• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tindak Pidana Narkotika (A)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tindak Pidana Narkotika (A)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

YURISDIKSI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Hukum Tindak Pidana Narkotika (A)

Disusun Oleh :

Shafira Herpradanti / E0018369 Abraham Abiyoso / E0019003

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

2021

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peredaran Narkotika di Indonesia merupakan hal yang harus dikendalikan. Menurut Laporan Badan Narkotika Nasional (BNN), pihaknya telah mengungkap 806 kasus tindak pidana narkotika dengan menyita 1,12 ton sabu. Selain menyita sabu, pihak berwenang juga menyita 2,36 ton ganja dan 340.357 pil ekstasi

1

. Angka tersebut tentu saja sangat banyak dan menggambarkan peredaran narkotika yang masih sangat masif di Indonesia. Beragam cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas peredaran narkotika di Indonesia. Cara-cara tersebut sangat beragam. Membuat lembaga pemberantasan seperti BNN, contohnya.

Selain membuat Badan khusus yang menangani narkotika, perlu juga dibuat adanya instrumen hukum yang kuat dalam memberantas narkrotika.

Yuridiksi yang jelas membuat ruang gerak dari narkotika tersebut menjadi lebih terbatas.

Yurisdiksi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Jurisdiktion” yang dikutip atau diadopsi dari bahasa Latin yaitu Yurisdiktio. Kata Yurisdiktio sebenarnya berasal dari 2 (dua) kata yaitu kata “yuris” dan kata “diktio”.

Kata yuris berarti “kepunyaan hukum” atau “kepunyaan menurut hukum”

dan kata diktio berarti ucapan, sabda, sebutan , firman. Jadi jurisdiktio, jurusdiktion atau yurisdiksi berarti : “kepunyaan” seperti yang dikatakan atau ditentukan oleh hukum, “hak “ menurut hukum, “ kekuasaan “ menurut hukum, “ kewenangan “ menurut hukum. Jadi secara singkat dan sederhana, yurisdiksi berarti kepunyaan seperti apa yang ditentukan / ditetapkan oleh hukum, atau dengan singkat dapat diartikan “ kekuasaan / kewenangan berdasarkan hukum. Didalamnya tercakup “ hak”, “ kekuasaan “ dan “

1 Laporan BNN 2020: Ungkap 806 Kasus, Petakan 92 Sindikat,(2020, Desember 23), Diakses pada 20 September 2021 diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201223012933-12- 585442/laporan-bnn-2020-ungkap-806-kasus-petakan-92-sindikat

(3)

kewenangan “. Yang penting ditekankan disini adalah “ hak “, “ kekuasaan

“ dan “ kewenangan “ itu harus berdasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan atas kekuatan

2

.

Antony Csabafi kemudian menginterpretasikan Yuridiksi sebagai sebuah hak suatu negara untuk mengatur oleh legislatif, eksekutif, atau yudikatif mengenai hak perorangan, properti, kejadian tertentu dengan hormat tidak untuk permasalahan domestik saja.

3 Kemudian berangkat dari pengertian itu, dapat ditarik unsur-unsurnya, yakni :

1. Ada hak/ kewenangan yang diatur oleh lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif;

2. Mempengaruhi hak orang, properti, dan peristiwa; dan 3. Tidak semata-mata mengatur dalam negeri saja.

Menurut KUHP Indonesia, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali merupakan suatu tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia. Hukum pidana Indonesia berlaku untuk:

1. setiap orang yang berada dalam batas wilayah Indonesia;

2. siapa pun di luar batas teritorial Indonesia di atas kapal sebuah kapal pesawat atau laut Indonesia;

3. warga negara Indonesia di luar batas teritorial Indonesia yang melakukan pelanggaran serius (kejahatan) melanggar KUHP yang juga merupakan tindak pidana di yurisdiksi di mana itu terjadi. Hukuman mati tidak dapat diterapkan di Indonesia jika pelanggaran tidak menarik hukuman mati di yurisdiksi mana pelanggaran terjadi; dan

2 I Wayan Partiana, 2003 : Pengantar Hukum Internasional, Penerbit CV Mandar Maju – Bandung, hal. 343

3Csabafi, Anthony (1971). The Concept of State Jurisdiction in International Space Law. The Hague. hlm. 45.

