• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsepsi Credit crunch

Credit crunch adalah kondisi di mana perekonomian mengalami kesulitan dalam memperoleh modal investasi. Hadirnya fenomena ini disebabkan bank enggan mengeluarkan pinjaman kepada debitur sehingga ke hati-hatian ini menyulitkan para debitur dalam memiliki modal. Kegagalan, kredit macet menjadi sebuah momok resiko yang telah dilihat oleh bank dalam menyalurkan kredit tersebut.

Resesi ekonomi yang dialami pada suatu negara menghasilkan credit crunch tersebut.

Akibatnya yakni pemulihan kondisi perekonomian menjadi sulit dikarenakan keadaan terbatas yang disadari dalam penyaluran kredit (shringking credit supply). Kemunculan masalah baru dari perlambatan kredit yang seharusnya bertumbuh adalah likuiditas yang bermasalah dalam perekonomian. Penyebab pasti karena debitur yang tidak dapat mengembalikan pinjaman yang seharusnya dibayarkan mengakibatkan non performing loan semakin meningkat.

Menurut Bernanke et al. (2009) credit crunch merupakan keadaan penawaran kredit mengalami penurunan yang diliputi ketajaman dan abnormal yang disebabkan siklus bisnis. Pergeseran kurva kredit yang sesuai, jika didapati kualitas nasabah potensial dan suku bunga. Tetapi pada masalah credit crunch ketidaksesuian terjadi saat penurunan penawaran kredit tidak dengan diikuti kualitas nasabah potensial dan perubahan suku bunga. Dapat disimpulkan bahwa suku bunga kredit tidak dapat dijalankan sesuai fungsinya dalam penyeimbang penawaran dan permintaan kredit (Ghosh & Ghosh, 1999).

Dalam penelitian Borensztein & Lee (2002) memberikan hasil dari penyelidikannya dalam fenomena credit crunch yang berlangsung di Korea pada tahun 1997-1998 di mana secara konsep bisa diartikan bahwa credit crunch sebuah hasil dari perubahan struktural di sektor keuangan dibandingkan kontraksi moneter secara umum. Dominasi yang ekspansif pada kebijakan moneter yang dilakukan tidak membantu meringankan credit crunch yang terjadi namun bank dapat bertahan secara jangka panjang bila

(2)

melakukan restrukturisasi portofolio pinjaman sehingga mampu memperlambat proses transformasi tersebut.

2. Kondisi Aktual Perbankan Syariah

Tabel 2. 1 Islamic Finance Country Index 2020 Countries 2020

Score

2019 Score

Change In Score

% Change In Score

2020 Rank

2019 Rank

Change In rank

Malaysia 83.33 81.93 1.40 1.71 1 2 +1

Indonesia 82.01 81.01 1.00 1.23 2 1 -1

Iran 79.99 79.03 0.96 1.21 3 3 0

Saudi Arabia

66.01 60.65 5.36 8.84 4 4 0

Sudan 61.08 55.71 5.37 9.64 5 5 0

Pakistan 53.12 36.88 16.24 44.03 6 10 +4

Brunei Darussalam

52.89 49.99 2.90 5.80 7 6 -1

United Arab Emirates

47.84 45.31 2.53 5.58 8 7 -1

Sumber: (Global Islamic Financial Report, 2020)

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang mempunyai perkembangan penerapan sistem keuangan syariah yang baik. Sebagian pendorong tersebut dominasi populasi muslim di Indonesia dan menjadi terbanyak di dunia. Namun, Indonesia menyadari bahwa peningkatan mengenai Industri keuangan dan ekonomi syariah tiap tahunnya masih kalah dengan negara tetangga yakni Malaysia. Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2020, Indonesia menduduki urutan kedua negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Malaysia, Iran dan Saudi Arabia (Tabel 1.1 ). Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat. Pengembangan ini dapat dilakukan secara optimal sebab Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-

(3)

sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Landasan dan keyakinan ini bahwa perbankan syariah akan mendatangkan kebaikan atau faedah bagi peningkatan perekonomian dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor rill dikarenakan produk yang ditawarkan, contohnya dalam pembiayaan yang menggunakan underlying transaksi di sektor riil sehingga implikasinya lebih terasa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak ditemukan produk- produk yang sifatnya spekulatif (gharar) maka dikatakan mampu memiliki daya tahan yang kuat dan teruji dari direct hit credit crunch. Dan terakhir, sistem bagi hasil (profit loss sharing) dinilai menjadi sebuah kemanfaatan yang lebih adil bagi seluruh pihak (Alamsyah, 2020). Beberapa pendorong yang memberikan peningkatan kinerja industri perbankan syariah, dari menghimpun dan menyalurkan pembiayaan.

3. Permintaan dan Penawaran Pada Pasar Pembiayaan

Fenomena credit crunch berhubungan dengan keseimbangan antara penawaran dan permintaan kredit. Menurunnya penawaran dan permintaan memberikan pengaruh pada pertumbuhan kredit.

Gambar 2. 1 Kurva Permintaan Kredit

Sumber: The Recent Credit crunch : The Neglected Dimensions, (Kliesen, K.L. and Tatom, 1992)

Kondisi perekonomian yang tengah resesi mengakibatkan penurunan kuantitas kredit yang disebabkan tidak adanya permintaan kredit. Dilihat dari Gambar 2.1 keseimbangan awal permintaan dan penawaran kredit berlangsung di titik c0 dan i0. Jika terjadi penurunan permintaan kredit dari D0 menjadi D1 sehingga akan mengalami kelebihan penawaran kredit. Selanjutnya, di suatu situasi yang normal suku bunga akan beralih dari

S

D0

D1

I0

I1

C0

C1 Kuantitas kredit

Tingkat bunga

(4)

i0 menjadi i1, maka munculnya keseimbangan baru antara permintaan dan penawaran kredit (Kliesen, K.L. and Tatom, 1992).

Gambar 2. 2 Kurva Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Permintaan Kredit Sumber: Credit crunch In Indonesia In the Aftermath of the Crisis,

Agung et al. (2001)

Pada kondisi credit crunch , perekonomian menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan sehingga, perusahaan cenderung meningkatkan keinginan pengajuan kredit untuk menjaga perusahaan tetap beroperasi. Hal ini menyebabkan kurva permintaan kredit bergeser ke kanan. Salah satu faktor utama lemahnya permintaan kredit adalah memburuknya kinerja perusahaan.neraca. Sebelum krisis, banyak perusahaan secara signifikan meningkatkan leverage mereka, yang berasal dari baik dari pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Di tengah Pandemi Covid-19 menyebabkan depresiasi nilai tukar dan kenaikan suku bunga. Kondisi ini meningkatkan debt service ratio perusahaan dan meningkatkan leverage mereka. Peningkatan leverage perusahaan juga tercermin dari rasio utang-ekuitas yang tinggi dari perusahaan publik. Hingga, tingkat leverage perusahaan yang bergerak di industri manufaktur, pertanian dan properti sektor-sektor tersebut tercatat sangat tinggi. Selain itu, kenaikan suku bunga yang begitu tinggi selama krisis menyebabkan penurunan nilai aset perusahaan dan arus kas. Hasil dari, meskipun ada peluang untuk investasi, perusahaan dengan kondisi keuangan yang lemah (perusahaan yang leveragenya lebih tinggi atau yang arus kasnya lebih rendah) cenderung melakukan keuangan konsolidasi terlebih dahulu daripada melaksanakan ekspansi bisnis.

