BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN
& PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN JEPARA Jl. Pattimura No.4 Jepara, Telp. (0291) 592478
LAPORAN AKHIR
KAJIAN POTENSI
PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DI KABUPATEN JEPARA
Tahun Anggaran 2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas tersusunnya laporan akhir dari proses pelaksanaan pekerjaan Kajian Potensi Pengembangan Biofarmaka Di Kabupaten Jepara. Buku laporan tahap akhir berisikan tentang latar belakang, maksud, tujuan, dan sasaran penyusunan laporan, telaah literatur, gambaran umum kabupaten Jepara dan profil potensi biofarmaka, analisis potensi dan strategi pengembangan biofarmaka serta pemberdayaannya.
Dengan terselesaikannya buku laporan akhir ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan tanaman biofarmaka di Kabupaten Jepara.
Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya laporan ini, diucapkan terima kasih.
Jepara, November 2017
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vi BAB 1 PENDAHULUAN ... I-1 1.1. Latar Belakang ... I-1 1.2. Maksud, Tujuan dan sasaran... I-5 1.2.1. Maksud ... I-5 1.2.2. Tujuan ... I-5 1.2.3. Sasaran ... I-5 1.3. Ruang Lingkup Pekerjaan ... I-5 1.4. Dasar Hukum ... I-7 1.5. Keluaran ... I-7 1.6. Sistematika Penulisan ... I-7 BAB 2 KAJIAN TEORI DAN METODE KAJIAN ... II-1 2.1. Kajian Teori ... II-1 2.1.1. Pembangunan Agribisnis ... II-1 2.1.2. Zona Agroekologi ... II-3 2.1.3. Potensi Biofarmaka dan Pengembangannya ... II-6 2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen dan Penjaminan Mutu... II-10 2.2. Kerangka Pikir Kajian ... II-27 2.3. Metode kajian ... II-28 BAB III GAMBARAN UMUM JEPARA & KAJIAN KEBIJAKAN ... III-1 3.1. PROFIL WILAYAH ... III-1 3.1.1. Letak Geografis ... III-1 3.1.2. Karakteristik Fisik Alam ... III-4 3.1.3. Administrasi ... III-16 3.1.4. Kependudukan ... III-17 3.1.5. Sosial Budaya... III-20 3.1.6. Pendidikan... III-21 3.1.7. Kesehatan ... III-21 3.1.8. Agama ... III-22 3.1.9. Perekonomian ... III-23 3.1.10. Produk Domestik Regional Bruto ... III-23 3.2. PROFIL POTENSI ... III-26 3.2.1. Gambaran Umum Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara ... III-26 3.2.2. Gambaran Umum Biofarmaka ... III-31 3.2.3. Tanaman Biofarmaka yang didata di Jepara ... III-33 3.3. KAJIAN KEBIJAKAN ... III-74 3.3.1. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ... III-74 3.3.2. UU No 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura ... III-75
iii
3.3.3. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2009 - 2029 ... III-83 3.3.4. Perda Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2011 Tentang RTRW
Kabupaten Jepara Tahun 2011-2031 ... III-87 3.3.5. RPJPD Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025 (Perda Kabupaten
Jepara No 2 Tahun 2007) ... III-94 BAB IV ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN .. IV-1 4.1. Identifikasi Potensi ... IV-2 4.1.1. Identifikasi Potensi Pertanian ... IV-2 4.1.2. Identifikasi Wilayah Potensial Biofarmaka ... IV-6
4.1.3. Identifikasi Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha Pertanian Biofarmaka IV-36 4.1.4. Identifikasi Persoalan Agribisnis Biofarmaka ... IV-38
4.2. Zona Agroekologi Kabupaten Jepara ... IV-41 4.3. Analisis Potensi ... IV-54
4.3.1. Kondisi Eksisting dan Analisis Produktivitas Budidaya Biofarmaka IV-54 4.3.2. Analisis Rantai Nilai ... IV-62
4.3.3. Analisis SWOT ... IV-65 4.4. Prospek Potensi Dan Arah Pengembangan... IV-67 4.4.1. Prospek potensi Pasar ... IV-67 4.4.2. Prospek potensi budidaya ... IV-68 4.4.3. Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan ... IV-83 BAB V STRATEGI PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DAN
PEMBERDAYAANNYA ... V-1 1. Kelembagaan ... V-1 2. SDM ... V-1 3. Teknologi dan Pengembangan Usaha ... V-2 4. Pembiayaan ... V-4 5. Promosi dan pemasaran ... V-4 6. Kemitraan ... V-4 DAFTAR PUSTAKA
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perbandingan Trend hasil produksi Tanaman Biofarmaka di
Jepara dan Jawa tengah... I-4 Tabel 2.1 Matriks SWOT ……… II-32
Tabel 3. 1 Ketinggian Permukaan Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Jepara III-4 Tabel 3. 2 Banyaknya Hari Hujan Dan Curah Hujan Di Kabupaten Jepara III-9
Tabel 3. 3 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016 ... III-14 Tabel 3. 4 Jumlah Kecamatan, Luas, Desa/Kelurahan, RW dan RT ... III-16 Tabel 3. 5 Penduduk Menurut Kelompok Umur Dirinci Per Jenis Kelamin
Di Kabupaten Jepara 2016 ... III-17 Tabel 3. 6 Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Jepara 2016... III-18 Tabel 3. 7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Jepara 2011-2016 III-20 Tabel 3. 8 Jumlah Sekolah dan Siswa Menurut Jenjang Pendidikan ... III-21 Tabel 3. 9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Tahun 2016 ... III-22 Tabel 3. 10 PDRB Kabupaten Jepara ADHB Menurut Lapangan Usaha
(Juta Rupiah) Tahun 2012 – 2016 ... III-24 Tabel 3. 11 PDRB Kabupaten Jepara ADHK Menurut Lapangan Usaha
(Juta Rupiah) Tahun 2012 – 2016 ... III-25 Tabel 3. 12 Banyaknya Usaha Pertanian Berdasarkan Hasil Sensus
Pertanian 2003 dan 2013 Menurut Kecamatan dan Cakupan Usaha ... III-27 Tabel 3. 13 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016 ... III-29 Tabel 3. 14 Kelompok Tanaman Biofarmaka ... III-31 Tabel 3.15 Impor Tanaman Obat Tahun 2014-2015 ... III-32 Tabel 3.16 Ekspor Tanaman Obat Tahun 2014-2015 ... III-32 Tabel 3.17 Luas Panen Tanaman Dlingo/Dringo per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-33
Tabel 3. 18 Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) III-35 Tabel 3. 19 Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-36 Tabel 3. 20 Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-38 Tabel 3. 21 Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-39 Tabel 3. 22 Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-41 Tabel 3. 23 Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-42 Tabel 3. 24 Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-44 Tabel 3. 25 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-45 Tabel 3. 26 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Pohon) ... III-47 Tabel 3. 27 Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Pohon) ... III-49
v
Tabel 3. 28 Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara(Ha) ... III-50 Tabel 3. 29 Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-52 Tabel 3. 30 Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-53
Tabel 3. 31 Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III-55 Tabel 3. 32 Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara
(ton) ... III-56 Tabel 3. 33 Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-58 Tabel 3. 34 Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-59
Tabel 3. 35 Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III-61 Tabel 3. 36 Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III-62 Tabel 3. 37 Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara
(ton) ... III-64 Tabel 3. 38 Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-65 Tabel 3. 39 Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-66 Tabel 3. 40 Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Pohon) ... III-68 Tabel 3. 41 Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (ton)... III-69 Tabel 3. 42 Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-70 Tabel 3. 43 Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-72 Tabel 3. 44 Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-73 Tabel 4. 1 Potensi Unggulan, Andalan Dan Potensial Sektor Pertanian ... IV-4 Tabel 4. 2 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik ... IV-6 Tabel 4. 3 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik ... IV-35 Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kelompok Poktan ... IV-37 Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Jenis Usaha Kelompok Tani ... IV-37 Tabel 4. 6 Luas Lahan Sawah dan Jumlah Anggota Poktan ... IV-38 Tabel 4.7 Sebaran bentuk lahan, Bahan Induk dan Luas ... IV-41 Tabel 4.8 Sebaran bahan induk tanah di Kabupaten Jepara ... IV-43 Tabel 4.9 Sebaran kelas kemiringan lahan di Kabupaten Jepara ... IV-44 Tabel 4.10 Sebaran tekstur tanah di Kabupaten Jepara... IV-45 Tabel 4.11 Sebaran drainase tanah di Kabupaten Jepara ... IV-45 Tabel 4. 12 Satuan Unit (SUL) Zona Agroekologi di Kabupaten Jepara dan
tanaman Biofarmaka yang cocok ... IV-47 Tabel 4. 13 Potensi Kecocokan Jenis Tanaman Biofarmaka berdasarkan
Kecamatan ... IV-52
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Prototipe sistem agribisnis (Siregar, 2006) ... II-2 Gambar 2. 2 Pelibatan Multidisiplin Dalam Pengembangan Biofarmaka .. II-6 Gambar 2. 3 Tahapan Kerja Untuk Mendapatkan Senyawa Kimia Murni
Bahan Obat ... II-8 Gambar 2. 4 Proses pengembangan produk tradisional ... II-9 Gambar 2. 5 Pola pengembangan ekstra terstandar ... II-10 Gambar 2. 6 SOP Simplisia Rimpang (Rizhoma) ... II-21 Gambar 2. 7 SOP Simplisia Daun ... II-22 Gambar 2. 8 SOP Simplisia Bunga ... II-23 Gambar 2. 9 SOP Simplisia Buah ... II-24 Gambar 2. 10 SOP Simplisia Biji ... II-25 Gambar 2. 11 SOP Simplisia Akar ... II-25 Gambar 2. 12 SOP Simplisia Kayu dan Kulit Batang ... II-26 Gambar 2. 13 SOP Bubuk/Serbuk ... II-27 Gambar 2. 14 Kerangka Pemikiran ... II-28 Gambar 2. 15 Desain Matrik Metode Campuran ... II-30 Gambar 3. 1 Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah... III-2 Gambar 3. 2 Peta Kabupaten Jepara ... III-3 Gambar 3. 3 Peta Kemiringan Lereng... III-8 Gambar 3. 4 Peta Curah Hujan Kabupaten Jepara ... III-10 Gambar 3. 5 Peta Jenis Tanah ... III-12 Gambar 3. 6 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Jepara ... III-15 Gambar 3. 7 Kepadatan penduduk masing-masing Kecamatan di Kabupaten
Jepara ... III-19
Gambar 3. 8 Persentase Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Lapangan Usaha III-23 Gambar 3. 9 Unit usaha Industri Kecil Menengah di Kecamatan di
Kabupaten Jepara ... III-26
Gambar 3. 10 Penyebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara III-28 Gambar 3. 11 Luas Lahan Tanah Sawah dan Tanah Kering... III-30
Gambar 3. 12 Luas Lahan Tanah Sawah ... III-30 Gambar 3. 13 Luas Lahan Tanah Kering ... III-30 Gambar 3. 14 Luas Panen Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-34 Gambar 3. 15 Luas Panen Tanaman Dringo (Ha) di Kabupaten Jepara dan
Provinsi Jawa Tengah ... III-34 Gambar 3. 16 Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-35 Gambar 3. 17 Luas Panen Tanaman Jahe (Ha) di Kabupaten Jepara dan
Provinsi Jawa Tengah ... III-36 Gambar 3. 18 Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-37 Gambar 3. 19 Luas Panen Tanaman Kapulaga (Ha) di Kabupaten Jepara
dan Provinsi Jawa Tengah ... III-37 Gambar 3. 20 Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di
vii
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-38 Gambar 3. 21 Luas Panen Tanaman Kejibeling (Ha) di Kabupaten Jepara
dan Provinsi Jawa Tengah ... III-39 Gambar 3. 22 Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-40 Gambar 3. 23 Luas Panen Tanaman Kencur (Ha) di Kab. Jepara dan Provinsi
Jawa Tengah ... III-40 Gambar 3. 24 Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-41 Gambar 3. 25 Luas Panen Tanaman Kunyit (Ha) di Kabupaten Jepara dan
Provinsi Jawa Tengah ... III-42 Gambar 3. 26 Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (Ha) ... III-43 Gambar 3. 27 Luas Panen Tanaman Laos (Ha) di Kabupaten Jepara dan
Provinsi Jawa Tengah ... III-43 Gambar 3. 28 Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-44 Gambar 3. 29 Luas Panen Tanaman Lempuyang (Ha) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-45 Gambar 3. 30 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-46 Gambar 3. 31 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya (Ha) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-46 Gambar 3. 32 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (pohon) ... III-48 Gambar 3. 33 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa (pohon) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-48 Gambar 3. 34 Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (pohon) ... III-49 Gambar 3. 35 Luas Panen Tanaman Mengkudu (pohon) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-50 Gambar 3. 36 Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-51 Gambar 3. 37 Luas Panen Tanaman Temuireng (ha) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-51 Gambar 3. 38 Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-52 Gambar 3. 39 Luas Panen Tanaman Temukunci (Ha) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-53 Gambar 3. 40 Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Ha) ... III-54 Gambar 3. 41 Luas Panen Tanaman Temulawak (Ha) di Kabupaten
Jepara dan Provinsi Jawa Tengah ... III-54 Gambar 3. 42 Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-56
viii
Gambar 3. 43 Produksi Tanaman Dringo (Ton) di Kabupaten Jepara dan di
Provinsi Jawa Tengah ... III-56
Gambar 3. 44 Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III-57 Gambar 3. 45 Produksi Tanaman Jahe (Ton) di Kabupaten Jepara dan di
Provinsi Jawa Tengah ... III-58 Gambar 3. 46 Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-59 Gambar 3. 47 Produksi Tanaman Kapulaga (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-59 Gambar 3. 48 Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-60 Gambar 3. 49 Produksi Tanaman Kejibeling (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-60 Gambar 3. 50 Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-61 Gambar 3. 51 Produksi Tanaman Kencur (Ton) di Kabupaten Jepara dan
di Provinsi Jawa Tengah ... III-62 Gambar 3. 52 Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-63 Gambar 3. 53 Produksi Tanaman Kunyit (Ton) di Kabupaten Jepara dan di
Provinsi Jawa Tengah ... III-63
Gambar 3. 54 Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III-64 Gambar 3. 55 Produksi Tanaman Laos (Ton) di Kabupaten Jepara dan di
Provinsi Jawa Tengah ... III-65 Gambar 3. 56 Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-66 Gambar 3. 57 Produksi Tanaman Lempuyang (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-66 Gambar 3. 58 Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-67 Gambar 3. 59 Produksi Tanaman Lidah Buaya (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-67 Gambar 3. 60 Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (ton) ... III-68 Gambar 3. 61 Produksi Tanaman Mahkota Dewa (Ton) di Kabupaten
Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-69 Gambar 3. 62 Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di
Kabupaten Jepara (Pohon) ... III-70 Gambar 3. 63 Produksi Tanaman Mengkudu (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-70 Gambar 3. 64 Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-71 Gambar 3. 65 Produksi Tanaman Temuireng (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-71 Gambar 3. 66 Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-72
ix
Gambar 3. 67 Produksi Tanaman Temukunci (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-73 Gambar 3. 68 Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten
Jepara (ton) ... III-73 Gambar 3. 69 Produksi Tanaman Temulawak (Ton) di Kabupaten Jepara
dan di Provinsi Jawa Tengah ... III-74 Gambar 4. 1 Luas Panen Jahe tahun 2010-2017 ... IV-7 Gambar 4. 2 Produksi Jahe tahun 2010-2017 ... IV-7 Gambar 4. 3 Luas Panen Laos tahun 2010-2017 ... IV-8 Gambar 4. 4 Produksi Laos tahun 2010-2017 ... IV-8 Gambar 4. 5 Luas Panen Kencur tahun 2010-2017 ... IV-9 Gambar 4. 6 Produksi Kencur tahun 2010-2017 ... IV-9 Gambar 4. 7 Luas Panen Kunyit tahun 2010-2017 ... IV-10 Gambar 4. 8 Produksi Kunyit tahun 2010-2017 ... IV-10 Gambar 4. 9 Luas Panen Lempuyang tahun 2012-2017 ... IV-11 Gambar 4. 10 Produksi Lempuyang tahun 2012-2017 ... IV-11 Gambar 4. 11 Luas Panen Temulawak tahun 2010-2017 ... IV-12 Gambar 4. 12 Produksi Temulawak tahun 2010-2017... IV-12 Gambar 4. 13 Luas Panen Temuireng tahun 2012-2017... IV-13 Gambar 4. 14 Produksi Temuireng tahun 2012-2017 ... IV-13 Gambar 4. 15 Luas Panen Temukunci tahun 2012-2017 ... IV-14 Gambar 4. 16 Produksi Temukunci tahun 2012-2017 ... IV-14 Gambar 4. 17 Produksi Dlingo tahun 2012-2017 ... IV-15 Gambar 4. 18 Luas Panen Kapulaga tahun 2012-2017 ... IV-15 Gambar 4. 19 Produksi Kapulaga tahun 2012-2017 ... IV-16 Gambar 4. 20 Luas Panen Mengkudu tahun 2012-2017 ... IV-16 Gambar 4. 21 Luas Panen Mahkota Dewa tahun 2012-2017... IV-17 Gambar 4. 22 Produksi Mahkota Dewa tahun 2012-2017 ... IV-18 Gambar 4. 23 Luas Panen Kejibeling tahun 2012-2017 ... IV-18 Gambar 4. 24 Produksi Kejibeling tahun 2012-2017... IV-19 Gambar 4. 25 Luas Panen Lidah Buaya tahun 2012-2017... IV-19 Gambar 4. 26 Produksi Lidah Buaya tahun 2012-2017 ... IV-20 Gambar 4. 27 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Dlingo (%) ... IV-21 Gambar 4. 28 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Dlingo (%) ... IV-21 Gambar 4. 29 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Jahe (%) ... IV-22 Gambar 4. 30 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Jahe (%) ... IV-22 Gambar 4. 31 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kapulaga (%) ... IV-23 Gambar 4. 32 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kapulaga (%) ... IV-23 Gambar 4. 33 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kejibeling (%) ... IV-24
x
Gambar 4. 34 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kejibeling (%) ... IV-24 Gambar 4. 35 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kencur (%) ... IV-25 Gambar 4. 36 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kencur (%) ... IV-25 Gambar 4. 37 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kunyit (%) ... IV-26 Gambar 4. 38 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Kunyit (%) ... IV-26 Gambar 4. 39 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Laos (%) ... IV-27 Gambar 4. 40 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Laos (%) ... IV-27 Gambar 4. 41 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Lempuyang (%) ... IV-28 Gambar 4. 42 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Lempuyang (%) ... IV-28 Gambar 4. 43 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Lidah Buaya (%) ... IV-29 Gambar 4. 44 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Lidah Buaya (%) ... IV-29 Gambar 4. 45 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Mahkota Dewa (%) ... IV-30 Gambar 4. 46 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Mahkota Dewa (%) ... IV-30 Gambar 4. 47 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Mengkudu (%) ... IV-31 Gambar 4. 48 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Mengkudu (%) ... IV-31 Gambar 4. 49 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Temuireng (%) ... IV-32 Gambar 4. 50 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Temuireng (%) ... IV-32 Gambar 4. 51 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Temukunci (%) ... IV-33 Gambar 4. 52 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Temukunci (%) ... IV-33 Gambar 4. 53 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Temulawak (%) ... IV-34 Gambar 4. 54 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap
tanaman Temulawak (%) ... IV-34 Gambar 4. 55 Rata-rata Produktivitas Tanaman Biofarmaka Kabupaten
Jepara ... IV-61 Gambar 4. 56 Peta Potensi Dringo ... IV-69 Gambar 4. 57 Peta Potensi Jahe ... IV-70
xi
Gambar 4. 58 Peta Potensi Kapulaga ... IV-71 Gambar 4. 59 Peta Potensi Kejibeling ... IV-72 Gambar 4. 60 Peta Potensi Kencur ... IV-73 Gambar 4. 61 Peta Potensi Kunyit ... IV-74 Gambar 4. 62 Peta Potensi Laos/Lengkuas ... IV-75 Gambar 4. 63 Peta Potensi Lempuyang ... IV-76 Gambar 4. 64 Peta Potensi Lidah Buaya ... IV-77 Gambar 4. 65 Peta Potensi Mahkota Dewa ... IV-78 Gambar 4. 66 Peta Potensi Mengkudu/Pace ... IV-79 Gambar 4. 67 Peta Potensi Temuireng ... IV-80 Gambar 4. 68 Peta Potensi Temukunci ... IV-81 Gambar 4. 69 Peta Potensi Temulawak ... IV-82
I-1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otonomi daerah memberikan motivasi bagi setiap daerah untuk menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya seoptimal mungkin termasuk didalamnya sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian daerah di Jepara dalam posisi tiga besar.
Pengembangan potensi wilayah untuk sektor pertanian, keragaman sifat lahan sangat menentukan jenis komoditas yang cocok untuk diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Keragaman potensi sumberdaya lahan mengindikasikan perlunya suatu perencanaan penggunaan lahan yang tepat, optimal dan berkelanjutan dengan mengacu pada hasil analisis dan informasi potensi sumberdaya lahan yang ada. Zona Agroekologi (ZAE) merupakan suatu konsep penyederhanaan dan pengelompokkan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif dengan menggunakan sistem informasi geografis.
Pembangunan pertanian merupakan langkah strategis untuk mempercepat laju pengentasan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2015 sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen), angka ini mengalami kenaikan sebanyak 0,31 juta jiwa dibandingkan Maret 2014, yaitu jumlah penduduk miskin 28,28 juta jiwa (11,25 persen), hal ini terlihat bahwa secara absolut mengalami kenaikan, tetapi secara relatif mengalami penurunan. Selama periode Maret 2014-Maret 2015, penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah 0,14 juta orang, sementara di daerah perdesaan bertambah 0,17 juta orang (BPS Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2015).
Sedangkan untuk angka kemiskinan di Kabupaten Jepara pada Bulan September 2014 sebesar 100.484 jiwa (8,55 persen). Angka kemiskinan ini dalam kurun waktu 5 tahun mengalami penurunan, yaitu dari 9,38 persen pada tahun 2012 menjadi 8,50 persen pada tahun 2015 (sumber: paparan wabup).
Upaya pencapaian target peningkatan kesejahteraan petani dan nilai
I-2
tambah dilakukan melalui berbagai program. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pengembangan agibisnis untuk mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan. Pengembangan agribisnis dijabarkan melalui berbagai kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, antara lain Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen tenaga pendamping lapang (Kemtan, 2010).
Produk biofarmaka yang salah satunya berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan Industri Obat Tradisonal (IOT) dan kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah telah mengembangkan beberapa klaster biofarmaka. Di Jawa Tengah terdapat beberapa klaster biofarmaka antara lain di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan Semarang.
