BERJALAN DI DEPAN ORANG SALAT
(Kajian
mukhtali@f al-h}adi@th
dalam
Sunan Abi@ Da>wud
no. Indeks 697 dan no. Indeks 715)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
SITI AISYAH
E03213082
JUURUSAN ILMU ALQURAN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Fenomena masyarakat saat ini, ada sebagian orang dengan santainya berjalan melewati orang yang sedang melaksanakan salat tanpa ada rasa canggung. Ada dua hadis yang kontradiktif yang mana pada hadis yang pertama menunjukkan larangan keras berjalan di depan orang salat. Sedangkan hadis yang kedua menunjukkan kebolehan. Rumusan masalah dalam penelitian ini: bagaimana kualitas dan ke-h}ujjah-an dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715, penyelesaian hadis mukhta>li@f, dan implikasi dari hadis tersebut. Tujuan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan kualitas dan ke-h}ujjah-an hadits dalam Sunan
Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715, menemukan cara penyelesaian hadis
mukhta>li@f, dan mengetahui implikasi dari hadis tersebut. Penelitian ini bersifat
kepustakaan dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan
analitis. Maka pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Abi@
Da>wud dan dibantu dengan kitab standar lainnya, dianalisa dengan menggunakan
metode takhri>j dan menerapkan kajian keilmuan mukhtali>f al-h}adi>th dalam memecahkan kedua hadis tersebut. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu kualitas hadis tentang berjalan di depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715 adalah s}ah}i>h} li dha>tihi dan termasuk kategori maqbu>l ma‘mu>lun bih. Setelah mengkaji kedua hadis tersebut dengan keilmuan mukhtali>f al-h}adi>th, dapat diketahui metode yang tepat adalah al-jam‘u, mengkompromikan dan mengamalkan kedua hadis sesuai dengan seginya masing-masing. Larangan berjalan di depan orang salat merupakan dalil umum yang kemudian di takhsis oleh kebolehan berjalan di depan orang makmum jika ada keperluan mendesak. Sedangkan implikasinya adanya larangan berjalan di depan orang salat karena mengganggu atau mengurangi kekhusyuan orang yang salat. Manfaat dari salat khusyuk membuat otak bersinar karena mendapatkan nu>rulla>h dan membantu meningkatkan fungsi otak untuk mengontrol diri agar tidak melakukan yang bertentangan dengan norma agama.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Kegunaan Penelitian ... 7
F. Telaah Pustaka ... 7
G. Metode Penelitian ... 8
BAB II : KAIDAH KESAHIHAN HADIS DAN MUKHTALI<<<<<<<<F AL- H{ADI<TH
A. Kaidah Kesahihan Hadis ... 12
1. Kaidah Kesahihan Sanad ... 12
2. Kaidah Kesahihan Matan ... 24
B. Teori Ke-h}ujjah-an Hadis ... 26
C. Ilmu Mukhtali>f al-H{adi>th ... 31
BAB III : ABU< DA<WUD DAN HADIS BERJALAN DI DEPAN ORANG SALAT A. Biografi Abu> Da>wud ... 43
B. Kitab Sunan Abi@ Da>wud ... 47
C. Hadis Tentang Larangan Berjalan di Depan Orang Salat ... 49
D. Hadis Tentang Kebolehan Berjalan di Depan Orang Salat ... 63
E. Sharh} al-Hadi@th ... 76
BAB IV : ANALISIS HADIS TENTANG HADIS BERJALAN DI DEPAN ORANG SALAT A. Analisis Sanad dan Matn Hadis tentang Larangan Berjalan di Depan Orang Salat ... 79
1. Analisis Sanad Hadis tentang Larangan Berjalan di Depan Orang Salat ... 79
B. Analisis Sanad dan Matan Hadis tentang Kebolehan Berjalan di Depan Orang Salat ... 82 1. Analisis sanad hadis tentang Kebolehan Berjalan di Depan
Orang Salat ... 82 2. Analisis matan hadis tentang Kebolehan Berjalan di Depan
Orang Salat ... 83 C. Penyelesaian Hadis Mukhtali>f ... 86 D. Implikasi Hadis tentang Berjalan di Depan Orang Salat ... 99 BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 102 B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan. Dia telah menjelaskan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepadaNya dalam al-Qur’an surah al-Dhariya>t ayat 56.1 Akan tetapi, ibadah manusia tidaklah membawa manfaat apapun bagiNya. Kepatuhan manusia tidak akan menambah besar kemulianNya dan kedurhakaan mereka pun tidak akan mengurangi kerajaanNya. Allah tidaklah memerintah manusia kecuali dengan hal-hal yang membawa kepada kebajikan bagi diri manusia sendiri. Mereka yang patuh akan diberi ganjaran yang baik di surga, dengan berbagai nikmat yang tiada tara.2
Setiap orang perlu mengetahui pengertian dari hakikat ibadah agar ia dapat melaksanakannya dengan benar dan mengetahui hikmah pada setiap ibadah yang dilakukannya.3 Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh, tunduk, dan merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. Secara umum, al-Shaykh S{alih} al-Uthaymin menjelaskan bahwa ibadah adalah mengabdikan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pengagungan dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya yang telah disyariatkan.4
1
Baihaqi, Fiqih Ibadah ( Bandung: M2S, 1996), 12. 2
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1 (Jakarta: Jaya Baru, 1998), 6. 3
Ibid., 1.
4
2
Dalam pengertian yang luas ibadah menurut Ibnu Taymiyah meliputi segala yang dicintai Allah dan diridhoiNya, perkataan dan perbuatan lahir batin. Termasuk di dalamnya salat, puasa, zakat, haji, berkata benar, berbakti kepada kedua orang tua, silaturahim, menepati janji, menyuruh kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran.5
Salat adalah menurut bahasa adalah doa, sedangkan menurut istilah adalah sekumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dinamakan salat karena ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya yang merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah, dapat menjadi media permohonan pertolongan dalam menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui dalam perjalanan hidupnya.6 Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 153:
َ َي
ٓ
اَهنيََ
ٱ
َْاوَُماَءََنيِال
ٱ
س
ٓ
َِبَْاوُ ِعَت
ٱ
صل
ٓ
ََوَِر
ٱ
َ وَلصل
َِة
ٓ
َ
َنَِ
ٱ
ََََمََلل
ٱ
َ صل
ََنيِِِ
َ
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.7
Ayat ini mengajak orang-orang yang beriman dengan menjadikan salat sebagai penolong untuk menghadapi cobaan hidup. Al-s}abru yang dimaksud adalah sabar dalam mencakup banyak hal, sabar menghadapi ejekan dan rayuan, sabar melaksanakan perintah dan mejauhi larangan, sabar dalam petaka dan kesulitan, serta sabar dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Jika seseorang ingin teratasi kesedihan dan kesulitan, maka harus menyertakan Allah dalam setiap langkahnya, ketika itu Allah akan membantu. Tanpa kebersamaan
5
Nasution, Fiqh 1..., 4. 6
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj. Kamran As’at Isrsyady (Jakarta: Amzah, 2010), 145.
7
3
itu, kesulitan tidak akan tertanggulangi bahkan tidak mustahil kesulitan diperbesar oleh setan dan nafsu amarah manusia sendiri.8
Allah menjadikan salat sebagai media untuk membina dan meluruskan orang mukmin setelah sebelumnya Dia memberikan kepada manusia segala macam ciptaanNya menundukkan semua yang ada di langit dan di bumi untuk manusia, dan memuliakannya dengan akal dan pikiran. Salat menutrisi tubuh, akal, dan hati. Jika tubuh, akal, dan hati baik maka manusia akan melakukan kebaikan, mendapat petunjuk, dan jauh dari perbuatan-perbuatan buruk.9 Allah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Ankabu>t ayat 45:
َنَِ
ٱ
َ وَلصل
نَتََة
ٓ
َ لَ
َ
َِنَع
ٱَ
ٓ
حَف
ٓ
اَش
ٓ
ََوَِء
ٱَ
ٓ
َِرَك ُم
َ
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.10
Fah}sha’ terambil dari akar yang pada mulanya berarti sesuatu yang
melampaui batas dalam keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan.
