Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kepuasan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung terhadap pernikahannya. Pasangan commuter marriage adalah pasangan suami istri yang menjalani hubungan jarak jauh di mana salah satu pasangan berdomisili di kota berbeda dan pulang kembali ke Bandung pada waktu tertentu saja.
Pemilihan populasi menggunakan metode populasi dengan jumlah populasi responden sebanyak 39 orang. Alat ukur dikonstruksikan berdasarkan teori Kepuasan Pernikahan dari Fowers dan Olson (1989) yang terdiri dari 60 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan deskriptif analisis. Pada penelitian ini uji validitas menggunakan metode Correlation Coefficient Spearman dengan rata-rata validitas adalah 0,71 dan menggunakan uji reliabilitas Alpha Cronbach dengan perolehan reliabitas 0,80.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, 23 responden (58,97%) menghayati puas pada pernikahannya. Sedangkan 16 responden (41,03%) menghayati tidak puas pada pernikahannya. Kesimpulannya, sebagian besar istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung menghayati puas pada pernikahannya.
Peneliti menyarankan kepada konselor Gereja “X” Kota Bandung untuk dapat memberikan bimbingan dan pengarahan secara langsung maupun melalui suatu seminar atau retreat kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung, terutama kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja”X” Kota Bandung yang menghayati tidak puas pada pernikahan.
ix ABSTRACT
This study was conducted to describe the wife’s satisfaction commuter couples marriage against their marriage at Gereja “X” Kota Bandung. Commuter marriage couple is a spouse that one of the spouse is located in different place, in which the spouse visits the family at certain time.
Sample choosed by Population method, consist of 30 person. This study using descriptive research studies. Measurement instrument are constructed based on Marital Satisfaction Theory by Fowers and Olson (1989) consist of 60 items. Collected data were processed by descriptive analysis. In this study, using the Correlation Coefficient Spearman method with an average validity was 0.71 and the formula of Alpha Cronbach reliability of 0,80.
Based on the statistical data processing, we can see that 23 respondent (58,97%) were satisfied with their marriage and 16 respondent (41,03%) were not satisfied with their marriage life. According to research conclusion that majority of wife commuter marriage at Gereja “X” Kota Bandung were satisfied with their marriage.
Researcher’s suggetion to Gereja “X” Kota Bandung counselor to give more counseling, directly or through a seminar or retreat to the wife of the couple commuter marriage. It’s especially given to the wife of the couple commuter marriage in the Gereja "X " Kota Bandung that live with dissatisfied in marriage .
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN... ii
PERNYATAAN URISINALITAS LAPURAN PENELITIAN... iii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPURAN PENELITIAN ... iv
KATA PENGANTAR... v
ABSTRAK... viii
ABSTRACT... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR BAGAN... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1
1.2 Identifikasi Masalah...9
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...10
1.3.1 Maksud Penelitian...10
1.3.2 Tujuan Penelitian...10
1.4 Kegunaan Penelitian...10
1.4.1 Kegunaan Teoritis...10
1.4.2 Kegunaan Praktis...10
1.5 Kerangka Pemikiran...11
xi BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepuasan Pernikahan...26
2.1.1 Pengertian Pernikahan...26
2.1.2 Pengertian Kepuasan Pernikahan...26
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan...28
2.1.4 Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan...29
2.1.5 Kriteria Kepuasan Pernikahan...33
2.2 Commuter Marriage...34
2.2.1 PengertianCommuter Marriage...34
2.2.2 KarakteristikCommuter Marriage...35
2.2.3 Karakteristik Pernikahan dan KeluargaCommuter...36
2.2.4 Kelebihan dan Kelemahan pada PasanganCommuter Marriage...37
2.2.5 Kepuasan Pernikahan pada PasanganCommuter Marriage...39
2.3 Masa Dewasa Awal...41
2.3.1 Perkembangan Fisik Dewasa Awal...41
2.3.2 Perkembangan Kognitif...41
2.3.3 Karier dan Kerja...42
2.4 Wanita Jawa...43
BAB III METUDULUGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...44
3.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Uperasional...45
3.2.3 Definisi Uperasional...45
3.3 Alat Ukur...47
3.3.1 Alat Ukur Kepuasan Pernikahan...47
3.3.2 Prosedur Pengisian...48
3.3.3 Kisi-kisi Alat Ukur...48
3.3.4 Sistem Penilaian...51
3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...52
3.4.1 Validitas Alat Ukur...52
3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur...53
3.4.3 Data Primer dan Data Penunjang...53
3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel...54
3.5.1 Populasi Sasaran...54
3.5.2 Karakteristik Populasi...54
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel...54
3.5.4 Teknik Analisis Data...54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Populasi Penelitian...56
4.1.1 Berdasarkan Usia Pernikahan...56
4.1.2 Berdasarkan Jumlah Anak...57
4.1.3 Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebelum Menikah...57
xiii
4.2.1 Gambaran Kepuasan Pernikahan...58
4.2.2 Gambaran Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek Kepuasan Pernikahan...59
4.3 Pembahasan...68
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan...87
5.2 Saran...88
5.2.1 Saran Teoritis...88
5.2.2 Saran Praktis...89
DAFTAR PUSTAKA...90
Tabel 3.1 Skala Alat Ukur Kepuasan Pernikahan...47 Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Kepuasan Pernikahan………...48 Tabel 3.3 Nilai pada Pilihan Jawaban...52 Tabel 4.3 Tabel Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan
Usia Pernikahan...56 Tabel 4.4 Tabel Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan
Jumlah Anak...57 Tabel 4.5 Tabel Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan
Tingkat Pendidikan...57 Tabel 4.6 Tabel Gambaran Kepuasan Pernikahan...58 Tabel 4.7 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan
Aspek Komunikasi...59 Tabel 4.8 Tabulasi Silang anatara Kepuasan Pernikahan dengan
Aspek Urientasi Keagamaan...60 Tabel 4.9 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
Kegiatan di Waktu Luang...61 Tabel 4.10 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
Penyelesaian Konflik...62 Tabel 4.11 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
xv
Urientasi Seksual...64 Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
Keluarga dan Teman...65 Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
Anak dan Pengasuhan Anak...66 Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
Kepribadian...67 Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur
Lampiran 2 Kuesioner Kepuasan Pernikahan
Lampiran 3 Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Lampiran 4 Distribusi Frekuensi Data Penunjang
Lampiran 5 Tabulasi Silang Data Penunjang dengan Kepuasan Pernikahan
Lampiran 6 Tabulasi Silang Gambaran Responden dengan Kepuasan Pernikahan
Lampiran 7 Tabulasi Silang Data Penunjang dengan Aspek-aspek
Kepuasan Pernikahan
Lampiran 8 Tabulasi Silang Gambaran Responden dengan Aspek-aspek
Kepuasan Pernikahan
Lampiran 9 Sejarah Gereja
Lampiran 10 Pengesahan Pengambilan Data
Lampiran 11 Surat Izin
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pencapaian tujuan pada setiap perkembangan manusia dapat dicapai dengan pemenuhan
tugas-tugas di setiap masa perkembangan manusia (Hurlock, 2006). Diantara masa-masa tersebut
ada masa yang disebut sebagai masa dewasa awal. Individu pada masa dewasa awal beranjak
dari masa-masa sekolah yang masih bergantung pada orang tua ke masa mencari pekerjaan dan
mandiri secara finansial. gelain mencari pekerjaan, individu dewasa awal juga mempunyai tugas
perkembangan lainnya yaitu membentuk kehidupan sosialnya. Individu dewasa awal dapat
memilih untuk tetap single (tidak menikah) atau tinggal dengan pasangan dengan pernikahan yang sah. (Papalia, Olds & Feldman, 2007).
