yang kemarau dan pohon mangga depan rumah. Entah berapa September berlalu, aku sendiri. Sepi. Rusdi tak mau menemaniku mempertahankan rumah tangga. Kami pisah. Pohon mangga harus di tebang. Pohon mangga penikahan (Mansyur, 2012: 8).
(2) Aku tahu, Rusdi juga menangis dengan bahasanya sendiri. Namun, pohon mangga harus ditebang sebagai akhir cerita, sebuah akhir pernikahan. Kami telah sepakat. Tidak boleh ada yang egois di
antara kami membiarkan pohon itu tetap tumbuh. Aku tidak ingin pohon itu ditebang dan—aku tahu—Rusdi juga” (Mansyur,2012:
9).
(3) Ia pergi ke kota lain, bukan ke kantor mencari hidup aku dan kalian. Aku mengantarnya sampai di bibir beranda—tempat biasa kita duduk makan rujak mangga. Ia membawa tas berisi baju dan celana yang aku hafal betul warna-warnanya. Kalian tetap di kamar, menangis. Perceraian selalu diberi hadiah air mata, kado kesedihan. Selalu begitu adanya. Maafkan kami. Maafkan aku (Mansyur, 2012: 9).
(4) Aku ingin mati di bulan September yang kemarau seperti bunga- bunga di halaman. Tetapi mati tidak bisa dipesan lalu seseorang mengantarnya serupa pesanan dari restoran cepat saji yang iklannya ada di televisi (Mansyur, 2012: 12).
(5) Tetapi mati yang kuinginkan separuhnya dibawa Rusdi pergi, selebihnya dibagi-bagi di antara kalian. Aku tubuh semata.
Percuma. Tubuh kosong tanpa apa-apa lagi di dalamnya, kecuali perasaan-perasaan yang berubah kalimat-kalimat ini. Aku telah mati jauh malam sebelum semua doa-doaku tiba di alamat Tuhan (Mansyur, 2012: 12).
Kutipan (1) sampai kutipan (5) menggambarkan tentang Kukila yang merasakan kesendirianya ditengah kepergian sang suami. Menjadi satu-satunya orang tinggal sendiri bersama kenangan yang ada di rumah itu.
Kesedihan yang digambarkan dan diceritakan oleh Kukila seolah-olah adalah kesedihan paling dalam yang pernah dirasakan oleh Kukila mengingat dia sudah tidak lagi bisa menyelamatkan pernikahannya. Mengingat bahwa kepergian sang suami ternyata meninggalkan banyak sekali hal perih yang harus dihadapi oleh Kukila yang terjebak bersama bulan kemarau seperti bulan September dan pohon
manga pernikahan. Bersama kenangan yang tercipta dengan adanya pohon manga yang menjadi simbol pernikahan mereka. Bagaimana itu tampak jelas pada kutipan (1) dan (2). Sedangkan kutipan (3) lebih menceritakan bahwa kepergian si Rusdi suami adalah perpisahan terakhir kali, bahwa Rusdi benar-benar pergi setidaknya tidak pernah kembali. Kutipan ini lebih menjelaskan kepergian Rusdi yang benar-benar kado perceraian adalah hal yang membuat Rusdi memutuskan untuk pergi. Kutipan (4) dan (5) adalah dampak dari kesendirian Kukila yang sudah menyerah dengan perceraian.
Sikap menyesal karena tidak bisa mempertahankan hubungan pernikahanya dari Kukila sangat terasa karena cerita diawali dengan molog dari Kukila yang mengumpulkan niatnya untuk menuliskan surat kepada anaknya yang tertua bahwa ia meminta maaf karena perceraian yang terjadi antara dirinya dan Rusdi.
Sosok Kukila ternyata penyimpan rahasia yang sangat rapi bagaimana disini diceritakan bahwa sebelum pernikahannya berlangsung dia sempat bertemu dengan mantan kekasihnya dulu. Bertemu mantan kekasih yang dulu mencapakkannya dan saling berbicara mengenai pernikahan Kukila. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan (6), (7), dan (8) berikut ini;
(6) Bagaimanapun pernikahan kami akan berlangsung. Aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya (Mansyur,2012: 24).
(7) Cinta monyet kita dulu itu tidak bisa kita sesali (Mansyur,2012: 24).