Munkar dari segi pandangan syariat adala segala sesuatu yang melanggar
norma-norma agama dan budaya suatu masyarakat. Salat adalah amal ibadah yang pelaksanaanya membuahkan sifat keruhanian dalam diri manusia yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam mencegah kedua bentuk keburukan itu bila dilaksanakan secara sempurna dan bersinambung, disertai dengan penghayatan dan substansinya.11 Adapun cara memperoleh buah salat dan menikmati efeknya dalam menempa dan membentuk akhlak yang baik adalah
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an , Vol. 1, Cet. VII ( Jakarta: Lentera Hati, 2007), 339.
9
Azzam, Fiqh Ibadah..., 148. 10
Al-Qur’an, 29: 45. 11
4
dengan melaksanakannya secara sempurna seluruh rukun dan syaratnya, menyempurnakan wudhu, memperhatikan waktu-waktunya, memikirkan dan merenungi apa yang diucapkan dalam salat.12
Di dalam salat terdapat aturan-aturan pelaksanaanya sesuai syariat diantaranya syarat sah salat, rukun-rukun salat, sunnah-sunnah, makruh-makruh, dan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Salah satu hal seputar salat ialah berjalan melewati depan orang salat.13
Dalam fenomena masyarakat saat ini, ada sebagian orang dengan santainya berjalan melewati orang yang sedang melaksanakan salat tanpa ada rasa canggung. Ada dua hadis yang kontradiktif yang menjelaskannya, yang mana pada hadis yang pertama menunjukkan larangan keras berjalan di depan orang salat. Sedangkan hadis yang kedua kebolehan berjalan di depan orang salat.
اَمَْنَعَ،َ َِِْعَقْلاَاََنثدَح
َ َََِِْنَعَ،َِيِرْدُْْاٍَد ِعََْ َََِِِنْبَِنَْ رلاَِدَِْعَْنَعَ،ََ َلَََِْْنْبَِدْيَزَْنَعَ،َ ٍكِل
ََيَ َََفَيِلَصُيَْ َُُدَحََََناَََاَنََِ َََاَ:ََ لََْوَِْ َلَعَُللاَللَلَِللاَََوَُْرَّنَََ،َِيِرْدُْْاٍَد ِعَْ
َرَََُاًدَحَََْعَد
َََْْنب
َ
ٌَناَطْ َشََوَُاَ ِإَفَُْلِتاَقُن ْلَنفَ َََََْنِإَفَ،َعاَطَتْْاَاَمَََُْرْدَ ْلَوَِْيَدَي
.
14
Telah menceritakan kepada kami Al-Qa'nabiy dari Ma>lik dari Zayd ibn Aslam dari Abdurrah}ma>n ibn Abi@ Sa'id Al-Khudriy dari Abu> Sa'id Al-Khudriy bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan salat, maka janganlah dia membiarkan orang lewat di depannya, dan hendaklah dia mencegahnya semampunya. Jika dia menolak, maka lawanlah, sesungguhnya dia itu setan.
Hadis diatas merupakan dalil bahwa berjalan di depan orang sholat hukumnya haram, yaitu antara tempat sujud sampai tempat ia menapakkan kakinya. Larangan ini bersifat umum untuk setiap orang yang sedang melaksanakan salat
12
Azzam, Fiqh Ibadah..., 148.
13
Wahbah al-Zuhayli, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ter. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta: Gema Insani. 2010), 122.
5
wajib atau sunnah. Sedangkan hadis lain yang tampak bertentangan, yakni hadis riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang mempunyai indikasi adanya kebolehan berjalan di depan orang salat.
َْبَِللاَِدْ َنُِعَْنَعَ،َِيِرْزلاَْنَعَ،ََةَْن َن ُعَُنْبَُناَ ْ َُْاََنثدَحَ،ََةَِْ َشَ َََُِِنْبَُناَمْثُعَاََنثدَح
َ،َِللاَِدَِْعَِن
ََِِْعَقْلاَاََنثدَحوَو ٍراَِ َلَلَعَُتْئ ِجَ َ ََاَ:َ،َ ٍساَِعَِنْباَْنَع
َْنَعَ،َ ٍباَهِشَِنْباَْنَعَ،َ ٍكِلاَمَْنَعَ،َ
َ ََاَ:َ،َ ٍساَِعَِنْباَ ْنَعَ،ََةَِْتُعَِنْبَِللاَِدَِْعَِنْبَِللاَِدْ َنُِع
:
َ
َْدَ:ٍَاِئَمْوَنيَاَوَََوٍَناَتَََلَلَعَاًَِِاَرَ ُتْلَنِْن:ََ
ََوَِْ َلَعَُللاَللَلَِللاَ َُوَُْرَوََم ََِتْح ِِاَ ُتْزَاَو
َ ِِْعَنبَْيَدَيَََْْنبَ ُتْرَرَمَفَ،َ ًًَِِِ ِسا لاِبَيِلَصُيََ لَْ
اَدَوُبَََ ََاَ:َ،ٌَدَحَََ َكِلَنَ ْرِكُْنيَْ َلَنفَ،ِ صلاَ َِِ ُتْلَخَدَوَََُتْرَنتََناَتََْاَ ُتْلَْْرََْفَ ُتْلَزَنَنفَ ِ صلا
َ َدُو
ََمَََاَ:َ، َ ََََوَُوََِِِْعَقْلاَُ ْ َلَاَاََو
َُة ََصلاَ ِتَماَ:َاَنََِاًعِْاَوََكِلَنَىَرَََاَوَََوَ ٌَكِلا
.
15
Telah menceritakan kepada kami Uthma>n ibn Abu> Shaybah telah menceritakan kepada kami Sufyan ibn 'Uyainah dari Al-Zuhriy dari 'Ubaydulla>h ibn Abdulla>h dari Ibnu Abba>s dia berkata; "Aku datang dengan mengendarai seekor keledai…" dan telah di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabiy dari Ma>lik dari Ibnu Sihab dari 'Ubaidullah ibn Abdullah ibn 'Utbah dari Ibnu Abbas dia berkata; "Aku datang sambil menaiki seekor keledai, pada saat itu aku sudah hampir usia baligh, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang melaksanakan salat bersama orang-orang di Mina, lalu aku lewat di depan sebagian shaf, lalu aku turun. Setelah itu aku melepas keledaiku untuk merumput, lalu aku masuk kedalam shaf, tapi tidak ada satupun orang yang menegur perbuatanku." Abu Daud berkata; "Ini redaksi dari Al-Qa'nabiy dan lebih lengkap, Malik mengatakan; Dan aku melihat hal itu merupakan kemudahan apabila salat telah di tegakkan.
Adanya dua hadis yang kontradiktif merupakan indikator yang memberi informasi bahwa seolah-olah ada kejanggalan dan ketidak konsistenan seorang Nabi Muhammad ketika mengeluarkan hadis. Hal tersebut perlu diluruskan dengan melakukan penelusuran dan penelitian lebih mendalam agar kerancuan yang seakan-akan mempersulit tersebut akan jelas permasalahannya. Sebab jika tidak, maka implikasinya akan sangat negatif terutama bagi kaum inkar al-sunnah. Kedua hadis akan dikaji dengan menggunakan keilmuan Mukhtali>f al-h}adi>th.
15Ibid.
6
B. Identifikasi Masalah
Terkait hadits tentang berjalan di depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715, terdapat permasalahan yang dapat dikaji diantaranya:
1. Pengertian salat.
2. Pengertian pembatas salat.
3. Cara mencegah orang yang berjalan ketika salat. 4. Hal-hal yang membatalkan salat.
5. Hal-hal yang mengurangi kekhusyukan salat. 6. Kebolehan berjalan di depan orang salat. 7. Larangan berjalan di depan orang salat.
