• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Permasalahan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Permasalahan

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pemerintah menimbang perlu memberlakukan Otonomi Daerah untuk menghadapi tantangan, baik tantangan dari dalam maupun dari luar negeri. Tantangan dari dalam negeri adalah akibat ketimpangan pemerataan hasil pembangunan antara pusat dan daerah di masa pemerintahan orde baru, hingga timbul tuntutan agar daerah diberikan peranan yang lebih besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan tantangan dari luar negeri adalah era globalisasi yang menyebabkan lahirnya kerjasama regional, seperti: AFTA, APEC, IMT-GT, KAPET dan sebagainya.

Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah dengan belakunya Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (diganti dengan UU RI No. 32 tahun 2004), yang diikuti dengan UU RI No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (diganti dengan UU RI No. 33 tahun 2004). Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berlaku otonomi khusus berdasarkan UU RI No. 11 tahun 2006, dengan nama Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Otonomi khusus pada prinsipnya sama dengan otonomi daerah, namun dalam berbagai hal terjadi perbedaan terutama dalam istilah dan struktur pemerintahan. Perbedaan lain yang paling menonjol adalah tentang porsi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, untuk otonomi khusus jauh lebih besar dibandingkan dengan otonomi daerah. Melihat esensi dari pemberlakuan kedua UU RI tersebut prinsipnya adalah sama, maka dalam penjelasan berikutnya jika disebut otonomi daerah, maka termasuk di dalamnya juga adalah otonomi khusus.

(2)

Indonesia, khususnya dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Sistem kendali kebijakan dan operasional pemerintahan yang sebelumnya berlangsung secara sentralisasi (terpusat), di era otonomi daerah sebagiannya dilimpahkan ke pemerintah daerah. Hal demikian yang disebut dengan sistem desentralisasi. Desentralisasi artinya adalah bahwa pemerintah daerah diberikan peran yang lebih luas dan dengan pengelolaan dana yang lebih besar dalam menentukan kebijakan-kebijakan di daerahnya. Sejalan dengan perubahan sentralisasi menjadi desentralisasi menyebabkan perlunya pergeseran sifat dalam beberapa paradigma tersebut, seperti:

¾ bersifat inspiratif bergeser ke arah aspiratif;

¾ bersifat mobilisasi bergeser ke arah partisipasi;

¾ bersifat sektoral bergeser ke arah kewilayahan/terpadu.

¾ bersifat top down bergeser ke arah bottom up;

Dalam kerangka otonomi daerah dengan paradigma barunya, pemerintah di semua level pemerintahan dalam operasionalnya harus menjalankan pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik dalam implementasinya diterjemahkan sebagai pemerintahan yang berjalan dan memiliki: akuntabilitas, transparansi dan partisipatif. Otonomi daerah juga menyebabkan tuntutan daerah terhadap pemekaran wilayah menjadi lebih kuat, baik pemekaran wilayah provinsi, maupun kabupaten/kota. Pemekaran wilayah ini akan berakibat pada perubahan tata ruang wilayah yang juga berdampak pada penyesuaian sistem transportasi, karena antara tata ruang dan transportasi terdapat efek timbal balik (feedback). Pemekaran wilayah dan perjalanan waktu umumnya juga menyebabkan perubahan orientasi terhadap lokasi produksi dan pemasaran. Dengan demikian akan terjadi perubahan dalam hal jumlah dan orientasi bangkitan/tarikan pergerakan. Untuk itu diperlukan suatu mekanisme perencanaan yang bersifat antisipatif yang mampu memfasilitasi prinsip pemerintahan yang baik dan dinamis yang dapat mengakomodasi perubahan tata ruang dan orientasi bangkitan/tarikan pergerakan.

Investasi dalam pengembangan infrastruktur transportasi memerlukan biaya yang sangat besar. Pernyataan tersebut juga berlaku untuk pengembangan sistem

(3)

jaringan jalan. Untuk pengembangan sistem jaringan jalan secara umum diperlukan beberapa istilah penanganan jalan seperti: perawatan rutin, perawatan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan baru. Penanganan tersebut belum termasuk secara khusus untuk program penanganan jembatan. Kenyataan yang terjadi dewasa ini adalah bahwa biaya yang mampu disediakan oleh pemerintah untuk program penanganan jalan lebih kecil dari jumlah yang diperlukan untuk menjaga sistem jaringan tersebut agar selalu berada dalam kondisi mantap. Untuk alasan tersebut, maka dalam melaksanakan program penanganan haruslah tepat sasaran untuk menjamin tercapainya efisiensi, untuk itu diperlukan keluaran perencanaan program penanganan dalam bentuk skala prioritas.

Transportasi dikenal juga memiliki ciri khas, termasuk di dalamnya sistem jaringan jalan, hal tersebut berkaitan dengan sifat kemultiannya, seperti:

¾ multi-sektoral, artinya adalah jaringan transportasi merupakan prasarana dan sarana pelayanan dasar (basic infrastructure) bagi pengembangan ekonomi dan wilayah yang dengan sendirinya melibatkan banyak sektor/instansi, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota;

¾ multi-variat, artinya melibatkan banyak variabel atau kriteria dalam menilai kinerja dari transportasi;

¾ multi-moda, artinya melibatkan banyak jenis transportasi sebagai akibat dari faktor geografis dan masing-masing moda mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing;

¾ multi-area, artinya melibatkan cakupan wilayah yang luas dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi;

¾ multi aktor, artinya melibatkan banyak pihak terkait baik sebagai pengambil keputusan maupun sebagai pihak terkait (stakeholders);

¾ multi-year, memerlukan evaluasi dan perencanaan yang kontinyu berkaitan dengan perubahan kinerja sejalan dengan perubahan waktu.

