i
SEMANAN JAKARTA BARAT TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
AWALIYAH RIZKA SAFITRI NIM : 1111101000013
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Juni 2014
AWALIYAH RIZKA SAFITRI, NIM: 1111101000013
GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU PENJUAL TAHU MENGENAI TAHU BERFORMALIN DI PASAR DAERAH SEMANAN JAKARTA BARAT TAHUN 2015
(XIV + 134 Halaman, 15 tabel, 7 Diagram, 2 Bagan, 23 Lampiran)
ABSTRAK
Tahu berformalin masih banyak dijual dipasaran. Padahal formalin pada makanan telah dilarang sejak tahun 1982. Larangan formalin pada tahu dikarenakan dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan, diantaranya keracunan, muntah-muntah, iritasi lambung, kerusakan ginjal, kanker, bahkan kematian. Keberadaan formalin pada tahu terkait dengan faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku dari penjual tahu. Pengetahuan yang kurang dan sikap yang negatif dapat mendukung terjadinya perilaku penjualan tahu berformalin.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran dari pengetahuan, sikap dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015. Jenis penelitian ini deskriptif-kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 34 penjual tahu di Pasar Daerah Semanan. Pengambilan sampel penjual tahu (responden) dilakukan dengan total sampel (seluruh populasi). Sedangkan pengambilan sampel tahu dilakukan secara Accidental Sampling. Instrumen penelitian yang digunakan kuesioner. Uji laboratorium dilakukan dengan Food Security Kit Formaldehyde
untuk membuktikan tahu berformalin secara kualitatif. Analisis data secara univariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 38,2% tingkat pengetahuan responden rendah dan 35,3% sikap responden negatif. Kemudian sebanyak 46,6% tahu ditemukan mengandung formalin dan 73,5% melakukan penjualan tahu berformalin. Pengetahuan yang belum optimum pada beberapa item pertanyaan dan juga sikap yang cenderung tertutup menjadi penyebab masih adanya perilaku penjualan tahu berformalin. Dengan ditemukannya tahu berformalin, diharapkan masyarakat lebih cermat dalam mengenali ciri fisik tahu berformalin. Perlunya penyuluhan petugas kesehatan terhadap penjual tahu terkait larangan penjualan tahu berformalin disertai dampak kesehatannya. Perlu peran petugas kesehatan dan juga Pemda antar daerah dalam mengawasi peredaran tahu berformalin.
Kata Kunci : Tahu, Formalin, Pengetahuan, Sikap, Perilaku, Penjual Tahu
FACULTY OF MEDICICAL AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY OF ENVIRONMENTAL HEALTH SCIENCE
Undergraduated Thesis, June, 2015
AWALIYAH RIZKA SAFITRI, NIM: 1111101000013
DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF TOFU SELLER ABOUT FORMALINED TOFU IN SEMANAN LOCAL MARKET, WEST JAKARTA IN 2015
(XIV +134 pages, 15 tables, 7 diagrams, 2 charts, 23 appendix) ABSTRACT
Formalined tofu is still available in market, although formalined tofu has been banned from 1982. The prohibition in tofu is based on the fact that it can cause some health effects, such as poisoning, vomiting, inflaming, gastric irritation, kidney damaging, cancer, and even death. The formaline in tofu is related with some factors, such as knowledge, attitude, and behavior of tofu seller. A lack of knowledge and negative attitude could contribute to a behavior of formalined tofu sales.
The purpose of this research is to find out the outlook of the knowledge, attitude, and behavior of formalined tofu sales in Semanan Local Market, West Jakarta in 2015. The type of this research is a descriptive- quantitative with an approximation cross sectional methode. The population of this research is 34 tofu sellers in Semanan Local Market. The samples were taken by total samples (all population). Whereas, the tofu samples that sold by the respondents was done by accidental sampling. The research instrumental was using questionnaire. The laboratory samples was done qualitatively with Food Security Kit Formaldehyde to prove whether the tofu contains formaline or not. The data. analysis is done by univariat.
The result of this research shows that 38,2% respondents’s level
knowledge are low and 35,3% respondent’s attitude are negative (disagree). Then,
46,6% tofu found to contains formaline and 73,5% are doing a formalined tofu sales. A knowledge that has not yet optimum in some questions and also the attitude that tend to have a closed personality becomes a cause of the existence of formalined tofu sales. As the formalined tofu has been found, the community should be smarter in knowing the physical characteristics of formalined tofu. It needs a counseling from health workers to tofu sellers related to the prohibition of formalined tofu sales as also the health effect that being caused by that. It also need a health worker’s role and also Pemda interregional to keeping an eye on formalined tofu cycles.
