MANDI BESAR MESKI BELUM
INZA<L
(
Kajian
Mukhtali>f al-H{adi>th
Sunan Al-
Nasa>’i> No Indeks
153 dan 191
)
Skripsi:
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Al-Quran dan Hadith
Oleh:
SAYYIDATUL MAISAROH NIM: E03213081
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Sayyidatul Maisaroh. Mandi Besar Meski Belum Inza>l(Kajian Mukhtali>f
al-H{adi>th Sunan Al-Nasa>’i> No Indeks 153 dan 191). Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana
kualitas hadis dalam Sunan Al-Nasa>’i> no indeks 153 dan 191. Kedua, bagaimana
penyelesaian kontradiktif dari hadis mandi besar meski belum inza>l. Ketiga,
implikasi hadis mandi besar meski belum inza>l.
Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui kualitas hadis
tersebut dalam Sunan Al-Nasa>’i> no indeks 153 dan 191. Kedua, digunakan untuk
menemukan penyelesaian dari hadis yang kontradiktif. Ketiga, untuk mengetahui implikasi dari hadis tersebut.
Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dalam menjawab penelitian tersebut di lakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh dari kitab
hadis Kutub al-Sittah terutama kitab Sunan Al-Nasa>’i>, kemudian dilakukan analisa
dengan melakukan takhrij terhadap hadis yang telah diteliti, melakukan kritik
sanad dan matan terhadap hadis yang diteliti, serta menemukan penyelesaian dari hadis yang kontradiktif tersebut.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Pertama, hadis Sunan al-Nasa>’i>
nomor indeks 153 kualitas sanadnya s}ah}i>h} li dhatihi, sedangkan kualitas
matannya s}ah}i>h} li ghairihi dikarenakan hadisnya dibawah tingkatan hadis yang
s}ah}i>h} dan diperkuat oleh hadis yang lainnya. Sedangkan jika ditinjau dari segi
kehujahannya maka hadis tersebut termasuk hadis yang maqbul yang ghairu
ma’mulun bih dikarenakan hadisnya bertentangan dengan hadis yang lainnya. Sedangkan hadis Sunan Al-Nasa>’i> no indeks 191 kualitas sanadnya s}ah}i>h} li dhatihi, sedangkan kualitas matannya termasuk s}ah}i>h} li dha>tihi dikarenakan memenuhi secara lengkap syarat- syaratnya. Sedangkan jika ditinjau dari
kehujahannya, maka tergolong hadis yang maqbul yang ma’mulun bih
dikarenakan tidak bertentangan dengan hadis yang lainnya. Kedua, hadis ini di
selesaikan dengan metode Nasikh-Mansukh (menghapus dalil yang keluar lebih
awal). Hadis yang mansukh adalah hadis al-Nasa>’i no indeks 153 (tidak
diwajibkan mandi besar). Sedangkan yang nasikh adalah hadis al-Nasa>’i> no
indeks 191 (diwajibkan mandi besar). Ketiga, implikasi dari hadis tersebut manfaat dari mandi besar dapat menghilangkan rasa malas dan bau yang tidak enak. Sedangkan apabila tidak mandi besar setelah bersetubuh, maka akan terserang penyakit diabetes, jantung dan stres.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv
Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Kegunaan Penelitian ... 6
F. Kerangka Teori ... 7
G. Tela’ah Pustaka ... 8
H. Metodologi Penelitian ... 9
I. Sistematika pembahasan ... 12
BAB II METODE KRITIK H{ADI>TH DAN MUKHTALI>F AL-H{ADI>TH A. Kritik Hadis ... 14
1. Ke-s}ah}i>h}-an Sanad ... 15
3. Kehujjahan Hadis ... 28
B. Mukhtali>f al-H{adi>th ... 30
Bab III AL-NASA<’I<
SERTA
HADIS TENTANG MANDI BESAR MESKI BELUM INZA<L A. Biografi al-Nasa>’i> ... 361. Kitab Sunan Al-Nasa>’i> ... 36
2. Guru dan Murid Al-Nasa>’i> ... 37
3. Metode dan Sistematika Sunan Al-Nasa>’i> ... 38
4. Pandangan dan Kritik Sunan Al-Nasa>’i> ... 38
B. Hadis Tidak Diwajibkan Mandi Besar Meski Belum Inza>l ... 39
1. Data Hadis tidak diwajibkan mandi besar ... 41
2. Skema Hadis tidak diwajibkan mandi besar ... 43
3. I’tibar ... 49
C. Hadis Diwajibkan Mandi Besar Sesudah Inza>l ... 63
1. Data Hadis wajib mandi besar ... 64
2. Skema Hadis wajib mandi besar ... 66
3. I’tibar ... 73
Bab IV ANALISIS HADIS TENTANG MANDI BESAR MESKI BELUM INZA<L DALAM SUNAN AL-NASA<’I< A. Tidak Diwajibkan Mandi Besar ... 90
1. Kualitas Sanad ... 90
2. Kualitas Matan ... 90
1. Kualitas Sanad ... 93
2. Kualitas Matan ... 94
C. Penyelesaian Hadis Mukhtali>f ... 97
D. Implikasi Hadis Mandi Besar Meski Belum Inza>l ... 102
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104
B. Saran ... 105
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah shalat dan haji. Tanpa bersuci orang yang berhadas tidak dapat menunaikan ibadah tersebut. Banyak orang mukmin yang tidak tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki tata cara atau aturan yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka tidak akan sah bersucinya dan ibadahnya juga dianggap tidak sah. Terkadang terdapat problem ketika orang tidak menemukan air, maka Islam memudahkan orang tersebut untuk melakukan tayammum sebagai ganti mandinya
dan alat bersucinya dengan menggunakan debu.1
Mandi besar, mandi junub atau mandi wajib merupakan mandi yang menggunakan air suci dan bersih yang mensucikan dengan menggalirkan air tersebut ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan dari mandi besar adalah untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah shalat. Maka dari itu, sebagai umat Islam sangat penting mengetahui tata cara mandi besar sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw agar ibadah kita diterima oleh
Allah dan mendapatkan pahala.2
1
Imron Abu Umar, Fath}ul Qari>b (Kudus: Menara Kudus, 1982), 2.
2
2
Sebagai orang muslim wajib melaksanakan apa yang di ajarkan oleh Islam yaitu tata cara kehidupan dalam sehari-hari. Islam adalah agama yang bersih yang menghendaki setiap pengikutnya memiliki jasmani dan rohani yang bersih untuk melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Pada saat orang muslim berhadas besar, maka ia wajib mandi, selain tuntutan dari Allah SWT, mandi juga berguna bagi kesehatan supaya tetap sehat jasmani dan rohaninya.
Salah satu sumber ajaran Islam, hadis yang berstatus s}ah}i>h} secara prinsip
tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain baik dengan sesama al-Qur’an, hadis,
maupun rasio. Prinsip kesesuaian ini dikenal dengan istilah muwa>faqat sarih
al-ma’qu>l li s}ah}i>h} al-manqu>l. Namun, dalam praktek mencari makna bagi suatu hadis
sering dijumpai hadis lain yang tidak selamanya relevan atau ada korelasi maknawi dengan hadis yang menjadi sasaran utama objek kajian. Oleh sebab itu, dalam pengkajian hadis harus melewati proses takhri>j al-h}adi>th dan juga i’tiba>r al-h}adi>th.3
Sebagaimana yang diketahui ilmu hadis dalam pembagiannya memiliki banyak sekali cabang-cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadis. Ilmu-ilmu tersebut sangat penting untuk diketahui apalagi bagi orang-orang yang menekuni bidang hadis, karena dapat membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan hadis. Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtali>f al-h}adi>th. Ilmu ini membahas tentang hadis-hadis yang secara lahir saling
bertentangan antara satu dengan yang lain. Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang yang menekuni hadis menjadi binggung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam hadis-hadis tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadis berfikir
3
3
tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Akhirnya ditemukanlah ilmu mukhtali>f al-h}adi>th ini yang di dalamnya membahas
tentang metode-motode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan
diantara hadis-hadis Nabi tersebut.4
Kata inza>l yang berasal dari kata nazzala yang artinya turun atau diturunkan.