Dari uraian sifat kemultian jaringan transportasi (termasuk sistem jaringan jalan) yang disampaikan, masalah koordinasi antar wilayah, antar institusi pengelola, dan antar sistem moda harus dengan baik diterjemahkan dalam rencana program

(4)

pengembangan jaringan. Sampai saat ini pola perencanaan yang melibatkan banyak pihak sebagai suatu master-plan sebagai public-commitment masih belum lazim, mengingat dalam masa sebelumnya hampir semua keputusan ditangani pengambil keputusan. Dalam hal ini pengembangan metoda perencanaan yang partisipatif, konsensual, dan penanganan dalam skala prioritas akan merupakan bagian terpenting dari suatu proses perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan.

Sesuai dengan konsep Sistranas yang terpadu secara nasional, perencanaan di level daerah harus tetap mengacu kepada pola tata ruang dan tataran transportasi secara nasional agar fungsinya sebagai jaringan dapat optimal. Hal ini menunjukkan tetap perlu diaplikasikan pendekatan perencanaan yang bersifat top down, di mana konsep pengembangan secara makro di level pusat harus tetap dijadikan acuan sedemikian sehingga sifat seamless dari sistem jaringan secara nasional tetap terjaga. Dengan demikian perencanaan sistem jaringan transportasi di tingkat daerah sebaiknya dilakukan sebagai gabungan antara pendekatan bottom up dengan

top down. Dalam pengertian lain kedua pendekatan tersebut sering diasosiasikan terhadap sumber identifikasi masalah itu berasal. Bottom up dimaksudkan untuk mendapatkan masukan permasalahan yang teridentifikasi langsung dari analisis kualitatif tingkat bawah (operasional) maupun masyarakat dan pemerintah di level yang lebih kecil, sedangkan top down berupa hasil identifikasi masalah yang diperoleh dari pengamatan manajemen tingkat atas dari pengambil keputusan. Secara top down masalah dapat diidentifikasi dari kesenjangan antara kondisi yang menjadi harapan/tujuan (idealisasi Sistranas) dengan kondisi yang terjadi sekarang di lapangan. Namun dalam mencapai tujuan bersama diperlukan suatu proses

bottom up yang melibatkan banyak pihak dan banyak kriteria, seperti pada proses

Gambar I.1.

Untuk itu, di era otonomi daerah diperlukan suatu mekanisme perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan yang mendukung terlaksananya pemerintahan yang baik, mengakomodasi sifat kemultian transportasi dan menghasilkan suatu program penanganan dalam skala prioritas, hingga efisiensi sumber daya dapat tercapai.

(5)

Gambar I.1 Pendekatan Top Down dan Bottom Up dalam Proses Perencanaan Jaringan Transportasi.

Sumber: Dimodifikasi dari Tamin (2002)

I.2 Pernyataan Masalah

Permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam suatu wilayah provinsi di era otonomi daerah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

¾ Di era otonomi daerah, perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan lingkup nasional dan provinsi harus dapat menjamin terselenggaranya pemerintahan yang baik yang memiliki prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi;

¾ sejalan dengan penyelenggaraan transportasi yang bersifat kemultian seperti yang telah dimunculkan pada Sub Bab I.1, maka dalam perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi di era otonomi daerah harus dapat mengakomodasi sifat-sifat tersebut;

¾ dana yang diperlukan untuk program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dewasa ini sangat terbatas hingga penanganan tidak dapat ditangani sekaligus sesuai dengan kebutuhan untuk masing-masing ruas jalan. Untuk itu diperlukan suatu produk/keluaran dari perencanaan tersebut dalam bentuk skala prioritas.

Perundangan, RTRWN, TATRANAS

Idealisasi/Tujuan (Objectives)

Masalah dan Isu

Kondisi saat ini Kondisi yg diharapkan

Pengembangan Alternatif

Pemecahan Evaluasi Kinerja

Skenario, Modeling + Forecasting

BOTTOM UP TOP DOWN

(6)

I.3 Perumusan Masalah

Di era otonomi, setiap daerah diharapkan mampu mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan karakteristik ruang yang ada. Kata kunci dalam pembangunan daerah adalah kemampuan daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi sesuai dengan potensi, kompetensi, dan seting ruang yang ada, sedemikian sehingga daerah mampu berkembang dan bersaing di era persaingan global. Untuk itu diperlukan adanya sistem infrastruktur yang memadai agar kegiatan ekonomi dapat berjalan secara efisien dan memiliki daya saing tinggi. Salah satu komponen vital dalam pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi adalah sistem jaringan transportasi yang meliputi sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara.

Transportasi darat jalan raya merupakan salah satu moda transportasi dengan pengguna terbanyak. Hal tersebut karena sifatnya yang langsung berkaitan dengan kegiatan masyarakat. Transportasi darat jalan raya tersusun menjadi sistem jaringan dari beberapa kelompok yang sesuai dengan hirarkinya. Pengelompokan dapat berdasarkan status, fungsi dan kelas jalan. Jalan raya dibangun dan kualitas pelayanannya akan terus berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Untuk menjaga agar kualitas pelayanan jalan selalu dalam kondisi baik, dalam hal ini kondisi jalan mantap, maka diperlukan berbagai upaya penanganan seperti: perawatan rutin, perawatan berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas dan pembangunan baru. Untuk masing-masing penanganan tersebut diperlukan biaya yang cukup besar. Dengan dana penanganan yang terbatas, maka perlu berhati-hati dalam menetapkan program penanganan. Untuk menyusun program tersebut, maka perlu dirumuskan permasalahan hingga pengalokasian program dapat tepat sasaran hingga tidak terjadi pemborosan.

