• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK

(Studi Putusan Nomor : 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MUHAMMAD ARIF FADHILLAH HARAHAP 130200492

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ANALISIS YURIDIS PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK

(Studi Putusan Nomor : 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MUHAMMAD ARIF FADHILLAH HARAHAP 130200492

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH., MH NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, S.H., M.Hum Alwan, S.H., M.Hum NIP:196110241989032002 NIP:196005201998021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

ABSTRAK

Muhammad Arif Fadhillah Harahap* Liza Erwina**

Alwan***

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif. Pada kenyataannya perlindungan terhadap anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sebab anak sudah sering kali mengalami perlakuan salah dan hak-haknya dilanggar. Bahkan kita sering mendengar bahwa anak menjadi korban utama dalam kejahatan asusila yang berbau seksual seperti pemerkosaan atau persetubuhan, perbuatan cabul dan kekerasan seksual.

Hal inilah yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul Analisis Yuridis Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak (Studi Putusan No: 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn), dengan mengangkat permasalahan bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban menurut undang-undang perlindungan anak maupun aturan hukum pidana, serta bagaimana suatu tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban bisa terjadi beserta hal apa saja yang mendasari terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban.

Penulis juga akan membahas analisis yuridis terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban,

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian kepustakaan atau data sekunder berdasarkan peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan dokumen lainnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan hukum mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban diatur dalam KUHP dan UU. No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban dapat dikategorikan ke dalam dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Sanksi pidana yang diterapkan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban dalam putusan nomor : 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn adalah sebagaimana ketentuan pasal 81 ayat (2) UU. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I dan Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II dan Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan KaruniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Yuridis Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak (Studi Putusan No:

2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara”.

Pada kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Drs. H. Mara Bintang Harahap dan ibunda Dra. Hj. Zuraidah Siregar yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis, baik itu dukungan materi maupun dukungan moril yang tak terbalaskan serta kasih sayang tulus yang diberikan hingga saat ini. Penulis juga mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara..

3. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan., S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, juga selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini..

9. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Penasehat Akademik selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum pidana selama perkuliahan.

11. Seluruh Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam bidang administrasi selama perkuliahan.

12. Kepada saudara penulis, abanganda dr. Roni A.P Hrp dan abanganda Rahmat Ramadhani Harahap, Amd. yang senantiasa memberikan dukungan, inspirasi dan selalu memberikan semangat kepada penulis.

(6)

13. Seluruh teman-teman IMADANA (Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana) yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis.

14. Kepada teman-teman seperjuangan Grup A stambuk 2013 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

15. Kepada sahabat-sahabat dan teman seperjuangan, Ruhut Trifosa, Liga Saplendra Ginting, Steven Puji, Hanif Harahap, Ruth Diyantika, Tommy Umaro, Basrief Aryanda yang selalu memberikan dukungan terbaiknya selama dalam pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan selalu diterima. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi setiap kalangan terutama orangtua yang harus menyadari bahwa anak adalah harta yang paling berharga dan harus senantiasa dilindungi.

Medan, Maret 2017 Penulis

Muhammad Arif Fadhillah Harahap

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1. Pengertian Tindak Pidana ... 11

2. Pengertian Tindak Pidana Persetubuhan ... 16

a. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana ... 17

b. Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 22

3. Pengertian Batasan Usia Anak ... 24

4. Pengertian Anak Sebagai Korban ... 26

G. Metode Penelitian ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 31

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN ... 33

A. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ... 33

(8)

B. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas

UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 42

C. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 50

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK ... 55

A. Faktor Internal ... 64

B. Faktor Eksternal ... 68

BAB IV ANALISIS YURIDIS PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor 2717/Pid.Sus/2015/PN/Mdn) ... 72

A. Posisi kasus ... 72

1. Kronologi ... 72

2. Dakwaan ... 75

3. Fakta-fakta Hukum... 75

4. Tuntutan ... 83

5. Pertimbangan Hakim ... 84

6. Putusan ... 87

B. Analisis Yuridis ... 88

BAB V PENUTUP ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.1

Perlindungan terhadap anak merupakan hak asasi yang harus diperoleh setiap anak, karena setiap warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.2 Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung dalam pengaturan dalam peraturan undang-undang. 3

Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abuse), eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin

1 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak

2 Penjelasan Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945

3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia), Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm.42

(10)

kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya.4

Pemerintah sendiri telah menjamin perlindungan anak melalui ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan anak, didasari atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak- anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani jasmani maupun sosial.5 Disebut anak merupakan golongan yang rawan, karena sifatnya masih rentan dan masih tergantung pada orang dewasa, artinya anak memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami perlakuan salah dan melanggar hak-hak anak. Oleh karena itu, anak perlu dilindungi karena pada dasarnya setiap anak terlahir dengan segenap potensi yang baik. Namun pola asuh dan lingkungan yang salah selama masa perkembanganlah yang menghambat tumbuh dan kembangnya setiap anak.

