3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua kali tahapan yaitu mengevaluasi pengoperasian bubu yang dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai Agustus 2011. Penelitian tahap yang dua yaitu untuk mengaplikasikan rancangan bubu modifikasi dilaksanakan dari September 2011 sampai Februari 2012.
Pemilihan waktu dan daerah penelitian didasari oleh pengaruh potensi hasil tangkapan nelayan dan mengikuti jalur kebiasaan nelayan bubu. Daerah pulau-pulau kecil sepanjang pantai Barat Sumatera merupakan habitat yang kaya akan terumbu karang. Hampir seluruh perairan pulau-pulau kecil pantai Barat Sumatera memiliki soft coral dan hard coral hidup. Karakteristik wilayah perairan berkarang hidup merupakan daerah dimana populasi ikan demersal tumbuh dan berkembang seperti kerapu, kakap merah dan lobster.
Lokasi penelitian meliputi 4 (empat) wilayah perairan dengan 9 stasiun di sekitar pantai Barat Sumatera. Adapun wilayah perairan yang menjadi objek penelitian adalah Pulau Pini, Pulau Nias, Pulau Mursala dan Pulau Karang. Penempatan bubu pada lokasi ini karena pertimbangan ekosistem terumbu karang yang masih baik dan jauh dari jangkauan manusia atau nelayan asing yang dapat mencuri bubu. Pulau-pulau kecil yang terlihat pada Gambar 3 merupakan daerah penempatan bubu yang dilakukan dalam penelitian ini.
Penelitian untuk bubu nelayan memerlukan waktu sekitar 14 hari dalam satu trip pengoperasian. Nelayan pada umumnya membutuhkan 7 sampai dengan 10 hari setelah setting untuk perendaman satu unit bubu sebelum pengangkatan. Nelayan biasanya menjatuhkan bubu pada hari pertama sampai hari ketujuh kemudian berputar lagi dari penjatuhan bubu pertama untuk melakukan hauling. Empat daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga juga menjadi lokasi penjatuhan bubu nelayan penelitian.
Lokasi penempatan bubu modifikasi yaitu pada sekitar lokasi penempatan bubu nelayan. Evaluasi pengoperasian bubu dalam penelitian ini dilaksanakan pada 4 pulau secara bertahap. Keseluruhan lokasi mendapatkan ulangan 9 kali untuk setiap perlakuan agar hasil penelitian tidak menjadi bias.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian bubu di pantai Barat Sumatera 3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan sebagai faktor pendukung kegiatan penelitian ini adalah:
1) Kapal motor: jumlah 1 unit dengan spesifikasi mesin Yamaha 120 PK, dengan dimensi panjang 14 meter, lebar 2,4 meter dan tinggi 1,7 meter untuk mengangkut bubu ke daerah pengoperasian.
2) Bubu Kawat: jumlah 72 bubu, dengan dimensi panjang 1,5 meter, lebar 1,0 meter dan tinggi 0,5 meter. Selimut bubu memiliki mesh size 5 cm dan berwarna merah mengikuti standar alat tangkap nelayan Sibolga.
3) Echosounder: jumlah 1 unit, dengan merek dagang Garmin 178 C, layar warna dan dilengkapi GPS, digunakan untuk mendeteksi daerah pengoperasian yang berkarang dan melihat bentuk topografi dasar perairan yang akan dijadikan sebagai lokasi penempatan bubu (Gambar 4).
4) Katrol: jumlah satu unit, berfungsi sebagai alat bantu dalam penarikan bubu dari dasar perairan (Gambar 5).
5) Gancu: jumlah satu unit, berfungsi sebagai alat pengait tali ris saat mencari bubu di dasar perairan (Gambar 6).
6) Tali ris: sebanyak 10 bal, digunakan sebagai tali penghubung antara bubu yang dioperasikan secara bergandengan (sistem rawai).
7) Timbangan dan penggaris: jumlah satu unit, sebagai alat untuk mengukur berat dan ukuran hasil tangkapan.
8) Kamera digital: berfungsi sebagai alat dokumentasi penelitian.
Alat akustik adalah perlengkapan utama yang digunakan dalam operasi bubu. Nelayan akan menempatkan bubu pada terumbu karang yang sehat dan memiliki elevasi kurang dari 45 derajat. Tujuan dari peletakan bubu di sekitar karang yang sedikit terjal adalah agar ikan-ikan demersal besar seperti kakap dan kerapu tertarik masuk pada perangkap yang sering menjadi habitat ikan-ikan kecil. Dari sekitar 35 pasang bubu yang dijatuhkan nelayan Sibolga, ada sekitar 2 sampai 5 pasang bubu hilang. Penentuan lokasi penempatan bubu biasanya menggunakan echosounder dengan merek dagang Garmin 178 C.
Gambar 4 Alat akustik Garmin 178 C
Operasi penangkapan ikan oleh bubu sangat memerlukan dua alat bantu pada saat hauling yaitu gancu dan katrol. Gambar 5 menunjukkan alat bantu yang digunakan pada perikanan bubu di pantai Barat Sumatera.
Gambar 5 Katrol yang digunakan saat menarik bubu
Alat bantu yang selama ini dianggap merusak lingkungan terumbu karang adalah gancu. Alat ini digunakan saat mencari tali ris (main line) penghubung bubu di dasar perairan saat akan diangkat. Pencarian tali ris dilakukan secara acak dan hanya berpatokan pada titik koordinat yang direkam. Gancu akan digerakkan terus sampai menemukan tali iris penghubung bubu dengan panjang 24 meter. Gancu yang digunakan nelayan Sibolga dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Alat bantu yang digunakan nelayan saat mencari bubu kawat
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode experimental fishing dan survei terhadap objek hasil tangkapan bubu. Experimental fishing yaitu melakukan uji coba pengoperasian 36 unit bubu kawat yang biasa digunakan nelayan Sibolga di 4 (empat) daerah perairan pulau-pulau kecil yang terletak di sekitar wilayah perairan pantai Barat Sumatera (Tabel 2). Tujuan metode experimental fishing dengan 36 bubu untuk mengambil data hasil tangkapan dan perbandingan produktivitas antara bubu nelayan dan bubu modifikasi.