Key Words: Tofu, Formaline, Knowledge, Attitude, Behavior, Tofu Seller
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Awaliyah Rizka Safitri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Maret 1994
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Daan Mogot Km.18 Kp.Asem RT.06/05 No.173
Semanan Kalideres Jakarta barat 11850
Telepon : 0896-9424-2827 / 0896-9977-9460
Email : awaliyah.rizka@gmail.com
Pendidikan Formal:
1. SD NEGERI SEMANAN 05 PAGI JAKARTA 1999-2005
2. MTs NEGERI 8 JAKARTA 2005-2008
3. MA NEGERI 12 JAKARTA 2008-2011
4. KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN
KESEHATAN LINGKUNGAN UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Terimakasih atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penjual tahu Mengenai Tahu Berformalin di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarganya dan sahabatnya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. Ayahanda Taufik Hidayat, Ibunda Romlah sebagai orangtua saya yang mendidik saya dari buaian hingga saat ini, semoga Allah meridhai Ayah dan Ibu. Serta adik-adik (Fika, Faiz, Farhan, Thoifur) yang selalu mendukung dan menyayangi saya dan selalu menemani saya dalam pembuatan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM. M.Kes selaku dekan FKIK UIN Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selalu ketua Prodi Kesehatan
Masyarakat yang sangat berperan dalam terselenggaranya sidang.
4. Dosen Pembimbing Skripsi saya, Ibu Dewi Utami Iriani. M. Kes, Ph.D dan Ibu Febrianti M.Si, yang telah memberikan ilmu dan waktunya dalam membimbing saya mengerjakan skripsi ini.
5. Dosen penguji 1. Ibu Fase Badriah, M.Kes, Ph.D, Penguji 2. Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D dan Penguji 3. Ibu Julie Rostina, SKM, MKM, yang telah memberikan banyak saran pada sidang munaqosyah saya.
6. Pak Ajib selaku staf prodi yang senantiasa memberi semangat untuk saya. 7. Guru-guru saya dari TK Nurul Huda, SDN 05 Pagi, MTs N 8 Jakarta, MAN
12 Jakarta, dosen FKIK UIN Jakarta, serta guru ngaji saya atas ilmu yang telah diberikan kepada saya, semoga bermanfaat untuk saya dan orang-orang disekitar saya.
8. Sahabat terbaik Sarah Ajeng, Rachmatika, dan Abdul Karim, yang senantiasa memberi semangat tiada henti, memberi inspirasi dan sharing ilmu.
9. Sahabat hidup sekaligus kakak terbaik Ahmad Ridwan atas dukungan dan waktu luangnya dalam memberikan ilmu dan waktunya demi terselesaikannya skripsi ini.
10.Sahabat seperjuangan (2011), kakak dan adik kelas di Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta, dan teman RISMAULA.atas dukungannya.
Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan maupun rangkaian kata dalam skripsi ini.
Jakarta, Juni 2015
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ... ii
Abstrak ... iii
Abstrack ... iv
Lembar Persetujuan ... v
Lembar Penguji ... vi
Daftar Riwayat Hidup ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Diagram ... xiv
Daftar Bagan ... xiv
Daftar Lampiran ... xiv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1-10 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Pertanyaan Penelitian... 7
1.4. Tujuan ... 8
1.4.1. Tujuan Umum ... 8
1.4.2. Tujuan Khusus ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 9
1.5.1. Manfaat Bagi Pemerintah ... 9
1.5.2. Manfaat Bagi Lembaga Konsumen ... 9
1.5.3. Manfaat Bagi Masyarakat ... 9
1.5.4. Manfaat Bagi Peneliti ... 9
1.5.5. Manfaat Bagi FKIK ... 9
1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
2.1.1. Syarat Kualitas Tahu ... 11
2.1.2. Jenis Tahu ... 13
2.2. Ciri Tahu Mengandung Formalin ... 15
2.3. Formalin ... 15
2.3.1. Pengertian Formalin ... 15
2.3.2. Kegunaan Formalin ... 17
2.3.3. Akibat Pemaparan Formalin ... 18
2.3.4. Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu ... 21
2.4. Konsep Perilaku ... 21
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 23
2.6. Faktor Predisposisi ... 24
2.6.1. Pengetahuan ... 24
2.6.2. Sikap ... 31
2.6.3. Persepsi ... 36
2.6.4. Nilai ... 38
2.7. Faktor Pemungkin ... 40
2.7.1. Ketersediaan Fasilitas dan SDM ... 40
2.7.2. Keterampilan Petugas ... 41
2.7.3. Komitmen Pemerintah ... 42
2.8. Faktor Penguat ... 43
2.8.1. Teman Pedagang ... 43
2.8.2. Akses ke Produsen ... 44
2.8.3. Keluarga ... 44
2.8.4. Pengawasan Petugas Kesehatan ... 45
2.9. Kerangka Teori ... 46
BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 47-53 3.1. Kerangka Konsep... 47
3.2. Definisi Operasional ... 50
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54
4.3. Populasi ... 55
4.4. Sampel ... 55
4.5. Pengumpulan Data ... 56
4.6. Instrumen Penelitian ... 57
4.7. Cara Pengambilan Sampel Tahu ... 60
4.8. Cara Uji Laboratorium Pada Tahu ... 61
4.9. Pengolahan Data ... 63
4.10. Analisis ... 65
4.10.1.Univariat ... 65
4.11. Uji Validitas dan Reabilitas ... 66
BAB V : HASIL PENELITIAN ... 70-89 5.1. Karakteristik Responden ... 70
5.1.1. Usia ... 70
5.1.2. Jenis Kelamin ... 71
5.1.3. Pendidikan ... 71
5.1.4. Lama Berjualan Tahu ... 72
5.1.5. Jumlah Jenis Tahu yang Dijual ... 73
5.1.6. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenisnya ... 74