Pada kenyataannya perlindungan terhadap anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk mendapatkan perlakuan dan

4 Ibid, hlm.42

5 Ibid, hlm.42

(11)

kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sebab anak sudah sering kali mengalami perlakuan salah dan hak-haknya dilanggar. Bahkan kita sering mendengar bahwa anak menjadi korban utama dalam kejahatan asusila yang berbau seksual seperti pemerkosaan atau persetubuhan, perbuatan cabul dan kekerasan seksual.

Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan kemanusiaan (Crime Againts Humanity)6, sekaligus merupakan salah satu permasalahan hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam.

Khusus perkara yang melibatkan anak sebagai korban kejahatan seksual, Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa sesuai data yang dikumpulkan dan dianalisis di Pusat Data dan Informasi Komnas Perlindungan Anak di Indonesia, setiap tahun korban kejahatan seksual terhadap anak semakin meningkat, yaitu pada tahun 2014, 2015 hingga april 2016, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai lebih dari 50 persen dari seluruh kasus. Pada tahun 2014 tercatat 52 persen dari 4.638 kasus merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Pada tahun 2015, tercatat 58 persen dari 6.727 merupakan kasus kekeras seksual terhadap anak. Pada Januari hingga April 2016, tercatat 48 persen merupakan kasus kekerasan seksual dari 339 laporan kasus. Jenis kekerasan seksual yang terjadi selama tiga tahun terakhir adalah perkosaan, sodomi dan incest.7

6 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan),PT. Refika Aditama,Bandung, 2001, hlm.25

7http://m.republika.co.id/berita/nasional/.hukum/16/05/15/077luc382-kekerasan-seksual- dominasi-kasus-kejahatan-tehadap-anak diakses pada jumat, 9 februari 2017 pukul 17.05

(12)

Dari data tersebut diatas menunjukkan mengenai keseriusan kejahatan asusila terhadap anak di tengah kehidupan masyarakat. Semakin meningkatnya korban kejahatan seksual terhadap anak, menjadi salah satu indikasi dan bukti lemahnya perlindungan dan pengayoman hak asasi perempuan terutama anak dari tindakan kekerasan seksual di Indonesia.

Perlu diketahui misalnya dalam perspeftif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homoseksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan/persetubuhan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada di antaranya yang tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang) seperti pelacuran.8

Kejahatan seksual yang melibatkan perempuan yang tergolong masih dibawah umur yang belum pantas secara fisik dan mental untuk melakukan hubungan biologis/seksualitas sebagaimana layaknya orang dewasa dikategorikan sebagai kelainan seksual, yaitu dimana seks tidak diletakkan pada waktu dan tempat yang tepat karena tanpa ikatan perkawinan dan usia mereka masih dibawah umur.

Kelainan seksual (Sexual Disorder) atau disebut juga Paraphilia adalah jika cara atau objek dalam perilaku seksual seseorang tidak lazim secara ilmiah

8 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit.hlm.25

(13)

(Natural) dan/atau sosial, antara lain adalah Paedhophilia (menyukai anak-anak dibawah umur), Voyeurism (kepuasan seks melalui mengintip), Sadisme ( menyakiti pasangan sebelum berhubungan seks) dan lain-lain.9

Ketertarikan orang dewasa (pelaku) terhadap seks rekreasional yang menempatkan anak sebagai objek perangsang dan pelampiasan libido dalam KUHP dikategorikan sebagai tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana.10

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita kerugian (mental, fisik, sosial), karena tindakan pasif, atau tindakan aktif orang lain atau kelompok (swasta atau pemerintah), baik langsung maupun tidak langsung.11

Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan.12

9 Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, PT.RajaGrafindoPersada, Jakarta, 2012.hlm.272

10 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak , Buku Seru, Jakarta, 2015, hlm.16

11 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung , 2012, hlm.69

12 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm.75

(14)

Kedekatan hubungan antara lawan jenis (laki-laki dan perempuan yang bukan isterinya atau bukan mahramnya) merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya perkosaan. Pihak pelaku memang bersalah, namun kesalahan-kesalahan yang diperbuat itu bisa disebabkan oleh kesalahan- kesalahan yang secara tidak langsung diperbuat oleh korban13. Misalnya saja dengan situasi kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi di zaman modern sekarang ini, tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak sudah sangat mudah dan tidak terbatas dalam budaya sosial yang terbuka, pergaulan yang semakin bebas, menjalin kedekatan hubungan dengan siapa saja, dan pergi kemana saja bahkan dengan orang (pelaku) yang hanya dikenal melalui jejaring sosial, seperti Facebook, Instagram dan lain-lain.