Tabel 2 Sebaran bubu penelitian untuk setiap DPI
Jenis bubu Daerah Penangkapan Ikan (DPI)
Pulau Pini Pulau Nias Pulau Mursala Pulau Karang
Bubu nelayan 9 bubu 9 bubu 9 bubu 9 bubu
Bubu Modifikasi 9 bubu 9 bubu 9 bubu 9 bubu
3.3.1 Prosedur percobaan
Tahapan percobaan dimulai dengan mempersiapkan 36 bubu yang ditempatkan di 4 (empat) lokasi pengoperasian bubu mengikuti kebiasaan para nelayan. Setiap wilayah perairan memiliki 9 stasiun penempatan bubu nelayan dan bubu modifikasi. Adapun tahapan prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Merakit bubu modifikasi dengan konstruksi yang disesuaikan pada bubu
kawat nelayan Sibolga sebanyak 36 unit;
2) Merancang pemberat, pelampung dan tali rajut pada bubu modifikasi sekaligus mengukur dimensi dan massa setiap elemen yang ditambahkan pada bubu modifikasi;
3) Membawa bubu modifikasi dan meletakkannya pada daerah pengoperasian bubu sesuai dengan kebiasaan nelayan Sibolga yaitu Pulau Mursala, Pulau Pini, Pulau Nias dan Pulau Karang;
4) Menunggu hasil pengoperasian bubu modifikasi selama 4 hari, bersamaan dengan kegiatan ini enumerator mengambil data hasil tangkapan bubu pada tangkahan yang ada di Sibolga;
5) Menganalisis hasil tangkapan bubu modifikasi yang diujikan dengan konstruksi dan metode perendaman yang berbeda dengan bubu nelayan. Analisis dilakukan melalui data keragaman hasil tangkapan dan ukuran hasil tangkapan;
6) Melakukan pengulangan terhadap perlakuan percobaan pada 9 stasiun penelitian yang koordinatnya telah disimpan;
7) Membuat perbandingan hasil percobaan operasi penangkapan dengan bubu nelayan dan bubu modifikasi;
3.3.2 Modifikasi bubu
Proses pembuatan bubu modifikasi disesuaikan dengan bentuk dasar bubu nelayan yang telah dikembangkan di pantai Barat Sumatera. Pengukuran massa dan dimensi bubu modifikasi memperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan bubu nelayan. Massa kawat selimut bubu diperoleh sebesar 5,6 kg, massa pemberat 11 kg dan massa rangka 1,8 kg dengan dimensi tulang alas 2,5 cm dan tulang rangka 2,0 cm. Konstruksi bubu modifikasi yang dikembangkan di pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Desain dan konstruksi rangka bubu modifikasi
Konstruksi bubu modifikasi yang direkomendasikan sebagai alat tangkap ramah lingkungan diperbaiki dari beberapa sisi. Perubahan konstruksi ini meliputi desain rangka yang dilengkapi dengan karet dan pemberat yang diletakkan pada 4 sudut di dasar bubu dengan massa yang relatif sama. Perbaikan lain yang digunakan dalam bubu modifikasi adalah penggunaan pelampung pada bagian atas badan bubu dan tali ris penghubung bubu.
Penambahan beberapa elemen bubu modifikasi dari bubu nelayan difokuskan pada perbaikan daya gerak bubu di dalam air. Hasil pengukuran massa total bubu modifikasi sebesar 18,4 kg. Kendati massa bubu modifikasi tidak jauh berbeda dengan massa bubu nelayan, namun daya gerak bubu modifikasi menjadi relatif lebih baik. Hasil lain yang diamati dari perubahan konstruksi bubu
modifikasi adalah pergeseran bubu di dasar perairan. Desain dan konstruksi bubu modifikasi yang telah dicoba dikembangkan di Sibolga terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Rancangan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera
Bentuk bubu yang dimodifikasi masih menyerupai bubu nelayan Sibolga, tetapi dengan memberikan kerangka alas yang lebih besar agar bergerak vertikal dan tidak terbalik. Modifikasi lain adalah memberikan pemberat pada 4 sudut bagian alas dengan harapan bubu dapat jatuh dengan sempurna menuju dasar perairan. Pemberian bahan pemberat pada 4 sudut alas bubu untuk memudahkan nelayan mencari titik koordinat bubu saat ditempatkan di daerah pengoperasiannya.
Nelayan bubu di Pulau Pini, Pulau Mursala, Pulau Nias dan Pulau Karang menggunakan bubu yang dimensi mulut tidak konsisten. Kerangka mulut bubu dan selimut atas dibuat sesuai dengan bahan baku rotan yang mereka peroleh di sekitar pulau. Modifikasi mulut bubu dengan ukuran dan jarak yang konsisten dari kerangka diterapkan saat pengoperasian di lapangan. Desain rangka bubu modifikasi tampak atas disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Desain bubu modifikasi tampak atas
Bubu yang digunakan masyarakat Sibolga umumnya dioperasikan pada kedalaman 30 sampai 70 meter. Daerah ini merupakan daerah perairan yang pergerakan arus dasarnya cukup kuat (Mahulette, 2004). Penggunaan pelampung dan pemberat menjadi alternatif untuk membantu bubu jatuh secara sempurna ke dasar perairan, sehingga ikan tertarik masuk ke dalam bubu. Perbedaan dimensi dan massa bahan penyusun bubu nelayan dan bubu modifikasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbedaan dimensi dan massa penyusun bubu nelayan dan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera
No Parameter Bubu Nelayan Bubu Nelayan Keterangan
1 Dimensi:
Panjang 150 cm 150 cm sama
Lebar 100 cm 100 cm sama
Tinggi 50 cm 50 cm sama
Mesh size 5 cm 5 cm sama
Diameter kawat 0,02 cm 0,02 cm sama
Diameter rangka 0,2 cm 0,2 cm sama
Diameter tulang alas 0,2 cm 0,25 cm berbeda
Diameter funnel luar 44 cm 44 cm sama
Diameter funnel dalam 12 cm 12 cm sama
2 Massa:
Kawat 5600 gram 5600 gram sama
Rangka 1600 gram 1800 gram berbeda
Perbaikan metode pengoperasian bubu yang juga dilakukan pada penelitian ini, yaitu melengkapi tali ris dengan sebuah pelampung. Teknik pemberian pelampung diharapkan membuat tali tetap renggang dan memudahkan gancu dalam menemukan tali ris. Modifikasi konstruksi dan perbaikan metode pengoperasian bubu diharapkan mampu meningkatkan produktivitas bubu dan menjaga kelestarian ekosistem karang di sekitar pantai Barat Sumatera.
