• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Rumusan :

Isu-isu Pokok untuk menyusun Pernyataan Pernyataan Hutan Nasional KATA PENGANTAR

Sejumlah isu pokok telah diidentifikasi dalam Lokakarya National Forest Statetement di Bandar Lampung pada tanggal 2-3 Desember 2004 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari DPR Lampung, serta organisasi kehutanan pemerintah, Perguruan Tinggi, pengusaha dan Lembaga Swadaya Masyarakat di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Isu-isu tersebut merupakan review dan pembaruan dari hasil identifikasi yang telah dihasilkan pada Lokakarya serupa yang dilaksanakan di Palembang pada tahun 2003.

Proses konsultasi melalui partisipasi multi-stakeholders diharapkan akan berjalan secara efektif dalam mencapai kesepahaman dan kesepakatan dari semua stakeholders dalam mengelola hutan secara lestari, untuk mendukung terwujudnya pembangunan secara berkelanjutan di semua tingkatan (kabupaten/propinsi, nasional maupun global). Mengingat Kehutanan merupakan salah satu sektor yang paling terkena pengaruh krisis ekonomi yang berawal sejak 1997, maka dalam rangka melaksanakan penyesuaian kebijakan kehutanan serta penanganan dampak krisis ekonomi terhadap kelestarian sumberdaya hutan, perlu dilakukan identifikasi isu-isu pokok serta penetapan prioritas yang didasarkan pada kesepakatan multi-stakeholders.

Partisipasi aktif seluruh stakeholder sangat penting untuk mendukung pelaksanaan kesepahaman dan kesepakatan yang berkaitan dengan isu-isu pokok serta penetapan prioritas yang dihasilkan melalui dialog multistakeholder. Pernyataan Hutan Nasional akan digunakan sebagai pedoman dalam proses perencanaan kehutanan dan / atau keselarasan perencanaan kehutanan dan perencanaan antar sector pada semua tingkatan.

PENDAHULUAN

Pernyataan hutan Nasional yang disepakati untuk dilaksanakan melalui proses yang terus-menerus dalam kerangka Program Kehutanan Nasional (NFP). NFP yang telah diterima sebagai kerangka kerja pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan dan pembangunan seluruh tipe hutan; diharapkan menjadi proses yang efektif dalam menangani permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini, dan sebagai upaya untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari dalam mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Proses dilakukan berdasarkan pendekatan antar sektor di seluruh tingkatan , termasuk perumusan kebijakan , strategi dan rencana aksi, serta implementasi, pemantauan serta evaluasinya. Tantangannya adalah bagaimana proses tersebut dapat berjalan secara efektif. Keragaman kepentingan stakeholder termasuk kesenjangan pengetahuan diantara mereka, keterbatasan data mutakhir keadaan hutan, adalah sebagian masalah yang harus ditangani melalui proses partisipatif penyusunan NFP. Disamping itu, dengan mempertimbangkan keragaman latarbelakang dan kepentingan stakeholders dalam mengelola hutan, skim penyelesaian konflik juga harus dibangun.

PRINSIP KEHUTANAN

Pengelolaan Hutan lestari untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

1. INVENTARISASI SUMBERDAYA HUTAN DAN TATA GUNA KAWASAN HUTAN

1.1. Visi

Tersedaianya informasi mengenai sumberdaya hutan secara menyeluruh dan terperbarui secara periodik

1.2. Misi

Melakukan penilaian sumberdaya hutan secara menyeluruh baik dari sisi biofisik, ekonomi, sosial budaya serta isu-isu lain yang terkait secara terus menerus dengan sumberdana, tenaga dan teknologi tersedia

1.3. Kondisi Saat Ini

(2)

kaitan ini pula perlu dibangun suatu basis data yang memadai di tingkat Pusat maupun Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk menjadi bahan mempertimbangkan dalam menilai untung-rugi berbagi opsi penggunaan kawasan hutan

Alokasi kawasan hutan berdasar TGHK dan RTRWP dalam banyak kasus secara parsial masih perlu dikonsultasikan lagi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten (sejalan dengan desentralisasi ke tingkat Kabupaten) dengan selalu merujuk pada kriteria kawasan berdasarkan fungsinya, guna menghindarai konflik penggunaan lahan baik antar sektor maupun dengan ‘stakeholders’ lainnya. Dalam kaitan ini perlu didorong kesadaran bahwa posisi kawasan hutan dalam RTRW yang telah ditetapkan melalui PERDA telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap meskipun belum dilakukan penetapan melaui proses pengukuhan.

Dengan memperhatikan perlunya menjaga keutuhan pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan ekosistem, maka perlu segera diselesaikan pembentukan KPHP, KPHL, dan KPHK dengan mempertimbangkan batas-batas adminsitrasi pemerintahan, dan kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang ada

1.4. Strategi

Meningkatkan peran IPTEK dalam rangka meningkatkan kualitas inventarisasi sumberdaya hutan, yang didukung oleh penyediaan dana dalam jangka panjang;

Mendorong pelaksanaan tata batas dan pemetaan hutan secara partisipatif, dalam rangka mendapatkan pengakuan dan dukungan dari seluruh pihak atas keberadaaan kawasan hutan dengan fungsinya serta , hak-hak pemanfaatan sumberdaya hutan dan hak-hak lainnya yang sah;

Meningkatkan diseminasi informasi yang berhubungan dengan hutan dan kehutanan, dan meningkatkan network diantara berbagai stakeholder (propinsi, nasional, internasional) untuk berbagi pengetahuan dan informasi dalam rangka meningkatkan kualitas inventarisasi sumberdaya hutan dan tata guna lahan.

2. PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI 2.1. Visi

Kelestarian produksi kayu, produk hasil hutan bukan kayu dan jasa dari hutan produksi

2.2. Misi

Mengatur produktivitas hutan secara lestari dan meningkat (dinamik) untuk memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat, serta mengoptimalkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa hutan dengan mengurangi tekanan dan kerusakan hutan alam.

2.3. Kondisi Saat Ini

Sebagai akibat pengelolaan hutan produksi yang berorientasi pada produksi kayu, nilai manfaat sumberdaya hutan alam produksi tidak didayagunakan secara optimal. Di samping itu dengan semakin meningkaynya kebutuhan kayu secara lokal dan domestik, serta meningkatnya kebutuhan pasokan bahan baku untuk industri pengolahan kayu maka tekanan terhadap hutan alam semakin tinggi. Oleh karena itu pembinaan terhadap produksi hutan rakyat semakin penting untuk segera dilaksanakan.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa hutan mempunyai potensi untuk memberikan kontribusi dalam upaya ketahanan pangan. Untuk itu hutan produksi perlu dikelola sedmikian rupa agar dapat memberikan ruiang bagi budidaya aneka tanaman perkebunan dan pertanian. Dalam kaitan ini maka kelangsungan produksi hasil hutan, pangan dan jasa hutan lainnya harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, serta situasi social-ekonomi dan kehidupan masyarakat lokal serta lingkungan.

2.4. Strategi

1. Penyempurnaan pelaksanaan system TPTI (tebang pilih dan tanam) dan implementasinya,

2. Penerapan kegiatan pemanenan dan pengusahaan hutan yang ramah lingkungan serta kegiatan penanaman hutan

3. Penerapan sertifikasi pengelolaan hutan lestari

4. Pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi hutan pada hutan yang rusak dan tidak produktif

5. Peningkatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa

6. Peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat local

7. Penerapan unit KPHP dalam pengelolaan hutan produksi

(3)

3.1. Visi

Terwujudnya industri hasil hutan berdaya-saing tinggi dengan didukung sumber bahan baku yang dikelola secara lestari, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional serta penyerapan tenaga kerja.

3.2. Misi

Menyusun strategi pengembangan industri hasil hutan dan jasa, menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi dalam pengelolaan hutan lestari, serta mendorong perdagangan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa-jasa dari sumber daya hutan yang dikelola secara lestari untuk tujuan pasar domestik maupun ekspor.

3.3. Kondisi Saat Ini

Industri hasil hutan di Indonesia saat ini didominasi oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian berskala besar dan menengah, sedangkan industri pulp dan kertas diharapkan akan memainkan peranan penting dimasa mendatang. Saat ini sebagian besar produk hasil hutan olahan ditujukan untuk ekspor, dan sebagian kecil untuk konsumsi domestik. DI lain sisi pemenafaatan jas-jasa hutan sebaga suatu industri belum terkelola dengan optimal

Krisis ekonomi dan keuangan, jatuhnya harga kayu olahan dipasaran internasional, kapasitas industri pengolahan yang melebihi daya dukung hutan secara lestari, serta ekonomi biaya tinggi, merupakan kendala utama dalam mendukung perkembangan industri perkayuan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Beberapa studi mengindikasikan bahwa kesenjangan antara kebutuhan bahan baku industri hasil hutan dengan kemampuan pasokan bahan baku, menjadi salah penyebab utama terjadinya kegiatan penebangan liar serta pengusahaan hutan yang tidak memperhatikan kaidah kelestarian.

3.4. Strategi

1. Menyusun kerangka kerja yang tepat untuk menjamin kelestarian hutan dan kelangsungan usaha industri.

2. Mempromosikan substitusi dan diversifikasi produk, serta distribusi dan inovasi produk.

3. Mendukung insentif pasar bagi produk-produk dan jasa yang dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari.

4. Mendorong pembangunan hutan tanaman dalam skala-skala kecil.

5. Menyelaraskan kebijakan kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lestari dan industri pengolahan hasil dan jasa hutan.

6. Menguatkan peran industri kecil dengan kekhasan lokal untuk meningkatkan nilai tambah, pemanfaatan limbah dan sekaligus peningkatan peran langsung masyarakat dalam industri pengolahan hasil hutan

4. PENGEMBANGAN HUTAN KEMASYARAKATAN DAN HUTAN HAK 4.1. Visi

Terwujudnya masyarakat yang mandiri, yaitu yang mampu membangun dirinya berdasarkan potensi, kebutuhan, aspirasi dan kelembagaannya dalam menyelenggarakan usaha perhutanan rakyat dan dalam mengelola hutan yang sekaligus menunjang kepentingan pelestarian lingkungan

4.2. Misi

Mengembangkan perhutanan sosial yang dikembangkan dengan cara membangun kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun usaha perhutanan rakyat dan dalam mengelola hutan negara (hutan kemasyarakatan), sehingga secara bertahap masyarakat mampu membangun ekonominya dan lingkungannya secara mandiri dan bertanggung jawab.

4.3. Kondisi Saat Ini

Paradigma pengelolaan sumberdaya hutan akhir-akhir ini dituntut untuk diperbaharui sehingga mengarah kepada pengelolaan untuk sebesar-besar manfaat bagi masyarakat. Tuntutan itu mencuat karena pengelolaan sumberdaya hutan selama ini lebih difungsikan sebagai mesin uang untuk memperoleh keuntungan finansial bagi pembiayaan pembangunan, sementara masyarakat tidak mendapatkan manfaat yang memadai. Dalam hal ini, perhutanan sosial menjadi penting sebagai wadah partisipasi masyarakat untuk bersama-sama bertanggung jawab terhadap kelestarian fungsi dan manfaat hutan dan lahan, dan secara bersama pula menikmati barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan dan lahan.