Dalam hubungan ini situasi dan kondisi pihak korban serta pihak pelaku adalah sedemikian rupa, sehingga pihak pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi kepentingan dan keinginannya berdasarkan motivasi serta rasionalisasi tertentu.14 Dalam keadaan yang demikian tanpa pengawasan orangtua, maka anak posisi baik secara sadar atau tidak sadar telah menempatkan dirinya sebagai faktor pendorong terjadinya suatu tindak pidana dan terjebak dalam pergaulan yang salah sekaligus menjadi korban tindak pidana.

Dari sekian banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia, M. R Siregar adalah salah satu anak perempuan yang menjadi korban suatu tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa yang dikenal oleh korban melalui jejaring sosial facebook. Terbongkarnya kasus ini bermula

13 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit, hlm.69

14 Rena Yulia, Loc.Cit.hlm 79

(15)

sejak korban pergi dari rumah pada tanggal 13 januari 2015 dan dibawa oleh pelaku dengan tanpa izin orangtua korban selama sekitar 13 hari. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemasan luar biasa bagi orangtua korban dan akhirnya orangtua korban melaporkan pengaduan ke Pihak Kepolisian.

Menurut pengakuan Jaka Syahputra (pelaku) di persidangan, korban tidak lain adalah merupakan pacar pelaku. Perkara ini telah dijatuhi vonis pengadilan, dimana pelaku terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana persetubuhan dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, membujuk anak. Pelaku menyadari bahwa pada saat itu korban masih duduk di kelas XI SMA dan masih berumur 16 tahun.

Tindak pidana persetubuhan tersebut telah dilakukan oleh pelaku terhadap korban secara berulang-ulang di berbagai tempat diantaranya di Hotel Anggrek yang terletak di Jalan Setia Budi Ujung Kecamatan Simpang Selayang Medan, di rumah kost yang terletak di Jalan M. Idris Gg Becek Medan dan lain-lain.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya.15

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban menurut undang-undang perlindungan anak maupun aturan hukum pidana, serta bagaimana suatu tindak pidana

15 Maidin Gultom, Op.Cit.hlm.69

(16)

persetubuhan terhadap anak sebagai korban bisa terjadi beserta hal apa saja yang mendasari terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban.

Penulis juga akan membahas analisis yuridis terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban, dengan judul “Analisis Yuridis Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor:

2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan urairan diatas, maka permasalahan yang akan dikemukakan sebagai rumusan masalah, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban ?

3. Bagaimana analisis yuridis pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak (Studi Putusan Nomor: 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn) ? C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis ialah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban

(17)

3. Untuk mengetahui Analisis hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak (Studi Putusan Nomor:

2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn) D. Manfaaat Penulisan

1. Secara Akademis/ Teoritis

1) Diharapkan penulisan ini dapat menjadi sumber bacaan dan penambahan ilmu khususnya untuk para kalangan mahasiswa dan akademisi dalam penelitian dan penulisan lebih lanjut terhadap kasus yang sama.

2) Diharapkan hasil penulisan ini dapat menjadi bahan acuan dan kajian untuk membangun penegakan hukum di Indonesia terutama mengenai permasalahan yang terkait dengan tindak pidana persetubuhan terhadap anak.

2. Secara Praktis

1) Diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal pencegahan terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak.

2) Diharapkan penulisan ini dapat memberikan gambaran secara jelas tentang bentuk-bentuk pengaturan perlindungan hukum dalam perundang-undangan terhadap kasus tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban.

(18)

E. Keaslian penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Yuridis Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak (Studi Putusan No. 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)”.

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis pada perspustakaan, menyimpulkan bahwa judul yang ditulis dalam skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Mengenai keaslian penulisan, bahwa benar karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar yang ada baik melalui literatur maupun pengumpulan-pengumpulan data yang dihimpun dari berbagai sumber, seperti buku-buku, kemudian juga melalui media elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis ilmiah orang lain. Walaupun terdapat pendapat atau kutipan dalam penulisan ini ialah semata-mata merupakan sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan ini. Dalam rangka melengkapi Tugas Akhir dan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan penulis bertanggung jawab sepenuhnya terkait dengan penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “Tindak Pidana” merupakan terjemahan dari “Strafbaarfeit” dalam bahasa belanda. Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak disebutkan penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan Strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari

(19)

bahasa latin yakni kata delictum.16 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang- undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana17

Menurut Prof.Moeljatno,S.H., tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu :18

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana;

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan manusia (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu;

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara perbuatan (melanggar aturan) dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula.

Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (criminal act) dengan dapat dipidananya orang (criminal responsibility atau

16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta,2010, hlm.47

17 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education,Yogyakarta,2012, hlm.20

18 M.Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press,2013,.hlm.83

(20)

criminal liability). Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana19. Pandangan ini disebut dengan pandangan dualistis. Sedangkan pandangan yang tidak membedakan keduanya disebut sebagai pandangan monistis.

Barda Nawawie Arief menyebutkan bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan landasan yuridis untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak dijelaskan.

Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana.20

Menurut Pompe, perkataan “Strafbaar Feit” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.21

Simons telah merumuskan “Strafbaar Feit” itu sebagai suatu “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”. Alasan dari Simons apa sebabnya “Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti diatas adalah karena : 22

19 Ibid ,hlm.77

20 Ibid.,hlm.78

21 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.182

22 Ibid., hlm. 185

(21)

a. Untuk adanya suatu “Strafbaar Feit” itu di isyaratkan bahwa dsitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun diwajibkan oleh Undang- undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan didalam Undang-undang.

c. Setiap “Strafbaar Feit” sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “Onrechtmatige Handeling.

Berdasarkan rumusan yang ada maka tindak pidana (strafbaar feit) memuat beberapa syarat-syarat pokok sebagai berikut :23

a. Suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang;

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan;

Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.24

23 Teguh Prasetyo, Op.Cit.hlm.48

24 M. Ekaputra, Op.Cit. hlm.77

(22)

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam dua unsur yaitu :25

a. Unsur subjektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

b. Unsur objektif, adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :26 1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdaat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 306 KUHP;

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

25 Ibid., hlm. 193

26 Ibid., hlm. 194

(23)

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau

“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”

di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

2. Pengertian Tindak Pidana Persetubuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) persetubuhan atau hubungan seksual artinya secara prinsip adalah tindakan sanggama yang dilakukan oleh manusia. Akan tetapi dalam arti yang lebih luas juga merujuk pada tindakan-tindakan lain yang sehubungan atau menggantikan tindakan sanggama, jadi lebih dari sekedar merujuk pada pertemuan antar alat kelamin lelaki dan perempuan.27

Menurut R. Soesilo persetubuhan ialah perpaduan antara kelamin laki-laki dan perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.28

Secara sederhana persetubuhan diartikan sebagai suatu perbuatan yang manusiawi karena merupakan kegiatan yang lumrah dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk memperoleh anak bahkan sudah merupakan kebutuhan kodrati manusia, akan tetapi di kategorikan sebagai suatu kejahatan seksual ketika dianggap bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan

27 http:/id.wikipedia.org/wiki/Persetubuhan, diakses tanggal 20-01-2017 pukul 22.25 wib

28 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1986, hlm.209

(24)

di bidang kehidupan seksual, atau jika dilakukan tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah mengatur tentang tindak pidana persetubuhan, yaitu :

a. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Tindak pidana persetubuhan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana terbagi menjadi beberapa bentuk, yakni :

1) Persetubuhan dengan paksaan dalam KUHP

Persetubuhan dengan paksaan umumnya lebih dikenal dengan istilah pemerkosaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Mengartikan pemerkosaan sebagai suatu proses atau cara perbuatan memerkosa, sedangkan perkosa atau memerkosa berarti menundukkan dengan kekerasan atau memaksa dengan kekerasan.29

Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.30

Tindak pidana pemerkosaan (verkrachting) diatur secara spesifik dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, di hukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

29 http:/id.wikipedia.org/wiki/Pemerkosaan, diakses tanggal 20-01-2017. Pukul 22.40 wib

30 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit, hlm 41

(25)

Merujuk terhadap ketentuan Pasal 285 KUHP diatas dapat dirumuskan beberapa syarat penting perkosaan :

a) Memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan seksual/persetubuhan, sehingga sedemikian rupa wanita tersebut tidak dapat melawan. Allen dan Charles F.Hemphill mempertegas, perkosaan sebagai “An act of sexual intercourse with a female resist and her resistence is overcome by force”. Unsur keterpaksaan dalam persetubuhan itu biasanya didahului oleh perlawanan dari perempuan sebagai wujud penolakan atau ketidaksetujuannya. Pengertian ini menunjukkan bahwa perkosaan itu harus mengandung unsur perlawanan atau tidak adanya persetujuan dari korban31.

b) Adanya persetubuhan di luar perkawinan, persetubuhan itu harus benar- benar dilakukan (alat kelamin laki-laki sampai ke dalam alat kelamin perempuan).

c) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan (seperti hendak dilukai dan dibunuh) memaksa yang dialami oleh korban mengenai niat dan tindakan pelaku. Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dijadikan jalan atau dengan tujuan untuk memperlancar terjadinya persetubuhan.

d) Perkosaan harus dilakukan terhadap wanita. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa korban perkosaan haruslah seorang wanita, KUHP menyebutkan adanya berbagai wanita, yaitu wanita yang belum