Dalam tataran bahasa perencanaan, pengembangan jaringan transportasi tidak dapat dilepaskan dari konteks Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan membentuk pola kegiatan ekonomi wilayah. Dari RTRW akan tergambarkan bagaimana Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) yang multi-moda (darat, laut, dan udara) harus dikembangkan untuk mengakomodasi dan mendorong kegiatan

(7)

ekonomi wilayah. Sistem jaringan jalan provinsi merupakan bagian dari Tatrawil. Selanjutnya Tatrawil merupakan bagian dari RTRWP dan RTRWP merupakan bagian dari RTRWN. Konteks perencanaan sistem jaringan jalan sesuai dengan sistem perencanaan yang ada perlu ditegaskan untuk memperjelas hirarki perencanaan dan ruang lingkup yang harus dipertimbangkan.

I.3.1 Outstanding Issues

Pengembangan suatu sistem akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah outstanding issues dalam lingkungan strategis yang melingkupinya. Pada dasarnya kebutuhan untuk mengembangkan jaringan jalan di wilayah provinsi harus mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk faktor yang sifatnya eksternal, agar sasaran untuk pengembangan dapat tercapai dengan baik. Hasil identifikasi terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan yang dikelompokkan sebagai outstanding issues seperti yang disampaikan pada penjelasan berikut.

a. Kebijakan Otonomi Daerah

Berlakunya otonomi daerah (UU No. 32 Tahun 2004) memandatkan penyerahan sebagian kewenangan, termasuk sektor transportasi ke provinsi dan kabupaten/kota. Euforia otonomi juga memunculkan sejumlah proposal investasi prasarana transportasi dari daerah yang sangat ambisius. Sebagaimana diketahui bahwa efisiensi jaringan transportasi pada suatu wilayah, salah satu kata kuncinya adalah integrasi. Integrasi tidak hanya dibutuhkan dalam entitas antar moda namun juga antar hirarki fungsi, kewenangan, antar wilayah, dlsb. Ini mengisyaratkan perlunya koordinasi dalam perencanaan, investasi, dan operasi jaringan yang memerlukan mekanisme yang baik. Untuk perencanaan sistem jaringan di tingkat provinsi maka di sini perlunya pelibatan kabupaten/ kota dalam proses perencanaan jaringan.

b. Kebijakan Tatrawil

Tatrawil merupakan wujud dari transportasi multi moda yang terdiri dari sarana dan prasarana yang saling berinteraksi dengan dukungan sistem perangkat

(8)

untuk membentuk suatu sistem pelayanan transportasi yang efektif dan efisien. Jaringan pada tatrawil berfungsi untuk melayani pergerakan antar simpul dalam wilayah provinsi atau dari simpul ke kota provinsi. Dengan melihat fungsi tersebut maka peran jalan nasional dan provinsi menjadi sangat strategis mengingat sistem jaringan jalan dalam wilayah provinsi merupakan bagian dari tatrawil, maka prinsip keterpaduan dengan moda transportasi yang lain menjadi fokus perhatian di sini.

c. RTRWN dan Sistranas

Secara konseptual Sistranas sudah mengelaborasi semua elemen penting dalam perencanaan, mulai dari isu transportasi multi moda, globalisasi, otonomi, privatisasi, energi dan lingkungan, dan juga mengacu pada konsep tata ruang dalam RTRWN. Bahkan dalam konteks jaringan, sudah dimuat peta jaringan masa depan yang telah memperhatikan kepentingan daerah. Prinsip pengembangan jaringan transportasi darat (jalan, sungai, dan KA) dengan prinsip gelang dan sirip berusaha untuk menghubungkan setiap wilayah di dalam satu pulau. Pengembangan transportasi antar pulau terutama dengan moda udara dan laut telah diskemakan dengan baik dimana jaringan primer menjadi jaringan penghubung simpul-simpul primer (pengumpul) yang kemudian didistribusikan ke jaringan sekunder dan tersier.

d. Kebijakan Transportasi dan Tata Ruang

Pengembangan sistem jaringan jalan tidak dapat dilepaskan dari konteks RTRW yang akan membentuk pola kegiatan ekonomi wilayah. Pusat kegiatan dengan skala internasional dan nasional harus diakomodasi oleh sistem jaringan jalan nasional. Kegiatan wilayah (antar kabupaten/kota) harus dapat dilayani dengan baik oleh jaringan jalan provinsi dan demikian seterusnya untuk tingkat kabupaten, kota maupun kawasan. Pengembangan sistem jaringan jalan harus sejalan dengan RTRW, dengan demikian prinsip model perencanaan dinamis akan terakomodasi di sini.

(9)

e. Jaringan transportasi multi-moda

Dalam konstelasi ekonomi, sosial, budaya, politik dan hankam di wilayah Indonesia, sektor transportasi memegang peran penting sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi (economic development agent), media pemerataan pembangunan antar wilayah (reducing the regional disparity) dan pemersatu antar wilayah (national-integrator). Kondisi obyektif geografi Indonesia sebagai negara kepulauan, memperkuat kebutuhan akan konsep jaringan transportasi multimoda, di mana hampir mustahil transportasi antar wilayah dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu moda saja.

Dari semua yang disampaikan di atas, maka dalam rangka membentuk suatu sistim jaringan jalan nasional dan provinsi yang terpadu dalam wilayah provinsi, maka pemecahan permasalahan sistem jaringan jalan yang ada harus berada dalam konteks yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian dalam mewujudkan suatu sistem jaringan jalan nasional dan provinsi yang baik dalam wilayah provinsi harus mempertimbangkan semua outstanding issues yang telah diuraikan dalam penjelasan di atas dan disarikan pada Gambar I.2.

