PERATURAN DAERAH KOTA PADANG
NOMOR 3 TAHUN 2013
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PADANG,
Menimbang : a. bahwa pengambilan dan pemanfaatan Sumber Daya Mineral agar dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan Pemerintah Daerah maka kegiatan usaha pernambangannya perlu dikelola secara efektif, efisien, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; b. bahwa di Kota Padang sumber daya alam
pertambangan cukup potensial, karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara tepat aturan, tepat guna dan tepat manfaatnya yang dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat; c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 72
dan Pasal 143 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Kabupaten/Kota di beri wewenang untuk mengatur pertambangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral.
Mengingat : 1. UndangUndang Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 20;
2. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
4. UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 5. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Rebuplik Indonesia Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4337), sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Rebuplik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
6. UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesi Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
8. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059;
9. UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun1980 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3164).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah Kota /kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang
Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG dan
WALIKOTA PADANG MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Padang.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota Padang dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah dibidang pertambangan.
6. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Barat.
7. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
8. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas maupun padu.
9. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
10. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP. 11. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP.
12. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat, 13. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk
memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
14. Peta potensi mineral dan/atau berbatuan adalah data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan Walikota.
15. Peta potensi/cadangan mineral dan atau berbatuan adalah data dan informasi hasil eksplorasi yang dilakukan Walikota.
16. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
17. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. 18. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai
pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan
19. Upaya Pengelolaan Lingkungan selanjutnya disingkat dengan UKL. 20. Upaya Pemantauan Lingkungan selanjutnya disingkat dengan UPL.
21. Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat IPR adalah izin untuk melaksanakana usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
22. WilayahPertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR.
24. Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disingkat IUPK Eksplorasi.
25. Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya disingkat IUPK Operasi Produksi.
26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
27. Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN Pasal 2
Pengelolaan pertambangan dilaksanakan berasaskan pada: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan daerah; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan berkesinambungan, pengelolaan pertambangan bertujuan:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan berbatuan secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral dan berbatuan sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan daerah;
d. mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan daerah nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat regional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan menciptakan lapangan kerja untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan berbatuan.
BAB III
IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu
Pasal 4
(1) IUP diberikan oleh Walikota berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD.
(3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa orang perseorangan atau perusahaan komanditer.
(4) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
Bagian Kedua
Tahapan Izin dan Jenis Usaha Pasal 5
IUP diberikan melalui tahapan: a. pemberian WIUP; dan
b. pemberian IUP.
Pasal 6
(1) Pemberian WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas:
a. WIUP mineral logam;
b. WIUP mineral bukan logam; dan/atau c. IUP batuan.
(2) WIUP mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dengan cara lelang.
(3) WIUP mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah.
Pasal 7
(1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
(2) Setiap pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) WIUP.
Pasal 8
Untuk memperoleh IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), pemohon harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
Bagian Ketiga Bentuk IUP
Pasal 9
(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas: a. IUP Eksplorasi; dan
b. IUP Operasi Produksi. (2) IUP Eksplorasi terdiri atas:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam; dan/atau c. batuan.
(3) IUP Operasi Produksi terdiri atas: a. mineral logam;
b. mineral bukan logam; dan/atau c. batuan.
Bagian Empat Persyaratan Izin
Pasal 10
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan d. finansial.
Pasal 11
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk badan usaha meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam: 1. surat permohonan;
2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan; 2. profil badan usaha;
3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. nomor pokok wajib pajak;
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk koperasi meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batuan:
1. surat permohonan; 2. susunan pengurus; dan 3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan; 2. profil koperasi;
3. akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus; dan 6. surat keterangan domisili.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk orang perseorangan meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam: 1. surat permohonan; dan
2. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan; 2. kartu tanda penduduk;
3. nomor pokok wajib pajak; dan 4. surat keterangan domisili.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam: 1. surat permohonan;
2. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan; 2. profil perusahaan;
3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 6. surat keterangan domisili.