Sesuai klasifikasi sektor usaha di PDRB, terdapat 20 sektor usaha. Salah satu sektor adalah pertanian, kehutanan dan perikanan, sub sektornya adalah 1) Pertanian, Peternakan, Perburuan & Jasa Pertanian dengan sub sektor 1a) Tanaman Pangan, 1b) Tanaman Hortikultura, 1c) Perkebunan, 1d) Peternakan, 1e) Jasa Pertanian & Perburuan, 2) Kehutanan & Penebangan Kayu, 3) Perikanan.
Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya.
Kebutuhan dunia akan tanaman obat mencapai 1,2 juta ton per tahun dengan rata-rata kenaikan permintaan mencapai 6%-7% per tahun atau sekitar 80 ribu ton per tahun peningkatannya. Permintaan impor biofarmaka paling banyak berasal dari negara Jepang, Belanda, Jerman, Saudi Arabia dan USA. Pada tahun 2017, ekspor Indonesia telah mencapai 12,15 juta USD dengan negara tujuan
I-3
ekspor terbesar adalah India (33%), Bangladesh (16%), Malaysia (9%), Vietnam (7%) dan Korea Selatan (6%).
Potensi pasar dalam negeri juga masih terbuka lebar dengan adanya kebiasaan masyarakat Indonesia meminum jamu. Survey perilaku konsumen dalam negeri menunjukkan bahwa 61,3% responden mempunyai kebiasaan meminum jamu tradisional. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa industri obat tradisional (IOT) di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat Tahun 1999 jumlah IOT di indonesia sebanyak 449 industri yang terdiri atas 429 buah Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 20 buah IOT. Pada tahun 2009 jumlah IOT di Indonesia telah meningkat menjadi 810 buah dengan 723 IKOT dan 87 buah IOT. Industri sebanyak ini mampu menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1,5 trilyun per tahun.
Sayangnya permintaan pasar yang besar, belum dapat dipenuhi.
Kekurangan pasokan tersebut antara lain disebabkan rendahnya budidaya tanaman obat secara komersial. Petani juga menghadapi permasalahan rendahnya kualitas produk, sementara industri obat tradisional menuntut kualitas yang tinggi (Pusat Studi Biofarmaka IPB, 2010). Selain itu, petani juga menghadapi hambatan rendahnya produktivitas dan harga, ketidakpastian pasar, dan lemahnya modal dan daya tawar (Bank Indonesia, 2005; Departemen Pertanian, 2007).
Alasan rendahnya produktivitas yaitu belum diterapkannya teknik budidaya anjuran berdasarkan Standard operational procedure (SOP) yang dibakukan (Bank Indonesia, 2005; Departemen Pertanian, 2007), dan belum digunakannya bibit unggul (Departemen Pertanian, 2007). Masalah rendahnya harga yang diterima petani tak bisa dilepaskan dari rantai nilai. Proses transformasi produk dari bahan mentah menjadi barang jadi biasanya melalui rangkaian mata rantai kegiatan yang disebut value chain (rantai nilai) atau supply chain (rantai pasokan). Menurut FAO (2004), rantai nilai tanaman obat seringkali sangat panjang, yang melibatkan petani, tengkulak lokal, pasar grosir regional, pasar grosir besar dan pemasok khusus. Vodouhe dkk (2008) menemukan bahwa distribusi keuntungan kotor diantara para pelaku bisnis tanaman obat tidak merata.
Petani, yang merupakan pelaku kunci, justru mendapatkan margin yang terendah
I-4
sedangkan tengkulak memperoleh margin tertinggi.
Meskipun pasar tanaman obat domestik maupun ekspor sangat menjanjikan, namun supply response (respon pasokan) dari petani belum seperti yang diharapkan karena masih terjadi kesenjangan yang tinggi antara permintaan dan penawaran. Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi industri biofarmaka.
Pertama, belum kokohnya sektor industri hulu. Kedua, terdapatnya kebijakan yang berpotensi menghambat pengembangan industri ini. Ketiga, dari sisi pasar, beredarnya obat tradisional ilegal serta produk biofarmaka negara lain dengan tingkat inovasi yang lebih baik. Oleh karena itu, pengembangan biofarmaka memerlukan strategi integrasi hulu-hilir, kategorisasi kebijakan kawasan industri, peningkatan mutu, pemasaran, dan daya saing untuk pasar domestik dan asing.
Kabupaten Jepara memiliki potensi di bidang pertanian yang cukup baik, termasuk di dalamnya komoditas tanaman biofarmaka. Berbagai jenis tanaman biofarmaka hidup dan berkembang di dataran Jepara secara alami. Akan tetapi semua potensi tersebut belum teridentifikasi secara baik, sehingga strategi pengembangannya belum terdokumentasi.
Dari analisis pendahuluan yang dilakukan oleh tim, perkembangan tanaman biofarmaka secara statistik, sebagai berikut:
Tabel 1.1 Perbandingan Trend hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jepara dan Jawa tengah
Jenis tanaman biofarmaka
Trend 2008-2013 (persen) Jepara Jawa Tengah
Kencur -59,09 69,33
Jahe -52,50 5,79
Kunyit -71,71 3,03
Laos -15,80 -4,14
Temulawak -79,72 86,78
Sumber: olah data, 2017
Berdasarkan tabel 1.1, dapat dijelaskan bahwa semua hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jepara meliputi kencur, jahe, kunyit, laos dan temulawak mengalami trend penurunan yang drastis. Hal yang sebaiknya terjadi untuk jawa tengah yang trendnya mengalami kenaikan.
I-5
Berangkat dari permasalahan ini, maka kajian untuk mengembangkan potensi biofarmaka perlu dilakukan. Kajian ini akan menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan untuk menyusun kebijakan strategis daerah terutama yang terkait dengan potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara.
1.2. Maksud, Tujuan dan sasaran 1.2.1. Maksud
Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan dokumen kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara.
1.2.2. Tujuan
Tujuan pekerjaan adalah menyusun dokumen kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara.
1.2.3. Sasaran
Sasaran pekerjaan ini adalah:
1. Menganalisis potensi sumber daya tanaman biofarmaka yang ada di Jepara 2. Menganalisis zona agroekologi pengembangan budidaya tanaman
biofarmaka di Jepara
3. Menganalisis pengembangan pasca panen tanaman biofarmaka yang ada di Jepara
1.3. Ruang Lingkup Pekerjaan
Lingkup kegiatan dalam Kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab.
Jepara adalah sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Melakukan studi literatur atau review studi yang relevan;
b. Pengidentifikasian peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait pembangunan pertanian, khususnya terkait komoditas biofarmaka;
c. Pemahaman kebijakan-kebijakan untuk menentukan dasar studi /desain;
I-6
d. Menyusun jadual kerja dan kegiatan persiapan lain yang dibutuhkan.
2. Melaksanakan pengumpulan data, baik data primer, data sekunder yang terdiri dari:
a. Pengumpulan Data Primer berupa:
1) Inventarisasi potensi tanaman biofarmaka di Kab. Jepara.
b. Pengambilan data-data sekunder berupa :
1) Kondisi eksisting budidaya tanaman biofarmaka di Kab. Jepara 2) Identifikasi potensi panen komoditas biofarmaka di Kabupaten
Jepara,
3) Data-data lainnya yang relevan.
3. Melakukan analisa dan evaluasi pengembangan budidaya biofarmaka di Kabupaten Jepara.
a. Melakukan analisa kebutuhan sarana dan prasana untuk mendukung pengembangan budidaya dan pemanfaatan pasca panen komoditas biofarmaka di Kabupaten Jepara;
b. Melakukan analisa dan proyeksi pengembangan komoditas biofarmaka baik ditinjau dari aspek budidaya maupun pemanfaatan pasca panen;
4. Menyusun laporan kegiatan.
Penyusunan laporan kegiatan merupakan tahapan akhir dari kegiatan kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara.