D2

S

D0

D1

r0

r1

L0

L1 Kuantitas kredit

Tingkat bunga

(5)

Hal ini menyebabkan rendahnya kredit permintaan yang terjadi. Disamping itu, jika penurunan kredit dipicu oleh faktor struktural mikroekonomi sehingga pergeseran kurva permintaan kredit akan diikuti oleh menajamnya kurva permintaan. Maka, permintaan kredit menjadi kurang sensitif terhadap perubahan harga.

Gambar 2. 3 Kurva Penawaran Kredit Sumber: (Kliesen, K.L. and Tatom, 1992)

Melalui Gambar 2.3 memperlihatkan keseimbangan awal diantara permintaan dan penawaran kredit yang berlangsung di titik i0 pada suku bunga dan c0 di kredit. Lalu, jika diperoleh faktor-faktor lain yang memengaruhi kurva penawaran bergeser, sehingga terjadi pergeseran dari s0 menjadi s1. Di saat aituasi normal, keseimbangan kedua akan berlangsung diantara permintaan dan penawaran kredit di titik c1 dan i1, sampai suku bunga menanggung kenaikan dan penurunan terjadi pada kredit.

Pada sisi penawaran, penurunan kredit berlangsung dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti keengganan bank dalam menyalurkan kredit kepada nasabah pada tingkat pemberlakuan suku bunga. Kemudian, terdapat dua faktor yang menyebabkan bank tidak menginginkan memberikan penyaluran kredit yakni sisi eksternal dan internal. Dalam faktor eksternal terjadi di saat situasi persoalan keuangan suatu perusahaan kepada bank yang tidak dapat dipecahkan secara cepat hingga membuat ketidakmampuan membayar kembali pinjaman tersebut. Selanjutnya pada faktor internal berlangsung disebabkan kualitas dari sisi permodalan (capital adequacy ratio) yang

S0

S1

D I0

C0

I1

C1 Kuantitas kredit

Tingkat bunga

(6)

dimliki oleh bank yang di mana mengurangnya keuntungan, resiko kredit yang tinggi dan non performing loan (kredit macet)yang semakin meningkat (Agung et al., 2001).

Gambar 2. 4 Kurva Penurunan Kredit Akibatnya Menurunnya Penawaran Sumber: Credit crunch In Indonesia In the Aftermath of the Crisis,

(Agung et al., 2001)

Pada fenomena credit crunch , penurunan keinginan bank dalam menyalurkan kredit tidak diikuti kenaikan suku bunga, tidak terkecuali berbentuk pengurangan kredit dalam kuantitas (non price credit rationing). Penurunan pendapatan suatu perusahaan yang diakibatkan dari pembatasan mobilitas masyarakat tersebut memberikan dampak negatif terhadap kredit yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Kapabilitas perusahaan dalam pemenuhan kewajiban membayar utang perusahaan kepada bank menjadi menurun. Hal ini tentu menjadi signal buruk bagi dunia perbankan, dikarenakan modal pembiayaan yang sulit kembali. Mengenai itu,sebagai penyebab kurva penawaran bergeser dari arah kiri dan berubah menjadi vertikal maka tidak sensitif kepada perubahan suku bunga yang digambarkan dalam gambar tersebut.

4. Pembiayaan

Indonesia mengalami banyak perubahan pada regulasi termasuk dengan sistem perbankan yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Bank Indonesia (1998) yang berisi sistem perbankan dengan prinsip syariah. Bank syariah mempunyai prinsip yang di mana kegiatan operasional tidak menggunakan prinsip bunga yang digunakan oleh bank konvensional melainkan sistem bagi hasil (profit loss sharing) yang di mana tidak memberatkan pihak nasabah dan menjunjung pedoman agama Islam yang telah

S0

S1

D r1

L r2

L2 Kuantitas kredit

Tingkat bunga S2

(7)

diajarkan dalam Al-quran maupun hadist shahih. Yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional yaitu ketika ingin meminjam dana tidak memberikan kredit melainkan pembiayaan, dengan berbagai produk yang memiliki faedah dan jangka waktu yang berbeda-beda sesuai kesepakatan/perjanjian.

Islam melarang riba pada setiap transaksi atau kegiatan muamalah yang sebenarnya memberatkan hingga menyusahkan pihak peminjam/nasabah. Para pakar memberikan jalan keluar untuk mengatasi ketimpangan ekonomi maupun kesenjangan antar orang miskin dengan orang kaya dengan cara menghilangkan sistem bunga. Jenis Pembiayaan Syariah:

a. Pembiayaan Musyarakah yaitu pembiayaan kepada nasabah dengan memberikan dana atau kebutuhan modal yang dibutuhkan tetapi hanya sebagian. Lalu masing- masing pihak mendapatkan loss profit sharing akan dipikul bersama sesuai perjanjian yang telah disepakati.

b. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank Islam dengan memberikan dana secara keseluruhan dan nasabah sebagai pihak pengelola.

Pembagian profit diantara mereka harus sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan di awal perjanjian.

c. Pembiayaan Murabahah adalah pembiayaan yang diserahkan kepada nasabah dengan cara pihak bank Islam membelikan suatu barang yang dibutuhkan nasabah tetapi jumlah pembiayaan harga jual tersebut ditambah margin yang telah disepakati oleh dua pihak.

d. Pembiayaan Bai’u Bithaman Ajil: sebuah pembiayaan dengan melakukan kesepakatan dimana tersedianya dana untuk membeli barang/jasa atau investasi yang diperlukan oleh nasabah kemudian pembayarannya secara menyicil atau bisa disebut bank Islam memberikan talangan dana dengan jangka waktu yang disepakati.

e. Pembiayan Salam adalah pembiayaan yang berbentuk dana pinjaman yang dimana waktu nasabah ingin mengajukan ketika barang tersebut sudah ada wujudnya namun perlu menunggu waktu penyerahannya seperti pembelian komoditi pertanian. Secara praktiknya Bank Islam sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual .

f. Pembiayaan Istishna adalah pembiayaan yang berbentuk dana pinjaman dengan cara pemgembalian secara menyicil. Dimana nasabah membeli saat melakukan pembiayaan barang tersebut belum berwujud. Dan bank Islam memperoleh margin

(8)

dengan perjanjian yang telah disepakati dalam jangka waktu tertentu. Contohnya seperti pemesanan pembuatan barang.

g. Pembiayaan Ijarah yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah yang ingin mempunyai suatu barang/jasa dengan keharusan menyewa barang dengan jangka waktu yang telah disepakati dangan bank Islam yang memperoleh margin dari transaksi tersebut.

h. Pembiayaan ar-Rahn merupakan pembiayaan yang dimana pinjaman dana secara tunai tetapi nasabah memberikan jaminan berupa emas, perak, intan dan lain-lain.