(4)

4. orang lain di luar batas wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu yang tidak terkait dengan narkoba, melanggar KUHP.

Dalam hal ada perubahan Undang-undang yang berlaku setelah suatu tindak pidana terjadi, maka versi Undang-undang yang akan diterapkan kepada terdakwa adalah yang paling menguntungkan dirinya.

Terkait dengan tindak pidana narkotika, Pasal 145 Undang-Undang Narkotika 2009 mengatur bahwa mayoritas pelanggaran narkotika berlaku untuk siapa pun di luar batas wilayah Indonesia. Pasal 145 tidak membatasi arti 'setiap orang' bagi warga negara Indonesia dan juga tidak mengharuskan delik untuk berhubungan dengan Indonesia sama sekali. Oleh karena itu, tampaknya legislatif Indonesia berusaha menerapkan yurisdiksi universal untuk produksi, kepemilikan, penggunaan, dan perdagangan narkoba.

B. Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah Pengaturan Yurisdiksi Indonesia Dalam Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika ?

b. Bagaimanakah Pengaturan Kerja Sama Berupa Perjanjian Ekstradisi di

Indonesia?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Yurisdiksi Indonesia Dalam Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika 1. Dilakukan oleh WNI dan WNA diwilayah Negara RI

Tindak pidana narkotika dan psikotropika di Indonesia, baik yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan kuantitas dan kualitasnya. Tentu hal ini sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan berbagai pihak, juga membuktikan bahwa Negara Indonesia tidak terlepas dari penyalahgunaan, kejahatan dan peredaran narkotika dan psikotropika.

Sehingga diperlukan pengaturan penal / hukum dan non penal / non hukum tentang tindak pidana narkotika dan psikotropika baik secara nasional maupun transnasional atau internasional, sehingga para palaku dapat diproses lebih lanjut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena Indonesia memiliki yurisdiksi teritorial, maka negara Indonesia dapat mengatur, menetapkan dan dapat memaksakan hukum nasionalnya diberlakukan terhadap segala sesuatu yang terjadi didalam wilayahnya atau diluar yang menggunakan identitas Indonesia.

Dalam Pasal 2 KUHP, menentukan bahwa: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana”. Hal ini berarti bahwa siapa saja atau setiap orang, tanpa melihat status orang / pelaku tindak pidana, akan dituntut dan dijatuhi pidana sesuai dengan kesalahan dan peraturan perundang-undangan pidana Indonesia, kecuali orang-orang bangsa asing menurut hukum internasional diberi hak

“Exteriorialitas”

4

Demikian juga hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) sub (a) Konvensi Wina 1988, yang menyebutkan bahwa “ setiap negara peserta

4R. Sugandhi, 1980 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Penerbit Usaha National – Surabaya, hal. 5-6

(6)

akan mengambil tindakan perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana tersebut “. Namun dalam hal yang menyangkut tindak pidana narkotika dan psikotropika, agaknya yang paling tepat untuk dijadikan dasar penangkapan, penahanan, penuntutan dan penjatuhan pidana adalah berdasarkan asas universal dalam hukum pidana.

Sebagaimana terlihat dan dikatakan dalam Konvensi Wina 1988 itu, bahwa saat ini tidak ada satu negara di dunia manapun yang tidak terdapat dan terlibat dalam hubungannya dengan narkotika dan psikotropika.

Sehingga tindak pidana narkotika dan psikotropika sudah dikatakan sebagai suatu kejahatan yang bersifat transnasional dan internasional, oleh karena itu diharapkan setiap negara peserta untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan ini.

Oleh karena bila ini dibiarkan, akan dapat mengganggu jalanya program- program suatu pemerintahan, yang ditujukan kepada seluruh bangsa atau rakyatnya.

Namun bagi WNA setelah melakukan tindak pidana narkotika diluar wilayah negara Indonesia, kemudian melarikan diri ke negara Indonesia, maka akan diberlakukan ketentuan Pasal 97 dan Pasal 98 UU No. 22/1997.