8. Penyelesaian hadis kontradiktif tentang berjalan di depan orang salat.
Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada satu permasalahan saja, yaitu hadis tentang berjalan di depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715. Kemudian mengkaji kedua hadis tersebut dengan menggunakan metode mukhtali@f al-hadi@th.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kualitas dan ke-h}ujjah-an hadits tentang berjalan di depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715?
2. Bagaimana penyelesaian hadis mukhta>li@f tentang berjalan di depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715?
3. Bagaimana implikasi dari hadis berjalan di depan orang salat dalam Sunan
7
D. Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan kualitas dan ke-h}ujjah-an hadits tentang berjalan di
depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715.
2. Untuk menemukan cara penyelesaian hadits tentang berjalan di depan orang salat.
3. Untuk mengetahui implikasi dari hadis berjalan di depan orang salat dalam
Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini disusun untuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
1. Secara teoritis, Penelitian ini berguna sebagai sumbangsih akademis bagi civitas akademika yang mendalami kajian hadis dan sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
F. Telaah Pustaka
Telaah pustaka dalam sebuah penelitian meruapakan hal yang sangat urgen karena kajian pustaka ini akan menunjukkan dan membuktikan orisinilitas sebuah karya yang tujuannya untuk menghindari plagiasi karya orang lain.
8
G. Metode Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal.16 Berikut akan dipaparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.
Penelitian ini menggunakan model kualitatif dalam bentuk kepustakaan, yang bermaksud mendeskripsikan kualitas dan penyelesaian hadis yang kontradiktif tentang berjalan di depan orang salat dalam Sunan Abi@ Da>wud no. Indeks 697 dan 715. Sedangkan metode yang digunakan deskriptif guna untuk melukiskan fakta dan data yang ada.
2. Sumber Data
Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis al-Mu’jam al-Mufahras li> Alfa>z}
al-H{adi>th al-Nabawi> melalui kata-kata dalam matn hadis dan dibantu
penelusuran hadis melalui software maktabah sha>milah dengan metode penelusuran lewat topik atau tema hadis dan penelusuran lewat kata awal, tengah atau akhir dalam matn hadis. Sumber data yang digunakan antara lain:
a. Sumber Data Primer
1) Kitab Sunan Abi> Da>wud
2) ‘Awn al-Ma‘bu>d ‘Ala Sharh} Sunan Abi> Da>wud
16
9
3) Fath}u al-Bari> Sharh S{ahi>h al-Bukhari> b. Sumber Data Sekunder
1) Kaidah Kesahihan Sanad Hadiskarya Suhudi Ismail. 2) Ikhtishar Mushthalahul Haditskarya Fatchur Rahman
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah, atau dokumentasi tertulis lainnya.
Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua tekhnik pengumpulan data, yaitu: takhri>j al-h}adi>th dan i’tiba>r al -h}adi>th.
a. Takhri>j al-h}adi>th, secara bahasa adalah mengeluarkan, menampakkan,
meriwayatkan, melatih, dan mengajarkan. Sementara menurut istilah menunjukkan asal hadis pada sumber-sumber aslinya, dimana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanad-nya, kemudian menerangkan hukumnya jika diperlukan.17
b. Kegiatan i’tiba>r dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan
sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad
-nya tampak ha-nya terdapat seorang periwayat saja. Dengan menyertakan
sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui ada periwayat yang
lain atau tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.18
17
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 3. 18
10
4. Analisis Data
Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matn, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut.
Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-hadi>th yaitu tari@kh ruwa>h dan jarh wa> al-ta’di>l, serta mencermati silsilah guru murid dan tah}ammul wa al-ada’ (proses
penerimaan hadis).19Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang ra>wi@ serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.
Dalam penelitian matn, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atau validitas matn diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit al-Qur’an, hadis-hadis lain yang berkualitas sahih, dan akal.
Dalam hadis yang akan diteliti ini, pendekatan keilmuan hadis yang digunakan untuk analisis isi adalah ilmu mukhtali>f al-h}adi>th yang digunakan untuk memecahkan hadis yang kontradiktif dengan menggunakan salah satu metode penyelesaiannya baik berupa al-jam’u, tarjih (memilih dan mengunggulkan kualitas hadis yang lebih baik), nasikh-mansukh (menghapus dalil yang keluar lebih awal), tawaquf (menghentikan atau mendiamkan).20
19
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 202.
20
11
H. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini, pembahasannya terdiri dari lima bab. Yang masing-masing bab terdiri dari macam-macam sub bab. Satu bab dengan sub bab yang lain merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Secara global sistematika pembahasannya sebagai berikut.
Bab satu, pendahuluan yang meliputi: latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian ini dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Bab dua, landasan teori yang berisi tentang kesahihan sanad, kesahihan matn, teori jarh} wa> ta’dil, teori ke-h}ujjah-anhadis dan teori mukhtali>f al-h{adi>th. Bab ini merupakan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.
Bab tiga, data hadis yang berisi tentang biografi Sunan Abi> Da>wud serta sistematika kitab tersebut. Bab ini mendeskripsikan tentang biografi Sunan Abi>
Da>wud, hadis berjalan di depan orang salat, hadis pendukung, skema sanad dan
i’tiba>r.
Bab empat, analisis yang mencakup kualitas sanad dan matn hadis serta penyelesaian dari hadis mukhtali>f tentang berjalan di depan orang salat.
BAB II
KAIDAH KESAHIHAN HADIS DAN
MUKHTALI@F AL-HA{DI@TH
A. Kaidah Kesahihan Hadis
Para ulama hadis telah memberikan definisi hadis sahih sebagai hadis yang bersambung sanad-nya, yang diriwayatkan oleh ra>wi@ yang adil dan ra>wi@ lain yang juga adil dan d}a>bit} sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat.1
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat, apabila memenuhi syarat-syarat kesahihan baik dari aspek sanad maupun matn. Syarat-syarat terpenuhinya kesahihan ini sangatlah diperlukan karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Rasulallah.2
Adapun kriteria kesahihan hadis nabi terbagi dalam dua pembahasan, yaitu kriteria kesahihan sanad hadis dan kesahihan matn hadis. Jadi, sebuah hadis dikatakan sahih apabila kualitas sanad dan matn-nya sama-sama bernilai sahih.
1. Kaidah Kesahihan Sanad
Dari definisi hadis sahih yang disepakati ulama di atas, maka suatu hadis dianggap sahih, apabila sanad-nya memenuhi lima syarat:
1
Nuruddin, Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 240. 2
13
a. Sanad bersambung
Sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang disandari
mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis
yang bersangkutan dari nabi bersambung dalam periwayatannya.3
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh langkah-langkah seperti berikut:
1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab rija>l al-hadi>th.
Dalam meneliti sanad hadis, sangat diperlukan mempelajari ilmu
rija>l al-h}adi>th, yaitu ilmu yang secara spesifik mengupas keberadan
para ra>wi@ hadis dan mengungkap data-data para pe-ra>wi@ yang terlibat dalam kegiatan periwayatan hadis serta sikap ahli hadis yang menjadi kritikus terhadap para pe-ra>wi@ hadis tersebut.4 Tujuannya untuk mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam
sanad itu terdapat satu zaman dan hubungan guru murid dalam
periwayatan hadis, dan untuk mengetahui apakah setiap periwayat
3
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 131.
