• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. SYDNA FARMA

JL. RC. VETERAN NO. 89 BINTARO, JAKARTA SELATAN PERIODE 1 APRIL – 3 JUNI 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

KARTIKA WIDYANTY, S.Farm.

1206313261

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

JUNI 2013

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. SYDNA FARMA

JL. RC. VETERAN NO. 89 BINTARO, JAKARTA SELATAN PERIODE 1 APRIL - 3 JUNI 2013

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker

KARTIKA WIDYANTY, S.Farm.

1206313261

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

JUNI 2013

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktek Kerja Profesi ini diajukan oleh : Nama : Kartika Widyanty, S. Farm.

NPM : 1206313261

Program Studi : Apoteker – Fakultas Farmasi UI

Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Sydna Farma Jalan RC. Veteran Nomor 89 Bintaro, Jakarta Selatan Periode 1 April – 3 Juni 2013

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dra. Nony Shilviani, Apt. ( ... )

Pembimbing II : Dr. Iskandarsyah, M.S., Apt. (... )

Penguji I : ... (... )

Penguji II : ... (... )

Penguji III : ... (... )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal :

(4)

Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker dan penyusunan laporan ini tepat waktu. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Dalam ruang yang terbatas ini, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI.

2. Bapak Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI.

3. Ibu Dra. Nony Shilviani, Apt. selaku Manajer Pabrik PT. Sydna Farma yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan PKPA di PT. Sydna Farma, serta selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, pelatihan, ilmu dan saran kepada penulis selama peyusunan laporan PKPA.

4. Bapak Dr. Iskandarsyah, M.S., Apt. selaku pembimbing dari Fakultas Farmasi yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat yang begitu bermanfaat kepada penulis selama peyusunan laporan PKPA.

5. Ibu Arzuliana Zulkati, S.Si., Apt. selaku Manajer Mutu PT. Sydna Farma yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, ilmu dan saran kepada penulis selama peyusunan laporan PKPA.

6. Bapak Wisnu Hercahya, S.Si., Apt. selaku Asisten Manajer R & D PT. Sydna Farma yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, ilmu dan saran kepada penulis selama peyusunan laporan PKPA

7. Seluruh Manajer, Supervisor, dan staff PT. Sydna Farma yang telah membantu dalam pelaksanaan praktek kerja profesi dan penyusunan laporan ini.

8. Seluruh dosen dan staf tata usaha Fakultas Farmasi UI atas ilmu dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Program Profesi Apoteker.

9. Keluarga tercinta yang telah memberikan bantuan moril dan materil dan atas

kesabarannya, kasih sayang, dukungan, perhatian dan doa untuk

(5)

menyelesaikan pendidikan profesi Apoteker dengan sebaik mungkin.

10. Rekan-rekan PKPA di PT. Sydna Farma yang telah berbagi ilmu, pengalaman dan juga menghibur selama pelaksanaan PKPA.

11. Seluruh sahabat dan teman Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi UI selaku teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan dan semangat.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Tak ada yang penulis harapkan selain sebuah keinginan agar laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Penulis

2013

(6)

vi

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB 2. TINJAUAN UMUM ... 3

2.1 Industri Farmasi ... 3

2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) ... 6

BAB 3. TINJAUAN KHUSUS ... 24

3.1 Profil PT. Sydna Farma ... 24

3.2 Lokasi dan Sarana Produksi ... 24

3.3 Visi dan Misi ... 26

3.4 Nilai Utama PT. Sydna Fama ... 26

3.5 Organisasi dan Tata Kerja... 27

3.6 Produk PT. Sydna Farma... 46

BAB 4. PEMBAHASAN ... 47

4.1 Penerapan CPOB di Industri ... 47

4.2 Manajemen Mutu... 47

4.3 Personalia ... 48

4.4 Bangunan dan Fasilitas ... 49

4.5 Peralatan ... 56

4.6 Sanitasi dan Higiene ... 57

4.7 Produksi ... 59

4.8 Pengawasan Mutu... 60

4.9 Inspeksi Diri dan Audit Mutu... 61

4.10 Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian... 62

4.11 Dokumentasi ... 62

4.12 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak ... 63

4.13 Kualifikasi dan Validasi... 64

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR ACUAN... 66

vii

Universitas Indonesia

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Sistem Tata Udara ... 68

Gambar 4.2 Proses Pengolahan Air Keran Menjadi Air Demineralisata ... 69

Gambar 4.3 Proses Pengolahan Aquademineralisata Menjadi WFI ... 70

Gambar 4.4 Sistem Pengolahan Limbah Cair di PT. Sydna Farma ... 71

viii

Universitas Indonesia

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Bagan Struktur Organisasi Pabrik PT. Sydna Farma ... 73 Lampiran 2. Bagan Struktur Organisasi Departemen Pengadaan PT. Sydna

Farma ... 74 Lampiran 3. Bagan Struktur Organisasi Departemen Produksi PT. Sydna

Farma ... 75 Lampiran 4. Bagan Struktur Organisasi Departemen Mutu PT. Sydna

Farma ... 76 Lampiran 5. Bagan Struktur Organisasi Departemen Teknik Servis

dan Kesehatan Keselamatan Lingkungan PT. Sydna Farma ... 77

ix

Universitas Indonesia

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri farmasi merupakan salah satu industri yang dikontrol dan diawasi dengan ketat oleh pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Pengontrolan tersebut ditinjau dari segi perizinan, produksi, peredaran, maupun kualitas obat yang diedarkan. Hal tersebut dilakukan agar industri farmasi menghasilkan produk yang memenuhi syarat mutu sehingga terwujud kesehatan nasional.