Pernikahan merupakan sebuah langkah menuju masa dewasa. Masa peralihan ke
kehidupan pernikahan membawa perubahan-perubahan dalam fungsi-fungsi seksual, pengaturan
tempat tinggal, hak-hak, dan tanggung jawab, kelekatan dan loyalitas pada individu dewasa awal
(Papalia, 2014). Pernikahan dan keluarga memberikan motivasi serta beban bagi individu masa
dewasa awal untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan agar mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarga. Pendidikan dan perkembangan dunia yang semakin maju membuat pria dan
wanita sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengembangkan karir dan pekerjaan. gejak
semakin banyak wanita yang bekerja dan mempunyai pendidikan yang tinggi, secara alami juga
2
Universitas Kristen Maranatha
Adapun jumlah wanita yang bekerja di Indonesia sesuai dengan gensus Penduduk pada tahun
2010 adalah sebanyak 39,5 juta jiwa (Badan Pusat gtatistik, 2010).
Ada beberapa hal yang menguntungkan dalam kehidupan pasangandual-career misalnya dukungan emosional dari pasangan ketika salah satu pasangan mempunyai masalah, karir istri
dan suami sama-sama membantu menguatkan keuangan keluarga. gelain menguntungkan,
kehidupan keluarga dual-career juga mempunyai kerugian misalnya kurangnya fleksibilitasnya waktu bekerja sehingga mengganggu acara keluarga ataupun kadang-kadang acara keluarga
mengganggu waktu kerja.
gelain itu, pasangandual-career tidak jarang menemukan keadaan dimana mereka harus melakukan suatu perjalanan untuk kebutuhan pekerjaan. Hal ini disebabkan karena dunia
pekerjaan saat ini semakin dipengaruhi oleh proses globalisasi dan berbagai aktifitas pekerjaan
yang tidak dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah (Gustafson, 2006).
Pasangan dual-career mungkin dapat berusaha menghindari keterpisahan dengan mengikuti pasangannya pindah, namun kenyataannya sangat sulit bagi salah satu pasangan untuk
mendapatkan posisi karir yang sama atau lebih baik dalam suatu lokasi yang sama. Akhirnya
terbentuklah suatu solusi yaitu dengan mengadopsi pola hidup pernikahan jarak jauh dan tinggal
di dua daerah yang terpisah atau dikenal dengan istilah commuter marriage (Taylor & Lounsbury, dalam Rhodes, 2002), dimana salah satu dari pasangan meninggalkan rumah, pindah
ke tempat yang cukup jauh dari rumah dan bekerja. Kehidupan pernikahan yang tinggal
berjauhan merupakan salah satu alternatif pola hidup pernikahan pada pasangan profesional yang
menjaga kelangsungan hidup dengan tinggal di tempat yang berbeda ketika melakukan
Menurut Rhodes (2002), commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk
mempertahankan pernikahan namun secara sukarela juga memilih untuk menjaga karir sehingga
pasangan tersebut merasakan adanya komitmen yang kuat. Rhodes (2002) juga menambahkan
bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut commuter marriage. Pada tahun 2005 di Amerika terjadi peningkatan pada pasangan yang menjalani perkawinan jarak jauh.
Peningkatan tersebut adalah sebanyak 30% dibandingkan tahun 2000, sehingga populasinya
mencapai 893.000 orang. gayangnya, di Indonesia belum terdapat data pasti yang menunjukkan
adanya peningkatan jumlah pasangan menikah yang menjalani hubungan jarak jauh. Namun,
berdasarkan pengamatan sehari-hari ternyata tidak semua pasangan dalam ikatan perkawinan
dapat selalu hidup bersama (Rini, 2008, hal 20).
Fenomena ini juga terjadi pada sebagian pasangan di Gereja “X” Kota Bandung. Pada
hasil wawancara dengan petugas administrasi Gereja tersebut, terdapat 298 pasangan suami istri
dan kurang lebih 39 pasangan yang menjalani pernikahancommuter marriage, berada pada usia perkembangan dewasa awal, dan telah memiliki anak yang berusia 0-10 tahun. Kebanyakan dari
pasangan tersebut hidup berpisah karena suami harus bekerja di luar kota, yang kebanyakan di
Kota Jakarta. Para istri lebih memilih untuk tinggal di Kota Bandung dengan anaknya karena
tidak dapat meninggalkan pekerjaannya dan merasa lebih nyaman untuk menetap di Kota
Bandung.
Gereja “X” Kota Bandung merupakan Gereja yang didominasi oleh masyarakat bersuku
Jawa. Adat Jawa atau orang Jawa mengajarkan sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetapi
mereka juga terbiasa sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mudah berterus terang
4
Universitas Kristen Maranatha
dengan kelemah lembutan, penurut, sopan santun, dan beberapa sifat feminim lainnya. Bahkan
ada falsafah bahwa seorang istri adalah konco wingking bagi suaminya dimana seorang istri harus mendukung suaminya dari belakang tanpa boleh mendahului langkah suaminya.
Menempatkan posisi seorang istri lebih rendah dari suami. Keputusan mutlak di tangan laki-laki
dann perempuan berkewajiban menurutinya tanpa boleh membantah.
Commuter Marriage dapat memberikan suatu kelebihan, hal ini dapat dirasakan oleh wanita pada pasangan commuter marriage, dimana wanita lebih dapat menikmati kualitas karir penuh yang tidak dapat selalu mereka dapatkan jika tinggal bersama dengan suami (Gross, dalam
Hendrick & Hendrick, 1992). Pernikahan commuter marriage dirasakan dapat memberikan keuntungan bagi pasangan yang tidak tinggal serumah, seperti yang diungkapkan melalui
wawancara dengan lima orang istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung. Kelima istri pasangan commuter marriage di Kota Bandung merasa memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel. Mereka menyatakan bahwa sebagai seorang istri yang berasal dari guku Jawa, mereka
dituntut untuk mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah di antara kesibukan dalam
bekerja. Pernikahan commuter marriagemembuat mereka merasa lebih nyaman dalam mengatur keperluan rumah tangganya tanpa ada protes dari suami. Kelima istri tersebut pun mengakui
bahwa merasa menjadi lebih mandiri dan lebih mampu untuk mengatur keuangan keluarga.
