1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem perpajakan di Indonesia yang menggunakan self assessment system, yaitu wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak sendiri. Penggunaan self assessment system dapat memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk
menghitung penghasilan kena pajak serendah mungkin, sehingga beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak akan menjadi menurun (Ardyansah dan Zulaikha, 2014). Pembebanan pajak oleh pemerintah yang berbentuk pemungutan pajak terhadap wajib pajak, pada hakikatnya merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Namun, pajak bukanlah merupakan iuran yang sifatnya sukarela, akan tetapi iuran yang dapat dipaksakan sehingga kelalaian dalam memenuhi kewajiban perpajakan dapat merugikan wajib pajak yang bersangkutan (Zain, 2005: 43).
Fenomena mengenai pemungutan pajak di Indonesia menunjukkan bahwa penerimaan dari sektor pajak sangat besar. Penerimaan ini digunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan pembangunan negara sehingga harus dikelola dengan baik oleh pemerintah. Optimalisasi pemungutan pajak di Indonesia masih banyak mengalami kendala akibatnya efektivitas pemungutan pajak terus
2
mengalami penurunan dari tahun 2011 hingga 2013 yang ditunjukkan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Efektivitas Pemungutan Pajak di Indonesia
Sumber: www.economy.okezone.com (diunduh tanggal 25 Mei 2015)
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa penerimaan dari sektor pajak yang seharusnya diterima oleh negara tidak sebesar pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini dikarenakan wajib pajak berusaha untuk seminimal mungkin memenuhi kewajiban pajak yang harus dibayarkan dengan melakukan praktik penghindaran pajak. Berkembangnya praktik penghindaran pajak ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi dimana akan memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan usahanya hingga ke luar negeri di tengah persaingan dunia usaha yang semakin ketat (Winata, 2014). Kejadian ini akan berdampak pada tindakan pihak manajemen perusahaan yang ingin berusaha untuk mendapat keuntungan sebesar mungkin dan berupaya untuk melakukan efisiensi pajak.
Jacob (2014) mendefinisikan penghindaran pajak sebagai suatu tindakan untuk melakukan pengurangan atau meminimalkan kewajiban pajak dengan hati - hati mengatur sedemikian rupa untuk mengambil keuntungan dari celah-celah dalam ketentuan hukum pajak. Tindakan ini sengaja dilakukan oleh wajib pajak untuk membayar kurang dari jumlah yang seharusnya dibayar kepada otoritas pajak. Menurut Anderson dalam Zain (2005:50) juga menyatakan bahwa
Tahun 2011 2012 2013
Efektivitas Pemungutan Pajak 99,4% 96,4% 93,8%
Target Rp 879 Triliun Rp 1016 Triliun Rp 148 Triliun Realisasi Rp 874 Triliun Rp 981 Triliun Rp 1077 Triliun
3
penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perpajakan.
Teori agensi menyatakan hubungan kontrak antara agent dan principal.
Konsep teori agensi didasari pada hubungan keagenan yang mengedepankan simetri informasi. Hubungan agensi akan meningkat apabila pihak principal tidak dapat mengawasi aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan principal (Jansen dan Meckling, 1976). Dalam penelitian ini, konflik terjadi pada kepentingan laba perusahaan antara fiskus (principal) dan manajemen perusahaan (agent). Fiskus berharap adanya pemasukan sebesar-besarnya dari pemungutan pajak, sementara dari pihak manajemen perusahaan menginginkan laba yang cukup singnifikan dengan beban pajak yang rendah (Prakosa, 2014). Konflik ini dapat timbul karena pajak merupakan beban bagi perusahaan yang dapat mengurangi laba perusahaan sehingga perusahaan akan mencari cara agar beban pajak yang ditanggung dapat dikurangi.