5.2. Hasil Analisa Univariat... 74
5.2.1. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu ... 75
5.2.2. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis Tahu .... 75
5.2.3. Gambaran Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin ... 76
5.2.3.1.Pengetahuan Berdasarkan Pertanyaan Kuesioner ... 77
5.2.3.2.Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan Formalin Pada Tahu yang Dijual ... 78
5.2.4. Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin 79 5.2.4.1.Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin Berdasarkan Item Pernyataan ... 81
5.2.5. Gambaran Perilaku Penjual Tahu ... 82
5.2.5.1.1. Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi ... 84
5.2.5.1.2. Asal Tahu ... 84
5.2.5.1.3. Kategori Daerah Supplier ... 85
5.2.5.1.4. Daya Tahan Tahu ... 86
5.2.5.1.5. Perlakuan Jika Tahu Bersisa ... 86
5.2.5.1.6. Teman yang Mengajak Berjualan Tahu ... 87
5.2.5.1.7. Perilaku Menjual Tahu Jika Sebenarnya Telah Mengetahui Tahu Tersebut Berformalin ... 88
BAB VI : PEMBAHASAN ... 90-123 6.1.Keterbatasan Penelitian ... 90
6.2.Temuan Formalin Pada Tahu ... 91
6.3.Pengetahuan Penjual Tahu Mengenai Formalin ... 94
6.3.1.Pengetahuan Mengenai Golongan Formalin Menurut Peraturan Pemerintah ... 102
6.3.2.Pengetahuan Mengenai Ciri Tahu Berformalin ... 104
6.3.3.Pengetahuan Mengenai Dampak Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Tahu Formalin ... 106
6.4.Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin ... 109
6.5.Perilaku Penjual Tahu ... 115
6.5.1.Identifikasi Perilaku Penjual Tahu Mengenai Tahu Berformalin ... 119
BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN ... 123-127 7.1. Simpulan ... 123
7.2. Saran ... 123
7.2.1.Saran Bagi Masyarakat ... 123
7.2.2.Saran Bagi Pemerintah ... 124
7.2.3.Saran Bagi Lembaga Konsumen ... 125
7.2.4.Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 126
7.2.5.Saran Bagi FKIK ... 126
DAFTAR TABEL
3.1. Definisi Operasional……….. 50
5.1. Distribusi Usia Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015……… 70
5.2. Distribusi Lama Penjual Tahu Berjualan di Pasar Daerah Semanan
Tahun 2015……… 73
5.3. Distribusi Jenis Tahu yang Dijual Penjual Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015……… 73
5.4. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenis di Pasar Daerah Semanan
Tahun 2015……… 74
5.5. Distribusi Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015……… 75
5.6. Distribusi Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 76 5.7. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015……… 76
5.8. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Berdasarkan Pertanyaan
Kuesioner di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 77 5.9. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya
Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 80 5.10. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya
Formalin Berdasarkan Item Pernyataan Pada Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015………. 81
5.11. Distribusi Perilaku Penjualan Tahu Berformalin Di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015………. 83
5.12. Distribusi Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi Penjual
Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 84 5.13. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Terkait Faktor Teman yang
Mengajak Berjualan Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015… 88 5.14. Distribusi Perilaku Penjual Tahu Jika Telah Mengetahui Tahu
DAFTAR DIAGRAM
5.1. Distribusi Jenis Kelamin Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan
Tahun 2015……….. 71
5.2. Distribusi Pendidikan Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015……….. 72
5.3. Distribusi Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan Formalin Pada Tahu yang Dijual di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 79 5.4. Distribusi Asal Tahu yang Dijual Penjual Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015……….. 85
5.5. Distribusi Kategori Daerah Supplier Yang Mensuplai Tahu Kepada Para Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………….. 85 5.6. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Tentang Daya Tahan Tahu yang
Dijualnya di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 86 5.7. Distribusi Perlakuan Penjual Tahu Jika Tahu Bersisa di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015………. 87
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori………. 45
3.1 Kerangka Konsep……….. 48
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Kuesioner
2. Form Hasil Uji Kualitatif Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015 3. Dokumentasi
1 1.1. Latar Belakang
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 33 tahun
2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), salah satu bahan pengawet
yang dilarang penggunaannya pada makanan adalah formalin atau
folmaldehyde. Formalin dilarang ada pada makanan karena dapat membahayakan kesehatan. Formalin merupakan salah satu pengawet non
pangan yang biasanya digunakan dalam pengawetan mayat (Sartono, 2001).