Secara umum bentuk bubu kawat modifikasi yang dihasilkan menyerupai dengan fish pot milik nelayan Amerika dan Asia Timur. Secara umum desain bubu modifikasi tidak banyak berubah dengan bubu nelayan. Ukuran panjang 150 cm, lebar 100 cm dan tinggi 50 cm tetap menjadi dasar oengembangan bubu modifikasi. Selimut atas bubu berbentuk melengkung dengan elevasi tidak lebih dari 15o. Tujuan dari selimut atas yang sedikit melengkung adalah agar kawat bubu tidak terlalu ketat dan lebih elastis saat ditarik atau dijatuhkan sehingga selimut tidak mudah robek. Untuk bukaan mulut bubu dibuat berbentuk silinder dengan diameter yang semakin kecil ke arah bagian dalam. Diameter mulut yang semakin kecil ditujukan agar ikan mudah memasuki bubu tetapi tidak dapat keluar khususnya melalui mulut bubu.
3.3.3 Pemilihan lokasi penempatan bubu
Penempatan bubu yang baik sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Pada umumnya masyarakat nelayan di pantai Barat Sumatera memilih daerah penempatan bubu berdasarkan bentuk terumbu karang yang terlihat pada echosounder bersamaan dengan melihat arah arus. Penjatuhan bubu pada saat penelitian menggunakan tiga unsur penentuan lokasi yaitu: substrat perairan, bentuk topografi dasar perairan dan kedalaman perairan.
Penempatan bubu difokuskan pada letak bukaan mulut yang konsisten pada posisi saat dijatuhkan dan tidak terbalik saat dijatuhkan ke dalam air. Asumsi ini disebabkan bubu yang dirancang pada penelitian ini hanya memiliki satu bukaan mulut (funnel). Desain bentuk bukaan mulut bubu disajikan pada Gambar 10. Asumsinya ikan hasil tangkapan bubu hanya masuk melalui bukaan mulut saja.
Keberhasilan penenmpatan bubu sangat berpengaruh terhadap produktivitas bubu di pantai Barat Sumatera. Metode peletakan bubu pada setiap daerah
pengoperasian dilakukan secara konsisten yaitu dengan mengikuti kebiasaan nelayan. Perbandingan kinerja teknis kedua bubu dilihat dengan kesempurnaan letak mulut bubu. Bubu yang kosong karena letak funnel yang tidak sempurna tetap dijadikan data pengukuran hasil tangkapan.
Gambar 10 Desain bentuk bukaan mulut bubu
Kedalaman perairan lokasi penempatan bubu biasanya berkisar 30 meter sampai 70 meter, agar tidak dapat dilihat oleh nelayan lain dan ikan target yang diperoleh berukuran lebih besar. Kebiasaan nelayan Sibolga diuji melalui penelitian ini, dimana bubu ditempatkan pada lokasi yang lebih dangkal namun dengan kondisi terumbu karang yang baik. Penempatan bubu pada lokasi yang lebih dalam biasanya menyebabkan ghost fishing pada saat pengambilan bubu kembali. Hasil dari percobaan diukur melalui perbandingan hasil tangkapan bubu nelayan dengan bubu modifikasi yang digunakan.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan penggabungan dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data hasil tangkapan dari tiap perlakuan yang diberikan dan data parameter perairan. Data primer diperoleh dengan cara pengukuran dan pengamatan langsung terhadap unit penangkapan ikan serta wawancara kepada nelayan bubu. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data tangkahan setiap kapal bubu yang mendarat dan tinjauan literatur atau instansi pemerintah yang terkait dengan
kegiatan penelitian seperti data batimetri dari pangkalan Angkatan Laut dan data produksi perikanan dari pelabuhan perikanan di lokasi penelitian.
3.4.1 Teknik pengoperasian bubu
Data teknis yang dikumpulkan terkait dengan pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera meliputi:
1) Informasi konstruksi bubu nelayan diperoleh dengan pengukuran langsung bubu kawat milik nelayan yang beroperasi di pantai Barat Sumatera;
2) Informasi teknik pengoperasian bubu nelayan diperoleh dengan observasi langsung pada pemilik kapal bubu dan mengikuti trip penangkapan ikan dengan bubu;
3) Titik lokasi atau koordinat daerah pengoperasian bubu nelayan diperoleh dari nahkoda (tekong) kapal bubu dan echosounder yang tersedia di kapal tersebut;
4) Waktu yang dibutuhkan dalam pencarian bubu nelayan diperoleh dari pengamatan langsung bersama kapal bubu
Waktu pencarian bubu nelayan dan bubu modifikasi diperoleh untuk mengukur kinerja teknis dari pengoperasian bubu dan menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pergeseran titik hauling bubu.
Jenis dan teknik pengumpulan data yang dibutuhkan dalam menjawab teknik pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis dan teknik pengumpulan data pengoperasian bubu
No Jenis data Metode Alat Fungsi
1 Konstruksi bubu nelayan
Wawancara Kuesioner Evaluasi data teknis bubu 2 Daerah pengoperasian bubu nelayan Observasi Echosounder dan GPS Mendapatkan informasi pengoperasian bubu 3 Titik setting dan
hauling Observasi Echosaunder dan GPS Mendapatkan informasi pengoperasian 4 Waktu pencarian bubu nelayan
Pengukuran Stopwatch Mengukur permasalahan pengangkatan bubu
3.4.2 Data kinerja teknis bubu modifikasi
Data kinerja teknis bubu modifikasi antara lain meliputi :
1) Massa dan dimensi unit penyusun bubu modifikasi diperoleh dengan cara penimbangan langsung terhadap unit penyusun bubu modifikasi. Adapun unit penyusun yang diukur anatara lain: massa kawat selimut, massa pemberat, massa rangka dan pelampung.
2) Data kecepatan gerak bubu mendarat di dasar perairan diukur dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan bubu mulai dari atas kapal menuju dasar perairan dengan menggunakan stopwatch.