Sebab harus sama nilainya dengan dana yang dipinjam dan barang yang digadaikan.

i. Pembiayaan Qardhul Hassan merupakan pembiayaan yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa dengan menerima zakat/infaq/shadaqah sebagai awal permulaan usaha yang sedang mereka usahakan. Program tersebut upaya pertolongan mengentaskan kemiskinan.

5. Non Performing Financing (NPF)

Pada sistem perbankan syariah, pembiayaan Amin, Rafsanjani, Mujib (2017) merupakan salah satu fungsi dari bank, dan lewat pembiayaan pula bank nantinya akan memperoleh margin. Tetapi, dalam perjalanan fungsi pembiayaan, bank juga memiliki resiko berupa resiko pembiayaan yang dimana nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya. Hal ini tercipta oleh banyak faktor. Semakin besar jumlah para nasabah yang tidak dapat menunaikan kewajibannya (gagal bayar), maka tingkat kerugian yang ditanggung oleh pihak bank akan semakin tinggi. Antara lain kebijakan yang digunakan untuk melihat besarnya tingkat pembiayaan bermasalah yaitu rasio Non Performing Financing (NPF). Semakin besar tingkat NPF maka semakin besar pula resiko pembiayaan yang akan diiperoleh oleh pihak bank. Sebab besarnya NPF, bank harus mempunyai persediaan cadangan yang lebih besar, maka cadangan modal akan berkurang yang dimiliki oleh bank. Bank selalu siap siaga dalam menyiapkan segala resiko yang akan dihadapi.

Pembiayan pada konsep NPF tidak memperbolehkan riba terkandung dalam kegiatan transaksi yang bersifat gharar dan maysir. Riba atau bunga yang mempunyai keuntungan maupun kerugian sudah jelas memiliki resiko bisnis. Profit loss and sharing sebagai tujuan yang memiliki kebaikan untuk kalangan masyarakat hingga keseimbangan perekonomian. Contohnya pada setiap produk yang ditawarkan oleh pihak bank syariah seperti saat bank Islam tersebut membelikan atau memberikan barang yang dibutuhkan

(9)

oleh nasabah dan menjualnya kembali dengan menjumlahkan harga beli dengan keuntungan bagi bank namun telah disepakati sebelumnya.

Pada sisi aktiva neraca bank syariah Prasastinah (2006) sebagian besar dana operasional setiap bank syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan sebagai sumber pendapatan bank yang paling besar tetapi mempunyai resiko yang besar juga. Pembiayaan bermasalah atau NPF menjadi suatu masalah yang selalu dihadapi bagi bank syariah. Sebab akan terjadi penurunan pendapatan dan merugikan secara sedikit demi sedikit jumlah dana operasional dan likuiditas keungan bank syariah. Dan akhirnya meruntuhkan dengan perlahan pertahanan kesehatan bank syariah dan tentunya nasabah yang menyimpan dana ikut merugi.

Perhitungan untuk memperoleh NPF:

Pembiayaan Bermasalah x 100 Total Pembiayaan

Tabel 2. 2 Kriteria Penilaian NPF

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Bank syariah memilih nasabah yang akan melakukan pembiayaan dengan cara menilai apakah mampu dan dan didapat dipercaya untuk mengembalikan dana yang sudah dipinjamkan. Menggunakan asas atau dasar tiga pilar yaitu sebagai berikut:

1. Kredibilitas manajemen yang meliputi kejujuran, itikad baik dari nasabah dan kemampuan mengelola usaha.

2. Kemampuan membayar kembali (repayment capacity) yang dimana usaha nasabah dapat memperoleh laba dari produk dan jasa yang dijalankan dan tentunya kemampuan nasabah dalam mengembalikan kembali pembiayaan dana tersebut.

3. Jaminan yang diberikan diselidiki tentang harga jual kembali agunan, tidak kesulitan menjual agunan dan kelengkapan dan keabsahan dokumen agunan.

Peringkat Kriteria Keterangan

1 NPF < 2% Sangat baik

2 2% ≤ NPF ≤ 5% Baik

3 5% ≤ NPF ≤ 8% Cukup baik

4 8% ≤ NPF 12% Kurang baik

5 NPF ≥ 12 Tidak baik

(10)

Bank selayaknya menyeleksi nasabah yang akan menerima dana pinjaman agar tidak terjadi kredit macet sebab fungsi bank menghimpun dan menyalurkan dana dari rakyat kembali ke rakyat. Sebuah bank membuat susunan strategi dalam memberikan penyaluran dana yang dapat efektif dan efisien. Untuk melihat di pihak debitur yang memiliki prospek yang cukup baik pada kemampuan keuangan dalam membayar kembali utang tersebut (Dewi, 2009).

6. Nisbah Bagi Hasil

Nisbah dalam Kamus Buku Besar Indonesia dapat diartikan rasio atau perbandingan.

Nisbah bagi hasil dimaksudkan persentase profit yang nanti diterima oleh shahibul mal dan mudharib berdasarkan hasil kesepakatan antara dua pihak. Bila usaha yang dijalankan terjadi kerugian akibat resiko bisnis, bukan disebabkan oleh kelengahan mudharib sehingga pembagian kerugiaanya berdasarkan porsi modal yang disetor bagi masing-masing pihak. Dikarenakan semua modal yang dimasukkan dalam usaha mudharib milik shahibul mal, jadi kerugian dari usaha tersebut ditanggung sepenuhnya oleh shahibul mal.

Prinsip profit and loss sharing sebagai landasan pada bank syariah yang digunakan paling banyak dalam pembiayaan al-musyarakah dan al mudharabah (Susana &

Prasetyanti, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi profit and loss sharing menurut (Syafi’i Antonio, 2001) dibagi menjadi dua yakni langsung dan tidak langsung maka disebutkan sebagai berikut:

a. Faktor langsung, meliputi:

1. Investment rate adalah persentase aktual modal yang ditanam dari total dana.

2. Jumlah dana yang disediakan untuk diinvestasikan sebagai jumlah dana dari berbagai sumber dana yang ada untuk diinvestasikan.

3. Nisbah (profit sharing ratio) merupakan kesepakatan diawal perjanjian antara dua pihak yang telah disetujui oleh Bank syariah maupun individu yang mengambil pembiayaan tersebut. Lalu nisbah disetiap bank satu dengan bank lainnya berbeda dan berlaku juga di waktu di satu bank dapat berbeda dengan jangka pendek maupun menengah. Dan berbeda juga dengan rekening satu sama lainnya sesuai porsi dana dan jatuh tempo.

b. Faktor tidak langsung, meliputi:

(11)

1. Menentukan butir-butir pendapatan dan biaya pembiayaan yang diambil oleh nasabah tersebut, bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya.

2. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akuntansi): bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya kegiatan yang dijalankan, terpenting berkaitan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.

Nisbah bagi hasil merupakan poin utama dalam melakukan aktivitas pembiayaan yang dilakukan oleh individu pada bank syariah. Disebabkan adalah hasil kesepakatan di antara dua pihak yang dilaksanakan di awal perjanjian tersebut yang di mana sebelum transaksi terjadi dan meninjau aspek apa saja yang untuk menentukan nisbah bagi hasil tersebut seperti data usaha, kemampuan angsuran yang dapat dibayarkan, tingkat return secara aktual dalam bisnis yang dijalankan, tingkat return yang diharapkan, nisbah pembiayaan dan distribusi pembagian hasil (Muhammad, 2005).

7. Teori Tingkat Suku Bunga

• Teori Klasik

Teori klasik menjabarkan tabungan atau simpanan merupakan fungsi tingkat bunga, semakin tinggi tingkat bunga maka semakin juga daya masyarakat dalam saving tabungan di bank. Sehingga saat tingkat bunga meningkat, masyarakat akan berusaha berkorban lebih untuk menyimpan lebih banyak dalam tabungannya. Disamping itu bunga merupakan “harga” dari sebuah loanable funds mampu didefinisikan sebagai uang yang disediakan untuk digunakan dalam berinvestasi, sebab menurut teori klasik, bunga yakni

“harga’ yang berlangsung pada pasar investasi. Investasi pun sebagai sasaran dari tingkat bunga tersebut. Ketika tingkat bunga semakin tinggi alhasil kehendak pengusaha untuk berinvestasi pun berkurang, dikarenakan apabila biaya pengeluaran investasi bertambah dan ekspektasi profit dari investasi tersebut lebih tinggi dari jumlah pembayaran tingkat bunga untuk total investasi tersebut dikenal sebagai biaya cost of capital (penggunaan dana). Dan jika tingkat bunga sedang turun atau rendah, sebaliknya pengusaha akan terus meningkatkan investasi karena cost of capital pun semakin kecil dan tingkat bunga sedang berlangsung seimbang sehingga mampu mencapai ekspektasi masyarakat yang berkeinginan untuk menabung.

• Teori Keyness tentang suku bunga

(12)

Teori Keynes menjelaskan bahwa tingkat bunga dibagi dua ketentuan yakni dengan permintaan dan penawaran uang. Teori Keynes berdasarkan pada konsep bahwa orang biasanya ingin mempertahankan likuiditas untuk memenuhi tiga motif: transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi. Teori Keynes menekankan bahwa ada hubungan langsung antara kesediaan masyarakat untuk membayar harga mata uang (suku bunga) dan elemen permintaan mata uang spekulatif.Dalam hal ini, permintaan tinggi ketika suku bunga rendah, dan permintaan kecil ketika suku bunga dinaikkan disebabkan tarifnya sangat tinggi.

• BI rate

Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter dengan mengeluarkan suku bunga kebijakan untuk melihat cerminan stance yang di mana diberitahukan ke khalayak publik.

Pengumuman mengenai BI rate dilakukan setiap rapat dewan Gubernur bulanan di mana implementasi BI rate dilakukan melalui operasi moneter dalam pengelolaan likuiditas pada pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Hasil cermin siklus suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Alih-alih fluktuasi pada suku bunga PUAB mampu diharapkan akan disertai oleh perkembangan di suku bunga deposito dan juga suku bunga kredit perbankan. Namun juga melihat pertimbangan pada faktor-faktor lain yang mempengaruhi perekonomian. Bank Indonesia menetapkan sasaran, dengan meningkatkan BI rate jika inflasi pada waktu mendatang mampu melampaui penetapan tersebut. Melainkan apabila BI rate diturunkan jika inflasi pada waktu mendatang tidak melampaui di bawah sasaran ketetapan yang telah diharapkan.

8. Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital adequacy ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal bank atau kesanggupan bank dalam permodalan yang ada untuk menghindari mendatangkan kerugian dalam pembiayaan atau perdagangan surat-surat berharga. Kecukupan modal merupakan faktor penting bagi bank dalam rangka pengembangan usaha dan menampung resiko kerugian. Perhitungan untuk memperoleh CAR:

CAR = Modal x 100%

ATMR

(13)

Tabel 2. 3 Kriteria Penilaian CAR

Peringkat Keterangan Kriteria

1 Sangat sehat CAR > 12%

2 Sehat 9%≤ CAR < 12 %

3 Cukup sehat 8% ≤ CAR < 9 %

4 Kurang sehat 6% < CAR < 8%

5 Tidak sehat CAR ≤ 6%

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Semakin besar CAR dalam suatu bank maka bank tersebut dapat dikatakan sehat dan stabil dan juga mampu melaksanakan kegiatan operasionalnya yang meliputi aktivitas penyaluran pembiayaan dan tentunya bank siap siaga dalam menanggung resiko dengan kemungkinan terjadi saat menjalankan kegiatannya (Dendawijaya, 2005). Oleh karena itu juga membuat bank menampilkan kepercayaan diri dalam pelaksanaan pembiayaan dan menumbuhan peningkatan aktivitas pembiayaan tersebut sehingga bank mampu mengambil manfaat pada kondisi tersebut dan memaksimalkan profit dari pembiayaan (Setiawan & Indriani, 2016).

9. Financing Deposit Ratio (FDR)

Financing to deposit ratio (FDR) adalah rasio antara jumlah pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana yang diperoleh pada bank kepada pihak ketiga (mencakup giro, tabungan, deposito dalam satuan rupiah dan valuta asing) kecuali pembiayaan pada bank lain. Atau digunakan untuk melihat ukuran kemampuan bank tersebut dapat membayar hutang-hutangnya serta membayar kembali kepada deposan.

Rasio FDR mengisyaratkan kemampuan bank dalam memdapatkan sejumlah dana yang telah diberikan kepada nasabah atau bisa dikatakan mampu menarik dana kredit kembali dengan ditambah nilai bunga yang ditentukan. Semakin besar rasio FDR maka semakin rendah pula kemampuan bank dalam menangani likuiditasnya bisa disebut rasio ini menghitung ukuran likuiditas bank. Nilai rasio menurut Bank Indonesia dengan angka 94.75%, hal tersebut dapat diketahui bahwa dana yang terkumpul, secara maksimal dapat didistribusikan ke perkreditan. Fungsi FDR saat ini:

a) Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank

b) Sebagai salah satu indikator kriteria penilaian Bank (FDR min, 50%) c) Sebagai faktor penentu besar kecilnya GWM sebuah bank

(14)

d) Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan merger.

Perhitungan untuk memperoleh hasil rasio FDR:

Tabel 2. 4 Penilaian Tingkat FDR

Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP Tahun 2004

Peningkatan rasio tersebut dapat memberikan timbulnnya penurunan kemampuan likuiditas bank tersebut. Ini terjadi dikarenakan jumlah dana yang digunakan saat memberikan dana pembiayaan semakin tinggi sehingga akan semakin rendah dana yang likuid dan resiko yang yang didapatkan bila nasabah tidak mampu membayar kembali akan lebih besar (A’la, 2013).