1.4. Dasar Hukum
1. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 2. UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
3. UU No. 18 tahun 2002 Tentang Sistem Nasional penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman 6. UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura
7. PP RI No. 103 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional
I-7
8. Permenkes No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional
9. Permenkes RI No. 006 /2002 tentang Industri dan Obat Tradisional
10. Permenkes RI Mo. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk Menjamin Jamu Aman, Bermutu dan Berkhasiat
11. Perda No 2 Tahun 2007 Tentang RPJPD Kabupaten Jepara Tahun 2005- 2025
12. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009–2029
13. Perda No 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Tahun 2011-2031
14. Perbup Kab. Jepara No 12 Tahun 2014 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah Kabupaten Jepara
1.5. Keluaran
Keluaran yang dihasilkan dari pelaksanan pekerjaan ini adalah tersedianya hasil kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara.
1.6. Sistematika Penulisan
Penulisan Kajian disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan berisi penjelasan mengenai latar belakang pentingnya kajian ini, maksud, tujuan, dan sasaran, ruang lingkup, dasar hukum, keluaran, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teori dan Metode Kajian
Pada bab 2 berisi tentang kajian teori, metode pelaksanaan pekerjaan, metode analisis, dan tahapan analisis.
Bab III Gambaran Umum Kabupaten Jepara
Bab 3 berisi tentang gambaran umum Kabupaten Jepara secara luas,
I-8
gambaran umum tanaman biofarmaka di Jepara, dan kajian kebijakan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Bab IV Analisis Potensi dan Strategi Pengembangan
Pada bab 4 berisi tentang Identifikasi Potensi pertanian, identifikasi wilayah potensial tanaman biofarmaka, identifikasi pelaku utama dan pelaku usaha pertanian biofarmaka, identifikasi persoalan agribisnis biofarmaka, zona agroekologi kabupaten jepara, kondisi eksisting dan analisis produktivitas budidaya biofarmaka, analisis rantai nilai, analisis SWOT, prospek potensi dan arah pengembangan.
Bab V Strategi Pengembangan Biofarmaka dan Pemberdayaannya
Pada bab lima berisi mengenai strategi pengembangan biofarmaka dan pemberdayaannya meliputi kelembagaan, SDM, teknologi dan pengembangan usaha, promosi dan pemasaran, kemitraan.
II-1
BAB 2 KAJIAN TEORI DAN METODE KAJIAN
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pembangunan Agribisnis
Agribisnis merupakan cara baru dalam memandang pertanian yang mempunyai keterkaitan antar sektor (intersektoral) sebagai satu sistem dengan pendekatan bisnis. Agribisnis memperhatikan keterkaitan vertikal antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian.
Menurut Saragih (1998), sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer, dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), dan jasa layanan pendukung.
Subsistem agribisnis hulu meliputi kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (misalnya industri pupuk, obat-obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian). Subsistem usahatani mencakup kegiatan yang menggunakan barang-barang modal yang dihasilkan subsistem hulu dan sumberdaya alam untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Subsistem agribisnis hilir mencakup pengolahan hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap masak, siap saji, atau siap konsumsi, serta perdagangan di pasar domestik dan internasional. Yang terakhir adalah subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir.
Keterkaitan antar subsistem dalam sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 2.1.
II-2 Sumber: (Siregar, 2006)
Gambar 2. 1 Prototipe sistem agribisnis
Dalam pembangunan sistem agribisnis, keempat subsistem tersebut beserta usaha-usaha di dalamnya harus dikembangkan secara sumultan dan harmonis.
Karena itu, tugas manejemen pembangunan adalah mengorkestra perkembangan perkembangan kelima subsistem tersebut secara harmonis.
Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang menginte- grasikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu cluster industri. Pembangunan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis akan memperbesar potensi pertanian melalui penciptaan nilai tambah dan mendorong peningkatan efisiensi usaha (Anonim, 2007).
Ada tiga tahap pembangunan agribisnis (Siregar, 2006). Menurut tahapan tersebut, pembangunan agribisnis di Indonesia saat ini masih digerakkan oleh kelimpahan faktor produksi (factor driven) sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terdidik. Peningkatan nilai produksi agregat lebih bersumber pada peningkatan jumlah konsumsi sumber daya alam dan tenaga kerja dengan produksi akhir berupa produk komoditas primer (agricultural based economy).
Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak akan mampu menghadapi kompetisi global yang semakin ketat dan manfaat ekonomi yang dihasilkan relatif kecil.
Untuk itu pembangunan agribisnis perlu diarahkan agar dapat berpindah pada
II-3
tahap selanjutnya, yaitu pengelolaan komoditas yang digerakkan oleh kekuatan investasi dan pendalaman industri pengolahan (agroindustri) serta industri hulu.
Pada tahap ini produk akhir yang dihasilkan berupa produk yang bersifat padat modal dan tenaga terdidik sehingga nilai tambahnya lebih besar dan segmen pasarnya lebih luas. Perekonomian dengan demikian akan berbasis industri agribisnis (agroindustry based economy).
Pada tahap pembangunan agribisnis selanjutnya, pembangunan akan didorong oleh inovasi pada setiap subsistem agribisnis yang disertai dengan peningkatan sumberdaya manusia. Ciri tahap ini adalah produktivitas yang tinggi dari lembaga- lembaga penelitian dan pada setiap subsistem agribisnis, sedangkan produk yang dihasilkan didominasi oleh produk berbasis ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik dengan nilai tambah yang tinggi. Pada tahap ini perekonomian akan berbasis teknologi (technology based economy).
2.1.2. Zona Agroekologi
Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian maupun keperluan lainnya membutuhkan pemikiran seksama dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemanfaatan yang paling optimal. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), mengemukakan bahwa untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh, informasi faktor fisik lingkungan yang meliputi sifat dan potensi lahan melalui kegiatan evaluasi sumberdaya lahan harus tersedia.
Produktivitas dan mutu hasil suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh kondisi biofisik, agroklimat dan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, harus memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Keragaman sifat lahan merupakan modal dasar yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan pewilayahan komoditas pertanian. Perencanaan pembangunan pertanian yang berdasarkan pewilayahan akan dapat mengatasi terjadinya persaingan jenis dan produksi komoditas antar wilayah, sehingga peluang pasar akan terjamin. Jenis atau kelompok komoditas
II-4
pertanian yang potensial untuk dikembangkan di suatu wilayah perlu memperhatikan kondisi wilayah setempat. Hal ini disebabkan setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Djaenudin et al, 1998).
Berbagai langkah yang ditempuh dalam pengembangan sumberdaya lahan secara optimal, antara lain: (a) pengenalan sifat dan karakteristik; (b) penetapan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan; (c) penetapan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan; (d) penilaian kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) penentuan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan (Budianto, 2001).
Produksi pertanian menjadi optimum serta berwawasan lingkungan tercapai apabila lahan digunakan secara tepat dan dengan cara pengelolaan lahan yang sesuai. Djaenudin dkk., (2000) menyatakan bahwa pengembangan komoditas pertanian pada wilayah yang sesuai dengan persyaratan pedo- agroklimat tanaman, yang mencakup iklim, tanah, dan topografi, akan memberikan hasil yang optimal dengan kualitas prima. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah aspek manajemen dalam mengelola lahan yang didasarkan pada sifat-sifat lahan untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan.
Secara ideal data sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 yang dipergunakan sebagai dasar penilaian kesesuaian lahan dan komoditas pertanian, dapat diperoleh melalui pemetaan sumberdaya lahan tingkat semi detil. Namun demikian, oleh karena membutuhkan waktu dan biaya yang cukup tinggi, maka digunakan pendekatan analisis permukaan lahan (terrain) (Marsoedi dkk., 1996 dan Puslittanak, 2001) dengan memadukan teknik interprestasi foto udara dan atau citra satelit, peta kontur atau peta topografi, serta survei dan verifikasi lapangan.