Pasangan commuter marriage tentu saja juga menghadapi masalah yang lebih terutama pada masalah komunikasi antar pasangan dibandingkan dengan pasangan yang tinggal serumah.
Masalah pada komunikasi tampak ketika pesan nonverbal tidak dapat disampaikan melalui
media komunikasi seperti telepon dan email yang akhirnya dapat mempengaruhi hubungan
Terutama bagi istri dari suku Jawa karena para istri dari suku Jawa memiliki karakteristik
menjadikan suami sebagai panutan dan merupakan sosok dominan dalam keluarganya. Istri dari
suku Jawa juga dituntut untuk tidak menentang keinginan suami. Tentu saja karateristik yang
tertutup ini dapat menimbulkan konflik pada pernikahan commuter marriage yang komunikasinya dilakukan dalam jarak jauh dan tidak bertatap muka. Istri pasangan commuter marriagemerasakan kehilangan akan sosok dominan dan pemimpin dalam keluarganya. Mereka terbiasa untuk melayani dan menuruti perintah dari suami. Istri pasangan commuter marriage yang bersuku Jawa tidak terbiasa dalam menentukan suatu keputusan secara mandiri.
Menurut hasil wawancara dengan konselor di Gereja “X” Kota Bandung, beradasarkan
data konselor sejak tahun 2014, terdapat 16 pasangan suami istri commuter marriage di Gereja “X” yang melakukan konsultasi mengenai pernikahan mereka sampai saat ini. Mereka
merupakan pasangancommuter marriagedan menjalani pernikahan di bawah 10 tahun. Konselor pernikahan di Gereja “X” Kota Bandung tersebut mengatakan bahwa setidaknya dalam kurung 2
minggu ada dua sampai tiga pasangancommuter marriageyang melakukan konsultasi mengenai kehidupan pernikahannya. Konselor tersebut mengatakan bahwa masalah-masalah yang biasanya
dibahas adalah mengenai kesulitan istri ketika dihadapkan pada suatu konflik dan harus
mengambil keputusan seorang diri. Istri sulit untuk mengambil suatu keputusan tanpa
didampingi oleh suami. Istri juga mengeluhkan mengenai sulitnya mengurus anak tanpa
kehadiran suami. Mereka merasa sulit untuk terbuka dan mengutarakan masalahnya kepada
suami bila komunikasi dilakukan secara tidak tatap muka.
geluruh istri pasangan commuter marriage yang melakukan konsultasi tersebut juga mengatakan bahwa mereka merasa kehilangan sosok dominan di dalam keluarganya dan
6
Universitas Kristen Maranatha
keluarga juga membuat mereka merasa kesulitan bila harus membuat keputusan dalam suatu
keluarga, misalnya ketika harus mencarikan sekolah untuk anaknya. Mereka merasa
kebingungan untuk dalam memilih sekolah yang baik dan sesuai dengan pendapatnya dan suami.
Kehidupan para istri ini juga menjadi lebih kompleks dengan kehadiran anak. Anak
tinggal bersama dengan istri di daerah asal sedangkan suami bekerja di daerah lain. Kehidupan
istri menjadi lebih kompleks di mana di satu sisi istri harus bekerja namun di sisi lain istri harus
memperhatikan dan menjaga anak. Konselor di Gereja “X” Kota Bandung tersebut mengatakan
bahwa para istri sering merasa mempunyai peran orang tua tunggal dan konflik peran antara
mengurus keluarga, menjalankan karirnya, dan mendidik anak yang berperan sebagai ibu juga
ayah ketika suaminya tidak di rumah dalam waktu yang cukup lama.
Kebingungan ini akan muncul terutama bila anak jatuh sakit. Mereka merasa kebingungan
karena harus bekerja sedangkan anaknya jatuh sakit di sekolah dan pihak sekolah meminta untuk
menjemput anaknya. Mereka harus menjemput dan mengantarkan sendiri anaknya ke dokter dan
terpaksa meninggalkan pekerjaannya dulu karena harus merawat anaknya. Terkadang mereka
juga mengalami kelelahan karena setiap hari harus mengantarkan dan menjemput anaknya ke
sekolah juga harus bekerja.
Konselor Gereja “X” Kota Bandung tersebut juga menyatakan bahwa pasangan-pasangan
tersebut masih berada pada tahap adaptasi dengan peran dan tugas di dalam pernikahannya.
Kesulitan yang kebanyakan dihadapi oleh pasangan istri pasangan commuter marriage adalah mengenai adaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan dari suami. Istri merasa sulit untuk menerima
kebiasan tersebut karena tidak bertatap muka secara langsung sehingga sulit mengutarakannya
kepada suami. Misalnya, ketika suami sulit dihubungi karena sibuk bekerja atau jarang
konseling juga mengakui bahwa memiliki ketakutan suaminya akan berselingkuh. Hal ini
menyebabkan istri mengalami stress dan meminta konsultasi dengan psikolog di Gereja “X”
Kota Bandung.
Gove, dkk. (dalam Goldsmith, 1988) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penentu
kesehatan mental seseorang adalah kualitas afeksi terhadap pernikahannya, atau dengan kata lain
adanya kepuasan pernikahan. Bila seseorang merasa puas dan bahagia akan pernikahan yang
dijalani, maka dapat berpengaruh pada cara pandangnya terhadap diri, lingkungan, maupun masa
depannya, juga terhadap kesehatan mental dan fisik. Wright (1993) menemukan bahwa
ketidakpuasan pada pernikahan dan banyak mengalami konflik pada pernikahan merupakan
penyebab serius terjadinya depresi. Roy (dalam Johnson dan Jacob, 2000) menyebutkan bahwa
lebih dari 50% penderita depresi melaporkan masalah-masalah pernikahan.
Kepuasan pernikahan adalah kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area
dalam pernikahan. Area ini mencakup komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama
yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas
dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan
terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam
pernikahannya (Olson dan Fowers,1989).
