MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN
(Kajian
Mukhtalif al- h}adi>th
No. Indeks 1413 dan No. Indeks 1480
dalam
S{ah}i>h} al-Muslim
)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
NURUL WASILAH NIM: E03212035
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN
(Kajian
Mukhtalif al- h}adi>th
No. Indeks 1413 dan No. Indeks 1480
dalam
S{ah}i>h} al-Muslim
)
Skripsi:
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Al-Qur‘an dan Hadith/Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
NURUL WASILAH NIM: E03212035
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Nurul Wasilah, 2016. MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN (Kajian Mukhtalif al-H}adi>th No. Indeks 1413 dan No. Indeks 1480 dalam S}ah}i>h} Muslim). Skripsi Jurusan Al-Qur’an dan Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Masalah yang diteliti ini dilakukan karena berangkat dari perbedaan pendapat antar ulama mengenai meminang pinangan orang lain. Yakni yang diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi SAW yakni Ibnu ‘Umar dan Fa>t}imah bint Qays namun kedua h}adi>th tersebut memiliki kandungan makna yang berbeda, tentunya hal ini menimbulkan pertentangan.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab permasalahan mengenai ke-h}ujjah-an h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain dalam kitab s}ah}i>h} muslim yakni antara h}adi>th yang melarang (no. indeks 1413) dan membolehkan (no. indeks 1480), serta penyelesaian kedua h}adi>th tersebut dengan menggunakan kajian keilmuan mukhtalif al-h}adi>th.
Sifat dari penelitian ini adalah kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analisis.Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab s}ah}i>h} muslim dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhri>j dan yang terakhir adalah dengan menerapkan kajian keilmuan mukhtalif al-h}adi>th dalam memecahkan kedua h}adi>th tersebut.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa kualitas h}adi>th tersebut keduanya tergolong s}ah}i>h} baik dari segi sanad maupun matn, sehingga h}adi>th tersebut merupakan h}adi>th yang valid, dan termasuk kategori maqbu>l ma’mu>lun bih yang dapat dijadikan h}ujjah dan dapat diamalkan sesuai dengan konteksnya, kemudian setelah mengkaji kedua h}adi>th tersebut dengan menggunakan kajian keilmuan mukhtalif al-h}adi>th, dapat diketahui bahwa metode yang tepat adalah dengan jalan al-Jam’u wa al-tawfi>q,yakni dibatasi dengan penerimaan dari wanita. Jika wanita ini sudah dilamar orang lain kemudian walinya menyetujuinya maka menerima pinangan kedua tidak diperbolehkan (dalam hal ini h}adi>th riwayat Ibn ‘Umar yang berlaku), akan tetapi jika lamaran tersebut hanya sebatas mengajukan proposal dan belum diterima, maka diperbolehkan (dalam hal ini h}adi>th riwayat Fa>t}imah bint Qays yang berlaku).
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAKSI ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah... 7
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 8
F. Penegasan Judul ... 9
G. Kerangka Teori ... 10
H. Telaah Pustaka ... 11
I. Metodologi Penelitian ... 13
J. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II KE-H}UJJAH-AN DAN MUKHTALIF AL-H}ADI>TH ... 20
A. Peminangan dan Problematika di Sekitarnya ... 20
B. Kualitas H}adi>th, Kaidah dan Ke-H}ujjah-an H}adi>th ... 25
1. Macam-macam Kualitas H}adi>th ... 25
2. Kaidah dan Langkah Kritik Sanad dan Matn ... 28
3. Teori Ke-h}ujjah-an H}adi>th ... 32
C. Mukhtalif al-H}adi>th ... 37
1. H}adi>th Mukhtalif ... 37
BAB III H}ADI>TH MEMINANG PINANGAN ORANG
LAIN ... 44
A. Imam Muslim ... 44
1. Biografi, Guru dan Murid Imam Muslim ... 44
2. Karya-karya Imam Muslim ... 46
3. Kitab S}ah}i>h} Ima>m Muslim ... 47
4. Metode dan Sistematika Kitab S}ah}i>h} Ima>m Muslim ... 49
5. Penilaian Ulama terhadap Kitab S}ah}i>h} Ima>m Muslim ... 50
B. H}adi>th larangan Meminang Pinangan Orang Lain 1413 ... 50
1. H}adi>th dan Terjemah ... 50
2. Takhri>j al-H}adi>th ... 51
3. Skema Sanad Tunggal, Tabel dan Biografi Perawi ... 53
4. Skema Sanad Gabungan ... 76
5. I’tiba>r ... 77
C. H}adi>th Pembolehan Meminang Pinangan Orang Lain 1480 1. H}adi>th dan Terjemah ... 80
2. Takhri>j al-H}adi>th ... 81
3. Skema Sanad Tunggal, Tabel dan Biografi Perawi ... 83
4. Skema Sanad Gabungan ... 95
5. I’tiba>r ... 96
BAB IV KE-H}UJJAH-AN DAN PENYELESAIAN H}ADI>THMEMINANG PINANGAN ORANG LAIN ... 99
1. Ke-s}ah}i>h}an Sanad H}adi>th ... 99
2. Ke-s}ah}i>h}an Matn H}adi>th ... 101
B. Ke-h}ujjah-an H}adi>th Larangan Meminang Pinangan Orang Lain No. Indeks 1480 ... 103
1. Ke-s}ah}i>h}an Sanad H}adi>th ... 103
2. Ke-s}ah}i>h}an Matn H}adi>th ... 105
C. Sharh} dan Penyelesaian H}adi>h Mukhtalif tentang Meminang Pinangan Orang Lain ... 107
BAB V PENUTUP ... 113
A. Kesimpulan ... 113
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendahuluan akad pernikahan adalah al-Khit}bah (meminang). Meminang maksudnya, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.Meminang termasuk salah satu usaha pendahuluan dalam rangka perkawinan. Allah menggariskan agar masing-masing pasangan yang hendak menikah, lebih dulu saling mengenal sebelum dilakukan aqad pernikahan, sehingga pelaksanaan perkawinannya nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.1
Perempuan boleh dipinang bilamana memenuhi dua syarat yaitu: Yang pertama, pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan. Yang kedua, belum dipinang orang lain secara sah.
Bilamana terdapat halangan-halangan hukum, seperti: Perempuan yang haram untuk dikawin baik selamanya atau sementara, atau telah dipinang lebih dulu oleh orang lain, maka tidak boleh dipinang.2Imam Malik berpendapat bahwa tidak dibolehkannya meminangpinangan orang lain atau saudaranya, dan apabila hal itu terjadi maka akanberpengaruh
1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6 (Bandung: PT Alma’arif, 1980), 38.
2
2
pada keharaman seseorang yang meminang pinangan saudaranya yang berarti ia telah menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, danserta bisa memecah belah hubungan kekeluargaan dan menganggu ketentramandari saudaranya.3
Sedangkan, wanita yang dipinang seseorang boleh menerima kedatangan pinangan kedua, ketiga dan seterusnya selama wanita tersebut belum menentukan pilihan salah satu di antara mereka. Namun apabila wanita dan walinya sudah menerima lamaran salah satu pelamar, maka orang lain tidak boleh melamar sesudahnya. Ini termasuk larangan yang keras, karena bisa menjadi penyebab permusuhan dan kemarahan di masyarakat muslim.4Penulis juga menemukan kisah di buku S}ala>t Tarik Jodoh yang terkait dengan pertunangan.
Suatu ketika seorang Akhwat datang dengan membawa masalah. Sebut saja Ana (bukan nama sebenarnya) telah menerima pinangan atau lamaran dari seorang laki-laki (yang bernama Halim) yang menurutnya baik. Keluarganya pun setuju dan menerima Halim untuk menjadi calon menantunya. Tetapi karena sesuatu dan lain hal, pernikahan belum bisa diselenggarakan segera dalam waktu dekat ini. Masih ada beberapa hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk melengkapi keperluan nikah.
3Muhammad Arfan, “Studi Analisis Tentang Hukum Meminang di atas Pinangan Orang Lain
Menurut Pendapat Imam Malik” (Skripsi Jurusan Akhwal as-Syahsiyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2010), 4.
