• Tidak ada hasil yang ditemukan

D 902008102 BAB VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D 902008102 BAB VIII"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Delapan

Dinamika Konflik antar

Dua Komunitas yang Tidak Memiliki

Hubungan Gandong di Kota Ambon

Pengantar

Pada bagian ini, penguraian tentang konflik Maluku akan dibagi dalam beberapa bagian. Pembagian ini semata-mata dimaksudkan agar kita dapat memperoleh pengetahuan yang utuh dan menyeluruh tentang dinamika konflik yang terjadi di kota Ambon.

Sudah tentu akan muncul penilaian-penilaian subjektif dari berbagai pihak tentang realitas konflik Maluku yang terjadi di Kota Ambon. Masing-masing pihak akan memberikan pembenaran terhadap argumentasi yang dikemukakan, sekalipun secara logika argumentasi-argumentasi tersebut belum tentu memiliki dasar yang kuat. Oleh sebab itu, selain data lapang yang diperoleh, beberapa kesimpulan dari sejumlah hasil penelitian, seminar dan publikasi yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak tentang konflik Maluku, dipandang cukup ber-manfaat untuk menggambarkan intensitas konflik, peran aktor dan lembaga, serta budaya lokal pada bagian ini.

Intensitas Konflik

(2)

keresahan, dan laporan lisan dan tulisan. Kategori kedua, disebut intensitas ‘sedang’, jika sudah terjadi tekanan dan ancaman. Ketegor ketiga, disebut intensitas ‘tinggi’, jika konflik disertai dengan kekerasan fisik, pengrusakan fasilitas bahkan menimbulkan korban jiwa dan harta benda.

Sebelum tanggal 19 Januari tahun 1999, telah terjadi sejumlah konflik kecil dan tidak terlalu masif sifatnya, intensitasnya masih rendah sehingga dapat diidentifikasi pola eskalasi dan bentuknya. Kasus perkelahian yang terjadi dalam pesta perkawinan tanggal 13 Desember 1998 di Dusun Wailete, Desa Hatiwe Besar, yang berakhir dengan pembakaran beberapa rumah orang Buton yang beragama Islam. Begitu pula dengan perkelahian antar dua warga berbeda agama di Dusun Air Bak [Desa Hatiwe Besar] pada tanggal 27 Desember 1998, diawali dari pelemparan ternak babi milik salah satu warga komunitas Kristen yang memasuki kebun salah satu warga komunitas Islam. Demikian halnya dengan konflik di kota Dobo Kabupaten Maluku Tenggara [sebelum dimekarkan sebagai Kabupaten Kepulauan Aru] pada tanggal 27 Desember 1998, antara etnis Bugis dan Makassar [Islam] dengan penduduk setempat [Kristen], dan kemudian terjadi lagi pada tanggal 14 Januari 19991

Berdasarkan sejumlah hasil penelitian lapangan terhadap kasus konflik Ambon diketahui bahwa gerak eskalasi konflik yang terjadi pada tanggal 19 Januari 1999 [tepatnya hari raya Idul Fitri], berawal dari peristiwa di tempat mangkal Mobil Angkot di Desa Batu Merah sehingga menimbulkan ‘keresahan’ di masyarakat.

. Dari gambaran ketiga kasus tersebut di atas, walaupun faktor penyebabnya berbeda-beda, namun dampak yang terjadi selalu sama yakni pengelompokan warga berdasarkan agama.

2

1Tonny D. Pariela, ‘Damai Di Tengah Konflik Maluku’, Disertasi untuk memperoleh

gelar Doktor pada Program Studi, Studi Pembangunan, Program Pascasarjana UKSW-Salatiga, 1998.hal. 84.

2 Lihat Sri Yanuarti, dkk, “Konflik di Maluku Tengah”, Penyebab, Karakteristik, dan

Penyelesaian Jangka Panjang. LIPI- Jakarta, 2003. Lihat juga Tonny D Pariela, “Damai Ditengah Konflik Maluku”, Disertasi, 2008.

(3)

fisik berupa tindakan pembakaran rumah-rumah penduduk di berbagai tempat di kota Ambon. Hal ini dapat terjadi karena saat itu pemerintah dan aparat keamanan kurang cepat tanggap mengakibatkan eskalasi konflik dengan cepat meningkat. Di samping itu, terjadinya lompatan eskalasi karena adanya provokator yang berperan secara signifikan dengan cara menebarkan isu-isu yang sangat memprovokatif warga pada masing-masing komunitas3

Cikal bakal dari munculnya kejadian-kejadian seperti itu, maka warga masyarakat dari masing-masing komunitas mulai melakukan organisasi diri dengan melakukan rapat yang berlangsung berulang kali. Rapat-rapat warga kemudian lebih fokus diarahkan untuk upaya pengamanan diri, dengan merencanakan bagaimana mengamankan masing-masing komunitas mulai dari merencanakan mekanisme pengamanan warga, serta melakukan pembagian tugas

.

4

Pada sejumlah kejadian konflik tanggal 19 Januari tahun 1999, tingkat intensitas tertinggi berbentuk pengrusakan fasilitas, penghan-curan pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban jiwa

. Hal ini meng-gambarkan bahwa eskalasi konflik telah menjadi gerakan yang ter-struktur sifatnya dan dijadikan agenda warga pada masing-masing komunitas.

5

3 Hasil wawancara tanggal 20 pebruari 2010 dengan FW, 37 tahun, [Kristen] dan IW,

42 tahun [Islam].

4 Pembagian tugas ini bervariasi, ada yang bertugas sebagai pemberi informasi, sebagai

pengumpul massa, korlap, logistik serta kegiatan lain yang diperlukan [hasil wawan-cara tanggal 11 Maret 2010 dengan FW, 37 tahun, Kristen; dan IW, 42 tahun, Islam].