Dapat juga dideportasi atau di ekstradisi dimana kejahatan itu dilakukan oleh WNA, apalagi negara itu memintanya untuk dilakukan deportasi dan di ekstradisi dinegara mana WNA itu melakukan kejahatan narkotika.

Akan tetapi pengaturan WNA yang melakukan tindak pidana narkotika, baik dilakukan didalam dan diluar wilayah negara Indonesia didalam UU No. 35/2009 tidak diatur secara tegas. Mungkin hal ini hanya berdasarkan pengertian-pengertian kalimat atau kata-kata yang digunakan dalam setiap rumusan pasal-pasalnya yang mengandung ketentuan pidana dan pemidanaan. Kalimat atau kata-kata “ setiap orang “ itu ditafsirkan bahwa

“itu siapa saja“, tanpa terkecuali pelaku itu WNA atau WNI, pejabat atau

bukan, terdidik atau tidak terdidik, pengusaha atau tidak, petani atau tidak,

pelajar/ mahasiswa atau tidak, tanpa membedakan agama, suku dan

agama,jenis kelamin laki atau perempuan yang penting ada orang atau

(7)

manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam UU No. 35/2009.

2. Dilakukan oleh WNI dan WNA di luar wilayah Negara RI

Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika transnasional dan internasional, diluar batas teritorial sangat berbeda dengan tindak pidana yang terjadi didalam wilayah teritorial Indonesia, dikarenakan selain terkandung aspek hukum pidana itu sendiri, juga terkandung aspek hukum pidana internasional. Oleh karena itu, didalam mengungkap tindak pidana ini harus diperhatikan prosedur- presedur yang berlaku secara internasional, sebab hal ini menyangkut sensitifitas hubungan diplomatik antara negara-negara yang terlibat dalam jaringan tindak pidana ini secara transnasional dan internasional. Dimana dalam perkembangan dan perluasan yurisdiksi kriminal, sangat dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kesan terjadinya pelanggaran atas kedaulatan negara lain. Dalam tindak pidana ini yang dilakukan oleh WNA dan WNI diluar wilayah teritorial Indonesia, kemudian tertangkap di negara tersebut, maka yang berhak untuk menuntut dan mengadili adalah negara dimana tindak pidana itu terjadi (locus delicti).

5

Bagi WNI mungkin dituntut dan diadili dimana tindak pidana itu dilakukan atau mungkin juga dapat dimintakan ekstradisi oleh Indonesia, agar WNI itu dituntut dan diadili di Indonesia berdasarkan asas nasional aktif dan pasif serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap kejahatan ini. Bila tidak dilaksanakan ekstradisi, Indonesia tetap akan memberikan perhatian dan perlindungan terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana diluar negeri, dalam arti bahwa pemerintah Indonesia mungkin hanya memberikan bantuan hukum atau hal-hal yang terkait dengan proses-proses penegakan hukum dimana WNI itu melakukan suatu tindak pidana yang menyangkut narkotika dan psikotropika. Akan

5Siswanto Sunarso, 2009, hal. 13-14

(8)

tetapi bila WNI itu setelah melakukan tindak pidana ini dan belum ditangkap serta diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, kemudian kembali ke Indonesia, maka jangan dibiarkan begitu saja. Namun harus tetap diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku terhadap tindak pidana ini.

Sebagaimana pendapat beberapa sarjana yang mengatakan bahwa, jika kita menginginkan warga negara kita di negara asing mendapat perlindungan yang baik, sebaiknya juga kita jangan melindungi warga negara yang sudah melakukan perbuatan pidana di negara asing itu, kemudian melarikan diri pulang ke tanah air, maka kita juga harus menuntut dan menjatuhkan pidana atas perbuatannya di luar wilayah negara menurut hukum yang berlaku di negara kita. Terhadap WNA yang melakukan tindak pidana narkotika, jika negara dimana tindak pidana itu dilakukan oleh WNA meminta untuk dituntut dan diadili dimana tindak pidana itu dilakukan, maka dapat saja Indonesia mengekstradisi pelaku WNA tersebut, atas dasar ketentuan Pasal 6 ayat (3) Konvensi Wina 1988.