4
3
Dalam masa penantian, secara informal datanglah seorang laki-laki lain (sebut saja Ardi) yang meminang Ana. Dalam pandangan Ana, Ardi juga laki-laki yang baik. Ana menyampaikan kepada Ardi bahwa dirinya telah dipinang oleh orang lain (dia adalah Halim) dan keduanya telah merencanakan pernikahan. Toh belum ada akad nikah kan, atau janur kuning belum melengkung? Jika Halim (si peminang pertama) meneruskan pinangannya sampai kepernikahan , saya akan mundur dengan sukarela (kata peminang kedua yaitu Ardi). Akan tetapi, seandainya Halim memutuskan pinangannya, maka saya bersedia menjadi penggantinya. Saya akan meminang dan menikahimu. Tidak ada salahnyakan menjajagi kemungkinan ini, ujar Ardi.Tapi mencabut perasaan dan keputusan ternyata tak semudah mencabut duri dalam daging.Ana menerima logika berfikir Ardi.Ia pun menyetujui pendapat Ardi.Namun belakangan ternyata Ardi sangat serius dengan pinangannya.Ardi berusaha meyakinkan Ana bahwa dirinya sanggup untuk menikah dengannya dalam waktu dekat.Kini, Ana dalam posisi bagai buah simalakama.5
Sekarang keduanya berkeinginan untuk segera menikah dengan Ana dan siap untuk segera melangsungkan pernikahan.Persoalan ini semakin sulit dipecahkan karena Ana merasa keduanya baik. Ketika persoalan ini dihadapkan kepada M. Syafi’ie el-Bantanie,pengarang buku shalat tarik jodoh, ia teringat pesan Rasulullah SAW agar tidak meminang
5M. Syafi’ie el
4
wanita yang berada dalam pinangan orang lain.6Dalam S{ah}i>h} al-Muslim nomor indeks 1413.
H}adi>th tentang meminang pinangan orang lain mengandung arti
istithna>‘ terhadap dua hukum. Yaitu menunggu akad jual beli selesai
sampai dia membeli atau membatalkan transaksi jual beli.Seperti yang ada
di dalam kaidah Syafi’iah.Adapun riwayat yang kedua lebih khusus untuk
pernikahan. Seorang tidak dibolehkan meminang perempuan jika telah dipinang oleh orang lain, sampai di melanjutkan atau membatalkan. Oleh
karena itu di kalangan Syafi’iah terjadi perbedaan terhadap h}adi>th ini.
Pertama, ada kemungkinan h}adi>th ini khusus pada bab pernikahan, dan yang kedua, h}adi>th ini ada pada bab muamalah. Akan tetapi dari beberapa perbedaan pendapat tersebut sebenarnya mempunyai satu makna, baik nikah ataupun jual beli, keduanya sama-sama melarang mengambil hak orang lain.7
Mengapa Rasulullah melarang seorang laki-laki meminang seorang perempuan yang telah dipinang laki-laki lain?Kisah Ana di atas adalah jawabannya. Hal ini untuk menghindari fitnah, sakit hati, putusnya silaturrahim, dan dampak negatif lainnya yang ditimbulkan dari kasus semacam ini.
6
M. Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), 116.(Lihat juga Ima>m Muslim bin al-Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, juz II (Beirut: Da>r al-fikr, 2005), 4)
7Maman Firmansyah, “Hadis
5
Namun demikian, ada kalanya seorang laki-laki tidak tahu bahwa perempuan yang akan dipinangnya itu sudah lebih dulu dipinang oleh laki-laki lain dan pinangan laki-laki-laki-laki pertama itu diterima. Maka dalam hal ini, seorang perempuan yang telah menerima pinangan seorang laki-laki, hendaknya bisa menjaga komitmen.Jangan buka pintu hati lagi. Jangan bermain api. Demikian pula, adakalanya jarak pinangan ke pernikahan sebaiknya jangan terlalu lama, maksimal tiga bulan.Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang bisa mengganggu lancarnya pernikahan.Salah satunya adalah kasus yang dialami Ana di atas. Dengan tidak lamanya jarak dari pinangan ke pernikahan akan membuat pihak perempuan merasa mantap dan yakin dengan rencana pernikahannya.8
Jika peristiwa di atas sudah terjadi, maka bagaimana hukumnya?Menurut pendapat sebagian ahli fiqih, akad perkawinan dari pelamar kedua yang melakukan lamaran pada lamaran saudaranya, tidak berlaku dan dikembalikan kepada pelamar pertama.Hal ini menjadi salah satu penyebab yang membatalkan pernikahan. Sebagian ahli fiqih yang lain menyatakan, hal ini tidak membatalkan pernikahan, tetapi pelamar
kedua tersebut diberi sangsi secara syari’at. Sebagian yang lain lagi
berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan akad nikah, hanya saja pelakunya diberi celaan dan balasan.9
8Syafi’ie el
-Bantanie, Shalat Tarik Jodoh, 169.
9
6
Seperti yang kita lihat bahwa lamaran yang telah diterima, berdasarkan ketentuan dalam kitab Al-Qur’an maupun Sunnah belum ada ketentuan tentang pembatalannya.Apabila terjadi lamaran atas lamaran, maka tidak otomatis membatalkan perkawinan pelamar kedua, meskipun dilihat hal seperti ini kurang baik dan hendaknya pelamar kedua menyadari bahwa mempertahankan lamaran seperti itu mempunyai akibat di dunia dan akhirat. Demikian pula bagi pihak wanita atau walinya. Haruslah disadari bahwa dasar pokok di dalam akad nikad itu adalah saling merelakan. Maka dapat disimpulkan bahwa akad nikah selamanya tidak diperkenankan dengan paksa.10
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa meminang pinangan atas pinangan orang lain menimbulkan banyak mudharat dan sudah dilarang sebagaimana h}adi>th Nabi dalam kitab Sahih muslim nomor indeks 1413. Namun terdapat hadis yang memperbolehkan meminang pinangan orang lain dalam S{ah}i>h} al-Muslim nomor indeks 1480. Kedua h}adi>th ini tampak saling bertentangan, di satu sisi ada yang memperbolehkan dan di sisi lain ada yang melarang. Adanya kedua h}adi>th tersebut dikategorikan dengan
h}adi>th Mukhtalif, Oleh karena itu penulis mencoba menganalisa
bagaimana kehujjahan suatu h}adi>th dapat diterima sebagai dasar hukum dalam sebuah skripsi yang berjudul :” MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN (Kajian Mukhtalif al- h}adi>th No. Indeks 1413 dan No. Indeks 1480 dalam S{ah}i>h} al-Muslim)”.
10
7
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas terdapat beberapa masalah yang menarik di bahas, yaitu:
1. Bagaimana ke-hujjah-an h}adi>th tentang larangan meminang pinangan orang lain.
2. latar belakang diperbolehkannya meminang pinangan orang lain. 3. hubungan meminang dengan jual beli barang.
4. Bagaimana ke-hujjah-an h}adi>th tentang pembolehan meminang pinangan orang lain.
5. Bagaimana penyelesaian h}adi>th yang tampak saling bertentangan. 6. Bagaimana hukum meminang pinangan orang lain.
Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada suatu permasalahan saja, yaitu h}adi>th tentang larangan dan pembolehan meminang pinangan orang lain, kemudian mengkaji kedua h}adi>th tersebut dengan menggunakan metode mukhtali>f al-hadi>th.
C. Rumusan Masalah
Dari beberapa permasalahan di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana kualitas h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain dalam S{ah}i>h} al-Muslim no. indeks 1413 dan no. indeks 1480?
8
3. Bagaimana penyelesaian h}adi>th yang tampak bertentangan no. indeks 1413 dan no. indeks 1480 dalam S{ah}i>h} al-Muslim?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yang disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu:
1. Untuk mengetahui kualitas h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain dalam S{ah}i>h} al-Muslim no. indeks 1413 dan no. indeks 1480? 2. Untuk mengetahui ke-h}ujjah-an h}adi>th tentang meminang pinangan
orang lain dalam S{ah}i>h} al-Muslim no. indeks 1413 dan no. indeks
1480?