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat ini
kenyataannya formalin disalahgunakan sebagai pengawet salah satunya pada
produk makanan seperti tahu (BPOM, 2006). Formalin pada makanan telah
dilarang oleh US-EPA (Environmental Protection Agency) dan International Programme on Chemical Safety / IARC karena formalin merupakan zat yang
probable human carcinogen (Hastuti, 2010). Pemerintah Indonesia juga telah melarang penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan sejak tahun
1982 melalui Permenkes No. 472/1996 tentang Pengamanan Bahan
Berbahaya Bagi Kesehatan.
Larangan formalin pada makanan karena dapat menimbulkan dampak
kesehatan. Menurut ajaran islam, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 168
manusia diperintahkan makan makanan yang halal dan baik (Departemen Agama RI, 2006). Ayat ini menjadi pedoman dasar bagi manusia untuk
dari kondisi fisik namun baik dalam segi manfaat dari makanan tersebut bagi
kesehatan. Namun pada kenyataannya saat ini marak beredar makanan yang
mengandung zat berbahaya bagi kesehatan.
Salah satu makanan yang terbukti mengandung zat berbahaya bagi
kesehatan adalah tahu yang mengandung formalin. Tahu merupakan makanan
populer di kalangan masyarakat Indonesia karena harganya yang tejangkau
dan juga bergizi. Tahu dapat dengan mudah di dapat baik di pasar tradisional
maupun di swalayan dengan harga yang cukup murah (Tjiptaningdyah, 2010).
Formalin pada tahu berfungsi sebagai pengawet untuk
mempertahankan kualitas tahu dan meningkatkan daya simpan tahu. Dengan
adanya formalin pada tahu maka perlu dikhawatirkan dampaknya, baik akut
maupun akumulatif yang tidak langsung terlihat. Dampak akut tersebut
seperti iritasi lambung, muntah, diare, kencing bercampur darah. Sedangkan
dampak akumulatif tersebut seperti kerusakan ginjal, kanker, mutagen, dan
bahkan kematian (Anwar dan Khomsan, 2008).
Menurut Environmental Protection Agency (EPA) ambang batas formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh (NOAEL) dalam bentuk makanan
untuk orang dewasa sebesar 15mg/kg per hari (EPA, 1991). Dampak akut
dapat muncul setelah mengkonsumsi makanan mengandung formalin dengan
dosis diatas 15 mg/kg/hari. Berdasarkan uji klinis, dosis toleransi tubuh
manusia pada pemakaian terus-menerus/ reference dose (RfD) untuk formalin adalah sebesar 0,2 mg/kg/day selama 30 tahun, dan dapat menimbulkan
resiko kesehatan seperti kerusakan ginjal. Karena dampak akumulatif dari
diizinkan sama sekali ada pada makanan. Hal ini sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-0222-1995 lampiran II yang menyebutkan
bahwa zat kimia berbahaya seperti formalin tidak boleh ada di makanan.
Data keberadaan formalin pada tahu di Indonesia menurut BPOM
(2006) sebesar 33,45%. Data tersebut didapat dari beberapa sampel yang
diambil di kota-kota besar di Indonesia seperti kota Jakarta, Bandung, Bandar
Lampung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, dan Makasar.