Suatu perusahaan jika telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia tentunya sudah menerapkan corporate governance. Salah satu karakteristik corporate governance yang harus dimiliki perusahaan adalah komisaris independen yang berfungsi untuk melaksanakan pengawasan, mendukung pengelolaan perusahaan yang baik dan membuat laporan keuangan lebih objektif (Maria dan Kurniasih, 2013). Adanya komisaris independen didalam perusahaan diharapkan dapat meminimalisir kecurangan yang mungkin terjadi dari pelaporan perpajakan yang dilaporkan oleh pihak manajemen perusahaan.
4
Para komisaris independen dapat membantu perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya dalam rangka penyusunan strategi manajemen pajak perusahaan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan yang berguna sehingga lebih agresif dalam melakukan perencanaan pajak (Sartori, 2008).
Beberapa studi sebelumnya menemukan bahwa dengan adanya komisaris independen dalam perusahaan dapat memiliki dampak positif pada kinerja perusahaan dan nilai perusahan (Ying, 2011). Komisaris independen juga memiliki tanggung jawab kepada kepentingan pemegang saham, maka komisaris independen akan memperjuangkan ketaatan pajak perusahaan sehingga dapat mencegah praktik penghindaran pajak (Harto dan Puspita, 2014). Ini berarti komisaris independen dapat mempresentasikan kepentingan pemegang saham minoritas atau pemegang saham publik yang ada didalam perusahaan.
Berdasarkan teori keagenan semakin besar jumlah komisaris independen di dalam perusahaan maka semakin baik komisaris independen dapat memenuhi peran mereka untuk mengawasi dan mengontrol tindakan-tindakan pihak manajemen sehubungan dengan perilaku oportunistik manajer yang mungkin terjadi (Jensen dan Meckling, 1976). Proporsi komisaris independen yang besar dalam struktur dewan komisaris akan memberikan pengawasan yang lebih baik dan dapat membatasi peluang-peluang kecurangan pihak manajemen (Raharjo dan Daljono, 2014). Adanya komisaris independen dalam perusahaan dapat memberikan petunjuk dan arahan untuk mengelola perusahaan serta merumuskan strategi perusahaan yang akan lebih baik termasuk dalam menentukan kebijakan terkait tarif pajak efektif yang akan dibayarkan perusahaan.
5
Hal ini didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan Ardyansah dan Zulaikha (2014) dengan meneliti pengaruh komisaris independen terhadap effective tax rate (ETR) yang hasilnya berpengaruh positif karena semakin banyak jumlah
komisaris independen maka pengawasan terhadap agent akan semakin ketat.
Pengawasan yang semakin ketat dari komisaris independen membuat perusahaan melaporkan penghasilan kena pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian Hanum dan Zulaikha (2013) yang menyatakan bahwa dengan adanya komisaris independen, maka dalam setiap perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh dewan komisaris beserta manajemen perusahaan dan para stakeholder, akan memberikan jaminan hasil yang efektif dan efisien, termasuk pada kebijakan mengenai besaran tarif pajak efektif perusahaan.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salbi dan Noor (2012) yang menemukan komisaris independen tidak memiliki pengaruh signifikan.
Mereka menjelaskan bahwa kurangnya pengetahuan mengenai latar belakang kegiatan bisnis perusahaan dapat memengaruhi kinerja pengawasan komisaris independen terhadap manajemen perusahaan dan mengakibatkan gagalnya perumusan strategi pajak perusahaan yang efektif. Proporsi komisaris independen yang besar dalam dewan komisaris tidak dapat memberikan jaminan bahwa perusahaan akan berjalan dengan efektif sesuai dengan keinginan manajemen perusahaan. Sejalan dengan penelitian tersebut Agusti (2014) serta Meilinda dan Cahyonowati (2013) juga menemukan bahwa komisaris independen tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak dengan menunjukkan bahwa wewenang
6
komisaris independen tidak bisa secara langsung mengurangi keinginan manajemen untuk melakukan penghindaran pajak karena kemungkinan hanya sekedar memenuhi ketentuan formal yang harus dipenuhi perusahaan.