4. Untuk mengetahui penyelesaian h}adi>th yang tampak bertentangan no. indeks 1413 dan no. indeks 1480 dalam S{ah}i>h} al-Muslim?
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Sebagai kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada
mukhtali>f al-hadi>th dan penyelesaiannya.
2. Secara teoritik diharapkan penelitian ini dapat memberikan apresiasi bagi perkembangan pemikiran dan memperkaya khazanah literature studi h}adi>th
9
4. Menemukan suatu landasan hukum dalam bentuk teks h}adi>th yang telah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sehingga ke depannya dapat menjadi landasan sebuah sikap yang benar dalam memutuskan suatu perkara, yang pada akhirnya dapat memberikan titik temu yang lebih baik
F. Penegasan Judul
Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman, maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan di jelaskan secara singkat sebagaimana berikut:
Meminang : Maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.11
Pinangan : adalah kata kerja.
Mukhtalif : Artinya yang bertentangan atau yang berselisih.
Mukhtalif al-h{adith adalah h}adi>th yang sampai kepada kita, namun saling
bertentangan maknanya satu sama lain. Sedangkan definisi menurut istilah adalah: h}adi>th yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan h}adi>th maqbul
11
10
lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.12
Penegasan judul ini memberikan gambaran bahwa pembahasan yang akan ditulis dalam penelitian ini adalah uraian h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain mulai dari pengertiannya, objek kajian dan aplikasinya sebagai upaya penyelesaian masalah dari kontradiksi h}adi>th.
G. Kerangka Teori
Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang
h}adi>th, maka landasan teori yang diutamakan adalah teori untuk menguji
kualitas h}adi>th. hal yang pertama dilakukan adalah mengumpulkan data dengan menggunakan metode takhri>j yang berguna untuk mendeteksi
h}adi>th-h}adi>th dari berbagai kitab, dilanjutkan dengan metode i’tiba>r
terhadap h}adi>th-h}adi>th untuk mengetahui tawa>bi’dan sha>wahid, kemudian dilanjutkan dengan membuat skema sanad lengkap beserta biografi para perawi guna mempermudah penelitian dalam meneliti setiap rawi h}adi>th dari berbagai kitab baik yang berkaitan dengan status tawa>bi’dan
sha>wahid, atau yang berkenaan dengan jarh} wa ta‘di>lperawi tersebut.
Selanjutnya adalah menganalisa data yang sudah terkumpul baik yang berkaitan dengan sanad atau matn-nya, dengan menggunakan teori-teori kritik h}adi>th, kemudian dilanjutkan dengan penelitian ma‘a>ni> h}adi>th untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam h}adi>th tersebut. Setelah
12
11
mendapat penjelasan dari beberapa kitab sharh} al-hadi>th dan pendapat ulama dengan menggunakan tahapan-tahapan yang tertera dalam ilmu
ma‘a>ni> h}adi>th. kemudian diselesaikan dengan menggunakan kajian
keilmuan mukhtalif al-hadi>th agar di antara kedua hadis terdapat penyelesaian yang baik dan sesuai dengan penjelasan dalam Alquran, sebagai landasan bagi umat Islam selanjutnya.
H. Telaah Pustaka
Telaah pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keorisinilan penelitian h}adi>th yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan telaah pustaka menemukan beberapa karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, diantaranya:
1. Pinangan Seorang Perempuan kepada Laki-laki (Studi
Analisis dalam Kitab Sunan Ibnu Majah No Indeks 2001)ini merupakan skripsi pada jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2013. Skripsi ini membahas tentang Kualitas hadis pinangan, mendeskripsikan kehujjahannya serta mendeskripsikan maksud seorang perempuan kepada laki-laki dalam kitab Sunan Ibnu Majah.
2. Hadis tentang Melihat Perempuan sebelum Dilamar
(Dalam Kitab al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Tirmidhi> Nomer Indeks 1087) ini juga merupakan skripsi pada jurusan Tafsir Hadis
12
Skripsi ini membahas tentang kualitas sanad dan matn hadis serta pemaknaan hadis tersebut.
3. Analisis Hukum Islam terhadap Proses Khitbah yang
mendahulukan Menginap dalam Satu Kamar (Studi Kasus di Desa Warujayeng Kec. Tanjunganom Kab. Nganjuk). Ini merupakan Skripsi jurusan Ahwal Syakhsiyah IAIN Surabaya tahun 2013. Skripsi ini membahas tentang deskripsi khitbah serta analisis hukum islam terhadap khitbah yang mendahulukan menginap dalam satu kamar
4. Studi Analisis tentang Hukum Meminang di atas Pinangan
Orang lain Menurut Pendapat Imam Malik. Ini merupakan skripsi jurusan Ahwal al-syahsiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2010. Skripsi ini membahas tentang dibolehkan meminang pinangan orang lain menurut pendapat imam malik serta metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik dalam menentukan hukum pinangan atas pinangan orang lain.
13
dasar hukum Ibnu Hazm membolehkan meminang pinangan orang lain.
6. Kewenangan Wali dalam Pernikahan (Studi Ma’a>ni
al-h}adi>th dalam Sunan Abi> Da>wud no indeks 2101). Ini
merupakan skripsi jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin STAI Al-Fitrah Surabaya tahun 2013. Skripsi ini membahas tentang kualitas hadith dan makna yang terkandung dalam hadith kewenangan wali dalam pernikahan.
Dari literature yang penulis baca, belum ada literature yang membahas h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain. Dimana spesifikasi dan spesialisasinya bertujuan untuk memberikan transformasi kebenaran dan pemahaman yang objektif tentang dua h}adi>th yang sama-sama dari Rasulullah SAW namun mengandung pemahaman yang berbeda dengan harapan dapat bermanfaat bagi masyarakat.
I. Metodologi Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal.Berikut penulis paparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Model dan Jenis Penelitian
14
tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual dengan menggunakan metode mukhtalif al-hadi>th, yakni ilmu yang membahas h}adi>th-h}adi>th yang tampak saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas h}adi>th yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
c. Sumber Data Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari tiga jenis sumber, yaitu primer, sekunder dan tersier:
1. Sumber Data Primer
Sumber primer adalah sumber data yang berfungsi sebagai sumber asli atau rujukan utama yang dipakai yakni dalam hal ini berupa kitab h}adi>th yang berjudul S{ah}i>h} al-Muslim.
2. Sumber Data Sekunder
15
berkaitan dengan pokok permasalahan. Data-data tersebut ialah sebagai berikut:
a. Mukhtalif al-h}adi>th Bayn al-Fuqaha>’ wa al-Muhaddithi>n Karangan Nafiz Husain Hammad
b. H{adi>th Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya
karangan M.Syuhudi Ismail.
c. Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq
d. Kado Pernikahan Untuk Istriku karangan Muhammad Fauzil Adhim
3. Sumber Data Tersier
Sumber tersier adalah data dari kitab digital, Maktabah
Sha>milah, Jawa>mi’ al-Kalim karya ilmiah, dan data yang terkait
dengan judul skripsi yang penulis teliti.
d. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ini menggunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya. Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu takhri>j al-hadi>th dani’tiba>r
al-hadi>th.
1. takhri>j al hadi>th
Takhri>j al-h}adi>th adalah menunjukkan tempat h}adi>th
16
sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.13Sedang yang dimaksud di sini ialah siapa saja para imam ahli h}adi>th yang mengeluarkan atau mencatat h}adi>th yang sedang menjadi topik kajian dan di kitab apa saja h}adi>th ini dimuat.14
Hal ini dilakukan bertujuan agar dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu h}adi>th yang sedang menjadi topik kajian, juga untuk mengetahui kuat dan tidaknya periwayatan. Semakin banyak jalur periwayatan, semakin bertambah kekuatan riwayat, sebaliknya tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak bertambah kemudian, kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari periwayatan jalur isna>d yang lain. Baik dari segi rawi, isna>d maupun matn
h}adi>th.15
2. I’tiba>r al-hadi>th
Yakni menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu
h}adi>th tertentu, yang pada bagian sanad-nya tampak hanya terdapat
seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad h}adi>th yang dimaksud.16
Dengan dilakukannya i‘tiba>r, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad h}adi>th yang diteliti, demikian juga
13
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadisi (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), 189.