Gambar I.2 Konteks Penyusunan Rencana Sistem Jaringan Jalan dalam wilayah Provinsi Sumber: LPM ITB (2002) OTDA Peran Kab./Kota RTRWP RTRW Kab./Kota TATRAWIL RTRWN & TATRANAS Jaringan Multimoda

RENCANA JARINGAN JALAN NASIONAL DAN PROVINSI

Masalah Sistem Jaringan Jalan

Nasional dan Provinsi

(10)

I.3.2 Kerangka Pikir dalam Pemecahan Masalah

Era otonomi daerah adalah era desentralisasi, dimana pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang luas dalam menetapkan kebijakan pembangunan di wilayahnya. Walaupun demikian pemerintah pusat telah menetapkan RTRWN dan Sistranas untuk menjadi acuan bagi pemerintah provinsi. Dengan demikian jika ditinjau secara keseluruhan akan menghasilkan suatu sistem yang terpadu yang merupakan wujud dari Sistranas itu sendiri. RTRWN menjadi acuan bagi lahirnya RTRWP di tingkat provinsi. Sejalan dengan lahirnya RTRWP maka infrastruktur pendukung bagi terjaminnya pergerakan dalam provinsi yang efisien adalah Tatrawil. Kabupaten/kota juga mempunyai kebijakan dalam pengembangan RTRWK di wilayahnya. Agar sistem jaringan dapat berjalan secara terpadu, maka provinsi dapat mengambil peran di sini sebagai koordinator. Koordinasi dari provinsi disebut sebagai proses yang bottom up karena telah melibatkan pihak daerah bersama pihak terkait lainnya. Mempertimbangkan pekembangan RTRW dalam perencanaan telah menerapkan prinsip proses dinamis dalam perencanaan. Dengan membuat keluaran secara prioritas telah menerapkan antisipasi proses implementasi akibat keterbatasan dana.Untuk lebih jelasnya proses tersebut dapat dilihat pada kerangka berpikir pemecahan masalah seperti pada Gambar I.3.

I.3.3 Keterkaitan Jaringan Transportasi – Tata Ruang

1. Sistem Transportasi Makro

Transportasi merupakan kebutuhan turunan yang diakibatkan oleh tersebarnya pola tata ruang (spasial separation) di mana kebutuhan manusia dan proses produksi (dari penyediaan bahan mentah sampai dengan pemasaran) tidak dapat dilakukan hanya pada satu lokasi saja. Dengan kata lain untuk seluruh kegiatan masyarakat selalu dibutuhkan proses perpindahan yang dalam kajian transportasi disebut dengan perjalanan. Sebagai salah satu media perjalanan yang penting adalah jaringan jalan, karena kemampuannya untuk memberikan akses maksimal kepada semua orang dan bahkan door-to-door.

(11)

Gambar I.3 Kerangka Berpikir Pemecahan Masalah Sumber: Dimodifikasi dari Tamin (2002)

Dalam perencanaan jaringan transportasi wilayah, interaksi timbal balik antara transportasi dan tata ruang merupakan komponen utama yang harus dianalisis dan dimodelkan untuk menyusun kerangka kebijakan yang efisien dan terpadu. Dalam proses perencanaan hubungan timbal balik tersebut harus dikaji dalam kerangka sistem di mana antara perencanaan transportasi dan tata ruang harus dihubungkan dan dikaji secara terpadu, sehingga interaksi transportasi di dalam jaringan mampu mendukung roda gerak perekonomian masyarakat.

Pada setiap pengembangan tata ruang selalu dibutuhkan sarana dan prasarana transportasi pendukungnya, demikian pula sebaliknya bahwa setiap

Penyerahan kewenangan kepada daerah

Otonomi daerah Desentralisasi

RTRWN dan Sistranas RTRWP dan Sistrawil RTRWK (Kabupaten/Kota) Propeda Provinsi Rencana Strategis Pengembangan Wilayah: ƒ kawasan andalan

ƒ core business Proses perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan: ƒ identifikasi aktor ƒ rumusan kriteria ƒ bobot kriteria ƒ skoring ƒ prediksi demand ƒ prediksi kinerja Proses perencanaan: ƒ proses bottom up ƒ dinamis ƒ kebijakan konsensus ƒ prioritas Keterpaduan jaringan: ƒ Antar moda ƒ Antar wilayah ƒ Antar institusi Provinsi sebagai koordinator antar Kabupaten/Kota : Outstanding issues : Dynamic systems : Feed forward : Feed back Keterangan

(12)

pengembangan sistem transportasi akan mempengaruhi pola pengembangan tata ruang di sekitarnya. Interaksi timbal balik antara sistem transportasi dengan tata ruang dapat dijelaskan pada Gambar I.4.

Gambar I.4 Keterkaitan antara Sistem Transportasi dan Tata Ruang Sumber: LPM ITB (2002)

Dalam memahami lebih jauh interaksi yang terjadi antara sistem transportasi dan tata ruang, pada Gambar I.5 diberikan konsep mengenai sistem transportasi makro. Sistem transportasi makro tersebut terdiri dari beberapa sub-sistem yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Sub-sistem tersebut terdiri dari Sub-sistem kegiatan, Sub-sistem jaringan, Sub-sistem pergerakan, dan sistem kelembagaan.

Di Indonesia, sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi secara umum adalah sebagai berikut

¾ Sistem kegiatan, dalam hal ini melibatkan Bappenas, Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang sangat penting dalam penentuan kebijakan baik yang berskala wilayah, regional, maupun sektoral melalui perencanaan tata ruang dan perencanaan pembangunan lainnya.

Tata Ruang Aktivitas

Sosio-ekonomi Kebutuhan Transportasi Arus lalulintas (orang/barang) Suplai jaringan transportasi Biaya Transportasi Perubahan kebijakan

& perubahan prilaku transportasi/ekonomi

: feed-forward : feed-back

(13)

Gambar I.5 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin (2000)

¾ Sistem jaringan dalam hal ini melibatkan Departemen Perhubungan dan dinasnya di daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan dinasnya di daerah sebagai lembaga yang menyusun dan melaksanakan kebijakan mengenai pengembangan dan penyelenggaraan sistem jaringan transportasi (jalan) secara nasional maupun wilayah/daerah.