Penerapan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh industri farmasi untuk meningkatkan kualitas obat yang diproduksinya. CPOB adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Melalui pedoman CPOB semua aspek yang berhubungan dengan produksi dan pengendalian mutu obat diperhatikan dan ditentukan sedemikian rupa sehingga tujuannya tercapai. Menurut CPOB, tidaklah cukup bila obat jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut (BPOM,2012). CPOB menyangkut berbagai aspek mulai dari manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higienis, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu dan audit dan persetujuan pemasok, penanganan keluhan terhadap obat dan penarikan kembali obat serta obat kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

Seorang apoteker di industri farmasi mempunyai peranan dan tanggung jawab penting untuk menerapkan aspek-aspek yang tercantum dalam CPOB tersebut, antara lain sebagai penanggung jawab produksi, penanggung jawab pengawasan dan pemastian mutu. Untuk mencapai peran dan tanggung jawab tersebut, apoteker dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Namun, pemahaman melalui teori yang didapat dari perkuliahan saja masih kurang mencukupi, maka calon apoteker perlu dibekali dengan

1

Universitas Indonesia

(11)

2

pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif antara teori dengan prakteknya secara langsung.

Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI bekerja sama dengan PT.

Sydna Farma dalam menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi para calon apoteker guna memberikan pembekalan, pengetahuan, pemahaman dan gambaran singkat peran dan tanggung jawab Apoteker di industri farmasi. Pelaksanaan praktek kerja berlangsung dari tanggal 1 April–31 Mei 2013. Dengan adanya praktek kerja ini diharapkan mahasiswa calon Apoteker dapat mengambil manfaat dan ilmu sebanyak mungkin agar nantinya dapat diterapkan secara nyata di dunia kerja.

1.2 Tujuan

Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker Universitas Indonesia di industri farmasi PT. Sydna Farma adalah:

a. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang segala aspek industri farmasi yang berhubungan dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

b. Melihat secara langsung proses produksi obat serta penerapan CPOB di PT.

Sydna Farma.

c. Mengetahui dan memahami tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker di dalam industri farmasi yang diharapkan dapat menjadi bekal untuk menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya

Universitas Indonesia

(12)

BAB 2

TINJAUAN UMUM

2.1 Industri Farmasi

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1799/Menkes /Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Definisi dari obat jadi menurut Surat Kepmenkes No. 245/MenKes/SK/V/1990 adalah sediaan atau paduan bahan- bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, sedangkan yang dimaksud dengan bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan farmasi. Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi. Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan/atau bahan obat untuk semua tahapan dan/atau sebagian tahapan. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

2.1.1 Persyaratan usaha industri farmasi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)

Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi.

Usaha industri farmasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

b. Industri farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi, antara lain:

3

Universitas Indonesia

(13)

a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.

b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.

c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu.

e. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

2.1.2 Izin usaha i ndustri farmasi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)

Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip yang berlaku selama 3 (tiga) tahun. Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Dalam hal permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh industri Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pemohon harus memperoleh surat persetujuan penanaman modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala BPOM. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan dan instalasi peralatan termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan perundang- undangan.

Setiap pendirian industri farmasi wajib memenuhi ketentuan sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dan lingkungan

hidup. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan

dengan sertifikat CPOB. Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun

sepanjang memenuhi persyaratan. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara

sertifikasi CPOB diatur oleh Kepala BPOM. Selain wajib memenuhi ketentuan

yang telah disebutkan, industri farmasi juga wajib melakukan pharmacovigilance.

(14)

Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan rekomendasi dari Kepala BPOM. Izin ini berlaku seterusnya selama perusahaan industri farmasi tersebut berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap pemenuhan persyaratan CPOB, baik untuk perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi wajib melapor dan mendapat persetujuan sesuai ketentuan perundang-undangan. Untuk industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan peraturan pelaksanaannya.

Perusahaan industri farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri wajib:

a. Menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan usahanya, yaitu sekali dalam enam bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan serta sekali dalam satu tahun.

b. Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri farmasi yang dilakukannya.

c. Melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, bahan baku dan bahan penolong, proses serta hasil produksinya termasuk pengangkutannya dan keselamatan kerja.

d. Melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang berlaku bagi jenis-jenis industri yang telah ditetapkan dan kewajiban untuk melakukannya setelah memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi.

2.1.3 Pelanggaran industri farmasi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)

Pelanggaran terhadap ketentuan yang tercantum dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi dapat dikenakan sanksi administratif berupa:

a. Peringatan secara tertulis (diberikan oleh Kepala BPOM).

b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk

(15)

penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat, atau mutu (diberikan oleh Kepala BPOM).

c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat atau mutu (diberikan oleh Kepala BPOM).

d. Penghentian sementara kegiatan (diberikan oleh Kepala BPOM).

e. Pembekuan izin industri farmasi (diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan atas rekomendasi Kepala BPOM).

f. Pencabutan izin industri farmasi (diberikan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan atas rekomendasi Kepala BPOM).

2.1.4 Pencabutan izin usaha industri farmasi

Izin Usaha Industri Farmasi dapat dicabut dalam hal:

a. Perusahaan Industri Farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri Farmasi melakukan pemindahtanganan hak milik Izin Usaha Industri Farmasi dan perluasan tanpa memiliki izin sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan ini.

b. Perusahaan Industri Farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri Farmasi tidak menyampaikan informasi industri farmasi secara berturut-turut 3 (tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar.

c. Perusahaan Industri Farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri Farmasi melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari menteri.

d. Perusahaan Industri Farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri Farmasi dengan sengaja memproduksi Obat Jadi atau Bahan Baku Obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, obat palsu.

e. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Izin Usaha Industri Farmasi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan.

2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

2.2.1 Ketentuan umum (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Secara Prinsip, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk

(16)

menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.

Pada pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat esensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi.

Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa, atau memulihkan atau memelihara kesehatan. Suatu produk tidak hanya lulus dari serangkaian pengujian tapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk dalam produk tersebut. Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan pengemas, proses produksi dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai dan personil yang terlibat.

Tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut. Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan pengemas, proses produksi, dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai dan personil yang terlibat. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk digunakan oleh industri farmasi sebagai dasar pengembangan aturan internal sesuai kebutuhan. Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat. CPOB merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya, bila perlu dapat dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah ditentukan tetap tercapai. CPOB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk. CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan Mutu. Persyaratan dasar dari CPOB adalah:

a. Semua proses pembuatan obat dijabarkan dengan jelas, dikaji secara

sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara konsisten

menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan mutu dan spesifikasi yang

telah ditetapkan.