14
Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrij (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), 97.
15
Ibid, 107.
16
17
nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan
i‘tiba>r adalah untuk mengetahui keadaan sanad h}adi>th seluruhnya
dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus tawa>bi‘, yakni periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Rasulullah SAW, ataupun
shawa>hi>d, yakni periwayat yang berstatus pendukung yang
berkedudukan sebagai sahabat Rasulullah SAW.17 e. Metode Analisis Data
Metode yang dipakai adalah menggunakan pendekatan dengan menganalisa isi (Content analysis), yaitu dengan membandingkan antara teori dengan hasil penelitian guna mengetahui keorisinilan, keabsahan redaksi matn.
Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-h}adi>th dan jarh} wa al-ta’di>l, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan h}adi>th tersebut (tah}ammul wa al-ada’). Hal itu dilakukan untuk mengetahui tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan h}adi>th.
Dalam penelitian matn, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matn diuji pada tingkat kesesuaian h}adi>th (isi beritanya)
17
18
dengan penegasan eksplisit dalam Alquran, logika atau akal sehat, fakta sejarah, h}adi>th-h}adi>th lain yang berkualitas s}ah}i>h serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.18
Dalam h}adi>th yang akan diteliti ini pendekatan keilmuan
h}adi>th yang digunakan untuk analisis isi adalah ilmu mukhtalif
al-h}adi>th yang digunakan untuk memecahkan h}adi>th yang kontradiktif
dengan menggunakan salah satu metode penyelesaiannya baik berupa
al-Jam’u wa al-Taufi>q (menggabung dan mengkompromikan h}adi>th)
atau Tarjih (memilih dan mengunggulkan kualitas h}adi>th yang lebih baik) atau Na>sikh-mansu>kh dan atau Tawaqquf (menghentikan atau mendiamkan).
J. Sistematika Pembahasan
Isi pokok penelitian ini terdiri dari lima bab yang meliputi:
Bab I Pendahuluan, bab ini mempunyai arti penting pada penjelasan skripsi ini, sebab di sini memberikan gambaran secara langsung dan gamblang tentang permasalahan, di antaranya latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, kerangka teori, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II Landasan teori. Pada bab ini lebih didominasi oleh teori-teori yang mengarah pada kualitas h}adi>th dan teori dalam memahami
18
19
h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain, yakni mengenai pengertian
h}adi>th, klasifikasi h}adi>th dari segi kualitas, teori ke-s}ah}i>h}-an h}adi>th, teori
ke-h}ujjah-an h}adi>th dan seputar mengenai mukhtalif al-h}adi>th.
Bab III Sajian data, bab ini berisi biografi Ima>m Muslim, data dan skema sanad h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain.
Bab IV Analisa data. Pada bab ini lebih mengedepankan analisis dari hasil penelusuran BAB II dan BAB III, termasuk menjelaskan tentang kualitas h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain no. indeks 1413 dan no. indeks 1480, ke-h}ujjah-an h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain no. indeks 1413 dan no. indeks 1480 dan juga penyelesaian
h}adi>th tentang meminang pinangan orang lain.
20
BAB II
KE
-
H}UJJAH
-AN
DAN
MUKHTALIF AL-H{ADI>TH
A. Peminangan dan Probelmatika di Sekitarnya
Meminang dalam istilah fikih adalah mengkhit}bah. Secara etimologi khit}bah dalam bahasa Indonesia adalah pinangan atau lamaran yang berasal dari kata pinang, meminang. Meminang dimaknai sebagai
t}alabah al-mar’a>h li al-zawaj permintaan kepada wanita untuk dijadikan
istri.1
Secara terminology khit}bah adalah pernyataan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai maupun secara langsung tanpa perantara. Adapun salah satu tujuan disyariatkan khit}bah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.2
Dasar hukum dari adanya peminangan adalah firman Allah SWT sindiran 4atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
1
M. Dahlan, Fikih Munakahat 1 ed.1, Cet. 1 (Yogyakarta: Deepublish, 2015), 10.
2
Syamsudin Ramdhan, Fikih Rumah Tangga Pedoman Membangun Keluarga Bahagia (Bogor: Ide Pustaka, 2004), 49.
3
Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
4
21
mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf5. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Peminangan merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan,bisa jadi peminangan yang sudah terjalin menjadi batal (tidak dilanjutkan ke jenjang pernikahan), baik yang membatalkan dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Bisa jadi pembatalan itu atas kesepakatan kedua belah pihak.Pada dasarnya peminangan hanya sebatas janji untuk menikah bukan merupakan akad pernikahan.Pembatalan atas peminangan merupakan hak bagi orang yang melangsungkan peminangan dan tidak ada konsekuensi jika terjadi pembatalan untuk menikah. Meskipun demikian, syariat menganggap bahwa pembatalan atas peminangan yang sudah dimulai merupakan perilaku yang tidak terpuji dan bagian dari sifat munafik. Kecuali jika dalam pembatalan tersebut disertai dengan alasan dan kepentingan yang mendesak yang mengharuskan untuk membatalkannya.6
Dalam hukum Islam terdapat aturan tentang siapa yang boleh dipinang dan siapa yang tidak boleh dipinang. Seseorang boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat:
1. Pada waktu dipinang tak ada halangan yang melarang dilangsungkannya perkawinan. Yang dimaksud dengan tidak
5
Perkataan sindiran yang baik.
6
22
ada larangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan, adalah bahwa:
a. Wanita tidak terikat perkawinan yang sah
b. Wanita bukan mahram yang haram dinikahi untuk sementara atau untuk selamanya
c. Wanita tidak dalam masa iddah
2. Belum dipinang laki-laki lain secara sah. Yang dimaksud adalah seseorang wanita yang berada dalam pinangan orang lain maka tidak boleh dipinang.7
Salah satu konsekuensi khit}bah adalah haramnya mengkhit}bah perempuan yang telah diketahui sah telah dikhit}bah oleh orang lain, sebagaimana aturan yang tertera dalam hukum Islam di atas. Ulama telah berijma‟ )bersepakat( akan keharaman khit}bahnya orang kedua setelah
terjadinya khit}bah orang pertama, jika khit}bah pertama memang telah dengan jelas diterima serta orang pertama tidak memberi ijin dan tidak membatalkan khit}bahnya. Jika dalam keadaan ini orang kedua tetap mengkhit}bah dan menikahi perempuan tersebut maka menurut ijma‟ para ulama, dia telah bermaksiat.Hal itu berlandaskan sabda Nabi SAW dalam
s}ah}i>h} muslim no indeks 14138
Pelarangan ini sangat jelas dalam mengharamkan orang lain untuk melakukan khit}bah kedua setelah khit}bah pertama disetujui. Karena hal ini
7
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: Di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 9.