4.4. Strategi

(4)

2. Menciptakan peluang untuk tersedianya modal usaha bagi masyarakat pelaku usaha perhutanan rakyat.

3. Memberdayakan kemampuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan fasilitasi kepada masyarakat pengelola hutan atau pengelola usaha perhutanan rakyat

4. Penyederhanaan tata usaha kayu rakyat dan pemberian insentip bagi masyarakat yang mengelola hutan baik dengan tidak membebani pajak dan pungutan-pungutan lainnya.

5. PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN KEHUTANAN 5.1. Visi

Terwujudnya penyelenggaraan kehutanan yang berorientasi kepada kepentingan publik.

5.2. Misi

Membangun kemauan dan kemampuan aparat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan konsultasi publik dalam merancang dan melaksanakan kebijakannya, serta dengan membangun kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dan bertanggung jawab.

5.3. Keadaan Saat Ini

Penyelenggaraan kehutanan di Indonesia telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak zaman penjajahan oleh Belanda, dan rentang waktu tersebut telah memberikan pengalaman yang luas terutama dalam kaitan dengan sinkronisasi antara kepentingan teknis manajemen hutan dan kepentingan sosial masyarakat (beneficiaries). Selama ini sudah banyak program kehutanan yang mencoba melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan kehutanan melalui berbagai kegiatan yang dianggap merupakan perwujudan dari sikap kehutanan untuk menerima partisipasi masyarakat. Bentuk penyelenggaraannya berubah dari waktu ke waktu, yang menunjukkan adanya kehendak pihak kehutanan untuk selalu menyempurnakan pendekatan sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat atau sesuai dengan perkembangan daya nalar dari pihak kehutanan itu sendiri.

Pada sistem bermasyarakat yang makin terbuka seperti saat ini, dan ketika hutan dengan segala permasalahannya sudah menjadi sorotan publik sebagaimana yang dihadapi saat ini, maka kadar dan jenis partisipasi tersebut sudah waktunya untuk disempurnakan. Hal ini penting karena tidak ada satu langkahpun dalam penyelenggaraan kehutanan yang tidak bersentuhan dengan kepentingan publik.

5.4. Strategi

1. Menyempurnakan legalitas hukum yang mengatur pendekatan-pendekatan partisipatif pada setiap langkah pengurusan kehutanan.

2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kebijaksanaan pengurusan kehutanan secara partisipatif.

3. Meningkatkan keberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap langkah pengurusan kehutanan.

4. Meningkatkan peran aktif aparat kehutanan dalam berbagai kegatan non-kehutanan yang berpengaruh terhadap kelestarian hutan.

5. Gerakan nasional yang menyangkut kehutanan harus mampu menggerakkan partisipasi seluruh komponen masyarakat

6. Perlu adanya payung hukum yang tegas untuk memberikan akses masyarakat dalam pemanfaatan kawasan.

6. PENANGGULANGAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI LAHAN KAWASAN HUTAN DAN LAHAN

6.1. Visi

Berkurangnya laju deforestasi sumberdaya hutan dan lahan, dan meningkatnya fungsi optimal kawasan, yang dapat memberikan manfaat sosial-ekonomi kepada seluruh masyarakat, menjamin keseimbangan lingkungan dan kelestarian tata air daerah aliran sungai, serta mendukung kelangsungan pembangunan kehutanan.

6.2. Misi

Mewujudkan tanggung jawab dan kebutuhan bersama seluruh komponen masyarakat terhadap rehabilitasi.

6.3. Keadaan Saat Ini

(5)

operasionalisasi sistem HPH, praktek perladangan berpindah, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain, perambahan, kebakaran hutan dan lahan, lemahnya perhatian dan kesadaran terhadap ekosistem daerah aliran sungai, serta tidak memadainya kemampuan reboisasi.

Telah disadari bahwa kapasitas lembaga rehabilitasi dengan inisiatif pemerintah tidak cukup untuk menangani tingkat kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, pendekatan rehabilitasi hutan dan lahan harus bergeser dari pendekatan terdahulu, yaitu menjadi lebih bersifat strategis, komprehensif, sesuai dengan keadaan setempat, melibatkan seluruh para pihak, mampu memberdayakan ekonomi rakyat, serta menjamin keseimbangan lingkungan dan hidrologi daerah aliran sungai.

6.4. Strategi

1. Memaksimumkan dukungan dan komitmen politik terhadap rehabilitasi hutan dan lahan.

2. Membangun kembali dan meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui sosialisasi, penyiapan mekanisme dan tata hubungan kerja, perumusan pedoman, penyiapan sumber dana, serta penyiapan sumber daya manusia.

3. Mengembangkan kemampuan penyediaan benih untuk setiap jenis pohon unggulan setempat yang memiliki nilai pasar atau manfaat yang baik.

4. Mengembangkan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatif yang didasarkan atas prinsip-prinsip (1) masyarakat sebagai pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan manfaat, (2) masyarakat sebagai pengambil keputusan, (3) pemerintah sebagai pendamping, (4) kepastian hak dan kewajiban semua pihak, (5) pendekatan didasarkan atas kelestarian fungsi dan manfaat hutan.

7. PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN HUTAN LINDUNG

7.1. Visi

Terwujudnya daya dukung yang optimal dari ekosistem DAS, yang mampu menyangga sistem kehidupan yang layak bagi para pemukimnya, baik di bagian hulu maupun di bagian hilirnya

7.2. Misi

Meningkatkan koordinasi antar-instansi yang menerapkan pendekatan DAS sebagai unit manajemen, dan menggalang komitmen agar pengelolaan sumberdaya alam (lahan) di masing-masing wilayah administratif mengacu kepada perencanaan sumberdaya alam dengan satuan DAS, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan, perlindungan, dan pengendalian lahan DAS.