3) Umur teknis dan jumlah trip bubu modifikasi selama pengoperasian dilakukan dengan menghitung jumlah operasi bubu sebelum bubu dinyatakan rusak atau tidak dapat digunakan lagi.
4) Data titik koordinat setting dan hauling diperoleh dengan alat bantu akustik dan GPS yang tersedia di atas kapal bubu.
5) Waktu yang dibutuhkan dalam mencari satu unit bubu modifikasi dilakukan dengan menggunakan stopwatch.
3.4.3 Data produktivitas bubu
Data produktivitas bubu dihitung dengan mengukur jumlah hasil tangkapan dan komposisi hasil tangkapan dari jenis unit bubu yang berbeda. Data yang dikumpulkan dari produktivitas bubu nelayan dan bubu modifikasi adalah: panjang ikan, berat ikan, komposisi hasil tangkapan utama untuk ekspor, tangkapan utama untuk pasar lokal dan hasil tangkapan sampingan.
Tabel 5 Metode pengumpulan data produktivitas bubu
No Jenis data Metode Alat Fungsi
1 Data panjang Pengukuran Penggaris dan kamera
Membandingkan dengan nilai LM
2 Data berat Pengukuran Timbangan dan kamera Mengetahui pola pertumbuhan ikan 3 Komposisi hasil
tangkapan
Observasi Kuesioner Mengetahui tingkat efektivitas
4 Kelayakan
usaha Wawancara Kuesioner
Mengetahui tingkat keberlangsungan usaha bubu
Metode pengumpulan data, terkait dengan produktivitas bubu nelayan dan bubu modifikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Data panjang dan berat ikan hasil tangkapan bubu diukur secara acak pada setiap trip penangkapan.
3.4.4 Data daerah pengoperasian
Data daerah pengoperasian bubu dijadikan sebagai analisis penangkapan ikan demersal. Pengambilan data ini dilakukan melalui observasi langsung bersama kapal nelayan dan juga wawancara dari pihak nelayan yang dibantu dengan kuesioner. Ada beberapa variabel data yang diperoleh pada tahapan ini, diantaranya :
1) Pengukuran kedalaman dasar laut (Bathymetry)
Pengukuran kedalaman dasar laut dapat dilakukan dengan Conventional Depth Echosounder dimana kedalaman dasar laut dapat dihitung dari perbedaan waktu antara pengiriman dan penerimaan pulsa suara. Penggunaan metode yang sama untuk mengukur kedalaman laut. Parameter ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan bubu. Rata-rata kedalaman yang dipilih berkisar antara 30-70 meter. Pertimbangan ini didasarkan pada tingkat kesulitan yang akan diperoleh oleh anak buah kapal (ABK) pada saat pengambilan bubu. Dengan pertimbangan sistem Side-Scan Sonar pada saat ini, pengukuran kedalaman dasar laut (Bathymetry) dapat dilaksanakan bersama-sama dengan pemetaan dasar laut (Sea Bed Mapping) dan pengidentifikasian jenis-jenis lapisan sedimen di bawah dasar laut (Subbottom Profilers).
2) Identifikasi jenis-jenis lapisan sedimen (Subbottom Profilers)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dengan teknologi akustik bawah air, peralatan side-scan sonar yang mutahir dilengkapi dengan subbottom profilers dengan menggunakan frekuensi yang lebih rendah dan sinyal impulsif yang bertenaga tinggi yang digunakan untuk penetrasi ke dalam lapisan-lapisan sedimen di bawah dasar laut. Dengan adanya klasifikasi lapisan sedimen dasar laut dapat menunjang penentuan kandungan mineral dasar laut dalam. Demikian teknologi akustik bawah air dapat menunjang eksplorasi sumberdaya non hayati laut. Identifikasi jenis lapisan dilakukan
dengan tujuan agar ikan yang menjadi sasaran tangkap bubu adalah ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, diantaranya ikan-ikan kerapu, ikan-ikan kakap, ikan kuwe, lobster dan beberapa crustacea yang berukuran besar. Ikan-ikan ini pada umumnya ditemukan pada daerah perairan yang memiliki jenis lapisan dasar berupa karang keras (hard coral). Karang keras menjadi habitat yang sangat baik buat ikan-ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pertimbangan ini membuat nelayan pada umumnya menjatuhkan bubu di sekitar daerah yang memiliki lapisan dasar berupa karang.
3) Pemetaan dasar laut (Sea bed mapping)
Teknologi side-scan sonar dalam pemetaan dasar laut, dapat mengahasilkan tampilan peta dasar laut dalam tiga dimensi. Teknologi akustik bawah air yang canggih dan dikombinasikan dengan data dari subbottom profilers, akan diperoleh dari pemetaan dasar laut yang lengkap dan rinci. Pemetaan dasar laut yang lengkap dan rinci ini dapat digunakan untuk menunjang penginterpretasian struktur geologi bawah dasar laut dan kemudian dapat digunakan untuk mencari mineral bawah dasar laut. Nelayan terlebih dahulu melakukan pemetaan dasar laut sebelum menjatuhkan bubu. Biasanya bubu yang dijatuhkan diletakkan di sekitar terumbu karang yang masih hidup. Bubu yang ditempatkan di dasar dianalisis berdasarkan bentuk karang. Pada umumnya karang yang memiliki elevasi tinggi lebih dihindari, alasannya karena pertimbangan tingkat kesulitan saat pengambilan bubu. Biasanya bubu yang jatuh di daerah karang memiliki resiko tinggi akan hilang terbawa arus.
Data ini menjadi dasar penentuan apakah pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera masih berpotensi untuk dikembangkan dan daerah pengoperasian mana yang sudah mengalami kerusakan sehingga perlu melakukan proteksi atau pelarangan pengoperasian seperti yang terjadi saat ini. Data parameter fisika yang diambil dalam penelitian ini meliputi: kedalaman, topografi, jenis sendimen dan tinggi permukaan karang. Data kecepatan arus diperoleh dari Pangkalan Angkatan Laut Sibolga.
3.5 Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini tetap mengacu pada tujuan penelitian, yaitu dimulai dengan evaluasi pengoperasian alat tangkap, mengukur kinerja teknis bubu modifikasi, menganalisis produktivitas bubu modifikasi dan bubu nelayan dan menganalisis pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan.