8
23
dapat menyakiti orang yang mengkhit}bah pertama, menimbulkan permusuhan, dan memunculkan rasa dengki dalam hati. Jika salah satu dari kedua belah pihak yang melakukan khit}bah membatalkan atau memberi izin kepada orang lain untuk mengajukan khit}bah maka hal itu boleh. Adapun jika khit}bah pertama belum selesai, karena masih dalam taraf dimusyawarahkan atau dalam kondisi ragu-ragu, pendapat yang paling benar adalah tidak diharamkan untuk melakukan khit}bah kedua. Akan tetapi dalam kondisi demikian, menurut para ulama mad}hab H}anafi, makruh hukumnya dilakukan khit}bah kedua, karena keumuman pengertian
h}adi>th melarang mengkhit}bah perempuan yang telah di khit}bah orang lain,
sama halnya dengan menjual sesuatu yang sudah dijual kepada orang lain, dan menawar sesuatu yang sudah ditawar orang lain yaitu setelah terjadi kesepakatan jual-beli dan sebelum akad.9
Dengan demikian hal tersebut diharamkan, sebagaimana larangan memakan harta orang lain dan membunuhnya. Jika orang tersebut melakukan hal itu (meminang pinangan orang lain) maka menurut jumhur ulama, pernikahannya sah, namun kedua-duanya berdosa. Itu sebagaimana
khit}bahdalam masa iddah, karena larangan tersebut bukan terletak pada
akad nikahnya itu sendiri, akan tetapi terletak pada perkara yang telah keluar dari koridornya. Oleh karenanya, hal itu tidak menyebabkan akad
9
24
nikahnya tersebut batal, seperti orang berwudhu dengan air orang lain tanpa izin.10
Diriwayatkan dari Ma>lik dan Dawu>d, bahwa pernikahan tersebut tidak sah, karena hal itu dilarang seperti nikah s}igha>r. Pendapat yang kuat di kalangan ulama Malikiyah yakni, jika perkara tersebut sampai ke dewan Hakim, lantas si lelaki mempunyai bukti akad nikah dengan perempuan tersebut, maka dia wajib membatalkan pernikahan tersebut dengan t}ala>q
ba>in sebelum terjadi hubungan suami-istri.11
Dalam kondisi meminang pinangan orang lain tersebut, ada jumhur (mayoritas) ulama yang memperbolehkan adanya khit}bah kedua. Karena ada h}adi>th Fat}imah binti Qays yang pernah dikhit}bah oleh tiga orang, mereka adalah Mu‘a>wiyah, Abu> Jahm dan Usa>mah bin Zayd, setelah diceraikan oleh Abu> Amr bin hafs}bin Mughirah dan setelah masa iddahnya selesai. Fat}imah binti Qays datang kepada Rasu>lulla>h dan memberitahukan hal tersebut. Lantas Beliau menjawab,” Abu> Jahm tidak
pernah meletakkan tongkatnya dari bahunya.Adapun Mu‘a>wiyahadalah orang yang miskin yang tidak punya uang. Menikahlah dengan Usa>mah
bin Zayd. 12
Ini menunjukkan akan bolehnya melakukan khit}bah lebih dari satu orang, jika si perempuan belum menerima tawaran khit}bah tersebut. Akan
10
Ibid, 28.
11
Ibid, 29.
12
25
tetapi, sepertinya hal ini diperbolehkan jika orang yang hendak mengkhit}bah belum mengetahui bahwa ada orang lain yang telah mengkhit}bah perempuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pendapat pertama lebih kuat. Walau bagaimana pun, etika Islam menganjurkan agar tidak tergesa-gesa melakukan khit}bah kedua hingga usai masa kebimbangan, negoisasi, dan musyawarah seperti biasanya. Hal ini demi menjaga hubungan kasih sayang di antara manusia serta menjauhi timbulnya rasa permusuhan dan kedengkian di dalam diri.13
B. Kualitas H{adi>th , Kaidahdan Ke-H{ujjah-an Al-H}adi>th
1. Macam-macam Kualitas H{adi>th
Menurut Ibn Taymiyyah (w.728H=1328M), ulama h}adi>th sebelum zaman al-Turmudhi> (w. 279H= 892M) membagi h}adi>th kepada s}ah}i>h} dan d}a‘i>f . Mulai al-Turmudhi>, kualitas h}adi>th dibagi tiga,yakni s}ah}i>h}, h}asan dan d}a‘i>f. Istilah h}asan berasal dari pecahan kualitas d}a‘i>fyang dipakai sebelum zaman al-Turmudhi>. Pendapat Ibn
Taymiyyah tersebut telah dikritik oleh ulama. Alasannya, istilah h}asan
telah dikenal sebelum zamanal-Turmudhi>. Kritik tersebut tidak kuat sebab yang dimaksud oleh Ibn Taymiyyah tampaknya bukanlah tentang mulai dikenalnya istilah h}asan itu, melainkan tentang
13
26
digunakannya istilah tersebut sebagai istilah yang baku bagi salah satu kualitas h}adi>th.14
Al-Turmudhi sendiri dalam kitab Sunan-nya menggunakan
istilah h}asan untuk menyebutkan kualitas h}adi>th tertentu dan menggabungkan istilah itu dengan istilah-istilah lainnya, misalnya
h}asan s}ah}i>h} dan h}asan ghari>b. Ulama menjelaskan apa yang dimaksud
oleh gabungan istilah yang dipakai oleh al-Turmudhi> itu, namun semua penjelasan itu hanyalah penafsiran saja sebab al-Turmudhi> sendiri tidak memberikan penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakannya tersebut.15
Untuk membedakan ketiga macam kualitas di atas, tolok ukurnya adalah kaidah ke-s}ah}i>h}-an h}adi>th yakni lima unsur berkenaan dengan sanad dan dua unsur berkenaan dengan matan. H}adi>th yang memenuhi semua unsur tersebut dinilai sebagai berkualitas s}ah}i>h}. Untuk h}adi>th yang berkualitas h}asan, ada salah satu unsur yang kurang dipenuhi secara penuh, yakni unsure ke-d}a>bit}-an. Dalam hal ini,
ke-d}a>bit}-an periwayat kurang sedikit, yang dalam ilmu h}adi>th disebut
khofif d{a>bit}. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa istilah h}asan
hanya tertuju untuk kualitas h}adi>th dan kualitas sanad, serta tidak untuk kualitas matan secara sendirian.16
14
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar, dan Pemalsu (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 84.
15
Ibid.
16
27
Adapun bagi h}adi>th yang tidak memenuhi salah satu atau sebagian atau seluruh unsur-unsur kaidah h}adi>th s}ah}i>h{ dan h}adi>th
h}asan, maka kualitas h}adi>th yang bersangkutan dinyatakan sebagai
d}a‘i>f. Dengan demikian, letak ke-d}a‘i>f-an h}adi>th sangat bervariasi.17
Pembagian kualitas yang tiga macam itu tertuju kepada hasil akhir penelitian terhadap h}adi>th yang mencakup sanad dan matan, atau untuk sanad saja, dan tidak untuk matan yang terpisah dari sanad. Khusus untuk kualitas matan, umumnya ulama h}adi>th hanya membagi dua macam saja, yakni s}ah}i>h{ dan d}a‘i>f. Tiga macam kualitas h}adi>th yang umum itu lalu dibagi lagi. H{adi>th s{ah}ih} dibagi menjadi s{ah}i>h} li
dha>tih dan s}ah}i>h} li ghayrih. H{adi>th s}ah}i>h} yang disebutkan terakhir
pada asalnya bukanlah h}adi>th s}ah}i>h}, melainkan karena ada dukungan dalil lain yang kuat, maka meningkat kualitasnya menjadi s}ah}i>h}. Untuk
h}adi>th h}asan, pembagiannya adalah h}asan li dha>tih dan h{asan li
ghayrih. Kualitas h}asan yang disebutkan terakhir pada asalnya adalah
h}adi>th d}a‘i>f tertentu lalu ada pendukung dalil lain yang kuat.18
Untuk kualitas h}adi>th d}a‘i>f, Ibn H}ibba>n al-busti (w. 354H= 965M) membaginya menjadi empat puluh sembilan macam. Menurut
al-Manna>wy (w. 1031H), secara teori h}adi>th d}a‘i>f dapat mencapai
seratus dua puluh Sembilan macam, namun yang mungkin terwujud hanya ada delapan puluh satu macam. Sebagian ulama lagi mengemukakan angka selain dari angka-angka jumlah tersebut.
17
Ibid, 85.