(8) Mereka nyaris berdiri serempak, lalu berjalan menuju ruang reuni tanpa bicara apa-apa lagi. Kepala mereka dipenuhi perihal yang barangkali Tuhan pun tidaktahu. Langkah mereka saja yang berbicara. Mereka memilih tidak bersapaan. Langkah-langkah mereka seperti hitungan yang sedang mengira-ngira sesuatu entah
apa. Mereka memilih diam—justru karena mereka barangkali akan saling memahami dengan cara itu (Mansyur,2012: 24).
Percakapan yang terjadi ini tercipta karena sang mantan kekasih yaitu Pinlang mengetahui pernikahan antara Kukila dan Rusdi sudah terjadwal. Dalam kutipan (6) terlihat bahwa Kukila menjawab pertanyaan dari mantannya itu dengan sebuah ketegasan bahwa tidak ada cara lain untuk membatalkan pernikahan dan meminta Pinlang untuk melupakan perasaan yang tersamar-samar masih terlihat jelas antara keduanya. Kukila dan Pinlang sebenarnya masih menyembunyikan perasaan cinta jauh didalam lubuk hati mereka masing-masing tetapi Kukila menegaskan sekali lagi dalam kutipan (7) bahwa kisah cinta monyet atau cinta main-main yang ada pada kenangan sekolah dulu hanya sebuah cerita rumit yang patutnya dilupakan.
2.1.2 Tokoh Utama 2: Rusdi
Tokoh utama 2 dalam cerpen “Kukila” adalah Rusdi, suami Kukila. Rusdi sesosok laki-laki baik anak seorang kepala adat yang memiliki kesimpangan yang cenderung untuk tertarik kepada orang lain yang sesama jenis. Dia dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Kukila. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat dalam kutipan (9) dan (10).
(9) Ia lelaki baik. Amat baik, kau tidak perlu mengkhawatirkannya (Mansyur,2012: 23).
(10) Kau betul. Rusdi lelaki baik. Sangat baik. Awalnya aku cemas harus menerima lelaki pilihan ayahku. Tetapi kata-katamu di reuni telah memberiku sedikit kekukuatan untuk mencoba (Mansyur,2012:
28).
Dalam kutipan (9) dan (10) bisa terlihat bahwa tokoh Kukila menceritakan karakteristik dari watak tokoh Rusdi. Namun sebenarnya dipikiran Rusdi dia
selalu merasa bersalah bahwa telah menikahi Kukila, menikahi kekasih sahabatnya. Dia berkali-kali mengatakan bahwa dirinyalah yang bersalah. Hal ini terlihat dalam kutipan (11) dan (12).
(11) Kau tidak salah. Kukila tidak salah. Bukankah aku tahu dulu kalian sepasang kekasih? Sekarang kalian menikmati hubungan itu, kalian seperti sepasang burung menemukan hutan yang bisa menyembunyikan mereka dari moncong senapan angin (Mansyur,2012: 42).
(12) Jika aku berada di posisimu, aku akan melakukan hal yang sama.
Pinlang, aku yang salah (Mansyur,2012: 43).
Dari kutipan (11) dan (12) Rusdi sangat merasa bahwa menikahi Kukila adalah kesalahan yang terbesar yang dibuatnya. Menikahi kekasih dari sahabatnya sendiri. Setiap saat bisa terbayangkan bagaimana perasaan dari Rusdi bahwa wanita yang ia nikahi adalah kekasih dari sahabatnya dan merusak hubungan dari ketiga orang ini. Perjodohan yang sepihak dilakukan ayah Rusdi dan ayah Kukila, hal ini mendasari, cinta yang diberikan Rusdi kepada Kukila bukan cinta nafsu tapi cinta biasa yang tidak bisa lebih, karena ternyata Rusdi hanya mengganggap Kukila hanya sebagai adiknya. Hal ini ada pada kutipan (13), (14), (15), (16), dan (17) seperti berikut.
(13) Saat ayahku memaksaku menikahi Kukila aku memutar kepala berhari-hari (Mansyur,2012: 43).
(14) Semuanya kau pahami bahwa aku menikahi kukila karena harus melakukannya. Karena ayahku dan ayahnya. Apa itu? Aku tidak tau. Seperti dulu, sampai sekarang anak tidak lebih banyak tidak paham kemauan orang tua (Mansyur,2012: 34).