Hal ini berkaitan dengan persepsi pasangan terhadap dari hubungan pernikahan yang
dijalani. Kepuasan pernikahan pasangan suami istri dapat digali dengan mengunakan sepuluh
aspek kepuasan pernikahan oleh Fowers & Olson (1993). Adapun kesepuluh aspek yang
mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu
luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan , orientasi seksual, keluarga dan teman, anak
8
Universitas Kristen Maranatha
Berdasarkan hasil survey peneliti pada 10 istri pada pasangancommuter marriage, 40% istri menyatakan bahwa mereka tidak merasa keberatan dalam menjalani rumah tangga dengan
adanya jarak dengan suami. Mereka merasa memiliki kepercayaan kepada suami dan tidak
memiliki kesulitan untuk membicarakan segala hal dengan suami karena alat komunikasi saat ini
telah berkembang, sehingga hal ini bukanlah kendala. Jika hubungan mereka mengalami konflik,
para istri ini berusaha untuk lebih tenang, tidak terpancing emosi, dan berusaha untuk segera
menyelesaikannya dengan suami. Para istri ini mengganggap bahwa dengan menjalani hubungan
jarak jauh seperti ini, masalah-masalah yang datang harus segera dapat diselesaikan, karena
nantinya akan mengganggu hubungan mereka. Memahami sifat dan kebiasaan suami merupakan
hal yang sulit bagi mereka karena mereka tidak dapat bertatapan langsung dengan suaminya
ketika sedang membicarakan permasalahan-permasalahan yang hadir pada pernikahan nya.
Pada 60% orang istri lainnya menyatakan merasa kecewa karena suami tidak selalu
memperhatikan dirinya yang diakibatkan kesibukan pekerjaan dan kegiatan di luar rumah.
Mereka merasa kecewa bila berkomunikasi dengan tidak bertatapan langsung dengan suaminya.
Istri juga takut bila ada hal-hal yang disembunyikan oleh suaminya, baik permasalahan pekerjaan
maupun keluarga. Mereka mengharapkan dapat bertatapan langsung bila sedang membicarakan
mengenai permasalahannya masing-masing. Istri juga merasa terkadang suaminya kurang
memberikan perhatian kepada dirinya. Istri merasa diabaikan dan timbul rasa kecewa kepada
suami.
Para istri ini juga merasa kehilangan sosok pemimpin dan panutan di dalam keluarganya
sehingga mereka merasa kesulitan jika harus mengambil suatu keputusan, terutama masalah
mengenai anak. Istri merasa kecewa karena pengasuhan anak dan mengurus semua keperluan
dukungan dalam pekerjaannya, sedangkan 20% istri diantaranya juga merasa kecewa dengan
pembagian keuangan karena merasa biaya kehidupan sehari-hari lebih banyak ditutupi oleh istri.
geluruh istri commuter marriage ini juga merasa kecewa dengan intensitas aktifitas keluarga yang dilakukan. Mereka merasa kurangnya quality time antara suami, istri, dan anak karena suami hanya pulang ke rumah ketika hari libur. Hal ini juga yang menyebabkan 20%
diantara para istri ini merasa kecewa bila suami mengajak untuk pergi bersama keluarga besar
atau kerabatnya. Istri merasa membutuhkan waktu bersama untuk keluarga intinya saja. Bahkan,
60% diantaranya merasa kecewa dengan kehidupan seksualnya semenjak suami bekerja di luar
kota sehingga hubungan intim jarang dilakukan. Tentu saja menjalani kehidupan pernikahan
jarak jauh seperti di atas menyebabkan kebahagiaan dan kepuasan pernikahan tidak dapat
dirasakan.
Kehidupan pernikahan commuter marriage yang muncul di masyarakat modern saat ini dan kepuasan pernikahan yang bersifat subjektif dan dinamis membuat peneliti ingin mengetahui
bagaimana gambaran mengenai kepuasan pernikahan istri pada pasangancommuter marriage.
1.2 Bdentifikasi Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran mengenai Kepuasan
10
Universitas Kristen Maranatha 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai Kepuasan Pernikahan dari istri
pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota Bandung
1.3.2 Tujuan Penelitian
Memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kepuasan pernikahan dari istri pasangan
commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang dijaring melalui sepuluh aspek kepuasan pernikahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Dengan pencapaian maksud tersebut, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk :
1. Memberikan sumbangsih pada perkembangan teori-teori Psikologi, khususnya bidang
Psikologi Keluarga dan Psikologi Perkembangan.
2. Memberikan suatu gambaran kepada peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai Kepuasan Pernikahan.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada konselor di Gereja “X” Bandung untuk mengetahui
2. Memberikan informasi kepada para konselor gereja mengenai Kepuasan Pernikahan
sebagai masukan bagi proses pembinaan pernikahan melalui seminar atau retreat
pasangan suami istri.
3. Memberikan informasi dan masukkan kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung mengenai kepuasaan terhadap pernikahannya dan menjadi
bahan refleksi bagi istri agar dapat meningkatkan kepuasan pernikahannya.
1.5 Kerangka Pikir
Kehidupan pernikahan memberikan tugas-tugas baru bagi seseorang untuk dapat
memenuhi kebutuhannya dalam hidup berkeluarga. Tugas-tugas tersebut adalah pengasuhan
anak, mengurus rumah tangga, dan memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Tugas-tugas
tersebut tentu saja menjadi tanggung jawab antara kedua pasangan suami istri. Kedua pasangan
suami istri harus memiliki kerja sama, komitmen, dan komunikasi dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pernikahannya (gantrock, 2002).
Kebutuhan di dalam suatu pernikahan menuntut pasangan suami istri untuk lebih cerdas
dalam memenuhinya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab seorang wanita memutuskan
bekerja di luar rumah sehingga terbentuklah dual-career couple. gelain itu, perubahan peran pada wanita juga memungkinkan seorang wanita untuk memiliki pendidikan dan jenjang karier
yang setara dengan pria.
Pernikahan dengan kedua pasangan yang bekerja dapat memiliki keuntungan dan
kerugian bagi individu. galah satu keuntungan pokok adalah dari segi keuangan. Pernikahan
12
Universitas Kristen Maranatha
istri dan meningkatkan harga diri pada perempuan. Tentu saja terdapat kesulitan yang juga
dirasakan oleh pasangan dengan karir ganda, yaitu tuntutan adanya waktu dan tenaga tambahan,
konflik antara pekerjaan dan peran keluarga, persaingan kompetitif antara suami dan istri, dan
juga pemenuhan perhatian terhadap kebutuhan anak.
Perkembangan dunia pekerjaan yang semakin maju pada saat ini dipengaruhi oleh proses
globalisasi dan berbagai aktifitas pekerjaan yang tidak dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah
(Gustafson, 2006). Hal ini menyebabkan pasangan dual-career dihadapkan pada suatu situasi dimana salah satu pasangan harus menetap di daerah yang berbeda dengan keluarganya.
gehingga terbentuklah suatu solusi yaitu dengan mengadopsi pola pernikahan jarak jauh dan
tinggal di dua daerah yang terpisah atau dikenal dengan istilah commuter marriage (Taylor & Lounsbury, dalam Rhodes 2002).