5 Hasil wawancara mendalam dengan dua orang informan yang dilakukan ditempat

berbeda pada bulan Nopember 2009. Iinforman pertama berinisial LU, 43 tahun [Islam] menuturkan bahwa Istri dan dua orang anaknya meninggal di Terminal Pelita pada kejadian konflik tanggal 20 Januari tahun 2009. Informan kedua yakni WS, 52 tahun [Kristen], menuturkan bahwa pada saat mereka diserang oleh massa dari Leihitu, selain pemukiman penduduk Dusun hancur berantakan, salah seorang anaknya juga meninggal.

(4)

Kepanik-an warga komunitas yKepanik-ang terjadi saat itu mengindikasikKepanik-an bahwa kedua komunitas masih sangat sensitif terhadap berbagai isu dan infor-masi. Mereka cepat berkumpul di jalan-jalan dan membangun barikade jalan6

Situasi kota Ambon pada malam hari masih sepi dan mencekam. Meskipun saat itu tidak diberlakukan jam malam, namun warga kedua komunitas umumnya masih merasa takut keluar rumah. Hampir di setiap sudut terjadi penjagaan dan jika ada orang yang tidak dikenal memasuki suatu wilayah, pasti diperiksa warga setempat. Keadaan di kota Ambon yang sudah mulai tenang dan berbagai aktivitas mulai normal, pada hari rabu malam tanggal 10 pebruari kembali mencekam setelah sebuah bom molotov dilemparkan oleh orang tidak dikenal, nyaris menghanguskan sebuah sekolah dan rumah penduduk di Batu Merah Dalam. Menurut salah seorang informan [MK, 37 tahun, Islam] bahwa, saat itu aparat keamanan yang bertugas tidak jauh dari lokasi itu mencurigai bom itu sengaja diledakkan orang yang tak jauh dari bangunan sekolah tersebut dengan tujuan memancing seolah-olah diserang. Karena itu, Brimob dan Kostrad segera memblokir lokasi dan sempat melepaskan tembakan beberapa kali sehingga membuat warga

.

Dua minggu sejak terjadinya konflik tanggal 19 Januari, upaya damai yang dilakukan berbagai pihak tampaknya belum cukup efektif mengobati kesedihan warga kedua komunitas yang menjadi korban konflik. Pasar Mardika, Pasar Gambus, sebagian pertokoan Pelita, rumah penduduk di kawasan Batu Gantung-Waringin, Dusun Benteng Karang dan Telaga Kodok, habis terbakar. Coretan-coretan di dinding tembok yang bernada provokasi, meski sudah dua minggu konflik berlalu, di beberapa tempat masih tampak mencolok. Harian Kompas, Kamis 4 Pebruari melaporkan bahwa, tulisan-tulisan itu yang bernada menghujat agama, atau mengagungkan agama tertentu atau menunjuk-kan eksklusivitas kawasan, bisa memperlambat pemulihan emosional massa.

6 Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2010 dengan HS, 49 tahun [Kristen] dan IS, 51

(5)

kota Ambon kembali dilanda ketakutan dan kecemasan.7

Hingga akhir bulan Pebruari, situasi keamanan di kota Ambon kembali tenang, namun petugas keamanan masih tampak berjaga-jaga terutama pada titik-titik yang rawan. Namun pada awal bulan Maret, informasi tentang kasus penembakan warga saat sembahyang di Masjid Muhajirin di Ambon yang terlanjur diblouw-up oleh media cetak dan elektronik tanpa memahami realitas yang terjadi sesungguhnya menga-kibatkan munculnya emosi dari warga komunitas Islam. Informasi yang diperoleh dari salah satu informan [IW, 42 tahun, Islam] bahwa, yang terjadi sesungguhnya adalah serangan sekelompok warga komu-nitas Kristen dari Dusun Kolan Ahuru ke warga komukomu-nitas Islam di Dusun Rinjani pada hari Senin tanggal 1 Maret 1999 sekitar jam 05.30. Saat itu, warga yang meninggal dibawa ke Masjid Muhajirin.

Suasana tenang segera berubah tegang dan panik ketika beberapa buah bom diledakkan tanggal 23 Pebruari, mengobarkan saling curiga antar kelompok.

8 Karena

itu, pada tanggal 3 Maret 1999 Kepala Dinas Penerangan Mabes POLRI membantah secara keras terhadap informasi tersebut.9

Beta [saya] paling [sangat] menyesal dan sangat mengharapkan agar konflik ini katorang [kita] harus tinggalkan dan katorang orang Maluku harus kembali ke akar budaya yang selama ini dijunjung tinggi. Senada dengan itu, informan lain [BH, 57 tahun, Kristen] menuturkan bahwa konflik yang terjadi di kota Ambon saat ini dinilainya sangat tidak manusiawi dan sangat

Terlepas dari itu, kenyataan tersebut mengakibatkan situasi keamanan di kota Ambon kembali mencekam.

Mencermati realitas korban jiwa yang berjatuhan pada setiap terjadinya kontak fisik antar warga kedua komunitas, salah seorang informan [MS, 43 tahun, Islam] mengatakan bahwa konflik yang terja-di terja-di kota Ambon saat ini, Salam deng Sarane [warga kedua komunitas] tidak memandang siapa pun, apakah wanita, orang tua maupun anak-anak. Lebih lanjut dikatakan bahwa:

7 Harian Suara Pembaruan, 11 Pebruari 1999.

(6)

sadis. Kehidupan bersama antar warga kedua komunitas sudah hancur, hanya karena ulah segelintir orang. Akibatnya, timbul saling curiga, saling baku jaga, saling baku bunuh [membunuh] dan saling baku bakar [membakar].