10. Inflasi

Inflasi merupakan di mana kondisi terjadi peningkatan secara terus menerus pada tingkat harga umum maupun barang, jasa hingga faktor produksi. Dapat disimpulkan diindikasikan pelemahan daya beli masyarakat yang diiringi dengan penurunan nilai riil atau mata uang suatu negara. Peningkatan inflasi akan menjadi masalah bagi pemerintah, pemangku kebijakan maupun masyarakat. Ketidakseimbangan laju inflasi akan menyebabkan sulitnya perencanaan bagi dunia bisnis, tidak ada dorongan untuk menyimpan tabungan dan investasi, memberikan hambatan pada perencanaan pembangunan oleh pemerintah, melakukan perubahan struktur APBN hingga APBD dan bermacam dampak lainnya yang membuat situasi tidak kondusif bagi perekonomian secara keseluruhan.

Berkaitan inflasi sebagai kenaikan harga barang dan jasa dalam mengukur tingkat inflasi dari waktu ke waktu indeks yang digunakan yakni indeks harga konsumen (IHK).

Penyusunan angka indeks tersebut ditinjau melalui perhitungan total barang dan jasa yang penggunaannya untuk menghitung laju inflasi. Secara general, inflasi yang sering

Peringkat Rasio Peringkat FDR

1 FDR ≤ 75% Sangat sehat

2 75% < FDR ≤ 85% Sehat

3 85% < FDR ≤ 100% Cukup sehat

4 100% < FDR ≤ 120% Kurang sehat

5 FDR > 120% Tidak sehat

FDR = Jumlah Pembiayaan x 100%

Total Dana Pihak Ketiga

(15)

diketahui oleh masyarakat adalah laju inflasi perubahan harga barang dan jasa yang digunakan untuk konsumsi masyarakat. Nilai indikator dapat berupa bulanan, kuartalan maupun tahunan biasanya dikeluarkan oleh badan pusat statistik atau bank Indonesia.

Bank Indonesia mempunyai pencapaian yang harus dicapai dengan hasil yang optimal dan berkesinambungan dalam jangka panjang yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemegang kendali inflasi agar tetap terjaga stabilitasnya.

11. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia

Kebijakan moneter memberikan pengaruh pada kegiatan sektor riil melalui saluran kebijakan yakni sebagai berikut saluran kredit, suku bunga, neraca pembayaran dan nilai tukar. Pada saluran kredit, permintaan agregat secara berlangsung dipengaruhi oleh kebijakan moneter melalui kapasitas kredit bank. Saat kebijakan moneter dalam kondisi kontraktif mampu menurunkan penawaran kredit bank akibat cadangan bank juga menurun. Namun sebagai dugaan bahwa dana investasi perusahaan yang diprioritaskan diperoleh dari kredit bank. Dan kebijakan moneter akan mempengaruhi penawaran kredit dan aktivitas perusahaan dalam melakukan investasi (Bank Indonesia, 2019). Mekanisme jalur kredit terdapat dua macam yaitu,

1. Bank lending channel merupakan penekanan yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter jalur kredit akibat kondisi bank, dilihat dari sisi aset

2. Balance sheet channel merupakan penekanan yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan, dilihat dari arus kas dan rasio terhadap hutang akibat hal tersebut mengakibatkan dalam memperoleh kredit bagi perusahaan.

Jalur kredit bank lending sangat mempengaruhi berbagai hal yang menyangkut transmisi kebijakan moneter. Tidak dilihat dari sisi asset saja namun juga pada liabilities atau sisi kewajiban.

(16)

Gambar 2. 5 Mekanisme Kebijakan Moneter Jalur Kredit Sumber: Bank Indonesia (2021)

Ada dua hal keadaan kewajiban yang harus dipenuhi dalam berlangsungnya jalu kredit yakni kredit bank dan sekuritas harus saling subsitusi tidak sempurna bagi beberapa peminjam atau peminjam yang sangat bergantung pada bank. Lalu kedua, bank sentral atau Bank Indonesia harus dapat memberikan batasan supply kredit yang disalurkan oleh bank. Selanjutnya yang terpenting dalam kebijakan moneter jalur kredit yaitu bukti dari kemampuan bank besar dalam melindungi supply kreditnya yang dapat dilihat dari akses non deposito luar negeri. Dan yang terakhir keberlangsungan dari credit crunch memberikan dorongan jalur kredit bahwa lebih cenderung ditentukan oleh supply dibandingakan demand.

Kemudian pada saluran suku bunga, bank tidak diberikan peran secara penuh. Bank melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan arus likuiditas uang diantara kredit ataupun perdagangan surat berharga di pasar saham. Disamping itu, kebijakan moneter yang berlangsung kontraksi mengakibatkan cadangan bank menurun dan berdampak juga ikut menurun pada likuiditas bank tersebut. Saluran suku bunga pada transmisi kebijakan moneter di Indonesia dapat ditunjukkan oleh pengaruh perubahan BI 7DRR terhadap suku perbankan baik suku bunga deposito maupun kredit. Jika perekonomian dalam kondisi resesi, Bank Indonesia akan menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuan sehingga kegiatan ekonomi meningkat. Penurunan suku bunga BI 7DRR akan direspon perbankan dengan menurunkan suku bunga kredit.

Selanjutnya terjadi pada suku bunga dalam jangka pendek dan jangka panjang. Di mana pada jangka pendek mempengaruhi inflasi namun suku bunga meningkat sehingga pada jangka panjang suku bunga riil tetap memberikan peningkatan dan menyebabkan

(17)

investasi menurun akibat cost of capital. Perubahan suku bunga dapat berpengaruh pada biaya modal dan menyebabkan perubahan investasi (Mishkin, 2010).

Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar, sama seperti jalur suku bunga, menekankan pentingnya aspek perubahan harga asset finansial terhadap berbagai aktifitas perekonomian. Dalam kaitan ini, pentingnya jalur nilai tukar dalam transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh asset finansial dalam valuta asing yang berasal dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain.

Pengaruhnya bukan saja terjadi pada perubahan nilai tukar, tetapi juga pada aliran dana yang masuk dan keluar suatu negara yang terjadi, antar lain karena aktivitas perdagangan antarnegara dan aliran modal investasi, seperti tercermin pada neraca pembayaran.

Selanjutnya, perubahan nilai tukar dan aliran dana dari dan ke luar negeri akan mempengaruhi kegiatan ekonomi riil di negara yang bersangkutan. Semakin terbuka perekonomian suatu negara yang disertai dengan sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas, semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian dalam negeri.