¾ Sistem pergerakan dalam hal ini melibatkan Departemen dan Dinas Perhubungan, Organda, Polantas, masyarakat yang berkaitan dengan teknis operasional penyelenggaraan transportasi (jalan) di lapangan.

2. Kebijakan Pengembangan Tata Ruang

Kebijakan tata ruang nasional ditetapkan dengan peraturan pemerintah no. 47 tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN). PP ini dilandasi oleh UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang diperbarui dengan UU No. 26 tahun 2007. RTRWN tersebut dimaksudkan sebagai pedoman perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional yang menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor.

RTRWN ini diharapkan mampu menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang dalam skala ruangnya yakni untuk RTRWP. Selanjutnya RTRWP

Sistem Kegiatan Sistem Jaringan (Jalan) Sistem Pergerakan Sistem Kelembagaan

(14)

tersebut harus menjadi acuan dalam penyusunan RTRWK (kabupaten/kota). Selanjutnya RTRWK ini diharapkan mampu menjadi acuan penyusunan rencana pengembangan tata ruang pada ruang kawasan yang lebih kecil.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara konseptual, pembangunan di daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional di mana pembangunan daerah merupakan usaha pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi, dan prioritas di daerah.

3. Kebijakan Pengembangan Jaringan Transportasi

Dalam kaitannya dengan RTRWN tersebut Departemen Perhubungan selaku lembaga perencana dan pengelola sistem transportasi di Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No: KM. 49 Tahun 2005 tentang Sistranas sebagai pendukung implementasi dari RTRWN. Dalam Sistranas tercakup diantaranya adalah rencana pengembangan jaringan jalan, baik secara fungsional dan sesuai kelas jalannya.

Dasar hukum bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan strategi pengembangan sistem jaringan jalan adalah UU Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan sedangkan bagi pengambilan kebijakan sistem pergerakan lalulintas diatur dalam UU Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Lebih spesifik untuk perencanaan sistem jaringan transportasi jalan (RUJTJ) diatur dalam PP NO. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalulintas Jalan.

Integrasi Sistranas tidak terlepas dari dukungan sistem transportasi di daerah. Perencanaan sistem transportasi harus diarahkan dalam usaha mendukung RTRW di wilayah masing-masing dan tetap berada di bawah payung kebijakan pengembangan Sistranas. Sistranas yang merupakan gabungan dari tataran transportasi di tiga tingkatan: nasional, provinsi dan kabupaten/kota harus mengacu ke RTRW di masing-masing tingkatan tersebut hingga tercipta satu kesatuan sistem transportasi dalam Sistranas.

(15)

4. Keterkaitan RTRW dan Transportasi

Dalam merencanakan sistem jaringan transportasi di suatu wilayah diperlukan adanya analisis mengenai pola dan intensitas kegiatan di pusat-pusat kegiatan sebagai lokasi yang membangkitkan dan/atau menarik perjalanan. Dalam Sistranas rencana pusat kegiatan nasional (yang dituangkan dalam RTRWN) diakomodir sebagai masukan dalam merencanakan jaringan transportasi nasional secara multi-moda di mana penyediaan sarana dan prasarana transportasi diharapkan mampu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah unggulan.

Demikian juga dalam mengkaji Tatrawil provinsi diperlukan adanya analisis terhadap potensi di pusat-pusat kegiatan wilayah, yang meliputi: kawasan industri, pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan, sumber daya mineral, pariwisata, perumahan dan perdagangan yang semuanya tertuang dalam RTRWP. Salah satu bagian terpenting dari Tatrawil tersebut adalah Rencana Jaringan Transportasi Jalan pada level provinsi.

Tatrawil Provinsi diharapkan akan menjadi payung dan acuan bagi setiap kabupaten dan kota dalam mengembangkan Tatralok Kabupaten/Kota dengan tetap mengacu pada kebijakan penataan tata ruang yang tercakup dalam RTRWK. Selanjutnya, sistem transportasi regional kabupaten/kota tersebut menjadi acuan bagi sistem yang lebih kecil yaitu sistem transportasi kawasan yang juga diharuskan mengacu pada rencana tata ruang kawasan.

Secara umum keterkaitan antara kebijakan RTRW dengan sistem transportasi pada berbagai tingkatan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar I.6. Dalam Sistranas, rencana Pusat Kegiatan Nasional (PKN) diakomodir sebagai masukan dalam merencanakan sistem jaringan transportasi nasional (Sisjartranas) secara multi moda dimana penyediaan sarana dan prasarana transportasi diharapkan mampu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah unggulan.

(16)

Gambar I.6 Keterkaitan RTRW - Transportasi pada berbagai tingkatan .

Sumber : Dimodifikasi dari Tamin (2000)

Untuk itu dalam mengkaji baik Sisjartransprov maupun Tatrawil, diperlukan adanya analisis terhadap kawasan strategis dan potensi di Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), yang meliputi kawasan: industri, pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan, sumberdaya mineral, pariwisata, perumahan, dan perdagangan yang semuanya tertuang dalam RTRWP.

Sisjartransprov merupakan bagian dari Tatrawil yang di dalamnya termasuk susunan sistem jaringan jalan provinsi. Dalam perencanaan sistem jaringan jalan provinsi yang ada dalam kerangka Tatrawil harus mengacu secara langsung ke RTRWP. Dalam kerangka transportasi secara vertikal harus mengasumsikan level di atasnya (Tatranas) sebagai guidance dan ke level di bawahnya harus diikutkan dalam perencanaan terutama yang berkaitan dengan kebijakan operasional.