Setelah situasi keamanan di kota Ambon mulai terkendali, Pusat Rujuk Sosial bentukan PEMDA yang didukung oleh beberapa orang warga dari kedua komunitas mulai menggagas dilakukan perdamaian. Gagasan tersebut terwujud dalam bentuk perjalanan Obor Perdamaian dari kota Masohi [Ibu kota Kabupaten Maluku Tengah] dan menying-gahi pulau Saparua dan pulau Haruku, kemudian pada tanggal 12 Mei 1999 menuju ke kota Ambon. Setibanya di kota Ambon dilanjutkan dengan pembacaan ikrar perdamaian oleh perwakilan dari kedua komunitas. Harian Suara Maluku edisi Sabtu 15 Mei 1999 melaporkan bahwa, tiga hari setelah dilakukan ikrar perdamaian, konflik kembali terjadi di kota Ambon bertepatan dengan upacara likuidasi Korem 174/Pattimura menjadi Kodam XVI/Pattimura, mengakibatkan tujuh orang meninggal, dua puluh orang mengalami luka-luka terkena tem-bakan aparat keamanan, beberapa buah mobil dirusakkan dan sejumlah rumah juga dibakar masa.

(7)

penduduk terbakar habis.10

Suasana tenang yang sudah tercipta di pusat kota Ambon dan sekitarnya, Senin tanggal 20 September kembali ternoda oleh terjadi-nya konflik antar kelompok di Dusun Rinjani, Desa Ahuru yang meng-akibatkan lima orang meninggal dan empat puluh orang warga menga-lami luka-luka

Memasuki bulan September, selain terjadi pertikaian antar kelompok di Dusun Wailawa, Desa Laha, kecamatan Teluk Ambon Baguala [tanggal 1], juga terjadi penyerangan dari komu-nitas Islam terhadap warga komukomu-nitas Kristen di Tantui [tanggal 3], dan di pusat kota [tanggal 10].

11. Di samping itu, terjadi penyerangan dari kelompok

massa Islam dari Galunggung dan Kebun Cengkeh terhadap warga komunitas Kristen di Desa Hative Kecil [tanggal 28] mengakibatkan sembilan orang mengalami luka-luka.12

Pada awal bulan Oktober konflik antar kedua kelompok bergolak kembali dan terjadi di empat lokasi berbeda di kota Ambon, yakni di Ahuru, kecamatan Sirimau serta di Desa Tawiri dan Laha, kecamatan Teluk Ambon Baguala, pada hari Selasa tanggal 5 Oktober. Selain kawasan Ahuru dan Desa Tawiri-Laha ikut bergolak pula kawasan Batu Merah, kecamatan Sirimau dan Benteng Atas, kecamatan Nusaniwe. Berita yang dirilis oleh salah satu media lokal

13

10 Harian Suara Maluku, Jumat 20 Agustus 1999.

11 Hasil Wawancara Mendalam dengan SS, 57 Tahun, Kristen.

12 Hasil Wawancara Mendalam dengan OS, 58 Tahun, Kristen. Lihat pula Harian Suara

Maluku, tanggal 2, 4, 21 dan 29 September 1999.

13 Harian Suara Maluku, Rabu 6 Oktober 1999.

(8)

tembakan aparat selalu terdengar pada malam hari. Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan [LW, 31 tahun, Kristen] bahwa:

Ketenangan tersebut serentak ternoda ketika terjadinya tindakan saling menyerang antar warga kedua komunitas pada tanggal 21 Desember 1999 di pusat kota [Tugu Trikora], dan kejadian tersebut bertahan hingga akhir bulan Desember.

Senada dengan itu informan yang lain [ML, 41 tahun, Islam] menutur-kan bahwa:

Akibat yang muncul dari kejadian tersebut adalah bangunan gedung Gereja Silo [pada tanggal 26 Desember] dan Mesjid Annur [pada tanggal 27 Desember] habis terbakar serta jatuhnya korban jiwa dari warga kedua komunitas dan aparat keamanan, baik meninggal maupun yang mengalami luka terkena serpihan bom rakitan maupun tembakan aparat14

Selama tahun 1999, konflik Maluku sudah menyebar dengan begitu cepat hampir pada seluruh kepulauan di Maluku [seperti di pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram, pulau Buru, kepulauan Kei dan lainnya]. Memasuki tahun 2000, stabilitas keamanan di kota Ambon relatif terkendali, namun belum menjamin untuk berlangsungnya aktivitas masyarakat dan tugas-tugas pemerintahan baik Kota maupun Provinsi dapat berjalan secara baik. Kedua komunitas masih diselimuti dengan rasa takut untuk berada di ruang-ruang publik, karena penga-laman yang dialami selama konflik terjadi. Warga kedua komunitas merasakan dampak berantai, kait-mengkait antara dampak yang satu dengan dampak yang lain sehingga masalah yang datang silih berganti seakan tidak habisnya. Keamanan dan ketentraman ibarat barang mewah bagi warga kedua komunitas yang sangat sulit diprediksi. Hasil penelitian yang dilakukan Tomagola, dkk [2007] menunjukkan bahwa, konsekwensi selanjutnya kehidupan 209.303 warga kota berada dalam situasi tidak menentu. Korban jiwa dan kerusakan infrastruktur fisik

.

14 Mengenai terbakarnya bangunan Gedung Gereja Silo dan Mesjid Annur, lihat pula

(9)

sangat luar biasa.15

Setelah situasi stabilitas keamanan di kota Ambon berangsur-angsur pulih, pada tanggal 26 April tahun 2000 muncul inisiatif rekonsiliasi sekelompok pemuda Kristen dari Kudamati dan pemuda Islam dari Waihaong dan Batu Merah Atas [Galunggung] dengan menggelar acara “makan patita bersama.” Usai acara tersebut, dengan menggunakan kenderaan roda dua dan empat mereka berpawai menge-lilingi kota Ambon sebagai luapan kegembiraan kedua kelompok pemuda yang selama ini terlibat langsung dalam konflik di Ambon. Luapan kegembiraan tersebut sempat menggugah hati warga, khusus-nya para pengemudi becak. Sayangkhusus-nya, keikutsertaan peserta peng-gembira ini akibatnya pun fatal. Mereka terputus dari iring-iringan kenderaan bermotor dan berbuntut pengeroyokan dan penyanderaan terhadap 10 orang warga komunitas Kristen oleh komunitas Islam di Waihaong. Akibatnya, dari 10 orang yang disandera tersebut, satu orang warga ditemukan meninggal, lima orang berhasil kembali dengan selamat karena diloloskan oleh warga komunitas Islam yang pro perdamaian, sementara satu dari empat orang lain dua hari kemudian ditemukan di tepi pantai dan telah meninggal. Sedangkan tiga orang lain tidak diketahui keberadaannya.