7.3. Keadaan Saat Ini

Di Indonesia terdapat 472 daerah aliran sungai (DAS) utama yang seluruhnya bersifat lintas kabupaten dan 20 di antaranya bersifat lintas propinsi. Dengan sifatnya tersebut maka dalam pengelolaan DAS diperlukan sistem yang arif dan bijaksana sehingga antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta antara wilayah hulu dan wilayah hilir, terdapat sinergi hak dan kewajiban yang proporsional dan berkeadilan. Daerah aliran sungai yang secara alamiah merupakan satuan hidrologi dapat digunakan sebagai satuan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan berkeadilan, dan untuk itu diperlukan konsistensi satuan DAS baik dalam perencanaan, implementasi, maupun dalam pemantauan dan evaluasi.

Potensi konflik antara hulu dan hilir suatu DAS yang lintas kabupaten atau lintas propinsi merupakan hal yang penting untuk disikapi oleh para pihak berdasarkan penilaian yang obyektif, terutama penilaian asas manfaat (untung-rugi) yang dilakukan secara bersama-sama terhadap daya dukung sumberdaya alam (lahan), penggunaan lahan saat ini, dan rencana penggunaannya. Mekanisme pengaturan kepentingan hulu dan hilir dalam suatu DAS perlu segera ditetapkan, dan demikian pula mekanisme sharing biaya pengelolaan DAS dari setiap stakeholders.

7.4. Strategi

1. Mengembangkan komitmen dan koordinasi antar-instansi dan antar-pemerintah daerah untuk secara konsisten mengacu pada satuan DAS sebagai satuan dan basispengelolaan lahan.

2. Mengembangkan kelembagaan termasuk mekanisme pengaturan kewenangan pengelolaan DAS antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara kepentingan daerah hulu dan daerah hilir, dan penerapan sistem insentif-disinsentif.

(6)

8. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI, KONSERVASI DAN HUTAN LINDUNG 8.1. Visi

Diterapkannya prisnsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan kekayaan keanekaragaman hayati sebagai bagian dari sistem penyangga kehidupan bagi kesejahteraan hidup manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.

8.2. Misi

Melindungi dan menjaga proses ekologi yang penting dan sistem penyangga kehidupan ; melindungi keanekaragaman hayati; termasuk ekosistem yang rentan dan spesies yang dilindungi ; dan menggunakan keanekaragaman jenis dan jasa lingkungannya secara lestari ; serta memajukan sistem institusi dan kerjasama di bidang konservasi keanekaragaman jenis.

8.3. Kondisi Saat Ini

Indonesia sebagai negara terbesar di dunia yang memiliki keanekaragaman jenis dimana keanekaragaman tersebut merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki sehingga sektor- sektor yang menyangkut ekonomi nasional bergantung pada hal tersebut. Selama dua dekade terakhir, sejak pembangunan ekonomi Indonesia melaju dengan cepat, habitat alami dan keanekaragaman jenis telah mengalami penurunan. Penurunan tersebut tidak hanya dalam hal jumlah tetapi juga menciptakan fragmentasi habitat alam yang tidak dapat melanjutkan populasi yang dapat bertahan hidup, terutama jenis langka dan jenis yang terancam. Ekoturisme belum memberikan hasil yang langsung dapat dinikmati oleh pemerintah lokal dan masyarakat lokal. Areal yang dilindungi dan pengelolaan zone batas belum menyediakan kesempatan pembangunan yang signifikan kepada masyarakat lokal dan pihak lainnya. Selain itu, masih banyak overlapping dan konflik lahan dalam areal yang dilindungi yang disebabkan batas areal yang tidak jelas dan komitmen yang lemah dari masing-masing pihak akan upaya konservasi keanekaragaman jenis.

8.4. Strategi

1. Melindungi, memelihara dan merevitalisasi integritas ekosistem untuk memaksimalkan fungsinya pada masing-masing daerah;

2. Mengatur konservasi in-situ dan ex-situ baik flora maupun fauna termasuk jenis-jenis langka dan dilindungi;

3. Melakukan promosi dan menciptakan pemanfaatan keanekaragaman jenis secara lestari termasuk ekoturisme dan pemanfaatan jasa lingkungan;

4. Memperkuat pembangunan institusional guna mendukung konservasi keanekaragaman jenis;

5. Membangun dan memperkuat pengelolaan kolaboratif pada keanekaragaman jenis.

6. Mereview hukum dan peraturan pemerintah menyangkut konservasi keanekaragaman hayati.

7. Penanggulangan peredaran satwa liar ilegal melalui penguatan penegakan hukum

9. LAND TENURE 9.1. Visi

Terwujudnya sistem pengaturan dan penguasaan lahan yang menjamin penghargaan atas hak-hak kebutuhan sumber pendapatan dan/atau pembangunan, dan kebutuhan untuk pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari bagi seluruh masyarakat.

9.2. Misi

Penyempurnaan system pengaturan dan penguasaan lahan, serta memadukan kebijakan pemerintah pusat dan daerah secara harmonis pada uasaan lahan dan kebijakan antar-sektor terkait.

9.3. Kondisi Saat Ini

Penguasaan lahan merupakan salah satu kunci dan melibatkan berbagai pihak dan sektor. Telah terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara hutan dengan masyarakat sekitarnya. Penguasaan lahan secara tradisional akan mempengaruhi ketersediaan lahan, di lain pihak, pengaturan lahan bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain. Berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1960, Pemerintah mengatur hak alokasi lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk manfaat umum dan menggunakan kekuasaan ini untuk mengakui dan mendistribusikan lahan untuk tujuan-tujuan pembangunan.