31 Ibid., hlm 42

(26)

mencapai usia dua belas tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) KUHP dan Pasal 290 angka 3 KUHP), wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP ) dan wanita pada umumnya. Adanya ketentuan ini menutup kemungkinan laki-laki dapat dianggap menjadi korban pemerkosaan. Padahal dewasa ini sudah ada suatu fenomena terjadi bahwa pemerkosaan, dalam pengertian pemaksaan perbuatan cabul dan seksual, baik dengan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan juga dilakukan dengan memposisikan anak laki-laki sebgai korbannya, hal inilah yang disebut sebagai “pedhofilia”32. R. Soesilo menyatakan bahwa pembuat Undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata oleh karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan suatu yang buruk atau merugikan, justru seorang perempuan tersebut ada bahaya untuk melahirkan seorang anak.33 e) Pemerkosaan harus dilakukan terhadap wanita tersebut bukan istrinya,

atau tidak dalam ikatan perkawinan. jika terhadap isterinya sendiri (marital rape) maka dapat dikenakan Pasal 288 KUHP jika menyebabkan luka pada perempuan itu.

32 Ibid., hlm.44

33 R.Soesilo, Op.Cit, hlm.210

(27)

2) Persetubuhan Tanpa Paksaan Dalam KUHP

Persetubuhan tanpa paksaan dari pelaku terhadap korban diatur dalam KUHP dengan berbagai bentuk yaitu :

a) Persetubuhan diluar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Hal ini diatur dalam pasal 286 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya, bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun”

Syarat persetubuhan yang terkandung dalam pasal ini mengenai wanita dan diluar pernikahan sama dengan pembahasan Pasal 285 KUHP. Yang menjadi syarat mutlak lainnya untuk terpenuhinya perbuatan ini adalah adanya keadaan seorang korban wanita yang pingsan atau tidak berdaya.

R. Soesilo menyatakan bahwa Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, misalnya meminum racun kecubung atau lain- lain, sehingga orang tersebut tidak ingat lagi dan tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya. Sedangkan Tidak Berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya diikat dengan tali kaki dan tangannya, dikurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang tersebut lumpuh. Orang yang tidak berdaya tersebut masih dapat mengetahui apa yang akan terjadi terhadap dirinya.34

34 Ibid., hlm.98

(28)

b) Persetubuhan diluar perkawinan terhadap wanita yang belum cukup umur. Hal ini diatur secara spesifik dalam ketentuan Pasal 287 ayat (1) yang berbunyi :

“Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup lima belas tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

Dalam ketentuan pasal ini di syaratkan bahwa perempuan itu bukan isterinya atau diluar perkawinan, si pelaku harus mengetahui dan patut menyangka bahwa perempuan (korban) itu belum cukup berumur 15 tahun, atau apabila umurnya tidak jelas maka si pelaku patut menyangka bahwa wanita itu belum masanya untuk kawin.

Kata-kata belum masanya untuk kawin, merujuk pada batasan usia yang menjadi syarat perkawinan menurut ketentuan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan diizinkan apabila Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Hal itu berarti bahwa sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkwinan maka usia wanita yang dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP juga mencakup usia sebelum 16 Tahun.

c) Persetubuhan dalam perkawinan terhadap wanita yang belum dapat dinikahi. Hal ini diatur dalam Pasal 288 yang berbunyi :

1. Barang siapa bersetubuh dengan isterinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya

(29)

untuk dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, jika perbuatan itu menimbulkan luka pada tubuh.

2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.

3. Jika perbuatan itu menyebabkan kematian, dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun penjara.

Di Indonesia banyak terjadi perkawinan yang dilakukan antara laki- laki dan perempuan ketika masih kanak-kanak (belum waktunya kawin). Pernikahan dilakukan, tetapi barulah kemudian hari mereka itu diperbolehkan hidup dan tidur bersama-sama. Persetubuhan antara mereka ini jika tidak berakibat luka, luka berat atau mati, maka tidak dijatuhi hukuman. 35

b. Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Tindak Pidana Persetubuhan terhadap anak telah mendapat pengaturan yang lebih khusus dengan diberlakukannya UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

Dalam UU tersebut secara tegas menyatakan terminologi “Persetubuhan” yang secara spesifik terdapat pada Pasal 76 D yang berbunyi :

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

Dalam ketentuan Pasal 81 ayat 2 yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

35 Ibid., hlm.212

(30)

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh Orangtua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga pendidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Merujuk terhadap ketentuan Pasal 76 D dan Pasal 81 Ayat 2 diatas dapat di rumuskan beberapa unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur –unsur Subjektif : - Barang siapa

Unsur-unsur Objektif :

a) Sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan;

b) Memaksa;

c) Melakukan tipu daya;

d) Serangkaian kebohongan atau;

e) Membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan persetubuhan;

3. Pengertian Batasan Usia Anak

Pengertian anak secara umum adalah anak yang masih belum mencapai usia dewasa. Adapun perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat dengan adanya perbedaan umur serta tingkah laku. Berikut ini adalah mengenai ketentuan mengenai usia dewasa dalam berbagai peraturan perundang-undangan dimana terdapat perbedaan mengenai batasan usianya.