Bahkan saat ini sedang dikembangkan sistem zonasi agroekologi secara digital menggunakan analisis citra satelit (BBSDL, 2013).
Konsep zona agroekologi (ZAE) atau agroecological zone (AEZ) adalah
II-5
suatu metode penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam kedalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las dkk, 1990). Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah digunakan untuk penentuan zona agroekologi sejumlah tanaman utama di sembilan daerah utama di Asia, Afrika dan di Amerika (Sivikumar dan Valentin, 1997). Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai dasar pewilayahan berbagai komoditas pertanian agar dicapai tingkat produksi yang optimal dan berkelanjutan.
Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1:50.000 berdasarkan ZAE dilakukan dengan identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahannya melalui pendekatan analisis terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses geomorfologi, litologi/ bahan induk, dan hidrologi sebagai parameter dalam analisis terrain (Van Zuidam, 1986). Pemetaan tanah semi detail yang dapat digambarkan pada peta skala 1: 50.000, dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di tingkat kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994).
Penerapan paket rekomendasi teknologi sistem usahatani juga harus didasarkan kepada suatu kajian zona agroekologi (ZAE) secara menyeluruh sehingga akan mempermudah perencanaan dan pengelolaan tanaman (Amien, 2000) serta produksi pertanian yang diperoleh menjadi optimum dan kelestarian sumberdaya lahan tetap terjaga. Pewilayahan komoditas dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan perencanaan pembangunan bagi pemerintah daerah, investasi, penentuan teknologi yang tepat guna dan keberlanjutan dalam rangka pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian akan dapat mengatasi penggunaan lahan yang kurang atau tidak produktif menuju kepada penggunaan lahan dengan jenis komoditas unggulan yang lebih produktif. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam hal penggunaan lahan, maka konversi tata guna lahan harus mengacu kepada rencana tata ruang baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten. Areal yang dipilih harus tercakup pada wilayah yan peruntukkanya sebagai kawasan budidaya pertanian dengan kriteria sektoral dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan atau daya dukung lahan
II-6
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Apabila pemilihan lahan dan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan dapat dilakukan secara benar dan sesuai dengan tujuan program, maka pusat pertumbuhan yang akan menjadi andalan daerah dapat diwujudkan (Haeruman, 2000).
2.1.3. Potensi Biofarmaka dan Pengembangannya
Istilah biofarmaka didefinisikan sebagai sumber daya alam (tumbuhan, hewan dan mikroba) yang mempunyai manfaat obat, makanan fungsional dan suplemen diet (obat dan nutraceuticals) untuk manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungannya. Berdasarkan definisi tersebut, jika dilihat dari kelompok komoditasnya, biofarmaka sangatlah bervariasi dan kaya akan keragaman, yaitu dapat berupa tumbuhan liar hutan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, atau tanaman yang tumbuh di lautan, seperti rumput laut, dan sebagainya.
Cakupan yang luas dalam definisi biofarmaka akan menyebabkan usaha pengembangan dan pemanfaatannya melibatkan banyak pihak (multidisiplin).
Pelibatan berbagai disiplin ilmu dan keahlian dapat dimulai dari pencarian sumber biofarmaka, bagaimana membudidayakan, menentukan komponen kimia dan khasiatnya, serta bagaimana mengubahnya menjadi bentuk yang dapat dikonsumsi.
Sumber: Dyah Iswantini, 2009
Gambar 2. 2 Pelibatan Multidisiplin Dalam Pengembangan Biofarmaka Konservasi sumberdaya hutan, biologi,
kelautan (etnobotani, etnofarmasi, m ikroba, produk laut dan lain-lain
Budidaya pertanian, tanah (Studi SOP, agrobiofisik
dan lain-lain)
Teknologi pertanian, social ekonomi (Pascapanen, pengolahan, pemasaran
dan lain-lain Kimia
(Purifikasi senyawa
kimia dan lain-lain) Biokimia, Farmasi, Kedokteran Hewan (Uji Keamanan, pengolahan,
pemasaran dan lain-lain) BIOFARMAKA
II-7
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk biofarmaka yang berbasis invensi dan inovasi, yaitu: (l) Komoditas biofarmaka untuk sumber keragaman senyawa kimia bahan obat; (2) Komoditas biofarmaka untuk produk langsung dari kearifan tradisional (etnofarmasi); (3) Komoditas biofarmaka untuk produk dari aturan legal. Tiap pendekatan yang dilakukan untuk menghasilkan produk biofarmaka memiliki karakteristik masing- masing baik ditinjau dari segi dana, waktu, teknologi maupun keuntungan yang akan didapatkan.
1. Pendekatan Pertama: Komoditas Biofarmaka untuk Sumber Keragaman Senyawa Kimia Bahan Obat
Produk biofarmaka yang dihasilkan melalui pendekatan ini merupakan suatu senyawa kimia murni untuk dijadikan obat dalam industri farmasi.
Produksinya dalam skala besar akan tergantung pada kerumitan dan kelimpahan struktur kimia yang didapatkan, apakah dibuat dalam proses sintesis lab jika bentuknya tidak rumit atau diambil melalui proses pemurnian dari ekstrak jika struktur kimia yang berkhasiat sangat rumit. Waktu yang sangat panjang (10-15 tahun) dan dana yang besar dibutuhkan untuk pendekatan ini. Tahapan yang harus dilakukan sampai mendapatkan senyawa kimia murni berkhasiat ditunjukkan pada Gambar dibawah ini.
II-8 Sumber: Dyah Iswantini, 2009
Gambar 2. 3 Tahapan Kerja Untuk Mendapatkan Senyawa Kimia Murni Bahan Obat
2. Pendekatan Kedua : Komoditas Biofarmaka untuk Produk Langsung dari Kearifan Tradisional (Etnofarmasi)
Bentuk produk yang dihasilkan melalui pendekatan ini adalah produk simplisia yang dikemas secara artistik dan modern dengan tetap mengedepankan prinsip quality, efficacy, dan safety. Produk yang dikembangkan melalui pendekatan ini tidak memerlukan waktu yang lama dan dana yang besar dalam proses pengembangannya. Penekanan lebih dilakukan pada pencarian teknologi bagaimana mengemas dan menampilkan produk sehingga lebih menarik. Inovasi dan invensi lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana menghasilkan simplisia
BIODIVERSITY RESOURCES a. Medicinal Plant Collection b. Microbe Collection
SOLATION CHEMISTRY a. Isolation of Crude Modures b. Fractination by Polarity
PURIFICATION TO A SINGLE COMPOUND
a. Chromatoghraphy b. Crystalization
STRUCTURE EDUCATION NMR, IR, MS, and X-Ray PATENT APPRECIATION
PUBLIVATIONS DRUG DEVELOPMENT
(Industry)
IN VIVO ASSAYS
BIOCONSERVATION a. Conservation of Diversity b. Determination of Genetiv
Diversity
c. Search of New Species
LARGE SCALE MANAGEMENT a. Large Scale Planting b. Large Scale Culture c. Genetic Improvement
BIOLOGICAL ACTIVITY a. Cardiova scular
b. Cancer/ Antioxidant c. Obesity
d. Aphrosidiac e. Diabetic
f. Hepatoprotector g. Rheumatic
SELECTION OF BIOACTIVE COMPOUNDS
DRUG FORMULATION and DELIVERY
II-9
Kajian etnobotani dan etnofarmasi
Komoditas biofarmaka Budidaya (in situ, domestifikasi)
SOP budidaya dan pascapanen (organic farming dll)
Simplisia center
Produk tradisional yang dikemas menarik
yang terstandar baik melalui standarisasi teknik budidaya (misal dengan sistem organik) maupun standarisasi metode pascapanen. Hasil dari metode budidaya dan pascapanen yang terstandar ini, selain dikemas dalam bentuk produk kemasan kecil artistik tradisional tetapi juga simplisia dalam jumlah besar dapat disediakan untuk mensuplai industri farmasi lain sehingga dapat berperan sebagai Simplisia Center. Simplisia Center ini juga menjadi pendukung bagi dua pendekatan lainnya.