Menurut Rhodes (2002), commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk
mempertahankan pernikahan namun secara sukarela juga memilih untuk menjaga karir sehingga
pasangan tersebut merasakan adanya komitmen yang kuat. Karakteristik dari pasangancommuter marriage adalah pasangan suami istri yang tinggal di dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing, jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil.
Pasangan suami istri ini setidaknya dipisahkan tiga malam dalam satu minggu selama sedikitnya
tiga bulan. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan tanpa mempertanyakan
kapan akan melakukan reuni selanjutnya (Gerstel & Gross, 1982).
Pola pernikahan dengan pasangan commuter marriage banyak dijumpai pada pasangan suami istri di Gereja “X” Kota Bandung. Gereja “X” merupakan Gereja yang didominasi oleh
mereka memiliki pekerjaan di luar Kota Bandung dan suami harus menetap di kota tempatnya
bekerja.
Keadaan terpisah seperti ini tentu saja memberikan suatu kelebihan dan kekurangan pada
kualitas hubungan pasangan suami istri di Gereja “X”. Kelebihan yang dirasakan oleh istri
pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota Bandung adalah istri dapat menikmati kualitas karir secara penuh yang tidak dapat selalu mereka dapatkan jika tinggal bersama suami (Gross,
dalam Hendrick & Hendrick, 1992). Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung juga dapat meningkatkan keinginan untuk aktualisasi diri, meningkatkan kemampuan
komunikasi, dan fleksibilitas tanpa harus bertemu dan hanya menggunakan media komunikasi
seperti telepon atau email. (Winfield, 1985 dalam Hendrick & Hendrick, 1992).
Di balik kebahagiaan dan kenyamanan yang diperoleh dari hubungan dengan pasangan,
commuter marriagejuga dapat menjadi sumber stres yang luar biasa. Kegagalan pasangan untuk saling menyesuaikan diri dan memecahkan masalah-masalah secara efektif dapat memicu konflik
yang berkepanjangan (garafino, 2006). Pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat
fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran
sebagai orang tua tunggal. Roehling dan Bultman (2002) menambahkan bahwa istri biasanya
mengurangi perjalanan yang berhubungan dengan karir jika adanya kehadiran anak dalam
keluarga. Kehadiran anak meningkatkan tanggung jawab dan pembagian kerja menurut gender di
rumah sehingga membutuhkan peran dengan waktu yang intensif dari orang tua. Hal ini dapat
menyebabkan peran yang berlebihan dan konflik peran (Barnett & Hyde, 2001 dalam Roehling
& Bultman, 2002) Istri yang tidak dapat secara mandiri mengelola pekerjaan dan keluarga juga
kesulitan dalam mengambil keputusan akan menghadapi keadaan-keadaan yang sulit dan
14
Universitas Kristen Maranatha
Peran yang kompleks ini akan memberikan tekanan bagi istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” sehingga istri mengalami stress. Istri yang dapat mengatasi stressnya tentu saja
akan lebih merasa bahagia dan merasa puas terhadap kehidupan pernikahannya. Istri yang tidak
dapat mengatasi stresnya akan merasa kecewa terhadap pernikahannya, tidak bahagia, dan
merasa tidak puas terhadap kehidupan pernikahannya (Gove, dkk dalam Goldsmith, 1988)
Kurangnya dukungan suami dalam mengerjakan tugas rumah tangga dapat menyebabkan
istri mengalami kesulitan dalam membagi perannya untuk mengerjakan tugas rumah tangga
menjalankan pekerjaannya di luar rumah. Istri akan mengevaluasi pernikahannya berdasarkan
hal-hal yang istri alami. Evaluasi pada pernikahan tersebut akan memunculkan apakah istri
mengalami kepuasan ataupun ketidakpuasan terhadap pernikahannya.
Kepuasan pernikahan adalah evaluasi terhadap area-area penikahan. Mencapai suatu
pernikahan yang bahagia dan memuaskan merupakan tujuan dari semua pernikahan. Kepuasan
pernikahan dapat diwujudkan dengan adanya kesadaran mengenai apa arti dari pernikahan yang
sebenarnya. Banyak istri yang membawa banyak harapan ke dalam pernikahannya, namun
pernikahan tidak dapat mewujudkan semua harapan yang dibawa ke dalam pernikahan apalagi
harapan-harapan yang tidak realistis. (Olson and Fowers, 1989).
getiap istri pada pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam memandang suatu kesulitan dan tantangan di dalam
pernikahannya. Olson dan Fowers (1989) menyatakan bahwa terdapat 10 aspek dalam
pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan. Adapun sepuluh aspek tersebut
adalah komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik,
pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak,
Komunikasi merupakan suatu area yang melihat bagaimana persepsi individu ketika
sedang berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini fokus pada rasa senang yang dialami istri
commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dalam membagi dan menerima informasi mengenai perasaan dan pikirannya. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa puas terhadap komunikasi dengan suami akan merasa senang ketika
sedang berkomunikasi dengan suami karena merasa diperhatikan dan didengarkan oleh suami,
walaupun komunikasi dilakukan tanpa tatap muka. Istri juga merasa tidak keberatan menjadi
pendengar bagi suaminya.
Ketidakpuasan dalam komunikasi diperlihatkan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa ketika berkomunikasi dengan suami. Istri merasa
kecewa ketika harus berkomunikasi tanpa tatap muka dengan suami sehingga menimbulkan
kurangnya rasa percaya kepada suami yang berlainan tempat.
Aspek orientasi agama merupakan suatu area yang menilai makna keyakinan beragama
serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Agama secara langsung
mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma, dan
dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi
perilaku yang berbahaya dalam pernikahan.
Kepuasan pada orientasi agama dapat ditunjukkan oleh istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang tetap merasa senang walaupun harus beribadah tanpa
kehadiran suami, misalnya istri tetap merasa senang ketika beribadah ke Gereja setiap hari
Minggu dan mengajak anak-anaknya untuk ikut beribadah, walaupun tanpa kehadiran suami.
Istri juga tetap merasa senang ketika secara aktif mengikuti kegiatan organisasi di Gereja tanpa
16
Universitas Kristen Maranatha
pasangannya untuk beribadah dan mematuhi norma agama Kristen walaupun dalam jarak yang
memisahkan, sehingga pernikahan terhindar dari perilaku-perilaku yang melanggar norma agama
Kristen, misalnya perselingkuhan.