(15) Kami saling menyayangi—seperti sepasang adik-kakak (Mansyur,2012: 35)
(16) Aku tidak pernah punya gairah menjamah istriku. Aku tidak memiliki gairah bahkan untuk sekedar memeluk Kukila. Aku mencobanya berkali-kali, tetapi aku tidak mampu. Kukila dimataku terlihat seperti adikku sendiri (Mansyur,2012: 34).
(17) Penisku tidak bisa berdiri untuknya, Pinlang. Jangan tertawa!
(Mansyur,2012: 34)
Dalam kutipan (13) Rusdi menggambarkan bahwa dia juga terlihat kebingungan dalam menentukan keputusan untuk menikahi Kukila. Kutipan (14) dan (15) menjelaskan bahwa perasaan yang dimiliki Rusdi adalah perasaan kasih sayang yang menganggap Kukila hanya sebagai adik dan tidak bisa melebihi itu.
Sedangkan kutipan (16) dan (17) menjelaskan bahwa walaupun Kukila sudah sah menjadi istri Rusdi. Rusdi tidak pernah bisa menyentuh Kukila dan melakukan kewajibannya sebagai seorang suami.
Rusdi mencintai orang lain, dan orang lain itu adalah Pinlang sahabatnya dan kekasih dari Kukila pada saat sekolah. Perasaan yang disembunyikan Rusdi adalah perasaan yang terlarang bagi khalayak umum. Sebagaimana kutipan (18), (19), dan (20) berikut.
(18) Meskipun bertolak belakang sesungguhnya, sebab aku menikahi orang yang dicintai orang yang aku cintai (Mansyur,2012: 44).
(19) Sejak SMP, aku menyukaimu. Kau mungkin tidak sadar aku sering diam-diam dengan dada berdebar mengamatimu dari balik pintu kelas (Mansyur,2012: 43).
(20) Semakin lama, aku semakin sadar telah kehilangan orang yang aku cintai. Kau. Kau, Pinlang (Mansyur,2012: 44).
Kutipan (18) dan (19) adalah penjelasan dari tokoh Rusdi mengapa sampai saat ini dia tidak bisa mencintai atau meniduri Kukila. Hasrat dalam dirinya hanya
ada kepada Pinlang. Lelaki yang dia cintai sejak dari SMP (Sekolah Menengah Pertama). Cinta Rusdi sepenuhnya hanya untuk lelaki bernama Pinlang, sahabatnya. Sedangkan pada kutipan (20), tokoh Rusdi merasa kehilangan Pinlang saat dia benar-benar sudah menikah dengan sang istri Kukila.
2.1.3 Tokoh Tambahan: Pinlang
Tokoh tambahan dalam cerpen “Kukila” adalah Pinlang. Pinlang mantan kekasih dan juga selingkuhan dari Kukila adalah teman Rusdi, laki-laki yang digambarkan sangat misterius. Pinlang seorang kakak kelas yang kebetulan bernama sama seperti nama pasangan Kukila dalam cerita yang dibuat oleh ayah Kukila. Pinlang merupakan tokoh tambahan yang kemunculannya jarang dan lebih banyak diceritakan oleh tokoh lain. Pinlang digambarkan begitu mencintai Kukila. Ini bisa dilihat dalam kutipan (21), (22), (23), dan (24) berikut ini;
(21) KUKILA-kukila-kukila-kukila-kukila. Namanya sangat indah. Aku sanagat mencintainya (Mansyur,2012: 26).
(22) Kukila. Tahi lalat di ujung alis kirinya seperti jimat. Ia memeluhku, membuatku mencintainya tidak kira-kira (Mansyur,2012: 27) (23) Seorang gadis yang paling aku cintai—tanpa bisa menjelaskan
kenapa ia harus mati di tanganku (Mansyur,2012: 28).
(24) Sejak tahu aku bernama kukila, Pinlang jatuh cinta kepadaku, katanya. Aneh, pikirku, orang jatuh cinta hanya kerena nama (Mansyur,2012: 30).
Kutipan (21), (22), dan (23) adalah perasaan Pinlang yang teramat sangat mencintai Kukila. Sedangkan kutipan (24) adalah penggambaran dari tokoh Kukila yang meberi tahu bahwa Pinlang mencintainya hanya karena namanya.