Dalam Pasal 6 ayat (3) Konvensi itu menentukan bahwa: “ jika suatu

peserta mensyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian menerima

permintaan ekstradisi dari peserta lain, sedangkan antara keduanya tidak

memiliki/ tidak terdapat perjanjian ekstradisi, maka masing-masing peserta

dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar hukum ekstradisi bagi

tindak pidana yang masuk dalam lingkup berlakunya pasal ini “. Apabila

WNA yang melakukan tindak pidana narkotika didalam wilayah negara

Indonesia, maka ketentuan-ketentuan dalam UU No. 35/2009 akan

diberlakukan terhadapnya, barulah selesai setelah menjalani pidana WNA

itu diminta atau dideportasi kenegara asalnya dan dilarang memasuki

wilayan Negara Republik Indonesia untuk jangka waktu tertentu atau untuk

selamanya.

(9)

Penerapan yuridiksi Indonesia terhadap pelaku WNA tersebut hanyalah merupakan suatu tindakan yang dianggap perlu, karena si pelaku berada didalam wilayah Indonesia dan tidak di ekstradisikan ke negara lain dengan alasan tidak adanya permintaan ekstradisi dari negara yang mempunyai yurisdiksi yang syah atas tindak pidana itu. Penerapan yurisdiksi kriminal terhadap WNA memiliki tujuan, agar si pelaku tidak bebas berkeliaran / bergerak begitu saja, karena tidak ada permintaan ekstradisi dari suatu negara, meskipun tindak pidana ini sudah dikatakan bersifat universal dan Konvensi Wina 1998 dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan ekstradisi dalam kejahatan ini.

6

B. Perjanjian Ekstradisi

Kata ekstradisi berasal dari bahasa latin yaitu : “ extradere “ ( sebagai kata kerja ) atau “ extraditio “ ( sebagai kata benda ). Kata tersebut terdiri dari kata-kata “ ex “ yang artinya “ keluar “ dan “ tredere “ yang artinya “ memberikan atau menyerahkan “. Dalam sejarah hubungan antar bangsa- bangsa, ekstradisi diakui sebagai suatu mekanisme dalam mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara yang selanjutnya disebut sebagai kejahatan transnasional. Dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1979 ( UU No.

1/19 ) tentang Ekstradisi, menentukan bahwa yang dimaksud dengan ekstradisi adalah : “ Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan diluar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdksi wilayah negara yang meminta tersebut berwenang untuk mengadili dan memidananya “

7

Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindar atau bebas dari penuntutan atau pemidanaan, karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan

6Siswanto Sunarso, 2009, ibid, hal. 1

7Budiarto, 1980 : Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas hak Asasi Manusia, Penerbit Ghalia Indonesia – Jakarta Timur, hal. 13

(10)

tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya, semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Oleh karena itu, patut dan tepatlah penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya. Ekstradisi dapat terjadi tidak hanya berdasarkan ada tidaknya perjanjian antara negara peminta dan negara diminta, namun bisa juga terjadi atas dasar hubungan baik atas asas timbal balik dari kedua negara.

Ekstradisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi di Indonesia. Sebagian besar ekstradisi yang terjadi antara Indonesia dengan negara lain didasarkan pada perjanjian. Indonesia kini memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia, Hong Kong, India, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Republik Korea, dan Thailand. Indonesia juga telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura tetapi ini masih belum diratifikasi oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), yang menganggap perjanjian itu bisa menguntungkan Singapura dan telah menyerukan berulang kali untuk itu untuk dinegosiasikan kembali. Jika tidak ada perjanjian antara Indonesia dan negara peminta, ekstradisi tetap dapat dilanjutkan jika dianggap demi kepentingan terbaik Indonesia secara keseluruhan.