18
28
Dengan demikian dapat dipahami, mengapa h}adi>th d}a‘i>f begitu banyak jumlahnya sebab alternatif letak ke-d}a‘i>f-an h}adi>th sangat bervariasi, baik di persambungan sanad dan keadaan para periwayat
matan h}adi>th .19
2. Kaidah dan langkah kegiatan Kritik Sanad dan MatanH{adi>th a. Unsur-unsur Kaidah Mayor Kritik Sanad dan Matan
Kaidah kritikSanad dan Matan h}adi>th dapat diketahui dari pengertian istilah h}adi>th s}ah}i>h}. Menurut ulama h}adi>th, misalnya Ibn al-s}a>lah} (w. 643H), h}adi>th s}ah}i>h} ialah:
و ي ا ا ت م ىلا طباضلا علا نع طباضلا علا لق ب دا سا لصتي لا س لا ثي حلا
.العما ا اش
Dari pengertian istilah tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur h}adi>th s}ah}i>h{ menjadi:
1. Sanad bersambung 2. Periwayat bersifat ‘a>dil 3. Periwayat bersifat d}a>bit}
4. Dalam h}adi>th itu tidak terdapat kejanggalan (shudhu>dh)dan 5. Dalam h}adi>th itu tidak terdapat cacat (‘illah)20
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsur berikutnya berkenaan dengan
sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang
19
Ibid.
20
29
termasuk persyaratan umum kaidah ke-s}ah}i>h}-an h}adi>th ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum itu dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor sebab masing-masing unsurnya memiliki syarat khusus, dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.21
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari shudhu>dh dan terhindar dari ‘illah dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.
b. Unsur-unsur Kaidah Minor Kritik Sanad dan Matan
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi
ke-s}ah}i>h}-an sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka
dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut:
1. Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur kaidah minor: (a) muttas}il (bersambung), (b) marfu>‘ (bersandar kepada Nabi saw),
21
30
(c) mah}fu>z} (terhindar dari shudhu>dh), dan (d) mu‘allal (cacat)
2. Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat
‘a>dil, mengandung unsur-unsur kaidah minor: (a)
beragama Islam, (b) mukallaf (balig dan berakal sehat), (c) melaksanakan ketetntuan agama Islam, dan (d) memelihara muru>’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
3. Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat
d}a>bit}, mengandung unsur-unsur kaidah minor: (a) hafal
dengan baik h}adi>th yang diriwayatkannya, (b) mampu dengan baik menyampaikan riwayat h}adi>th yang dihafalnya kepada orang lain, (c) terhindar dari
shudhu>dh, dan (d) terhindar dari ‘illah.22
Sedangkan kaidah mayor untuk matan, ada dua macam, yakni “ terhindar dari shudhu>dh dan terhindar dari ‘illah “.
Adapun tolok ukur penelitian matan (ma‘ayir naqd al-matn) yang telah dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam.
Al-Kha>t}ib al-baghda>di> (w. 463H= 1072M) menjelaskan bahwa
matan h}adi>th yang maqbu>l (diterima sebagai hujjah) haruslah:
(1) tidak bertentangan dengan akal sehat, (2) tidak bertentangan
22
31
dengan hukum Alquran yang telah muh}kam,(3) tidak bertentangan dengan h{adi}th mutawa>tir,(4)tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf, (5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti, dan (6) tidak bertentangan dengan h}adi>th ah}ad yang kualitas ke-s}ah}i>h}-annya lebih kuat. Keenam butir tolok ukur tersebut tampak masih tumpang tindih.Selain itu, masih ada tolok ukur penting yang tidak disebutkan, misalnya tentang susunan bahasa dan fakta sejarah.23
S}ala>h} al-Di>n al-Adla>by mengemukakan bahwa
pokok-pokok tolok ukur penelitian ke-s}ah}i>h}-an matan ada empat macam, yakni: (1) tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran, (2) tidak bertentangan dengan h}adi>th yang kualitasnya lebih kuat, (3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah, dan (4) susunan pernyataannya menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian. Tolok ukur tersebut masih bersifat global dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.24
Selanjutnya, dalam hubungannya dengan pelaksanaan kegiatan kritik sanad dan matan h}adi>th, maka kritik sanad dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ktitik matan. Langkah ini
23
Ibid, 79.
24
32
dapat dipahami dengan melihat latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan h}adi>th. Dengan latar belakang sejarah tersebut maka dapat dipahami juga, mengapa Imam
al-Nawa>wy> (w. 676H= 1277M) menyatakan bahwa hubungan
h}adi>th dengan sanadnya semisal hubungan hewan dengan
kakinya. Jadi, penelitian matan barulah bermanfaat bila sanad
h}adi>th yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk hujjah.
Bila sanad tercacat berat, maka matan tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah.25
3. Teori Ke-H{ujjah-an H}adi>th
Para ulama sepakat untuk menjadikan sunnah sebagai ajaran Islam yang kedua setelah Alquran terlepas dari perdebatan mereka tentang kehujjahan sunnah. Bahkan Imam Auza‟I mengatakan bahwa
Alquran lebih memerlukan Sunnah dari pada sunnah terhadap Alquran melihat fungsi sunnah terhadap Alquran.26
Penerimaan atas h}adi>th sebagai h}ujjah bukan lantas membuat para ulama menerima seluruh h}adi>th yang ada, Penggunaan h}adi>th sebagai h}ujjah tetap menggunakan cara yang begitu selektif, dimana salah satunya meneliti status h}adi>th untuk kemudian dipadukan dengan
Alquran sebagai rujukan pertama. Seperti yang telah diketahui, h}adi>th
secara kualitas terbagi dalam tiga bagian, yaitu h}adi>th s}ah}i>h}, h}adi>th
25
Ibid, 80.
26
33
h}asan, dan h}adi>th d}a‘i>f. Mengenai teori ke-h}ujjah-an h}adi>th, para
ulama mempunyai pandangan tersendiri antara tiga macam h}adi>th tersebut. Bila dirinci, maka pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1. Ke-h}ujjah-an H}adi>th S}ah}i>h}
Menurut ulama usu>liyyah dan para fuqaha>’, H}adi>th
-H}adi>th yang dinilai s}ah}i>h} harus diamalkan karena h}adi>th s}ah}i>h}
bila dijadikan h}ujjah sebagai dalil syara‟. Hanya saja menurut
Muhammad Zuhri> banyak peneliti h}adi>th yang langsung
mengklaim h}adi>th yang ditelitinya s}ah}i>h} setelah melalui penelitian sanad saja. Padahal, untuk ke-s}ah}i>h}-an sebuah
h}adi>th, penelitian matan juga sangat diperlukan agar terhindar
dari kecacatan dan kejanggalan.27
Karena bagaimanapun juga, menurut ulama
muh}addithi>n suatu h}adi>th dinilai s}ah}i>h}, bukanlah tergantung
pada banyaknya sanad. Suatu h}adi>th dinilai s}ah}i>h} cukup kiranya kalau sanad dan matannya s}ah}i>h},meskipun rawinya hanya seorang saja pada tiap t}abaqa>hnya.28
Namun bila ditinjau dari sifatnya, klasifikasi h}adi>th
s}ah}i>h} terbagi dalam dua bagian, yakni h}adi>th maqbu>l ma‘mu>li>n
bihi (diterima dan bisa diamalkan dan h}adi>th maqbu>l ghayru
ma‘mu>li>n bihi.(diterima tapi tidak dapat diamalkan) Dikatakan
27
Muhammad Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91.
28
34
h}adi>th maqbu>l ma‘mu>li>n bihi apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:29
a. H}adi>th tersebut muh}kam yakni dapat digunakan untuk memutuskan hukum, tanpa shubha>t sedikitpun.
b. H}adi>th tersebut mukhtalif (berlawanan) yang dapat dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.
c. H}adi>th tersebut ra>jih}, yaitu h}adi>th tersebut merupakan
h}adi>th terkuat diantara dua buah h}adi>th yang
berlawanan maksudnya.
d. H}adi>th tersebut na>sikh, yakni datang lebih akhir
sehingga mengganti kedudukan hukum yang
terkandung dalam h}adi>th sebelumnya.30
Sebaliknya, h}adi>th yang memenuhi kategori maqbu>l
ghayru ma‘mu>li>n bihiadalah h}adi>th yang memenuhi kriteria
antara lain:
a. Mutashabbih (sukar dipahami)
b. Mutawaqqu>f fi>hi (saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan)
c. Marju>h} (kurang kuat dari pada h}adi>th maqbu>l lainnya)
29
Ibid, 144.