Tapi semua perasaan Pinlang harus terkubur sangat dalam. Cintanya kepada
Kukilah harus diakhiri. Alasan terkuat dari keputusan yang dibuat oleh Pinlang adalah agama yang berbeda anatara Pinlang dan Kukila. Seperti dalam kutipan (25), (26), dan (27) berikut ini;
(25) Apakah karena kami berbeda Agama? (Mansyur,2012: 26).
(26) Apakah seorang Pinlang tidak boleh memiliki kekasih seorang Kukila yang berlainan Agama? (Mansyur,2012: 26-27).
(27) Tetapi ia Islam, kata Ibu (Mansyur,2012: 27).
Kutipan (25) dan (26) perbedaan agama adalah penghalang terbesar Pinlang dalam mencintai kekasihnya. Kekasih yang sangat dicintainya. Agama yang ditentang oleh ibunya sendiri. Hanya karena agama. Kutipan (27) yang di cantumkan lebih jelas lagi bahwa Kukila beragama Islam. Namun cinta antara keduanya mampu mengembalikan mereka dengan sendirinya walau dengan cara yang sangat salah, Hal itu ada dalam kutipan (28) berikut ini.
(28) Karena kalian akan tahu bahwa aku adalah Kukila dan Ayah kalian adalah Pinlang (Mansyur,2012: 18)
Dalam kutipan diatas hubungan terlarang yang dijalin Pinlang dan Kukila adalah perselingkuhan yang menghasilkan anak. Pengakuan dalam kutipan (28) adalah pengakuan yang dibuat oleh Kukila kepada anaknya. Hal ini tidak mustahil karena Rusdi tidak memiliki ketertarikan seksual kepada Kukila dan perselingkuhan ini bisa terjadi karena persetujuan dari Rusdi suami Kukila seperti pada kutipan berikut.
(29) Aku tau hubunganmu dengan Kukila sudah menjadi lain. Kau senang melakukannya, bukan? Tepatnya sekarang kalian menikmatinya (Mansyur,2012: 41).
(30) Kepada Kukila pernah aku katakan kami sudah memiliki dua orang anak. Sudah cukup. Dengan alasan yang kedengarannya sangat masuk akal, ia menginginkan anak lelaki, satu saja. Apakah ide itu datang darimu? (Mansyur, 2012: 41-42).
(31) Aku mohon, tidurlah di ranjang kami, bersama Kukila (Mansyur,2012: 35).
Kutipan (29), (30), dan (31) adalah pernyataan dari Rusdi yang mengetahui bagaimana perselingkuhan antara Pinlang dan Kukila, perselingkuhan itu pun juga sudah terjadi melebihi batas, pada kutipan (30) Kukila meminta izin kepada Rusdi bahwa dia ingin menambah anak laki-laki yang tentu saja hal itu hanya bisa diwujudkan dengan Pinlang. Perselingkuhan yang terjadi terus-menerus tanpa adanya batasan ini juga diketahui oleh anak dari Kukila. Hal ini bisa dibuktikan seperti pada kutipan (32) dan (33) berikut ini.
(32) Sekali lagi, aku tidak terlalu kaget jika ternyata aku bukan anak Rusdi. Apakah aku harus membiasakan diri untuk tidak menyebutnya ayah lagi? Aku tidak kaget jika aku ternyata anak Pinlang. Apakah aku harus menyebutnya ayah? (Mansyur,2012:
37).
(33) Aku melihatmu telanjang ditindih tubuh telanjang Pinlang. Sangat jelas aku melihatmu (Mansyur,2012: 38).
Kutipan (32) adalah pengakuan yang disampaikan oleh sang anak dimana ia juga tahu bahwa sebenarna Rusdi bukan ayah kandungnya. Sedangkan kutipan (33) sang anak mengetahui bagaimana hubungan intim antara Kukila dan Pinlang terjadi.
2. 2 Sudut Pandang
Sudut pandang adalah salah satu cara pengarang untuk menjabarkan atau menceritakan sebuah cerita apakah melalui pengarangnya sendiri dan juga mengikut sertakan tokoh lainya untuk menjadi pencerita. Sudut pandang juga adalah patokan seorang penulis dalam menyampaikan ceritanya ini bertujuan agar ceritanya lebih hidup dan mudah dipahami oleh pembaca.