Sebelum berlakunya otonomi daerah, maka proses perencanaan tata ruang dan sistem transportasi bersifat top down dengan pemerintah pusat/Provinsi sebagai aktor utamanya. Pendekatan bottom up akan lebih cocok untuk mencerminkan adanya demokratisasi dalam proses pengambilan kebijakan dan desentralisasi wewenang pemerintahan ke kabupaten/kota. Pendekatan seperti ini sering

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK)

Tataran Transportasi Nasional (TATRANAS)

Jaringan Transportasi Nasional

Tataran Transportasi Wilayah (TATRAWIL) Provinsi

Jaringan Transportasi Wil. Provinsi

Tataran Transportasi Lokal (TATRALOK) Kabupaten/Kota Jaringan Transportasi Kab/Kota

(17)

disebut dengan pendekatan partisipatif. Namum demikian, sistem harus tetap berada pada koridor yang telah digariskan secara nasional, dengan demikian kombinasi proses top down dengan bottom up merupakan pilihan terbaik (garis konsultasi 2 arah pada Gambar I.6).

Model partisipatif perlu diterapkan sejalan dengan diterapkannya otonomi daerah, hingga aspirasi/keinginan dari kabupaten/kota dapat diakomodasi. Namun demikian, penyelenggaraannya harus tetap dalam konteks pengembangan sistem jaringan transportasi wilayah provinsi atau nasional. Dalam hal ini paradigma perencanaan sifatnya harus partisipatif, yang mampu mencerminkan adanya kesepakatan dari semua pihak yang terkait/terlibat, baik dari tingkat nasional dan provinsi, maupun dari kabupaten/kota.

Implementasi hasil perencanaan perlu disusun secara bertahap sesuai dengan kemampuan pendanaan yang ada, maka tidak memungkinkan semua keinginan dalam mengembangkan sistem jaringan jalan raya dapat diwujudkan sekaligus. Untuk itu, pelaksanaan pembangunan harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritas. Untuk itu diperlukan adanya alat bantu (tool) yang perlu dikembangkan dalam pengambilan keputusan yang mampu menyusun usulan program pengembangan sistem jaringan transportasi sesuai dengan prioritas yang sudah menjadi kesepakatan oleh peserta partisipatif.

I.4 Posisi Penelitian

Lingkup transportasi sangat luas, karena mencakup berbagai aspek kehidupan. Hingga dalam kajian transportasi diperlukan mulai dari kajian yang sifatnya kebijakan makro/global sampai pada hal-hal yang detail. Pengelompokan tersebut seperti: berdasarkan wilayah kajian, berdasarkan hirarki, berdasarkan pembagian moda, berdasarkan pembagian jaringan, pembagian teknologi, pembagian rentang waktu perencanaan, dlsb. Untuk itu dalam perencanaan transportasi juga diperlukan pendekatan yang berbeda sesuai dengan pengelompokan tersebut.

(18)

Sesuai dengan konsep Sistranas seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No: KM. 49/2005 bahwa sasaran Sistranas adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan transportasi yang efektif dan efisien. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan penelitian-penelitian untuk pengembangan transportasi untuk mencapai sasaran tersebut. Dalam kajian ilmiah, penelitian yang berkaitan dengan Sistranas tersebut belum banyak dilakukan.

Deni dan Djumantri (2002) membagi pergeseran pendekatan perencanaan per dekade sejak tahun 1960. Pendekatan perencanaan terstruktur dimulai tahun 1960 setelah berakhirnya perang di wilayah Indonesia. Era dekade 1960an dikenal dengan pendekatan parsial, yang memandang pembangunan kota dan wilayah (desa) dilakukan secara terpisah. Dekade 1970an dekenal dengan pendekatan sektoral, di mana setiap sektor pembangunan mempunyai program masing-masing. Dekade 1980an dikenal dengan pendekatan perencanaan wilayah yang terintegrasi, seperti yang tertuang dalam RTRW. Tahun 1990an dan 2000an adalah mulainya era keterbukaan, era otonomi daerah. Dengan demikian sesuai dengan perkembangan zaman, maka pendekatan yang dirasa sesuai dalam perencanaan wilayah, termasuk transportasi adalah: pendekatan perencanaan wilayah yang terintegrasi dan melalui proses partisipatif (TD - BU), lihat Gambar I.7.

Gambar I.7 Pendekatan Perencanaan Wilayah.

Sumber : Disarikan dari Deni dan Djumantri (2002). Pendekatan perencanaan wilayah Parsial Sektoral Terintegrasi T D T D – B U

Model pendekatan yang digunakan

(19)

Hadihardjono (2005) telah melakukan penelitian untuk melahirkan konsep perencanaan transportasi seiring dengan sudut pandang kekinian di era otonomi daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah prescriptive policy analysis. Subjek studi yang dikaji adalah berkaitan dengan konsep/pendekatan perencanaan khususnya masalah pengambilan keputusan dengan objek studi adalah Tatranas.

Karsaman (1998) telah memperkenalkan penggunaan Analisis Multi Kriteria (AMK) model Analytical Hierarchy Process (AHP) dan PROMETHEE untuk aplikasi dalam studi evaluasi proyek transportasi untuk transportasi angkutan umum di kota Jakarta. Analisis stakeholders dilakukan dengan menggunakan angket dengan stakeholders intansti terkait dan pakar independen.

Napitupulu (2000) telah menerapkan AHP dalam penentuan angkutan umum perkotaan yang optimum dengan mengambil lokasi studi di kota Bandung. Analisis

stakeholder dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Studi aplikasi yang lain AMK dilakukan oleh Tanan (2005) untuk studi program penanganan jalan provinsi dalam kondisi budget constrained dengan mengambil kasus untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Studi pendekatan partisipatif untuk pengembangan jalur wisata perkotaan dengan mengambil kasus di kota Jakarta dilakukan oleh Winarso dkk. (2003). Dalam studi ini penggalian ide stakeholders dilakukan dengan teknik workshop atau Focus Group Discussion (FGD). Dari kesemua publikasi yang telah diuraikan tersebut untuk lebih jelasnya seperti yang dapat dilihat pada Tabel I.1.