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:
1. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;
2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional;
2. laporan lengkap eksplorasi; 3. laporan studi kelayakan;
4. rencana reklamasi dan pascatambang; 5. rencana kerja dan anggaran biaya;
6. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan
7. tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.
Pasal 13
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi:
a. untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
1. menyusun dokumen lingkungan Amdal atau UKL/UPL;
2. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
3. memiliki izin lingkungan;
4. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 14
(1) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d untuk:
1. bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; dan
2. bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah berakhir. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan finansial dan jaminan
kesungguhan diatur dengan Peraturan Walikota
Pasal 15
IUP Produksi diberikan sebagai upaya peningkatan kegiatan ekploitasi. Pasal 16
(1) Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi.
(2) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Bagian Kelima
IUP Operasi Produksi Khusus Pasal 17
(1) IUP Operasi Produksi Khusus diberikan oleh Walikota.
(2) Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukankegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian;
dan/atau
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Operasi Produksi khusus diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam Pemasangan Tanda Batas
Pasal 18
(1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUP.
(2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi.
(3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Ketujuh
Jangka Waktu Izin Pertambangan Paragraf 1
Jangka Waktu IUP Eksplorasi Pasal 20
(1) Jangka waktu IUP Eksplorasi mineral logam paling lama 5 (delapan) tahun.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun;
b. eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing masing 1 (satu) tahun;
c. studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.
(3) Jangka waktu IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (3) meliputi; a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun;
(5) Jangka waktu IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(6) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi: a. penyelidikan umum 1 (satu) tahun;
b. eksplorasi 1 (satu) tahun; dan c. studi kelayakan 1 (satu) tahun.
Paragraf 2
Jangka Waktu IUP Operasi Produksi Pasal 21
(1) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
(2) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
(3) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
(4) Jangka waktu IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
(5) Jangka waktu Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diajukan paling cepat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP.
Bagian Kedelapan Luas WIUP
Pasal 22
WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada Walikota.
Pasal 23
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling maksimal 10.000 (sepuluh ribu) hektar.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar.
Pasal 24
(1) Pemegang IUP Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling maksimal 5.000 (lima ribu) hektar.
(2) Pemegang IUP Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 2.000 (dua ribu) hektar.
(3) Pemegang IUP Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling maksimal 1.000 (seribu) hektar.
Bagian Kesembilan
Harga Mineral Bukan Logan dan Batuan Pasal 25
(1) Harga patokan mineral logam dan batuan ditetapkan oleh Walikota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga patokan mineral logam dan batubara diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB IV
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT Bagian Kesatu
Umum Pasal 26
(1) Untuk mendapatkan IPR pemohon wajib menyampaikan permohonan kepada Walikota.
(2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh Walikota.
(3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) sampai maksimal 5 (lima) IPR.
Bagian Kedua
Persyaratan Pemberian IPR Pasal 27
(1) Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan IPR.
(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi: a. persyaratan administratif;
Pasal 28
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a untuk:
a. perseorangan, meliputi: 1. Surat permohonan; 2. Kartu tanda penduduk;
3. Komoditas tambang yang dimohon; 4. Surat keterangan dari Lurah setempat;
5. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup Kota ;
6. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup atau UKLUPL berdasarkan peraturan perundangundangan;
7. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
8. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat apabila kegiatan pertambangan rakyat dilakukan di tanah yang bukan milik si pemohon.
b. kelompok masyarakat, meliputi: 1. Surat permohonan;
2. Komoditas tambang yang dimohon; 3. Surat keterangan dari Lurah setempat;
4. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup Kota ;
5. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup atau UKLUPL berdasarkan peraturan perundangundangan;
6. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
7. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat apabila kegiatan pertambangan rakyat dilakukan di tanah yang bukan milik si pemohon.
c. koperasi setempat, meliputi: 1. surat permohonan;
2. Nomor pokok wajib pajak;
3. Akta pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. komoditas tambang yang dimohon; 5. Surat keterangan dari Lurah setempat;
6. Surat rekomendasi dari kantor lingkungan hidup;
8. Surat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air Kota bagi kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan di sungai;
9. Surat persetujuan dari pemilik tanah atau penguasa tanah ulayat apabila kegiatan pertambangan rakyat dilakukan di tanah yang bukan milik si pemohon.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b berupa surat pernyataan yang memuat mengenai:
1. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;
2. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR;
3. tidak menggunakan alat berat, bahan peledak maupun alatalat lainnya yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup;
4. mematuhi persyaratan teknis pertambangan lainnya yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan.