Ketidakpuasan pada orientasi agama dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa ketika beribadah tanpa kehadiran suami. Istri jarang beribadah ke Gereja setiap hari Minggu dan tidak mendorong anak-anaknya
untuk beribadah karena istri merasa kecewa bila beribadah tanpa suami. Istri pasangan commuter marriage dan suami tidak saling mengingatkan untuk beribadah dan mematuhi norma agama sehingga dapat menimbulkan perilaku yang melanggar noma agama Kristen, seperti
perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Aspek kegiatan di waktu luang merupakan suatu area yang menilai penghayatan istri
terhadap pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang
dilakukan secara personal atau bersama. Kepuasan kegiatan di waktu luang ditunjukkan dengan
adanya rasa senang yang dirasakan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dalam menikmati kegiatan di waktu luang yang dilakukan sendiri maupun bersama
dengan suami dan anak. Istri merasa tidak keberatan dan tetap dapat menikmati kegiatan di
waktu luangnya meskipun tidak dilakukan dengan suami. Rasa senang tersebut juga tetap
muncul ketika suami pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan istri dan anak. Istri dan
suami dapat secara kompak menentukan kegiatan untuk mengisi waktu luangnya bersama dan
dapat menikmati kegiatan bersama tersebut.
Ketidakpuasan aspek kegiatan di waktu luang diperlihatkan pada istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dengan timbulnya rasa kecewa ketika harus mengisi kegiatan di
suaminya ketika sedang mengisi waktu luangnya. Istri juga merasa kecewa terhadap
pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan bersama dengan anak dan suaminya.
Aspek penyelesaian konflik merupakan suatu area yang menilai persepsi suami istri
terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk
mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk
mendapatkan solusi terbaik. Kepuasan aspek penyelesaian konflik pada istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung ditunjukkan dengan adanya rasa senang ketika mengutarakan
masalah kepada suami walaupun dengan komunikasi jarak jauh sehingga istri memiliki
keterbukaan dalam mengutarakan permasalahan yang dihadapinya kepada suami walaupun tanpa
bertatap muka. Istri merasa senang ketika berdiskusi dengan suami sehingga solusi bagi
permasalahan yang dihadapi walaupun dilakukan dengan komunikasi jarak jauh.
Ketidakpuasan pada aspek penyelesaian konflik ditunjukkan oleh istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa bila harus mengutarakan masalah tanpa bertatap muka dengan suami. Hal ini membuat istri tidak merasa nyaman ketika harus
terbuka mengenai masalah yang dihadapinya kepada suami. Istri merasa kecewa dengan solusi
-solusi yang diambil.
Aspek pengelolaan keuangan merupakan suatu area yang menilai persepsi terhadap
pengaturan keuangan. Kepuasan pada aspek pengelolaan keuangan dapat ditunjukkan oleh istri
pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa senang untuk mendiskusikan dan merencanakan mengenai pengeluaran rumah tangganya dengan suami. Istri
juga merasa puas pada kondisi ekonomi di dalam pernikahannya.
Ketidakpuasan pada aspek pengelolaan keuangan ditunjukkan oleh istri pasangan
18
Universitas Kristen Maranatha
pemenuhan keuangan di dalam rumah tangganya. Istri juga merasa kecewa karena memiliki
harapan-harapan yang tidak sesuai dengan keadaan keuangan di dalam pernikahannya.
Aspek hubungan seksual merupakan suatu aspek yang menilai bagaimana persepsi
pasangan dalam hal kasih sayang dan kualitas serta kuantitas hubungan seksual. Kualitas dan
kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan. Kepuasan
pada aspek hubungan seksual dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa senang terhadap intensitas serta kualitas hubungan
seksualnya dengan suami. Istri juga merasa senang karena merasa mendapatkan kasih sayang
dan perhatian yang cukup dari suaminya.
Ketidakpuasan pada aspek hubungan seksual ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa akan intensitas serta kualitas hubungan seksual yang dilakukan dengan suaminya karena minimnya waktu bertemu. Istri juga
merasa kecewa karena menilai suami kurang memberikan perhatian serta kasih sayang.
Aspek selanjutnya dalam kepuasan pernikahan adalah aspek keluarga dan teman. Area ini
menilai persepsi istri pasangan commuter marriage du Gereja “X” Kota Bandung ketika menghabiskan waktu dengan keluarga atau kerabat tanpa kehadiran dari suami. Kepuasan pada
aspek keluarga dan teman dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa senang ketika berkumpul dengan keluarga dari pihak suami
walaupun tanpa ditemani oleh suaminya. Hal ini menyebabkan istri dapat menerima keluarga
suami seperti keluarganya sendiri sehingga menciptakan hubungan yang baik antara menantu,
Ketidakpuasan aspek keluarga dan teman dapat ditunjukkan oleh istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa ketika berkumpul dengan keluarga atau kerabat dari suami. Istri juga merasa kecewa ketika suami memilih untuk berkumpul
bersama keluarga dan kerabatnya.
Aspek anak dan pengasuhan anak merupakan aspek yang menilai persepsi istri ketika
menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua
menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh
kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal
mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Kepuasan pada aspek anak dan
pengasuhan anak ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasakan kebahagiaan akan hadirnya seorang anak dalam kehidupan
pernikahannya. Istri juga tidak merasa keberatan dengan tugas mengurus anak yang dilimpahkan
kepadanya karena suami tinggal di tempat yang berbeda. Istri merasa senang dengan
perencanaan masa depan untuk anaknya.
Ketidakpuasan pada aspek anak dan pengasuhan anak ditunjukkan oleh istri pasangan
commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang tidak merasakan kebahagian dengan kehadiran anak pada kehidupan pernikahannya. Istri merasa ketidakadilan pada pembagian tugas
pengasuhan anak karena peran pengasuhan lebih banyak dipegang oleh istri.
Aspek kepuasan pernikahan selanjutnya adalah kepribadian. Area ini menilai persepsi
individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat
kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuaian diri istri pasangan
20
Universitas Kristen Maranatha commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang dapat menerima kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan suaminya. Contohnya istri dapat menerima perilaku suami yang jarang
menghubunginya karena sibuk oleh pekerjaan. Istri juga tidak merasa kecewa pada
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh suami.
Ketidakpuasan pada aspek kepribadian ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang kecewa pada kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan suaminya. Timbul rasa kecewa karena tingkah laku suami tidak sesuai dengan harapannya. Istri
banyak menuntut suami agar bertingkah laku sesuai dengan harapan istri. Contohnya, istri
pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa dan marah apabila suami jarang menghubunginya karena sibuk bekerja.
Aspek yang terakhir dari kepuasan pernikahan adalah kesetaraan peran. Area ini menilai
persepsi individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah
pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua.
Kepuasan pada aspek kesetaraan peran ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa puas dengan pembagian peran yang adil dalam
pernikahannya. Istri merasakan adanya dukungan dari suami sehingga istri dapat
mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan
kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Ketidakpuasan aspek kesetaraan peran ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa karena adanya ketidakadilan dalam pembagian peran-peran dengan suaminya. Istri merasa tidak ada kesetaraan peran dengan
suaminya untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensinya, serta memanfaatkan
kemampuan pendidikannya. Namun, budaya Jawa yang memposisikan istri untuk selalu
melayani suaminya dan menuruti suaminya membuat aspek ini tidak terlalu berpengaruh pada
penghayatan kepuasan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dalam pernikahannya.