Sumber: Dyah Iswantini, 2009
Gambar 2. 4 Proses pengembangan produk tradisional
3. Pendekatan Ketiga : Komoditas Biofarmaka untuk Produk dari Aturan Legal
Terdapat beberapa jenis produk legal dalam kategori biofarmaka yaitu jamu, ekstrak herbal terstandar, fitofarmaka dan suplemen/nutraceutical. Produksi dari produk dengan pendekatan ketiga ini harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh institusi berwenang seperti BPOM, baik untuk kebutuhan dasar ilmiah produk maupun cara produksinya. Selain untuk kebutuhan manusia, karena kompetensi IPB, pengembangan produk dengan pendekatan ketiga ini juga dapat dilakukan untuk produk-produk kesehatan hewan atau tumbuhan, misalnya
II-10
suplemen asam amino untuk mempercepat pertumbuhan tanaman sawit.
Bentuk produk yang dikembangkan dapat berupa kapsul, serbuk instan, ekstrak yang kesemuanya untuk diproduksi sendiri atau dijadikan lisensi agar dapat dibuat oleh industri kecil masyarakat, atau bentuk produk dengan teknologi tinggi yang diproduksi sendiri melalui proses mikroenkapsulasi atau metode lainnya. Tahapan yang dilakukan untuk pendekatan ketiga ini tidak selama maupun semahal pada pendekatan pertama. Pencarian senyawa kimia dilakukan pada pendekatan ini hanya diarahkan untuk mendapatkan senyawa penciri sebagai marker pada proses standarisasi atau dapat pula proses standarisasinya berdasarkan pada adanya sidik jari ekstrak dari pola HPLC, TLC atau Spektra.
Sumber: Dyah Iswantini, 2009
Gambar 2. 5 Pola pengembangan ekstra terstandar
2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen dan Penjaminan Mutu
Sediaan bahan alam memberikan andil yang cukup besar terhadap BIODIVERSITY RESOURCES
a. Medicinal Plant Collection b. Microbe Collection
SOLATION CHEMISTRY a. Isolation of Crude Modures b. Fractination by Polarity PURIFICATION TO A SINGLE COMPOUND
a. Chromatoghraphy b. Crystalization
Finger Print (HPLC, TLC, Spectra Ete)
Marker Compound
Standardized Extracts, Phytopharmaca (plus clinical trial)
IN VIVO ASSAYS
BIOCONSERVATION a. Conservation of Diversity b. Determination of Genetiv
Diversity
c. Search of New Species LARGE SCALE
MANAGEMENT
a. Large Scale Planting b. Large Scale Culture c. Genetic Improvement BIOLOGICAL ACTIVITY
a. Cardiova scular b. Cancer/ Antioxidant c. Obesity
d. Aphrosidiac e. Diabetic
f. Hepatoprotector
DRUG FORMULATION and DELIVERY
II-11
kesehatan manusia tidak saja dalam hal melakukan suatu tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap suatu penyakit akan tetapi juga dalam hal menjaga kebugaran dan meningkatkan stamina tubuh. Selain itu dengan bergesernya konsep tentang kecantikan maka sediaan bahan alam juga banyak dimanfaatkan untuk mempercantik penampilan seseorang. Pencapaian tujuan penggunaan sediaan bahan alam ini tergantung pada tersedianya suatu bahan alam yang bermutu. Ada dua alternatif pemakaian bahan alam untuk membuat sediaan ini yakni mengambil dari alam dan diolah dalam keadaan segar menjadi suatu bentuk sediaan siap pakai atau berasal dari simplisia yakni bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan apapun selain dikeringkan.
Simplisia yang dipilih untuk suatu bahan pengobatan dapat berupa simplisia nabati berbentuk tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudatnya;
simplisia hewani berbentuk utuh, bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang mempunyai efek pengobatan dan atau simplisia pélican (mineral yang belum atau sudah diolah secara sederhana).
Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat dapat merujuk pada syarat baku mutu yang tertera dalam Materia Medika Indonesia.
Baku mutu meliputi kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut air dan etanol dan bahan organik asing serta kemurnian yang diberikan dalam pemerian makro maupun mikroskopis. Persyaratan simplisia yang sedang dirintis oleh Departemen Pertanian ialah menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Persyaratan dalam SNI ini juga menggunakan rujukan dari Materia Medika Indonesia dan standar WHO untuk Herbal.
Simplisia yang beredar dipasaran dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan baku mutu, bisa berubah menjadi suatu simplisia yang kwalitasnya tidak sesuai dengan standar sehingga tujuan penggunaan obat bahan alam tidak tercapai atau bahkan mungkin bisa membahayakan. Perubahan kualitas simplisia bisa terjadi karena penanganan yang tidak baik dalam hal penyimpanan, pendistribusian maupun kemasan yang digunakan.
Mutu dan keamanan (quality and safety) produk biofarmaka, seperti simplisia sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu mutu bahan baku
II-12
(rimpang, batang, daun, akar, tanaman) dan teknologi pasca panen tanaman obat yang digunakan. Bahan baku yang bermutu sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan GAP (Good Agricultural Practices). Teknologi pasca panen tanaman obat di Indonesia pada dasarnya telah tersedia tetapi implementasinya di masyarakat masih sangat rendah. Masalah implementasi yang rendah tersebut pada dasarnya adalah alih teknologi yang terhambat.
Produk tanaman obat berkhasiat atau produk biofarmaka dapat dikelompokkan menjadi pangan fungsional dan suplemen. Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Sedangkan suplemen adalah nutraceuticals yang mengandung komponen bioaktif, disajikan bukan dalam bentuk pangan tetapi dalam bentuk tablet, kapsul atau serbuk dengan dosis komponen bioaktif yang digunakan lebih tinggi dari jumlah yang dapat diperoleh dari konsumsi pangan secara normal.
Penggunaan obat tradisional atau rempah-rempah untuk tujuan preventif dan atau kuratif harus memenuhi syarat aman, manfaat dan mutu. Aman berarti bahwa bahan tersebut tidak akan menimbulkan efek yang merugikan (efek toksik) bagi tubuh. Sedangkan syarat manfaat dan mutu mengandung arti bahwa dalam bentuk penggunaannya (bentuk sediaan) yang baik (berkualitas), bahan tersebut mempunyai khasiat yang dikehendaki secara optimal.
Keamanan pada penggunaan bahan rempah-rempah atau obat tradisional menyangkut segi toksisitas dan efek lain yang tidak dikehendaki dari bahan itu sendiri maupun dari akibat pengolahan atau penanganan bahan dari tumbuhan sumber bahan menjadi sediaan jadi. Akibat yang tidak dikehendaki yang dapat berasal dari tumbuhan itu sendiri atau dari kontaminan yang berupa tumbuhan toksik, mikroorganisme atau toksin mikroba, pestisida atau bahan fumigan radioaktif, bahan mineral toksik (logam berat), bahan atau senyawa kimia sintetik dan bahan obat dari hewan yang ditambahkan atau senyawa yang mempunyai efek karsinogenik atau mutagenik.
Pengembangan obat tradisional dari bahan alam pada prinsipnya mengacu
II-13
pada praktek GAP (Good Agricultural Practices) untuk memperoleh bahan bakunya dan GMP (Good Manujacturing Practices) untuk penanganan dan pengolahan pasca panennya menjadi obat tradisional. GMP disebut pula CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik). Obat (tradisional) yang dihasilkan memenuhi tiga syarat seperti yang telah diuraikan di atas yaitu aman, manfaat dan mutu.