4
14
dalam sanad itu dikenal ‘adl dan d}a>bit} dan tidak tadlis. Ilmu ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Ilmu Tarikh al-Ruwah
Secara etimologis, tarikh al-ruwah berasal dari kata tarikh
yang berarti sejarah dan al-ruwah dari jamak al- ra>wi@ yang berarti para ra>wi@. Secara terminologis, ilmu tarikh al-ruwah adalah ilmu yang membahas ra>wi@-ra>wi@ hadis dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis.5
Ilmu tarikh al-ruwah ini menjelaskan hal ihwal para ra>wi@
yang berkaitan dengan periwayatan hadis yang meliputi informasi tentang kurun hidup, daerah kelahiran, guru-guru, murid-murid, negeri-negeri tempat kediaman guru, perlawatan, tarikh kedatangan ke negara-negara yang dikunjungi, pendengaran hadis dari guru sebelum dan sesudah. Dengan demikian pada dasarnya, ilmu ini memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalanan hidup
ra>wi@ yang terkait dalam perlawatan dan periwayatan hadis
sehingga dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua
ra>wi@ yang menerima dan menyampaikan hadis yang melakukan
transmisi hadis Nabi.6 b) Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’dil
Secara etimologis, al-jarh} merupakan isim masdar dari kata
jarah}a-yajrah}u yang berarti melukai. Secara terminologis, al-jarh}
5
Ibid., 11. 6
15
sifat yang tampak pada periwayat hadis yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalan dan daya ingatannya yang mengakibatkan gugur, lemah, atau tertolaknya periwayatan.7 ‘Adl secara etimologis adalah sesuatu yang terdapat dalam
jiwa bahwa sesuatu itu lurus. Sedangkan secara terminologis, al-ta’dil adalah mensifati periwayat dengan sifat-sifat yang baik
sehingga tampak jelas keadilannya dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterimanya. Ilmu al-jarh} wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan pe-ra>wi@ hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.8
Objek pembahasan ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l adalah meneliti
para periwayat hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hadis apakah sahih atau d}a‘i>f.
Berikut ini terdapat beberapa kaidah dalam men-jarh}} dan men-ta’di>l-kan pe-ra>wi@ diantaranya:
1))
ورْاَيلعَمدقمَليدعتلا
َ
(penilaian ta’di@l didahulukan atas penilaianjarh}). Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji
seorang ra>wi@ dan ada juga ulama hadis yang mencelanya, jika terdapat kasus demikian maka yang dipilih adalah pujian atas
ra>wi@ tersebut, alasanya adalah sifat pujian itu adalah naluri dasar
7
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 98. 8
16
sedangkan sikap celaan itu merupalan sifat yang datang kemudian. Ulama yang memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’i>, namun pada umumya tidak semua ulama hadis menggunakan kaidah ini.
2))
ليدعتلاَيلعَمدقمَورْا
َ(penilaian jarh{ didahulukan atas penilaianta’di@l). Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan yang
berisi celaan terhadap seorang ra>wi@, karena didasarkan asumsi bahwa pujian timbul karena persangkaan, baik dari pribadi kritikus hadis, sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh pe-ra>wi@ yang bersangkutan. Kaidah ini banyak didukung oleh ulama hadis, fiqih dan usul fiqih.
3))
َرس ماَورْاَتِثَانَََََِدعمللَ كْافََدعماَوَوراْاَضراعتَانَ
َ
(apabilaterjadi pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini banyak dipakai oleh para ulama kritikus hadis dengan syarat bahwa penjelasan tentang ketercelaan itu harus sesuai dengan upaya penelitian.
4))
ةقثلَ حرجَ لِقيَ َفَ ا عضَ وراْاَ ناََ انَ
َ َ
(apabila kritikus yang17
maka kritikanya terhadap orang yang thiqah tidak diterima kaidah ini juga didukung oleh para ulama ahli kritik hadis.
5))
ْحو
َرجاََِ اِشَاَة شخَةِثتلاَدعبَِاَورْاَلِقيَِ
(jarh{ tidak diterima,kecuali setelah diteliti secara cermat dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara periwayat yag dikritik dengan periwayat lain, sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan. Kaidah ini juga banyak digunakan oleh para ulama ahli kritik hadis.
6))
بَدتعيََِةيوا ودَةوادعَنعَئشا لاَورْا
(jarh{ yang dikemukakan olehorang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawiaan tidak perlu diperhatikan hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif. 9
Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah
al-jarh} wa al-ta`di>l namun keenam kaidah di atas yang banyak
terdapat dalam kitab ilmu hadis. Yang terpenting adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.
18
3) Meneliti lafal yang menghubungkan antara periwayat dengan
periwayat terdekat dalam sanad.10
Adapun metode yang digunakan dalam penerimaan riwayat hadis
yang disepakati oleh para muhaddithin dimulai dari urutan yang tertinggi, yaitu:
1)) Sama’ yaitu seorang murid mendengar hadis langsung dari gurunya. Lafal yang digunakan adalah sami’tu, h}addthana>, h}addthaniy, akhbarana>, akhbaraniy.
2)) Qira’ah atau ‘ardh yaitu seorang murid membacakan hadis yang didapatkan dari gurunya. Lafal yang digunakan qara’tu alayh, quri’a ‘ala> fula>n wa ana> asma’u.
3)) Ija>zah yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk
meriwayatkan sebuah buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu persatu. Lafal yang digunakan ajaztu laka riwa>yata kita>b al-fula>niy’anniy, ajaztu laka jami@’a masmu>’aniy aw marwiyya>ti, ajaztu
lismuslimi@na jami@’a masmu>’aniy.
4)) Muna>walah yaitu seorang guru memberikan sebuah materi tertulis
kepada seseorang untuk meriwayatkannya. Dalam muna>walah
disertai ija>zah. Lafal yang digunakan anba>’aniy ija>zah, anba’ana>,
haddathana> ija>zah. Sedangkan muna>walah tanpa ija>zah
menggunakan Lafal na>walana>, na>walaniy.
10
19
5)) Kita>bah atau Muka>tabah yaitu seorang guru menuliskan rangkaian
hadis untuk seseorang. Lafal yang digunakan kataba ilayya fula>n, akhbaraniy bihi muka>tibah, akhbaraniy bihi@ kita>bah.
6)) I’lam yaitu memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi hadis tertentu. Lafal yang digunakanakhbarana> i’la>man.
7)) Was}iyyah yaitu seorang guru mewariskan buku-buku hadisnya
kepada sesorang. Lafal yang digunakan aws}a> ilayya.
8)) Wija>dah yaitu seseorang menemukan sejumlah buku-buku hadis
yang ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal namanya. Lafalnya wajadtu bikhat}t}i fula>n haddathana> fula>n, wajadtu fi@ kita>bi fula>n
bikhot}t}hi haddathana> fula>n, wajadtu ‘an fula>n ballighniy ‘an fula>n.11
Dalam sanad hadis, ada istilah ح atau احyang merupakan singkatan dari َدا ْاََََدا ْاَنمَليوحتلا perpindahan dari sanad yang satu ke
sanad lainnya. Tanda ini muncul apabila ada hadis yang memiliki dua sanad atau lebih.12
Disamping itu, kata-kata yang sering didapati adalah نع. Sanad hadis yang mengandung sighat tersebut disebut hadis mu’an’an. Sebagian ulama menyatakan dalam hadis mu’an’an sanadnya terputus karena sighat tersebut menandakan bahwa sanad tersebut belum tersambung. Namun, mayoritas ulama menilainya seperti al-sama’
11
Muhammad Mustafa Azmi, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin, Cet. 2 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 37.
12
20
apabila memenuhi tiga syarat, yakni sanad yang mengandung
sighat نع bukan hadis mudallis, dimungkinkan terjadi pertemuan
antara periwayat dengan periwayat terdekat, periwayat adalah orang-orang terpercaya.13
b. Periwayat bersifat adil
Dalam memberikan pengertian istilah adil yamg berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpun kriterianya kepada empat butir berdasarkan kesamaan maksud berbeda dalam ungkapan karena perbedaan peninjauan. yaitu:
1) Beragama Islam
Untuk kegiatan menerima hadis, kriteria itu tidak berlaku. Jadi, periwayat tatkala menerima riwayat boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama Islam, asalkan saja tatkala menyampaikan riwayat dia telah memeluk agama Islam.