(17)

b. Tahap proses yang kritis dalam pembuatan, pengawasan proses dan sarana penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi.Tersedia semua sarana yang diperlukan dalam CPOB termasuk: personil yang terkualifikasi dan terlatih, bangunan dan sarana dengan luas yang memadai, peralatan dan sarana penunjang yang sesuai, bahan, wadah dan label yang benar, prosedur dan instruksi yang disetujui, tempat penyimpanan dan transpor-tasi yang memadai.

c. Prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana yang tersedia.

d. Operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar.

e. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan dalam prosedur dan instruksi yang ditetapkan benar-benar dilaksanakan dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.

Tiap penyimpangan dicatat secara lengkap dan diinvestigasi.

f. Catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran riwayat bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif dan dalam bentuk yang mudah diakses.

g. Penyimpanan dan distribusi obat yang dapat memperkecil risiko terhadap mutu obat.

h. Tersedia sistem penarikan kembali bets obat manapun dari peredaran.

i. Keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu diinvestigasi serta dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencegahan pengulangan kembali keluhan.

2.2.2 Manajemen mutu (Quality Management) (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan

tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen

izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan

penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen

bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”,

(18)

yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor.

Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Unsur dasar manajemen mutu adalah:

a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya.

b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.

Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan ketersediaan personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Tambahan tanggung jawab legal hendaklah diberikan kepada kepala Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

2.2.3 Personalia (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu, industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat.

Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenal higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Industri farmasi hendaknya memiliki personil yang terkualifikasi dan berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai. Tiap personil hendaklah tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan untuk menghindarkan risiko terhadap mutu obat. Industri farmasi juga harus memiliki struktur organisasi.

Tugas spesifik dan kewenangan dari personil pada posisi penanggung jawab

(19)

hendaklah dicantumkan dalam uraian tugas tertulis. Hendaklah aspek penerapan CPOB tidak ada yang terlewatkan ataupun tumpang tindih dalam tanggung jawab yang tercantum dalam uraian tugas.

Personil kunci mencakup kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu dan kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu). Posisi utama tersebut dijabat oleh personil purnawaktu. Kepala bagian produksi dan kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu)/kepala bagian pengawasan mutu harus independen satu terhadap yang lain.

Industri farmasi hendaklah memberikan pelatihan bagi seluruh personil yang karena tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan), dan bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk.

Disamping pelatihan dasar dalam teori dan praktek CPOB, personil baru hendaklah mendapat pelatihan sesuai dengan tugas yang diberikan. Pelatihan berkesinambungan hendaklah juga diberikan, dan efektivitas penerapannya hendaklah dinilai secara berkala. Hendaklah tersedia program pelatihan yang disetujui kepala bagian masing-masing dan catatan pelatihan hendaklah disimpan.

2.2.4 Bangunan dan fasilitas (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadinya kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, dan memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat.

Adapun syarat-syarat bangunan dan fasilitas menurut CPOB adalah sebagai berikut:

a. Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya

pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, seperti pencemaran dari udara,

tanah dan air serta dari kegiatan industri lain yang berdekatan.

(20)

b. Bangunan dan fasilitas hendaklah didesain, dikonstruksi, dilengkapi dan dirawat sedemikian agar memperoleh perlindungan maksimal terhadap pengaruh cuaca, banjir, rembesan dari tanah serta masuk dan bersarangnya serangga, burung, binatang pengerat, kutu atau hewan lain.

c. Desain dan tata letak ruang hendaklah memastikan kompatibilitas dengan kegiatan produksi lain yang mungkin dilakukan di dalam sarana yang sama atau sarana yang berdampingan dan pencegahan area produksi dimanfaatkan sebagai jalur lalu lintas bagi personil dan bahan atau produk, atau sebagai tempat penyimpanan bahan atau produk selain yang sedang diproses.

d. Tata letak ruang produksi sebaiknya dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan kegiatan produksi dilakukan di area yang saling berhubungan antara satu ruangan dengan ruangan lain mengikuti urutan tahap produksi dan menurut kelas kebersihan yang dipersyaratkan; luasnya area kerja dan area penyimpanan bahan atau produk yang sedang dalam proses hendaklah memadai untuk memungkinkan penempatan peralatan dan bahan secara teratur dan sesuai dengan alur proses, sehingga dapat memperkecil risiko terjadi kekeliruan antara produk obat atau komponen obat yang berbeda, mencegah pencemaran silang dan memperkecil risiko terlewat atau salah melaksanakan tahapan proses produksi atau pengawasan.

e. Daerah pengolahan produk steril dipisahkan dari daerah produksi lain serta dirancang dan dibangun secara khusus.

f. Obat yang mengandung golongan penisilin dan sefalosporin diproduksi dalam suatu bangunan yang terpisah dilengkapi peralatan pengendali udara.

g. Permukaan dinding, lantai dan langit-langit bagian dalam ruangan di mana terdapat bahan baku dan bahan pengemas primer, produk antara atau produk ruahan yang terpapar ke lingkungan hendaklah halus, bebas retak dan sambungan yang terbuka, tidak melepaskan partikulat, serta memungkinkan pelaksanaan pembersihan (bila perlu disinfeksi) yang mudah dan efektif.

h. Saluran pembuangan air hendaklah cukup besar dan dilengkapi bak kontrol untuk mencegah alir balik.

i. Area produksi hendaklah mendapat penerangan yang memadai, terutama di

(21)

mana pengawasan visual dilakukan pada saat proses berjalan . 2.2.5 Peralatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorpsi yang dapat memengaruhi identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan.

Peralatan manufaktur hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan, serta tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk. Pemasangan dan penempatan peralatan diatur sedemikian rupa sehingga proses produksi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Peralatan hendaklah dirawat menurut jadwal yang tepat supaya tetap berfungsi dengan baik dan mencegah terjadinya pencemaran yang dapat mengubah identitas, mutu atau kemurnian produk. Peralatan yang rusak harus dikeluarkan dari area produksi dan pengawasan mutu, atau setidaknya diberi penandaan yang jelas.