Kemudian BPOM juga menyatakan bahwa temuan tahu berformalin relatif
tinggi di Jakarta yakni 77,85% (BPOM, 2006). Sedangkan di daerah lainnya,
BPOM menemukan ratusan tahu berformalin di Ciputat Tangerang Selatan
(Banpos, 2014). Kemudian di Sidoarjo, ditemukan 62,85% tahu putih
berformalin di pasar tradisional dan 77,77% tahu berformalin di pasar modern
(Tjiptaningdyah, 2010).
Pada tingkat produsen juga ditemukan pabrik tahu yang menggunakan
formalin yakni seperti di daerah Palmerah dan Jelambar Jakarta Barat
(Widiastuti, 2009). Penjualan tahu berformalin juga ditemukan di pasar
daerah Semanan-Jakarta Barat. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi
pendahuluan pada bulan Desember 2014 dari 10 (sepuluh) sampel tahu 8
(delapan) diantaranya mengandung formalin.
Sementara itu, diketahui terdapat sebanyak 8.986 pengerajin tahu-tempe
di DKI Jakarta. Pada tahun 2008, Jakarta Barat merupakan daerah kedua
terbesar sebagai daerah penghasil tahu-tempe di DKI Jakarta yakni sebanyak
2.481 orang (Republika, 2008). Sedangkan daerah sebagai penghasil tahu
2013). Di daerah Semanan terdapat sebanyak 300 pengerajin tahu beserta
tempe, 100 pengerajin tahu yang tersebar di 9 pabrik tahu di KOPTI Semanan
Jakarta Barat, dan 34 penjual tahu yang tersebar di pasar daerah Semanan.
Jumlah pedagang tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan pasar
ciputat sebesar 19 penjual tahu dan pasar anyar tangerang sebanyak 17
penjual tahu (Gatra, 2013).
Dengan ditemukannya tahu berformalin tersebut, hal ini juga
menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran terhadap keamanan konsumen.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat sepanjang tahun
2012 terdapat 620 kasus permasalahan konsumen. Kasus permasalahan
konsumen juga masih terjadi hingga tahun 2013 dengan ditemukannya
makanan berformalin seperti tahu berformalin (Purbolaksono, dkk, 2014). Hal
tersebut tidak hanya merugikan keselamatan konsumen, namun juga
merugikan konsumen secara finansial. Padahal pemerintah telah mengatur
hak konsumen mendapatkan makanan yang aman serta hak dan kewajiban
pelaku usaha dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(Padmono, 2014).
Dalam penjualan tahu berformalin terdapat faktor perilaku penjual tahu
yang dapat mempengaruhi masih adanya tahu berformalin di pasaran. Faktor
perilaku tersebut ditentukan oleh 3 faktor utama yakni faktor predisposisi,
faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi merupakan faktor
yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor predisposisi antara
penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Sedangkan sikap merupakan
komponen yang penting dalam melakukan tindakan (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Habsah (2012), faktor yang
terkait penjualan makanan berformalin pada makanan adalah pengetahuan
dari pedagang yang menjual makanan tersebut. Kurangnya pengetahuan
terkait bahan tambahan pangan (BTP) akan cenderung membuat kebiasaan
menjual makanan yang mengandung BTP yang tidak baik. Faktor yang sama
juga diteliti oleh Permanasari (2010), didapatkan hasil 56,67% pengetahuan
pedagang kurang, 53,33% memiliki sikap negatif, dan 50% terbukti
melakukan praktik perdagangan makanan berformalin.
Kemudian pada penelitian Nugrahiningtyas (2010) di pasar tradisional
dan supermarket kota Jember menunjukkan bahwa masih minimnya
pengetahuan responden terkait tahu berformalin sebesar 60,7% di pasar
tradisional dan sebesar 53,6% di supermarket menyebabkan masih
ditemukannya penjualan tahu berformalin. Dengan demikian masih minimnya
pengetahuan dapat menyebabkan penjualan tahu berformalin masih ada di
pasaran.
Mengingat dari hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya tahu yang
berformalin, maka hal tersebut membuktikan bahwa para penjual tahu masih
ada yang menjual tahu yang mengandung formalin. Padahal pemerintah telah
melarang formalin sebagai pengawet dalam SNI-01-0222-1995, karena dapat
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai
tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
1.2. Perumusan Masalah
Formalin adalah pengawet non pangan yang biasa digunakan dalam
pengawetan mayat. Pemerintah melarang penggunaan formalin sebagai
bahan pengawet pangan sejak tahun 1982 melalui SNI 01-0222-1995
lampiran II, mengingat bahaya serius yang akan dihadapi jika formalin
masuk ke dalam tubuh manusia. Resiko kesehatan seperti kerusakan ginjal
dapat terjadi secara akumulatif akibat mengkonsumsi formalin sebesar 0,2
mg/kg/day selama 30 tahun (EPA, 1991). Namun kenyataannya makanan
yang mengandung formalin masih dijual oleh beberapa pedagang/penjual
yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan operasi pasar oleh BPOM yang dilakukan di Pasar yang
ada di DKI Jakarta ditemukan sebesar 77,85% tahu berformalin (BPOM,
2006). Penjualan tahu berformalin juga ditemukan di pasar daerah
Semanan-Jakarta Barat. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi pendahuluan
yakni dari 10 (sepuluh) sampel tahu 8 (delapan) diantaranya mengandung
formalin.