Dalam pelaksanaan beberapa proyek studi transportasi di wilayah studi, mekanisme perencanaan partisipatif belum terlihat dengan jelas dan belum terprogram dengan baik dan di sebagian studi bukan merupakan suatu keharusan. Dalam beberapa kegiatan proyek yang dibina Dishub NAD dan Dishub Kota Banda Aceh tahun 2006 dan 2007, telah dilakukan proses partisipatif yang terbatas, artinya para stakeholders diminta memberikan masukan dalam acara pembahasan progres proyek, namun hasilnya tidak selamanya masuk dalam analisis.

(20)

Tabel I.1 Publikasi pendekatan partisipatif dan bahasan penelitian

Publikasi dari:

No. Faktor yang ditinjau 1 2 3 4 5

Peneliti-an ini Pengembangan Konsep 9 1 Type Kajian Pengembangan Aplikasi 9 9 9 9 9 Nasional 9 Provinsi 9 9 Kabupaten/Kota 2 Lingkup Kajian Spesifik 9 9 9 Single moda 9 9 9 9 3 Moda

transportasi Multi moda 9

Regulator 9 9 9 9 9 9 Operator 9 9 9 9 9 9 4 Aktor yang terlibat User 9 9 9 9 9 9 Wawancara/Angket 9 9 9 9 9 5 Metode Partisipatif Workshop/FGD 9 Musyawarah/Rapat 9 9 AHP/AMK 9 9 9 9 6 Metode Analisa

Keputusan Analisis Kualitatif/ Kuantitatif PROMETHEE 9 Keterangan Publikasi: 1. Karsaman (1998) 4. Tanan (2005) 2. Napitupulu (2000) 5. Hadihardjono (2005) 3. Winarso dkk. (2003)

Dalam penelitian ini subjek kajian adalah pendekatan perencanaan dengan objek kajian adalah di hirarki tatrawil, moda transportasi darat dan sub moda jalan raya, serta kajian lebih banyak pada jaringan prasarana. Melihat objek kajian ini untuk sub moda jalan raya, maka pendekatan rasional analitik teknokratik sudah umum digunakan. Kebaruan penelitian ini adalah: di era otonomi daerah, dicoba dimasukkan elemen sosekbud, hingga pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasional analitik demokratik, yang juga dikenal dengan pendekatan

bottom up ataupun pendekatan partisipatif dengan objek kajian adalah sub moda jalan raya dengan cakupan wilayah provinsi.

Pendekatan partisipatif bukanlah hal baru untuk diaplikasikan. Beberapa publikasi internasional telah menguraikan proses partisipatif untuk berbagai kalangan, dan di beberapa wilayah/negara proses partisipatif merupakan suatu tahapan wajib dalam

(21)

perencanaan, pelaksanaan dan operasional infrastruktur yang prosedurnya sudah jelas dan terprogram. Beberapa kajian tersebut seperti yang dapat dilihat pada keterlibatan pemerintah federal, negara bagian, pemerintah lokal sampai publik dalam buku Catanese dan Snyder (1996). Pada kajian yang lain dalam perencanaan Multi-moda Transport System (2008-2035) di Portland, OR., telah dilakukan penjaringan opioni publik untuk dua komponen, yaitu komponen federal selama 30 hari dan komponen negara bagian selama 45 hari.

Beberapa kajian yang lain seperti proses partsisipatif yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam group yang berkontribusi dalam pengembangan wilayah kota di Santiago (http://www.stm.info/transportsej2004). Proses partisipatif dalam pengembangan transportasi juga dibina oleh United Nation Organization dan diaplikasi di beberapa negara. Salah satu negara tersebut adalah India (http://unescap.org).

I.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melihat sasaran diberlakukannya otonomi daerah. Selanjutnya dilakukan perumusan proses/mekanisme perencanaan program sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam suatu wilayah provinsi dalam konteks otonomi daerah tersebut. Dengan sasaran proses perencanaan tersebut harus dapat berlangsung secara partisipatif untuk mendukung akuntabilitas dan transparansi, menghasilkan perencanaan yang mengakomodasi perubahan RTRW, dalam arti dinamis dan menghasilkan program penanganan dalam bentuk skala prioritas/perangkingan.

Sejalan dengan proses bottom up, maka tahap awal yang harus ditentukan adalah aktor yang terlibat, baik sebagai pengambil keputusan maupun sebagai pihak terkait (stakeholders). Selanjutnya untuk mempertimbangkan sifat kemultian transportasi, maka tahapan berikutnya adalah perumusan kriteria perencanaan. Tahapan selanjutnya adalah penetapan model analisis pengambilan keputusannya. Analisis pengambilan keputusan perlu diambil secara yang lebih tepat karena

(22)

berkaitan dengan teknik pengambilan keputusan dengan kondisi yang multi kriteria, multi aktor dalam lingkungan kriteria yang dinamis. Tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian untuk pengembangan metode ini dapat dilihat pada Gambar I.8.

Gambar I.8 Metode penelitian secara garis besar

I.6 Batasan Masalah

Dalam pengembangan metode perencanaan, permasalahan dibatasi hanya pada: a. Sistem transportasi darat khususnya jalan raya, dan kajian ini dibatasi pada

Perencanaan Program Penanganan.

b. Objek studi pada penelitian ini adalah sistem jaringan Jalan Nasional dan Provinsi dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

c. Skenario perencanaan pertama ditetapkan berdasarkan kriteria perencanaan dari pihak pengambil keputusan (TD). Skenario kedua, berdasarkan bobot kriteria gabungan antara pengambil keputusan dan stakeholders (TD – BU).