2.2.6 Sanitasi dan higiene (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2006)

Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber kontaminasi produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu.

Pembersihan mesin dapat mencegah adanya kontaminasi terhadap produk.

Tiap kali sebelum dipakai, kebersihan peralatan diperiksa untuk memastikan

bahwa semua produk atau bahan dari bets sebelumnya telah dihilangkan. Metode

pembersihan dengan cara vakum atau cara basah lebih dianjurkan. Penggunaan

udara bertekanan dan sikat sedapat mungkin dihindari karena dapat menambah

resiko pencemaran produk. Pembersihan dan sanitasi peralatan serta wadah

(22)

yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah tercakup dalam suatu prosedur tertulis yang cukup rinci.

Penerapan higiene perorangan meliputi pemeriksaan kesehatan, menjaga kebersihan diri, memakai alat pelindung diri dengan baik, menjaga kesehatan dan beberapa peraturan lain di area produksi. Semua personil hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan pada saat direkrut. Selain itu, hendaklah dilakukan juga pemeriksaan kesehatan kerja dan kesehatan personil secara berkala.

2.2.7 Produksi (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar. Produksi obat membutuhkan sarana gedung produksi, pengemasan, penyimpanan; material yang memenuhi persyaratan, peralatan yang terkualifikasi dan terkalibrasi; personalia yang terlatih dan berkualitas; proses produksi yang tervalidasi dan dokumen produksi yang sah yang dapat ditelusuri. Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa.

terhadap produk akhir melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi personalia, bangunan, peralatan kebersihan, dan higienis sampai dengan pengemasan.

Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.

Prosedur produksi dibuat oleh penanggung jawab produksi bersama dengan penanggung jawab pengawasan mutu yang dapat menjamin obat yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Prosedur kerja standar hendaklah tertulis, mudah dipahami dan dipatuhi oleh karyawan produksi, serta didokumentasikan. Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas.

2.2.8 Pengawasan mutu (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Pengawasan mutu merupakan bagian yang penting dari CPOB untuk

memastikan bahwa produk yang dibuat senantiasa konsisten dan mempunyai

(23)

mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi. Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analisis yang dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual,sampai mutunya telah dibuktikan memenuhi persyaratan.Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk.

Tiap personil yang bertugas melakukan kegiatan laboratorium hendaklah memiliki pendidikan, mendapat pelatihan dan pengalaman yang sesuai untuk memungkinkan pelaksanaan tugas dengan baik. Personil hendaklah memakai pakaian pelindung dan alat pengaman seperti masker, kacamata pelindung, dan sarung tangan tahan asam atau basa sesuai tugas yang dilaksanakan. Peralatan, instrumen dan perangkat lunak terkait hendaklah dikualifikasi atau divalidasi, dirawat dan dikalibrasi dalam selang waktu yang telah ditetapkan dan dokumentasinya disimpan. Prosedur pengujian hendaklah divalidasi dengan memperhatikan fasilitas dan peralatan yang ada sebelum prosedur tersebut digunakan dalam pengujian rutin.

Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan yang digunakan dalam produksi dan produk yang disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang diperlukan.

Personil, bangunan dan fasilitas, serta peralatan laboratorium hendaklah sesuai untuk segala jenis tugas yang ditentukan dan skala kegiatan pembuatan obat.

2.2.9 Inspeksi diri dan audit utu

Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek

produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi kriteria CPOB (Badan

(24)

Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara obyektif (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012). Inspeksi diri dilakukan oleh suatu tim, yang terdiri dari tiga anggota yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan memahami CPOB serta bersifat independen dalam melakukan inspeksi (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2006). Anggota tim hendaklah dipilih dari bagian-bagian produksi, pengawasan mutu, pemastian mutu, penelitian dan pengembangan dan teknik (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).

Dalam memperoleh standar inspeksi diri hendaklah dibuat daftar periksa selengkap mungkin sebagai rujukan untuk tim inspeksi diri dalam melaksanakan tugasnnya. Daftar periksa ini hendaklah diperbaharui secara berkala agar selalu mengikuti dan meliputi perubahan, peraturan pemerintah dan kebijakan perusahaan (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).

Dengan melakukan inspeksi diri dapat diketahui kekurangan atas pemenuhan CPOB, baik yang kritis, yang berdampak besar maupun yang berdampak kecil. Penilaian terhadap kekurangan tersebut dapat dikategorikan berdasarkan tingkat kekritisannya, antara lain (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009):

a. Kritis (C) yaitu kekurangan yang mempengaruhi mutu obat dan dapat mengakibatkan reaksi fatal terhadap kesehatan konsumen sampai kematian.

b. Berdampak besar (M) yaitu kekurangan yang mempengaruhi mutu obat tetapi tidak berdampak fatal terhadap kesehatan konsumen.

c. Berdampak kecil (m) yaitu kekurangan yang kecil pengaruhnya terhadap mutu obat dan tidak berdampak terhadap kesehatan konsumen.

Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan.

Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri.

(25)

Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkannya. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau suatu tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. Audit mutu juga dapat diperluas terhadap pemasok dan penerima kontrak (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

2.2.10 Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian

Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

Keluhan atau informasi yang bersumber dari dalam industri antara lain dapat dari bagian produksi, bagian pengawasan mutu, bagian gudang dan bagian pemasaran, sementara dari luar industri antara lain dapat berasal dari pasien, dokter, paramedis, klinik, rumah sakit, apotek, distributor dan Otoritas Pengawasan Obat (OPO) (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).