Jalur transportasi, khususnya jalan raya bahkan sempat terputus sesuai segregasi wilayah pemukiman. Jalur melalui laut dan jalan setapak pegunungan menjadi pilihan mobilitas penduduk untuk berbagai keperluan yang berakibat pada pembiayaan semakin tinggi.

16

Di tengah situasi kota Ambon mulai kondusif, konflik antar warga kedua komunitas kembali terjadi tanggal 30 April tepatnya di kawasan perbatasan antara Batu Merah dengan Mardika. Tidak dike-tahui secara pasti faktor penyebabnya. Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan [ML, 41 tahun, Islam] menuturkan bahwa, insiden tersebut mengakibatkan ketegangan melanda seluruh pusat

15 Mengenai jumlah kerusakan sarana dan prasarana sosial, ekonomi, dan kebudayaan

dapat dilihat dalam R.Z. Leirissa, dkk., Ambonku: Doeloe, Kini, Esok, Pemerintah Kota Ambon, 2004.

(10)

Kota. Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Suara Maluku, edisi Senin 1 Maret bahwa, untuk mengendalikan situasi maka sejak pukul 24.00 WIT Pangdam XVI Pattimura memajukan pembatasan keluar malam yang sebelumnya hingga jam 22.00 WIT dimajukan menjadi jam 21.00 WIT.

Menurut pengakuan informan [ML, 41 tahun, Islam] bahwa, ketika situasi keamanan sudah dapat dikendalikan, satu hari sejak kejadian tersebut, isu yang berkembang di masyarakat bahwa akan ada “kerusuhan” lagi tanggal 16 Mei. Isu tersebut ternyata benar, pada tanggal 16 Mei kawasan tersebut kembali dilanda konflik antar warga kedua komunitas, mengakibatkan jatuhnya korbanjiwa. Senada dengan itu, informan [LW, 31 tahun, Kristen] mengatakan bahwa:

Sekalipun saat itu aparat keamanan dari beberapa kesatuan termasuk menggunakan panser sudah memblokade jalan untuk menghalau masa kedua komunitas, namun para perusuh komu-nitas Islam dari Batu Merah memaksa masuk kemudian mem-bakar rumah-rumah warga komunitas Kristen yang letaknya di belakang Hotel Wijaya Dua.

Kedatangan Lasykar Jihad [LJ] di kota Ambon pada tanggal 5 Mei, nampaknya membangkitkan semangat militansi dari komunitas Islam lokal. Karena itu, informan [LW, 31 tahun, Kristen] yang diwawancarai mengatakan bahwa:

Pada hari Rabu dan Kamis tanggal 17 dan 18 Mei aksi penye-rangan kembali dilakukan oleh komunitas Islam dari Galung-gung kemudian membakar dua buah gedung Gereja [Gereja Petra dan Gereja Santo Yakobus] di Kelurahan Ahuru-Karang Panjang sehingga mengakibatkan keluarganya bersama-sama dengan warga komunitas Kristen di sekitarnya harus mengungsi ke kantor Kanwil XVI Dirjen Anggaran dan kantor Tata Usaha Negara Ambon.17

Harian Suara Maluku, Jumat 19 Mei melaporkan bahwa, aksi Lasykar Jihad yang bergabung dengan sebagian kelompok Muslim, sejak hari Selasa hingga Kamis sore [16-18 Mei] membuat kota Ambon

(11)

membara, asap mengepul, arus pengungsi, dentuman bom rakitan dan ledakan granat terjadi di beberapa kawasan khususnya di Ahuru-Kelurahan Waihoka, Mardika, Paradise Tengah dan Pohon Pule. Disesali oleh warga, bahwa di kelurahan Waihoka tersebut ada pos keamanan Zipur V Brawijaya dan Yanif 303 Garut Kostrad. Ternyata perusuh tidak dihalau sehingga mampu membakar jauh ke kawasan Kristen hingga sekitar daerah Wisma Gonsalo.

Penyesalan warga terhadap sikap netralitas aparat keamanan diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa oleh puluhan Perempuan Ahuru melalui penyampaian pernyataan sikap yang disampaikan kepada Gubernur di kantor Gubernur Maluku, tanggal 18 Mei 2000. Sebagai-mana diberitakan oleh Harian Siwalima tanggal 25 Mei 2000 bahwa, alasan mendasar disampaikan tuntutan tersebut karena mereka menilai kedatangan LJ menyimpang sangat jauh dari misi awal seperti yang dikatakan Gubernur.18

Situasi keamanan meski mulai terkendali, namun insiden masih terus terjadi. Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan [SS,57 tahun, Kristen] bahwa pada tanggal 12 Juni, LJ dan komunitas Islam menyerang komunitas Kristen di Desa Galala dan Hative Kecil serta Desa Poka. Harian Suara Maluku terbitan tanggal 13 dan 22 Juni melaporkan bahwa, selang beberapa hari kemudian, LJ dan komunitas Islam kembali menyerang komunitas Kristen di Tantui-Kelurahan Pandan Kasturi kemudian membakar habis Asrama Polisi dan mem-bobol gudang senjata, mengakibatkan 5 orang meninggal, termasuk

Realitas di lapangan menunjukkan LJ datang untuk membakar, membunuh, dan menjarah. Menurut pernyataan salah seorang informan [LW, 31 tahun, Kristen] bahwa:

Beta dengan basudara Kristen yang diserang [di Ahuru] melihat dorang [LJ] langsung saat menyerang katorang [kami] dengan menggunakan senajat otomatis [organik]. LJ juga dibantu oleh tentara [aparat keamanan] dari Yonif 303/Kostrad dan Zipur yang sebelumnya bertugas jaga katorang di sini [di kawasan Ahuru].