Hendrick dan Hendrick (1992) menyatakan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan pernikahan, yaitu Premarital Factors dan Postmarital Factors. Premarital Factors adalah faktor-faktor sebelum pernikahan, yang mencangkup latar belakang ekonomi, pendidikan,
dan hubungan dengan orang tua. Faktor latar belakang ekonomi adalah dimana status ekonomi
istri sebelum pernikahan yang dirasakan tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini akan
memunculkan harapan-harapan yang tinggi pada istri terhadap kehidupan ekonomi di dalam
pernikahannya dan akan menimbulkan kekecewaan ketika kehidupan ekonomi di dalam
pernikahannya tidak sesuai dengan harapannya.
Faktor pendidikan adalah dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengganguran atau menimbulkan rasa rendah diri karena penghasilan yang lebih rendah
dari pasangannya.
Faktor hubungan dengan orangtua sebelum pernikahan akan mempengaruhi sikap anak
terhadap romantisme, pernikahan, dan perceraian. Contohnya, istri pasangancommuter marriage yang memiliki keluarga broken home akan lebih sensitif dan mudah mengalami stres jika menghadapi permasalahan di dalam rumah tangganya.
22
Universitas Kristen Maranatha
terhadap menurunnya kepuasan pernikahan, khususnya pada wanita atau istri (Bee & Mitchell,
1984). Kehadiran anak dapat membuat istri pasangancommuter marriagemerasa kesulitan untuk membagi perannya dalam pekerjaan dan mengasuh anak. Penelitian menunjukkan bahwa
bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan
(Hendrick & Hendrick, 1992), khususnya pada pasangan commuter marriage yang memiliki waktu bersama terbatas.
Faktor lainnya adalah usia pernikahan dimana diungkapkan oleh Duvall bahwa tingkat
kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan
kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. gemakin lama usia suatu pernikahan,
semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul ketika pasangan
tidak tinggal bersama (gcott, 2002).
Faktor selanjutnya adalah jarak perpisahan. Jarak perpisahan yang semakin jauh juga
membuat kehidupan pasangan semakin berat dan membuat stres. Jarak yang semakin jauh
membuat biaya (telepon dan perjalanan) yang lebih tinggi dan membutuhkan energi dan waktu
yang lebih banyak. gelain itu, jarak yang jauh juga membuat kesempatan untuk bertemu dengan
keluarga semakin sedikit (Krichner & Walum dalam Gerstel dan Gross, 1982). Gerstel dan Gross
(1982) juga menambahkan ketika waktu berpisah semakin tinggi menyebabkan ketidakpuasan
dalam pasangancommuter marriagejuga semakin tinggi.
Berdasarkan uraian dan ciri-ciri yang telah disampaikan, tingkat kepuasan pernikahan
pada istri pasangan commuter marriage dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu puas terhadap pernikahan dan tidak puas terhadap pernikahan. Kepuasan pernikahan istri pasangan
marriage di Gereja “X” Kota Bandung dengan rasa tidap puas namun lima aspek lainnya istri merasa puas maka masih dapat disimpulkan bahwa istri memiliki kepuasan pada pernikahannya.
Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang menghayati puas pada pernikahannya akan tergambar dari relasi personal yang penuh kasih sayang dan
menyenangkan dengan suami, walaupun suami berada di tempat yang berjauhan dan komunikasi
dilakukan secara jarak jauh. Para istricommuter marriage tersebut beranggapan bahwa harapan, keinginan, dan tujuan yang ingin dicapai ketika menikah terlah terpenuhi, baik sebagian maupun
seluruhnya. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan sebelum menikah.
Ketidakpuasan pada pernikahan akan membawa istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung menghayati hambatan-hambatan ketika berkomunikasi, istri juga
menarik diri, ketergatungan kepada suami secara berlebihan, perselisihan, serta berbagai
perasaan negatif yang kuat.
Berikut bagan kerangka pemikiran penelitian dari kepuasan pernikahan pada istri
24
Universitas Kristen Maranatha 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran
Istri pasangan commuter marriagedi
Gereja “X” Bandung
Kepuasan Pernikahan
Premarital Factors :
1) Latar belakang ekonomi 2) Pendidikan
3) Hubungan dengan orang tua Postmarital Factors :
1) Kehadiran Anak 2) Lama pernikahan 3) Jarak perpisahan
Puas
Tidak Puas Aspek Kepuasan Pernikahan :
1) Komunikasi 2) Orientasi Agama
3) Kegiatan di Waktu Luang 4) Penyelesaian Konflik 5) Pengelolaan Keuangan 6) Hubungan geksual 7) Keluarga dan Teman
8) Anak dan Pengasuhan Anak 9) Kepribadian
10) Kesetaraan Peran Karakteristikcommuter
marriage:
1) Pasangan suami istri yang keduanya bekerja 2) Pasangan tinggal di dua
lokasi geografis yang berbeda
3) Jarak yang memisahkan pasangan antara 40-2.700 mil
1.5 Asumsi penelitian
Berdasarkan uraian kerangka pikir di atas dapat ditarik asumsi, bahwa:
1. Istri pada pasangan Commuter Marriage di Gereja “X” Kota Bandung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang berbeda-beda sesuai dengan penghayatannya dalam
menjalankan peran sebagai pengasuh anak, mengatur rumah tangga, dan bekerja serta
mengatasi kesulitan-kesulitannya di dalam hubungan pernikahan jarak jauh.
2. Terdapat sepuluh aspek dalam Kepuasan Pernikahan yaitu komunikasi, orientasi
keagamaan, kegiatan di waktu luang, hubungan seksual, penyelesaian konflik,
pengelolaan keuangan, keluarga dan teman, anak serta pengasuhan anak, kepribadian, dan
kesetaraan peran, yang akan menentukan penghayatan istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung.
3. Istri pada pasangan Commuter Marriage yang puas terhadap pernikahannya adalah istri yang merasa bahagia dengan pernikahannya dan dapat mengatasi kesulitan serta tantangan
di dalam pernikahannya.
87 BAB B
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
8erdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebagian besar istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung (58,87%)
memiliki penghayatan pernikahan yang puas.
2. Sebagian besar istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang
menghayati puas pada pernikahan, menghayati puas pula pada aspek komunikai, orientasi
keagamaan, penyelesaian konflik,pengelolaan keuangan, orientasi seksual, keluarga dan
teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan keseteraan peran.