3.5.1 Tingkat potensi pemanfaatan tangkapan utama bubu
Tujuan penggunaan model produksi surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (MSY). Model produksi surplus yang lebih sering digunakan adalah model Schaefer (Sparre dan Venema 1999).
Model Schaefer menghubungkan antara hasil tangkapan per-upaya penangkapan dengan upaya penangkapan sebagai berikut :
bE a
CPUE= − ………(1)
Hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan adalah :
2
bE aE
C = − ………...(2)
Nilai intersep (a) dan slope (b) diduga dengan model-model penduga parameter biologi dari persamaan produksi Schaefer yaitu:
(1) Equilibrium Schaefer t t t E r k q qkE h 2 − = ………(3) (2) Disequilibrium Schaefer t t t t t U qE kq r r U U U − − = − − + 2 1 1 ……….……(4) (3) Schnute ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + + 2 2 1 1 1 t t t t t t U U q E E kq r r U U Ln ………...(5)
(4) Walter-Hilborn t t t t U qE kq r r U U − − = − +1 1 ………...(6)
(5) Clark, Yoshimoto, dan Pooley (CYP)
(
)
( ) ( ) ) 2 ( ) ln( 2 2 ln 2 2 1 1 + + ⎟ − + + ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − + + = t t t t E E r q U r r qk r r U Ln ...(7) Keterangan :ht = hasil tangkapan pada periode t, Ut = CPUE pada waktu t,
Ut+1 = CPUE pada waktu t+1,
Et = upaya penangkapan (effort) pada waktu t, Et+1 = upaya penangkapan (effort) pada waktu t+1,
k = konstanta daya dukung perairan,
q = konstanta kemampuan alat tangkap,
r = konstanta pertumbuhan alami (intrinsik).
Kelima model yang dikemukakan diatas, dipilih yang terbaik (best fit). Penilaian ini berdasarkan kesesuaian tanda dalam persamaan, pendekatan dengan koefisien determinasi (R2) terbesar dan model yang memiliki nilai validasi mendekati nol.
(1) nilai a dan b didapat melalui persamaan : qk a= ………(8) r k q b 2 = ……….(9)
(2) jumlah upaya penangkapan optimum yang diperlukan untuk mendapatkan hasil tangkapan lestari diperoleh dengan menurunkan persamaan dari hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan, yaitu :
bE aE dE dC 2 − = ………...………(10)
Sehingga diperoleh persamaan b a Eopt 2 = ……….……(11)
(3) Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh:
b a CMSY 4 2 = ………..…..(12)
3.5.2 Konstruksi dan teknik pengoperasian
Data konstruksi bubu nelayan yang diperoleh melalui wawancara dianalisis secara deskriptif. Data konstruksi bubu nelayan disajikan dalam bentuk tabel sebagai informasi awal pengembangan dan perbaikan bubu di pantai Barat Sumatera.
Data teknik pengoperasian bubu nelayan dianalisis dengan statistik deskriptif menggunakan perangkat microsoft excell. Data yang menjadi input dalam mengukur tingkat kesulitan pencarian bubu adalah waktu yang diperlukan dalam menemukan satu bubu nelayan.
3.5.3 Pergeseran titik operasi bubu
Pemetaan titik lokasi pengoperasian bubu dianalisis dan disajikan dengan menggunakan perangkat lunak surfer 8. Pencarian titik hauling bubu merupakan bagian pengoperasian yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang. Data pergeseran titik bubu disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data titik koordinat bubu merupakan bagian proses penentuan titik setting dan hauling kedua jenis bubu. Pergeseran bubu dihitung dari selisih lintang utara dan bujur timur yang terjadi pada pencarian bubu setelah proses peletakan. Pergeseran bubu dihitung dengan rumus sebagai berikut:
JP = √ Keterangan:
JP = jarak pergeseran (meter)
SL = selisih jarak pada lintang (meter) SB = selisih jarak pada bujur (meter)
3.5.4 Kinerja teknis bubu modifikasi
Sebelum melakukan analisis terhadap kinerja teknis bubu modifikasi, terlebih dahulu dilakukan standarisasi satuan unit percobaan. Kinerja teknis bubu diukur dengan melihat gerak stabilitas bubu saat mendarat (landing) menyentuh dasar perairan. Model yang digunakan dalam melihat hubungan kedalaman air terhadap kecepatan gerak bubu menyentuh dasar perairan dianalisis dengan pendekatan regresi linear (Pramesti, 2011).
Yij = a + b x
keterangan :
Yij = Waktu bubu menyentuh dasar perairan (detik)
a = Nilai intercep b = Nilai slope regresi
x = Kedalaman perairan (meter).
Data pergeseran titik bubu modifikasi disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data titik koordinat bubu merupakan bagian proses penentuan titik setting dan hauling bubu modifikasi.
3.5.5 Perbandingan produktivitas bubu
Produktivitas bubu nelayan dan modifikasi dihitung dari jumlah ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap, dengan persamaan:
keterangan :
Pbubu : produktivitas bubu pada periode t (kg/alat tangkap)
CTU : hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor pada periode t (kg)
Ctotal : hasil tangkapan total pada periode t (kg)
Data disajikan dalam bentuk diagram dengan perangkat lunak microsft excel untuk melihat perbandingan efektivitas bubu dalam menangkap ikan target.
3.5.6 Pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan
Pengaruh jenis bubu terhadap komposisi hasil tangkapan berdasarkan wilayah pengoperasian yang berbeda direpresentasikan menggunakan uji statistik.
% 100 x CC P total TU bubu =
Pengaruh kedua jenis perlakuan ini dilihat dari 9 kali ulangan yang dilakukan pada keempat daerah penangkapan ikan. Faktor interaksi antara kedua jenis perlakuan yaitu jenis bubu dan daerah penangkapan ikan juga dihitung, tujuannya adalah untuk melihat apakah perlakuan yang diberikan memiliki hubungan satu sama lain. Adapun model yang digunakan untuk menganalisis pengaruh kedua jenis perlakuan dan melihat interaksi di antara perlakuan tersebut adalah rancangan faktorial (Pramesti, 2011).
Model :
Yij= μ + αi+βj+(αβ)ij + εijk
keterangan :
Yij : Nilai pengamatan pengaruh jenis bubu terhadap DPI.