Gambar 2. 6 Transmisi Kebijakan Moneter Sumber: (Bank Indonesia, 2021)

12. Program Restrukturisasi Kredit di Tengah Pandemi Covid-19

Di tengah ambang resesi yang di awali dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi di kuartal II tahun 2020 di mana terjadi penurunan di minus 5,32% selanjutnya membuat

(18)

kinerja perbankan mencakup pertumbuhan kredit, kualitas kredit, hingga beban pencadangan mengalami dampak negatif (Richard, 2020). Pandemi Covid-19 telah menciptakan efek domino dari masalah sosial dan ekonomi, dan dampaknya menghantam seluruh lapisan masyarakat mulai dari rumah tangga, UMKM hingga korporasi.

Banyaknya faktor yang menimbulkan turunnya pertumbuhan ekonomi secara garis besar dalam hal ini adalah turunnya sisi supply dan demand. Ketakutan pada sektor perbankan yang marak dipikirkan yakni terjadinya kredit macet atau non performing loan. Proses berlangsungnya hal tersebut di mana para nasabah menarik uangnya disebabkan munculnya ketidakpercayaan terhadap bank sehingga bank mengalami situasi insolvency. Tentunya kuantitas yang dimiliki oleh bank semakin menyusut dan mengakibatkan tidak mampu memberikan investasi kepada sesuatu yang mempunyai profitable. Untuk mengatasi hal ini, maka pemerintah melakukan kebijakan program rekstrukturisasi kredit. Restrukturisasi kredit sebagai langkah menjaga kestabilan dan mengurangi tekanan risk pada non performing financing agar nasabah mampu mengelola kreditnya dengan proses restrukturisasi utang melalui permohonan jatuh tempo kepada bank (Farhan Asyhadi, 2020). Secara definisi restrukturisasi kredit merupakan upaya yang dilaksanakan oleh pihak bank agar nasabah mampu menyelesaikan kewajiban pinjamannya kepada bank tersebut (Firdaus & Ariyanti, 2009). Restrukturisasi kredit dapat dilakukan bila kredit tersebut telah mengalami kualitas kurang lancar, diragukan dan macet (Usanti, 2006). Dalam aktivitas pinjaman pasti sudah disepakati bersama antar bank dan nasabah, bermacam ketentuan berikut tingkat suku bunga, tenor, jumlah cicilan maupun barang yang diagunkan. Disebabkan kehadiran pandemi Covid-19, kesepakatan yang diterima oleh dua pihak tidak mampu berjalan dengan lancar, memunculkan kredit macet. Restrukturisasi kredit suatu prioritas sebab dari sisi kreditur mampu dihindarkan dari bermacam resiko macet yang mampu memberikan pengaruh terhadap laba maupun piutang perbankan. Sementara dari sisi debitur mampu memberikan manfaat yakni keringanan beban kredit dan juga barang yang diagunkan tidak dapat tersentuh oleh bank.

Di mana peraturan restrukturisasi kredit tercantum dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan pada No 11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercylicial dampak penyebaran covid-19. Countercylicial merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menjaga stabilitas perekonomian agar pergerakan inflasi dan tingkat perusahaan yang sedang likuidasi mampu dilakukan penurunan melalui pengaturan ulang terkait penetapan kualitas asset dan kebijakan restrukturiasi kredit

(19)

maupun pembiayaan (Farhan Asyhadi, 2020). Kemudian dalam pembiayaan terdapat pada peraturan Bank Indonesia No. 13/9/PBI/2011 mengenai restrukturisasi pembiayaan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Sebelum peraturan tersebut hadir restrukturisasi diatur dalam peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008. Tujuannya untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh nasabah agar mampu menyelesaikan kewajibannya, antara lain:

1. Penjadwalan kembali (recheduling), yakni perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau tenor;

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yakni perubahan sebagian atau keseluruhan persyaratan pembiayaan mencakup beberapa, perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu ataupun memberikan potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank;

3. Penataan kembali (restructuring), yakni perubahan persyaratan pembiayaan tidak membatasi pada recheduling maupun reconditioning, berikut ini:

a) Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank b) Konversi akad pembiayaan

c) Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah jangka waktu menengah d) Konversi pembiayaan menjadi penyerta modal sementara pada nasabah

B. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hakim & Rahayu (2007) menjelaskan credit crunch tidak dapat dipisahkan dengan permintaan dan penawaran melalui jalur kredit dalam pengaturan transmisi kebijakan moneter yang digunakan. Fenomena credit crunch disaat nisbah mudharabah mengalami peningkatan di sisi permintaan dan memberikan pengaruh bagi permintaan kredit perbankan syariah sehingga terjadi penurunan. Faktor yang paling dominan dalam mengurangi sisi penawaran kredit yakni kredit macet atau non performing financing. Sedangkan, berdasarkan hasil penggunaan metode simultan dan Vector Autoregressions (VAR) menunjukkan bahwa untuk periode ke depannya dalam pengembangan perbankan syariah adalah situasi ekonomi yang stabil seperti ditunjukkan dengan variabel indeks produksi (IP) yang sangat berpengaruh pada permintaan kredit dan semakin besarnya kapasitas kredit (KAP) yang dimiliki oleh perbankan syariah yang sangat berpengaruh pada penawaran kredit syariah.

(20)

Selanjutnya penelitian yang dikaji oleh Wiratno et al., (2018) memberikan gambaran bahwa fenomena credit crunch mengirim dampak bagi bank untuk enggan dalam melaksanakan penyaluran kredit kepada nasabah karena bila mengeluarkan akan memunculkan resiko yang semakin besar dan tidak mampu ditangani melebihi dana yang dipinjam. Sehingga permintaan agregat yang didorong oleh kebijakan fiskal tidak akan efektif dalam meningkatkan likuiditas. Dari sisi kebijakan moneter menyebabkan tidak mampu menularkan kekuatan penyaluran pembiayaan ke sektor riil dan memperburuk suku bunga hingga kegiatan usaha. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini two stage least square dan data yang diolah berupa data perbankan syari’ah periode bulan Januari 2003 sampai Juni 2015. Hasil penelitian ini yakni bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi financial crunch, Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penawaran pembiayaan perbankan syariah, Non Performing Financing (NPF) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap syariah. penawaran pembiayaan perbankan, Tingkat Bagi Hasil (TBH) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran pembiayaan perbankan syariah, Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia (SWBI) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap penawaran pembiayaan perbankan syariah, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran pembiayaan perbankan syariah permintaan pembiayaan perbankan dan Produk Domestik Bruto (PDB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan pembiayaan perbankan syariah.

Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghosh & Ghosh (1999) menggunakan metode constraining factor, menjelaskan bahwa credit crunch mengacu pada situasi di mana kredit tidak tersedia pada tingkat bunga yang berlaku pada saat tersebut namun tingkat bunga riil yang tinggi mengakibatkan beban bagi peminjam. Kemudian perusahaan yang awalnya mampu melakukan peminjaman kepada bank mengalami hal yang serupa yakni di mana tidak memperoleh modal dalam tingkat bunga yang diterapkan. Penentu penting dalam penyediaan kredit bagi perekonomian dalam penelitian ini yaitu kapasitas pinjaman yang diberikan kepada nasabah dengan melihat capital adequacy ratio (CAR) sebagai kendala tersendiri tetapi dalam masa krisis yang terjadi di negara Asia pada tahun 1997-1998 dilonggarkannya pembobotan risiko dalam perhitungan persyaratan kecukupan modal, atau diperbolehkan bank memperpanjang jadwal untuk memenuhi persyaratan kecukupan modal tersebut. Selain, kapasitas pinjaman menjadi penentu dari pemberian pinjaman kepada nasabah disamping itu juga pada tingkat suku bunga dan risiko kredit. Permintaan dan penawaran kredit yang terjadi

(21)

menghasilkan bahwa adanya perlawanan diantara keduanya. Secara singkat peneliti gagal menemukan permintaan kredit yang berlebihan di ketiga negara tersebut.

Disamping itu penelitian yang lain yang diteliti oleh Borensztein & Lee (2002) menggunakan metode penelitian yakni panel estimation dengan random effects. Penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam masa krisis di tahun 1998 yang menyebabkan PDB mengalami penurunan sebesar 6.7% dan investasi kontraksi di ambang 40%. Ketatnya kebijakan moneter yang digaungkan oleh pemerintah Korea yang dibuktikan suku bunga sebagai pengetatan tersebut. Beberapa hal lain seperti penerapan rasio modal bank harus sesuai dengan standar Basel hingga reformasi keuangan pun mengalami perubahan yang di mana perlu menurunkan tingkat leverage yang tinggi lalu yang terpenting bagi bank menyeleksi peminjam yang mampu membayar kembali pinjamannya. Sehingga adanya multiplier effect pada pemberlakuan kebijakan moneter tersebut, mampu memberikan kontribusi dilihat dari peningkatan kredit ke arah sektor korporasi. Secara umum credit crunch yang berlangsung di Korea dari awal bulan Desember 1997 sampai 1998 memberikan penjelasan di mana tingkat suku bunga mengalami peningkatan yang sangat tajam. Sulitnya penerapan perilaku tingkat suku bunga riil membuat faktor lainnya menjadi ganas mencakup depresiasi nilai tukar dan perubahan harga barang. Selanjutnya profitabilitas merupakan faktor penting dalam mengakses pinjaman dalam keadaan tersebut.

Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Johari (2014) di mana melihat fenomena financial crunch pada sisi perbankan syariah di tahun 2008. Penelitian ini menggunaan metode data panel, hasilnya membuktikan di mana Dana Pihak Ketiga mengalami peningkatan namun tidak dibarengi dengan laju pertumbuhan yang signifikan pembiayaan.

Penelitian ini menggunakan regresi data panel, bahwa perbankan syariah tetap konsisten dalam menyalurkan pembiayaan pada masa krisis maupun setelah krisis keuangan tersebut.

Bisa dikatakan fungsi intermediasi pada perbankan syariah berjalan dengan semestinya namun di mana faktor seperti non performing financing, PDB dan SWBI memberikan pengaruh terjadinya financial crunch.

Selanjutnya pada penelitian yang dikaji oleh Ries Wulandari (2013) menggunakan variabel permintaan serta penawaran kredit perbankan, nisbah mudharabah, indeks penciptaan, kapasitas kredit, NPF serta FDR. Tujuan riset apakah kasus intermediasi tersebut bisa terjalin di perbankan syariah dalam pola financing crunch di periode tahun 1997-2000.

Metode penelitian ini menggunakan impulse response function dan forecasting error

(22)

variance decomposition. Dalam kondisi resesi ada kegagalan interest rate dalam menyeimbangkan demand serta supply dari kredit sehingga pada tingkatan tertentu pengajuan kredit ditolak walaupun debitur bersedia membayar pada tingkatan bunga yang didetetapkan apalagi lebih besar. Selaku mana realitas pada perbankan konvensional, bila intermediasi perbankan syariah tersendat serta tidak lekas ditangani, hingga berikutnya bisa mengusik perkembangan perbankan syariah secara agregat serta berikutnya pengaruhi stabilitas keuangan secara makro. Bila credit crunch bersinambung hingga bisa membagikan akibat yang kurang menguntungkan ( second round effect) dunia usaha yang pada kesimpulannya bisa memperparah mutu pinjaman bank dan tingkatkan resiko terbentuknya kembali krisis keuangan. Perkembangan perbankan syariah yang positif tersebut jadi fenomena yang wajib diperhatikan. Tidak hanya itu cocok dengan tujuan pendirian bank syariah hingga paper ini juga menawarkan pemecahan atas kasus intermediasi dengan perspektif maqashid shariah. Dan hasilnya penyaluran kapasitas kredit mengalami pertumbuhan yang signifikan namun masih dibawah actual pembiayaan. Perbankan syariah tiap tahunnya tumbuh di angka 30%. Bila situasi credit crunch yang terjadi berefek jangka panjang dapat diwaspadai karena mempunyai potensi mengurangi ketersediaan dana bagi kebutuhan investasi, konsumsi, maupun modal kerja di berbagai sektor.

Berikut penelitian Bijapur (2010) yang meneliti empat variabel endogen yakni output, inflasi, suku bunga serta kredit. Dengan menggunakan metode VAR, bahwa hasil penelitian menunjukkan krisis kredit didorong oleh pergeseran pasokan daripada permintaan pinjaman, melihat seri standar kredit Pejabat Pinjaman Senior (SLO) Fed selama periode yang relevan.

Kebijakan moneter menjadi kurang efektif selama krisis kredit dengan memperkirakan apakah koefisien lag suku bunga dalam persamaan PDB VAR menjadi lebih kecil secara signifikan. Karena kelambatan suku bunga diperkirakan memiliki tanda negatif, penolakan nol akan menyiratkan bahwa efek kelambatan kumulatif dari perubahan suku bunga pada pertumbuhan PDB secara signifikan lebih kecil selama krisis kredit, dengan tetap mempertahankan semua variabel lainnya. Apakah terdapat efek dijelaskan oleh penurunan hubungan antara kebijakan moneter dan penawaran kredit perantara. Hasilnya dalam kondisi normal, orang akan mengharapkan kebijakan moneter yang lebih ketat (lebih longgar) akan mengarah pada kredit yang lebih ketat (lebih longgar), melalui pengoperasian jalur kredit, oleh karena itu kami memprediksi hubungan positif antara tingkat Dana Federal dan penyebaran TED. Kemudian hasilnya menunjukkan bukti yang konsisten dari pelemahan dampak perubahan suku bunga pada pertumbuhan PDB di subsampel credit crunch . Dan

(23)

hasilnya juga menunjukkan bukti penurunan hubungan antara kebijakan moneter dan kredit, dengan jumlah koefisien dummy dalam persamaan kredit menjadi negatif dan sangat signifikan dalam ketiga spesifikasi tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan Ding, Domac, & Ferri (1998) yang di mana menggunakan kerangka sistematis dalam tradisi literatur tinjauan kredit untuk menilai terjadinya dan besarnya krisis kredit di lima negara Asia Timur yang dilanda krisis:

Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Bertujuan untuk menjelaskan apakah dan sejauh mana negara-negara Asia Timur saat ini menderita credit crunch. Metode penelitian ini menggunakan Kerangka ini juga memungkinkan untuk menilai bagaimana krisis kredit mempengaruhi secara berbeda di berbagai sektor ekonomi. Oleh karena itu, ada baiknya untuk mempertimbangkan instrumen kebijakan alternatif yang tidak memberikan tekanan lebih lanjut pada sektor perbankan dan pemberian pinjaman kepada sektor korporasi.