(7)

Hutan terdiri dari sejumlah sumberdaya lain dan nilai-nilai yang beragam. Hak legal penggunaan sumberdaya-sumberdaya ini secara eksklusif dapat diberikan oleh pemerintah kepada perorangan, atau kelompok masyarakat. Dasar hukum masyarakat lokal untuk mengelola lahan dan hutan sesuai dengan kebutuhannya dan keuntungannya telah ditetapkan, seperti Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999.

Cakupan hal legal penguasaan lahan untuk masyarakat sekitar hutan seyogyanya termasuk pengakuan terhadap hak masyarakat asli dan komunitasnya. Partisipasi masyarakat merupakan aspek yang sangat penting dalam memutuskan bagaimana sector kehutanan pada era desentralisasi dapat dikelola secara lestari, dan secara seimbang dan setara.

9.4. Strategi

1. Mengembangkan kerangka pendekatan antar-sektor dalam menyelesaikan isu-isu penguasaan lahan.

2. Mengembangkan skema atau mekanisme penyelesaian konflik dalam penguasaan lahan.

3. Mengkaji reformasi peraturan perundangan di bidang penguasaan lahan dan menyelaraskan dengan kebijakan dan peraturan pertanahan kawasan hutan

4. Menjamin pengaturan lahan untuk masyarakat di sekitar dan didalam kawasan hutan melalui pengelolaan dan konservasi sumberdaya hutan secara lestari berdasarkan fungsi kawasan

5. Mengakui hak-hak adat dari masyarakat adat, masyarakat lokal, dan pemilik lahan hutan.

6. Menata ulang fungsi-fungsi hutan berdasarkan kajian yang rasional.

7. Menguatkan dan menghilangkan friksi atas adanya dualisme pengurusan tanah di Indonesia serta penguatan status kawasan hutan dalam system pertanahan

10. MEMERANGI KEGIATAN PENCURIAN KAYU 10.1. Visi

Tercapainya persepsi yang sama diantara para pihak mengenai akibat negatif dari kegiatan pencurian kayu dan kesepakatan bersama untuk memeranginya

10.2. Misi

Memerangi pencurian kayu melalui komitmen dan partisipasi dari stakeholders, penegakan hukum dan peneyelenggara pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

10.3. Kondisi Saat Ini

Kegiatan-kegiatan pencurian kayu telah mencapai tingkat yang membahayakan. Disamping menurunkan kualitas sumberdaya hutan kegiatan tersebut telah menimbulkan masalah-masalah sosial ekonomi dan penurunan kualitas keanekaragaman jenis dan lingkungan. Sistem pembalakan yang kurang baik dan gangguan lainnya telah menyebabkan antara lain degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman jenis. Namun demikian pencurian kayu bukan merupakan produk akhir tetapi merupakan resultante dari berbagai aktifitas manusia di dalam mengelola sumberdaya hutan.

10.4. Strategi

1. Melakukan kajian-kajian mengenai pokok pemnyebab timbulnya pencurian kayu

2. Menggalang komitmen semua ‘stakeholders’ pada semua tingkat untuk menanggulangi “pencurian kayu” dan kegiatan illegal terkait.

3. Meningkatkan konsultasi para pihak dalam rangka mencapai persepsi yang sama terhadap akibat negatif pencurian kayu dan mencapai kesepakatan bersama untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan.

4. Penguatan institusi dan mendorong partisipasi dari seluruh parqa pihak.

5. Penegakan hukum dan peraturan dan menerapkan pola-pola insentif untuk kegiatan-kegiatan kehutanan yang menuju kearah SFM, pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan.

6. Mengendalikan lalu lintas dan perdagangan kayu ilegal lintas batas dan perdagangannya.

11. PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN 11.1. Visi

Terwujudnya sistem penanggulangan kebakaran hutan yang optimal dalam rangka mendukung pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari.

(8)

Mengintegrasikan kebijakan dan program penanggulangan kebakaran hutan dengan kebijakan lainnya terutama bidang pengelolaan lahan dan sumber daya alam.

11.3. Kondisi Saat Ini

Kebakaran hutan terus menerus merupakan masalah besar di Indonesia. Kebakaran hutan kolosal pada tahun 1997 telah menimbulkan beragam masalah multidimensi dan lintas batas yang menempatkan Indonesia dalam posisi amat sulit dalam pergaulan internasional. Selain itu, kebakaran hutan besar tersebut juga menyebabkan kerugian, tidak saja bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia, dalam bentuk hilangnya sumberdaya hutan, pemerosotan fungsi ekologis serta musnahnya biodiversitas yang tak ternilai.

Banyak yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah kebakaran hutan. Akan tetapi, kebakaran hutan sangat kompleks dan melibatkan banyak faktor dan aktor. Oleh sebab itu, usaha yang bersifat holistik dan komprehensif yang diarahkan untuk mencari solusi dari penyebab mendasar kebakaran hutan – bukan pengatasan sympton belaka – mutlak diperlukan.

11.4. Strategi

1. Menumbuhkan kemauan politik (political will) pencegahan kebakaran hutan

2. Mengevaluasi sistem penanggulangan kebakaran hutan yang ada

3. Harmonisasi kebijakan pencegahan kebakaran hutan antara pusat dan daerah serta antar sektor

4. Penguatan kerjasama multistakeholders pada semua tingkat (lokal, nasional, regional, internasional)

5. Intensifikasi kampanye penyadaran masyarakat mengenai bahaya dan potensi kerugian dari kebakaran hutan

6. Peningkatan konsistensi penerapan hukum, mengembangkan skema insentif, peningkatan SDM secara berkelanjutan, dalam rangka meningkatkan partisipasi publik dalam pencegahan dan pengatasan kebakaran hutan

7. Peningkatan penelitian dan pengembangan untuk mencari dan/atau mengadopsi teknologi pencegahan dan pengatasan kebakaran hutan

12. PENINGKATAN KEMAMPUAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN 12.1. Visi

Meningkatnya kapasitas dan fungsi kelembagaan dalamn pengelolaan sumberdaya hutan melalui penyempurnaan kebijakan dan peraturan perundangan, serta peningkatan kemampuanSDM.