Faktor lain dari karakteristik corporate governance yang dapat memengaruhi praktik penghindaran pajak adalah keberadaan komite audit dalam perusahaan yang berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam mengawasi pihak manajemen menyusun laporan keuangan perusahaan (Guna dan Herawaty, 2010). Komite audit juga bertanggung jawab dalam mengendalikan manajer demi meningkatkan pertumbuhan laba dimana nantinya manajer yang cenderung melakukan penekanan terhadap biaya-biaya yang akan dikeluarkan terutama pajak, hal ini akan mendorong perusahaan melakukan penghindaran pajak (Fadhilah, 2014). Komite audit sesuai fungsinya membantu dewan komisaris dalam melakukan pengawasan serta memberikan rekomendasi kepada manajemen dan dewan komisaris terhadap pengendalian yang telah berjalan sehingga dapat mencegah asimetri informasi.
Semakin ketatnya pengawasan yang dilakukan pada suatu manajemen perusahaan maka akan menghasilkan suatu informasi yang berkualitas dan kinerja yang efektif (Hanum dan Zulaikha, 2013). Berdasarkan hal tersebut, komite audit dengan wewenang yang dimilikinya akan dapat mencegah segala perilaku atau tindakan yang menyimpang terkait dengan laporan keuangan perusahaan.
Hal ini didukung oleh penelitian Winata (2014) yang menyatakan bahwa jumlah komite audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance dimana semakin banyak jumlah komite audit yang ada pada sebuah perusahaan dapat membuat praktik tax avoidance yang dilakukan pada perusahaan tersebut dapat
7
diminimalisir. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Harto dan Puspita (2014) latar belakang keahlian akuntansi atau keuangan komite audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa peran komite audit tidak efektif dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kebijakan pajak perusahaan di Indonesia.
Faktor preferensi risiko eksekutif perusahaan juga dapat memengaruhi praktik penghindaran pajak selain dua karakteristik corporate governance tersebut.
Menurut Hanafi dan Harto (2014) menyatakan bahwa preferensi risiko akan berpengaruh dalam pelaksanaan tugas eksekutif. Preferensi risiko eksekutif merupakan konsekuensi yang akan dimiliki eksekutif dalam membuat keputusan, termasuk keputusan untuk melakukan penghindaran pajak. Dampak dari suatu tindakan juga akan dianalisis oleh eksekutif dengan tujuan untuk mendapatkan keputusan terbaik, termasuk dalam menentukan keputusan penghindaran pajak perusahaan. Seorang pemimpin perusahaan bisa saja memiliki karakter risk taker atau risk averse yang tercermin dari besar kecilnya risiko perusahaan. Semakin tinggi risiko suatu perusahaan maka eksekutif cenderung bersifat risk taker sebaliknya jika semakin rendah risiko suatu perusahaan maka eksekutif cenderung bersifat risk averse (Budiman dan Sutiyono, 2012). Ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Hanafi dan Harto (2014) dengan mendapatkan hasil preferensi risiko eksekutif memiliki pengaruh yang positif terhadap effective tax rate (ETR) dan menyatakan bahwa eksekutif sebagai penentu keputusan termasuk keputusan penghindaran pajak akan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum bertindak. Ini dikarenakan eksekutif sebagai agent perusahaan memiliki tanggung
8
jawab untuk memaksimalkan utilitas para stakeholders melalui keputusan yang diambilnya dengan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan muncul.
Faktor berikutnya yang dapat memengaruhi aktivitas penghindaran pajak adalah ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan dapat menentukan besar kecilnya aset yang dimiliki perusahaan dimana semakin besar aset yang dimiliki perusahaan maka semakin meningkat pula jumlah produktifitas perusahaan tersebut. Hal ini juga akan berdampak pada laba yang semakin meningkat dan memengaruhi tingkat pembayaran pajak. Perusahaan yang termasuk dalam perusahaan besar cenderung memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki sumber daya yang lebih kecil untuk melakukan pengelolaan pajak.