Akan tetapi, inza>l pada penelitian hadis ini maknanya keluar mani yang mana butuh
penelitian lebih jelas lagi untuk mengetahui makna dari hadis tersebut. Pada hadis ini juga terjadi kontradiktif yang mana pada hadis yang pertama menunjukkan bahwa di wajibkan mandi besar. Sedangkan hadis yang kedua tidak di wajibkan mandi besar
hanya saja di cuci atau di basuh alat kelaminnya.5
Adanya hadis yang tidak diwajibkan mandi dan diwajibkan mandi besar ketika maninya belum keluar merupakan indikator yang memberi informasi bahwa seolah-olah ada kejanggalan dan ketidak konsistenan seorang Nabi Muhammad Saw ketika mengeluarkan hadis. Hal tersebut tentunya perlu diluruskan dengan melakukan penelusuran dan penelitian lebih mendalam. Sebab jika tidak demikian maka
implikasinya akan sangat negatif terutama bagi kaum inkarus sunnah.6
Dengan demikian, jika adanya hadis yang bertentangan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang rancu dan rumit dengan dilakukannya penelitian. Maka kerancuan yang seakan-akan mempersulit tersebut akan ditemukan benang merah dan
4
Daniel Juned, Ilmu Hadis (Jakarta: Erlangga, 2010), 109.
5
Ibn Hajar al-‘Ashqala>ni>, Fathu al-Barri> : Syarah S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azam, 2003), 403.
6
Maksud Inkar as-Sunnah ialah kelompok Islam yang tidak menangkap hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam, sedangkan yang dimaksud Nashiru as-Sunnah maksudnya ialah pembela
4
titik terang yang akhirnya akan memperjelas permasalahan yang terdapat dalam hadis
Nabi tersebut.7
Dalam fenomena masyarakat terdapat permasalahan, yang mana ada seseorang yang malas atau mengundur waktu mandinya setelah melakukan hubungan seks (intim) dengan suaminya. Alasan mengundur mandinya dikarenakan menunggu waktu shalat subuh atau alasan hawanya yang dingin. Masalah ini timbul dikarenakan pada zaman dahulu baju masih jarang (sedikit) dan ekonomi masyarakat pun masih rendah. Pada zaman dahulu memang tidak diwajibkan mandi besar atau mandi jinabah ketika mani itu tidak keluar meskipun sedang berhubungan dengan suaminya. Akan tetapi, peristiwa itu sebelum fathu Mekkah. Setelah fathu Mekkah maka diwajibkan mandi besar baik maninya sudah keluar atau belum.
Dari uraian di atas penelitian ini sangat menarik dikarenakan terjadi pro dan kontra. Apabila dihubungkan dengan konteks kehidupan saat ini, maka hadis ini harus dikaji secara kontekstual agar orang tidak akan menyepelehkan mandi besar. Mandi besar sangat menentukan ibadah bagi semua orang, jika badan kita tidak dalam keadaan suci maka ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT. Sehingga dapat difahami seberapa pentingnya permasalahan mandi besar meski maninya belum keluar.
7Ali Musthafa Ya’kub,
5
B.Identifikasi Masalah
Terkait hadis tentang mandi besar meski belum inza>l dalam kitab S{ah}i>h}
Al-Bukha>ri> no indeks 293 dengan kitab Sunan Al-Nasa>’i> no indeks 191, terdapat
beberapa permasalahan yang dapat dikaji, diantaranya:
1. Pengertian dari mandi besar.
2. Hal-hal yang diperhatikan pada saat mandi besar.
3. Penyebab dari mandi besar.
4. Tata cara mandi besar.
5. Manfaat mandi besar bagi kesehatan tubuh.
6. Aplikasi hadis dari mandi besar bagi kehidupan manusia.
7. Penyelesaian kontradiktif dari hadis mandi besar.
C.Rumusan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang di identifikasi di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas hadis tentang tidak diwajibkan mandi besar dan diwajibkan
mandi besar dalam Sunan al-Nasa>’i no indeks 153 dan 191?
2. Bagaimana penyelesaian kontradiktif dari hadis mandi besar ketika maninya belum
keluar?
3. Bagaimana implikasi hadis tentang tidak diwajibkan dan diwajibkan mandi setelah
6
D.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan kualitas hadis tentang tidak diwajibkan mandi besar dan
diwajibkan mandi besar dalam Sunan al-Nasa>’i no indeks 153 dan 191.
2. Untuk menemukan cara penyelesaian kontradiktif dari hadis mandi besar meski
belum inza>l.
3. Untuk mengetahui implikasi dari hadis mandi besar meski belum inza>l.
E.Kegunaan Penelitian
Penelitian ini disusun untuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
1. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada mukhtali>f al-h}adi>th dan
penyelesaiannya.
2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan pedoman atau landasan
yang layak dalam merespon fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
F. Kerangka Teori
Teori yang akan dipakai dalam penelitian ini dengan menggunakan kajian mukhtali>f al-h}adi>th (hadis yang nampaknya bertentangan). Sedangkan menurut istilah mukhtali>f al-h}adi>th adalah dua hadis maqbul yang secara lahir maknanya
7
wajar. Adapun metode penyelesaiannya yakni al-Jam’u, Nasikh-Mansukh, dan
Tarjih.8
Metode al-Jam’u adalah metode yang dilakukan dengan cara
menggabungkan dan mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan,
dengan cacatan bahwa dua hadis tersebut sama-sama berkualitas s}ah}i>h}. Adapun yang
dimaksud dengan metode Nasikh-Mansukh adalah hadis yang berawal datang
dipandang tidak berlaku lagi karena ada hadis lain yang datang kemudian dalam kasus yang sama dengan makna yang berlawanan dan tidak dapat di taufiqkan. Sedangkan
metode Tarjih adalah suatu upaya komparatif untuk menentukan sanad yang lebih
kuat pada hadis-hadis yang tampak ikhtilaf.9
Selain menggunakan metode penyelesaian al-Jam’u, Nasikh-Mansukh, dan
Tarjih, penelitian ini menggunakan analisa dari dampak ketika berhubungan intim yang tidak mandi besar. Mandi besar dapat membuat badan kita sehat dan segar. Serta metode penyelesaian hadis yang akan diambil penulis dalam mengambil keputusan akhir dari permasalahan ikhtilaf hadis mandi besar meski maninya belum keluar.
G.Telaah Pustaka
Penelitian yang membahas mengenai kajian tentang mandi besar meski
belum inza>l, sejauh ini belum ditemukan yang membahas secara spesifik mengenai
penelitian ini. Akan tetapi, terdapat salah satu penelitian tentang mandi besar yang pernah dilakukan oleh:
8
Daniel Juned, Ilmu Hadis (Jakarta: Erlangga, 2010), 109.
9
8
1. Skripsi Muhammad Dimyati sarjana Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel tahun 2010 yang berjudul Mandi Besar Ketika Istihadhah Pada Hadis S{ah}i>h}
al-Bukha>ri> dan Sunan Ahmad. Berdasarkan pada penelitian ini, kualitas hadis
tersebut s{ah}i>h}. Hadis ini menerangkan bahwa wanita yang istihadah wajib mandi
besar ketika darahnya sudah tidak keluar lagi.
2. Skripsi Toyyibatur Rohmah sarjana Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel tahun 2013 yang berjudul Makna Kata لسغ dalam Hadis Sunan Abu> Da>wud
No Indeks 4694. Berdasarkan kualitas hadis tersebut s}ah}i>h. Hadis ini menerangkan
makna dari kata tersebut.
Dari salah satu penelitian diatas belum ditemukan tema yang sama dengan penelitian ini, penelitian yang terdapat diatas cenderung menjelaskan secara global tentang wanita yang istahadah, sedangkan penelitian ini cenderung pada hadis. Jadi pembahasan yang diteliti ini melibatkan beberapa kitab hadis. Maka penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang sebelumnya.