µ : Nilai rataaan umum
αi : Pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan
βj : Pengaruh daerah penangkapan ikan terhadap hasil tangkapan
(αβ)ij : Interaksi diantara DPI dan bubu
εijk : Pengaruh galat.
Percobaan ini menggunakan selang kepercayaan yang sama (α=0,05), namun pada prinsipnya data yang digunakan dalam menjawab penelitian adalah data berat dan jumlah individu ikan yang tertangkap pada setiap unit percobaan. Kondisi ekosistem karang dan data parameter fisika perairan pada masing-masing daerah penangkapan ikan dianalisis dengan peta 135 milik TNI Angkatan Laut. Karena penelitian ini menerapkan metode eksperimental maka bila hasil penelitian menunjukkan niali F hitung yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji berbeda nyata terkecil (BNT). Adapun asumsi yang digunakan dalam penggunaan model ini adalah :
1) Pengaruh lingkungan di setiap lokasi daerah penangkapan ikan dianggap sama.
2) Peluang ikan untuk masuk kedalam bubu dianggap sama. 3) Teknik penjatuhan dan penarikan tidak memberikan pengaruh.
3.5.7 Kelayakan usaha bubu
Kelayakan usaha dilakukan untuk mengkaji kemungkinan keuntungan (profitability) atau kerugian yang diperoleh dari bubu modifikasi dan bubu nelayan. Ada dua macam analisis yang digunkan untuk mengevaluasi kelayakan usaha, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi (Kadariah et al., 1999). Dalam analisis kelayakan usaha bubu di pantai Barat Sumatera digunakan analisis finansial dengan menghitung kriteria investasi. Beberapa kriteria investasi yang digunakan adalah :
1) Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV), digunakan untuk menilai manfaat investasi dengan nilai ukuran masa kini (present value) dari keuntungan bersih usaha bubu, jika NPV > 0 maka usaha layak diterima dan jika NPV < 0 maka usaha tidak layak diterima. Rumus untuk menghitung NPV adalah :
1 keterangan :
Bt = manfaat (penerimaan) bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp)
i = tingkat suku bunga (%)
t = periode investasi (i = 1, 2, 3, ..., n) 2) Internal Rate of Return (IRR)
IRR atau Internal Rate of Return adalah suatu tingkat discount rate(suku bunga) yang menghasilkan Net Present Value sama dengan nol. Dengan Kriteria :IRR > i, berarti usaha layak dan IRR < i, berarti usaha tidak layak/rugi. Rumus untukk menghitung IRR adalah:
) (2 1 2 1 1 1 x i i NPV NPV NPV i IRR − − + = keterangan:
i1 = tingkat discount rate yang dihasilkan NPV1 i2 = tingkat discount rate yang dihasilkan NPV2.
3) Perbandingan Ratio (B/C Ratio)
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis bubu. Net B/C merupakan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt – Ct > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (Bt – Ct < 0), dengan rumus (Kadariah et al., 1999).
∑ 1
∑ 1 ∑ ∑
kriteria:
Net B/C > 1, berarti usaha layak/menguntungkan Net B/C = 1, berarti usaha pulang pokok
Net B/C < 1, berarti usaha tidak layak/rugi
Selain menggunakan analisis kriteria investasi, penelitian ini juga menggunakan analisis finansial rugi laba, yang meliputi :
1) Keuntungan usaha, suatu usaha menguntungkan akan memiliki nilai penerimaan lebih besar daripada total pengeluaran, sedangkan suatu usaha dikatakan merugikan jika total pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. π = TR – TC keterangan : π = keuntungan usaha TR = Total penerimaan TC = Total biaya
2) Revenue Cost Ratio (R/C), merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut.
R/C Ratio = Revenue/Cost kriteria :
R/C Ratio <1 ; usaha tidak layak R/C Ratio = 1 ; usaha impas R/C Ratio > 1 ; usaha layak
3) Payback Period (PP), analisis Payback Periode bertujuan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanamkan saat memulai usaha bubu. Analisis ini merupakan salah satu metode nelayan dalam mengevaluasi kemampuan suatu usaha menghasilkan keuntungan (profitibilitas). Pay Back Periode adalah waktu yang diperlukan oleh suatu usaha untuk mengembalikan jumlah dana yang telah diinvestir dalam usaha tersebut.
PP = I /π keterangan :
PP = Payback period
I = Investasi/biaya yang dibutuhkan untuk membiayai pengadaan barang modal atau modal tetap (Rp).
π = Penerimaan (Rp) 4) Break Even Point (BEP)
Dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : atas unit dan atas dasar nilai jual dalam rupiah.
a) Break Even Point atas dasar produksi unit (banyaknya hasil tangkapan) dapat dilakukan dengan rumus :
b) Analisis BEP atas dasar harga jual :
1 . keterangan :
BEP = Break Even Point P = harga jual V = biaya variable FC = biaya tetap C = produksi S = volume penjualan
3.5.8 Pengembangan perikanan bubu
Analisis ini digunakan untuk melihat respon masyarakat, dengan menggambarkan perilaku kelompok berupa tindakan yang mencerminkan upaya-upaya untuk mempertahankan keberadaan dalam menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi disekitarnya. Analisis ini dilakukan secara deskriptif berdasarkan data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak pengembangan usaha perikanan bubu yang dilakukan nelayan Sibolga, pengaruh kegiatan penangkapan perikanan demersal terhadap masyarakat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat yang berada di luar kawasan dan terhadap wilayah.
1) Analisis Hirarki Proses (AHP)
Analisis AHP digunakan untuk menentukan prioritas strategi yang diharapkan dilakukan. Tahapan analisis dalam AHP adalah mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang ingin dicapai. Tahapan selanjutnya adalah penyusunan struktur hirarki yang dimulai dengan penyusunan tujuan umum (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan (level 2) dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria paling bawah (level 3).
Tahapan berikutnya adalah dengan membuat skala perbandingan pada setiap sub kriteria yang ada dengan beberapa alternatif. Skala perbandingan dibuat dengan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk perbandingan antara beberapa alternatif. Dalam pembuatan skala ini, diusahakan agar setiap sub kriteria mempunyai skala yang sebanding. Lebar dan jumlah skala disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap level dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.