1. Pemilihan Bahan Baku
Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.
Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan tanaman berkhasiat obat adalah sebagai berikut:
a. Daun, dipetik sewaktu tumbuhan mulai berbunga, daun dapat dipetik untuk dimanfaatkan sebagai bahan obat.
b. Buah, pada umumnya yang dimanfaatkan sebagai bahan obat adalah buah yang telah masak.
c. Bunga, untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, sebaiknya bunga diambil sebelum mekar secara sempurna.
d. Umbi, rimpang dan akar, dapat diambil untuk bahan obat ketika proses pertumbuhannya telah sempurna.
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda - beda antara lain tergantung pada:
a. Bagian tanaman yang digunakan untuk simplisia b. Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen c. Waktu panen
d. Lingkungan tempat tumbuh
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif (metabolit sekunder) dalam tanaman yang dipanen. Dengan demikian sebaiknya panen dilakukan pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif
II-14
dalam jumlah terbesar. Tanaman yang dipanen dijamin tidak tercampur dengan tanaman lain ataupun yang semarga. Bagian tanaman yang dipanen harus dijamin bahwa bagian tersebut tidak tercampur bagian tanaman yang lain yang mengandung komponen bioaktif yang berbeda kuantitas dan kualitasnya.
Untuk menjamin keseragaman khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian dapat diperoleh ekstrak terstandar dari suatu fitofarmaka.
Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia yang sepernuhnya murni, kadang- kadang terdapat bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah yang kecil. Oleh karena itu sebelum membuka kemasan simplisia perhatikan apakah kemasannya masih bagus atau tidak. Kemudian perhatikan dalam simplisia tersebut apakah ada : (l) Cemaran berupa serangga; (2) Cemaran berupa fragmen hewan atau kotoran hewan; (3) Lendir dan cendawan atau kotoran lain yang beracun dan berbahaya; dan (4) Kemurnian simplisia.
2. Pembuatan Simplisia
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut:
pemilihan/ pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu.
a. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan asing lainnya dari simplisia. Misalnya simplisa yang terbuat dari akar suatu tanaman obat, sering tercampuri oleh bahan-bahan asing seperti : tanah, krikil, rumput, batang, ranting atau daun yang telah rusak.
Bahan-bahan asing tersebut harus dipisahkan dan dibuang. Seperti diketahui tanah mengandung bermacam- macam mikroba dalam jumlah yang tinggi.
Dengan demikian, perlu dilakukan pembersihan tanah yang terikat, sehingga mikroba awal dapat dikurangi jumlahnya.
b. Pencucian
Pencucian dengan menggunakan air bersih, misalnya air dari sumur,
II-15
mata air atau PAM, untuk memisahkan kotoran yang melekat pada bahan baku simplisia. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, maka pencucian sebaiknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pembersihan/pencucian mengikuti prinsip sanitasi yang baik, baik dari segi sarana prasarana pencucian maupun pekerjanya.
Pencucian bahan baku (tanaman maupun bagian tanaman) menggunakan air bersih dan mengalir. Kualitas air pencuci dan pekerja perlu diperhatikan karena pencucian yang tidak benar dapat menyebabkan tingginya kontaminan. Tangan pekerja hendaknya dicuci terlebih dahulu dengan sabun atau larutan desinfektan yang diijinkan. Apabila bahan baku tersebut akar atau rimpang yang diperoleh dari dalam tanah, maka selain kontaminan berupa * tanah dan logam berat (fisik dan kimia) juga yang sangat berbahaya adalah kontaminan spora bakteri. Spora bakteri dalam tanah berasal dari bakteri-bakteri tanah yang telah diketahui beberapa tahan panas, sehingga perlakuan pendahuluan . berupa pencucian yang benar merupakan syarat utama.
Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Bakteri yang banyak terkandung dalam air pencuci bahan simplisia antara lain : Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter dan Escherichia. Pada simplisia buah atau batang dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi mikroba awal karena sebagian besar jumlah mikroba terdapat pada permukaan bahan simplisia.
c. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisa perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses berikutnya yaitu : pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat proses penguapan air, sehingga dapat mempercepat waktu pengeringan. Namun demikian, irisan yang terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, rasa, dan bau
II-16
yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia yang mengandung minyak atsiri, perlu dihindari perajangan yang terlalu tipis. Perlu diusahakan agar selama perajangan dilakukan dalam keadaan tetap bersih sehingga jumlah mikroba tidak berubah.
Penjemuran sebelum perajangan sebaiknya dilakukan untuk mengurangi timbulnya pewarnaan akibat reaksi antara bahan simplisia dengan logam pisau (alat perajang).
d. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu lebih lama, yaitu dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik yang berlangsung di dalam sel simplisia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air dalam sel yang kurang dari 10% sudah dapat menghentikan proses enzimatik. Oleh sebab itu, dengan pengeringan akan dapat dicegah penurunan mutu atau rusaknya simplisia.
Untuk simplisia tertentu proses enzimatik ini justru dikehendaki setelah pemetikan/pengumpulan. Dalam hal ini sebelum proses pengeringan, bagian tanaman yang dipanen dibiarkan pada suhu dan kelembaban tertentu agar reaksi enzimatik dapat berlangsung.
Cara lain dapat pula dilakukan dengan pengeringan perlahan-lahan agar reaksi enzimatik tetap berlangsung selama proses pengeringan. Dalam hal ini proses enzimatik masih diperlukan, karena senyawa aktif yang dikehendaki masih dalam ikatan kompleks dan baru dipecahkan dari ikatan kompleksnya oleh enzim tertentu dalam suatu reaksi enzimatik setelah tanaman itu mati. Contohnya simplisia ini antara lain adalah vanili (Vanilla fragrans) dan biji cola (Cola nítida).
Dalam proses pengeringan tumbuhan berkhasiat obat tertentu juga dapat dicampur dengan madu, cuka beras atau jahe. Caranya, tumbuhan berkhasiat obat yang telah kering disangrai bersama bahan campuran yang ingin digunakan, misalnya madu, cuka beras ataupun jahe, setelah disangrai, tumbuhan berkhasiat obat yang telah dicampur dijemur kembali. Hal ini
II-17
umumnya dilakukan dengan tujuan agar tumbuhan berkhasiat obat lebih efektif atau menetralkan toksin yang ada dalam tumbuhan. Cara lain untuk mengurangi toksin dari tumbuhan berkhasiat obat adalah dengan merendam tumbuhan tersebut selama beberapa hari sambil diganti airnya secara kontinyu, setelah proses perendaman tadi, tumbuhan obat tersebut dikeringkan dan siap digunakan.
Pada jenis bahan simplisia tertentu, setelah panen langsung dilakukan pengeringan. Proses ini dilakukan pada bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang mudah menguap. Penundaan proses pengeringan bahan simplisia ini akan menurunkan kadar senyawa aktifnya yang berarti dapat menurunkan mutu simplisia.
Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah : suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan yang dikeringkan. Faktor-faktor tersebut sangat penting pengaruhnya agar didapatkan simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan.
Cara pengeringan yang kurang benar dapat mengakibatkan terjadinya
“face hardening" yakni bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih belum kering. Hal ini dapat terjadi akibat dari rajangan bahan simplisia yang terlalu tebal ataupun suhu pengeringan terlalu tinggi, mengakibatkan penguapan air permukaan bahan lebih cepat dari pada difusi air dari dalam permukaan.
e. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir dalam pembuatan simplisia. Tujuan sortasi ini untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian- bagian tanaman yang tidak dikehendaki dan kotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus dan disimpan.
f. Pengemasan dan penyimpanan