18 Sebelumnya, Gubernur menyatakan Lasykar Jihad datang untuk dakwah dan misi

(12)

Wakil Komandan Satuan [Wadansat] Brimob Polda Maluku, Mayor Pol. Edy Susanto. Penyerangan tersebut menyebabkan munculnya ketegangan pada beberapa kawasan dipusat kota seperi di Urumesing, Diponegoro, Trikora, Pohon Pule, perbatasan Batu Merah-Mardika dan beberapa kawasan perbatasan yang rawan konflik.

Gedung-gedung di Kota Ambon yang terbakar Sumber: diunggah tgl 10 Juli 2011.

Jalan Pattimura Ambon yang di Barikade Massa

Sumber

(13)

Intensitas dan eskalasi konflik yang tinggi di kota Ambon mengakibatkan lumpuhnya aktivitas perkantoran seperti yang dialami oleh pemerintah Kota dan Provinsi, baik pada level individu, kelompok maupun pada level kelembagaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tomagola, dkk [2007] menunjukkan bahwa, pada level individu, dengan alasan keamanan dan keselamatan, banyak staf pegawai negeri sipil [PNS] di kantor pemerintah yang tidak menunaikan kewajibannya berkantor. Situasi ini dipersulit karena kawasan kantor Walikota [khususnya] merupakan pusat pertempuran dan sasaran dari aksi-aksi penembakan gelap [sniper], sementara tidak terdapat jalur alternatif untuk meloloskan diri dari mara-bahaya jika pertempuran tiba. Pada level kelompok, konflik memeiliki dampak psikologis tersendiri. Secara ideal kantor Walikota [dan kantor Gubernur] adalah wilayah netral, tempat dimana interaksi antar kelompok bisa berlangsung. Namun kenyataannya, hal ini tidak terwujud sepenuhnya. Psikologis konflik yang mendalam telah menggiring masing-masing PNS untuk menge-lompokkan diri berdasarkan kesamaan agama. Pada level kelembagaan, tidak hanya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang merosot drastis, tetapi seluruh bangunan dasar kerja birokrasi ala Weberian dalam melayani masyarakat runtuh. Pelayanan publik berjalan mengi-kuti alur segregasi masyarakat.

(14)

curiga dan ketidakpercayaan timbal-balik [mutual distrush] antar komunitas sangat terasa, sejalan dengan masih terjadinya konflik kekerasan di kota Ambon. Saat itu, kepercayaan terhadap pemerintah juga rendah19

19 Mengenai hal ini, lihat Tomagola, dkk [2007]. Menurut mereka, kedua komunitas

sama-sama menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama diskriminasi.

. Masyarakat selalu apriori terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai berlarut-larut untuk menghentikan konflik yang telah berlangsung selama ini.

Hingga bulan Desember 2000 dan sepanjang tahun 2001, konflik masih terus berlangsung di berbagai tempat di kota Ambon maupun pada beberapa wilayah lain di provinsi Maluku. Intensitas dan eskalasi konflik mulai menurun ketika Batalyon Gabungan [Yongab] yang di-datangkan dari Jakarta kemudian mulai melaksanakan tugasnya secara serius, baik untuk melakukan sweeping berbagai senjata organik dari warga kedua komunitas, kemudian melakukan penyergapan Lasykar Jihad di beberapa tempat, maupun melakukan penangkapan terhadap aparat keamanan TNI dan POLRI yang diduga kuat terlibat dalam konflik Maluku di Hotel Wijaya II Ambon. Di samping itu, dengan bantuan satuan-satuan TNI dan POLRI lainnya Yongab melakukan operasi lapangan untuk menangkap sniper yang biasanya berkeliaran dan menembak warga di kota Ambon.

Sejak saat itu, situasi di kota Ambon berangsur-angsur mulai terkendali hingga bulan April 2002 pasca pertemuan Maluku di Malino, 12 Pebruari 2002. Kesepakatan yang difasilitasi pemerintah ini, tidak serta-merta mengakhiri konflik dan meruntuhkan sekat-sekat segregasi antar masyarakat. Tetapi paling tidak, kesepakatan tersebut sangat fungsional sebagai dasar [starting point] bagi semua pihak dalam mengupayakan proses rekonsiliasi [Tomagola, dkk, 2007].

(15)

Peran Aktor dan Lembaga

Konflik yang terjadi tanggal 19 dan 20 Januari 1999 tidak luput dari peran pemerintah [aparat keamanan] dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Sebagaimana dilaporkan oleh salah satu media cetak nasional [Merdeka, tanggal 19 Pebruari 1999] bahwa, ada oknom polisi dan seorang tamtama Angkatan Darat yang terlibat dalam kerusuhan yang terjadi 19-20 Januari lalu. Hal ini dibenarkan oleh KapolDa Maluku [Kol Karyono Soemadinoto] dan Pangdam VIII Trikora [Mayjen Amir Sembiring].

