Kompas Print
Berlangganan
Pasang Iklan
ePaper
Tentang Kami
Login
Daftar
Kompas.com
Kompas TV
SAINS
>
KESEHATAN
> DEMO DOKTER INTERNSIP INDONESIA DI MEDSOS
Utama
Politik
Ekonomi
Olahraga
Sains
Internasional
Regional
Opini
Gaya Hidup
Galeri
TOPIK TREN
Demo Dokter Internsip
Indonesia di Medsos
Oleh
AMIR SODIKIN DAN DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Siang | 29 Juni 2015
18:56 WIB
16842 dibaca 0 komentar
JAKARTA, KOMPAS
— Senin (29/6) siang, ketika jam kerja, tagar
#dokterinternsipindonesia menyala dan masuk dalam jajaran topik
tren Indonesia. Setelah dicek, semua percakapan terlihat natural dan
tanpa keterlibatan mesin atau bot.
Itu berarti semua suara terkait tagar tersebut riil dan perlu dicek apa isinya di
media sosial terutama di linimasa Twitter. Dalam dunia media sosial,
munculnya topik tren sebuah tagar bisa diartikan demonstrasi sedang
TOTO S
,,,
Di Bulukumba Sulawesi selatan dokter
bahkan mogok dan marah karena
ketika menuntut jasa medisnya justru
dokter spesialisnya yang dianggap
sebagai provokator dihukum oleh
Bupati dengan memindahkan ke
Puskesmas.
Dokter internship (program magang
bagi dokter yang baru lulus) juga
Disamping itu dokter muda juga demo atas
kebijakan program internship yang nunggunya antri
lama, sehingga banyak yang sudah lulus harus
menganggur karena untuk praktek swasta juga
belum punya legalitas. Di Medan dokter muda juga
demo menolak surat keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) tentang Panitia
Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi
Dokter (UKMPPD) tahun 2014- 2015 yang dianggap
telah memicu keresahan mahasiswa kedokteran. di
Surat dengan nomor 27/DIKTI/Kep/2014 dan nomor
68/E.E3/DT/2015 ini mengharuskan mahasiswa
Mengenali
Latar Belakang
Dalam Populasi (SDM) Heterogen
Selalu Membentuk PolaKurva Yang
Sama
(Kurva Normal)
“
Sangat
Baik”
“
Kurang
Baik”
Unsur-Unsur Kehidupan
Pendalama
n
revolusi paradigmatik dalam sains yang mengubah keyakinan tentang pusat alam semesta dari
geosentrisme (berpusat di Bumi) menuju heliosentrisme (berpusat di Matahari). Perubahan mendasar dalam keyakinan ilmiah ini lalu dikenal sebagai revolusi Copernican.
Istilah revolusi dalam kaitan ini bergeser dari pengertian sebelumnya menjadi yang didefinisikan Thomas Kuhn sebagai ”perubahan dalam susunan keyakinan saintifik atau dalam paradigma”. Dengan kata lain, pengertian revolusi tidak lagi menekankan aspek kesinambungan dalam daur ulang (unbroken continuity), melainkan justru sebagai keterputusan dalam kesinambungan (break in continuity). Sejak itu, revolusi berarti suatu perubahan struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).
Menurut Romo Benny Susetyo di Koran Sindo, 10 Mei 2014. Revolusi mental merupakan sesuatu yang merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif ke positif. Perubahan dari ketidakpercayaan diri menjadi bangsa yang penuh kepercayan diri. Menyadari diri bahwa kita adalah bangsa besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar.
Hal tersebut senada dengan I Dewa Gede Raka, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB), dimana untuk kondisi masyarakat saat ini diperlukan pendekatan dari luar ke dalam. Yakni, dimulai dari lingkungan, kemudian berdampak pada tingkah laku, sikap, keyakinan dan pada akhirnya kesadaran.
Kembalikepada pokok permasalahannya, Jokowi-JK harus sadar bahwa pemerintahannya sedang menanggung beban saat menggunakan Jargon Revolusi Mental. Ungkapan revolusi menunjukkan adanya perubahan yang bersifat mendasar, menyeluruh, dan cepat. Jika kebijakan pemerintah baru tersebut tidak dilaksanakan dengan langkah-langkah taktis yang revolusioner, maka revolusi hanya akan menjadi makna yang dangkal.
Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan. Untuk melakukan perubahan infrastruktur, asal masih ada dana, pasti terlaksana. Lain halnya dengan mengubah sistem yang membutuhkan waktu dan energi yang cukup besar. Apalagi mengubah mental. Untuk mengubah paradigma saja membutuhkan waktu bertahun-tahun, apalagi mengubah mental masyarakat dan mental bangsa. Termasuk didalamnya mengubah mental birokrasi.
Persoalannya sekarang, bukan soal mengharapkan adanya perubahan yang dilakukan oleh seorang pemimpin, tapi kita harus sadar bahwa revolusi harus melibatkan banyak orang. Karena pada dasarnya, revolusi berarti perubahan yang bersifat mendasar, menyeluruh, dan cepat. Terkait dengan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa tidak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar mengidap perasaan rendah diri.
Seperti yang dikatakan oleh Mohammad Soebari, mantan Kepala LKBN Antara bahwa revolusi mental merupakan fenomena yang cakupan dan dampaknya sangat luas. Menurutnya untuk bisa mewujudkan revolusi mental, dimana guna menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia salah satu cara terbaik adalah dengan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepenuhnya.
Selain itu, usaha yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan gerakan revolusi mental, yang wahana utamanya melalui proses persemaian dan pembudayaan dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan mental-karakter yang sehat dan kuat.
Untuk itu, perlu ada reorientasi dalam dunia pendidikan dengan menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.
Mengacu hal di atas, tentu usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara instan. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahap, dan terstruktur, yang secara sinergis mentransformasikan mentalitas dan karakter bangsa menuju kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.