Berdasarkan teori agensi, sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan oleh agent untuk memaksimalkan kompensasi kinerja agent, yaitu dengan cara menekan beban pajak perusahaan agar memaksimalkan kinerja perusahaan (Darmawan dan Sukartha, 2014). Rego dan Wilson (2009) menyatakan juga dalam penelitiannya bahwa semakin besar perusahaan maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks. Hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah yang ada untuk melakukan tindakan penghindaran pajak dari setiap transaksinya.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Jati (2014) yang menyatakan bahwa perusahaan besar akan mendapat perhatian yang lebih besar dari pemerintah terkait dengan laba yang diperoleh, sehingga mereka sering menarik perhatian fiskus untuk dikenai pajak yang sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku. Hanum dan Zulaikha (2013) dalam penelitiannya juga menemukan hasil
9
signifikan negatif dengan menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka tarif pajak efektifnya akan semakin rendah. Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin besar perusahaan maka penyampaian informasi yang terdapat pada laporan akhir tahun harus sangat hati-hati untuk menghasilkan laporan keuangan yang akurat dan terhindar dari salah saji.
Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2013 yang diharapkan akan memberikan gambaran yang representatif mengenai praktik penghindaran pajak yang terjadi selama ini. Pemilihan perusahaan manufaktur didasari atas pertimbangan bahwa perusahaaan manufaktur aktivitas usahanya sebagian besar terkait dengan perpajakan, perusahaan manufaktur merupakan penyumbang penerimaan pajak negara terbesar selain industri pertambangan, keuangan dan perkebunan serta perusahaan manufaktur beberapa kali masuk sebagai wajib pajak yang difokuskan dalam daftar pemeriksaan Direktorat Jendral Pajak (Mulyani dan Endang, 2014).
10 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1) Apakah proporsi komisaris independen berpengaruh pada penghindaran pajak?
2) Apakah keberadaan komite audit berpengaruh pada penghindaran pajak?
3) Apakah preferensi risiko eksekutif berpengaruh pada penghindaran pajak?
4) Apakah ukuran perusahaan berpengaruh pada penghindaran pajak?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Untuk menguji pengaruh proporsi komisaris independen pada penghindaran pajak.
2) Untuk menguji pengaruh keberadaan komite audit pada penghindaran pajak.
3) Untuk menguji pengaruh preferensi risiko eksekutif pada penghindaran pajak.
4) Untuk menguji pengaruh ukuran perusahaan pada penghindaran pajak.
11 1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang akan dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan dan informasi tambahan mengenai praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan dengan beberapa variabel yang memengaruhinya yaitu proporsi komisaris independen, keberadaan komite audit, preferensi risiko eksekutif dan ukuran perusahaan.
2) Kegunaan Praktis (1) Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah diharapkan dapat membuat dan menetapkan kebijakan perpajakan yang lebih adil serta meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan perusahaan sehingga dapat mengurangi kesempatan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak.
(2) BagiPerusahaan
Bagi perusahaan khususnya perusahaan manufaktur diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan penghindaran pajak agar terhindar dari sanksi administrasi pajak dan persepsi yang buruk kepada perusahaan.
12 1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan dan disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah yang mendorong dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
Bab ini menguraikan landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu teori agensi, pengertian pajak, fungsi pajak, sistem pemungutan pajak, asas perpajakan, tarif pajak, penghindaran pajak, komisaris independen, komite audit, preferensi risiko eksekutif dan ukuran perusahaan serta memaparkan hasil penelitian sebelumnya dan hipotesis dari penelitian yang dilakukan.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini memaparkan mengenai desain penelitian, lokasi penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab IV: Pembahasan Hasil Penelitian
Bab ini memaparkan tentang deskripsi sampel penelitian, analisis data serta pembahasan hasil penelitian berdasarkan output SPSS.
Bab V : Simpulan dan Saran
Bab ini memaparkan tentang simpulan yang diperoleh dari hasil analisis dalam bab pembahasan hasil penelitian dan saran-saran yang dianggap perlu bagi para peneliti selanjutnya serta menguraikan keterbatasan penelitian.
13