Sudut pandang dalam cerpen “Kukila” karya M. Aan Mansyur ini menggunakan sudut pandang orang pertama “akuan” dan juga sudut pandang aku sebagai tokoh utama dan aku sebagai tokoh tambahan.
2.2.1 Sudut Pandang “aku” Tokoh Utama
Sudut pandang “aku” tokoh utama dalam cerpen Kukila dapat terlihat dalam kutipan (34) dan (35) berikut ini.
(34) Nak, dual hal aku benci dalam hidup: September dan pohon manga.
September yang kemarau dan pohon manga di depan rumah. Entah sudah berapa September berlalu, aku sendiri. Sepi. Rusdi tidak mau menemaniku mempertahankan rumah tangga. Kami pisah. Pohon manga harus ditebang (Mansyur,2012: 8).
(35) Di depan cermin setiap hari aku temukan hutan-hutan baru tumbuh di tubuhku. Terakhir, aku melihat hutan tumbuh di sepasang kelopak mataku. Akar-akarnya kekar menghujam. Tanganku tidak kuat mencabutnya. Semakin aku menangis, semakin hijaulah hutan-hutan itu (Mansyur,2012: 15).
Dalam kutipan (34) dan (35) terlihat bahwa penulis cerpen menggambarkan tokoh utamanya dengan sudut pandang orang pertama yang di gambarkan dengan penjelasan dari monolog tokoh Kukila yang sedang memberikan surat kepada anaknya yang berada di kota lain. Hal ini bisa di
analisis karena dalam kutipan (34) dan (35) terdapat kata ganti “aku” yang seakan-akan menjadi salah satu tokoh di dalam cerita ini.
2.2.2 Sudut Pandang “Aku” Tokoh Pendamping
Sudut pandang “aku” tokoh pendamping yang ada dalam cerpen ini juga terdapat dalam kutipan lainnya. Seperti pada kutipan (36) sampai (40);
(36) Ibu, kini aku datang dengan beban yang menambah berat ringkih pundakmu. Maafkan aku, Ibu. Kemana lagi seorang anak menumpahkan air matanyanya selain kepada sungai yang mengalir di pangkuan ibunya? (Mansyur,2012: 48).
(37) Aku pikir orang tuamu pernah bercerita tentang hukuman seperti apa yang akan menimpa orang-orang yang berani melarikan diri dari kampung ini. Di sini, dilarang melanggar hukum adat—mereka mencoba lari, namun tertangkap di tengah jalan (Mansyur,2012:
60).
(38) ia hanya bisa memandang sepasang kekasih itu bercumbu di tempatmu berbaring sekarang, dari jauh dari balik pohon—dulu selain aku ada beberapa pohon lain disekitar sini (Mansyur,2012:
62)
(39) Catatan harianku, aku tidak mau menangis kalau harus aku memilih, aku lebih suka menyanyi seperti burung pagi daripada menangis seperti burung malam sakit, sakit memang namun aku tidak mau menjatuhkan setetes pun air mataku untuk hal itu (Mansyur,2012: 32)
(40) kalimat-kalimat awal itu haruslah lebih santun, katanya tanpa suara kepada kepalanya sendiri. Mungkin aku harus meminta maaf tidak pernah datang menjenguknya, katanya. Tetapi, ah, untuk apa? Ia mulai berkelahi dengan pikiran-pikirannya sendiri (Mansyur,2012:
41)
Pada kutipan (36) sampai (40) adalah sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan. Dari sudut pandang ini, penulis masih melibatkan diri dalam sebuah cerita yang dibuatnya. Hanya saja, si penulis tak berperan sebagai tokoh utamanya. Melainkan, sebagai tokoh pendamping dari tokoh utama dari
cerita yang dibuatnya. Hal ini terlihat jelas pada kutipan (36) yang menggambarkan seolah-olah bahwa penggabaran karakteristik dari sisi psikoloanalisis yang ada pada tokoh ibu di ketahui benar oleh tokoh aku.