(3) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat.
Bagian Ketiga
Kelompok Usaha Pemegang IPR Pasal 29
Kegiatan usaha pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut: a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam; c. pertambangan bebatuan.
Pasal 30
Pihak yang dapat memegang IPR ialah: a. perseorangan;
b. kelompok masyarakat; c. koperasi.
Bagian Keempat
Luas Wilayah dan Jangka Waktu pemberian IPR Pasal 31
Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada: a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar; c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
(1) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(2) Pemegang IPR dapat mengajukan perpanjangan IPR kepada Walikota setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) habis.
(3) Tata cara perpanjangan maupun persyaratan pengajuan perpanjangan IPR diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 33
Pemegang IPR dilarang memindahkan IPR tanpa persetujuan dari Walikota atau pejabat yang berwenang.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengajuan permohonan IPR diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN Bagian Kesatu
Hak Pemegang Izin Pertambangan Pasal 35
Pemegang IUP dan IPR berhak:
a. melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan baik kegiatan ekplorasi maupun kegiatan operasi produksi;
b. dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk keperluan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
c. memiliki mineral termasuk mineral ikutannya setelah membayar iuran ekplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radio aktif;
d. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah Kota ;
e. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang Izin Pasal 36
Pemegang Izin Usaha Pertambangan wajib:
a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IUP dan IPR diterbitkan;
b. menerapkan kaedah teknik pertambangan yang baik;
d. mematuhi batas toleransi lingkungan hidup; e. membayar iuran tetap dan iuran produksi;
f. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; g. menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangundangan;
h. melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang yang telah disusun oleh Walikota; i. Bagi pemegang IUP, IUP Operasi Produksi khusus wajib menerapkan
standar baku mutu lingkungan sesuai dengan karakter suatu daerah. Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut hak dan kewajiban pemegang IUP, IUP Operasi Produksi khusus, dan IPR diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB VI
PENGHENTIAN SEMENTARA DAN PEMBATALAN IZIN Bagian Kesatu
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan Pasal 38
(1) Kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan penghentian sementara apabila terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi; dan/atau c. kondisi daya dukung lingkungan.
(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku izin.
(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, penghentian sementara dilakukan oleh Walikota sesuai dengan permohonan dari pemegang izin.
(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, penghentian sementara dilakukan Walikota berdasarkan permohonan dari masyarakat.
Pasal 39
(1) Penghentian sementara karena keadaan kahar harus diajukan oleh pemegang izin dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar kepada Walikota memperoleh persetujuan.
(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
(satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun pada setiap tahapan kegiatan dengan persetujuan Walikota.
(4) Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu penghentian sementara dalam hal terkait perizinan dari instansi lain.
Pasal 40
(1) Pemegang IUP dan IUPK yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara dikarenakan keadaan kahar tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Pemegang izin yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan wajib:
a. menyampaikan laporan Walikota sesuai dengan kewenangannya; b. memenuhi kewajiban keuangan; dan
c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan.
Pasal 41
Persetujuan penghentian sementara berakhir karena: a. habis masa berlakunya; atau
b. permohonan pencabutan dari pemegang IUP atau IUPK. Bagian Kedua
Pembatalan Izin Usaha Pertambangan Pasal 42
IUP atau IPR dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat dan prosedur sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangundangan;
c. pemegang Izin tidak memenuhi kewajibankewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
d. pemegang izin memindahkan izin ke pihak lain tanpa persetujuan dari Walikota atau pejabat yang berwenang.
BAB VII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 43
(3) Pemegang IPR hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau penguasa tanah ulayat.