Analisis perbandingan secara menyeluruh berdasarkan dua kriteria utama menggunakan sistem perbandingan berganda dengan analisis matriks. Sistem pembobotan skala perbandingan pada analisis antar kriteria menggunakan tabel panduan skala perbandingan menurut saaty (1991). Sistem perbandingan ini didasarkan pada taraf relatif pentingnya suatu kriteria yang dibandingkan dengan kriteria lainnya.
Prioritas strategi yang akan diperoleh dari perhitungan Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah pertama yang dilakukan dalam AHP adalah penyusunan struktur hierarki. Struktur hierarki dilakukan dengan mengawali tujuan umum sebagai tujuan utama (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2) dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah (level 3). Langkah
selanjutnya adalah membuat skala banding berpasang, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada dengan beberapa alternatif yang ditawarkan. Skala banding berpasang ini dibuat berdasarkan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan beberapa alternatif.
Analisis banding berpasang secara menyeluruh merupakan analisis perbandingan dari dua kriteria utama yang digunakan dalam analisis ini. Sistem pembobotan pada skala banding berpasang menggunakan tabel panduan skala banding berpasang seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Skala banding berpasang berdasarkan taraf relatif pentingnya Intensitas
Pentingnya
Definisi Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangkan
sifat sama besar pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting dibandingkan elemen yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit
menyokong satu elemen atas lainnya
5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya
Pengalaman dan
pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen lainnya Suatu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek 9 Satu elemen mutlak lebih penting
dibandingkan elemen yang lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu dengan lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua hal yang berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Kebalikan Jika satu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila
dibandingkan dengan i Sumber: Saaty (1993).
Nilai perspektif pengembangan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera yang diperoleh dari stakeholder ditabulasikan terlebih dahulu.
Pengukuran konsistensi dari setiap individu yang memberikan penilaian diukur terlebih dahulu agar kesimpulan yang diberikan dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Kriteria data yang digunakan dalam pengembangan usaha perikanan demersal melalui bubu terdiri dari: 1) perbaikan teknik operasi; 2) peningkatan nilai produksi dan 3) peningkatan nilai ekonomi. Pemilihan kriteria ini didasarkan pada identifikasi permasalahan perikanan bubu yang telah terjadi di Sibolga.
Prinsip konsistensi logis harus dilakukan mengingat konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsisten memiliki dua makna yaitu: pertama, obyek yang serupa dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency ratio: CR). Nilai rasio konsistensi tidak lebih dari 10%. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungkin acak dan perlu diperbaiki (Saaty 1993 dan Marimin 2004). Nilai indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai 10 yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai random consistency index (ri) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 Sumber: Mulyono (1991)
2) Strength, Weakness, Opportunity, Threats (SWOT)
Matriks SWOT dapat digambarkan sebagaimana hasil identifikasi dan perhitungan, dilakukan dengan menggunakan analisa IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary). Adapun langkah untuk melakukan analisis SWOT adalah sebagai berikut (Rangkuti, 2009):
1) Pembobotan dengan analisis SWOT
i) Menentukan faktor-faktor kelemahan dan kekuatan, serta faktor
ii) Memberi bobot pada masing-masing faktor tersebut dengan skala
mulai dari 1,00 (paling penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis instansi. Jumlah bobot tidak boleh lebih dari skor total 1,00.
iii) Memberi rating untuk masing-masing faktor dengan menggunakan
skala mulai dari 4 (sangat baik) sampai dengan 1 (di bawah rata-rata).
iv) Mengalikan bobot dan rating untuk menentukan skor tiap-tiap faktor. v) Menjumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor
pembobotan.
2) Berdasarkan total skor dari masing-masing kriteria S-W-O-T, digunakan dalam penggambaran posisinya pada matriks SWOT.
Matriks SWOT yang dikembangkan dari penilaian kriteria pengembangan usaha bubu di pantai Barat Sumatera, dijadikan acuan penempatan kuadran. Dengan mencari nilai absis (x) dan ordinat (y) maka titik kuadran pengembangan usaha bubu dapat ditentukan. Jika kriteria penilaian usaha bubu berada pada kuadran yang positif maka program pengembangan dapat disusun dalam waktu lebih singkat. Gambaran model matriks SWOT untuk pengembangan usaha bubu di pantai Barat Sumatera disajikan pada Gambar 11.
Kuadran III Kuadran I
(mendukung strategi turn-around) (mendukung strategi agresif)
Kuadran IV Kuadran II
(mendukung strategi defensif) (mendukung strategi diversifikasi)
Gambar 11 Skematis analisis SWOT
Berbagai peluang
Berbagai ancaman
Keterangan:
Kuadran I : Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. nelayan memberi peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang dapat diterapkan dalam strategi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).
Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, nelayan bubu masih mempunyai kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi pengembangan usaha bubu.
Kuadran III : Nelayan bubu menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal instansi sehingga dapat merebut peluang dengan lebih baik.
Kuadran IV : Posisi Ini merupakan keadaan yang sangat tidak menguntungkan, nelayan bubu sedang mengalami berbagai ancaman dan kelemahan internal.
Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas berbagai peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi nelayan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi. Salah satu dari empat set kemungkinan alternatif strategis inilah yang diharapkan dari analisis SWOT untuk digunakan dalam strategi suatu pengembangan perikanan demersal (Gambar 12). Empat set alternatif strategis yang dihasilkan dari matriks SWOT adalah sebagai berikut: (1) Strategi SO; Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran nelayan, yaitu
dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya.
(2) Strategi ST; Merupakan strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh nelayan untuk mengatasi ancaman.
(3) Strategi WO; Strategi ini dimanfaatkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
(4) Strategi WT; Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
IFAS EFAS Strengths (S)  Tentukan faktor-faktor kekuatan internal Weaknesses (W)  Tentukan faktor-faktor kelemahan internal Opportunities (O)  Tentukan faktor-faktor peluang eksternal Strategi SO
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi WO
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk Memanfaatkan peluang Threats (T)  Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal Strategi ST
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi
Ancaman
Strategi WT
Ciptakan strategi yang meminimalkan
kelemahan dan
menghindari ancaman Gambar 12 Matrik SWOT
3.5.9 Teknologi berwawasan lingkungan
Analisis teknologi berwawasan lingkungan dalam pengembangan armada perikanan tangkap dilakukan secara deskriptif. Analisis armada berwawasan lingkungan didasarkan pada ketentuan internasional mengenai perikanan bertanggung jawab. Kriteria ini tertera pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang ditetapkan oleh FAO (1995).