Sementara itu, Daerah Semanan-Jakarta Barat merupakan daerah
penghasil tahu terbesar di DKI Jakarta (Keteng, 2013). Terdapat 100
pengerajin tahu yang tersebar di 9 pabrik tahu di KOPTI Semanan Jakarta
Barat dan 34 penjual tahu yang tersebar di pasar daerah Semanan. Jumlah
sebesar 19 penjual tahu dan pasar anyar tangerang sebanyak 17 pedadang
tahu (Gatra, 2013).
Mengingat dari hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya tahu
yang berformalin, maka hal tersebut membuktikan bahwa para penjual tahu
masih ada yang menjual tahu yang mengandung formalin dan hal tersebut
menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap keamanan konsumen.
Padahal pemerintah telah melarang formalin sebagai pengawet dalam
SNI-01-0222-1995, karena dampak negatifnya bagi kesehatan. Disertai dengan
penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa keberadaaan tahu
berformalin dapat dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan dan sikap dari
pedagang. Maka perlu dilakukan penelitian terkait gambaran pengetahuan,
sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di Pasar daerah
Semanan Jakarta Barat.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1) Berapa persentase tahu yang berformalin di pasar daerah Semanan
Jakarta Barat?
2) Bagaimana karakteristik penjual tahu di daerah Semanan Jakarta Barat?
3) Bagaimana tingkat pengetahuan penjual tahu di pasar daerah Semanan
Jakarta Barat tentang ciri tahu berformalin, golongan formalin
berdasarkan PP, dan dampak formalin yang ada di tahu bagi kesehatan?
4) Bagaimana sikap penjual tahu di pasar daerah Semanan Jakarta Barat
5) Bagaimana perilaku penjual tahu mengenai tahu formalin di pasar
daerah Semanan Kalideres?
1.4. Tujuan
1.4.1.Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai
tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
1.4.2.Tujuan Khusus
1) Mengetahui persentase tahu berformalin di jual di pasar daerah
Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
2) Mengetahui karakteristik penjual tahu di daerah Semanan Jakarta
Barat Tahun 2015.
3) Mengetahui tingkat pengetahuan penjual tahu di pasar daerah
Semanan Jakarta Barat tentang ciri tahu berformalin, golongan
formalin berdasarkan peraturan pemerintah (PP), dan dampak
formalin yang ada di tahu bagi kesehatan.
4) Mengetahui sikap penjual tahu terhadap informasi bahaya
formalin di pasar daerah Semanan Kalideres.
5) Mengetahui perilaku penjual tahu mengenai tahu formalin di
[image:22.595.128.514.182.539.2]1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1.Manfaat Bagi Pemerintah
Sebagai masukan bagi BPOM, Dinkes setempat, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, agar melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap peredaran tahu berformalin secara
berkesinambungan .
1.5.2.Manfaat Bagi Lembaga Konsumen
Sebagai masukan dan informasi bagi YLKI demi perlindungan
konsumen dari dampak negatif kesehatan akibat tahu berformalin.
1.5.3.Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai informasi bagi masyarakat dalam memilih makanan
olahan yang aman untuk dikonsumsi dan lebih cermat dalam memilih
tahu yang beredar di pasaran.
1.5.4.Manfaat Bagi Peneliti
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan keterampilan peneliti dalam mengaplikasikan ilmu
yang telah di dapat selama pembelajaran di perkuliahan.