12.2. Misi

Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan para pihak kehutanan, memaduserasikan kebijakan terkait, menyempurnakan peraturan perundangan dan kelembagaan dalam pembangunan sektor kehutanan.

12.3. Kondisi Saat Ini

Sumber daya manusia merupakan bagian penting bagi pencapaian tujuan pembangunan sumber daya hutan. Selanjutnya penguatan kelembagaan merupakan faktor penunjang utama dalam pembangunan sektor kehutanan serta memberikan kontribusi yang signifikan terhadap stabilitas negara baik dalam sistem sentralisasi maupun desentralisasi.

Suatu struktur kelembagaan yang ramping dan merupakan prasyarat penting bagi pembangunan sektoral. Pengamatan beberapa tenaga ahli menyatakan bahwa kelembagaan sektor kehutanan yang ada di Indonesia masih belum optimal. Struktur organisasi kehutanan yang ada perlu di sesuaikan agar dapat merealisasikan pengurusan pengelolaan hutan yang efisien dan efektif, serta kemungkinan akses para pihak kepada data dan informasi yang berkaitan dengan kehutanan.

12.4. Strategi

1. Mendorong partisipasi masyarakat yang terorganisasi, terlembaga dan terstruktur dalam pengelolaan hutan yang lestari.

2. Memperbaiki dan memperluas informasi tentang sumber daya hutan dan menyediakan akses yang lebih besar kepada para pihak.

3. Menguatkan peranan penelitian dan pengembangan dalam proses pembuatan keputusan.

4. Meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang penelitian dan pengembangan.

(9)

6. Memadukan kegiatan tenaga sukarela desa perorangan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan unsur penyuluh di tingkat lokal; mendorong partisipasi mereka dalam semua jenjang kegiatan kehutanan.

7. Mengembangkan dan menerapkan sistem pengelolaan sumber daya manusia di sektor kehutanan termasuk semua bentuk pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat umum dan sektor swasta serta masyarakat lokal.

8. Mendorong Komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan hutan melalui pemberian kewenangan yang rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Kesepahaman bersama dalam pengelolaan kawasan, siapa berbuat apa, kewenangannya apa, hak dan kewajibannya apa.

13. DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN 13.1. Visi

Terjaminnya pemerataan pembangunan antar daerah yang berkesinambungan, melalui fasilitasi usaha pelestarian sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan memperhatikan keragaman kapasitas lokal, sumberdaya alam dan budaya.

13.2. Misi

Mencapai desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan yang menjamin kelestarian sumber daya hutan dalam rangka mencapai pembangunan daerah yang lestari dengan memperhatikan kebutuhan akan keterbukaan serta partisipasi masyarakat yang lebih besar, serta pengurusan yang bertanggunggugat.

13.3. Kondisi Saat Ini

Semangat desentralisasi di Indonesia dituangkan dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah serta UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Penerimaa Pusat dan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan Pusat dan Daerah sebagai Daerah Otonomi menyediakan elaborasi/klarifikasi mengenai pembangian tugas pemerintah pusat dan daerah.

Sebagai konsekuensi UU No. 22/1999 dan PPNo. 25/1999, perubahan pengelolaan hutan harus dilaksanakan. Perubahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya hutan memerlukan penataan kembali kelembagaan, serta perubahan dalam perencanaan dan kebijakan kehutanan.

13.4. Strategi

1. Menetapkan perangkat peraturan yang tepat serta sesuai, ketentuan, tatacara, pedoman dan perangkat lain yang berkaitan dalam menerapkan dan mendukung desentralisasi pengelolaan hutan.

2. Merampingkan organisasi serta pegawai Departemen Kehutanan, menentukan divisi yang bertanggung jawab dalam mendukung desentralisasi pengelolaan hutan.

3. Mendorong partisipasi masyarakat, membentuk Jaringan Masyarakat Umum, dan membangun mekanisme pemecahan konflik.

4. Mereformasi dan memperkuat lembaga kehutanan pada semua jenjang dan memperbaiki hubungan antar sektor dalam rangka mencapai desentralisasi pengelolaan hutan yang lestari.

5. Penyederhanaan sistem penerimaan di sektor kehutanan.

6. Menggerakkan Perguruan Tinggi dan LSM dalam memfasilitasi proses desentralisasi di bidang kehutanan.

14. PENDANAAN PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN 14.1. Visi

Terwujudnya keseimbangan peran sektor kehutanan antara mendukung pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan perlindungan ekologis.

14.2. Misi

Memantapkan sinergi antara pemerintah dan swasta pada level lokal, nasional dan global dalam mengatasi masalah pendanaan untuk penerapan SFM.

14.3. Kondisi Saat Ini

Sumber dana adalah salah satu dari sejumlah hambatan dalam penerapan SFM di Indonesia. Dalam situasi saat ini, dimana penerapan hukum masih lemah dan ketiadaan mekanisme insentif penerapan SFM, mobilisasi dana swasta bukan hal yang mudah.

(10)

lingkungan seperti ekowisata, penjerapan karbon dan jasa biodiversitas. Namun, pasar untuk jasa-jasa lingkungan tersebut belum ada.

14.4. Strategi

1. Mobilisasi sumber pendanaan nasional dan internasional untuk penerapan SFM

2. Mengembangkaan kondisi yang mendukung investasi dalam SFM

3. Kampanye “insentif pasar” untuk mendukung penerapan SFM

15. PENGEMBANGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL KEHUTANAN

15.1. Visi

Peningkatan taraf hidup masyarakat tradisional (idigenous people) dan mendorong pengelolaan hutan berbasis lingkungan.