Penanganan keluhan dan laporan suatu produk termasuk hasil evaluasi dari penyelidikan serta tindak lanjut yang dilakukan hendaklah dicatat dan dilaporkan kepada manajemen atau bagian yang terkait. Catatan keluhan hendaklah dikaji secara berkala untuk mengidentifikasi hal yang spesifik atau masalah yang berulang terjadi, yang memerlukan perhatian dan kemungkinan penarikan kembali produk dari peredaran. Badan POM hendaklah diberitahukan apabila industri farmasi mempertimbangkan tindakan yang terkait dengan kemungkinan kesalahan pembuatan, kerusakan produk, pemalsuan atau segala hal lain yang serius mengenai mutu produk (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan dari satu atau

beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari rantai distribusi karena

keputusan bahwa produk tidak layak lagi untuk diedarkan. Keputusan ini dapat

bersumber dari OPO atau dari industri (Badan Pengawas Obat dan Makanan,

(26)

2009). Penarikan kembali produk dilakukan oleh personil yang bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan penarikan kembali produk dan hendaklah ditunjang oleh staf yang memadai untuk menangani semua aspek penarikan kembali sesuai dengan tingkat urgensinya. Personil tersebut hendaklah independen terhadap bagian penjualan dan pemasaran (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012).

Produk kembalian adalah obat jadi yang telah keluar dari industri atau beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri karena kerusakan, daluarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang dapat menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, keamanan obat serta kesalahan administratif yang menyangkut jumlah dan jenis (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).

Industri farmasi hendaklah menyiapkan prosedur untuk penahanan, penyelidikan dan pengujian produk kembalian serta pengambilan keputusan apakah produk kembalian dapat diproses ulang atau dimusnahkan setelah dilakukan evaluasi secara kritis. Penanganan produk kembalian dan tindak lanjutnya hendaklah didokumentasikan dan dilaporkan. Berdasarkan hasil evaluasi, produk kembalian dapat dikategorikan sebagai berikut (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2006):

a. Produk kembalian yang masih memenuhi spesifikasi dan karena itu dapat dikembalikan ke dalam persediaan.

b. Produk kembalian yang dapat diproses ulang.

c. Produk kembalian yang tidak memenuhi spesifikasi dan tidak dapat diproses ulang.

Produk kembalian yang tidak dapat diolah ulang hendaklah dimusnahkan.

Prosedur pemusnahan bahan atau pemusnahan produk yang ditolak mencakup tindakan pencegahan terhadap pencemaran lingkungan dan penyalahgunaan bahan atau produk oleh orang yang tidak mempunyai wewenang. Pemusnahan produk harus didokumentasikan.

2.2.11 Dokumentasi (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012)

Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu.

Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap

(27)

personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk atau Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting.

Dokumen hendaknya didesain, disiapkan, dikaji dan didistribusikan dengan cermat kemudian ditandatangani dan diberi tanggal oleh personil yang sesuai dan diberi wewenang. Dokumen yang diperlukan antara lain:

a. Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi produk atau bahan yang digunakan atau diperoleh selama pembuatan. Dokumen ini merupakan dasar untuk mengevaluasi mutu. Hendaklah tersedia spesifikasi bahan awal, spesifikasi bahan pengemas, spesifikasi produk antara dan produk ruahan, serta spesifikasi produk jadi.

b. Dokumen Produksi Induk, Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur Pengemasan Induk (Formula Pembuatan, Instruksi Pengolahan dan Instruksi Pengemasan) menyatakan seluruh bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan serta menguraikan semua operasi pengolahan dan pengemasan.

c. Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sampel, pengujian, dan pengoperasian peralatan.

d. Catatan menyajikan catatan pengolahan dan pengemasan bets.

e. Prosedur dan catatan meliputi penerimaan, pengambilan sampel dan pengujian.

Spesifikasi bahan awal dan bahan pengemas mencakup deskripsi bahan,

petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan, persyaratan

kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan, kondisi penyimpanan dan

tindakan pengamanan, serta batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan

pengujian kembali. Spesifikasi produk antara dan produk ruahan hendaklah

tersedia apabila produk tersebut dibeli atau dikirim, atau apabila data dari produk

antara digunakan untuk mengevaluasi produk jadi. Spesifikasi produk antara

dan produk ruahan hendaklah mirip dengan spesifikasi bahan awal atau produk

jadi sesuai keperluan. Spesifikasi produk jadi mencakup nama produk yang

(28)

ditentukan dan kode produk, formula atau komposisi atau rujukan, deskripsi bentuk sediaan dan uraian mengenai kemasan, termasuk ukuran kemasan, petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan, persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan, kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan khusus, serta masa edar atau simpan. Dokumen produksi terdiri dari:

a. Dokumen Produksi Induk y a n g berisi formula produksi dari suatu produk dalam bentuk sediaan dan kekuatan tertentu, tidak tergantung dari ukuran bets.

b. Prosedur Produksi Induk terdiri dari Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur Pengemasan Induk yang masing-masing berisi prosedur pengolahan dan prosedur pengemasan yang rinci untuk suatu produk dengan bentuk sediaan, kekuatan dan ukuran bets spesifik. Prosedur Produksi Induk dipersyaratkan divalidasi sebelum mendapat pengesahan untuk digunakan.

c. Catatan Produksi Bets terdiri dari Catatan Pengolahan Bets dan Catatan Pengemasan Bets, yang berisi semua data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan produksi dari suatu bets produk.

Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya

pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sampel,

pengujian dan pengoperasian peralatan, sedangkan catatan menyajikan riwayat

tiap bets produk, termasuk distribusinya dan semua keadaan relevan yang

berpengaruh pada mutu produk akhir. Prosedur dan catatan mencakup

penerimaan, pengambilan sampel, pengujian dan lain-lain. Menurut CPOB,

hendaklah tersedia prosedur tertulis dan catatan penerimaan untuk tiap pengiriman

tiap bahan awal, bahan pengemas primer dan bahan pengemas cetak. Selain itu,

hendaklah tersedia prosedur tertulis untuk pengambilan sampel yang mencakup

personil yang diberi wewenang mengambil sampel, metode dan alat yang harus

digunakan, jumlah yang harus diambil dan segala tindakan pengamanan yang

harus diperhatikan untuk menghindarkan kontaminasi terhadap bahan atau segala

penurunan mutu. Pengujian bahan dan produk yang diperoleh dari tiap tahap

produksi juga memerlukan prosedur tertulis yang menguraikan metode dan alat

yang harus digunakan dalam pengujian.

(29)

2.2.12 Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak (Badan Pengawas Obat dan makanan, 2012)

Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.

Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima kontrak harus dibuat secara jelas dalam hal tanggung jawab dan kewajiban masing- masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

Pemberi Kontrak bertanggung jawab untuk menilai kompetensi Penerima Kontrak dalam melaksanakan pekerjaan atau pengujian yang diperlukan dan memastikan bahwa prinsip dan pedoman CPOB diikuti. Pemberi Kontrak hendaklah menyediakan semua informasi yang diperlukan kepada Penerima Kontrak untuk melaksanakan pekerjaan kontrak secara benar sesuai izin edar dan persyaratan legal lain. Pemberi Kontrak hendaklah memasti-kan bahwa semua produk yang diproses dan bahan yang dikirimkan oleh Penerima Kontrak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan atau produk telah diluluskan oleh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

Penerima Kontrak harus mempunyai gedung dan peralatan yang cukup, pengetahuan dan pengalaman, dan personil yang kompeten untuk melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Pemberi Kontrak dengan memuaskan. Pembuatan obat berdasarkan kontrak hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB yang diterbitkan oleh Badan POM. Penerima Kontrak hendaklah memastikan bahwa semua produk dan bahan yang diterima sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Kontrak hendaknya dibuat antara pemberi kontrak dan penerima kontrak

dengan menetapkan masing-masing pihak yang berhubungan dengan produksi dan

pengendalian mutu produk. Aspek teknis dari kontrak hendaklah dibuat oleh

personil yang kompeten dan memiliki pengetahuan di bidang teknologi farmasi,

analisis dan CPOB.

(30)

2.2.13 Kualifikasi dan validasi (Badan Pengawas Obat dan makanan, 2012)

CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi.

Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. RIV hendaklah mencakup sekurang-kurangnya data sebagai berikut: kebijakan validasi; struktur organisasi kegiatan validasi;

ringkasan fasilitas, sistem, peralatan dan proses yang akan divalidasi; format dokumen: format protokol dan laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan; pengendalian perubahan; dan acuan dokumen yang digunakan.

Protokol validasi hendaklah merinci langkah kritis dan kriteria penerimaan. Laporan harus dibuat mengacu pada protokol kualifikasi dan/atau protokol validasi dan memuat ringkasan hasil yang diperoleh, tanggapan terhadap penyimpangan yang terjadi, kesimpulan dan rekomendasi perbaikan. Tiap perubahan terhadap rencana yang ditetapkan dalam protokol hendaklah didokumentasikan dengan pertimbangan yang sesuai.

Kualifikasi terdiri dari:

a. Kualifikasi Desain

Kualifikasi desain adalah unsur pertama dalam melakukan validasi terhadap fasilitas, sistem atau peralatan baru.

b. Kualifikasi Instalasi

Kualifikasi Instalasi (KI) hendaklah dilakukan terhadap fasilitas, sistem dan

peralatan baru atau yang dimodifikasi. KI hendaklah mencakup, tapi tidak

terbatas pada hal berikut: instalasi peralatan, pipa dan sarana penunjang dan

instrumentasi hendaklah sesuai dengan spesifikasi dan gambar teknik yang

didesain; pengumpulan dan penyusunan dokumen pengoperasian dan

perawatan peralatan dari pemasok; ketentuan dan persyaratan kalibrasi; dan

verifikasi bahan konstruksi.

(31)

c. Kualifikasi Operasional

Kualifikasi operasional hendaklah dilakukan setelah kualifikasi instalasi selesai dilaksanakan, dikaji dan disetujui. Kualifikasi operasional hendaknya mencakup, tapi tidak terbatas pada hal berikut: pengujian yang perlu dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang proses, sistem dan peralatan; dan pengujian yang meliputi satu atau beberapa kondisi yang mencakup batas operasional atas dan bawah, yang dikenal sebagai worst case (kondisi terburuk).

d. Kualifikasi Kinerja

Pengujian yang menggunakan bahan baku, bahan pengganti yang memenuhi spesifikasi atau produk simulasi yang dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang proses, fasilitas, sistem dan peralatan dan uji yang meliputi satu atau beberapa kondisi yang mencakup batas operasional atas dan bawah.

e. Kualifikasi Fasilitas, Peralatan dan Sistem Terpasang yang telah Operasional.

Hendaklah tersedia bukti untuk mendukung dan memverifikasi parameter operasional dan batas variabel kritis pengoperasian alat kesehatan. Selain itu, kalibrasi, prosedur pengoperasian, pembersihan, perawatan preventif serta prosedur dan catatan pelatihan operator hendaklah didokumentasikan.

Validasi terdiri dari:

a. Validasi Proses

Pada umumnya kegiatan validasi proses dilakukan sebelum produk dipasarkan (validasi prospektif). Dalam hal tertentu, jika hal di atas tidak memungkinkan, validasi dapat juga dilakukan selama proses produksi rutin dilakukan (konkuren). Proses yang sudah berjalan, hendaknya juga divalidasi (validasi retrospektif)

b. Validasi Pembersihan

Validasi pembersihan biasanya dilakukan hanya untuk permukaan alat yang

bersentuhan dengan produk. Interval waktu antara penggunaan alat dan

pembersihan hendaklah divalidasi demikian juga antara pembersihan dan

penggunaan kembali. Validasi prosedur pembersihan hendaklah dilakukan

dengan melaksanakan prosedur tiga kali berurutan dengan hasil yang

memenuhi syarat untuk membuktikan bahwa metode tersebut telah tervalidasi.

(32)

c. Validasi Ulang

Fasilitas, sistem, peralatan dan proses termasuk proses pembersihan hendaklah dievaluasi secara berkala untuk konfirmasi keabsahannya. Jika tidak ada perubahan yang signifikan terhadap status validasi, peninjauan dengan bukti bahwa fasilitas, sistem, peralatan dan proses memenuhi persyaratan yang ditetapkan akan kebutuhan revalidasi

d. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis dilakukan untuk mengetahui bahwa metode analisis

sesuai dengan tujuan penggunaannya. Validasi metode analisis umumnya

dilakukan pada uji identifikasi, uji kuantitatif kandungan impuritas (impurity),

uji batas impuritas dan uji kuantitatif zat aktif dalam sampel bahan aktif obat

atau obat atau komponen tertentu dalam obat.