2.2.3 Sudut Pandang Orang Ketiga Pengamat
Sudut pandang orang ketiga pengamat dalam cerpen ini akan di buktikan pada kutipan (41) dan (42)
(41) Ia pembicara yang tidak memiliki telinga, tidak pernah membiarkan lawan bicaranya ikut bersuara. Ia terus saja berbicara. Bicara dan bicara. Dengan suara menjengkelkan seperti dosa-dosa (Mansyur,2012: 53)
(42) Setiap hari, ia menulis surat: untuk kukila, untuk ketiga anaknya.
Sesekali dia menulis surat untuk Rusdi. Alangkah menyiksa berusia tua dengan masa lalu sedemikian berat. Tidak ada perbandingan yang cocok baginya untuk menjelaskan bagaimana perihnya tikaman kenangan (Mansyur,2012: 55-56)
Kutipan (41) dan (42) adalah sudut pandang yang penulis sama sekali tak terlibat dalam ceritanya. Dia hanyalah berperan sebagai orang yang benar-benar menceritakan isi dari ceritanya. Dalam sudut pandang ini, si penulis mencoba mengisahkan kehidupan satu tokoh secara fokus tanpa menceritakan tokoh-tokoh lainnya.
2.3 Latar Tempat
Latar tempat adalah penjelasan mengenai suatu tempat, ruang, dan juga waktu atau keputusan latar yang lainnya yang tidak termasuk instrinsik pada suatu karya sastra yang bisa mencakup ruang, suasana, dan waktu yang terjadi pada
suatu karya sastra. Dalam KBBI V daring menyebutkan bahwa latar adalah keadaaan atau sebuah situasi dan tempat adalah bagian yang tertentu dalam suatu ruang yang bisa disebutkan sebagai rumah, bidang, atau suatu daerah. Dalam cerpen “Kukila” Karya M. Aan Mansyur, terdapat beberapa latar tempat yakni : Mabela, rumah (kamar, ranjang, meja makan, beranda, halaman, jendela depan rumah), Macawe, lobby hotel, pelaminan, sekolah (perpustakaan, kantin), kantor, dan Macawe. Deskripsi latar tempat tersebut adalah sebagai berikut;
2.3.1 Mabela
Mabela dalam novel ini adalah tempat tinggal sang anak pertama dari tokoh Kukila yang menjadi tujuan surat-surat pengakuan Kukila tentang bagaimana dia dan Rusdi berpisah dan bagaimana dia menjelaskan kepada sang anak bahwa pernikahaan yang sudah mereka bina harus berakhir karena keduanya sepakat dan bagaimana kukila menjelaskan bahwa anaknya itu bukanlah anak kandung dari Rusdi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan (43)
(43) Setelah berkali-kali membaca dan menulis ulang, kukila akhirnya mengirim surat itu kepada anak sulungnya di Mabela (Mansyur, 2012: 7)
Disini Mabela tidak begitu dijelaskan berjarak sejauh mana dari tempat yang ditinggali oleh Kukila namun tempat tinggal dari sang anak tidak bisa dipastikan jaraknya.
2.3.2 Rumah
Rumah dalam cerpen ini adalah pusat dan inti dari semua latar tempat pada cerpen “Kukila”. Rumah adalah latar tempat yang banyak sekali disebutkan dalam cerpen ini karena semua kisah dan juga rahasia berawal dari dalam rumah.
Rumah yang menjadi latar tempat pengakuan Kukila tentang bagaimana kehidupan percintaannya harus dijalani dengan serumit yang dia kira. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan (44) sampai (49) berikut.
(44) Rusdi harus pergi dari rumah ini (Mansyur, 2012: 9).
(45) Ia pergi dari rumah….. (Mansyur, 2012: 11).
(46) “Kalian barangkali ingin Ayah kembali ke Rumah….” (Mansur, 2012: 16)
Kutipan (44) sampai (46) adalah kutipan yang menjelaskan bahwa Rusdi meninggalkan rumah karena perceraian. Hal lain yang menggambarkan rumah begitu sepi dan hanya bulan September yang menemaninya adalah dalam kutipan berikut;
(47) September tidak pernah mau beranjak dari rumah (Mansyur, 2012:
13).
(48) September tinggal bagai di rumah sendiri (Mansyur, 2012: 14).
Kukila menggunakan majas alegori yaitu mengandaikan bulan September sebagai manusia yang sengaja datang untuk membuat kehidupan Kukila menjadi semakin terpuruk di rumahnya, ada juga dalam kutipan lain yang menggambarkan