30
35
d. Mansu>kh (terhapus oleh h}adi>th maqbu>l yang datang berikutnya), dan
e. H}adi>th maqbu>l yang maknanya berlawanan dengan
Alquran, h}adi>th mutawa>tir,akal sehat dan ijma‟ para
ulama.31
2. Ke-h}ujjah-an H}adi>th H}asan
Pada dasarnya nilai h}adi>th h}asan hampir sama dengan nilai h}adi>th s}ah}i>h}. Istilah h}adi>th yang dipopulerkan oleh Ima>m
al-Tirmidhi> ini menjadi berbeda dengan status h}adi>th s}ah}i>h}
adalah karena kualitas d}a>dit} (kecermatan dan hafalan) pada perawi h}adi>th h}asan lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi h}adi>th s}ah}i>h}.32
Dalam hal ke-h}ujjah-an h}adi>th h}asan para muh}addithi>n, ulama ushul fiqh dan para fuqaha juga hamper sama seperti pendapat mereka terhadap h}adi>th h}asan, yaitu dapat diterima dan dapat digunakan sebagai dalil atau h}ujjah dalam penetapan hukum. Namun ada juga ulama seperti al-H}aki>m, Ibn
khuzaymah yang tetap berprinsip bahwa h}adi>th s}ah}i>h} tetap
sebagai h}adi>th yang harus diutamakan terlebih dahulu karena kejelasan statusnya. Hal itu lebih ditandaskan oleh mereka sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak sembarangan dalam
31
Ibid, 147.
32
36
mengambil h}adi>th yang akan digunakan sebagai h}ujjah dalam penetapan suatu hukum.33
3. Ke-h}ujjah-an H}adi>th D}a‘i>f
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi h}adi>th
d}a‘i>f. Dalam hal ini ada dua pendapat yang dikemukakan oleh
para ulama.34Pertama, melarang secara mutlak.Walaupun hanya unuk memberi sugesti amalan utama, apalagi untuk penetapan suatu hukum.Pendapat ini dipertahankan oleh Abu>
bakar Ibn Al-‘araby. Kedua, membolehkan sebatas untuk
memberi sugesti, menerangkan fad}a>il al-a‘ma>l dan cerita-cerita tapi tidak untuk penetapan suatu hukum. Ibn H}ajar al-‘asqala>ny adalah salah satu yang membolehkan berh}ujjah dengan menggunakan h}adi>th d}a‘i>f, namun dengan mengajukan tiga persyaratan.35
a. H}adi>th d}a‘i>f tersebut tidak keterlaluan.
b. Dasar amal yang ditujukan oleh h}adi>th d}a‘i>f tersebut, masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh h}adi>th yang dapat diamalkan (s}ah}i>h} dan h}asan)
c. Dalam mengamalkannya tidak meng-I’tiqa>d-kan bahwa
h}adi>th tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi.
d. Tidak bertentangan dengan syari‟at.
33
Ibid, 233.
34
Rahman, Ikhtisar, 229.
35
37
e. Ada dalam Kitab at-targhi>b wa at-tarhi>b.36 C. Mukhtalif Al-H{adi>th
1. Hadi>th Mukhtalif
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang
h}adi>th mukhtalif, diantaranya:
Menurut al-Tahanuwi, h}adi>th mukhtalif adalah dua h}adi>th maqbu>l yang saling bertentangan pada makna zahirnya dan tampak bertentangan antara satu dengan yang lainnya, dapat dikompromikan dengan cara wajar (tidak dicari-cari). Sedangkan menurut al-Nawa>wy, dikutip oleh
al-Sayu>t}y bahwa h}adi>th mukhtalif ialah dua buah h}adi>th yang saling
bertentangan pada makna zahirnya, maka keduanya dikompromikan ataupun di tarji>h} (untuk mengetahui mana yang terkuat di antaranya).
al-Nawa>wy dalam definisinya, memasukkan semua h}adi>th yang secara
zahirnya tampak bertentangan antara satu dengan yang lainnya, ke dalam makna h}adi>th mukhtalif . 37
Namun menurut yu>suf Qard}awy, bahwa h}adi>th d}ai’f (mardud) tidak termasuk ke dalam bidang h}adi>th mukhtalif . Berdasarkan definisi di atas, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan h}adi>th mukhtalif adalah h}adi>th s}ah}i>h} dan h}adi>th h}asan, secara zahirnya terlihat saling bertentangan dengan h}adi>th s}ah}i>h} dan h}adi>th h}asan lainnya. Namun maksud yang dituju oleh h}adi>th-h}adi>th tersebut tidaklah bertentangn,
36
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Kharisma, 1993), 67.
37Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis
38
karena satu dengan yang lainnya pada prinsipnya dapat dikompromikan atau dapat dicari penyelesaiannya dengan cara nasakh dan tarji>h}.38
Adapun Ilmu mukhtalih h}adi>th, merupakan teori (tata cara) yang dirumuskan para ulama, untuk menyelesaikan h}adi>th-h}adi>th maqbu>l yang secara zahirnya tampak saling bertentangan, agar dapat ditemukan pengkompromian atau jalan keluar penyelesaiannya, sehingga maksud
h}adi>th-h}adi>th tersebut dapat dipahami dengan baik. Adapun yang menjadi
objek kajian Ilmu mukhtalih h}adi>th, yakni h}adi>th-h}adi>th maqbu>l yang saling berlawanan, untuk dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya, maupun dengan mengkhususkan (takhs}i>s}) keumuman dan sebagainya. Atau, h}adi>th-h}adi>th yang musyki>l, untuk dita‟wilkan, hingga hilang kemusykilannya, walaupun h}adi>th-h}adi>th
musyki>l itu tidak saling berlawanan. Sedangkan h}adi>th-h}adi>th mardu>d ,
tidaklah termasuk objek kajian ilmu ini, karena ia tidak dapat dijadikan dalil hukum atau h}ujjah.39
2. Metode Penyelesaian H}adi>th-h}adi>th Mukhtalif
Dalam melakukan penyelesaian, ulama berbeda pendapat. Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa terhadap matan-matan h}adi>th yang bertentangan, maka masing-masing h}adi>th tersebut harus di amalkan. Ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode istithna>’ (pengecualian) dalam penyelesaian itu. Cara yang ditempuh Ibn Hazm adalah al-Jam’u wa al-Tawfi>q, nasakh, tarji>h}, ikhtilaf min jiha>d
38
Ibid, 185.
39
39
Muba>h}.Shiha>b al-Di>n Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn Idri>s al-Qara>fi> (w. 684H)
menempuh cara al-Tarji>h}. S}ala>h} al-Di>n Ibn Ah}mad al-Ada> di menempuh dengan cara al-Jam’u kemudian al-Tarji>h}. Ibn al-S}ala>h}, fas}i>h} al-Harawi (w. 837) menempuh tiga cara kemungkinan, yakni al-Jam’u, al-Na>sikh wa
Mansu>kh, dan Tarji>h}. Muh}ammad Adib S}a>lih} menempuh cara
al-Jam’u, al-Tarji>h} kemudian Na>sikh wa Mansu>kh. Ibnu H}ajar
al-‘Asqala>ni> dan lain-lain menempuh empat tahap, yakni al-Jam’u, al-Na>sikh
wa al-Mansu>kh,al-Tarji>h} dan al-Tawfi>q (menunggu sampai ada dalil lain
yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya).40Berikut lebih jelasnya, uraian mengenai metode-metode tersebut:
a. Al-Jam’u wa al-Tawfi>q
Metode ini adalah dengan cara mengkompromikan dua h}adi>th yang saling bertentangan, namun h}adi>th-h}adi>th yang bisa diselesaikan dengan Al-Jam’u wa al-Tawfi>q ini kualitasnya harus sederajat, tidak boleh ada yang lebih unggul.41Syarat-syarat penggunaan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Mempertegas kontroversi dua dalil, yaitu apabila masing-masing dalil tersebut saling bertentangan dan pantas dijadikan h}ujjah. 2. Mengkompromikan dua dalil tidak sampai berdampak
membatalkan nas}syari‟ah.