BAB VIII
REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Bagian Kesatu
Umum Pasal 44
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan reklamasi pascatambang. (2) Reklamasi wajib dilaksanakan pada lahan terganggu akibat kegiatan
pertambangan.
(3) Reklamasi Pascatambang wajib dilaksanakan untuk memulihkan fungsi lingkungan menurut kondisi lokal seluruh wilayah pertambangan.
(4) Pelaksanaan Relamasi pascatambang sebagaimana dimasud pada ayat (1), (2), dan (3) wajib memenuhi prinsip:
a. lingkungan hidup pertambangan; b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan c. konservasi mineral.
Pasal 45
(1) Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan, setiap Pengusaha pertambangan wajib melakukan studi lingkungan.
(2) Studi lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan oleh pengusaha pertambangan yang akan ataupun yang sudah melakukan kegiatan usaha pertambangan.
(3) Tata cara pelaksanaan studi lingkungan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 46
Prinsipprinsip lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (4) huruf a meliputi:
a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut dan tanah serta udara sesuai dengan standar baku mutu lingkungan;
b. perlindungan keanekaragaman hayati;
Pasal 47
Prinsipprinsip lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf b meliputi:
a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja; dan b. perlindungan setiap pekerja dari penyakit akibat kerja.
Pasal 48
Prinsipprinsip konservasi mineral pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c meliputi:
a. penambangan yang optimum dan pengunaan teknologi pengelolaan yang efektif dan efisien;
b. pengelolaan dan pemanfaatan cadangan marginal kualitas rendah dan mineral kadar rendah serta mineral ikutan;
c. pendataan sumberdaya cadangan mineral yang tidak tertambang serta sisa pengolahan dan pemurniaan.
Bagian Kedua
Tata Cara Teknik Reklamasi Pasal 49
Tata cara dan teknik reklamasi lahan bekas tambang secara umum ditetapkan sebagai berikut:
a. Tahap Prapenambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengamanan terhadap penambangan atau perbaikan tanaman yang dianggap perlu;
2. Pengamanan dan pemeliharaan lapisan tanah penutup dan lapisan pucuk dari bahaya erosi dan kelongsoran.
b. Tahap Penambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengaturan blokblok penambangan untuk mempermudah pelaksanaan reklamasi;
2. Pengisian dan penimbunan kembali pada lokasilokasi yang telah ditambang pada setiap periode penambangan;
3. Penataan lahan bekas tambang yang telah ditimbun dan diisi dengan cara perataan, pembuatan teras dan pengaturan peta;
4. Pengeboran lapisan tanah pucuk dan pemupukan lahan. c. Tahap Pascapenambangan
1. Pembibitan dan penanaman kembali dengan jenis tanaman keras atau tanaman produksi lainnya; dan/atau
2. Pemanfaatan lahan bekas tambang untuk alternatif lain yang disesuaikan dengan tata ruang yang berlaku.
(1) Sebelum pelaksanaan reklamasi, pemegang IUP wajib menyampaikan kepada Walikota tentang rencana, tata cara, dan teknik reklamasi yang akan diterapkan untuk mendapatkan persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya rencana reklamasi.
(3) Pemegang IUP bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan reklamasi dan menanggung segala biaya yang diperlukan.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan reklamasi harus dilakukan sesuai jangka waktu rencana reklamasi yang telah disetujui oleh Walikota.
(2) Pengusaha pertambangan pemegang IUP yang melakukan reklamasi wajib menyampaikan laporan kegiatan reklamasi setiap 3 (tiga) bulan kepada Walikota.
(3) Pelaksanaan reklamasi dianggap telah selesai dan memenuhi persyaratan jika hasil reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui Walikota. (4) Pengusaha pertambangan pemegang IUP tetap bertanggung jawab
terhadap lahan yang telah direklamasi selama hasil reklamasi belum mendapat persetujuan Walikota.