8

Orang yang dapat diekstradisi adalah mereka yang diminta oleh pejabat yang berwenang dari negara asing peminta atas dasar dugaan melakukan kejahatan atau menghadapi tuntutan hukum atau perintah penangkapan. Orang-orang yang disangka, atau dihukum, karena telah membantu, berusaha atau setuju untuk memulai tindak pidana yang sama juga dapat diekstradisi di mana tindakan bantuan, percobaan dan

8 Tim Lindsey and Pip Nicholson, Drugs Law and Legal Practice In Southast Asia, Oxford:

Hart Publishing, 2016,hlm.67

(11)

persetujuan pidana dapat dituntut berdasarkan hukum negara yang meminta ekstradisi dan dihukum menurut hukum Indonesia. Daftar kejahatan yang tidak lengkap yang dapat diterapkan oleh proses ekstradisi tercantum dalam lampiran Undang-Undang Ekstradisi 1979 dan termasuk kejahatan narkotika dan 'narkoba berbahaya' lainnya.

Permintaan ekstradisi dapat ditolak jika, menurut pandangan pejabat yang berwenang, ada alasan kuat untuk meyakini bahwa orang yang dikenai perintah ekstradisi akan dituntut, dihukum, atau dikenai tindakan lain karena agama, pendapat politik, atau kebangsaannya, atau karena ia termasuk dalam ras atau kelompok penduduk tertentu. Sebagai aturan umum, warga negara Indonesia tidak boleh diekstradisi. Menariknya, meskipun Indonesia sendiri menerapkan hukuman mati, Indonesia juga menolak untuk mengekstradisi seseorang di mana kejahatan yang ekstradisinya diminta dihukum mati berdasarkan hukum negara yang meminta tetapi tidak menarik hukuman mati di bawah hokum di Indonesia, kecuali negara peminta memberikan jaminan yang cukup bahwa pidana mati tidak akan dilaksanakan.

Undang-undang Ekstradisi 1979 juga memberikan kewenangan untuk menolak permintaan yang kejahatannya telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah Indonesia; orang yang diminta sedang diselidiki atau dituntut untuk kejahatan serupa di bawah yurisdiksi Indonesia; atau orang yang diminta telah diadili dan dibebaskan, atau telah menjalani hukuman pidana, di negara lain untuk kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi.

Pasal 19 sampai 21 Undang-Undang Ekstradisi 1979 mengatur

prosedur rinci untuk meminta ekstradisi dan permintaan

sementara. Umumnya, asalkan penangkapan itu tidak bertentangan dengan

hukum Indonesia, negara peminta dapat meminta penangkapan sementara

dalam keadaan mendesak, seperti jika ada alasan untuk meyakini bahwa

orang yang bersangkutan mungkin akan melarikan diri. Jika permintaan

(12)

penahanan sementara diajukan, negara peminta harus menyerahkan dokumen hukum asli tentang kasus ekstradisi melalui saluran diplomatik atau melalui Interpol, atau langsung melalui pos atau telegram, kepada Kepala Polisi atau Jaksa Agung. Untuk negara-negara yang memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, hal ini harus dilakukan dalam waktu 45 hari sejak penangkapan sementara; untuk negara-negara tanpa perjanjian itu harus dilakukan dalam waktu 20 hari. Jika negara peminta gagal memenuhi kewajiban ini, orang yang ditangkap akan dibebaskan dari tahanan.

Permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (sebelumnya Menteri Kehakiman), untuk diajukan kepada Presiden. Permintaan ekstradisi ditangani oleh sejumlah otoritas tetapi yang utama adalah Kementerian Luar Negeri dan 'otoritas pusat', Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang umumnya mengoordinasikan komunikasi antara negara peminta dan otoritas Indonesia lainnya yang terlibat. sepanjang proses ekstradisi. Polisi melakukan penggeledahan yang diperlukan untuk menangkap dan mendakwa orang yang diminta. Kantor Kejaksaan Agung kemudian mengeluarkan panggilan bagi orang yang ditangkap untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri, yang jika ditentukan bahwa orang tersebut dapat diekstradisi, menghasilkan perintah pengadilan yang dianggap final untuk ekstradisi orang tersebut.