Dari intensitas dan eskalasi konflik yang berkembang saat itu teridentifikasi dengan jelas adanya kecenderungan bahwa konflik Maluku di kota Ambon berfluktuasi pada saat terlibatnya sejumlah aparat keamanan. Secara umum, tekanan komunitas terhadap keter-libatan sejumlah aparat keamanan cenderung menguat saat sikap keberpihakan mereka terhadap salah satu komunitas muncul secara jelas. Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Suara Pembaruan edisi Sabtu 27 Pebruari 1999 bahwa, sejak tanggal 19 Januari hingga akhir Pebruari, konflik yang terjadi telah menelan banyak korban jiwa dise-babkan akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur.

(16)

tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda serta pimpinan paguyub-an menpaguyub-andatpaguyub-angpaguyub-ani “ikrar perdamaipaguyub-an20” sekaligus dibacakan oleh tiga

orang tokoh pemuda,21 dan disaksikan oleh masyarakat serta para

petinggi militer.22

Pada saat itu, peralihan antar tahap banyak terjadi perubahan yang umumnya membawa dampak yang sangat dirasakan tidak menguntungkan upaya penghentian konflik. Pada tanggal 15 Mei 1999 bertepatan dengan perayaan hari Pattimura, dilakukan Likuidasi Korem 174/Pattimura dan Peresmian Kodam XVI Pattimura yang diwarnai dengan terjadinya konflik antar warga kedua komunitas sehingga menewaskan sejumlah korban jiwa. Harian Suara Pembaruan edisi 5 Juli 1999 melaporkan bahwa, 16 orang tersangka [seluruhnya anggota TNI dimana 7 orang dari Yonif 733 dan 9 orang dari Rindam Pattimura] yang menembak warga pada peristiwa tanggal 15 Mei 1999.

20 Ikrar perdamaian tersebut: [1] bahwa bencana sosial yang terjadi di kota Ambon dan

beberapa tempat lain di wilayah Maluku, merupakan tragedi kemanusiaan yang telah menghancurkan harkat dan martabat kemanusiaan kita sebagai ciptaan Tuhan. Tragedi tersebut telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; [2] sebgai insan beriman dan bertakwa, kami sungguh-sungguh menyesali semua pengalaman pahit yang memilukan itu dan bertekad untuk membangun kembali hubungan-hubungan kemanusiaanbaru yang dimotivasi dengan rasa cinta sesama, saling menghargai dan menghormati dan dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kekeluargaan dan persaudaraan; [3] bahwa tekad dan akad untuk membangun hubungan kemanusiaan baru dalam suasana yang penuh damai, meng-haruskan kita untuk dengan sadar mengakhiri semua bentuk konflik dan kekerasan, menghilangkan segala bentuk rasa kecurigaan, dendam, kebencian dan permusuhan dengan terus mengupayakan cara-cara dami yang dialogis dalam menangani masalah-masalah yang belum terselesaikan; [4] menghargai kebhinekaan, baik agama, suku bangsa, tradisi, adat-istiadat serta terus berupaya menggalang dan mempererat tali persaudaraan dan kesatuan bangsa yang dijiwai oleh semangat dan wawasan kebang-saan; [5] mendukung sepenuhnya upaya semua pihak dalam penyelesaiaan tuntas dan menyeluruh semua masalah yang belum selesai dengan tetap menjunjung azas ke-adilan, penegakan hukum dan kemanusiaan; [6] mengharapkan aparat keamanan untuk mengungkapkan dengan terbuka kepada masyarakat para provokator dan mengadilinya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku; [7] menin-dak tegas siapa saja yang dengan sengaja atau timenin-dak sengaja melanggar ikrar perdamaian ini, berdasar-kan hukum adat dan atau hukum negara.

21 Husein Tuasikal, SH [Remaja Mesjid], Pdt Perry Nahusona [Angkatan Muda Gereja],

dan FR Simon Petrus Matruty [Pemuda Paroki Keuskupan Amboina].

22 Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto, Kepala Staf TNI AL Laksamana

(17)

Sudah berulang kali ditegaskan oleh Pangdam XVI/Pattimura [Brigjen M Tamaela] maupun KapolDa Maluku [Kol.Pol. Drs Bugis M Saman], bahwa kelompok manapun dan siapa pun orangnya yang menyerang kelompok lain lebih dulu, maka aparat akan menindak tegas dengan cara menembak di tempat. Kenyataannya, penegasan tersebut dinilai tidak serius untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut terbukti ketika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Islam terhadap warga Desa Hative Kecil dan warga Desa Tawiri tanggal 16-17 Agustus 1999, tanpa dicegah oleh aparat. Harian Suara Maluku edisi Kamis 19, 20 dan Sabtu 21 Agustus 1999 melapor-kan bahwa, lucunya, kelompok yang menyerang dibiarmelapor-kan begitu saja, tetapi malah kelompok yang diserang yang terkena berondongan peluru aparat keamanan. Pada saat yang bersamaan tiga orang pemuda dari komunitas Kristen ditembak oleh tiga orang aparat Den Zipur V di Rumah Tiga mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Di samping itu, 15 orang anggota Kostrad 413 dilaporkan ditahan untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku, atas pelanggaran dalam pelaksanaan tugas

Ketika terjadi insiden antar kedua kelompok di Ahuru [Karpan-Ambon] pada hari Senin 20 Sepember 1999, dilaporkan oleh Harian Suara Maluku edisi Jumat 24 September 1999 bahwa aparat keamanan dari kesatuan Zeni Konstruksi [Zikon] XII Sriwijaya membagi-bagikan peluru [amunisi] dari magazin kepada kelompok massa tertentu. Salah seorang wartawan yang memantau langsung kejadian tersebut mengatakan bahwa ia sendiri melihat dengan jelas ada oknom aparat yang memimpin massa satu kelompok untuk menyerang kelompok yang lain. Senada dengan itu, salah seorang informan kunci [LA, 32 thn, Kristen]23

Keberpihakan itu membuat kelompok massa Islam begitu bebas bakar katong [kami] punya rumah-rumah di RT 02/16 dan RT 03/16 di Ahuru. Aparat Zikon bergabung [menyatu] dengan kelompok Islam untuk melakukan penyerangan. Aparat mele-paskan tembakan katong punya rumah-rumah kemudian

menuturkan bahwa:

23 Informan adalah salah seorang warga RT 02/16. Mengaku dengan jujur bahwa ia

(18)

sukinya untuk mencari senjata tajam yang biasaya katong pakai [gunakan] untuk menjaga [mempertahankan] diri, sementara massaIslam ikut dari belakang dan membakar rumah.