(5) Apabila berdasarkan penelitian, pengusaha pertambangan belum atau tidak dapat menyelesaikan reklamasi sesuai dengan rencana, Walikota atau Instansi yang berwenang dapat melakukan tindakan atau tuntutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Jaminan Reklamasi Pascatambang Pasal 52
(1) Pemegang IUP wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sesuai dengan perhitungan rencana biaya reklamasi dan perhitungan rencana biaya pascatambang yang disetujui Walikota
(2) Jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sebagaaiamana dimaksud ayat (1) wajib ditempatkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah jadwal yang telah ditentukan.
(3) Dana Reklamasi pascatambang ditentukan oleh Walikota berpedoman pada peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 53
Pemegang IUP dapat menempatkan jaminan reklamasi dalam bentuk Deposito berjangka, Bank Garansi atau Asuransi, atau cadangan Akutansi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah, tata cara penempatan, dan pencaairan atau pelepasan jaminan reklamasi, serta penetapan pihak ketiga diatur dalam Peraturan Walikota.
Bagian Keempat Pelaporan
Pasal 55
(1) Pemegang IUP IUP Operasi Produksi Khusus dan IPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pertambangan setiap tahun kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(2) Pemegang IUP IUP Operasi Produksi Khusus dan IPR wajib menyampaikan laporan kegiatan pertambangan reklamasi setiap tahun kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(3) Pemegang IUP IUP Operasi Produksi Khusus dan IPR wajib menyampaikan laporan kegiatan pertambangan pascatambang setiap 3 (tiga) bulan kepada Walikota melalui Kepala Dinas.
(4) Walikota akan melakukan evaluasi terhadap laporan tersebut.
(5) Tata cara evaluasi pelaporan kegiatan pertambangan, kegiatan reklamasi dan pascatambang diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 56
(1) Dinas harus menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan kegiatan usaha pertambangan kepada Walikota secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
(2) Walikota harus menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan kegiatan usaha pertambangan kepada Gubernur.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu
Pembinaan Pasal 57
(1) Walikota melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan.
(2) Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi halhal sebagai berikut:
a. pemberian bimbingan dan supervisi tata kelola administrasi dan manajemen pengelolaan kegiatan usaha pertambangan;
b. pemberian pedoman penyusunan laporan penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan rakyat;
c. pemberian pedoman teknis pertambangan;
e. pemberian pendidikan dan pelatihan kegiatan usaha pertambangan. f. pemberian pedoman keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan
rakyat; dan
g. pemberian bantuan modal sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 58
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan dilakukan pejabat yang ditunjuk oleh Walikota.
(2) Pengawasan terhadap pengelolaan usaha pertambangan dilaksanakan melalui:
a. evaluasi terhadap laporan rencana dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dari pemegang izin; dan/atau
b. inspeksi ke lokasi izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA PERTAMBANGAN RAKYAT Pasal 59
(1) Penyelesaian sengketa pertambangan rakyat dapat ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa pertambangan dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh dalam hal apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Pasal 60
(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dalam bentuk mediasi.
(2) Penyelesaian sengketa pertambangan rakyat dapat dilakukan melalui musyawarahmufakat melalui:
a. Kerapatan Adat Nagari; atau b. Pemerintah Kota.
(3) Penunjukan mediator dalam penyelesaian sengketa dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang bersengketa.
BAB XI
PENDAPATAN DAERAH Pasal 61
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib membayar pajak/iuran atas kegiatan usaha pertambangan yang dilakukannya.
(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
b. Iuran tetap; dan/atau c. Iuran produksi.
(3) Pendapatan daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a sesuai Peraturan Daerah yang berlaku.
(4) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 62
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat berupa berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi;
c. pencabutan izin;
d. Pengenaan Uang Paksa.
(2) Walikota dapat memberikan sanksi administratif menurut ayat (1) atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, ayat (1) dan (2), Pasal 45 dan Pasal 55 ayat (1),(2),(3) dan (4).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 63
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan daerah ini sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
a. menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan yang berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap peraturan daerah ini agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan daerah ini.