3. Kompromi dapat menghilangkan kontroversi.
40
Ismail, Metodologi, 142-143.
41
40
4. Mengkompromikan dua dalil tidak menjadikan benturan dengan dalil s}ah}i>h} yang lain.
5. Dua h}adi>th yang bertentangan terjadi pada satu waktu. Jika waktu dua h}adi>th tersebut berbeda dan salah satunya menunjukkan na>sikh atau mansu>kh, maka yang diamalkan salah satunya.
6. Mengkompromikan dua dalil digunakan untuk tujuan dan cara yang benar, yakni menghilangkan kontroversi yang ada pada dua dalil dan yang dapat diterima, tidak serampangan dan dipaksakan, tidak keluar dari tujuan universal syariat dan tidak menggunakan ta’wi<l ba’i>d, sehingga kompromi tidak keluar dari kaidah ketetapan bahasa atau kaidah agama yang dipahami secara pasti, dan juga tidak keluar dari konteks yang tidak pantas dengan ucapan syar‟i.
7. Sebagian ulama mensyaratkan kesetaraan dua dalil yang bertentangan, sehingga kompromi keduanya benar-benar valid.42 b. al-Na>sikh wa al-Mansu>kh
Metode ini dapat dilakukan jika jalan Tawfi>q tidak dapat dilakukan. Itu pun bila data sejarah kedua h}adi>th yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas, tanpa diketahui taqaddum dan taakhhur dari
42
41
kedua h}adi>th tersebut, metode nasakh mustahil dilakukan. 43Adanya
nasakh dapat diketahui dengan beberapa cara, yaitu:
1. Ada penegasan dari Rasulullah sendiri, seperti nasakh larangan ziarah kubur.
2. Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti keterangan bahwa terakhir kali Rasulullah tidak berwudu ketika hendak shalat, setelah mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan api.
3. Berdasarkan fakta sejarah, seperti diketahui h}adi>th yang menjelaskan batalnya puasa karena berbekam (pada tahun ke-8H), lebih awal datang daripada h}adi>th yang mengatakan bahwa Rasulullah sendiri berbekam dalam bulan puasa (pada tahun ke-10H).
4. Berdasarkan Ijma>’, seperti nasakh hukuman mati bagi orang yang meminum arak sebanyak empat kali. Nasakh ini diketahui secara
Ijma>’oleh seluruh sahabat bahwa hukuman mati itu sudah
Mansu>kh. Ini tidak bermakna Mansu>kh dengan Ijma, tapi
berdasarkan Ijma terhadap fatwa bahwa hukuman itu pada masa akhir tidak diterapkan lagi oleh Rasulullah SAW.44
43
Daniel Juned, Ilmu Hadith Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadith (Jakarta: Erlangga, 2010), 130.
44
42
c. al-Tarji>h}
Tarji>h} merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan
dalam menyelesaikan h}adi>th-h}adi>th mukhtalif ketika jalan tawfi>q dan
nasakh mengalami kebuntuan. Penerapan tarji>h} tanpa didahului oleh
pendekatan tawfi>\q mengundang konsekuensi yang besar. Sepertinya tidak ditemukan seorang ulama pun yang mengatakan boleh melakukan tarji>h} pada h}adi>th mukhtalif sebelum terlebih dahulu dilakukan pendekatan tawfi>q atau al-Jam’u. Berkenaan dengan hal ini,
Ibnu Daqi>q mengatakan, “Tidak diragukan bahwa al-Jam’u (harus)
lebih didahulukan daripada tarji>h} dan nasakh .45
Tentang bagaimana cara men tarji>h} suatu h}adi>th, karena rumit dan banyak hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan,
Al-‘Ira>qi> merincinya dalam tujuh kategari:
1. Tarji>h} dengan memperhatikan keadaan periwayat dalam segala aspeknya
2. Tarji>h} dengan memerhatikan aspek tah}ammul. 3. Tarji>h} dengan memerhatikan cara priwayatan 4. Tarji>h} dengan waktu wuru>d.
5. Tarji>h} dengan memerhatikan lafal khabar, seperti mentarji>h} khabar yang bersifat khas}atas yang bersifat ‘a>m, dan mendahulukan hakikat atas majaz.
45
43
6. Tarji>h} dengan memerhatikan aspek hukum, seperti mentarji>h} nas} yang menunjukkan kepada haram atas yang menunjuk kepada
muba>h}.
7. Men-Tarji>h} dengan faktor luar seperti kesesuaian dengan lahir
Al-Qur’a>n atau sunnah lain, dengan qiya>s, amal ulama terutama para
khalifah, dan sebagainya.46
Persyaratan yang paling mendasar dalam Tarji>h}, adalah kenyataan bahwa kedua h}adi>th mukhtalif tidak dapat dikompromikan lagi.47
d. Tawaqquf
Metode tawaqquf adalah menghentikan atau mendiamkan. Yakni, tidak mengamalkan h}adi>th tersebut sampai ditemukan adanya keterangan h}adi>th manakah yang bisa diamalkan. Namun tawaqquf sikap menurut Abdul Mustaqi>m sebenarnya tidak menyelesaikan masalah melainkan membiarkan atau mendiamkan masalah tersebut tanpa adanya solusi. Padahal sangat mungkin diselesaikan melalui
ta’wi>l. Oleh karena itu, teori tawaqquf harus dipahami sebagai
sementara waktu saja, sehingga ditemukan ta’wi>l yang rasional mengenai suatu h}adi>th dengan ditemukannya suatu teori dari penelitian ilmu pengetahuan atau sains, maka tawaqquf tidak berlaku lagi.48
46
Ibid, 153.
47
Ibid, 151.
48
44
BAB III
MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN NO.INDEKS 1413
DAN NO. INDEKS 1480 DALAM KITAB S}AH}I>H} MUSLIM
A. Ima>m Muslim
1. Biografi, Guru dan Murid Ima>m Muslim
Nama lengkapnya adalah Al-Ima>m Al-H}a>fiz} Abu> Husayn
Muslim bin Al-H}ajja>j Al-Qushayri> Al-Naysa>bu>ri>. Ia dinisbatkan
kepada Naysa>bu>ri karena dilahirkan dikota Naysa>bu>ri Iran, ia juga dinisbatkan pada nenek moyangnya Qushayri> ibn Kan‘a>n ibn Rabi> ‘ah
ibn s}a‘s}a‘ah suatu keluarga bangsawan besar di Naysa>bu>ri.1 Penulis
kitab Al-Ja>mi‘ Al-S}ah}i>h} Muslim yang lebih dikenal dengan nama
S}ah}i>h} Muslim lahir pada tahun 204H dan ada juga yang mengatakan
tahun 206H.2 Sedangkan wafatnya pada Minggu sore dan dikebumikan di kampong Nas}r Abad, salah satu daerah di luar Naysa>bu>ri , pada hari senin, 25 Rajab 261H/5 Mei 875M dalam usia 55 tahun.3
Ima>m Muslim sudah mulai belajar h}adi>th sejak usia kurang
lebih 12 tahun, sejak saat itu banyak sekali perjalanan yang telah beliau lakukan untuk mencari h}adi>th. Beliau pernah belajar h}adi>th di
Khura>san dan mendengar h}adi>th dari Yah}ya> bin Yah}ya>, Ish}a>q bin
ra>hawaih, dan lain-lain. Beliau juga pernah di Ray dan mendengar
h}adi>th dariMuh}ammad bin Mahra>n, Abu> Ghassa>n,dan lain-lain. Di
1
Zainul Arifin Ma, Studi Kitab Hadis (Surabaya: Almuna, 2010), 106.
2
M.M. Abu Syukbah, Kutubus Sittah (Surabaya: Pustaka Progresif, 2006), 81.
3