Ketidakpercayaan warga terhadap netralitas sikap aparat keamanan semakin terbukti, ketika tiga orang aparat TNI memimpin sekelompk massa Islam untuk membakar rumah penduduk di Desa Halong. Salah seorang informan [IT,43 tahun, Kristen, pemilik salah satu rumah yang dibakar] ketika diwawancarai menuturkan bahwa:

Pada tanggal 10 Oktober ia ditodong dengan senjata oleh salah seorang aparat keamanan TNI-AL di depan rumahnya, kemu-dian ia mengatakan “kenapa menodong saya yang perempuan ini”. Aparat tersebut kemudian mengatakan bahwa, “saya sudah kenal muka, kalau mengungsi di kompleks AL Halong, saya bunuh kasi mati. “Tunggu waktunya dan bukan sekarang”, sementara salah seorang aparat lainnya langsung menyuruh warga komunitas Islam membakar rumah miliknya dan salah satu rumah lainnya yang berdekatan”.

Realitas ini juga dilaporkan oleh Harian Suara Maluku edisi Senin 11 Oktober 1999 bahwa, pada tanggal 10 Oktober, tiga oknum TNI [dua orang AL Halong yakni Pratu SS dan Serda SP dan satu orang dari AD Yonif 733/BS] memimpin sekitar 30 orang warga massa Islam kemudian membakar tiga buah rumah warga di RT 011/RW 12 Desa Halong. Dalam kejadian tersebut masa yang ikut ketiga orang aparat TNI tersebut ngotot karena cuma tiga rumah saja yang dibakar. Baik Pratu SS maupun Serda SP mengatakan uda-uda, biar aja. Inikan programnya sedang jalan, tunggu aja waktunya, tunggu aja tanggal mainnya. Bukan waktu sekarang.”

Sementara itu, sebagian warga kota mengaku kecewa atas sikap dan perilaku aparat keamanan yang menggunakan kendaraan lapis baja [Panser] untuk menghentikan konflik yang terjadi pada bulan Mei tahun 2000. Salah seorang informan [IH, 33 tahun, Kristen] menu-turkan bahwa:

(19)

menembak katorang [kita], untung katorang lari bersembunyi di bagian belakang gedung Gereja”.

Terhadap kejadian tersebut, Harian Siwalima edisi Sabtu 20 Mei 2000 melaporkan bahwa, ketakutan warga kian bertambah pada Jumat [19 Mei] siang. Saat meliwati depan gedung Gereja Betlehem, Panser langsung mengarahkan tembakan otomatnya kepada sejumlah warga yang saat itu sedang berjaga-jaga di halaman gedung Gereja. Bukan itu saja, namun ketika menemukan warga yang terkena tembakan dari sniper, langsung diangkat kedalamnya kemudian dibawa ke arah yang tidak tahu tujuannya. Sinyalemen adanya keterlibatan aparat [TNI-POLRI] dalam melanggengkan konflik di Ambon, ternyata bukan Cuma isapan jempol. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Kawasan [PSPK] bulan Maret-April tahun 2000 menye-but adanya sejumlah data lapangan yang memperkuat sinyalemen tersebut. Penjelasan ketua PSPK [La Ode Ide] sebagaimana yang dila-porkan Harian Siwa Lima edisi Sabtu 10 Juni 2000 bahwa, salah satu temuan data lapangan menunjukkan adanya keterlibatan sejumlah oknom aparat keamanan [TNI-POLRI] secara person, namun tidak tertutup kemungkinan secara terstruktur.

Di samping itu, beda persepsi tentang kehadiran Lasykar Jihad saat itu menjadi polemik dalam masyarakat. Ada sebagian warga yang pesimis, namun ada juga sebagian yang optimis. Pernyataan salah seorang Anggota DPRD Maluku [Rachman Holle] sebagaimana dila-porkan Harian Suara Maluku edisi 10 dan 12 Mei 2000 bahwa, keha-diran LJ ke Ambon adalah memberikan kontribusi untuk mengurangi sikap agitasi dari segelintir kelompok dalam kota Ambon khususnya dan Maluku pada umumnya. Ia menambahkan bahwa, dengan keha-diran LJ akan memberi nilai tambah dalam rangka proses rekonsiliasi. Sementara itu, Ketua DPRD Maluku [Etty Sahuburua] saat itu menye-salkan tindakan pemerintah pusat, yang seolah-olah membiarkan LJ datang ke Ambon.

(20)

pada umumnya. Salah seorang informan [LA, 32 tahun, Kristen] mengatakan bahwa:

Pada saat terjadi kontak antar warga kedua komunitas di sejumlah wilayah di kota Ambon, ia melihat secara jelas masa Islam bergabung dengan anggota LJ kemudian melakukan penyerangan kepada warga komunitas Kristen. Kasus konflik yang terjadi di Ahuru misalnya, penyerangan terhadap warga komunitas Kristen saat itu dilakukan oleh masa Islam dan LJ dari Galunggung.

TNI-Standard Explosive Rockets Launched by LJ Targeting The main GPM Church (Maranatha Church).

Sumber:dikunjungi 10 Juli

(21)

Desa Rumah Tiga yang hancur

Sumber

(22)

bantuan Internasional. Sebab, pemerintah sudah tidak ada konsep bagi penyelesaiannya, pemerintah cenderung menyerahkannya pada sang waktu.