Berdasarkan kriteria dan pembobotan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis metode skoring. Skor terendah diberikan nilai 1 dan tertinggi diberi nilai sesuai dengan urutan pembobotan terbaik (Tabel 4). Masing-masing jenis alat tangkap diberi skor pada setiap kriteria dan sub kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Langkah berikutnya adalah standarisasi nilai dengan menggunakan fungsi nilai (Mangkusubroto dan Trisnadi 1987), dengan menggunakan rumus: Xo Xi Xo X x V − − = ) ( ; V(A)=
∑
Vi(Xi), untuk i= 1,2,3,...,nKeterangan:
V(x) = fungsi nilai dari variabel x; X = variabel x;
Xo = nilai terburuk kriteria x; V(A) = fungsi nilai dari alternatif A;
Vi(Xi) = fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i; Xi = kriteria ke-i
Pendekatan ramah lingkungan digunakan untuk memudahkan analisis berdasarkan aspek biologi, teknik, sosial, dan ekonomi. Aspek biologi meliputi: (i) tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya; (ii) menghasilkan ikan bermutu baik; (iii) produk tidak membahayakan konsumen; (iv) alat tangkap tidak membahayakan sumber daya hayati (biodiversity); (v) tidak menangkap jenis yang dilindungi atau terancam punah.
Aspek teknik meliputi: (i) selektivitas alat tangkap terhadap jenis ikan; (ii) tidak membahayakan nelayan yang menangkap ikan; dan (iii) hasil tangkapan yang terbuang minimum (minimum bycatch). Aspek sosial yang dianalisis adalah (i) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan (ii) jumlah tenaga kerja yang terserap. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dalam hal ini alat tangkap dioperasikan secara legal, yaitu (i) beroperasi di daerah penangkapan yang diijinkan; (ii) mengoperasikan jenis alat yang ditetapkan; (iii) mengoperasikan ukuran alat yang diijinkan; (iv) mengoperasikan jumlah alat yang ditentukan; dan (v) memiliki kelengkapan dokumen usaha. Skor yang diberikan untuk aspek sosial adalah satu, apabila memenuhi kurang dari tiga syarat yang ditetapkan; dua, apabila memenuhi tiga syarat yang ditetapkan; tiga, apabila memenuhi empat syarat yang ditetapkan; empat, apabila memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan. Aspek ekonomi meliputi: (i) biaya investasi murah; dan (ii) usaha menguntungkan secara ekonomi (profitable).
Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dilanjutkan dengan analisis keberlanjutan (sustainable fisheries) yang dilakukan secara deskriptif, didasarkan pada kriteria (Simbolon 2004), yaitu: mengikuti ketentuan total allowable catch, kontinuitas produksi tejamin, pasar/pembeli yang terjamin dan jelas. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan nilai bobot
No Kriteria Penjelasan Bobot
1. Memiliki
selektivitas yang tinggi
Alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari:
i) Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
ii) Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
iii) Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama
iv) Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama
1 2 3 4 2. Tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya
Kriteria yang ditetapkan berdasar luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan UPI, dengan pembobotan: i) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah
yang luas
ii) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
iii) Menyebabkan sebagian habitat pada wilayah yang sempit
iv) Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)
1 2 3 4 3. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan)
Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasar tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu: i) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat
berakibat kematian pada nelayan
ii) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan iii) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat
berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara
iv) Alat tangkap aman bagi nelayan
1 2 3 4 4. Menghasilkan ikan
yang bermutu baik Tingkat kualitas ikan ditentukan berdasarkan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya), dengan pembobotan:
i) Ikan mati dan busuk
ii) Ikan mati, segar, dan cacat fisik iii) Ikan mati dan segar
iv) Ikan hidup
1 2 3 4 5. Produk tidak membahaya kan kesehatan konsumen
Ikan yang ditangkap dengan bom, pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar racun. Pembobotan kriteria ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen, yaitu:
i) Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
ii) Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
iii) Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
iv) Aman bagi konsumen
1 2 3 4
Tabel 8 Lanjutan
No Kriteria Penjelasan Bobot
6. Hasil tangkapan yang terbuang minimum
Alat tangkap yang tidak selektif mengakibatkan hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyak jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non-target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut:
i) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar
ii) by-catch terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar
iii) by-catch kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar
iv) by-catch kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar
1 2 3 4 7. Alat tangkap yang
digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity)
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut:
i) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat
ii) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat iii) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan
kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat
iv) Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
1 2 3 4 8. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undang-undang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
i) Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat ii) Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat iii) Ikan yang dilindungi pernah tertangkap
iv) Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
1 2 3 4 9. Diterima secara
sosial Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila: (1) biaya investasi murah, (2) menguntungkan secara ekonomi, (3) tidak bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa:
i) Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
ii) Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
iii) Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
iv) Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas 1 2 3 4
Kriteria penilaian bobot yang digunakan dalam pengembanagan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera dimodifikasi menjadi konsep análisis komperatif. Perbandingan kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, dilakukan dengan membandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi. Kedua jenis bubu akan diberikan bobot penilaian berdasarkan pada kriteria biologi hasil tangkapan, kriteria teknologi, kriteria ekonomi dan kriteria sosial.
Modifikasi penilaian kriteria dilakukan karena variabel yang digunakan dalam penilaian hanya menggunakan dua jenis alat tangkap. Salah satu kriteria yang dinilai dalam melihat kinerja bubu dalam memperoleh hasil tangkapan adalah persentase bobot target utama untuk ekspor. Kriteria pembobobtan yang digunakan dalam melihat hasil tangkapan bubu antara lain:
Nilai 4 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor > 75%
Nilai 3 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor 50 sampai 74% Nilai 2 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor 25 sampai 49% Nilai 1 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor < 25%
Fungsi nilai masing-masing kriteria pada tiap alat tangkap dijumlahkan, dan dirata-ratakan untuk mendapatkan urutan ranking. Alat tangkap yang memiliki fungsi nilai tertinggi adalah alat tangkap yang paling ramah lingkungan. Modifikasi bobot penilaian bubu digunakan juga pada kriteria lain. Hasil akhir dari penilaian ini adalah rekomendasi terhadap jenis bubu yang paling ramah lingkungan.