Pengertian batas usia anak berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa, anak adalah

(31)

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam Pasal 45, 46 dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan secara jelas dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang SPPA yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut Anak adalah mereka yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi mereka belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang termuat dalam Pasal 1 ayat (5) bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

Pengertian anak di dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

Pengertian anak menurut Konvensi Tentang Hak-hak Anak (convention on the right of the child) tahun 1989 sebagai berikut bahwa Anak adalah setiap manusia dibawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut Undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Pengertian anak menurut ketentuan Hukum Perdata, yang termuat dalam Pasal 330 KUHPerdata bahwa Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu kawin.

(32)

Pengertian anak dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menegaskan pengetian anak yakni belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, dan masih berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama tidak dicabut dari kekuasaannya .

Menurut Ketentuan Hukum Adat, pengklasifikasian batas usia anak bersifat pluralistik, artinya kriteria untuk menyebut bahwa seseorang bukan lagi disebut sebgai anak dan telah dewasa beranekaragam, yaitu:

a. Dapat bekerja sendiri

b. Cakap dan bertanggung jawab dalam tatanan masyarakat c. Telah menikah

d. Telah berusia 21 tahun

Berdasarkan beberapa uraian mengenai perbedaan batas usia anak tersebut, maka secara umum dapat disimpulkan batas usia seseorang sehingga dikatakan sebagai anak adalah berusia maksimal 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Selanjutnya, mengenai perbedaan batas usia anak menurut beberapa ketentuan hukum tersebut diatas akan digunakan sesuai dengan ketentuan hukum mana yang diperlukan.

Dalam penulisan ini pengertian batasan usia anak yang digunakan adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

(33)

4. Pengertian Anak Sebagai Korban

Anak dibawah umur yang disebut sebagai korban kejahatan, dimana menurut Arif Gosita36 yang dimaksud sebagai korban kejahatan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita

Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip oleh seorang ahli, bahwa Victim (korban) adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya,

Disini jelas yang dimaksud adalah orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.37

Secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Pasal 1 angka 3 Undang- undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana dinyatakan bahwa korban adalah :

“Orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dari rumusan tersebut, yang disebut sebagai korban adalah : a. Setiap orang;

b. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau;

c. Kerugian ekonomi;

d. Akibat tindak pidana;.

36 Rena Yulia,Op.Cit. hlm.49

37 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.9

(34)

Sebagaimana dikemukakan diatas, korban kejahatan umumnya akan mengalami berbagai penderitaan, sebagai contoh wanita korban perkosaan.

Seseorang wanita korban perkosaan selain menderita secara fisik, juga mengalami tekanan batin yang hebat akibat perkosaan, seperti perasaan kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya tabu terhadap hubungan seks diluar nikah.38

Anak-anak di bawah umur yang menjadi korban perkosaan/persetubuhan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya. Jika bertemu dengan kaum laki-laki mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi dengannya.39

Dilihat dari korban pada peristiwa tindak kekerasan terhadap anak, dapat dikemukakan beberapa tipe korban. Beberapa tipe korban (kejahatan) yaitu :40

a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap menjadi korban, untuk tipe ini kesalahan ada pada pihak si pelaku.

b. Korban secara sadar atau tidak sadar melakukan suatu perbuatan yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dikatakan mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan, sehingga kesalahan terletak pada si pelaku dan korban.

38 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara norma dan realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.28

39 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit,hlm.79

40 Maidin Gultom, Op.Cit, hal.2

(35)

c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.

Anak-anak, orangtua, orang yang cacat fisik/mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya adalah orang-orang yang mudah menjadi korban.

d. Korban karena dia sendiri adalah pelaku inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Misalnya pelacur, perjudian, zinah.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif atau biasa disebut penelitian hukum doktriner 41, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam melengkapi skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :

41 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press,JAkarta 1986),hlm.51

(36)

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain : Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan disertai isi dari putusan nomor : 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang- undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya42.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.43 Contohnya seperti kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini metode studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan (library research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu dengan mempelajari dan menganalisa berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini

42 Ibid.,hlm.52

43 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Bandung, 1996, Hlm.194

(37)

seperti, buku-buku, makalah, artikel dan sumber bacaan lain yang berkaitan dengan persetubuhan terhadap anak.

4. Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan dengan permasalahan penulisan ini.

Kemudian melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

Mengumpulkan, mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

Bab ini akan membahas tentang pengaturan hukum tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban tindak pidana

(38)

persetubuhan, yang isinya memuat pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang- undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

Dalam bab ini akan diuraikan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagai korban.

BAB IV : ANALISIS YURIDIS PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan : No.2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)

Pada bagian pertama akan mengemukakan kasus posisi dari Putusan Nomor : 2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn

Pada bagian kedua akan mengemukakan analisis kasus dari Putusan Nomor :2717/Pid.Sus/2015/PN.Mdn

BAB V : PENUTUP

Pada bagian bab ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari penulisan skripsi ini, dan saran sebagai masukan terhadap permasalahan yang diteliti.

(39)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hukum pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi si pelanggarnya (substansi hukum pidana) dan hukum yang menentukan tentang pelaksanaan substansi hukum pidana (hukum acara pidana). Di Indonesia, hukum pidana dibagi ke dalam dua macam, yaitu secara dikumpulkan dalam suatu kitab kodifikasi (KUHP) yang merupakan hukum pidana umum dan secara tersebar dalam berbagai undang-undang tentang hal-hal tertentu, yang merupakan hukum pidana khusus.44

Meletakkan anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan dalam pembahasan pengaturan hukum dapat ditemukan dalam ketentuan Kitab Undang- undang Hukum Pidana, yakni dikualifikasikan sebagai kejahatan yang diatur dalam Bab ke-XIV dari buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Ketentuan pidana yang diatur dalam bab ini dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontuchte handelingen. Oleh karena hal tersebut dipandang bertentangan dengan kepatutan di bidang kehidupan seksual.

44 Maidin Gultom, Op.Cit.,Hlm.3

(40)

Secara normatif, telah diatur mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Pasal 287 KUHP, yang rumusan aslinya berbunyi sebagai berikut : 45

(1) Hij die buiten echt vleselijk gemeenschap heeft met ene vrouw van wie hij weet of redelijkerwijs moet vermoeden dat zij indien van haar leeftijd niet blijkt, nog niet huwbaar is, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hogste negen jaren

(2) Vervolging heeft niet plaats dan op klachte, tenzij de vrouw den leeftijd van twaalf jaren nog niet heeft bereikt, of een der van de artt.291 en 294 aanwezig is.

Artinya :

(1) “Barang siapa mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan, dengan seorang wanita, yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga bahwa umur wanita itu belum mencapai lima belas tahun ataupun jika tidak dapat diketahui dari usianya, wanita itu merupakan wanita yang belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.

(2) Penuntutan tidak akan dilakukan apabila tidak ada pengaduan, kecuali jika wanita tersebut belum mencapai usia dua belas tahun atau jika terjadi hal-hal seperti yang diatur dalam Pasal 291 dan Pasal 294.

45 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan(Edisi Kedua), SinarGrafika,Jakarta, 2011, hlm.113

(41)

Menurut R.Sugandhi yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah pria yang bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa umur wanita itu belum cukup lima belas tahun atau belum pantas dikawini.46

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) diatas terdiri atas unsur- unsur :47

a. Unsur-unsur subjektif : 1. Yang ia ketahui;

2. Yang sepantasnya harus ia duga.

Dari disyaratkannya dua unsur subjektif secara bersama-sama, yakni unsur

“yang ia ketahui” dan unsur pidana “yang sepantasnya harus ia duga” di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, orang dapat mengetahui bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP itu mempunyai unsur yang pro parte dolus dan pro parte culpa.

b. Unsur-unsur objektif : 1. Barang siapa;

2. Mengadakan hubungan kelamin (persetubuhan) di luar pernikahan;

3. Wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi.

Kata barang siapa menunjukkan pria, yang apabila pria tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.

46R.Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm.304

47 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Loc.Cit, hlm.13

(42)

Unsur objektif kedua, yakni mengadakan hubungan hubungan kelamin.

Untuk terpenuhinya unsur ini oleh pelaku, tidaklah cukup jika hanya terjadi persinggungan di luar antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, tetapi tidak disyaratkan terjadinya ejaculatio seminis.48

Persetubuhan sebagaimana dimaksud, yakni peraduan antara antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.

Menurut R.Soesilo persetubuhan itu harus benar-benar dilakukan, apabila belum sampai demikian, mungkin perbuatan itu dapat dikenakan Pasal 290 sub 2 KUHP.49

Dengan terjadinya persatuan antara kelamin pelaku dengan alat kelamin korban itu saja, belum cukup dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur objektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, karena undang-undang juga mensyaratkan bahwa persatuan antara alat-alat kelamin itu harus terjadi di luar pernikahan.50 Pernikahan sebagaimana dimaksud di dalam rumusan tindak pidana yang di atur dalm Pasal 287 ayat (1) ialah pernikahan menurut Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yakni disebutkan bahwa:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya.