Setelah menerima permintaan ekstradisi, polisi melakukan

penyelidikan berdasarkan informasi dan bukti yang diberikan oleh negara

peminta. Hasil penyidikan dituangkan dalam surat pernyataan resmi yang

disampaikan kepada Jaksa Agung. Dalam waktu tujuh hari setelah

menerima pernyataan, Jaksa Agung akan mengajukan permintaan tertulis

kepada Pengadilan Negeri di tempat orang tersebut ditangkap untuk

melakukan penyelidikan guna menentukan apakah orang tersebut harus

(13)

diekstradisi. Pengadilan Negeri kemudian memutuskan apakah akan mengekstradisi orang yang diminta dan menyerahkan keputusannya, bersama dengan dokumen yang relevan, kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk pertimbangan dan tindakan lebih lanjut. Presiden memiliki keputusan akhir tentang apakah permintaan ekstraradisi dikabulkan.

Sifat dari proses ini berarti bahwa kasus ekstradisi dapat rentan terhadap pertimbangan politik atau tekanan dari negara peminta. Karena keputusan akhir ada di tangan Presiden, ada peluang lebih besar bagi tekanan politik untuk mempengaruhi keputusan ekstradisi daripada yang mungkin terjadi di negara-negara common law, di mana keputusan akhir biasanya ada di tangan pengadilan.

CONTOH KASUS

Pemerintah Indonesia mengekstradisi dua orang Warga Negara Asing (WNA) ke Republik Korea di Bali, Kamis, 7 November 2019. Satu orang berinisial AG, warga negara Malaysia dan satu orang berinisial LTK warga negara Filipina. Upaya ekstradisi ini berdasarkan permintaan langsung dari pemerintah Korsel. Kedua WNA ini disangka melakukan tindak pidana membawa masuk narkotika golongan I jenis metamfetamina (methamphetamine) seberat 2050,46 gram ke dalam wilayah Republik Korea. Tindak pidana tersebut melanggar Pasal 58 Undang-Undang Republik Korea tentang Pengendalian Narkotika dan Pasal 11 Undang- Undang Republik Korea tentang Hukum Tambahan mengenai Kejahatan Spesifik (Psikotropika). Keduanya ditangkap di wilayah Pemerintah Indonesia oleh Kepolisian RI merujuk Red Notice (surat keterangan pencarian orang atau buronan) Interpol, atas permintaan Kepolisian Republik Korea.

Terkait proses ekstradisi sendiri, sudah melalui Keputusan Presiden

(Kepres), yaitu Kepres Nomor 21 Tahun 2019 tanggal 26 Juli 2019 dan

Kepres Nomor 19 Tahun 2019 tanggal 26 Juli 2019 yang mengabulkan

(14)

permintaan ekstradisi terhadap kedua WNA, AG dan LTK. Persetujuan tersebut ditindaklanjuti melalui rapat koordinasi antar kementerian dan lembaga pada hari Rabu, 25 September 2019, yang hasilnya disepakati Pemerintah Indonesia menyerahkan AG dan LTK pada 7 November 2019 di Kejaksaan Tinggi Bali sekitar pukul 15.00 WITA. Waktu dan tempat tersebut telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Republik Korea.

Pelaksanaan ekstradisi tersebut dihadiri dan disaksikan oleh perwakilan kementerian dan lembaga terkait penanganan ekstradisi AG dan LTK di Indonesia, termasuk di antaranya Wakil Kejaksaan Tinggi Bali, Didik Farkhan Alisyahdi, beserta perwakilan Pemerintah Republik Korea.

Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional, Ditjen AHU, menjadi perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia dalam pelaksanaan ekstradisi tersebut. Pelaksanaan ekstradisi berjalan lancar dan berhasil berkat dukungan, kerja sama, dan sinergitas yang sangat baik dari berbagai kementerian dan lembaga terkait.

9

9 Pemerintah Indonesia Ekstradisi 2 WNA Kasus Narkoba ke Korsel, (2019, November 7), diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/4105801/pemerintah-indonesia-ekstradisi-2- wna-kasus-narkoba-ke-korsel pada 20 September 2021.

(15)

BAB III PENUTUP Simpulan

Dalam yurisdiksi tindak pidana narkotika yang terjadi didalam wilayah teritorial Indonesia, Indonesia memiliki yurisdiksi teritorial. Maka, negara Indonesia dapat mengatur, menetapkan dan dapat memaksakan hukum nasionalnya diberlakukan terhadap segala sesuatu yang terjadi didalam wilayahnya atau diluar yang menggunakan identitas Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 KUHP. Hal ini berarti bahwa siapa saja atau setiap orang, tanpa melihat status orang / pelaku tindak pidana, akan dituntut dan dijatuhi pidana sesuai dengan kesalahan dan peraturan perundang-undangan pidana Indonesia, kecuali orang-orang bangsa asing menurut hukum internasional diberi hak “Exteriorialitas”.