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap peraturan daerah ini.
d. memeriksa buku–buku, catatancatatan dan dokumendokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran terhadap peraturan daerah ini.
e. melakukan pengeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumendokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan daerah ini. g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaiman dimaksud huruf e.
h. momotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan daerah ini.
i. memanggil orang untuk di dengan keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
j. menghentikan penyidikan.
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana terhadap pelanggaran peraturan daerah ini menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA Pasal 64
(2) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, kerusakan kondisi akibat pengelolaan pertambangan, serta pelanggaran proses penerbitan izin pertambangan, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP Pasal 65
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 66
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Padang.
Ditetapkan di Padang
pada tanggal 15 Februari 2013 WALIKOTA PADANG,
FAUZI BAHAR
Diundangkan di Padang
pada tanggal 15 Februari 2013
SEKRETARIS DAERAH KOTA PADANG
SYAFRIL BASYIR
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 3 TAHUN 2013
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL
I. UMUM
Bahwa berdasarkan semangat Undang–Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dimana potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayah kabupaten dan merupakan kekayaan Daerah sepenuhnya dapat dikelola langsung oleh Daerah Kabupaten/Kota. Semangat kedua Undangundang tersebut dalam rangka memenuhi hal yang asasi dalam pemerintahan daerah yakni pemeberian otonomi.
Seiring dengan semangat undangundang diatas maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mana dengan keberadaan UndangUndang ini di harapkan agar sumber daya alam yang tak terbarukan,pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Atas dasar inilah agar manfaat sumberdaya alam dapat benar dirasakan oleh masyarakat sehingga berdasarkan pasal 67 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 dimana melalui UU ini memerintahkan kepada Walikota melakukan pengelokaan usaha pertambangan termasuk pertambangan rayat.
Pasal 1
Cukup jelas Pasal 2
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.
Cukup jelas Pasal 6
Cukup jelas Pasal 7
Cukup jelas Pasal 8
Cukup jelas Pasal 9
Cukup jelas Pasal 10
Cukup jelas Pasal 11
Cukup jelas Pasal 12
Cukup jelas Pasal 13
Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas Pasal 15
Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas
Cukup jelas Pasal 22
Cukup jelas Pasal 23
Cukup jelas Pasal 24
Cukup jelas Pasal 25
Cukup jelas Pasal 26
Cukup jelas Pasal 27
Cukup jelas Pasal 28 yang sudah berdomisili sekurang kurangnya 5 (lima) Tahun.
Angka 3
Cukup jelas Angka 4
Surat Keterangan dari Kelurahan/Desa setempat harus diketahui oleh Camat apabila kewenangan tidak didelegasikan
Pasal 30
Cukup jelas Pasal 31
Cukup jelas Pasal 32
Cukup jelas Pasal 33
Cukup jelas Pasal 34
Cukup jelas Pasal 35
Cukup jelas Pasal 36
Cukup jelas Pasal 37
Cukup jelas Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Keadaan kahar dalam ketentuan ini antara lain meliputi perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan lainlain bencana alam di luar kemampuan manusia.
Huruf b
Keadaan yang menghalangi dalam ketentuan ini antara lain meliputi blokade, pemogokan, perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPKdan ketentuan peraturan perundangundangan yang diterbitkan oleh menteri yang menghambat kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang sedang berjalan.
Huruf c
Kondisi daya dukung lingkungan dalam ketentuan ini adalah apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi mineral dan/atau batubara yang dilakukan diwilayahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 39
Cukup jelas Pasal 40
Pasal 41
Cukup jelas Pasal 42
Cukup jelas Pasal 43
Cukup jelas Pasal 44
Cukup jelas Pasal 45
Cukup jelas Pasal 46
Cukup jelas Pasal 47
Cukup jelas Pasal 48
Cukup jelas Pasal 49
Cukup jelas Pasal 50
Cukup jelas Pasal 51
Cukup jelas Pasal 52
Cukup jelas Pasal 53
Cukup jelas Pasal 54
Cukup jelas Pasal 55
Cukup jelas Pasal 56