48Ibid.,.hlm. 115

49 R.Soesilo, Op.Cit, hlm..211

50 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit,hlm.115

(43)

2. Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut R.Soesilo Perempuan itu harus bukan isterinya, jika terhadap isterinya sendiri, mungkin dapat dikenakan Pasal 288, akan tetapi persetubuhan itu harus berakibat luka pada tubuh perempuan tersebut. 51

Unsur objektif ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi. Menurut Prof. Van Bemmelen dan Prof. Van Hattum, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP telah dibentuk untuk mencegah disalahgunakannya ketidakpengalaman anak-anak atau het misbruik maken van jeugdige onervarenheid oleh orang dewasa.52

Secara kebetulan penentuan tentang usia wanita tersebut ternyata sesuai dengan penentuan tentang usia wanita yang belum diizinkan untuk menikah menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, karena menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan diizinkan apabila pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.53

Hal itu berarti bahwa sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkwinan maka usia wanita yang dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP juga mencakup usia sebelum 16 Tahun. Dengan demikian, menurut hukum, kontak seksual dengan dalam bentuk persetubuhan dengan orang di bawah usia 16 tahun masuk dalam ruang lingkup tindak pidana.

51. R.Soesilo, Op.Cit, hlm. 211

52 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit,hlm.117

53Ibid.,.hlm.118

(44)

Selanjutnya dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP ditentukan bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287ayat (1) KUHP tidak akan dituntut kecuali jika ada pengaduan. Menurut R.Soesilo, tindak pidana ini adalah delik aduan, kecuali apabila umur perempuan itu belum cukup dua belas tahun, atau peristiwa itu berakibat luka berat atau mati.54

Mengenai delik aduan menurut undang-undang dibedakan atas dua bagian, yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif, yakni :55

a. Delik Aduan Absolut adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut, apabila tidak ada pengaduan dari pihak korban atau yang dirugikan atau dipermalukan dengan terjadinya tindak pidana tersebut, sebab dalam tindak pidana aduan absolut yang dituntut bukan hukumnya tetapi adalah peristiwanya, sehingga permintaan dalam penuntutan dalam pengaduan harus berbunyi “saya minta agar peristiwa ini dituntut”.

Adapun pasal-pasal dalam KUHP yang termasuk tindak pidana aduan absolut, antara lain Pasal 284 KUHP (perzinaan), Pasal 287 KUHP (perzinaan dibawah umur), Pasal 293 KUHP (Pencabulan anak dibawah umur), Pasal 310 KUHP (penghinaan dengan pencemaran nama baik), Pasal 311 KUHP (fitnah sengaja mencemarkan nama baik), dan Pasal 315 KUHP (penghinaan ringan). Jadi apabila tindak pidana absolut akan dilakukan penuntutan, maka semua orang yang tersangkut dalam perkara itu harus dapat dituntut dan perkaranya tidak dapat dibelah (spleit) atau dipisah-pisahkan satu dakwaan dengan dakwaan lainnya.

54R.Soesilo, Op.Cit, hlm.211

55 Andi Sofyan dan Abdul Asis, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Prenamedia, Jakarta, 2014, hlm.79-80

Referensi

Dokumen terkait

30/Pid.B/2011/PN.Spg telah sesuai dengan KUHAP dan untuk menganalisis dan mengetahui apakah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah membujuk seorang

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah dengan judul ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU ANAK DENGAN KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN

Permasalahan yang penulis angkat dalam penulisan ini adalah mengenai pertimbangan hakim dalam Putusan No: 355/Pid.B/2009/PN.Jr yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah

Permasalahan yang penulis angkat dalam penulisan ini adalah mengenai pertimbangan hakim dalam Putusan No: 355/Pid.B/2009/PN.Jr yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah

hikmah yang terbaik dalam menyelesaikan skripsi dengan judul : ANALISIS YURIDIS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN SECARA BERLANJUT (PUTUSAN PENGADILAN

- Bahwa benar korban lainnya adalah anak saksi 4 : Terdakwa mengulum penis Korban, Korban juga diminta Terdakwa untuk mengulum penis Terdakwa sampai keluar air mani, selain itu

Bahwa ia Anak (Terdakwa) bersama-sama dengan saksi IV dan saksi V (dilakukan penuntutan terpisah) pada hari Jum’at tanggal 21 November 2014 sekira pukul 19,00 Wib, pada hari

”, dan terdakwa semakin emosi sambil berkata kasar kepada saksi korban dengan berkata “Kalau enggak senang lapor saja ke kelurahan atau ke polisi”, sehingga