2) Mukallaf
Yakni baligh dan berakal sehat, merupakan salah satu kriteria menyampaikan riwayat. Untuk kegiatan penerimaan riwayat, periwayat tersebut dapat saja masih belum mukallaf, asalkan saja dia telah mumayyiz.
3) Melaksanakan ketentuan agama
Ialah teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat
bid’ah, tidak berbuat maksiat, dan harus berakhlak mulia.
13Syarif Ali ibn Muhammad „Ali al
21
4) Memelihara muru’ah
Ialah kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebijakan moral dan kebiasan-kebiasan. Hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku di masing-masing tempat.14
Secara umum ulama’ telah mengemukakan cara penetapan keadilan
periwayat hadis diantaranya:
1) Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama’ hadis. 2) Penilaian dari para kritikus periwayat hadis yang berisi tentang
kelebihandan kekurangan pe-ra>wi@ hadis.
3) Penerapan kaidah al-jarh wa ta’di@l, cara ini di tempuh jika kritikus periwayat hadis tidak sepakat dengan kualitas periwayat tertentu.15 c. Periwayat bersifat d}a>bit}
Arti harfiah d}a>bit} ada beberapa macam, yakni dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan hafal dengan sempurna. Pengertian harfiah tersebut diserap ke dalam pengertian istilah dengan dihubungkan dengan kapasitas intelektual.16 Ada dua unsur ke- d}a>bit}-an ra>wi@. Pertama, pemahaman dan hafalan yang baik atas riwayat yang telah didengarnya. Kedua, mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya dengan baik
14
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 63-65.
15
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 139.
16
22
kepada orang lain kapan saja dia kehendaki.17 Ke-d}a>bit}-an seorang
pe-ra>wi@ dapat diketahui dengan kesaksian ulama, kesesuaian riwayatnya
dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal
ke-d}a>bit}-nya, dan hanya sekali mengalami kekeliruan.18
Tingkat ke-d}a>bit}-an yang dimiliki oleh para periwayat tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan ingatan dan kemampuan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing pe-ra>wi@, perbedaan tesebut dapat dipetakan sebagai berikut:
1) D}a>bit}, istilah ini diperuntukkan bagi pe-ra>wi@,yang mampu menghafal
dengan sempurna dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
2) Tama>m al-d}a>bit}}, istilah ini diperuntukkan bagi pe-ra>wi@,yang hafal dengan sempurna, mampu untuk menyampaikan dan faham dengan baik hadis yang dihafalnya itu.19
d. Tidak adanya shudhudh
Menurut al Syafi’i, suatu hadis bisa dikatakan shadh jika hadis yang diriwayatkan oleh seorang ra>wi@ yang thiqah namun riwayatnya tersebut bertentangan dengan orang banyak yang juga thiqah. Jadi shadh adalah penyendirian dan pertentangan. Selama tidak terkumpul padanya dua unsur tersebut, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadis shadh.20
17
Muhid, dkk. Metodologi Penelitian Hadits (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 57.
18
Ismail, Kaidah Kesahihan, 142. 19
Ibid., 143. 20
23
Adapun penyebab utama terjadinya shadh sanad hadis adalah
pebedaan tingkat ke-d}a>bit}-an periwayat. Apabila istilah thiqah yang
merupakan gabungan dari istilah ‘adl dan d}a>bit}, maka dikalahkannya
pe-ra>wi@,yang thiqah dengan pe-ra>wi@,yang lebih thiqah, berarti dalam hal ini
yang dilebihkan bukan dari segi keadilannya melainkan lebih dari segi ke-d}a>bit}-annya.21
e. Tidak adanya‘illat
Secara bahasa ‘illat berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis.22 Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.23 Untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hadis diperlukan penelitian yang lebih cemat, sebab hadis yang bersangkutan tampak sahih
sanad-nya.24
Untuk mengetahui terdapat ‘illat tidaknya suatu hadis, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu: pertama, mengumpulkan semua riwayat hadis, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matn -nya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan yang selanjutnya akan diketahui di mana letak ‘illat-nya dalam hadis tersebut. Kedua, membandingkan susunan ra>wi@ dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam keumuman sanad. Ketiga,
21
Ismail, Kaidah Kesahihan..., 150. 22
Muhid, Metodologi Penelitian..., 58. 23
Ismail, Kaidah Kesahihan, 152. 24
24
pernyataan seorang ahli yang dikenal keahlianya, bahwa hadis tersebut mempunyai ‘illat dan ia menyebutkan letak ‘illat pada hadis tersebut.25
2. Kaidah Kesahihan Matn
Seluruh matn hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan dengan sanad-nya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat, maka dengan sendirinya keadaan matn perlu diteliti secara cermat juga. Perlunya penelitian matn hadis tidak hanya karena keadaan matn tidak dapat dilepasakan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan matn hadis dikenal adanya periwayatan semakna. Ulama hadis telah menetepakan syarat-syarat sahnya periwayatan secara semakna, namun hal itu tidaklah berarti bahwa seluruh periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis telah mampu memenuhi dengan baik ketentuan itu.26
Meneliti matn hadis sebagai upaya pengujian atas keabsahan matn hadis yang dilakukan untuk memisahkan antara matn-matn hadis yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian kritik matn tersebut bukan dimaksudkan untuk mengoreksi atau menggoyahkan ajaran Islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulallah, akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadis, karena itu kritik matn merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian
25
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, ed III (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 163.
26
25
matn hadis dan mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat
terhadap hadis Rasulallah.27
Menurut Mus}t}afa> al-S{iba>’iy. Muhammad Abu> Shahbah, dan Nu>r al-Di@n ‘Itr, dalam meniliti hadis para Nabi para ulama sama sekali tidak
mengabaikan matn. Hal ini terbukti pada kaedah kesahihan hadis yang telah dinyatakan oleh para ulama hadis yang menyatakan sebagian syarat yang harus dipenuhi oleh hadis yang berkualitas sahih ialah sanad dan
matn-nya terhindar dari shudhu>dh dan terhindar dari ‘Illat. Kedua unsur
tersebut harus menjadi acuan utama.28
Langkah-langkah metodologis yang ditawarkan oleh ulama kritik hadis dalam penelitian matn hadis yaitu:29
a. Meneliti matn dengan melihat kualitas sanad-nya. b. Meneliti susunan lafal berbagai matn yang semakna c. Meneliti kandungan matn
Adapun tolok ukur penelitian matn yang dikemukakan oleh ulama berbeda-beda. Namun S{alah}u al-Di>n al Adabiy menyimpulkan bahwa tolok ukur untuk penelitian matn ada empat macam, yaitu:
a. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an b. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat
c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan fakta sejarah. d. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.30
27
Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press, 2008), 94.
28
Muhid, Metodologi Penelitian..., 195. 29
26
B. Teori Ke-h}ujjah-an Hadis
Hadis yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai h}ujjah disebut
hadis maqbu>l, yaitu hadis s}ahi@h lidza>tihi dan s}ahi@h lighayrihi, hadis hasan, yaitu
hasan lidha>tihi danhasan lighayrihi. Dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat
yang dapat diterima menjadi h}ujjah karena terdapat sifat-sifat tercela disebut
hadis mardu>d, yaitu segala macam hadis d}a>’if.31
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanad-nya, periwayat adil dan
d}a>bit, tidak adanya kejanggalan dan cacat. Hadis sahih dibagi menjadi dua: sahih
lidza>tihi yaitu hadis yang memenuhi lima kriteria hadis sahih, dan sahih lighayrihi
yaitu hadis hasan lidza>tihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat daripadanya. Jadi, hadis sahih lighayrihi semestinya tidak memenuhi persyaratan hadis sahih, ia baru sampai pada tingkat hasan karena periwayat ada yang kurang sedikit hafalannya dibandingkan dalam hadis sahih, tetapi karena diperkuat dengan sanad lain, maka naik menjadi sahih lighayrihi, kualiatas sanad lain terkadang sama-sama hasan atau sahih.32
Sanad sahih memiliki tahap tingkatan yang berbeda, sesuai dengan kadar
ke-d}a>bit}-annya dan keilmuan para perawi hadis tersebut. Hal ini secara mutlak
menjadi perselisihan di kalangan ulama kecuali dibatasi pada kalangan sahabat saja. Menurut sebagian ulama hadis, sanad yang paling sahih secara mutlak adalah sebagai berikut:
30
Ibid., 120. 31
Fatchur Rohman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 143.