3. Seluruh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati
puas pada pernikahan, menghayati puas pula pada aspek kegiatan di waktu luang.
4. Sebagian besar istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang
menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek komunikai,
kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, orientasi seksual,
5. Seluruh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati
tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek orientasi keagamaan
juga pada aspek anak dan pengasuhan anak.
6. Sebagian istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati
tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek pengelolaan keuangan
dan sebagian istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang
menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati puas ada aspek pengelolaan keuangan.
7. Di samping data demografi (Usia Pernikahan dan Jumlah Anak ), faktor-faktor yang
memiliki kecenderungan keterkaitan dengan derajat kepuasan pernikahan yang dihayati oleh
istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung adalah puas pada keadaan
ekonomi sebelum menikah, memiliki hubungan orangtua yang harmonis, memiliki tingkat
pendidikan menunjang karir yang diinginkan, kehadiran anak, pertemuan dengan suami,
frekuensi pertemuan dengan suami, dan dapat beradaptasi di dalam pernikahan.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. 8agi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai variabel Kepuasan Pernikahan, hasil
penelitian ini dapat dijadikan masukan dan rujukan untuk memperkaya pemahaman
mengenai Kepuasan Pernikahan.
2. 8agi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai variabel Kepuasan Pernikahan
diharapkan untuk menyusun kembali alat ukur Kepuasan Pernikahan dan menghitung
89
3. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal jumlah responden yang terbatas. Oleh karena
itu, peneliti lain yang ingin meneliti mengenai Kepuasan Pernikahan disarankan untuk dapat
menjaring responden yang lebih banyak sehingga memperoleh penelitian yang lebih
komprehensif.
5.2.1 Saran Praktis
1. 8agi konselor pernikahan di Gereja “X” Kota 8andung, hasil ini penelitian ini dapat
memberikan informasi yang digunakan untuk bimbingan dan pengarahan secara langsung
maupun melalui suatu seminar atau retreat kepada istri pasangan commuter marriage di
Gereja “X” Kota 8andung mengenai pentingnya pemahaman mengenai kepuasan
pernikahan supaya meningkatkannya dan memunculkan kebahagiaan di pernikahan
pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota 8andung.
2. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak
puas pada pernikahan agar melakukan konseling dengan konselor di Gereja “X” Kota
8andung agar dapat mengetahui kondisi yang individu alami, penyebab, dan alternative
penyelesaiannya sehingga individu dapat memiliki kepuasan pernikahan dan merasakan
90
Bee, Helen L. & Sandra K. Mitchell. (1984). The Developing Person (A Life Span Approach). USA : Publisher New york.
Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. (2010). Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta Pusat : Badan Pusat Statistik
Duvall, E.M. dan Miller, B.C. (1985).Marriage and family development. New York: Harper and Row.
Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.
Gerstel, N.Gross, H.E. (1982). Commuter Marriage : A Review. Dalam Gross, H & Sussman, Marvin B. (Eds) I (5thed, hal 71-93)New York: Haworth Press
Goldsmith, E.B. (1998). Theory, Work, and Family: Research and Applications. California: Select Press
Hendrick, S & Hendrick, C. (1992).Liking, loving & relating (2nd ed). California: Brooks/ Cole Publishing Company Pacific Grove
Hughes, F.P & Noppe, L.D. (1985). Human Development Across The Life Span. New York: West Publishing Company.
Hurlock, Elizabeth, B. (2006). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga: Jakarta.
Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019.
Kaplan, R. M. & Saccuzzo. (2005). Psychological testing: Principles, Application, and Issues (6thed.).Belmont: Thomson Wadsworth.
Koentjaraningrat, (1976).Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan Lemme, B. H. (1995).Development in adulthood. USA: Allyn & Bacon.
Matlin, Margareth W. (2008). The Psychology of Women. United State of America: Thomson Wardsworth.
Nazir, Mohammad. (1988).Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
91
Universitas Kristen Maranatha Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human Development. (10th Edition). New
York: McGraw-Hill.
Santrock, John W. (2002).Life Span Development. Second Edition, Jakarta: Erlangga
Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.
Stafford, Laura. (2005). Maintaining long-distance and cross-residential relationships. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates
Sugiyono.(2007).Statistika untuk Penelitian.Bandung: Alfabeta Suseno, F. M. (1992).Etika Jawa.Jakarta: PT. Gramedia
92
Fowers, B.J & Olson, D.H. (1989). Enrich marital inventory : a discriminant validity & cross validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15
Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1993). Enrich marital scale: a brief research and clinical tool. Journey of Family Psychology, 7 (2), 176-185. Diakses tgl. 3 September 2014 dari: http://www.buildingrelationships.com/pdf/study10.pdf.
Greenstein, T.N. (1996). Gender ideology and perceptions of the fairness of the division of household labor: Effect on marital quality.Social Forces, 74.
Gustafson, Per. (2006). Work-related travel, gender, and family obligations. Work, employment and society, 20 (3), 513-530. Diakses tgl 3 September 2014 dari: http://wes.sagepub.com/cgi/content/abstract/20/3/513.
Johnson, S.L. and Jacob, T. (2000). Sequential Interaction in the Marital Communication of Depressed Men and Women.Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 68, No. 1, 4-12.
Marini, Liza dan Julinda (2009). Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage.Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Marriage and Family Encyclopedia (2009). http://family.jrank.org. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014
Mehrabian dan Blum. (1999). Comprehesive Marital Satisfaction Scale (CMSS). Conceptualizing and Measuring “Healthy Marriage part II”.
Ningrum, Diah Woro Nensi Kusuma. (2014). Fear of Success pada Wanita Jawa yang Bekerja. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Pujiastuti, E. Retnowati, S. (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan Tidak Bekerja. Humanitas Indonesian Psycological Journal, Agustus, Vol. 1 (2) : 1 - 9.
Rhodes, A. (2002). Long-distance relationship in dual-career commuter couple: A review of conseling issues, The Therapy for couples and Families398-404
Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002).Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293.
93
Universitas Kristen Maranatha Rini, K. Q dan Retnaningsih. (2008). Kontribusi Self Disclosure Pada Kepuasan Perkawinan
Pria Dewasa Awal Jurnal..
Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002).Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293. Salim, Cicilia. (2010). Gambaran faktor-faktor kepuasan perkawinan istri bekerja yang
suaminya tidak bekerja [On-line]. Abstrak dari Undergraduate ThesesUniversitas
Atmajaya. Diakses pada 13 Oktober 2014 dari
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=171236.
Scoot, Andrea T. (2002). Communication characterizing successful long distance marriages. Disertasi. Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College. Diakses tgl. 3 September 2014 dari: http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0416102-172102/unrestricted/Scott_dis.pdf
Sudarto, Angela. (2014).Studi Deskriptif Kepuasan Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No.1