Sedangkan dalam Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika transnasional dan internasional diluar batas teritorial, selain terkandung aspek hukum pidana itu sendiri, juga terkandung aspek hukum pidana internasional. Oleh karena itu, didalam mengungkap tindak pidana ini harus diperhatikan prosedur-presedur yang berlaku secara internasional, sebab hal ini menyangkut sensitifitas hubungan diplomatik antara negara-negara yang terlibat dalam jaringan tindak pidana ini secara transnasional dan internasional, karena dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kesan terjadinya pelanggaran atas kedaulatan negara lain. Dalam tindak pidana ini yang dilakukan oleh WNA dan WNI diluar wilayah teritorial Indonesia, kemudian tertangkap di negara tersebut, maka yang berhak untuk menuntut dan mengadili adalah negara dimana tindak pidana itu terjadi (locus delicti).

Kemudian terkait dengan Ekstradisi, Ekstradisi diatur dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi di Indonesia. Sebagian besar

ekstradisi yang terjadi antara Indonesia dengan negara lain didasarkan pada

perjanjian. Ekstradisi dapat terjadi tidak hanya berdasarkan ada tidaknya perjanjian

antara negara peminta dan negara diminta, namun bisa juga terjadi atas dasar

hubungan baik atas asas timbal balik dari kedua negara.

(16)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Budiarto, 1980. Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak Asasi Manusia, Ghalia – Indonesia, Jakarta Timur

Csabafi, Anthony, 1971. The Concept of State Jurisdiction in International Space Law. The Hague.

I Wayan Parthiana, 2003. Pengantar Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung

R.Sugandhi, 1980 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya

Siswanto Sunarso, 2009 : Ekstradisi dan bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana : Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Cetakan Pertama, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta

Tim Lindsey and Pip Nicholson, 2016. Drugs Law and Legal Practice In Southast Asia, Oxford: Hart Publishing.

Sumber Internet :

Pemerintah Indonesia Ekstradisi 2 WNA Kasus Narkoba ke Korsel, (2019, November 7), diakses dari

https://www.liputan6.com/news/read/4105801/pemerintah-indonesia-ekstradisi-2- wna-kasus-narkoba-ke-korsel pada 20 September 2021.

Laporan BNN 2020: Ungkap 806 Kasus, Petakan 92 Sindikat,(2020, Desember 23), Diakses pada 20 September 2021 diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201223012933-12-585442/laporan-

bnn-2020-ungkap-806-kasus-petakan-92-sindikat

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini diduga karena tanaman sawi dapat menyerap unsur lain seperti logam berat yang berasal dari sampah-sampah yang dibakar pada tanah tersebut yang dapat

Dilakukan kembali penimbangan untuk mendapatkan berat kerupuk kulit mentah untuk perhitungan rendemen. b) Menggoreng pada suhu ±160 0 C selama 3 menit sampai mengembang

Pengembangan Modul budaya berbasis kearifan lokal Banten ini dikatakan terselesaikan apabila telah melalui enam tahap pengembangan dengan menggunakan model pengembangan

Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan cara bercocok tanam tanpa tanah tetapi menggunakan air atau bahan porous lainnya dengan pemberian unsur hara terkendali

Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan dan kelulushidupan pada perkembangan awal larva sampai spat tiram mutiara (Pinctada maxima) adalah pemberian pakan alami yang kurang

Pada level konsentrasi HNO3 0,56 M (Y4) hingga level konsentrasi HNO3 0,68 M (Y6), rendemen tidak mengalami peningkatan, dimana rendemen yang dihasilkan antara level

Pengaturan aset tetap yang tersedia untuk dijual dihapus karena sudah diatur dalam PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Cahyono (2015), mengenai efisiensi kinerja Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Indonesia dengan pendekatan Data Envelopment