32
27
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Shihab al-Zuhri dari Salim ibn Abdullah ibn Umar dari Ibnu Umar.
b. Sebagian ulama berpendapat, sanad yang paling sahih adalah periwayatan Sulaiman al-„A’masy dari Ibrahim al-Nukha’i dari Alqamah ibn Qays dari
Abdullah ibn Mas’ud.
c. Menurut al-Bukhari dan yang lain, sanad yang paling sahih adalah
periwayatan Imam Malik ibn Anas dari Nafi’ budak Ibnu Umar dari Ibnu
Umar dan sanad inilah yang disebut silsilah al-dhahab.
Dari segi persyaratan sahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingkat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah, yaitu: muttafaq ‘alaih, diriwatkan oleh al-Bukha>ri@ saja, diriwayatkan Muslim saja, hadis yang
diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan al-Bukha>ri dan Muslim, hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan al-Bukha>ri saja, hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja, hadis yang dinilai sahih menurut ulama hadis selain al-Bukha>ri dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaymah, Ibnu H{ibban, dan lain-lain.33 Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, periwayat adil, periwayat kurang sedikit ke-d}a>bit-annya, tidak adanya kejanggalan dan cacat. Kriteria hadis hasan hampir sama dengan kriteria hadis sahih. Perbedaannya terletak pada sisi ke-d}a>bit}-annya. Hadis sahih ke-d}a>bit}-an seluruh periwayat harus
ta>m, sedangkan dalam hadis hasan kurang sedikit ke-d}a>bit}-annya jika
dibandingkan dengan hadis sahih. Ke-d}a>bit}-an periwayat hadis hasan nilainya
33
28
memang kurang jika dibandingkan dengan periwayat hadis sahih karena ke- d}a>bit}-an para periwayat hadis sahih sd}a>bit}-angd}a>bit}-an sempurna, akd}a>bit}-an tetapi jika dibd}a>bit}-andingkd}a>bit}-an dengan ke-d}a>bit}-an perawi hadis d}a’i@f tentu belum seimbang, ke-d}a>bit}-an periwayat hadis hasan lebih unggul. Hadis hasan dibagi menjadi dua: hasan
lidza>tihi yaitu hadis hasan dengan sendirinya karena memenuhi segala kriteria dan
persyaratan yang ditentukan, dan hasan lighayrihi yaitu hadis d}a’i@f jika diriwayatkan melalui sanad lain yang sama atau lebih kuat. Jadi, hadis d}a’i@f bisa naik menjadi hasan lighayrihi dengan dua syarat, yaitu: harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat, dan sebab ke-d}a’i@f-an hadis tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan yang kurang, atau terputusnya sanad, atau tidak diketahui dengan jelas identitas periwayat.34 Hadis d}a‘i>f adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis sahih dan hasan.
Jadi, hadis d}a‘i>f adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis sahih dan hasan, misalnya sanad tidak bersambung, periwayat tidak adil dan tidak d}a>bit}, adanya kejanggalan dan cacat pada sanad dan matn. Hadis d}a‘i>f tidak identik dengan hadis palsu. Diantara hadis d}a‘i>f terdapat kecacatan para periwayatnya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat, tetapi adil dan jujur. Sedang hadis palsu periwayatnya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis d}a‘i>f sekalipun tanpa menjelaskan ke-d}a‘i>f-annya dengan dua syarat: tidak berkaitan dengan akidah
seperti sifat-sifat Allah, tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan
34
29
halal dan haram, tetapi berkaitan masalah maw’id}ah, targhib wa tarhib, kisah-kisah, dan lain-lain.35
Para ulama mempunyai pendapat mengenai teori ke-h}ujjah-an hadis sahih, hasan, d}a‘i>f, yaitu:
1. Ke-h}ujjah-an hadis sahih dan hasan
Kebanyakan ulama ahli ilmu dan fuqaha, bersepakat menggunakan hadis sahih dan hasan sebagai h}ujjah.
a. Hadis maqbu>l ma‘mu>lun bih yaitu dapat diterima menjadi h}ujjah dan
dapat diamalkan ialah:36
1) Hadis tersebut muh}kam, yakni dapat digunakan untuk memutuskan
hukum, tanpa subhat sedikitpun.
2) Hadis tersebut mukhtali>f (berlawanan) yang dapat dikompromikan,
sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.
3) Hadis tersebut rajih} yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.
4) Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.
b. Hadis maqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih yaitu tidak dapat diamalkan karena beberapa sebab tertentu, ialah:37
1) Mutashabbih (sukar dipahami).
2) Mutawaqqaf fihi (saling berlawanan, tidak dapat dikompromikan).
35Ibid., 185.
30
3) Marju>h} (kurang kuat dari pada hadis maqbu>l lainnya).
4) Mansu>kh (terhapus oleh hadis maqbu>l yang datang berikutnya).
5) Hadis maqbul yang maknanya berlawanan dengan Alquran, hadis mutawattir, akal sehat dan ijma„ para ulama.
2. Ke-h}ujjah-an hadis d}a‘i>f
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dan mengamalkan hadis d}a’i@f, yaitu:
a. Hadis d}a’i@f tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan
amal (fad}a>’il al-a‘mal) atau dalam hukum.
b. Hadis d}a’i@f dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (fad}a>’il al-a‘mal), sebab hadis d}a’i@f lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c. Hadis d}a’i@f dapat diamalkan dalam fad}a>’il al-‘amal, maw‘id}ah, targhi>b (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhi>b (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan, yakni:
1) Tidak terlalu d}a’i@f, seperti jika di antara pe-ra>wi@-nya pendusta (hadis maud}u’) atau dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat
hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasiq dan bid‘ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munka>r).
2) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis muh}kam, nasi>kh, dan rajah}.
3) Tidak diyakini secara kebenaran hadis dari Nabi, tetapi karena berhati-hati (ikhtiya>t}).38
38
31
C. Teori Mukhtali@f al-Hadi@th
1. Definisi Hadis Mukhtali@f
Mukhtali@f merupakan isim fa’il (bentuk subjek) yang diambil dari kata
kerja ikhtilaf yang berarti perselisihan atau pertentangan. Sedangkan ilmu
muktali@f al-h}adi>th merupakan sejenis ilmu yang memperbincangkan tentang
bagaimana memahami dua hadis yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya. Disamping membahas tentang hadis yang sulit difahami atau dimengerti, kemudian mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.39 Menurut Yusuf
Qarz}awi, bahwa hadis d}a’i@f tidak termasuk ke dalam bidang hadis muktali@f
karena bila terdapat hadis maqbu>l bertentangan dengan hadis mardu>d, maka secara pasti hadis mardu>d ditinggalkan.40
Adapun ilmu muktali@f al-h}adi>th, menurut Ajaj al-Khatib bahwa ulama yang pertama mengkaji dan menghimpun ilmu muktali@f al-h}adi>th adalah Imam al-Syafi’i, dalam kitabnya ikhtila>f al-h}adi>th. Beliau juga memasukkan hadis-hadis yang menyangkut masalah tanawwu’ al-iba>dah ( keragaman tata cara pelaksanaan ibadah) ke dalam kelompok hadis-hadis muktali@f. Dengan adanya perhatian ulama terhadap hadis-hadis muktali@f, telah melahirkan suatu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis, disebut dengan ilmu muktali@f
al-h}adi>th. Sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu mushki@l al-h}adi>th, ada
39
Nafiz Husain Hammad, Mukhta>lif al-hadi@ts bayna al-Fuqaha’ wa al-Muhaddithi@n (Mesir: Dar al-Wafa, 1993), 13.