1.5.5.Manfaat Bagi FKIK
Sebagai masukan bagi FKIK yang dapat menjadi dasar untuk
melakukan advokasi terkait dampak kesehatan bagi masyarakat jika
tahu berformalin terus beredar dipasaran.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berjudul “gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku
Barat tahun 2015”. Subjek penelitian ini adalah pedagang/penjual tahu yang
ada di pasar daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015. Penelitian ini telah
dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 di Pasar Daerah Semanan Jakarta
Barat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pengetahuan,
sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah
Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
Penelitian ini bersifat deskriptif-kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 34 penjual tahu. Total sample
(seluruh populasi) diambil sebagai sampel untuk mengantisipasi kehilangan
sampel. Sampel tahu diambil secara Accidental Sampling. Pengumpulan data terkait pengetahuan, sikap, dan perilaku menggunakan kuesioner,
wawancara, dan observasi. Sedangkan untuk mengetahui tahu tersebut
berformalin atau tidak serta untuk membuktikan perilaku menjual tahu
berformalin maka dilakukan uji kualitatif menggunakan alat “Food Security Kit Formaldehyde” dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK UIN
11 2.1. Tahu
Menurut Suprapti (2005), tahu merupakan salah satu jenis makanan
yang dibuat dari kedelai dengan jalan memekarkan protein kedelai dan
mencetaknya melalui proses pengendapan protein pada titik isoelektrisnya,
dengan atau tanpa penambahan unsur-unsur lain yang diizinkan. Dalam
pembuatan tahu harus sesuai dengan syarat dan kualitas yang telah di tetap
kan oleh pemerintah.
2.1.1. Syarat Kualitas Tahu
Dalam SNI 01-3142-1998 tentang tahu, tidak disebutkan
tentang syarat mutu formalin pada tahu. Hal tersebut dikarena
formalin dilarang ada dalam makanan apapun termasuk tahu,
larangan tersebut telah disebutkan dalam SNI-01-0222-1995 tentang
bahan tambahan makanan Lampiran II.
Tujuan penggunaan bahan tambahan kimia dalam proses
pengolahan atau pengawetan makanan adalah untuk meningkatkan
kualitas makanan yang dihasilkan. Dalam hal ini terkait dengan
pembuatan tahu, digunakan beberapa macam bahan tambahan kimia
a. Bahan penggumpal
Ada tiga jenis bahan kimia yang berfungsi sebagai bahan
penggumpal protein pada proses pembuatan tahu. Ketiga jenis
bahan tambahan kimia tersebut adalah sebagai berikut:
1) Asam Cuka (CH3COOH)
Asam cuka atau asam asetat yang terdapat di pasaran
merupakan asam asetat dalam kondisi pekat.
2) Batu Tahu (CaSO4)
Agar dapat digunakan sebagai bahan penggumpal, batu
tahu yang semula mirip dengan pecahan kaca harus dibakar
terlebih dahulu dengan waktu yang tidak terlalu lama hingga
hancur menjadi bubuk putih (tepung gips).
3) Cairan Sisa (Whey)
Cairan whey dapat digunakan lagi sebagai bahan penggumpal dalam proses penggumpalan selanjutnya.
b. Bahan pelunak kedelai
Dapat menggunakan soda abu yang dicampurkan ke dalam
air rendaman kedelai dengan dosis 0,3 gram/ 10 liter dari air
rendaman. Disamping itu, dapat digunakan pula soda kue dengan
dosis 0,5 gram/10 liter air rendaman.
c. Bahan Pewarna
Produk tahu biasanya berwarna kuning. Pewarna kuning
makanan yang diizinkan penggunaannya. Pewarna alami yakni
kunyit/kunir (turmeric). d. Bahan Pengawet
Bahan kimia pengawet tahu yang dapat digunakan, salah
satunya sebagai berikut:
1) Natrium (sodium) benzoat, dengan dosis 0,1%
2) Nipagin (para amino benzoic acid/ PABA), dengan dosis 0,08%.
3) Asam propionat, dengan dosis 0,3%
4) Garam (NaCl), dengan dosis 2,5%.
e. Flavor Sintesis
Flavour digunakan untuk memperbaiki cita rasa tahu, flavor
ayam atau daging biasanya ditambahkan dalam proses pembuatan
tahu. Penggunaannya sebanyak 5% dari bakal tahu yang akan
digunakan (Suprapti, 2005).
2.1.2. Jenis Tahu
Dengan berbagai variasi, bentuk dan nama tahu di
perdagangkan di pasaran. Berdasarkan variasi tampilannya, tahu
dibedakan menjadi 3 jenis yakni:
a. Tahu Putih
Tahu putih atau tahu cina, berwarna putih dan bertekstur
lembut. Teksturnya lebih padat, halus, kenyal, mudah hancur
Ukuran dan bobot tahu relatif seragam karena proses
pembuatannya dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam
pemuatannya, digunakan sioko (kalsium sulfat) sebagai bahan penggumpal protein sari kedelainya (Saragih dan Sarwono, 2003).
b. Tahu Kuning
Tahu kuning biasanya adalah tahu bandung. Warna kuning
dari tahu ini berasal dari kunyit. Berbentuknya persegi (kotak),
tekstur agak keras dan kenyal, warna kuning karena sebelumnya
telah direndam air kunyit. Tahu digoreng dengan mengoleskan
sedikit minyak di wajan. Tahu ini lebih enak dikonsumsi dengan
lalap cabai rawit (Saragih dan Sarwono, 2003).