(33)

BAB 3

TINJAUAN KHUSUS PT. SYDNA FARMA

3.1 Profil PT. Sydna Farma

PT. Sydna Farma merupakan perusahaan industri farmasi yang bergerak dalam produksi obat jadi. PT. Sydna Farma mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2007 setelah beralih kepemilikan dari PT. Organon Indonesia kepada PT.

United Dico Citas pada akhir Desember 2006. Status kepemilikan perusahaaan berubah dari Penanaman Modal Asing (PMA) atas nama PT. Organon Indonesia menjadi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

PT. Sydna Farma sebagai industri farmasi telah memiliki sertifikat CPOB untuk beberapa produk farmasi, diantaranya SVP (small volume parenteral), tablet non hormon seks dan hormon seks. PT. Sydna Farma menjalankan produksi kontrak (Toll in) untuk beberapa produk obat jadi dari industri farmasi lainnya.

PT. Sydna Farma juga memiliki lisensi dari NV Organon (Schering Plough/MSD) untuk tetap memproduksi dan memasok produk-produk Organon tertentu pada saat ini.

Saat ini, PT. Sydna Farma telah berhasil mengembangkan produk sendiri yang dikembangkan oleh departemen penelitian dan pengembangan. Produk sendiri tersebut tetap berfokus pada produk obat hormonal, atas dasar pertimbangan pengalaman PT. Sydna Farma yang telah lama menangani proses produksi obat hormonal. Produk sendiri tersebut adalah Sydnaginon

®

dengan komposisi levonogestrel 0,15 mg dan etinilestradiol 0,03 mg.

3.2 Lokasi dan Sarana Produksi

PT. Sydna Farma berlokasi di Jl. R.C. Veteran No.89, Bintaro, Jakarta Selatan. Luas seluruh area pabrik yang dimiliki PT. Sydna Farma adalah 22.000 m

2

, dengan rincian panjang 192 m dan lebar 118 m. Bangunan pabrik PT. Sydna Farma menempati area dengan luas tanah 3.600 m

2

, dengan rincian panjang 72 m dan lebar 50 m, sedangkan bangunan kantor menempati area dengan luas tanah 600 m

2

.

Konstruksi bangunan PT. Sydna Farma dibangun pertama kali pada tahun

1973 dan renovasi keseluruhan diselesaikan pada tahun 1995. Beberapa bagian

24

Universitas Indonesia

(34)

pabrik, baru dibangun pada tahun 1994. Perbaikan area pabrik tahap 1 dilakukan pada area non hormon seks dan selesai pada tahun 2008. Perbaikan area pabrik tahap 2 pada area hormon seks dilakukan pada akhir tahun 2008 dan selesai pada semester 1 tahun 2009. Perbaikan area parenteral dilaksanakan pada tahun 2010.

Perbaikan-perbaikan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan CPOB terkini.

Area PT. Sydna Farma memiliki sumber air tersendiri untuk mensuplai seluruh kebutuhan operasional pabrik. Sumber air pabrik tersebut terdiri dari 2 buah sumur dalam yang berada dalam area pabrik. Sumber energi listrik untuk kebutuhan operasional pabrik disuplai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan didukung generator diesel bila terjadi mati listrik.

3.2.1 Area gudang

Area gudang pabrik terdiri atas area-area penyimpanan yang berbeda sesuai dengan status barang yaitu karantina, lulus, dan ditolak. Penyimpanan untuk barang yang membutuhkan kondisi khusus, tersedia gudang dingin (cold storage), gudang kering (dry storage), solvent storage, dan control room temperature sesuai dengan persyaratan penyimpanan barang tersebut.

3.2.2 Area QC

Area QC meliputi laboratorium utama yang dilengkapi dengan sarana pendukung berupa compressed air, nitrogen dan DMW. Laboratorium mikrobiologi terletak di dalam laboratorium utama yang terpisah, dilengkapi dengan LAF cabinet dan isolator untuk operasional pada kondisi kelas 100.

3.2.3 Area produksi

Area produksi terbagi atas empat bagian besar yaitu area parenteral, area

tablet non-estrogen, area tablet estrogen dan area pengemasan sekunder. Ruangan

produksi tersebut terbagi menjadi beberapa kelas ruangan seperti kelas 100.00,

kelas 10.00 dan kelas 100 (area parenteral). Masing-masing ruang produksi

dilengkapi dengan manometer dan termohigrometer untuk memantau suhu,

kelembaban udara dan tekanan ruangan.

(35)

Area produksi sediaan padat (tablet) estrogen dan non-estrogen terpisah dan masing-masing area memiliki sistem pengendalian udara (Air Handling Unit/AHU), ruang ganti pakaian (gowning), ruang antarkelas kebersihan atau material air lock (MAL) yang berbeda.

3.3 Visi dan Misi PT. Sydna Farma 3.3.1 Visi

Visi PT. Sydna Farma adalah menjadi industri farmasi tingkat dunia yang berbasis pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi dengan sistem operasional yang unggul dalam memastikan kualitas yang tertinggi, keamanan dan efektivitas produk dengan sistem kerja yang efisien (Sydna Farma, 2011).

3.3.2 Misi

Misi dari PT. Sydna Farma adalah selalu berusaha menyediakan obat- obatan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

3.4 Nilai Utama PT. Sydna Farma

PT. Sydna Farma` memiliki 5 nilai utama yang menjadi n i l a i dasar perusahaan, yaitu (Sydna Farma, 2011):

a. Kualitas dari Pelayanan

PT. Sydna Farma selalu berupaya untuk mencari serta mencapai atau melebihi harapan pelanggan.

b. Kualitas dari Masa Kerja

PT. Sydna Farma menyediakan lingkungan kerja yang kondusif secara terus menerus untuk membantu perkembangan pekerja, pengetahuan, dan harmoni pekerja serta kesejahteraan bagi para pemegang sahamnya.

c. Kemitraan

Semangat dari kerja tim dan kolaborasi yang baik akan selalu menjadi dasar bisnis perusahaan.

d. Integritas

Selalu mengedepankan prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, ketekunan

(36)

berdedikasi dan kesetiaan akan mengarahkan semua kegiatan sehari-hari semua karyawan.

3.5 Organisasi dan Tata Kerja

PT. Sydna Farma dikepalai oleh seorang direktur dan pabrik PT. Sydna Farma dikepalai oleh seorang manajer pabrik. Manajer pabrik bertanggung jawab langsung kepada direktur. Manajer pabrik membawahi 4 departemen, yaitu Departemen Pengadaan/PPIC, Departemen Produksi, Departemen Pemastian dan Pengawasan Mutu, Departemen Teknik Servis dan Kesehatan, Keselamatan, Lingkungan. Bagian administrasi serta penelitian dan pengembangan produk langsung dibawahi oleh manajer pabrik.

3.5.1 Departemen pengadaan/Production Planning and Inventory Control (PPIC)

Departemen PPIC dikepalai oleh manajer PPIC yang membawahi 3 bagian yaitu perencanaan (planning), gudang (warehouse) dan pembelian barang (purchasing). Penjelasan mengenai bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:

3.5.1.1 Bagian perencanaan (Planning)

Tugas pokok bagian perencanaan adalah:

a. Membuat perencanaan kegiatan produksi

Perencanaan kegiatan produksi dibuat berdasarkan jadwal kebutuhan produk yang diberikan oleh Organon dan perusahaan yang melakukan toll-in di PT.

Sydna Farma, untuk kemudian dikonfirmasikan dan didiskusikan dengan departemen produksi dengan memperhatikan kapasitas mesin dan jumlah serta ketersediaan personel di departemen produksi. Perencanaan produksi dibuat untuk kurun waktu satu tahun ke depan. Berdasarkan perencanaan ini dibuat kegiatan produksi bulanan. Rencana produksi bulanan diberikan kepada departemen produksi untuk dirinci menjadi rencana mingguan.

b. Melakukan kontrol persediaan material di gudang

Bagian perencanaan bertugas untuk memastikan bahwa bahan untuk keperluan

kegiatan produksi dan pengemasan tersedia dalam jumlah yang cukup pada

(37)

waktu yang dibutuhkan dan dengan spesifikasi yang sesuai. Persediaan gudang diusahakan jumlahnya selalu tepat, tidak lebih dan tidak kurang. Tugas ini didukung oleh sistem komputer yang dimiliki PT. Sydna Farma yaitu Sistem Axapta. Karena sebagian besar perencanaan PT. Sydna Farma berdasarkan permintaan costumer (perusahaan pemberi lisensi dan perusahaan yang melakukan toll-in), maka dalam melakukan pengontrolan persediaan PPIC menerapkan prinsip bergantung pada pesanan customer. Selain itu, PPIC bersikap proaktif dalam mencari informasi-informasi yang dibutuhkan sehingga kebijakan yang diambil adalah berdasarkan data yang akurat dan aktual.

3.5.1.2 Gudang (warehouse)

Bagian gudang dikepalai oleh supervisor gudang. Gudang juga membawahi bagian penimbangan. Bagian gudang bertugas memberikan pelayanan penerimaan dan pengeluaran barang. Bahan-bahan tersebut adalah bahan baku, bahan pengemas, produk setengah jadi, dan obat jadi. Pelayanan gudang bersifat internal dan eksternal.

a. Pelayanan Internal

Pelayanan internal terbagi atas pelayanan penerimaan dan pengeluaran barang.

Pelayanan penerimaan barang dibuat berdasarkan surat penyerahan barang

(Product Delivery Sheet) untuk obat jadi. Bagian gudang juga menerima

barang sisa atau rusak dari bagian produksi dan pengemasan berdasarkan

Tanda Terima Penyerahan Barang (TTPB) yang kemudian barang-barang

tersebut akan dibuang sebagai limbah. Pelayanan pengeluaran barang dari

gudang dibuat berdasarkan Surat Pesanan Barang (Material Requisition Sheet)

dari bagian-bagian lain yang membutuhkan. Untuk melayani pesanan tersebut,

bagian gudang terlebih dahulu melihat kartu stok guna mengetahui persediaan

barang. Untuk barang-barang yang perlu ditimbang, bagian gudang (petugas

bagian penimbangan) juga bertugas melakukan penimbangan di ruang

penimbangan dengan didampingi oleh seorang wakil dari bagian produksi yang

membutuhkan barang tersebut.

Gambar

Gambar 4.1 Sistem tata udara.
Gambar 4.2 Proses pengolahan air keran menjadi air demineralisata.
Gambar 4.3 Proses pengolahan aquademineralisata menjadi WFI.
Gambar 4.4  Sistem pengolahan limbah cair di PT. Sydna Farma.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, biaya penunjang medik untuk pe l ayanan pasien peserta JPK Gakin meliputi layanan laboratorium , rontgen, Electro Cardia Graphy (ECG/ EKG) ,

Makalah argumentasi yang telah diberi skor dia- nalisis lebih lanjut untuk melihat perbedaan rera- ta antara kelompok pro dan kontra dengan meng- gunakan uji t independent ,

Akibat hukum apabila tersangka menolak untuk melakukan tes urine dalam penyidikan tindak pidana narkotika terkait dengan hak asasi tersangka, adalah bahwa UU Narkotika

kali-makali-makali-makali-makali-ma kali-makali-makali-ma kali-ma kali-ma kali-ma kali-ma kali-ma kali-makali-makali-makali-makali-ma kali-makali-makali-ma kali-ma kali-ma

Berdasarkan uraian tahun awal masuknya Islam di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-1 H/7 M atau sebelum abad ke-7 H/13 M itu sebagai proses islamisasi,

Sehingga ada hubungan yang signifikan secara bersama-sama antara pola penggunaan media dalam menonton tutorial videografi pada channel YouTube Goenrock,

Medical Benefit, Medical Benefit 9, dan Medical Benefit Premier merupakan produk Asuransi Tambahan yang memberikan manfaat penggantian biaya sesungguhnya yang