40Yusuf Qarz}awi
32
juga yang menamai dengan ilmu ta’wi@l al-h}adi>th dan sebagian yang lain menamainya dengan ilmu talfi@q al-h}adi>th. 41
Menurut Mah}mu>d al-T{ah}an muktali@f al-h}adi>th ialah hadis maqbu>l yang kontradiktif dengan hadis maqbu>l lainnya, tetapi dapat dikompromikan. Menurut Muh}ammad Ajaj al-Khat}t}ab, ilmu yang membahas tentang beberapa hadis yang secara lahiriah tampak bertentangan dan beberapa hadis yang sulit dipahami atau sulit dicapai pemahamannya, kemudian kesulitan itu dapat dihilangkan atau dapat dikompromikan. Ulama lain mendifinisikan, ilmu yang membahas tentang beberapa hadis yang tampak bertentangan tetapi ada kemungkinan dapat dikompromikan. Ada kalanya dengan membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, atau menginterpretasikan peristiwa yang terjadi berkali-kali dengan berbeda latar belakang dan kondisinya.42 Dari pengertian diatas dapat diketahui mukhtalif mengandung ketentuan-ketentuan yaitu: adanya dua dalil, kedua dalil kualitasnya sama, kedua dalil mengandung ketentuan hukum yang berbeda-beda, berkaitan dengan masalah yang sama, dan menghendaki hukum dalam waktu yang sama.43
2. Sebab-sebab yang melatar belakangi adanya hadis mukhtali@f:
a. Faktor internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut. Biasanya terdapat illah (cacat) di dalam hadis tersebut yang nantinya
41
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i”, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (Juli, 2011), 185.
42
Khon, Takhrij dan Metode..., 195.. 43
33
kedudukan hadis tersebut menjadi d}a’i@f. Dan secara otomatis hadis tersebut
ditolak ketika hadis tersebut berlawanan dengan hadis sahih}.
b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan hadisnya.
c. Faktor metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses
seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian dari hadis yang difahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan hadis-hadis yang mukhtali@f.
d. Faktor ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu
madzhab alam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.44
3. Metode Penyelesaian Hadis Mukhtali@f
Manakala menemukan dalil-dalil yang bertentangan, seperti hadis-hadis
mukhtali@f, maka metode Shafi’idalam penyelesaiannya, yaitu : al-jam’u a al
-tawfiq (mengumpulkan dan mengompromikan dua dalil yang tampak
bertentangan), menerapkan nasakh (pembatalan hukum), menerapkan tarjih (menguatkan salah satu dalil atas yang lainnya), tawaqquf, yakni meninggalkan dua dalil yang bertentangan dan mencari dalil lain.45
44
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan MetodeMemahami Hadis (Yogyakarta: Odea Press, 2009), 87.
45
34
Penyelesaian pada hadis mukhtalif pada langkah pertama dilakukan al-jam`’u atau al-tawfi>q. Ibn H{ajar menegaskan bahwa, hadis maqbu>l jika tidak
ada hadis lain yang maqbu>l yang bertentangan dengannya disebut
al-muh}kam, tetapi apabila ada hadis yang setara (maqbu>l) lain yang
bertentangan dengannya, bila dikompromikan secara wajar maka hadis tersebut dipandang h}adi>th mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data sejarah yang memastikan bahwa kedua hadis itu tidak datang secara bersamaan, maka yang terakhir dipandang na>sikh dan lainya dipandang
mansu>kh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan (tidak ada data sejarah yang
dapat dipertanggungjawabkan) maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah
tarji>h}. Namun bila hal ini tidak dapat dilakukan maka hadis-hadis yang
bertentangan tersebut akhirnya di tawwaqquf-kan.46
Dengan demikian, penyelesaian ikhtila>f dilakukan secara bertahap bukan pilihan, yakni dengan metode al-jam`’u, al-tawfi>q, al-ta’li>f atau al-talfi>q. Istilah-istilah ini secara terminologi bermakna sama, jika tidak dapat dengan langkah pertama ini maka barulah secara bertahap dilakukan pendekatan na>sikh, tarji>h}, dan al-tawaqquf.47
a. Metode al-Jam’u
Al-jam’u secara bahasa merupakan bentuk mashdar, yaitu
mengumpulkan sesuatu, mengumpulkan dari sesuatu ke sesuatu yang lain, atau mengumpulkan sesautu dari yang terpisah. Al-jam’u yaitu
46
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Erlangga, 2010), 111.
47
35
menyatukan yang terpisah. Lawan katanya al-mutafarriq. Berdasarkan firman Allah surah al-Qiya>mah ayat 3: ayah}sabu al-insa>na annajma’u
‘iz}a>mah, apakah manusia mengira bahwa Kami tidak dapat
mengumpulkan (kembali) jadi satu. Menurut Ibnu Jari@r At-T{aba>ri, maksud dari ayat diatas adalah apakah anak Adam mengira bahwa Kami tidak mampu mengumpulkan kembali tulang belulangnya?.48
Secara istilah al-jam’u yaitu menjelaskan persesuaian dan persatuan antara dua hadits yang bertentangan, bagus sanad-nya (sahih) untuk dijadikan hujjah.49 Sedangkan al-Qarafi mengartikan al-jam’u sebagai mengkompromikan hadits-hadits yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya msing-masing.50
Dari sekian definisi tentang al-jam’u dapat disimpulkan bahwa kedua hadits yang tampak bertentangan dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya masing-masing, artinya bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
Metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan bahwa dua hadis tersebut sama-sama berkualitas sahih. Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua hadis yang tampak saling bertentangan), karena dalam salah satu kaedah
48Hammad, Mukhta>lif al-hadi@ts..., 141. 49
Ibid., 50
36
fiqh disebutkan bahwa i’mal al-aqwl khayrun min ihma>lihi (mengamalkan
suatu ucapan atau sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).51 Jadi, al-jam’u ialah dengan cara memahami dan menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing kedua hadis, sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan lainnya dapat dikompromikan.
Nafidh Husain Hammad memberikan keterangan tentang syarat-syarat al-jam’u sebagai berikut:
1) Mempertegas (tahaqquq) kontroversi dua dalil, yaitu masing-masing dalil tersebut saling bertentangan dan pantas dijadikan hujjah. Hal itu dimaksudkan bahwa yang dikehendaki adalam mengkompromikan dua hadits yang dapat dijadikan hujjah dan maqbul. Jika salah satunya
mardud atau dua-duanya mardud, maka percuma saja dilakukan
pengkompromian karena hasilnya tetap mardud.
2) Mengkompromikan dua dalil tidak sampai berdampak membatalkan
nash syari’ah atau membatalkan bagiannya, karena pengkompromian
itu ditujukan agar dua hadits tersebut diamalkan. Jika salah satunya menjadi batal, maka pengkompromian itu berarti telah gagal.
3) Kompromi dapat menghilangkan kontroversi yang ada antara dua hadits tersebut. Demikian karena jika kontroversi tetap ada, maka pengkompromian telah gagal, dan kemumngkinan yang ada adalah nasakh dan tarjih.