15.2. Misi

Menciptakan iklim yang kondusif untuk berkembangnya ‘traditional-forest related knowledge’ dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat tradisional dan mendorong pengelolaan hutan berbasis lingkungan.

15.3. Kondisi Saat Ini

Peran masayarakat tradisional dalam pembangunan berkelanjutan telah diakui sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) 1992, mengingat masyarakat ini mewakili jumlah yang cukup besar dari populasi dunia. Keterikatan yang kuat terhadap lahan dan lingkungannya selama berabad-abad dari generasi ke generasi membuat pengetahuan tradisional masyarakat ini terus berkembang.

Sebagai negara dengan beragam masyarakat tradisional yang masing-masing memiliki keunikan dalam hal keterikatan terhadap lingkungannya dan pengetahuan tradisionalnya, pengakuan dan penggalian pengetahuan ini sangatlah penting terutama dalam menangani masalah penggunaan dan pengelolaan SDH yang tidak memperhatikan azas keberlanjutan. Pengembangan pengetahuan tradisional perlu didukung dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat ini dan menjamin kelestarian sumber daya alam dimana mereka bergantung.

15.4. Strategi

1. Melibatkan masyarakat tradisional (indigenous people) dalam formulasi kebijakan yang memiliki dampak terhadap penghidupan dan kehidupan mereka,

2. Mendorong masyarakat tradisional (indigenous people) untuk mengembangkan pengetahuan tradisional yang dimilki guna menigkatkan taraf hidup mereka,

3. Mendorong pengetahuan tradisional untuk memperoleh pengakuan menyangkut ‘intellectual property rights’.

16. KETERLIBATAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN GLOBAL

16.1 Visi

Kontribusi yang berarti dalam proses di lingkungan global yang berkaitan dengan kehutanan dan lingkungan dalam upaya menuju pengelolaan hutan berkelanjutan baik dalam lingkup nasional maupun global.

16.2. Misi

Meningkatkan pengintegrasian berbagai kesepakatan internasional yang berkaitan dengan kehutanan ke dalam kebijakan nasional sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan nasional , serta membawa ‘good practice and policy’ yang ada baik lingkup nasional maupun sub-nasional sebagai input dalam proses atau forum-forum di tingkat internasional.

16.3. Kondisi Saat Ini

Sektor kehutanan merupakan salah satu isu penting dalam UNCED 1992. Tiga macam kesepakatan dalam upaya menangani masalah lingkungan dan pembangunan diadopsi di dalam pertemuan tersebut yaitu : (1) Agenda 21 (program aksi pembangunan berkelanjutan), (2) Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, (3) Pernyataan tentang prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan.

(11)

kesepakatan-kesepakatan dimaksud masih sulit diukur, demikian juga kontribusi Indonesia terhadap upaya global menuju pembangunan berkelanjutan.

16.4. Strategi

1. Mengkaji efektifitas dari berbagai konvensi dan kesepakatan lain yang berkaitan dengan kehutanan dimana Indonesia berpartisipasi, guna meng-‘address’ berbagai isu pengelolaam lahan hutan dan sumber daya alam di Indonesia.

2. Mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan dimaksud dalam kerangkan SFM dan konteks kekhususan wilayah Indonesia

3. Meningkatkan kapasitas baik Pemerintah maupun stakeholders lain yang terlibat dalam proses negosiasi di forum internasional, dalam rangka meningkatkan implementasi kesepakatan-kesepakatan tersebut dan meningkatkan peran Indonesia dalam proses pembuatan keputusan di tingkat internasional.

17. Pemanfaatan jasa lingkungan dan ecotourism 17.1. VISI

Peran jasa lingkungan dan ekoturisme akan meningkat dalam rangka memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat

17.2. MISI

Menggalai berbagai potensi jasa lingkungan dan obyek wisata alam dalam kawasan hutan, serta mencari bentuk pengelolaan yang tepat terutama untuk mengangkat perekonomian lokal

17.3. STRATEGI

1. Inventarisasi potensi dan kajian ekonomi yang meliputi pemungutan/pemenfaatan, pengolahan, pemasaran, serta pengenaan pajak dan iuran yang tepat

2. Kajian sosial ekonomi dan budaya pendukung

3. Kajian berbagai dampak

18. Klarifikasi dan usulan penyempurnaan Konsep Rencana Strategis Departemen Kehutanan 2005-2009 :

1. Forum diskusi sepakat sasaran dan indikator kegiatan tetap disajikan dalam bentuk kuantitatif karena sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Untuk lebih jelas dan sempurnanya Renstra Deaprtemen Kehutanan, maka perlu dimasukan Asumsi-asumsi strategis pada setiap pencapaian sasaran yang ada.

3. Sasaran Renstra sebaiknya mengakomodasi program-program kehutanan yang kewenangannya ada di Daerah, tidak hanya untuk program kehutanan yang menjadi kewenangan pusat (Departemen Kehutanan) saja, seperti program untuk TAHURA, tata batas kawasan HL, HP, yang sudah menjadi kewenangan daerah.

4. Klarifikasi dilakukan terhadap data jumlah provinsi; tata urut program strategis; unsur-unsur PNBP kehutanan; kuantifikasi indikator-indikator sasaran yang kemungkinan merupakan bentuk linier dari kuantifikasi sasaran; serta nomenklatur IPTEK diganti dengan Penelitian dan Pengembangan (Litbang).