Meskipun terdapat bukti anekdotal bahwa bahkan perusahaan yang bagus pun kesulitan memperoleh kredit untuk membiayai produksi dan investasi, data makroekonomi tentang perkembangan moneter dan keuangan tidak secara tegas mendukung pernyataan bahwa krisis kredit sedang terjadi. Di Korea dan Malaysia, di mana bank menyesuaikan suku bunga mereka dengan lebih cepat untuk menaikkan suku bunga pasar uang, perbedaan antara suku bunga pinjaman dan hasil aset bebas risiko telah melebar secara signifikan, menunjukkan tekanan yang meningkat pada pasokan kredit oleh bank melalui mekanisme harga. Di negara- negara lain, tekanan kredit lebih banyak dilakukan melalui penjatahan kuantitas daripada melalui kenaikan suku bunga pinjaman. Namun, dalam situasi krisis, menilai sikap kebijakan moneter menjadi rumit karena hubungan antara instrumen kebijakan moneter dan pendapatan nominal berubah secara drastis.

Dalam penelitian Starr & Yilmaz (2005) menggunakan metode vector autoregression menunjukkan bahwa terdapat credit crunch yang terjadi pada perbankan syariah di tahun 2001 pada jangka waktu tersebut sub-sektor bank Islam tidak diasuransikan. Di mana credit crunch terjadi pada sisi permintaan kredit disebabkan oleh pembiayaan murabahah yang didominasi sebesar 90% pembiayaan mudharabah. Pembiayaan murabahah (kredit konsumen) seperti produk yang ditawarkan oleh bank konvensional, melainkan pembiayaan mudharabah sistem yang dipergunakan profit and loss sharing.

Dalam penelitian Boumediene & Caby (2011) memberikan penjelasan bahwa melakukan penelitian tentang perbankan syariah ditengah krisis keuangan global (subprime crisis).

(24)

Berangkat dari teori perbankan syariah yang lebih mengedepankan aspek intermediary dengan sektor riil dibandingkan sekedar mendapatkan laba dengan model-model spekulatif, penelitian ini mencoba melihat stabilitas perbankan syariah di saat terjadi krisis keuangan global (subprime crisis). Dengan mengambil sampel sebanyak 14 bank syariah dan konvensional, penelitian ini menggunakan pendekatan conditional variance (volatility) return untuk mengukur stabilitas perbankan. Melalui pendekatan metode Generailzed Autoregressive Conditional Heteroskedasticity (GARCH). Hal ini bisa dimengerti mengingat operasionalisasi bank syariah sangat tergantung pada kinerja sektor riil (sebagaimana konsep profit and loss sharing/PLS) sehingga apabila sektor riil mengalami kelesuan sehingga bank syariah juga mendapatkan dampak tersebut.

C. Kerangka Berfikir

Gambar 2. 7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Pembiayaan D. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori, literatur dan hasil penelitian maka hipotesis yang dapat dikemukakan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tingkat bagi hasil yang diberikan bank umum syari’ah (IMB) diduga berpengaruh terhadap penawaran pembiayaan Bank Syari’ah

2. Kredit macet pada bank umum syari’ah (NPF) diduga berpengaruh terhadap penawaran pembiayaan Bank Syari’ah

3. Rasio kecukupan modal bank umum syari’ah (CAR) diduga berpengaruh terhadap penawaran pembiayaan Bank Syari’ah

Penawaran PMBY

Permintaan PMBY

FDR CAR NPF IMB BI Rate Inflasi

Hakim & Rahayu (2007)

Agung (2001), Ghosh (1999)

Hakim & Rahayu (2007) Hakim & Rahayu (2007)

Hakim &

Rahayu (2007)

Ding, Domac, & Ferri (1998)

(25)

4. Rasio dana pihak ketiga terhadap pembiayaan bank umum syari’ah (FDR) diduga berpengaruh terhadap penawaran pembiayaan Bank Syari’ah

5. BI rate diduga berpengaruh terhadap permintaan pembiayaan Bank Syari’ah 6. Inflasi diduga berpengaruh terhadap permintaan pembiayaan Bank Syari’ah

7. Tingkat bagi hasil yang diberikan bank umum syari’ah (IMB) diduga berpengaruh terhadap permintaan pembiayaan Bank Syari’ah

Gambar

Tabel 2. 1 Islamic Finance Country Index 2020  Countries  2020  Score  2019  Score  Change  In Score  %  Change  In Score  2020 Rank  2019 Rank  Change In rank  Malaysia  83.33  81.93  1.40  1.71  1  2  +1  Indonesia  82.01  81.01  1.00  1.23  2  1  -1  Ir
Gambar 2. 1 Kurva Permintaan Kredit
Gambar 2. 2 Kurva Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Permintaan Kredit  Sumber: Credit crunch  In Indonesia In the Aftermath of the Crisis,
Gambar 2. 3 Kurva Penawaran Kredit  Sumber: (Kliesen, K.L. and Tatom, 1992)
+7

Referensi

Dokumen terkait

¾ sejalan dengan penyelenggaraan transportasi yang bersifat kemultian seperti yang telah dimunculkan pada Sub Bab I.1, maka dalam perencanaan program penanganan sistem jaringan

Berdasarkan analisis korelasi sederhana pergeseran kontribusi antara sektor pertanian dengan sektor industry manufaktur dan sektor perdagangan dan jasa selama kurun waktu

Terima kasih pula atas materi komunikasi keluarga yang bapak sampaikan ketika PKM di Cicalengka yang sangat menggugah keinginan saya untuk lebih baik lagi dalam

Sebelumnya yaitu tahun 1974 Yadinah pernah menjadi WTS di lokalisasi liar di Butoh, kemudian pada tahun 1977, ketika seluruh lokalisasi liar di Kecamatan Rengel dilokalisir

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa peran faktor teknologi, faktor aksesibilitas, faktor kredibilitas, dan faktor program amil zakat terhadap

 Hollow point, adalah peluru yang memiliki lubang atau cekungan pada hidungnya dengan tujuan agar bentuk peluru tersebut berekspansi melebar saat menghantam target untuk

 1) Melaksanakan Patroli Gabungan TNI/POLRI dan Manggala Agni diwilayah kecamatan Katingan Tengah dengan sasaran pencegahan kebakaran hutan dan lahan di kel. Samba kahayan kec. 