Rasa kekecewaan warga sempat teratasi ketika kedatangan Batalyon Gabungan [Yongab] kemudian mulai melaksanakan tugasnya secara serius di kota Ambon. Sejak saat itu, intensitas konflik menurun secara drastis sehingga situasi keamanan berangsur-angsur mulai pulih kembali.

Budaya Lokal

Intensitas dan eskalasi konflik yang semakin tinggi di kota Ambon, ternyata tidak meruntuhkan keinginan warga kedua komuni-tas untuk mencari solusi penyelesaian. Warga kedua komunikomuni-tasn mulai mencari kerabat-kerabat mereka yang terpisah akibat konflik untuk merajut kembali hubungan persaudaraan. Pada bulan Maret 1999, Latupati dan Raja dari 47 Negeri di kota dan pulau Ambon bertemu kemudian merumuskan “kesepakatan adat sebagai solusi menuju per-damaian.” Bersamaan dengan itu, tidaklah mengherankan jika pemba-ngunan kepercayaan [trust building] melalui kapitalisasi kebiasaan sosial orang Ambon dilakukan acara bikin panas pela antara negeri Batu Merah [Salam] dan negeri Passo [Serani] di tengah stabilitas keamanan yang belum sepenuhnya terkendali. Bertolak dari kenyataan bahwa acara bikin “panas pela” yang dilakukan antara dua negeri yang terikat dalam satu hubungan pela tersebut merupakan bahasa bersama yang dikenal mengakar dalam kebiasaan orang Ambon. Kelahiran pela perang tidak lain dari akibat berakhirnya suatu pepe-rangan untuk saling memberi “sirih pinang” di atas parang antara dua kapitang untuk dimakan sebagai tanda terciptanya perdamaian. Terlepas dari itu, acara bikin panas pela tersebut dilaksanakan untuk memberikan pesan simbolik kepada orang Ambon tentang eksistensi orang Ambon. Informasi yang diperoleh dari Raja Negeri Batu Merah24

24 Wawancara mendalam dengan Raja Negeri Batu Merah, 24 Nopember 2009.

(23)

Maukah katorang [kita] berjoget [berkelahi] terus dengan gendang orang luar. Betapa bodohnya katorang yang memiliki budaya, adat istiadat yang ampuh dan sebagai pemeluk agama yang taat, teguh dan rukun begitu mudah memberi diri ditipu dan diadudomba [diprovokasi] oleh orang luar lalu katorang saling menghancurkan, sedangkan merekalah yang berpesta pora.

Kesadaran seperti ini, muncul pula dari warga kedua komunitas. Sekalipun stabilitas keamanan tidak kondusif untuk menjamin mereka dapat berjumpa, namun dengan menggunakan telpon genggam mereka berkomunikasi secara timbal-balik antara satu dengan yang lain. Hal ini dapat terjadi karena hubungan-hubungan pertemanan dan hubung-an-hubungan persaudaraan yang selama ini telah terjalin di antara warga kedua komunitas tidak dapat dilupakan begitu saja. Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan [WT, 42 tahun, Islam] menuturkan bahwa:

Biar beda agama, tapi beta [saya] dengan teman-teman Kristen di kantor suda seperti keluarga saja. Suda dua puluh tahun lebih katorang [kami] kerja bersama-sama. Dalam pekerjaan di kantor, katorang saling berbagi antara satu dengan yang lain. Sejak kerusuhan [konflik] terjadi di Ambon, setiap hari katorang bakutelepon [saling berkomunikasi] lalu [kemudian] janji baku dapa [bertemu] di kantor Gubernur. Selama kerusuhan, kato-rang baku dapa dua kali seminggu. Katokato-rang bacarita [berceri-tera] sampai [hingga] siang [jam 13 WIT baru [kemudian] katorang bubar [berpisah].

(24)

DPRD Provinsi dan Kota Ambon, untuk menyelesaikan berbagai agenda penting dari Dewan maka mereka saling berkomunikasi untuk bertemu di kantor Gubernur.

Kesimpulan

Realitas konflik yang terjadi di kota Ambon dan berlangsung selama kurang lebih tiga tahun yang ditandai dengan intensitas yang tinggi, menimbulkan rasa saling curiga dan ketidakpercayaan timbal-balik antar warga kedua komunitas tidak dapat dihindari. Terlepas dari adanya beda persepsi tentang akar permasalahan serta netralitas sikap aparat keamanan selama konflik berlangsung, namun warga kedua komunitas merasakan dampak berantai, kait-mengkait antara dampak yang satu dengan dampak yang lain sehingga masalah yang datang silih berganti seakan tidak habisnya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada penelitian yang berjudul Analisis Perkembangan Kota Pagar Alam Pada Tahun 2013- 2017 mempunyai beberapa rumusan masalah antara lain peran Walikota Ida

Dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas eksperimen, dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar dapat menjadikan

Cairan hidrolik harus memiliki kekentalan yang cukup agar dapat Cairan hidrolik harus memiliki kekentalan yang cukup agar dapat memenuhi fungsinya sebagai

Berdasarkan hasil uji multikolinearitas pada tabel 4.2 menunjukkan nilai VIF dari masing-masing variabel independen yaitu leverage , profitabilitas, pertumbuhan

Salah satu upaya diplomasi kebudayaan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah melalui Wisata Selancar Internasional Ombak Bono di Riau.. Olahraga merupakan event

Peneltian ini merupakan jenis penelitian dan pengembangan (Research and Development) menurut Borg dan Gall (1989) bagian dari tahap research and information collecting.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam siklus 1 kegiatan pelaksanaan tindakan kelas diperoleh data bahwa ketuntasan belajar pada materi memahami

Terkait dengan komponen konteks agar pemerintah daerah bersama pemerintah provinsi yang membawahi program SD-SMP Satu Atap mengadakan pelatihan bagaimana cara