1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap perusahaan memerlukan pencatatan transaksi yang terjadi
dalam operasional usahanya. Pencatatan ini sering disebut dengan akuntansi
atau pembukuan. Pencatatan diperlukan sebagai cara untuk mengukur
kegiatan yang dilakukan dalam satuan moneter atau uang, baik itu
perusahaan profit maupun non profit. Dalam islam, aturan tentang akuntansi
atau pencatatan telah di tuliskan di Al Qur’an yang isinya yaitu anjuran
untuk melakukan pencatatan atas utang piutang secara jujur. Perintah
tersebut tertulis dalam surat Al-Baqarah/2: 282sebagai berikut,
2
“Wahai orang – orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.
Jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaanya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki – laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki – laki, maka (boleh) seorang laki – laki dan dua orang perempuan diantara orang – orang yang kamu sukai daripada saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk batas waktunya baik (hutang) itu kecil maupun besar.
Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. Lebih dapat menguatkan
kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika
hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu,
maka tidak ada dosa di antara kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan
ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlan penulis dipersulit
dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh,
hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah
3
memberikan pengajaran kepada kamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu“.
Dari ayat diatas jelas bahwa setiap melakukan transaksi baik itu utang maupun piutang hendaknya dicatat agar memudahkan untuk kegiatan selanjutnya. Pada masa sekarang ini apa yang diperintahkan dalam ayat diatas sudah diaplikasikan dengan sebutan akuntansi yang digunakan hampir disemua perusahaan. Demikian juga dengan lembaga zakat atau organisasi pengelola zakat yang seharus juga melakukan pencatatan atas himpunan zakat yang diterima dari masyarakat.
Zakat merupakan salah satu rukun islam yang wajib dibayarkan oleh seorang muslim. Zakat yang nantinya terkumpul digunakan untuk memberdayakan orang yang berhak menerima zakat, salah satunya yaitu fakir dan miskin. Dengan begitu, zakat yang merupakan bentuk ibadah, juga memiliki manfaat secara sosial yaitu membantu orang yang tidak mampu.
Supaya pengelolaan zakat dapat optimal maka diperlukannya organisasi pengelola zakat (OPZ) atau lembaga amil zakat (LAZ). Dengan adanya organisasi pengelola zakat, diharapkan zakat dapat dikelola dengan baik dan penyalurannya dapat tepat sasaran.
Lembaga amil zakat atau organisasi pengelola zakat yang ada di
Indonesia sudah banyak. Ada yang dikelola oleh pemerintah yaitu BAZNAS
(Badan Amil Zakat Nasional) yang memiliki cabang di seluruh provinsi di
Indonesia, maupun yang dikelola oleh swasta atau mandiri misalnya yaitu
Dompet Duafa, PKPU, Rumah Zakat, LAZISMU, LAZISNU, LAZIS
4
BSMdan lembaga lain yang semuanya melayani masyarakat yang akan berzakat. Banyaknya lembaga zakat dikarenakan jumlah penduduk muslim Indonesia juga sangat banyak yakni mencapai 87% dari seluruh penduduk Indonesia atau 207.176.162 berdasarkan sensus penduduk tahun 2010. Oleh karena itu Potensi penerimaan zakatpun sangat banyak, bahkan bisa mencapai angka ratusan triliun rupiah jika dioptimalkan. Dikutip dari Republika online tanggal 29 April 2013, potensi penerimaan zakat di Indonesia sebesar Rp217 Triliun. Jumlah yang sangat banyak, dan tentunya sangat membantu pemerintah dalam pemberdayakan masyarakat yang kurang mampu di Indonesia.
Namun sampai sekarang hanya sekitar dua triliun yang dapat
dihimpun atau sekitar 1% dari potensi yang ada. Banyak hal yang
mempengaruhi rendahnya pembayaran zakat oleh masyarakat. Menurut
penelitian yang dilakukan PEBS FEUI dan Indonesia Magnificence of Zakat
(IMZ) tahun 2009 bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya penerimaan
zakat yaitu kurang percayanya masyarakat terhadap lembaga zakat,
kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar zakat, dan kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat tentang pembayaran zakat. Penerimaan zakat
selama lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel berikut.
5
Tahun Penerimaan zakat 2009 1,2 triliun 2010 1,5 triliun 2011 1,7 triliun 2012 2,2 triliun 2013 2,7 triliun 2014 3,2 triliun