51
37
4) Mengkompromikan dua dalil tidak menjadikan benturan dengan dalil sahih yang lain
5) Dua hadis yang bertentangan terjadi pada satu masa. Jika keduanya tidak dalam satu masa, misalnya ada petunjuk yang jelas bahwa salah satunya dinasakh oleh lainnya, atau Ulama sepakat bahwa salah satunya di nasakh oleh lainnya, atau salah satunya diamalkan sementara lainnya tidak diamlakan meskipun untuk hal itu tidak ada
nasakh, maka pengkompromian yang dilakukan percuma saja karena
salah satunya sudah tidak aplikatif.
6) Mengkompromikan dua dalil digunakan untuk tujuan dan cara yang benar, maksud tujuan yang benar adalah menghilangkan kontroversi yang ada pada dua dalil itu dan bersandar pada dalil shar’i. Sedangkan cara yang benar adalah cara yang dapat diterima, tidak serampangan dan dipaksakan, tidak keluar dari tujuan universal syariat dan tidak menggunakan ta’wil ba‘id, sehingga kompromi tidak keluar dari kaidah ketetapan bahasa atau kaidah agama yang dipahami secara pasti, dan juga tidak keluar dari konteks yang tidak pantas dengan ucapan shar’i.
7) Sebagian Ulama mensyaratkan kesetaraan dua dalil yang bertentangan, sehingga kompromi keduanya benar-benar valid.52
Al-jam’u dibagi menjadi enam macam yaitu:53
1) Perbedaan makna lafal 52
Hammad, Mukhtalif al-hadith..., 142. 53
38
2) Perbedaan kondisi 3) Perbedaan tempat
4) Perbedaan pada perintah dan larangan 5) Perbedaan pada 'a>m dan kha>s
'A<m adalah suatu lafal yang dipakai untuk menunjukkan
satuan-satuan yang tidak terbatas dan mencakup semua satuan-satuan itu..54 Kha>s menurut al-Nasfiy dalam kitab al-Mana>r yaitu setiap lafal yang memiliki satu makna tertentu, baik itu berupa kekhususan dalam satu jenis, atau bentuk, atau kekhususan pada seseorang. 55
a) Mengumpulkan dua hadits 'a>m b) Mengumpulkan dua hadits kha>s
c) Mengumpulkan dua hadits 'a>m dan kha>s mut}laq d) Mengmpulkan dua hadits 'a>m dan kha>s wajhiy 6) Perbedaan pada mut}laq dan muqayyad
Metode Syafi’i dalam al-jam’u penyelesaian hadis-hadis mukhtali@f dengan metode terdiri dari:
1) Penyelesaian dengan pendekatan kaidah us}u>l fiqh. 2) Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual. 3) Pemahaman berdasarkan pemahaman korelatif. 4) Penyelesaian dengan cara ta’[email protected]
54
Yasin, Ilmu Ushul..., 191. 55
Hammad, Mukhtalif al-hadith..., 163. 56
39
b. Metode Nasikh-Mansukh
Metode nasikh dapat dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itu pun bila data sejarah kedua hadis yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas, yang diketahui taqaddam dan taakhir dari kedua hadis tersebut.57 Dalam kerangka teori keilmuan, nasikh difahami sebagai sebuah kenyataan adanya sejumlah hadis mukhtali>f yang bermuatan taklif. Hadis yang berawal datang (wurud) dipandang tidak berlaku lagi karena ada hadis lain yang datang kemudian dalam kasus yang sama dengan makna yang berlawanan dan tidak dapat di-taufiq-kan. Nasikh itu sendiri sangat terikat dengan waktu awal dan akhir datang. Yang datang lebih awal disebut mansukh dan yang akhir datang disebut nasikh.58
Dari landasan teori yang dikembangkan Shafi’i di berbagai tempat dalam kitabnya al-Risalah, para ulama kemudian merumuskan nasakh hadis dan sumber pengetahuan tentang nasakh itu sendiri. Menurut Ibnu
Jama’ah hadis nasikh adalah semua hadis yang menunjukkan penghapusan
hukum agama terdahulu, sedangkan mansukh adalah semua hadis yang menghapus hukumnya dengan dalil agama yang datang kemudian.59
Untuk mdapat melakukan nasakh mansukh itu diperlukan beberapa syarat:
1) Hukum yang di mansukh itu hukum shara’.
2) Nasikh datang kemudian setelah mansukh.
57
Juned, Ilmu Hadis..., 131. 58
Ibid., 132. 59
40
3) Dali yang di-mansukh-kan itu tidak terikat oleh waktu. 4) Kekuatan nasikh sama dengan mansukh.60
Adanya nasakh dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya: 1) Adanya penegasan dari Rasulullah sendiri, seperti nasakh larangan
ziarah kubur bagi kaum wanita.
2) Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti keterangan bahwa terakhir kali Rasulullah tidak berwudhu ketika hendak salat, setelah mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan api.
3) Berdasarkan fakta sejarah, seperti diketahui hadis yang menjelaskan batalnya puasa karena berbekam, lebih awal datang daripada hadis yang mengatakan bahwa Rasul sendiri berbekam dalam keadaan
puasa. Menurut Syafi’i, hadis pertama disabdakan Rasul tahun 8 H,
sedangkan hadis yang kedua dipraktikkan Rasul pada tahun 10 H. 4) Berdasarkan ijma’, seperti nasakh hukuman mati bagi orang yang
meminum arak sebanyak empat kali. Nasakh ini diketahui secara ijma’oleh seluruh sahabat bahwa hukuman seperti itu sudah mansukh.
Ini tidak bermakna.61 c. Metode Tarjih
Jika salah satu hadis yang kontradiktif tidak dapat diketahui apakah datang lebih dahulu atau belakangan, diaplikasikan alternatif ketiga yaitu
tarjih, pengunggulan salah satu hadis yang dilihat dari segi sanad, matn,
atau penguat lainnya. Misalnya dari segi matn mendahulukan makna
60
Yasin, Ilmu Ushul..., 183. 61
41
hakikat daripada yng bermakna metafora. Dari segi sanad, al-Hazimi dalam kitabnya al-I’tibar menjelaskan ada 50 sanad. Al-Iraqi menjelaskan ada 110
sanad, dan al-Suyut}i meringkasnya menjadi 7 sanad.62
Syarat tarjih yaitu adanya dua dalil yang bertentangan, adanya sifat
yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain, kedua dalil memiliki kesamaan tingkatan dan kekuatan, serta menetapkan hukum yang sama dalam satu waktu.63
d. Metode Tawaqquf
Tawaqquf (Mendiamkan) yakni tidak mengamalkan hadis tersebut
sampai ditemukan adanya keterangan hadis manakah yang bisa diamalkan. Namun sikap tawaqquf menurut Abdul Mustaqi@m sebenarnya tidak menyelesaikan masalah melainkan mendiamkan masalah tersebut tanpa adanya solusi. Padahal sangat mungkin diselesaikan melalui ta’wi>l. Teori
ini harus dipahami sebagai sementara waktu saja, sehingga ditemukan ta’wi>l yang rasional mengenai suatu hadis dengan ditemukanya suatu teori
dari penelitian ilmu pengetahuan, maka tawaqquf tidak berlaku lagi.64 4. Kitab-kitab Mukhtali@f al-Hadi@th
Berikut ini kitab-kitab yang membahas tentang ilmu mukhtali@f al-hadi@th:
a. Ikhtila>f al-hadi@th karya al-Shafi’iy (w. 204 H). Kitab ini merupakan kitab
pertama yang membahsa tentang ilmu mukhtali@f al-hadi@th dan merupakan sanggahan atas adanya tuduhan mengenai hdis-hadis yang kontradiktif.
62
Khon, Takhrij dan Metode..., 202. 63
Yasin, Ilmu Ushul..., 179. 64
42
b. Ta’wi@l mukhtali@f al-hadi@th karya al-Ha{>fiz} ‘Abdilla>h ibn Musli@m ibn
Qutaybah al-Daynawariy (w. 276 H). kitab ini sebagai jawaban terhadap
tuduhan sebag