5. Usulan-usulan sasaran baru adalah sebagai berikut :

a. Penyelesaian tata batas yang belum diselesaikan pada kawasan HL dan HP.

b. Peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan diseluruh Indonesia.

c. Pengurangan tumpang tindih dan pertentangan pengaturan penyelenggaraan kehutanan antara pusat dengan daerah.

d. Pencapaian peningkatan penggunaan dan penyebaran tenaga teknis kehutanan merata di seluruh tingkatan (Propinsi dan Kabupaten) sebesar 70 %.

e. Peningkatan peran institusi kehutanan (polhut) dalam pengamanan kawasan hutan dan tertib peredaran hasil hutan di 33 provinsi.

Hasil-hasil sidang komisi NFP/NFS

I. Forum menyepakati 17 isu pokok NFP yang terdiri dari :

a. 16 isu pokok yang telah diidentifikasi Pokja NFP Departemen Kehutanan dengan beberapa perubahan redaksi.

b. Isu ke 17 : Pemanfaatan jasa lingkungan dan ecotourism

(12)

1. Inventarisasi sumber daya hutan dan tata guna hutan

a. Inventarisasi mengarah pada present land use dan forest cover

b. Inventarisasi dilakukan menyeluruh (total forest value) termasuk keanekaragaman hayati, jasa-jasa lingkungan dan inventarisasi sosial

c. Hasil inventarisasi harus dapat menghasilkan basis data yang akurat agar tepat dalam pengambilan keputusan.

d. Inventarisasi perlu didukung teknologi

2. Pengelolaan hutan produksi

Perlunya peningkatan hasil dari hutan produksi melalui diversifikasi jenis, penggunaan bibit unggul, pemanfaatan lesser known species untuk meniadakan kesenjangan supplai – demand.

3. Pengembangan industri hasil hutan dan jasa-jasa

Perlu didesain industri yang melibatkan masyarakat kecil untuk meningkatkan nilai tambah

III. 6. Penanggulangan deforestasi dan degradasi lahan kawasan hutan dan lahan

g. Pengelolaan daerah aliran sungai, kawasan pelestarian alam dan kawasan lindung

a. Subsidi daerah hulu dalam pengelolaan hutan

b. Pemerintah perlu menegaskan bahwa pengelolaan hutan berbasis ekosistem/DAS.

h. Keanekaragaman hayati dan konservasi

i. Pemasalahan tenurial kawasan hutan :

Adanya kejelasan pengelola kawasan hutan. Di Indonesia tidak dikenal land banking dalam pengelolaan hutan.

j. Penanggulangan illegal logging

k. Pencegahan dan Penanggulangan kebakaran

l. Peningkatan Kemampuan dan penguatan kelembagaan

a. Perlunya kesepahaman antar stakeholder dalam pemanfaatan sumber daya hutan

b. koordinasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan

c. Peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah

m. Desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan

NFS nasional agar dijabarkan dalam NFS lokal yang disesuaikan dengan kondisi daerah maisng-masing

n. Pendanaan pengelolaan hutan berkelanjutan

o. Pengembangan pengetahuan tradisional masyarakat :

Perlunya apresiasi/penghargaan pada pengetahuan dan kearifan lokal

p. Kewajiban di lingkungan global

q. Pemanfaatan jasa lingkungan dan ecotorism

Beberapa klarifikasi dan masukan terhadap konsep RENSTRA-KL Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009 sebagai berikut :

1. Forum diskusi sepakat sasaran dan indikator kegiatan tetap disajikan dalam bentuk kuantitatif karena sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Untuk lebih jelas dan sempurnanya Renstra Deaprtemen Kehutanan, maka perlu dimasukan Asumsi-asumsi strategis pada setiap pencapaian sasaran yang ada.

3. Sasaran Renstra sebaiknya mengakomodasi program-program kehutanan yang kewenangannya ada di Daerah, tidak hanya untuk program kehutanan yang menjadi kewenangan pusat (Departemen Kehutanan) saja, seperti program untuk TAHURA, tata batas kawasan HL, HP, yang sudah menjadi kewenangan daerah.

4. Klarifikasi dilakukan terhadap data jumlah provinsi; tata urut program strategis; unsur-unsur PNBP kehutanan; kuantifikasi indikator-indikator sasaran yang kemungkinan merupakan bentuk linier dari kuantifikasi sasaran; serta nomenklatur IPTEK diganti dengan Penelitian dan Pengembangan (Litbang).

(13)

a. Penyelesaian tata batas yang belum diselesaikan pada kawasan HL dan HP.

b. Peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan diseluruh Indonesia.

c. Pengurangan tumpang tindih dan pertentangan pengaturan penyelenggaraan kehutanan antara pusat dengan daerah.

d. Pencapaian peningkatan penggunaan dan penyebaran tenaga teknis kehutanan merata di seluruh tingkatan (Propinsi dan Kabupaten) sebesar 70 %.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Besarnya biaya , penerimaan, dan pendapatan, usahatani cabe merah varietas hot beauty di Desa Cibeureum Kecamatan

Perbedaan antara pajak negara dan pajak daerah terletak pada sumber bagi pemungutan pajak, yaitu sumber bagi pemungutan pajak negara relatif tidak terbatas, sedangkan objek-objek

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pasal 39 Peraturan Menteri

Tujuan dari penelitian ini untuk memanfaatkan limbah buah nanas sebagai kompos, mempelajari teknologi pengomposan yang efisien dan menguji kualitas kompos pada tanaman

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin

6 2 Mampu memahami konsep keperawatan anak dalam konteks keluarga - Perspektif keperawat an anak dalam konteks keluarga - Konsep atraumatic care - Konsep family

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul ”Penerapan Pembelajaran Problem Posing

71 Hasil studi lapangan digunakan untuk menganalisis kebutuhan (need assessment) apakah produk PETASAN GALAU yang akan dihasilkan benar-benar dibutuhkan dan dapat dimanfaatkan