Dari beberapa literatur yang dijumpai, belum ada literatur yang membahas
secara khusus sebagaimana penelitian ini, yaitu mandi besar meski belum inza>l.
Secara umum kajian yang telah dibaca berisi tentang penjelasan mandi besar secara global dan cara penyelesaian dari hadis yang kontradiktif. Oleh karena itu terdapat
9
H.Metodologi Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara
optimal.10 Berikut akan dipaparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research),
yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.
Penelitian ini menggunakan model kualitatif dalam bentuk kepustakaan, yang bermaksud mendeskripsikan kualitas dan penyelesaian hadis yang kontradiktif tentang mandi besar meski belum inza>l (kajian mukhtali>f al-h}adi>th S{ah}i>h} Al-Bukha>ri> no indeks 293 dan Sunan Al-Nasa>’i> no indeks 191. Sedangkan metode yang digunakan deskriptif guna untuk melukiskan fakta dan data yang
ada.
2. Sumber Data
Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis Al-Mu’jam Al-Mufahras li>
Alfa>z} Al-H{adi>th Al-Nabawi> melalui kata-kata dalam matan hadis dan dibantu
penelusuran hadis melalui software Maktabah Syamilah dengan metode
penelusuran lewat topik atau tema hadis dan penelusuran lewat kata awal, tengah
atau akhir dalam matan hadis.11 Sumber data yang digunakan terbagi menjadi tiga
klasifikasi, antara lain:
10
Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Tekhnik (Bandung: Warsito, 1990), 30.
11
10
a. Sumber Data Primer
1) Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri> 2) Kitab Sunan Al-Nasa>’i>
b. Sumber Data Sekunder, yaitu kitab hadis standar lainnya yang termasuk dalam
Kutub Al-Sitta, diantaranya: 1) S{ah}i>h Al-Muslim
2) Sunan Al-Tirmidhi>
3) Sunan Abu> Da>wu>d
4) Sunan Ibnu Ma>jah
Buku penunjang lainnya, yaitu buku-buku kritik sanad dan matan, Fath}u
al-Barri> syarah S{ah}i>h Al-Bukha>ri> karya Ibn Hajar Al-‘Ashqala>ni>, Fathul Qari>b
karya Imron Abu Umar, Kaidah Kes}ah}i>h}an Sanad Hadis karya Suhudi Ismail,
Ilmu Hadis karya Daniel Juned dan buku-buku yang berkaitan dengan tema.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah, atau dokumentasi tertulis lainnya.
Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan
dengan dua tekhnik pengumpulan data, yaitu: takhri>j al-h}adi>th dan i’tiba>r al-h}adi>th.
a) Takhri>j al-h}adi>th secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk
mengeluarkan hadis dari sumber asli.12 Maka takhri>j al-h}adi>th merupakan
langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis.
12Suhudi Isma’il,
11
b) Kegiatan i’tiba>r dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad-sanad lain
untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya
terdapat seorang periwayat saja.13
4. Analisis Data
Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut.
Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-hadi>th dan al-jarh wa> al-ta’di>l, serta mencermati
silsilah guru murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tah}ammul wa al-ada’).14
Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rowi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.
Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atau validitas matan
diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit
al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah informasi hadis-hadis lain yang
berkualitas s}ah}i>h} serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian
integral ajaran Islam.
13
Ibid.,51.
14
12
Dalam hadis yang akan diteliti ini, pendekatan keilmuan hadis yang
digunakan untuk analisis isi adalah ilmu mukhtali>f al-h}adi>th yang digunakan untuk
memecahkan hadis yang kontradiktif dengan menggunakan salah satu metode
penyelesaiannya baik berupa Al-Jam’u (menggabung dan mengkompromikan
hadis), Tarjih (memilih dan mengunggulkan kualitas hadis yang lebih baik),
Nasikh-Mansukh (menghapus dalil yang keluar lebih awal), Tawaquf
(menghentikan atau mendiamkan) dan ta’wil (hermeneutic).
I. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini, pembahasannya terdiri dari lima bab. Yang masing-masing bab terdiri dari macam-macam sub bab. Satu bab dengan sub bab yang lain merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Secara global sistematika pembahasannya sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan yang meliputi: latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian ini dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
13
Bab III Data Hadis yang berisi tentang biografi Al-Bukha>ri> dan Al-Nasa>’i>
serta sistematika kitab tersebut. Bab ini mendeskripsikan tentang biografi
Al-Bukha>ri>, Al-Nasa>’i> serta hadis yang tidak diwajibkan mandi besar dan hadis yang
diwajibkan mandi besar ketika maninya belum keluar, serta hadis pendukung, skema sanad dani’tiba>r.
Bab IV Analisis yang mencakup kualitas sanad dan matan hadis serta
penyelesaian dari hadis mukhtali>f tentang mandi besar meski belum inza>l.
BAB II
METODE KRITIK DAN
MUKHTA<LI>F AL-H{ADI><TH
A. Kritik Hadis
kata Naqd dalam bahasa arab lazim diterjemahkan dengan kritik, yang
berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding,
menimbang. Sedangkan kata Naqd dalam bahasa populer berarti penelitian, analisis,
pengecekan dan pembedaan. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata kritik berkonotasi dari pengertian yang bersifat tidak lepas percaya, tajam dalam
penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.1 Dari
tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa di artikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (palsu atau tiruan).
Sedangkan sebagai sebuah disiplin ilmu kritik hadis adalah penetapan status
cacat atau adil pada perawi hadis dengan menggunakan idiom khusus berdasarkan
bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan
hadis sepanjang s}ah}i>h} sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah,
dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadis yang s}ah}i>h} serta mengatasi
gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail.2
Untuk mengetahui ke-s}ah}i>h}-an suatu hadis, maka peneliti harus mengkritisi
hadis Nabi baik dari segi sanad maupun matannya, adapun penjelasannya sebagai berikut:
1
Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987), 7.
2
15
1) Ke-s}ah{i>h{-an Sanad
a. Pengertian Ke-s}ah{i>h{-an Sanad
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran, karena hadis bersandar kepadanya. Sedangkan menurut istilah adalah silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis) yang menyampakainnya pada matan hadis. Selain itu ada yang menyebutkan bahwa sanad adalah silsilah
para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.3 Selain itu ada
beberapa pengertian sanad ialah rantai perowi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya
(kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah Saw. Disamping itu, sanad juga
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat secara historis.
Adapun yang dimaksud dengan Ke-s}ah{i>h{-an sanad hadis ialah penelitian,
penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang kualitas individu perawi serta
proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha
menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan
kebenaran, yaitu kualitashadis.4
Tujuan kritik atau penelitianhadisadalah untuk mengetahui kualitashadis
yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis untuk diteliti memenuhi kriteria
ke-s}ah}i>h}-an sanad, hadistersebut digolongkan sebagai hadis s}ah}i>h dari segi sanad.5
3
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Us}ul al-H{adi>th (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 32.
4
Fathur Rahman, Ikhtisar Must}alah al-H{adi>th (Bandung: PT. Al-Ma’rifat, 1974), 6.
5
16
b. Metodologi Ke-s}ah{i>h-{an Sanad
Ada tiga peristiwa yang mengharuskan adanya Ke-s}ah{i>h{-an sanad hadis:
pertama, pada zaman Nabi tidak semua hadis tertulis. Kedua, sesudah zaman Nabi
terjadi pemalsuan hadis. Ketiga, penghimpunan hadis secara resmi dan masal
terjadi setelah banyaknya pemalsuan hadis.6
Adapun metode yang dapat digunakan dalam meneliti sanad hadis,
diantaranya adalah:
i. Sanadnya bersambung (ittis}al al-sanad)
Maksud dari sanadnya bersambung (muttas}il) adalah tiap-tiap
periwayat dalam sanad hadis menerima periwayat hadis dari periwayat
terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad
tersebut.7 Dengan kata lain, sanad hadis tersambung sejak sanad pertama
(mukharrij al-h}adi>th) sampai sanad terakhir (kalangan sahabat) hingga Nabi Muhammad Saw, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi sebagai
periwayat pertama (kalangan sahabat) sampai periwayat terakhir (mukharrij
al-h}adi>th).8
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya
ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:9
a. Mencatat nama semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab rija>l
al-h}adi>th, hal ini dilakukan untuk mengetahui keadilan dan ke-z}abit}-an perawi
6
Ahmad Bustamin, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), 67.
7
Muhammad al-Sabbagh, al-H{adi>th al-Nabawi> (ttp: al-Maktab al-Islami, 1972), 162.
8
Abu Amr Utsman, Ulum al-H{adi>th (Madinah: Maktabah al-Islamiyyah, 1972), 39.
9
Syuhudi Ismail, Kaidah Kes}ah}i>h}anSanad al-H{adi>th Tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan
17
ataukah tidak, apakah terdapat hubungan kesamaan zaman atau hubungan guru-murid dalam periwayatan hadis tersebut.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad, apakah menggunakan kata-kata دح
ينث س ,انث دح ,
انع س ,تع dan yang lainnya.
ii. Perawinya adil
Kata adil dalam kamus umum bahasa Indonesia berarti “tidak berat
sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang”.
Sedangkan yang termasuk kreteria adil dalam meriwayatkanhadis diantaranya
beragama Islam, mukallaf, selalu berpedoman pada hukum syara’ dan
memelihara muruah.10
Secara umum ulama’ telah mengemukakan cara penetapan keadilan
periwayathadis diantaranya:11
a. Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama’ hadis.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis yang berisi tentang kelebihan
dan kekurangan perawi hadis.
c. Penerapan kaidah al-jarh wa> ta’dil, cara ini di tempuh jika kritikus hadis
tidak sepakat dengan kualitas perawi hadis.
iii. Perawinya bersifat z}abit}
Yang dimaksud dengan z}abit} ialah orang yang kuat ingatannya.12
Antara sifat adil dan sifat z}abit} terdapat hubungan yang sangat erat, karena
10
Indri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 162.
11
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 72.
12
18
kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, sedangkan sifat z}abit}
berkaitan dengan kualitas intelektual perawi. Jika seorang rawi mempunyai
sifat adil dan z}abit} maka ia akan disebut dengan orang yang thiqqah (orang
yang mempunyai sifat adil dan z}abit}).
Berdasarkan beberapa pendapat ulama’ hadis, maka Syuhudi Ismail
menyimpulkan bahwa kriteria z}abit} adalah:
a. Periwayat tersebut memahami dengan baik riwayat hadis yang telah
didengarnya atau diterimanya.
b. Periwayat tersebut hafal dengan baik riwayathadis yang telah didengarnya
atau diterimanya.
c. Periwayat tersebut mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya
kapan saja dikehendaki sampai dia menyampaikan riwayat kepada orang lain.
Menurut pembagiannya z}abit terbagi menjadi dua macam:13
a. Z}abit hati (qalbu). Seseorang dikatakan z}abit hati apabila dia mampu menghafal setiap hadis yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa menyampaikannya.
b. Z}abit kitab. Seseorang dikatakan z}abit kitab apabila setiap yang diriwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah di tashih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga.
iv. Terhindar dari shad} (kejanggalan)
Secara bahasa, shad} merupakan isim fail dari shad}dza yang berarti
menyendiri (infaradah), sedangkan menurut istilah, shad} adalah hadis yang
13
19
diriwayatkan oleh perowi yang thiqqah dan bertentangan dengan periwayat
lain yang lebih thiqqah.14
Menurut Imam Syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung shad}
apabila:15
a. Hadis tersebut memiliki lebih dari satu sanad. b. Para periwayat hadis itu seluruhnya thiqqah.
c. Matan atau sanad hadis itu mengandung pertentangan.
v. Terhindar dari illat
Secara bahasa, kata illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan
keburukan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis illat berarti sebab yang
tersembunyi yang dapat merusak ke-s}ah}i>h}-an hadis.16
Untuk mengetahui illat suatu hadis tidak mudah, sebab
membutuhkan upaya menyingkap illat yang tersembunyi dan samar yang
tidak dapat diketahui oleh selain orang yang ahli dalam bidang ilmu hadis. Menurut Mahmud Tahhan dalam kitab taisir must}alah al-h}adi>th disebutkan
bahwa suatu dinyatakan mengandung illat apabila memenuhi kriteria
berikut:17
a. Periwayatnya menyendiri.
b. Periwayat lain bertentangan dengannya.
c. Adanya qarinah (penghalang) lain yang terkait dengan unsur diatas.
14
Syuhudi Ismail, Kaidah Kes}ah}i>h}anSanadal-H{adi>th Tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 117.
15
Ibid., 118.
16
Mahmud Al-Thahhan, Taysi>r Mustalah al-H{adi>th, Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1985, 100.
17
20
Dengan demikian, cara untuk mengetahui adanya illat dalam sebuah
hadis adalah:
a. Menghimpun seluruh sanad hadis, yang dimaksudkan untuk mengetahui
ada tidaknya tawa>bi’atau shawa>hid.
b. Melihat adanya perbedaan diantara para periwayatnya.
c. Memperhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan dengan
keadilan maupun ke-z}abit}-an masing-masing periwayat.
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang
disadari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang
menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Muhammad Saw yang semua itu
harus diterima dari para periwayat yang ‘adil dan z}abit}.18
Sanad atau isnad ini diyakini sebagai jalan yang meyakinkan dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa pernyataan ulama’ berikut ini menjadi
bukti atas pernyataan tentang pentingnya sanad ini. Muhammad ibn Sirin menyatakan bahwa “sesungguhnya isnad merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya”. Abdullah bin al-Mubarak menyatakan “isnad merupakan bagian dari agama jika tanpa isnad, mereka
akan berkata sesuka hatinya”.19
Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan. Imam Nawawi juga menegaskan apabila sanad suatu hadis
berkualitas s}ah}i>h}, maka hadis tersebut bisa diterima, akan tetapi apabila tidak,
maka hadis tersebut harus ditinggalkan.
18
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis (Yogyakarta: Teras, 2000), 19.
19
21
Nilai dan kegunaan sanad tampak bagi seseorang untuk mengetahui keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari keadaannya dalam
kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad yang muttas}il
dan munqathi’. Jika tidak terdapat sanad, tidak dapat diketahui hadis yang
s}ah}i>h dan yang tidak s}ah}i>h.20
Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur
kaedah ke-s}ah}i>h-}an yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan.
Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada yang berhubungan dengan keadaan pribadi para periwayat.
Dengan banyaknya jumlah perawi dan memiliki kualitas pribadi dan kapasitas intelektual yang berbeda. Maka untuk mempermudah dalam membedakan sanad yang bermacam-macam dan penilaian terhadap kualitasnya, sanad hadis harus mengandung dua unsur penting, diantaranya:
a. Nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis yang terkait.
b. Lambang-lambang periwayatan hadis yang telah difungsikan oleh
masing-masing perawi dalam periwayatan hadis, seperti sami’tu, sam’na,
akhbarani, akhbarana, haddathsana, haddathsani, qala lana, ‘an dan anna.
Agar suatu sanad bisa dinyatakan s}ah}i>h dan dapat diterima, maka
sanad tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung, memiliki kualitas pribadi yang ‘adil dan memiliki kapasitas intelektual.
Ilmu rijal al-H{adi>th itu terbagi menjadi dua macam ilmu yang utama,
yaitu ilmu Tarikh al-Ruwah dan ilmu Jarh wa Ta’dil.21
20
Mahmud al-Tahhan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, ter. Ridwan Nasir (Surabaya:Bina Ilmu, 1995), 99.
21
22
a. Ilmu Tarikh al-Ruwah
Muhammad Ajjaj al-Khatib mendefinisikan ilmu Tarikh
al-Ruwah ialah ilmu untuk mengetahui para perawi dalam hal-hal yang
bersangkutan dengan meriwayatkan hadis.22
Dengan ilmu ini, dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua rawi yang menerima, menyampaikan atau yang melakukan transmisi hadis Nabi SAW sehingga para rawi yang dibahas adalah semua rawi baik
dari kalangan sahabat, para tabi’in sampai mukharrij hadis.
b. Ilmu Jarh wa> Ta’dil
Dalam terminologi ilmu hadis, al-Jarh berarti menunjukkan
sifat-sifat tercela bagi seorang perawi, sehingga merusak atau mencatatkan
keadilan dan ke-z}abit}-annya. Adapun Ta’dil diartikan oleh al-Khatib
sebagai upaya mensifati perawi dengan sifat-sifat yang dapat mensucikan diri perawi dari sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilan agar riwayatnya diterima.
Berdasarkan definisi di atas, maka ilmu al-jarh wa> ta’dil adalah
ilmu yang membicarakan masalah keadaan perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadilan maupun sifat-sifat yang menunjukkan kecacatan yang bermuara pada penerimaan atau
penolakan terhadap riwayat yang disampaikan. Ilmu jarh wa> ta’dil berguna
untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad
terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah jarh wa> ta’dil yang telah
22
23
banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat
diterima, cara menetapkan keadilan dan ke-z}abit-an perawi.
c. Lambang Periwayatan Hadis
Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan dalam
periwayatan hadis, dalam hal ini untuk kegiatan tahammul al-h}adi>th,
bentuknya bermacam-macam, misalnya sami’tu, sami’na, h}addathani>,
h}addathana>,‘an dan ‘anna. Sebagian ulama menyatakan bahwa sanad yang mengandung huruf ‘an sanadnya terputus. Tetapi mayoritas ulama menilai
bahwa sanad yang menggunakkan lambang periwayatan huruf ‘an termasuk
dalam metode al-sama’ apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
Dalam sanad yang mengandung huruf ‘an itu tidak terdapat
penyembunyian informasi yang dilakukan oleh periwayat.
Antara periwayat dengan periwayat terdekat yang diantara huruf ‘an itu
dimungkinkan terjadi pertemuan.
Para periwayat haruslah orang-orang yang terpercaya.
Namun dalam berbagai macam kitab ilmu hadis dijelaskan bahwa
metode periwayatan hadis ada delapan macam, yakni:23
1. Metode al-Sima’
Metode al-Sima’ yaitu cara penyebaran hadis yang dilakukan
dengan cara seorang murid mendengarkan bacaan atau kata-kata dari gurunya. Metode ini dilakukan dengan cara mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik dengan didektekan maupun tidak, baik bersumber dari hafalan maupun tulisannya.
23
24
S{ighat untuk periwayatan hadis dengan metode al-Sima’ yang
disepakati pengunaannya, lazim menggunakan lafaz} berikut:
akhbarani>, akhbarana>: seseorang telah mengabarkan kepadaku atau
kami. h}addathani>, h}addathana>: seseorang telah bercerita kepadaku atau
kami. sami’tu, sami’na: saya atau kami mendengar.
2. Metode al-Qir>a’ah
Metode al-Qir>a’aholeh mayoritas ulama hadis disebut dengan
istilah al-‘ardl. Metode al-Qir>a’ah dalam terminologi tahammul
al-h}adi>th ini dimaksudkan sebagai sebuah metode periwayatan hadis yang
dilakukan dengan cara seorang murid membacakan tulisan atau hafalan
hadis kepada gurunya al-qira’ah ‘ala shaikh. Dikatakan demikian
karena si pembaca menyuguhkan hadis kepada sang guru, baik ia sendiri yang membacanya, sedangkan ia mendengarkanya.
S{ighat-s}ighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis
berdasarkan metode al-Qir>a’ah, yang disepakati penggunaanya seperti:
هيلع ارق: aku telah membacakan di hadapannya.
3. Metode al-Ija>zah
Metode al-Ija>zah didefinisikan sebagai suatu metode
penyebaran hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru mengizinkan muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan hadis,
baik melalui lafaz} bacaan maupun tulisanya. Dengan kata lain, ijazah
25
4. Metode al-Muna>walah
Metode ini didefinisikan sebagai metode periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya, agar diriwayatkanya dengan
sanad darinya (guru tersebut). S{ighat-s}ighat yang digunakan untuk
meriwayatkan hadis berdasarkan metode al-Muna>walah di antaranya
adalah: ينابنا , ابنا: menceritakan kepadaku atau kami.
5. Metode al-Muka>tabah
Metode periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru menuliskan hadisnya yang kemudian diberikan kepada
muridnya, baik yang hadis maupun yang tidak hadir. S{ighat-s}ighat
yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode
al-Muka>tabah di antaranya adalah هباتك اف ينثدح: seseorang telah bercerita
kepadaku dengan tulisan هباتك اف ينربخا: seseorang telah mengabarkan
kepadaku dengan tulisan.
6. Metode al-I’lam
Cara penyebaran hadis yang ditempuh dengan cara seorang guru mengumumkan atau memberitahukan kepada muridnya bahwa ia telah mendengar suatu hadis atau kitab hadis namun informasi tersebut tidak disusul kemudian dengan ungkapan agar hadis atau kitab hadis
yeng telah didengarnya tersebut diriwayatkan oleh muridnya. S{ighat
yang digunakan untuk meriwayatkan hadis berdasarkan metode
26
7. Metode al-Washiyyah
Metode al-Washiyyah merupakan salah satu bentuk
periwayatan hadis yang dilakukan dengan cara seorang guru berwasiat kepada seseorang ketika ia meninggal atau sedang berpergian, agar hadis dan kitab hadis yang telah ia riwayatkan itu diserahkan kepada
muridnya. S{ighat yang digunakan untuk meriwayatkan hadis
berdasarkan metode al-Washiyyah ini adalah يص ا:
skepadaku.eseorang telah berwasiat
8. Metode al-Wijadah
Periwayatan bentuk ini adalah seorang murid menemukan tulisan hadis yang diriwayatkan oleh gurunya. Diantara lambang
periwayatan hadis berdasarkan metode ini adalah اف طخب دج : saya
telah mendapat khath si Fulan. 2) Ke-s}ah}i>h}-an Matan
a. Pengertian Ke-s}ah{i>h-{an Matan
27
Ke-s}ah}i>h}-an matan hadis lebih bergerak pada level pengujian apakah kandungan
ungkapan matan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang secara historis benar.24
Mayoritas ulama’ hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis menjadi
penting untuk dilakukan setelah sanad dan matan hadis tersebut diketahui
kualitasnya. Ketentuan kualitas ini adalah dalam ke-s}ah}i>h}-an sanad hadis atau
minimal tidak termasuk berat ke-d}a’if-annya.
Apabila merujuk pada definisi hadis s}ah}i>h} yang diajukan Ibnu al-Shalah, maka ke-s}ah}i>h}-an matan hadis tercapai ketika telah memenuhi dua kriteria, antara
lain: pertama, matan hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan (shad}). Kedua,
matan hadis tersebut harus terhindar dari kecacatan (illat).
b. Metodologi ke-s}ah}i>h-}an Matan
Untuk mengetahui kriteria ke-s}ah}i>h}-an matan hadis, suatu matan hadis
dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadis yang s}ah}i>h} memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut: pertama, tidak bertentangan dengan akal sehat.
Kedua, tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam. Ketiga,
tidak bertentangan dengan hadismutawattir. Keempat, amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ salaf. Kelima, dengan dalil yang pasti. Keenam, dengan
menggunakan hadis ahad yang kualitas ke-s}ah}i>h}-annya lebih kuat.25
Selanjutnya, agar kritik tersebut dapat menentukan ke-s}ah}i>h}-an suatu
matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis, para ulama’ telah
menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat kategori antara lain: pertama, tidak
24
Rasyid Rizani, Pokok-Pokok Masalah Dalam Kritik Sanad DanMatan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 56.
25
28
bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadis
yang kualitasnya lebih kuat. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan sejarah. Keempat, susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Dengan kriteria hadis yang perlu dikritik serta tolak ukur kelayakan suatu matan hadis diatas, dapat dinyatakan bahwa walaupun pada dasarnya unsur-unsur
kaidah ke-s}ah}i>h}-an matan hadis tersebut hanya dua macam saja, tetapi aplikasinya
dapat meluas dan menuntut adanya pendekatan keilmuan lain yang cukup banyak dan sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.
3) Kehujjahan Hadis
Dilihat dari kehujjahannya makahadis di bagi menjadi dua macam:
1. Hadis Maqbul
Secara bahasa maqbul berarti Ma’khuz (yang diambil) dan mus}addaq
(yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah hadis maqbul yaitu
hadisyang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya.26
Adapun salah satu syarat tersebut adalah sanadnya bersambung, dan
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan z}abit}, serta matannya tidak shad} dan tidak
ber- illat.
Hadisyang maqbul terbagi menjadi dua bagian, yaitu:27
a. Hadis ma’mul bih, yaitu hadis yang diterima dan maknanya tidak bertentangan
dengan hadislain yang semisal dengannya. Hadisini juga disebut dengan istilah
adanya syubhat sedikitpun).
26
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Wali Pers, 2010), 124.
27
29
Adapun yang termasuk dalam hadisma’mul bih diantarannya adalah hadis
mukhta>lif (adanya dua hadis yang secara lahiriyyah mengandung pengertian
pertentangan tapi dapat dikompromikan), Rajih (hadis yang lebih kuat), Nasikh
(hadisyang menghapus terhadap yang datang terlebih dahulu).
b. Hadis ghairu ma’mul bih, yaitu hadis yang diterima, namun sepintas kelihatan
bertentangan dengan hadismaqbul lain dalam maknanya.
Diantara hadis yang ghairu ma’mul bih yaitu hadis marjuh (hadis yang
kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat), mansukh (hadis yang telah dihapus) dan hadis yang mutawaqquf fih (hadis yang kehujjahannya ditunda karena terjadinya pertentangan sehingga belum bisa diselesaikan).
Nilai-nilai maqbul berarti ada dalam diri hadis s}ah}i>h} dan hasan, walaupun
perawi hadis hasan dinilai z}abit}, tetapi celah tersebut bisa di analisa dengan adanya
popularitas sebagai perawi yang jujur dan adil. 2. Hadis Mardud
Menurut bahasa mardud berarti “yang ditolak” atau yang tidak diterima”.
Sedangkan menurut istilah, hadis mardud merupakan hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.28
Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi pada sanad maupun matan. Para ulama’ mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu
hadis d{a’if dan hadis maudhu’. Para ulama’ berbeda pendapat dalam menyingkapi
hadis d{a’if. Dalam hal ini ada dua pendapat yang ditemukannya oleh para ulama’.29
28
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 161.
29
30
Pertama, melarang secara mutlak. Walaupun hanya untuk memberi sugesti amalan utama, apalagi untuk penetapan suatu hukum. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu> Bakar ibn al-‘Arabi>.
Kedua, membolehkan sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan
fad}a’il al-‘amal dan cerita-cerita, tapi tidak untuk penetapan suatu hukum. Ibnu
Hajar al-Ashqa>lani> adalah salah satu yang membolehkan ber-hujjah dengan
menggunakan hadisd{a’if, namun dengan mengajukan tiga persyaratan:
Hadisd{a’if tersebut tidak keterlaluan.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadisd{a’if tersebut, masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat diamalkan (s}ah}i>h} dan hasan).
Dalam mengamalkannya tidak mengi’tikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi.
B.Hadis Mukhta>lif
1. Definisi Hadis Mukhta>lif
Mukhta>lif merupakan isim fa’il (bentuk subjek) yang diambil dari kata
kerja ikhtilaf yang berarti perselisihan atau pertentangan. Sedangkan ilmu mukta>lif
al-h}adi>th merupakan sejenis ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana
memahami dua hadis yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan
pertentangan itu atau mengkompromikannya. Disamping membahas tentang hadis yang sulit difahami atau dimengerti, kemudian mengungkap kesulitan itu dan
menjelaskan hakikatnya.30
30
31
Ada beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan mukta>lif
al-h}adi>th. Diantarannya adalah:31
i. Ikhtilaf al-H}adi>th merupakan terminologi yang dipakai oleh al-Syafi’i,
sekaligus terdapat dalam bidang mukta>lif al-h}adi>th. Perbedaan keduannya
adalah digunakannya bentuk masdar untuk karya al-Syafi’i dan isim fa’il dalam
terminologi yang kita pakai. Namun substansi keduannya adalah sama.
ii. Musykil al-H}adi>th adalah penggambaran yang mengandung kejanggalan karena
adanya kesamaan-kesamaan. Jika diterapkan daalam konteks penalaran hadis,
maka penggambaran penuh dengan kejanggalan itu yang dapat disebabkan dan
menyebabkan kontradiksi antar hadis yang berlainan. Satu hadis sepertinya
menunjukkan objek yang sama dengan yang ditunjuk oleh yang lain, namun penunjukan keduannya berasal dari sisi yang berbeda sehingga muncul kontradiksi.
iii. Ta’wil al-H}adi>th, kata ta’wil yang semakna atau bahkan lebih spesifik dari
sekedar tafsir menunjukkan proses lanjutan dari mukta>lif al-h}adi>th yang
merupakan bagian dari solusi yang ditawarkan.
iv. Ta’arudh al-H}adi>th merupakan terminologi yang banyak dipakai oleh kalangan
fikih dan ushul fiqh. Ia menjadi bagian dari kajian Ta’arudl al-Adillah
(pertentangan antar dalil). Pengertian kebahasaan Ta’arudl memiliki kesamaan
dengan Musykil.
31
32
2. Sebab-sebab yang melatar belakangi adanya hadis mukhta>lif
Diantara sebab-sebab yang melatar belakangi sebagai berikut:32
i. Faktor internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut.
Biasanya terdapat illat (cacat) di dalamhadis tersebut yang nantinya kedudukan
hadis tersebut menjadi d}a’if. Dan secara otomatis hadis tersebut ditolak ketika
hadis tersebut berlawanan dengan hadis s}ah}i>h}.
ii. Faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat
dimana Nabi menyampaikan hadisnya.
iii. Faktor metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian dari hadis yang difahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan
yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan
hadis-hadis yang mukhta>lif.
iv. Faktor ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab alam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan
dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
3) Metode Penyelesaian Hadis Mukhta>lif
i. Metode al-Taufiq atau al-Jam’u
Metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan dan
mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan bahwa
duahadis tersebut sama-sama berkualitas s}ah}i>h}, metode ini dinilai lebih baik
32
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode
33
daripada melakukan tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua hadis yang
tampak saling bertentangan), karena dalam salah satu kaedah fiqh disebutkan
bahwa “i’mal al-Aqwl Khairun min Ihmalihi” (mengamalkan suatu ucapan atau
sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).33
ii. Metode Nasikh-Mansukh
Metode nasikh dapat dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan.
Itu pun bila data sejarah kedua hadis yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas,
yang diketahui taqaddam dan taakhir dari kedua hadis tersebut.34
Dalam kerangka teori keilmuan, nasikh difahami sebagai sebuah
kenyataan adanya sejumlah hadis mukhtali>f yang bermuatan taklif. Hadis yang
berawal datang (wurud) dipandang tidak berlaku lagi karena adahadis lain yang
datang kemudian dalam kasus yang sama dengan makna yang berlawanan dan
tidak dapat di-taufiq-kan. Nasikh itu sendiri sangat terikat dengan waktu awal dan
akhir datang. Yang datang lebih awal disebut mansukh dan yang akhir datang
disebut nasikh atau mahmud.35
Nasikh sebagaimana terjadi dalam al-Qur’an terjadi juga dalam sunnah Rasulullah. Sunnah dapat me-nasakh sunnah yang lain, namun penentuan nasakh ini tidak dapat hanya dengan ijtihat atau dengan bahasa penuh istilah “mungkin”
atau “barangkali”. Kata nasakh dalam pandangan Syafi’i bermakna izalah yang
berarti penghapusan atau pembatalan, hal ini dapat difahami dari ungkapannya
dan penjelasan tentang naskh dalam al-Qur’an. Ia berkata “Huwa al-Manzil al-
33
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Erlangga, 2010), 130.
34
Ibid., 131.
35
34
Mutsbit Lima Sya’a Minhu”. Dialah Allah yang berhak menghapus atau
menetapkan apa yang ia inginkan dari al-Qur’an.36
Dari landasan teori yang dikembangkan Syafi’i di berbagai tempat
dalam kitabnya ar-Risalah, para ulama kemudian merumuskan nasakh hadis dan
sumber pengetahuan tentang nasakh itu sendiri. Menurut Ibnu Jama’ah hadis
mahmud (nasikh) adalah semua hadis yang menunjukkan penghapusan hukum
agama terdahulu, sedangkan mansukh adalah semua hadis yang menghapus
hukumnya dengan dalil agama yang datang kemudian.
Adanya nasakh dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya:37
Adanya penegasan dari Rasulullah sendiri, seperti nasakh larangan ziarah
kubur bagi kaum wanita.
Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti keterangan bahwa
terakhir kali Rasulullah tidak berwudhu ketika hendak salat, setelah mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan api.
Berdasarkan fakta sejarah, seperti diketahui hadis yang menjelaskan batalnya
puasa karena berbekam, lebih awal datang daripada hadis yang mengatakan
bahwa Rasulullah sendiri berbekam dalam keadaan puasa. Menurut penjelasan Syafi’i, hadispertama disabdakan Rasulullah tahun 8 H, sedangkan pada hadis
yang kedua dipraktikkan Rasulullah pada tahun 10 H.
Berdasarkan ijma’, seperti nasakh hukuman mati bagi orang yang meminum
arak sebanyak empat kali. Nasakh ini diketahui secara ijma’ oleh seluruh
sahabat bahwa hukuman seperti itu sudah mansukh. Ini tidak bermakna
36Syafi’i,
ar-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 109.
37Syafi’i,
35
mansukh dengan ijma’, tapi berdasarkan ijma’ terhadap fakta bahwa hukuman
itu pada masa akhir tidak diterapkan lagi oleh Rasulullah.
iii. Metode Tarjih
Dalam pengertian sederhana tarjih adalah suatu upaya komparatif untuk
menemukan sanad yang lebih kuat pada hadis-hadis ikhtilaf. Tarjih sebagai
salah satu langkah penyelesaian hadis-hadis mukhta>lif opsional. Yakni dapat
dilakukan kapan saja apabila terdapat hadis yang mukhta>lif. Penerapan tarjih tanpa didahului oleh pendekatan taufiq dapat mengandung konsekuensi yang
besar. Karena dengan memilih atau menguatkan hadis tertentu akan mengakibatkan ada atau bahkan banyak hadis lain yang terabaikan.38 Atas dasar inilah, sepertinya tidak ditemukan seorang ulama’ pun yang mengatakan boleh
melakukan tarjih pada hadis mukhta>lif sebelum terlebih dahulu dilakukan
pendekatan al-taufiq atau al-jam’u.
iv. Metode Tawaqquf
Metode tawaqquf adalah menghentikan atau mendiamkan. Yakni, tidak
mengamalkan hadis tersebut sampai ditemukan adanya keterangan hadis
manakah yang bisa diamalkan. Namun sikap tawaqquf menurut Abdul
Mustaqim sebenarnya tidak menyelesaikan masalah melainkan membiarkan atau mendiamkan masalah tersebut tanpa adanya solusi. Padahal sangat mungkin diselesaikan melalui ta’wil. Oleh karena itu, teori tawaqquf harus
difahami sebagai sementara waktu saja, sehingga ditemukan ta’wil yang
rasional mengenai suatu hadis dengan ditemukannya suatu teori dari penelitian
ilmu pengetahuan atau sains, maka tawaqquf tidak berlaku lagi.
38
BAB III
AL-
NASA<’I<
SERTA HADIS TENTANG MANDI BESAR MESKI
BELUM
INZA<L
A.Biografi al-Nasa>’i>
Nama lengkapnya adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad ibn Ali ibn Shu’aib
ibn Bahr al-Khurasani al-Qadi. Al-Nasa>’i> lahir di wilayah Khurasan pada tahun 215
H. Pada mulanya imam Nasa>’i> belajar di daerah Khurasan. Dan pada waktu
menginjak waktu remaja ia suka mengembara mencari hadis. Pada daerah Hijaz, Irak, Mesir dan Syam merupakan tempat yang dikunjungi untuk memperdalam hadis dari ulama’ulama hadis, seperti Qutaibah ibn Sa’id, Abu> Dawu>ddan Thirmidhi>.1
Imam Nasa>’i> lama tinggal di Mesir pada bulan Dzulhijjah tahun 302 H,
setahun kemudian tepatnya pada hari senin tanggal 13 Safar tahun 303 H beliau wafat
di Ramlah Palestina dan dimakamkan di Bait al-Maqdis.2
Sebagai seorang ulama’ hadis, imam Nasa>’i> telah menulis beberapa
karyanya diantaranya: al-Sunnah al-Kubra, al-Sunnah al-Sughra, al-Khasa’is dan
yang terakhir al-Manasik. Diantara dari beberapa kitab tersebut yang paling terkenal
yakni al-Sunnah al-Kubra.
1. Kitab Sunan al-Nasa>’i>
Dalam Kitab Sunan al-Nasa>’i>, hadis yang disebutkan al-Nasa>’i> tidak satupun hadis yang berasal dari orang yang ditolak periwayatannya oleh para ulama hadis dan tidak mempercayai periwayatannya. Hadis yang disebutkan juga
1
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 124.
2
37
merupakan ringkasan dan seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra, sehingga tidak
terdapat hadis yang d}a’if dan kalaupun ada itu jumlahnya sangat kecil dan jarang
sekali.
Kitab Sunan al-Nasa>’i> sederajat dengan Sunan Abu> Dawu>d atau
sekurang-kurang-nya mendekati satu tingkatan kualitas yang sama dengan Sunan
Abu> Dawu>d, dikarenakan al-Nasa>’i> sangat teliti dalam meriwayatkan hadis. Hanya
saja karena Abu> Dawu>d lebih banyak perhatiannya kepada matan-matan hadis
yang ada tambahannya, dan lebih terfokus pada hadis-hadis yang banyak
diperlukan oleh para fuqaha, maka Sunan Abu> Dawu>d lebih diutamakan sedikit
daripada Sunan al-Nasa>’i>. Oleh karena itu, Sunan al-Nasa>’i> ditempatkan yang kedua setelah Sunan Abu> Dawu>d.
2. Guru dan Murid al-Nasa>’i>
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari>, Imam Muslim, Imam Abu>
Dawu>d, Imam al-Tirmidhi>, Imam al-Nasa>’i> juga tercatat mempunyai banyak
pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain, Qutaibah ibn Sa’id, Ishaq ibn Ibrahim, Ishaq ibn Rahawaih, al
-Haris ibn Miskin, Ali ibn Kasyram, Imam Abu> Dawu>d.3
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan
ceramah-ceramah beliau antara lain: Abu al-Qasim al-thabarani, Abu Ja’far al
-Thahawi, Hasan ibn Kadhir Suyuti, Muhammad ibn Muawiyah ibn al-Ahmar, Abu Bakar ibn Ahmad al-Sunni. Nama yang disebutkan terakhir merupakan murid al-Nasa>’i> sebagai “penyabung lidah” al-Nasa>’i>.4
3
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 125.