Perumusan Pengambil Keputusan dan pihak terkait

Perumusan kriteria perencanaan

Survey data sekunder dan primer

Analisis pemodelan transportasi

Simulasi analisis program penanganan dengan proses gabunghan top down -

bottom up (TD-BU) dibandingkan dengan proses secara top down (TD)

Penentuan bobot

(23)

d. Pihak pengambilan keputusan merupakan kelompok pemerintah Provinsi, dalam hal ini yang terlibat sebagai tim teknis dalam perencanaan transportasi di tingkat provinsi, yaitu: Bappeda, Dinas Perhubungan dan Dinas Praswil. e. Kelompok yang diidentifikasi sebagai stakeholders dalam penelitian ini adalah

isntansi/badan pemerintah di tingkat kabupaten/kota, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait.

I.7 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu proses/mekanisme yang dilakukan untuk merumuskan suatu program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam suatu wilayah provinsi yang sesuai dengan esensi berlakunya otonomi daerah dengan mengambil kasus sistem jaringan jalan nasional dan provinsi di wilayah Provinsi NAD.

I.8 Kontribusi Penelitian

Dari aspek sumbangan kepada kazanah keilmuan, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap bagaimana membangun suatu proses perencanaan program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi di era otonomi daerah. Sedangkan dari aspek sumbangan kepada dunia kerekayasaan, penelitian ini menghasilkan suatu rencana program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi khususnya dan dalam perencanaan transportasi pada umumnya..

I.9 Asumsi-asumsi yang digunakan

Ada beberapa asumsi yang ditetapkan dalam melakukan penelitian ini, diataranya: a. Persepsi penentu kebijakan dan stakeholders berkaitan dengan kriteria

perencanaan dianggap tidak berubah selama masa tahun tinjauan perencanaan. b. Stakeholders merupakan lembaga, berupa bagian dari pemerintah

(24)

Tinggi, dan Lembaga Profesi yang berkepentingan dan memahami semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan transportasi.

c. Dalam pemodelan kebutuhan pergerakan, jumlah zona diasumsikan tidak berubah selama dalam tahun tinjauan perencanaan.

d. Jaringan jalan yang ditinjau diasumsikan seluruhnya jenis perkerasan lentur.

I.10 Hipotesis

Perencanaan pemrograman sistem jaringan jalan nasional dan provinsi di era otonomi daerah dengan mengakomodasi kepentingan stakeholders melalui kriteria dan bobot kriteria perencanaan yang menghasilkan prioritas program penanganan diyakini akan menghasilkan suatu program penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi yang sesuai untuk diaplikasikan di era otonomi daerah.

I.11 Sistematika Penulisan Disertasi

Disertasi ini disusun menjadi 5 (lima) bab. Bab satu merupakan bab pendahuluan yang berisikan tentang gambaran umum isi disertasi. Bab ini terdiri dari beberapa bagian, diantaranya adalah: Latar Belakang Permasalahan, Pernyataan Masalah, Perumusan Masalah, Posisi Penelitian, Metodologi Penelitian, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Kontribusi Penelitian, Asumsi-asumsi yang digunakan, Hipotesis, dan Sistematika Penulisan Disertasi.

Bab dua berisi studi kepustakaan. Bab ini berisi tentang konsep perencanaan, kriteria perencanaan, pemodelan transportasi, kapasitas jalan, struktur perkerasan jalan, biaya konstruksi, dan jenis-jenis penanganan jalan. Selanjutnya bab ini juga nenguraikan beberapa metode pengambilan keputusan secara berkelompok.

Bab tiga berisi tentang metode penelitian. Bagian ini menjelaskan tahapan yang dilalui dalam penelitian ini, diantaranya adalah penjelasan umum mengenai tahapan pelaksanaan penelitian, kebutuhan data, pihak yang terlibat dan metode pengambilan keputusan, teknik pemodelan transportasi dan evaluasi fisik ruas jalan.

(25)

Bab empat berisi tentang proses analisis data, hasil analisis dan pembahasan. Analisis data bagian pertama adalah penentuan stakeholders, penentuan kriteria, penentuan bobot kriteria, dan rumusan skoring untuk masing-masing kriteria. Selanjutnya adalah analisis prediksi kebutuhan transportasi dengan menggunakan pemodelan transportasi, kinerja jaringan dan diikuti dengan proses simulasi analisis pemrograman sistem jaringan jalan.

Bab lima sebagai penutup, berisi beberapa poin kesimpulan yang dapat disarikan, kontribusi, kekurangan, dan saran-saran tentang keberlanjutan dari penelitian ini untuk dapat diteruskan pada penelitian berikutnya.

Sebagai kelengkapan dari disertasi ini, di bagian akhir dari disertasi disertakan juga lampiran-lampiran sebagai penunjang dari isi buku. Lampiran berisi: kuesioner, hasil analisis data dan daftar riwayat hidup penulis.

Gambar

Gambar I.1  Pendekatan Top Down dan Bottom Up dalam Proses Perencanaan
Gambar I.2   Konteks Penyusunan Rencana Sistem Jaringan Jalan dalam wilayah
Gambar I.3 Kerangka Berpikir Pemecahan Masalah
Gambar I.4  Keterkaitan antara Sistem Transportasi dan Tata Ruang
+6

Referensi

Dokumen terkait

Setelah itu teller akan memanggil dan nasabah akan memberikan sejumlah uang dan buku tabungan untuk meminta pencetakan transaksi setor tunai ke bank..

(3) kedisiplinan belajar santri berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan menghafal al- Qur’an santri pondok pesantren Al-Aziz Lasem Rembang, hal ini terbukti

anita usia subur - cakupan yang tinggi untuk semua kelompok sasaran sulit dicapai ;aksinasi rnasai bnntuk - cukup potensial menghambat h-ansmisi - rnenyisakan kelompok

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang