• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYENTUH KEMALUAN SETELAH BERWUDU : KAJIAN MUKHTALIF AL-HADITH DALAM SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 181 DAN SUNAN AL-NASA'I NOMOR INDEKS 165.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENYENTUH KEMALUAN SETELAH BERWUDU : KAJIAN MUKHTALIF AL-HADITH DALAM SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 181 DAN SUNAN AL-NASA'I NOMOR INDEKS 165."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

MENYENTUH KEMALUAN SETELAH BERWUDU

(Kajian Mukhtalif al-H{adi>th dalam Sunan Abu> Da>wu>d nomor

indeks 181 dan Sunan al-

Nasa>’

i> nomor indeks 165)

Skripsi:

Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Guna memperoleh gelar sarjana Strata

Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

IKA NUR LAILI PRIANDANI

(E03212053)

JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Ika Nur Laili Priandani, Menyentuh Kemaluan setelah Berwudu (Kajian Mukhtalif al-H{adi>th dan Sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 181 dan Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks 165).

Wudu adalah salah satu cara untuk mensucikan diri dari hadas besar dan kecil. Namun, ada salah satu perbuatan yang mengakibatkan batalnya wudu adalah menyentuh kemaluannya sendiri. Banyak dari kalangan muslim yang berselisih pendapat tentang menyentuh kemaluan setelah wudu. Apakah menyentuh kemaluan itu membatalkan wudu atau tidak. Padahal ada dua hadis yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan itu membatalkan wudu dan ada yang tidak membatalkan wudu. Kedua hadis ini bernilai sahih.

Permasalahan yang diteliti dalam penellitian ini adalah bagaimana kualitas

sanaddan matanhadis yang melarang dan memperbolehkan menyentuh kemaluan

setelah berwudu, Bagaimana energi dan penyelesaian hadis yang melarang dan memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah berwudu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sanaddan matan hadis

yang melarang dan memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah berwudu, kemudian energi dan penyelesaian kedua hadis yang melarang dan memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah berwudu.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Abu> Da>wu>d, Sunan al-Nasa>’i> dan kitab-kitab pendukung lainnya. Kemudian di

analisa dengan menggunakan metode Takhri>j al-H{adi>th, Kritik sanad dan matan

kemudian penyelesaiannya menggunakan ilmu mukhtalif al-H{adi>th.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kualitas hadis tentang menyentuh

kemaluan setelah berwudu baik yang menyatakan membatalkan wudu atau tidak, kedua hadis ini berstatus sahih. Energi yang ada dalam kesehatan, apabila manusia menyentuh kemaluan tanpa berwudu lagi, bakteri yang ada di kemaluan akan berpundah ke tangan, dari tangan ke makanan, dari makanan ke mulut, yang akan menyebabkan penyakit thypoeid, disentri dan grastritis. Untuk mengkompromikan dengan hadis yang tidak membatalkan wudu ketika menyentuh kemaluan adalah apabila menyentuhnya itu dengan punggung tangan. Ada tiga penyelesaian dalam

permasalahan di atas adalah metode al-Jam’u, metode Na>sikh Mansu>kh dan

metode Tarjih. Dengan penjelasan masing-masing metode tersebut penulis lebih

cenderung menggunakan metode al-Jam’u. Hal ini disebabkan karena metode

tersebut bersifat netral. Tanpa mengesampingkan salah satu dari kedua hadis tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Penegasan Judul ... 7

G. Telaah Pustaka ... 9

H. Metodologi Penelitian ... 10

I. Sistematika Pembahasan ... 14

(8)

B. Mukhtalif al-H{adi>th ... 26

C. Wudu ... 34

BAB III ABU< DA<WU<D , AL-NASA<’I< DAN HADIS TENTANG MENYENTUH KEMALUAN SETELAH BERWUDU A. Biografi Abu> Da>wu>d ... 41

B. Kitab Abu> Da>wu>d ... 42

C. Metode dan Sistematika Sunan Abu> Da>wu>d ... 43

D. Komentar Ulama tentang Abu> Da>wu>d ... 45

E. Biografi al-Nasa>’i> ... 46

F. Kitab al-Nasa>i> ... 47

G. Metode dan Sistematika Sunan al-Nasa>’i> ... 47

H. Komentar Ulama tentang al-Nasa>i> ... 50

I. Hadis tentang Menyentuh Kemaluan setelah Berwudu 51 J. Takhri>j al-H{adi>th ... 52

K. I’tiba>r Sanad ... 57

BAB IV KUALITAS DAN PENYELESAIAN HADIS MENYENTUH KEMALUAN SETELAH BERWUDU ANTARA SUNAN ABU> DA>WU<D NOMOR INDEKS 181 DAN SUNAN AL-NASA>’I< NOMOR INDEKS 165. A. Kualitas Kedua Hadis dari Segi Sanad dan Matan .... 78

B. Penyelesaian Kedua Hadis yang Bertentangan ... 86

(9)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bahasa Arab kata S{ala>t digunakan untuk beberapa arti. Di antaranya

digunakan untuk arti doa.1 Seperti dalam firman Allah:

ََصَْمِِِاَوْمَأَْنِمَْذُخ

ٌَميِلَعٌَعيَِسَُ للاَوَْمٌََُِنَكَسََكَتلَصَ نِإَْمِهْيَلَعَ لَصَوَاََِِْمِهي كَزُ تَوَْمُُر هَطُتًَةَقَد

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.2

Salat juga digunakan untuk arti “rahmat” dan untuk arti “mohon ampun”.3

seperti dalam firman Allah

َِحَرََِِْمْؤُمْلاِبََناَكَوَِرو لاَ َلِإَ ِتاَمُل ظلاََنِمَْمُكَجِرْخُيِلَُُتَكِئلَمَوَْمُكْيَلَعَي لَصُيَيِذ لاََوُ

اًمي

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang

yang beriman.4

ًَميِلْسَتَاوُم لَسَوَِْيَلَعَاو لَصَاوَُمآََنيِذ لاَاَه يَأَاَيَ ِي لاَىَلَعََنو لَصُيََُتَكِئلَمَوََ للاَ نِإ

ا

1 Teuku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 1997), 42.

2 al-Qur’an dan Terjemah )QS. al-Taubah :103)

3 Al-Shiddieqy, Pedoman Shalat, 42.

(11)

2

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah

salam penghormatan kepadanya.5

Salat adalah satu macam bentuk ibadah yang diwujudkan dengan melakukan

perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ucapan-ucapan dan syarat-syarat

tertentu. Untuk menunaikan salat harus suci dari hadas besar dan kecil. Suci dari

hadas besar dan kecil bisa ditempuh dengan cara wudu atau tayamum. Namun,

ada salah satu perbuatan yang mengakibatkan batalnya wudu adalah menyentuh

kemaluan sendiri.6

Hal ini sebagaimana pendapat Syekh Muh}ammad ibn Qashim al-Ghazzi

bahwasannya dari perkara akhir yang membatalkan wudu yaitu menyentuh farji

(kemaluan) anak Adam dengan bathinnya telapak tangan dari diri orang yang

berwudu dan lainnya, baik dia laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, masih

hidup atau sudah mati.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz

al-Malibary, menurutnya menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudu.

Pendapatnya ia ungkapkan dengan mengatakan bahwasannya Menyentuh

kemaluan manusia atau tempatnya jika kemaluan itu putus, baik kemaluan orang

mati, anak-anak, kubul, dubur, terpasang maupun sudah terlepas selain potongan

khitan.7

Banyak kalangan dari kaum muslimin yang berselisih pendapat tentang

menyentuh kemaluan setelah berwudu. Apakah menyentuh kemaluan setelah

5 al-Qur’an dan Terjemah )QS. al-Ahzab: 56)

6Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), 79.

(12)

3

berwudu itu membatalkan wudu atau tidak. Kebanyakan mereka menyatakan

bahwa menyentuh kemaluan itu adalah membatalkan wudu tanpa meneliti apakah

ada yang mengemukakan pendapat lain. Padahal masing-masing hadis yang

menyatakan bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudu, atau hadis

yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan itu adalah tidak membatalkan

wudu, dan kedua hadis ini adalah sahih.

Menurut Madhab Maliki, Sha>fi’i>>, dan H{anbali menyatakan bahwa Menyentuh

kemaluan itu membatalkan wudu. Mereka berpendapat demikian dengan berpijak

pada hadis yang diriwayatkan oleh Busrah Binti S{afwa>n yang mengatakan bahwa

menyentuh kemaluan itu adalah membatalkan wudu. Sebagaimana sabda

Rasulullah:

ََح

َ دََ ث

ََ

ََعَا

َْبَُد

َ

َِلا

ََْب

َُنَ

ََمَْس

ََلََم

ََة

ََعَ,

َْنَ

ََمَِلا

ٍَك

ََعَ,

َْنَ

ََعَْب

َِدَ

َِلا

ََْب

َِن

َََا

َِب

ََبَ

َْك

ٍَر

ََاَ,

َ نََُ

ََِس

ََعَ

َُعَْرََ

وََة

َََ يَُق

َْوَُل

ََدَ:

ََخَْل

َُت

َََعَ

َل

َى

ََمَْرََو

ََنا

ََْب

َِن

َ

ََْلا

ََك

َِم

ََفَ,

ََذََك

َْرََن

ََمَا

ََيا

َُك

َُنو

ََِم

ََُْ

ََْلا

َُوَُض

َُءو

َََ ف

ََق

ََلا

َََمَْر

ََوَُنا

ََوَ:

ََِم

َْنَ

ََم

َ س

َ

َ ذلا

ََك

َِر

ََ فَ.

ََق

ََلا

ََُع

َْرََوَُة

ََمَ:

َا

ََعَِل

َْم

َُت

َََذَ

ِل

ََك

ََ فَ.

ََق

ََلا

َََمَْر

ََوَُنا

ََاَ:

َْخََ ب

ََرَْت

َِن

َُبَ

َْسََر

َُةَ

َْب

َُت

َ

ََص

َْفََو

ََنا

َََاَ ن

ََه

ََِسَا

ََع

َْت

َََر

َُس

َُلو

َ

َِلا

َ

َملسوَ يلعَلاَىلص

ََ يَُق

َُلو

َ(َ:

)ْأ ضَوَ تَيْلَ فََُرَكَذَ سَمَْنَم

8

Abdullah ibn Maslamah menceritakan kepada kami, dari Ma>lik, dari Abdillah ibn Abi> Bakr, sesungguhnya ia mendengar Urwah berkata: Aku pergi untuk

mengunjungi Marwa>n ibn al-H{akam dan kami membicarakan tentang apa

yang mengharuskan wudu, dan Marwa>n menyebutkan bahwa: yang

mengharuskan wudu adalah jika engkau menyentuh kemaluanmu. Urwah

berkata: aku belum mengetahui tentang itu, Marwa>n berkata bahwa Busrah

binti S{afwa>n telah mengatakan kepadanya bahwa ia mendengar Rasulullah berkata: Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudu.

Akan tetapi ada hadis lain yang tampaknya berlawanan dengan hadis yang

telah diriwayatkan oleh Busrah Binti S{afwa>n. Hadis ini diriwayatkan oleh T{alq

8 Abu> Da>wu>d Sulaima>n ibn ‘Ash’ath al-Sijista>ni>, Sunan Abu> Da>wu>d, Vol. 1 (Beirut:

(13)

4

ibn Ali> yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan

wudu. Sebagaimana Rasulullah pernah ditanya oleh sahabatnya, kemudian beliau

bersabda:

ََاَْخ

ََ بََرََن

َََا

َ

ٌَدا

ََعَ,

َْنَ

َُمََل

َِزٍَم

ََقَ,

ََلا

ََحَ:

َ دََ ث

ََ

ََعَا

َْبَُد

َ

َِلا

ََْب

َُنََ

َبَْد

ٍَر

ََعَ,

َْنَ

ََ قَْي

َِس

ََْب

َِن

ََ

َطَْل

َِقَ

َْبَِن

َََعَ

ِلَ ي

ََعَ,

َْنََ

َاَِبَْي

َِ

ََقَ,

ََلا

َ:

ََخََر

َْجََ

ََوَا

َْفًَد

ََحَا

َ ّ

ََقَ

َِدَْم

ََ

ََعَا

ََل

ََرَى

َُس

َُلو

َ

َِلا

َ

ىلص

َ

ََ فَ,ملسوَ يلعَلا

ََبََ يا

َْعََ

َُا

ََوَ,

ََصَ ل

َْ يََ

ََمَا

ََعَُ

ََ فَ,

ََلَ م

ََقَا

ََض

َى

َ صلا

ََل

ََةَ

ََج

ََءاَ

ََرَُج

ٌَلََ

ََكََأ

َ نََُ

ََبََد

َِو

َ ى

ََ فَ,

ََق

ََلا

ََلاَقَِةَل صلاَ ََُِِرَكَذَ سَمٍَلُجَرَ َِِىَرَ تَاَمَِ للاََلوُسَرَاَيَ:

)

َْلََو

ََكِْمٌَةَعْضَبَْوَأََكِْمٌَةَغْضُمَ لِإََوُ

َ

(

.

9

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu.”

Dengan adanya kedua hadis menyentuh kemaluan setelah berwudu ini

merupakan indikator yang memberi informasi bahwa seolah-olah ada kejanggalan

dan ketidak konsistenan seorang Nabi Muhammad ketika mengeluarkan hadis.

Hal tersebut tentunya perlu diluruskan dengan melakukan penelusuran dan

penelitian lebih mendalam. Karena jika tidak demikian maka implikasinya akan

sangat negatif terutama bagi kaum inkar sunnah.10

Berangkat dari adanya pertentangan mengenai hadis menyentuh kemaluan

setelah berwudu, di dalam penelitian ini penulis mencoba memberikan beberapa

hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan penelitian. Sampai akhirnya bisa

ditarik suatu kesimpulan yang kelak akan dimungkinkan menghasilkan sebuah

ketetapan hukum apabila hadis tersebut merupakan hadis tashri’. Namun jika

9 Abi> Abd al-Rah}man Ah}mad ibn Shu’aib ibn Ali>, Sunan al-Nasa>’i>, Vol. 1 (Beirut: Da>r

al-Fikr, 2005), 35.

(14)

5

hadis tersebut ternyata merupakan hadis ghair tashri’, paling tidak bisa diketahui

tentang kualitas hadis tersebut.11

Oleh karena itu, hadis tentang menyentuh kemaluan setelah berwudu perlu

diadakan penelitian baik dari segi sanad maupun matan. Melalui metode kritik

hadis yang ada supaya penelitian ini mendalam dan menyeluruh. Dari upaya ini

maka bisa disimpulkan bahwa hadis tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak.

Kemudian dilakukan analisis antara kedua hadis yang bertentangan, untuk

meneliti kedua hadis tersebut peneliti menggunakan metode mukhtalif al-H{adi>th.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang diatas ada beberapa identifikasi permasalahan sebagai

berikut:

1. Pendapat ulama fiqih mengenai hadis tentang menyentuh kemaluan setelah

berwudu.

2. Kualitas sanad dan matan hadis menyentuh kemaluan setelah berwudu.

3. Adanya pertentangan pada hadis dalam Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks 165

dan Sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 181.

4. Alasan hadis memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah berwudu.

5. Alasan hadis melarang menyentuh kemaluan setelah berwudu.

6. Kehujjahan hadis yang memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah

berwudu.

7. Kehujjahan hadis yang melarang menyentuh kemaluan setelah berwudu.

(15)

6

Dari beberapa permasalahan di atas, perlu adanya pembatasan masalah

supaya pembahasan dalam tulisan ini dapat menetapkan batasan-batasan masalah

yang lebih tegas. Penelitian ini hanya fokus pada permasalahan tentang kualitas

sanad dan matan hadis menyentuh kemaluan setelah berwudu dan pertentangan

pada hadis dalam Sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 181 dan Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks 165.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis yang melarang menyentuh

kemaluan setelah berwudu dalam Sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 181?

2. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis yang memperbolehkan menyentuh

kemaluan setelah berwudu dalam Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks 165?

3. Bagaimana energi dan penyelesaian hadis yang melarang dan

memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah berwudu?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis yang melarang menyentuh

(16)

7

2. Untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis yang memperbolehkan

menyentuh kemaluan setelah berwudu dalam Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks

165.

3. Untuk mengetahui energi dan penyelesaian hadis yang melarang dan

memperbolehkan menyentuh kemaluan setelah berwudu.

E. Kegunaan Penelitian

Dengan tersusunnya skripsi ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan

terhadap ilmu pengetahuan hadis yang bermanfaat, maka perlu dikemukakan

kegunaan dari penelitian ini. Adapun kegunaan hasil penelitian ini ada dua, yaitu:

1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini berguna untuk dijadikan suatu khazanah ilmu

pengetahuan sekaligus untuk memberi dorongan terhadap ilmu yang lain yang

terkandung dalam hadis tersebut.

2. Kegunaan secara praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu penegtahuan yang

memberikan informasi yang valid sehingga kualitas hadis tidak diragukan dan

bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan sebagainya.

F. Penegasan Judul

Ketidakjelasan maksud dari suatu judul skripsi akan mengakibatkan

kesalahpahaman dan timbul pengertian yang tidak utuh dan kabur, bahkan

(17)

8

mempertegas dari skripsi dengan judul ‘MENYENTUH KEMALUAN

SETELAH BERWUDU (Kajian Mukhtalif al-H{adi>th dalam Sunan Abu>

Da>wu>d nomor indeks 181 dan Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks 165)’ bahwa

penulis perlu untuk menguraikan kata perkata, sehingga nantinya akan lebih

mudah untuk difahami, dengan uraian sebagai berikut:

Menyentuh : menyinggung sedikit; menjamah, mengenai.12

Kemaluan : bagian tubuh yang digunakan sebagai alat

reproduksi dan saluran urin.13

Berwudu : mengambil air wudu, menyucikan diri (sebelum

salat) dengan membasuh muka, tangan, kepala, dan

kaki.14

Mukhtalif al-H{adi>th : hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, akan

tetapi pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau

dikompromikan.15

Sunan Abu> Da>wu>d : merupakan kitab hadis karya dari Sulaima>n bin ‘ash’ath ibn Isha>q ibn Bashir ibn S{idas ibn Amr al-Azdi al-sijista>ni>.16

Sunan al-Nasa>’i> : merupakan kitab hadis karya dari Abu> Abd

al-Rahman Ahmad ibn Ali> ibn shu’aib ibn Bahr al- khurasani> al-Qadi.17

12 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 724. 13 Ibid., 425.

14 Ibid., 325.

15 Zainul Arifin, Ilmu Hadis: Historis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka al-Muna,

2014), 24.

(18)

9

Maksud dari judul ini adalah menyentuh kemaluan setelah berwudu itu

membatalkan wudu atau tidak. Dalam judul ini ada dua hadis yang bertentangan

(tidak serasi) yaitu antara Sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 181 dan Sunan

al-Nasa>’i> nomor indeks 165. Peneliti mencoba menyelesaikan kedua hadis tersebut

dengan mempergunakan ilmu mukhtalif al-h}adi>th. Untuk sampai pada

penyelesaian kedua hadis yang bertentangan di atas peneliti memulainya dengan

kajian kritik sanad dan matanhadis.

G. Telaah Pustaka

Analisis Pendapat Tengku Muhammad Hasbi al- Shiddieqy Tentang Tidak

Batalnya Wudu Karena Menyentuh Kemaluan Sendiri. Skripsi. 2006. Ahmad

Muthohar. Fakultas Syari’ah. IAIN Walisongo Semarang. Dalam skripsi ini

membahas pendapat tengku Muhammad Hasbi al- Shiddieqy tentang hadis tidak

batalnya wudu karena menyentuh kemaluan sendiri. Beliau berkata bahwa

suruhan mengambil wudu yang dimaksudkan oleh hadits Busrah adalah suruhan

sunnat, bukan wajib. Karenanya menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan

wudu. Yang membatalkan wudu adalah sentuhan yang disertai syahwat. Sentuhan

yang tidak disertai syahwat sama sekali tidak membatalkan wudu. Mengingat

yang tersebut ini, maka semata-mata menyentuh atau tersentuh kemaluan itu,

tidak membatalkan wudu.

(19)

10

H. Metodologi Penelitian

1. Model Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan

data tentang kerangka ideologis, epistimologis, dan asumsi-asumsi

metodologis pendekatan terhadap kajian hadis dengan menelusuri secara

langsung pada literatur yang terkait.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu

penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data

penelitiannya. Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud,

kemudian mengelolanya memakai keilmuan hadis.

3. Metode Penelitian

Berdasarkan data-data yang telah terkumpul, dan selanjutnya dianalisa

melalui metode-metode sebagai berikut:

a. Takhri>j al-H{adi>th adalah penjelasan keberadaan sebuah hadis dalam

berbagai referensi hadis utama dan penjelasan otentisitas serta

validitasnya.18

b. I’tiba>r hadis dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad-sanad

lain untuk suatu hadis tertentu, yaitu hadis itu pada bagian sanadnya

tampak hanya seorang perawi saja.19 Kegiatan in dilakukan untuk

18

Zainuddin MZ,DKK, Studi Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 171.

19

(20)

11

mengetahui jalur-jalur sanad-sanad hadis dari nama-nama perawi serta

metode periwayatan yang dipakai oleh setiap perawi.

c. Penelitian Sanad, dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad

dengan pendekatan keilmuan Tari>kh al-Ruwa>h dan Jarh} wa al-Ta‘di>l.20

Peneliti berusaha menegtahui kualitas suatu hadis dengan memenuhi

syarat tertentu sehingga bisa diterima atau ditolak. Jika suatu hadis

memiliki ketersambungan sanad antara peraw-perawinya, periwayatnya

bersifat adil dan d}abit} serta terhindar dari shadh dan ‘illat, maka sanad

hadis tersebut sudah memenuhi syarat dan dapat diterima.

d. Penelitan Matan, Peneliti mengkaji dan menguji keabsahan matan hadis,

dengan memastikan matan hadis tersebut sesuai atau bertentangan

dengan ayat al-Qur’an, logika, sejarah, dan hadis yang bernilai sahih atau

lebih kuat kualitasnya.

e. Mukhtalif al-H{adi>th, Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut

dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana

membahas hadis-hadis yang sulit dipahami kandungannya, dengan

menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.21

Apabila terjadi pertentangan dalam dua hadis, maka cara

penyelesaian melalui tahap-tahap berikut ini:22

1. menggabungkan dua makna hadis yang berbeda (jam‘u),

20 Sahrani, Ulumul Hadis, 151.

21 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 42.

22 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana

(21)

12

2. jika tidak bisa digabungkan maka dua hadis tersebut dipilih (tarjih)

mana yang lebih kuat,

3. apabila tidak bisa juga digabung dan dipilih maka dilihat sejarah hadis

tersebut dengan kemungkinan terjadinya na>sikh,

4. Jika tidak bisa juga semuanya maka dua hadis yang kontradiktif

tersebut di-tawaquf-kan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang ditempuh dalam penelitian, yaitu: mengumpulkan data-data

yang berkaitan dengan fokus pembahasan, kemudian mengklarifikasi sesuai

dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam

penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah

dipersiapkan sebelumnya.

5. Pengelolahan Data

Dalam pengelolahan data yang telah dikumpulkan, digunakan beberapa

langkah, yaitu:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data yang diperoleh dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi, dan keragamannya.

b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematikan data-data

yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan

sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.

6. Teknik Analisis Data

Sumber data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi

(22)

13

dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian

dengan menggunakan analisis isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk

menganalisis isi pesan dan mengelolahnya dengan tujuan menangkap pesan

yang tersirat dari satu atau beberapa pertanyaan.

7. Sumber Data

Adapun sumber data yang diperlukan dalam studi ini adalah sebagai

berikut:

a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini,

yaitu:

1) Sunan Abu> Da>wu>d , karya dari Sulaima>n bin ‘ash’ath ibn Isha>q ibn Bashir ibn S{idas ibn Amr al-Azdi al-Sijista>ni>.

2) Sunan al-Nasa>’i> , karya dari Abu> Abd al-Rahman Ahmad ibn Ali> ibn

shu’aib ibn Bahr al- khurasani> al-Qadi.

2. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai

data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data

sekunder dalam penelitian ini diantaranya:

1) Bidayatul Mujtahid, karya Ibn Rusy

2) Metodologi Penelitian Hadis, karya Suryadi

3) Metode Krtitik Hadis, Karya M. Abdurrahman dan Elan Sumarna

4) Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis karya M. Zuhri

(23)

14

I. Sistematika Pembahasan

Masalah pokok yang disebutkan di atas, dalam penelitian ini dibagi menjadi

lima bab sebagaimana berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan

judul, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini

digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar

penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab kedua, landasan teori yang berisi tentang metode kritik, mukhtalif hadi>th

serta tinjauan umum yang berisi tentang wudu dan perbedaan pendapat mengenai

menyentuh kemaluan. Bab ini merupakan landasan yang menjadi tolok ukur

dalam penelitian ini.

Bab ketiga, tinjauannyang berisi tentang biografi, kitab-kitab, metode dan

sistematika, dan komentar ulama tentang Abu> Da>wu>d dan al-Nasa>’i> serta

menampilkan hadis menyentuh kemaluan setelah wudu yang berisi takhri>j

al-H{adi>th dan I’tiba>r Sanad.

Bab keempat, merupakan yang berisi analisis data yang menjadi tahapan

setelah seluruh data terkumpul. Di dalamnya membahas analisis sanad dan matan,

energi yang ada di dalam kesehatan serta penyelesaian dua hadis yang

bertentangan.

Bab kelima, penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian ini yang

merupakan jawaban dari rumusan masalah dan juga saran penulis dari penelitian

(24)

BAB II

METODE KRITIK DAN MUKHTALIF AL-H{ADI<TH

A. Kritik Hadis

Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd atau dari kata tamyi>z.

sekalipun kata tersebut tidak ditemukan, baik dalam al-Qur’an maupun dalam

hadis, namun tidak perlu diperdebatkan, apakah kegiatan kritik pantas diterapkan

dalam kajian ilmu hadis atau tidak, karena disiplin ilmu kritik memang muncul

belakangan. Sedangkan menurut istilah kritik adalah berusaha menemukan

kesalahan dan kekeliruan dalam rangka mencari kebenaran. Kritik yang dimaksud

adalah sebagai upaya mengkaji hadis Rasulullah, untuk menentukan hadis yang

benar-benar datang dari Nabi Muhammad.1

Sebagai sebuah disiplin ilmu kritik hadis adalah penetapan status cacat atau

adil pada perawi hadis berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para

ahlinya, dan mencermati matan dan sanad hadis dengan tujuan untuk menilai

hadis yang lemah dan menyingkap kemusykilan pada matan hadis yang sahih.

Untuk mengetahui kesahihan hadis maka peneliti harus mengkritisi hadis nabi

baik dari segi sanad maupun matan.2

1. Kritik Kesahihan Sanad

Secara etimologis, sanad berarti bagian bumi yang menonjol. Bentuk

jamaknya adalah asna>d. segala sesuatu yang disandarkan kepada yang lain

1 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2004), 5.

(25)

16

disebut musnad. Secara terminologis sanadadalah rentetan cerita para perawi

hadis yang meriwayatkan secara tersambung satu persatu hingga sampai

kepada Rasulullah. Sedangkan isna>d adalah penyandaran atau penisbatan

sebuah hadis kepada pengucapnya, dengan kata lain isna>d adalah sebuah

ungkapan yang digunakan oleh perawi penerima hadis, yakni dari

penyandarannya kepada orang yang menyampaikannya.3

Para ulama hadis berpendapat tentang pentingnya kedudukan sanad

dalam riwayat hadis. Oleh karena itu, suatu berita dinyatakan sebagai hadis

nabi oleh seseorang, tetapi apabila tidak memiliki sanad sama sekali

dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis maud}u>.4

Secara eksplisit, Muh}ammad ibn Si>ri>n menyatakan bahwa sesungguhnya

pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu

mengambil agamamu itu. Sedangkan Abd All>a>h ibn al-Muba>rak menyatakan

bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama, jika sanad hadis tidak ada,

niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya.5

Ima>m al-Nawa>wi> menjelaskan hubungan hadis dengan sanadnya ibarat

hubungan hewan dengan kakinya. Sehingga apabila sanad suatu hadis

berkualitas sahih, maka hadis tersebut dapat diterima, sedangkan apabila

sanad itu tidak sahih, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.6

3 Muhid, dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN SA Press, 2013), 64.

4 Suryadi dan Muhammad al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis

(Yogyakarta: TERAS, 2009), 100.

(26)

17

Pada kenyataannya, tidak setiap sanad yang menyertai sesuatu

dinyatakan sebagai hadis dan terhindar dari keadaan yang meragukan. Hal ini

dapat dimaklumi karena mereka yang terlibat dalam periwayatan hadis sangat

banyak jumlahnya, kapasitas intelektual dan kualitas pribadinya yang

bervariasi.7

Untuk meneliti dan mengukur kesahihan suatu hadis diperlukan acuan

yang bisa digunakan sebagai ukuran untuk menilai kualitas hadis. acuan yang

dipakai adalah kaidah kesahihan hadis, jika hadis yang diteliti ternyata bukan

hadis mutawa>tir . suatu hadis bisa dinyatakan sahih apabila memenuhi syarat

sebagai berikut:8

1. Sanad yang bersambung

Sanad yang bersambung adalah setiap periwayat dalam sanad hadis

menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya yang mana

hal ini terus bersambung sampai akhir sanad. Seluruh rangkaian

periwayat mulai yang disandari mukharrij sampai perawi yang menerima

hadis dari nabi, saling memberi dan menerima dengan perawi terdekat.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, ulama

hadis menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab

rija>l al-h}adi>th (kitab yang membahas sejarah hidup periwayat hadis).

7 Ibid.,

(27)

18

c. Meneliti lafaz} yang menghubungkan antara periwayat dengan

periwayat terdekatnya dalam sanad.

Berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas periwayat terbagi

kepada thiqah dan tidak thiqah. Dalam penyampaian riwayat, periwayat

yang thiqah memiliki akurasi yang tinggi karena lebih dapat dipercaya

riwayatnya. Sedangkan bagi periwayat yang tidak thiqah, memerlukan

penelitian tentang keadilan dan ked}a>bit}an yang akurasinya dibawah

perawi yang thiqah.9

2. Perawi yang adil

Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n mendefinisikan perawi yang adil adalah setiap

perawi yang muslim, mukallaf, berakal sehat, tidak fa>siq dan selalu

menjaga muru>’ah. Sifat adil berkaitan dengan integritas pribadi seseorang

diukur menurut ajaran Islam. Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa

seluruh sahabat dinilai adil berdasarkan al-Qur’an, hadis dan ijma>’.

Namun, setelah dilihat lebih lanjut, bahwa keadilan sahabat bersifat

mayoritas dan ada beberapa sahabat yang tidak adil. Jadi pada dasarnya

para sahabat nabi dinilai adil, kecuali apabila terbukti telah berperilaku

yang menyalahi ketentuan adil.

Untuk mengetahui keadilan para perawi, pada umumnya ulama

hadis mendasarkan pada:10

a. Popularitas keutamaan pribadi periwayat dikalangan ulama hadis.

(28)

19

b. Penilaian dari para kritikus hadis tentang kelebihan dan kekurangan

pribadi periwayat hadis.

c. Penerapan kaidah al-Jarh} dan al-Ta’di>l terdapat hadis yang berlainan

kualitas pribadi periwayat hadis tersebut.

3. Periwayat yang d}a>bit}

Perawi yang d}a>bit} (kuat hafalannya) adalah perawi yang mampu

menghafal hadis yang didengarnya serta menyampaikannya kepada orang

lain. Ada dua unsur mengenai ked}a>bit}an rawi adalah:

a. Pemahaman dan hafalan yang baik atas riwayat yang telah

didengarnya.

b. Mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya dengan baik kepada

orang lain kapan saja dia kehendaki.

Ked}a>bit}an seorang periwayat dapat diketahui melalui kesaksian ulama, kesesuaian riwayatnya (minimal secara makna) dengan riwayat

yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ked}abit}annya

dan hanya sesekali mengalami kekeliruan.11

4. Tidak adanya sha>dh

Sha>dh adalah apabila seorang rawi yang thiqah dalam suatu hadis

menyalahi hadis lain yang rawinya lebih thiqah dibandingkan dengan

rawi hadis yang pertama.12 Sedangkan Al-Sha>fi’i> mengemukakan bahwa

11 Ibid., 57.

12 Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja

(29)

20

hadis sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang thiqah,

namun riwayatnya bertentangan dengan orang banyak yang juga thiqah.

Pendapat Sha>fi’i> inilah yang banyak diikuti, karena untuk mengetahui

adanya sha>dh adalah dengan membandingkan semua sanad yang ada

untuk matan yang mempunyai topik yang sama.

Syarat sha>dh adalah penyendirian dan pertentangan. Syarat ini

bersifat komulatif. Jadi, selama tidak terkumpulnya dua unsur tersebut,

maka tidak dapat disebut hadis sha>dh.13

5. Tidak adanya ‘illat

‘illat adalah penyakit atau sesuatu yang menyebabkan kesahihan

hadis ternodai. ‘illatyang ada pada suatu hadis yang tidak tampak secara

jelas, melainkan samar-samar, sehingga sulit ditemukan, kecuali oleh

ahlinya. Oleh karena itu, hadis yang semacam ini juga banyak ditemukan

pada rawi yang thiqah.14

Menurut Ali ibn al-Madi>ni> dan al-Khat}i>b al-Baghda>di> untuk

mengetahui illat hadis terlebih dahulu semua sanad yang berkaitan

dengan hadis yang diteliti dihimpun sehingga dapat diketahui Sha>hid dan

ta>bi’-nya. Mayoritas ‘illat hadis terjadi pada sanad. Pada umumnya illat

hadis berbentuk sebagai berikut:15

a. Sanad yang tampak muttas}il dan marfu>’ ternyata muttas}il namun

mauqu>f.

(30)

21

b. Sanadyang muttas}il dan marfu>’ternyata muttas}il tetapi mursal.

c. Terjadi percampuran hadis pada bagian hadis yang lain.

d. Terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena berjumlah lebih

dari satu, serta memiliki kemiripan nama, sedangkan kualitas

perawinya tidak sama-sama thiqah.

Maka untuk meneliti sanad hadis dan mengetahui keadaan rawi demi

memenuhi lima kriteria tersebut, dalam ilmu hadis disebut ilm rija>l al-h}adi>th,

yaitu ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis.16

2. Kritik Kesahihan Matan

Menurut bahasa, matan adalah ma> irtafa’a min al-ard} (permukaan tanah

yang tinggi). Menurut istilah matan adalah lafaz}-lafaz} hadis yang dengannya

makna hadis bisa dibangun. Ada juga redaksi lain yang menyatakan bahwa

matan adalah ujung sanad.17

Matan hadis merupakan muatan konsep ajaran Islam yang mengambil

beragam bentuk, antara lain18:

a. Sabda penuturan nabi (hadis qauli>)

b. Surat-surat yang dibuat atas nabi yang selanjutnya dikirim kepada tugas

didaerah atau kepada pihak-pihak non muslim, termasuk juga fakta

perjanjian yang melibatkan nabi.

c. Firman Allah yang selain al-Qur’an yang disampaikan kepada umat

dengan bahasa tutur nabi (hadis qudsi>).

(31)

22

d. Pemberitaan yang kuat terkait dengan al-Qur’an, seperti interprestasi nabi

atas ayat-ayat tertentu (tafsir nabawi) dan asba>b al-Nuzu>l.

e. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan nabi dan diriwayatkan kembali

oleh sahabat (hadis fi’ly).

Penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian terhadap sanad,

penelitian sanad harus dilakukan terlebih dahulu. Demikian juga terhadap

kriteria dan cara penilaian terhadapnya berbeda. Istilah yang digunakan dalam

menilai suatu matanapabila diterima atau ditolak adalah maqbu>l dan mardu>d.

kedua istilah tersebut digunakan ulama hadis dalam menilai matan suatu

hadis. Hal tersebut berbeda dengan hasil penilaian sanad hadis yang dapat

diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu sahih, h}as}an, dan da’if.

Dari persyaratan kesahihan hadis diketahui bahwa matan yang sahih

adalah matan yang terhindar dari sha>dh dan illat.

1. Matanhadis terhindar dari sha>dh

Imam al-Sha>fi’i> dan al-Khalili berpendapat dalam masalah hadis yang

terhindar dari Sha>dh adalah:

a. Sanad dari matanyang bersangkutan harus mah}fu>z} dan tidak gharib.

b. Matan hadis berangkutan tidak bertentangan atau tidak menyalahi

riwayat yang lebih kuat.

Dalam melakukan penelitian terhadap matan hadis yang mengandung

sha>dh tidak bisa dilepaskan dari penelitian kualitas sanad hadis yang

(32)

23

untuk mengetahui apakah matan hadis itu terdapat sha>dh atau tidak

adalah:19

a. Melakukan penelitian terhadap kualitas sanad matan yang diduga

bermasalah.

b. Membandingkan redaksi matan yang bersangkutan dengan

matan-matan lain yang memiliki tema sama, dan memiliki sanad berbeda.

c. Melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan hadis

yang mengangkat tema sama.

Dengan demikian dapat diperoleh kesimpulan mana matan yang

mah}fu>z} dan matan yang janggal (sha>dh).

2. Matanhadis yang terhindar dari illat

Langkah metodologis yang perlu ditempuh dalam melacak dugaan

‘illatpada matan hadis adalah:20

a. Melakukan takhri>j (melacak keberadaan hadis) untuk matan yang

bersangkutan, guna mengetahui seluruh jalur sanadnya.

b. Melanjutkan kegiatan I’tiba>r untuk mengkategorikan matan yang

bertema sama sekalipun berujung pada akhir sanad (nama sahabat)

yang berbeda.

c. Mencermati data dan mengukur segi-segi perbedaan atau kegiatan nara

sumber, pengantar riwayat (s}ighah al-tah}d}ith) dan susunan kalimat

matannya.

d. Menentukan sejauh mana unsur perbedaan yang teridentifikasi.

(33)

24

Selanjutnya akan diperoleh kesimpulan apakah kadar penyimpangan

dalam penuturan riwayat matan hadis masih dalam batas toleransi (‘illat

khafi>fah}) atau sudah pada taraf merusak dan memanipulasi pemberitaan

(illat qadih}ah).

Disamping menggunakan kaidah sha>dh dan ‘illat, para ulama juga

merumuskan acuan yang lain untuk menilai keabsahan matan hadis, di

antaranya adalah:21

a. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.

b. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah.

d. Susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri lafaz} kenabian, yaitu tidak

rancu, sesuai dengan kaidah bahasa arab, fasih.

3. Kehujjahan Hadis

Dilihat dari segi kualitasnya hadis dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Hadis maqbu>l

Menurut bahasa maqbu>l artinya diterima. Hadis itu dapat diterima

sebagai hujjah dalam Islam, karena sudah memenuhi beberapa kriteria

persyaratan, baik yang menyangkut sanad maupun matan. Adapun

menurut istilah hadis maqbu>l adalah hadis yang unggul pembenaran

pemberitaannya.22

Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbu>l

berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanad yang bersambung, diriwayatkan

21 Ibid., 168.

(34)

25

oleh rawi yang adil dan d}a>bit}, dan juga berkaitan dengan matannya tidak

sha>dh dan tidak berillat. Tidak semua hadis maqbu>l boleh diamalkan,

akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadis

maqbu>l ini dibagi menjadi dua, yaitu:23

1. Hadis ma’mu>l bih adalah hadis yang diamalkan dan maknanya tidak

bertentangan. Hadis ini biasanya disebut muh}kam (hadis yang telah

memberikan pengertian yang jelas), mukhtalif (hadis yang dapat

dikompromikan dari dua buah hadis atau lebih yang secara lahiriyah

mengandung pengertian yang bertentangan), ra>jih (hadis yang lebih

kuat) dan na>sikh (hadis yang menasakh terhadap hadis, yang datang

terlebih dahulu).

2. Hadis ghai>r ma’mu>l bihadalah hadis yang tidak bisa diamalkan. Hadis

ini biasanya disebut marju>h (hadis yang kehujjahannya dikalahkan

oleh hadis lain yang lebih kuat), mansu>kh (hadis yang telah dihapus)

dan hadis mutawaquf fi>h (hadis yang kehujjahannya ditunda, karena

terjadinya pertentangan antara satu hadis boleh dengan lainnya yang

belum bisa diselesaikan.

b. Hadis mardu>d

Menurut bahasa Mardu>d adalah ditolak atau tidak diterima. Menurut

istilah mardu>d adalah hadis yang tidak unggul pembenaran dan

pemberitaannya. Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi

beberapa kriteria persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang

(35)

26

menyangkut sanad seperti setiap perawi harus bertemu langsung dengan

gurunya (ittis}al al-sanad) maupun yang menyangkut matan seperti isi

matanyang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan lain-lain.24

Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua, yaitu hadis

daif dan hadis maudhu>’. Pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari

diterima atau tidaknya dibagi menjadi tiga yaitu, hadis sahih, h}asan,

daif.25

Hadis mardu>d tidak mempunyai pendukung yang membuat

keunggulan pembenaran berita dalam hadis. hadis mardu>d tidak dapat

dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Secara umum hadis mardu>d

adalah hadis daif dengan segala macam.26

B. Mukhtalif al-H{adi>th

1. Pengertian Mukhtalif al-H{adi>th

Hadis Mukhtalif adalah Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut

lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut

dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas

hadis-hadis yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya

serta menjelaskan hakikatnya.27

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu

mukhtalif al-H{adi>th, hadis yang tampaknya bertentangan itu akan dapat diatasi

(36)

27

dengan menghilangkan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan yang

terlihat dalam suatu hadis, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat

dari kandungan hadis tersebut.28

Ilmu ini juga berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-h}adi>th) dua atau

lebih hadis yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan

hadis tersebut adakalanya dengan mentaqyid kemutlakan hadis, mentakhsis

keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang

lebih banyak datangnya.29

Tujuan ilmu ini mengetahui hadis mana saja yang kontra satu dengan yang

lain dan bagaimana pemecahannya atau langkah-langkah apa yang di lakukan para

ulama dalam menyikapi hadis-hadis yang kontra tersebut.30

Contoh dari Ilmu Mukhtalif al-H{adi>th ini seperti dua hadis sahih di bawah

ini:

َ)ملسمَوَراخبلاَ اور(َ...ََةَماَََلَوََةَرَ يِطََلَوَىَودَعََل

Tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung hantu… )HR Bukhari dan Muslim).

Secara lahirnya bertentangan dengan hadis :

)ملسمَوَراخبلاَ اور(َِدَسَآاََنِمَ رِفَتَاَمَكَِموُذجَماََنِمَ رِف

Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa… )HR

Bukhari dan Muslim).31

28 Ibid., 43.

29 Muh Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 2003), 139.

(37)

28

Para ulama mencoba untuk mengkompromikan dua hadis ini, antara lain:

a. Ibnu al-Shalah menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan

misalnya dengan adanya pencampuran dengan orang yang sakit, melalui

sebab-sebab yang berbeda.

b. Al-Qadhi al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu adalah merupakan kekhususan bagi

ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat “la ‘adwa” itu

selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasulullah

mengatakan: tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah

kami terangkan apa saja yang dapat menular.32

Ulama yang pertama kali menghimpun ilmu mukhtalif al-h}adi>th ini adalah

imam al-Sha>fi’i>. tapi ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya imam

al-Sha>fi’i> tidak berniat untuk menyusun ilmu ini, karena penyusunan tersebut pada

mulanya dimaksudkan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ada

dalam kitab “al-Umm”. Akan tetapi pendapat ini tidak kuat, sebab imam al-Sha>fi’i>

juga menyusun dalam kitab tertentu dengan nama mukhtalif al-h}adi>th yang di

cetak di bagian pinggiran juz ke-7 dari kitab “al-Umm” tersebut. Ulama lain yang

mengikuti jejaknya antara lain:33

a. Ibnu Qutaibah Abdullah ibn Muslim al-Naisaburi> w. 276 H dengan karyanya

yang bernama Ta’wil Mukhtalif al-H{adi>th.

32 Ibid,.

(38)

29

b. Abu Ja’far Ah}mad ibn Salamah al-T{ahawi w. 321 H dengan karyanya yang

berjudul Mus}kil al-Atsar, kitab ini merupakan kitab yang paling luas

pembahasannya.

c. Abu Bakar Muh}ammad ibn al-H{asan ibn Faurak w. 406 H dengan karyanya yang berjudul Mus}kil al-H{adi>th.

2. Cara Penyelesaian Mukhtalif al-H{adi>th

a. Metode al-Jam‘u

Metode ini dilakukan dengan cara mengkompromikan hadis-hadis

yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya

masing-masing. Syuhudi ismail menyebutkan bahwa al-jam‘u dinamakan

juga al-taufiq atau al-talfiq yakni kedua hadis yang tanpak bertentangan

dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya.34

Sebagian ulama berpendapat al-jam‘u adalah jika terdapat

kandungan hadis yang secara lahiriyah bertentangan kemudian disatukan.

Dengan cara ini maka kedua hadis dapat dimanfaatkan secara

proporsional. Dengan demikian al-jam‘u adalah usaha yang dilakukan

guna mengkompromikan antara dua hadis dan yang secara d}ahir tampak

bertentangan yang kemudian kedua hadis tersebut diamalkan secara

bersama-sama tanpa meniadakan salah satunya dengan melihat seginya

masing-masing, baik dengan mentahsis yang umum ataupun membatasi

yang masih mutlak.35Klasifikasi al-Jam‘u ada dua, yaitu:

(39)

30

1. Mentah}sis 'Am-nya

Apabila terjadi pertentangan antara lafaz} ‘am dan khas}, maka ada

dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khas} (khusus)

daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-‘am-annya dan

ke-khas}-annya hanya terletak pada satu sisi saja. Apabila kondisi pertama

terjadi maka lafaz} khas} lebih diunggulkan dan diamalkan dari pada

lafaz} ‘am-nya. Karena lafaz} khas} masih dapat merealisasikan apa yang

terkandung dalam lafaz} 'am. Mengamalkan lafaz} khas} berarti

mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafaz} 'am

berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung

dalam lafaz} khusus. Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat

sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang diamalkan. Namun

apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang

mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan.

Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan.36

2. Mentaqyid mutlaq-nya

Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafaz} mutlaq dapat dipahami

secara muqayyad. Artinya, lafaz} mutlaq yang terdapat pada salah satu

hadis yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad berdasarkan

hadis satunya.37

36 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang,

1992), 72.

(40)

31

b. Metode Tarjih

Tarjih merupakan salah satu cara yang digunakan untuk

menyelesaikan dua dalil atau lebih yang saling berbeda atau

bertentangan. Secara bahasa, tarjih berarti menguatkan atau

memberatkan. Sedangkan menurut istilah, tarjih adalah menguatkan

salah satu dalil dari dua dalil yang sama untuk diamalkan.38

Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan dalam

bukunya Tuh}wah al-Ah}wad}i seperti yang dikutip oleh Daniel Juned

bahwa “tidak diragukan bahwa al-jam‘u lebih didahulukan daripada

nasakh dan tarjih. Bahkan al-Shaukani yang juga dikutip oleh Daniel

Juned dengan bahasa yang lebih tegas mengatakan, “sudah cukup tegas

bahwa kebolehan melakukan tarjih disyaratkan bila tidak memungkinkan

dilakukan al-Jam‘u”.39

Al-Baghda>di> mengatakan seperti yang dinukil oleh Daniel Juned

dengan redaksi yang berbeda berulang kali menegaskan dalam kitabnya

Al-Kifayah bahwa selama dua hadis yang tampak bertentangan masih

mungkin diselaraskan atau dikompromikan maka kedua hadis tersebut

harus diamalkan. Yusuf Qardawi juga merasa perlu menegaskan bahwa

al-jam‘u harus didahulukan daripada tarjih. Sebab tarjih berarti

mengamalkan sebagian nash dan meninggalkan yang lainnya padahal

38 Nasrun Haroen. ”Tarjih” dalam Ensiklopedi Islam, Vol. 3, )Jakarta: PT Ichtiar Baru

Van Houve, 2005), 113.

39 Daniel Juned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, (Jakarta:

(41)

32

kedua hadis tersebut sama-sama maqbu>l.Tarjih baru dapat dilakukan jika

memang tidak mungkin dikompromikan.40

c. Metode Na>sikh Mansu>kh

Menurut bahasa kata al-Naskh mempunyai dua pengertian yaitu al-iza>lah (menghilangkan) seperti nashakhati al-shamsu al-zhilla (matahari

menghilangkan bayangan) dan al-naql (menyalin) seperti naskhatu

al-kitab (aku menyalin kitab) yang berarti saya salin isi suatu kitab untuk

dipindahkan ke kitab lain.41

Menurut istilah Abu Hafs} ibn Ah}mad ibn ‘Uthman Ibn Shahih

mengatakan bahwa Naskh itu mempunyai dua perngertian, yang pertama

Naskh berarti penjelasan tentang berakhirnya hukum syara’ melalui hukum syara’ karena adanya rentang waktu.42

Maka dalam hal ini hukum

pertama menjadi Mansu>kh karena batas waktunya telah tiba dan

bersamaan dengan itu datang hukum lain sebagai pengganti. Yang kedua,

menurut sebagian ahli ushul fiqh, Nasakh adalah penghapusan suatu

hukum syara’ dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu.43

Mansu>kh secara bahasa adalah sesuatu yang dihapus, dihilangkan,

dipindah dan disalin. Menurut istilah ulama Mansu>kh adalah hukum

syara yang berasal dari dalil syara’ yang pertama yang diubah atau

dibatalkan oleh hukum dari dalil syara’ yang baru.44

40 Ibid.,

41 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 36.

42 J.Suyuti Pulungan, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar van houve, t.th) 189. 43 Idris, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010) 75.

(42)

33

Adapun yang dimaksud ilmu al-Na>sikh wa al-Mansu>kh adalah

ا

اَِنَعَ ُثَحبَيَىِذ لاَُملِعل

َِمَاَهَ يَبَُقيِفو تلاَُنِكَُُلَ ِِ لاَِةَضِراَعَ تُماَ ِثيِداَحآ

َِمكُلاَُثيَحَن

َاًخوُس َمََناَكَُُم دَقَ تَ َتَبَ ثاَمَفٌَخوُسَمَُ نَآِبَِرَخَآاَاَهِضعَبَىَلَعََوٌَخِساَنَُ نَآِبَاَهِضعَبَىَلَع

اًخِسَاَناَكَُُر خَآَتََتَبَ ثاَمَو

َ

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi yang berlawanan yang pada akhirnya terjadi saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang kemudian disebut Nasikh.

Untuk mengetahui Na>sikh dan Mansu>kh ini bisa melakukan

beberapa cara yaitu:

1. Dengan penjelasan dari nash atau syari’ sendiri, yang dalam hal ini

ialah Rasulullah SAW.

2. Dengan penjelasan dari para sahabat.

3. Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadis serta sabab wurud hadis.

Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan

mana yang datang kemudian.45

d. Metode Tawaqquf

Tawaqquf adalah memberhentikan atau mendiamkan. Metode ini

biasanya digunakan ketika tarjih tidak bisa menyelesaikan pertentangan

hadis. Abdul Mustaqim menyatakan bahwa sikap tawaqquf sebenarnya

tidak menyelesaikan masalah, melainkan membiarkan masalah tersebut

tanpa ada solusi yang tepat. Namun, biasanya para ulama menyelesaikan

(43)

34

pertentangan hadis tersebut sampai tahap ketiga sudah dapat

terselesaikan.46

C. Wudu

1. Pengertian Wudu

Wudu secara etimologi berasal dari shigat wad}u’a yaud}u’u wud}u>’an

wad}a>’atan yang artinya bersih. Menurut Wahbah al-Zuh}ayli> pengertian

al-Wud}u> adalah mempergunakan air pada anggota tubuh tertentu dengan

maksud untuk membersihkan atau mensucikan. Adapun menurut istilah wud}u>

adalah membersihkan anggota tubuh tertentu melalui suatu rangkaian

aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan kaki,

serta menyapu kepala.47

Wudu merupakan salah satu ibadah penting dalam agama Islam karena

menjadi syarat sah salat. Artinya, sebelum melaksanakan salat, umat muslim

diharuskan berwudu terlebih dahulu agar suci dari hadas kecil. bagi siapapun

yang akan melaksanakan salat diwajibkan untuk berwudu, yang fungsinya

untuk menghilangkan hadas kecil.48

Menurut hukum Islam wudu berpijak pada tiga dalil, yaitu:

a. Pada al-Qur’an

َْماَوَ ِقِفاَرَمْلاَ َلِإَْمُكَيِدْيَأَوَْمُكَوُجُوَاوُلِسْغاَفَِةل صلاَ َلِإَْمُتْمُقَاَذِإَاوَُمآََنيِذ لاَاَه يَأَاَي

َاوُحَس

َُكِسوُءُرِب

َْوَأٍَرَفَسَىَلَعَ ْوَأَىَضْرَمَْمُتُْكَْنِإَوَاوُر ه طاَفَاًبُُجَْمُتُْكَْنِإَوََِْْ بْعَكْلاَ َلِإَْمُكَلُجْرَأَوَْم

46 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis: Paradigma Interkoneksi berbagai Teori dan

Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Odea Press, 2009), 99.

47 Oan Hasanuddin, Mukjizat Berwudhu (Jakarta: Qultum Media, 2007), 15.

48 Abdul Syukur al-Azizi, Buku Lengkap Fiqh Wanita (Yogyakarta: DIVA Press, 2015),

(44)

35

ََسْماَفَاًب يَطَاًديِعَصَاوُم مَيَ تَ فًَءاَمَاوُدَََِْمَلَ فََءاَس لاَُمُتْسَملَْوَأَ ِطِئاَغْلاََنِمَْمُكِْمٌَدَحَأََءاَج

َاوُح

َِب

َُيِلَوَْمُكَر هَطُيِلَُديِرُيَْنِكَلَوٍَجَرَحَْنِمَْمُكْيَلَعََلَعْجَيِلَُ للاَُديِرُيَاَمَُِْمَْمُكيِدْيَأَوَْمُكِوُجُو

ََُتَمْعِنَ مِت

ََنوُرُكْشَتَْمُك لَعَلَْمُكْيَلَع

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya

bagimu, supaya kamu bersyukur.49

b. Pada Hadis

ََلَُ ت

َْقََب

َُلَ

ََص

ََل

َُةَ

ََمَْن

َََأ

َْح

ََد

ََث

َ

ََح

َ ّ

ََ يَََ ت

ََوََض

ََأ

Tidak diterima sholat orang yang berhadas sampai ia berwudhu.

Hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:50

ََلَُ ت

َْقََب

َُلَ

ََص

ََل

ََةََِب

ََغَِْي

ََ

َط

َُهَْو

ٍَر

ََوَ,

ََل

ََصَ

ََدََق

َُةَ

َِم

َْنَ

َُغَُل

َْوٍَل

Allah tidak akan menerima sholat tanpa bersuci dan tidak pula sedekah dari hasil menipu.

َِإََ ن

َُأَا

َِمَْر

َُت

ََِب

َُولا

َُض

َِءَو

ََِإ

ََذ

َُقَا

َْم

َُت

ََِإ

ََل

َ صلاَ

ََل

َِة

Sesungguhnya aku diperintahkan untuk berwudhu jika aku hendak sholat.

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id ra. Rasulullah bersabda:

49 Al-Qur’an dan Terjemah )QS: al-Maidah: 6).

(45)

36

َِمَْفَ

َت

َُحا

َ

َ صلا

ََل

َِةَ

َ طلا

َُه

َُرو

ََوَ,

ََتَ

ِرَََُُه

ََتلاَا

َْكَِب

َُي

ََوَ,

ََْتَِل

َْ يَُلََه

ََتلاَا

َْسَِل

َْيَُم

Kuncinya sholat adalah suci (dari hadas kecil dan besar), haramnya (melakukan larangan-larangan dalam sholat), adalah dimulai dari takbir dan halalnya (boleh melakukan larangan-larangan dalam sholat) adalah setelah melakukan salam.

c. Al-Ijma’

Telah sepakat kaum muslimin dengan keyakinan yang teguh sampai

sekarang atas pensyari’atan wudu yang merupakan tuntunan Rasulullah

dan bersifat d}aruriyah.51

Rukun wudu yang disepakati oleh para ulama berdasarkan nash

al-Qur’an itu ada empat macam, yaitu:

a. Membasuh wajah

b. Membasuh tangan sampai siku

c. Menyapu kepala, dan

d. Membasuh kaki sampai mata kaki.

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah rukun

wudu. Kalangan Malikiyah menyatakan bahwa rukun wudu itu ada tujuh,

yaitu empat seperti yang di atas ditambah dengan niat, dilakukan dengan terus

menerus (muwa>lat), dan menggosok seluruh anggota wudu. Shafi’iyah dan

Hanabilah menyatakan bahwa rukun wudu ada enam hanya ada penambahan

yang berbeda, Shafi’iyah menambahkannya dengan niat dan tertib.

(46)

37

Sedangkan Hanabilah dan Syi’ah Imamiyah tidak memasukkan niat tetapi

mereka menambahkan tertib dan dilakukan terus menerus (muwa>lat).52

Wudu mempunyai syarat yang sebagiannya merupakan

syarat-syarat ibadah lainnya. Adapun yang menjadi syarat-syarat sahnya wudu adalah:53

a. Islam

b. Berakal

c. Tamyi>z

d. Menggunakan air yang suci

e. Menghilangkan segala hal yang dapat menghalangi sampainya air ke

kulit.

Hal-hal yang membatalkan wudu adalah:54

a. Setiap sesuatu yang najis yang keluar dari badan seperti air kencing,

kotoran manusia, darah, muntahan, air madi dan lain-lain.

b. Tidur yang tidak tetap.

c. Menyentuh wanita yang halal dinikahi.

d. Menyentuh kemaluan.

e. Membawa jenazah.

f. Junub.

2. Perbedaan Pendapat mengenai Menyentuh Kemaluan

Dalam masalah menyentuh kemaluan, ulama berbeda pendapat yang

dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:55

52 Ibid., 30.

53 Abdul Syukur, Fiqh Wanita, 67.

54 Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab, Terj: Abdul Mujieb

(47)

38

a. Menyentuh kemaluan dengan cara apapun itu membatalkan wudu.

Pendapat ini dipegang oleh Shafi’i> dan para pengikutnya, Ahmad dan

Dawud.

b. Menyentuh kemaluan itu sama sekali tidak membatalkan wudu. Pendapat

ini dipegang oleh Abu Hanifah dan pengikutnya. Dua kelompok di atas

sama-sama mempunyai legitimasi pendapat di kalangan sahabat dan

tabiin.

c. Kelompok yang ketiga ini membedakan cara menyentuh kemaluan itu

terbagi menjadi beberapa pendapat, yaitu:56

1) Pendapat yang membedakan antara sentuhan yang terasa enak dan

tidak. Jika terasa nikmat membatalkan wudu dan jika sebaliknya

tidak membatalkan wudu.

2) Pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan telapak tangan

dengan lainnya. Jika menyentuh dengan telapak tangan maka

membatalkan wudu, dan jika tidak dengan telapak tangan maka tidak

membatalkan wudu. Dua pendapat di atas diriwayatkan dari Malik

dan murid-muridnya.

3) Pendapat yang membedakan antara sengaja dan lupa. Jika menyentuh

kemaluan secara sengaja dengan telapak tangan, maka itu

membatalkan wudu. Tetapi jika menyentuhnya karena lupa, maka itu

tidak membatalkan wudu.

55 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghozali Said (Jakarta: Pustaka Amani,

1995), 65.

(48)

39

Imam al-Nawawi sebagai mana dikutip oleh Zakiah Daradjat mengatakan

bahwa yang membatalkan wudu di antaranya adalah memegang kemaluan.

Namun tentang hal ini hukumnya masih diperselisihkan.57

Sedangkan imam al-Jaziri mengungkapkan bahwa bagian ketiga dari hal-hal

yang membatalkan wudu yang menyebabkan keluarnya sesuatu dari dua jalan

(kubul atau dubur) adalah menyentuh kemaluan dengan tangan, hukumnya

terdapat dua rincian yakni hal tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan yaitu

menyentuh kemaluannya sendiri atau milik orang lain. Jika ia menyentuh

kemaluan orang lain, ia berarti termasuk orang yang menyentuh, hukum yang

berlaku baginya adalah hukum-hukum menyentuh.58

Adapun jika ia menyentuh kemaluannya sendiri, dalam hal ini manusia tidak

akan merasakan nikmat dengan menyentuh sebagian badan atau tubuhnya sendiri.

Tetapi dalam hadis telah datang suatu penjelasan yang menunjukkan bahwa siapa

saja yang menyentuh kemaluannya wudunya menjadi batal. Dalam hadis yang lain

juga terdapat penjelasan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudu. Oleh

karena itu wajarlah jika terjadi perbedaan pendapat antar madhab.59

Teuku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy berpendapat bahwa dua hadis yang

bertentangan ini bisa dikompromikan, yaitu memandang bahwa suruhan

mengambil wudu yang dimaksudkan oleh hadis Busrah adalah suruhan sunnah,

bukan wajib. Karenanya menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudu. Yang

memb

Gambar

Tabel Urutan Periwayatan
Tabel Urutan Periwayatan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk menjelaskan masalah yang terjadi dalam diri subyek yang menyebabkan kurang percaya diri.. Penelitian

Berdasarkan Surat Penetapan Pelaksana Pengadaan Langsung Nomor Nomor : 050/10 PnL-5/8/A.AC.JK-259/409.108/2016, tanggal 4 Februari 2016, untuk Pekerjaan Jasa

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagi para peserta pengadaan penyedia pekerjaan konstruksi tersebut diatas diberikan kesempatan menyampaikan sanggahan (bila

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, perlindungan serta anugerah kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat

Komitmen negara untuk menjamin upaya perlindungan anak dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) yang

Mendengarkan suara-suara di sekitarnya Ingin tahu lebih dalam dengan benda yang dipegangnya (misal: cara membongkar, membanting, dll) Mengamati berbagai.. benda yang

PERMENDAGRI ini sebagai landasan operasional pelaksanaan pengarusutamaan gender pada Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan

Pemilihan dan penetapan penari merupakan salah satu hal terpenting dalam sebuah karya tari, karena lewat penari, penata tari dapat menyampaikan keinginannya dalam wujud