4
38
3. Metode dan Sistematika Sunan al-Nasa>’i>
Kitab Sunan al-Nasa>’i> adalah kitab yang muncul setelah s}ah}i>h}ain yang
paling sedikit hadis d}a’if-nya dibandingkan Kutub al-Sittah yang lainnya, akan
tetapi banyak pengulangannya. Maka dalam kitab Sunan al-Nasa>’i> tidak hanya
terikat hadis yang s}ah}i>h} saja, akan tetapi terdapat hadis yang hasan atau d}a’if.5 Adapun sistematika penulisannya disusun berdasarkan fiqh. Urutan-urutannya antara lain: kitab Thaharah, Miyah, Gushl wa Tayammum, Salah, Mawaqih, Adzan, AL-Masajid, Qiblat, Imamah, Kusuf, al-Istisqa’, Shalat al-Khauf, Shalat al-Idain, al-Janaiz, al-Siyam, al-Zakah, Manasik
Hajji, Jihad, Nikah, Talak, Khail, Ahbas, Washaya, Nahl,
al-Hibah, al-Ruqba, al-‘Umrah, al-Aiman, al-Ba’it, al-Haqiqah, al-Fara’, al-Dahaya,,
al-Buyu’, al-Zina dan al-Istihadhah.
4. Pandangan dan kritik terhadap Sunan al-Nasa>’i>
Kitab Sunan al-Nasa>’i> disusun berdasarkan sistematika fiqih dengan
jumlah 5.761 hadis. Kitab ini paling sedikit hadis d}a’if-nya, demikian juga perawi
yang dicela ulama’ lain. Deikian komentar Muhammad Ajaj al-Khatib. Komentar
ini timbul disebabkan al-Nasa>’i> sangat teliti dalam menilai hadis.6
Para ulama’ berbeda penilaian terhadap al-Nasa>’i>. Diantara mereka ada yang menilainya positif dan ada yang menilai negatif. Ulama’-ulama’ yang menilai
positif terhadap al-Nasa>’i> pada umumnya dari segi ketelitian periwayatan. Jalal
al-Din al-Suyuthi menjelaskan bahwa al-Nasa>’i> lebih ketat menerima riwayat
dibanding Muslim.
5
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 125.
6
39
Ibn Hajar al-Asqalani> mengatakan sebagaimana dikutip Jalal Din
al-Suyuthi, banyak orang yang dipakai sebagai perawi untuk mentahrij kan hadis oleh
Imam Tirmidhi, tetapi tidak dipakai oleh al-Nasa>’i> untuk mentahrijkan hadisnya,
bahkan ia juga menjauhi untuk mentahrijkan hadis dan beberapa Rijal Hadis al-Sahihain.
Lantaran ketelitannya itulah al-Nasa>’i> tidak mau memasukkan dalam
kitabnya al-Mujtaba hadis-hadis yang berasal dari Ibn Lahi’ah. Padahal Ibn
Lahi’ah adalah seorang hafizh besar melebihi gurunya (Qutaibah), hanya saja Ibn
Lahi’ah banyak salahnya ketika umurnya sudah tua. Demikian ungkapan Ahmad
Umar Hasyim dalam bukunya Manahij al-Muhaddithin.
Menurut Ibn Katsir bahwa dalam Sunan al-Nasa>’i> terdapat perawi yang
tidak dikenal, cacat lemah, tercela, dan mungkar. Maka dari pendapat tersebut
dapat diketahui bahwa Sunan al-Nasa>’i> masih dibawah Sahihain.
B.Hadis Tidak Diwajibkan Mandi Besar 1. Data hadis tidak diwajibkan mandi besar
153
-جرخا
يئاس لا
ٍيِلَع ْنَع ،ِهيِبَأ ْنَع ،َةَوْرُع ِنْب ِماَشِ ْنَع ،ٌريِرَج اَنَرَ بْخَأ ،َميِاَرْ بِإ ُنْب ُقاَحْسِإ اَنَرَ بْخَأ
ْعِماَُُ َََْو ،ىَذْمَأَف ِهِلَْأِب ُلُجرلا َََ ب اَذِإ :ِداَدْقِمْلِل ُتْلُ ق :َلاَق ُهَْع ُهللا َيِضَر
-ىلَص ِِ لا ِلَسَف
ِهْيَلَع ُها
ََِِْ ُهُتَْ باَو َكِلَذ ْنَع ُهَلَأْسَأ ْنَأ يِحَتْسَأ ِِِإَف ؛َكِلَذ ْنَع َملَسَو
: َلاَقَ ف ُهَلَأَسَف
«
ُأضَوَ تَ يَو ،َُرِكاَذَم ُلِسْغَ ي
ِة َاصلِل َُءوُضُو
»
7
7Al-Nasa>’i, Sunan al-Nasa’i,
40
Imam al-Nasa>’i> meriwayatkan hadis: Telah mengabarkan Ishaq ibn
Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Jari>r, dari Hisha>m ibn ‘Urwah , dari
ayahnya bahwa Ali> berkata kepada al-Miqdad, “Apabila seorang mengauli istrinya, lalu keluar madzi, padahal dia belum mencampurinya. Tanyakanlah hal itu kepada Nabi Muhammad Saw, aku malu bertanya langsung pada beliau karena putri beliau adalah istriku”. Kemudian al-Miqdad menanyakannya dan beliau
bersabda, “hendaklah dia mebasuh kemaluannya dan berwudhu sebagaimana
wudhu ketika akan shalat”.
Guna mendapatkan validitas data hadis tentang diwajibkan mandi meski
belum inza>l, penulis menggunakan sebuah kitab standart yakni kitab Mu’jam al
-Mufahras li al-Fadhi al-Hadith al-Nabawi.
Adapun dalam penelitian ini penulis hanya membatasi pada hadis-hadis
dalam kutub al-Tis’ah. Adapun data-data hadis tentang mandi besar meski belum
inza>l sebagai berikut:
Setelah diketahui data-data hadis tersebut, selanjutnya memaparkan dari satu persatu dari data hadis diatas sebagai berikut:
No Kitab Bab No Indeks
1 S{ah}i>h} al-Bukhari> Ghusli min Farji al-Mar’ah 293
2 Muslim Innama> al-Ma’ mina al-Ma’ 84
3 Sunan al-Tirmidhi> Fi> al-Gusli mina al-Janabah 104
4 Sunan al-Nasa>’i Ma> Yanqud}u al-Wud}u’ 153
41
a. Redaksi hadis pada S{ah}i>h}al-Bukhari> no indeks 293
293
-يراخبلا ماماا جرخا
: َلاَق َِِأ َِِرَ بْخَأ :َلاَق ،َةَوْرُع ِنْب ِماَشِ ْنَع ، ََََْ اََ ثدَح ،ٌددَسُم اََ ثدَح
ُلُجرلا َعَماَج اَذِإ :ِهللا َلوُسَر اَي َلاَق ُهنَأ ، ٍبْعَك ُنْب َُِأ َِِرَ بْخَأ :َلاَق ،َبويَأ وُبَأ َِِرَ بْخَأ
؟ ْلِزُْ ي ْمَلَ ف َةَأْرَما
: َلاَق
«
يِلَصُيَو ُأضَوَ تَ ي ُُ ،ُهِْم َةَأْرَما سَم اَم ُلِسْغَ ي
»
:ِهللا ِدْبَع وُبَأ َلاَق
«
،ُرِخآا َكاَذَو ،ُطَوْحَأ ُلْسَغلا
ْمِهِفَاِتْخ ِا ا يَ ب اََِإَو
»
8b. Redaksi hadis pada Muslim no indeks 84
84
-ملسم ماماا جرخا
وُبَأ اََ ثدَحَو ، َةَوْرُع ُنْب ُماَشِ اََ ثدَح ،ٌدا