Namun ada juga tahu kuning mirip tahu cina, yang sudah di
potong kecil atau sebagian orang menyebutnya tahu serpong.
Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning disebabkan sepuhan atau
larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam masakan cina
(Saragih dan Sarwono, 2003).
c. Tahu Coklat
Tahu coklat biasanya disebut juga tahu kulit. Tahu ini sudah
digoreng terlebih dahulu sehingga warnanya cokelat dan bagian
luarnya seperti kulit. Setelah di goreng biasanya tahu ini direndam
dalam air. Biasa digunakan untuk membuat tahu isi. Bentuknya ada
yang segitiga maupun persegi dan ukurannya umumnya berukuran
2.2. Ciri Tahu Mengandung Formalin
Tahu merupakan bahan makanan atau pangan yang sangat mudah
rusak sehingga digolongkan sebagai high perishable food. Secara organoleptik tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah
terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai
busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan
berkurang, dll (Astawan, 2009).
Karena tahu mudah mengalami kerusakan, maka beberapa produsen
yang tidak bertanggung jawab menggunakan formalin sebagai pengawet
tahu. Salah satu cara mengidentifikasi tahu berformalin yakni dengan
mengetahui ciri-ciri tahu yang mengandung formalin yakni sebagai berikut
(BPOM RI, 2006):
a. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25C)
b. Bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10C)
c. Tahu terlampu keras namun tidak padat
d. Bau agak menyengat, bau formalin (dengan kandungan formalin 0,5-1
ppm).
2.3. Formalin
2.3.1.Pengertian Formalin
Formalin merupakan suatu zat yang biasanya mengandung 37%
formaldehid dalam pelarut air dan mengandung 10% metanol.
Katakteristik formalin yakni tidak berwarna, bau yang keras dan
2008). Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal, atau
formalin), merupakan aldehida dengan rumus kimia H2CO, yang
berbentuk gas, atau cair yang dikenal sebagai formalin, atau padatan
yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxana (Ratnaningtyas, 2012). Paraformaldehid juga digunakan untuk memberi kekuatan
terhadap air pada kertas atau kain, dan juga sebagai perekat plywood
dan papan kayu yang lain. Paraformaldehid, kadang-kadang
mengandung formaldehid bebas. Batas paparan formaldehid 2 ppm,
dan dosis fatal formalin 60-90ml (Sartono, 2001).
Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang
sekarang banyak digunakan untuk mengawetkan makanan. Menurut
Sartono (2001), formaldehid biasa digunakan sebagai antiseptika,
desinfektan, deodoran, dan sebagai larutan untuk membalsem mayat.
Formaldehid yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid
bervariasi antara 20%-40% (Sitiopan, 2012). Dipasaran, formalin
dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yakni dengan kadar
formaldehidnya 40, 30, 20, 10 persen serta dalam bentuk tablet yang
beratnya masing-masing 5 gram (Cahanar et al, 2006). Alasan penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan karena harga
formalin yang relatif lebih murah yakni berkisar antara Rp. 5000-
Rp.7000 per liternya (Saparinto dan Hidayati, 2006). Menurut
Hendaryani (2012) harga formalin saat ini sangat murah yakni
Rp.8000/liter, sedangkan harga pengawet makanan seperti kitosan
pedagang makanan yang tidak bertanggung jawab lebih memilih
menggunakan formalin dibanding kitosan.
2.3.2.Kegunaan Formalin
Formalin biasa berfungsi sebagai obat untuk pengawet mayat.
Namun di masyarakat, formalin digunakan secara luas sebagai obat
antiparasit. Formalin efektif digunakan untuk membunuh berbagai
macam parasit dan bakteri yang menempel pada ikan hias. Selain itu
kadang-kadang formalin yang diencerkan digunakan sebagai
desinfektan dipeternakan (Sari, 2008).
Menurut BPOM (2006), formalin digunakan untuk pembunuh
kuman sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembersih lantai,
kapal, gudang dan pakaian; pembasmi lalat dan berbagai serangga
lain; bahan untuk pembuatan sutra buatan, zat pewarna, pembuatan
gelas dan bahan peledak; dalam dunia fotografi biasanya digunakan
untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas; bahan untuk pengawet
mayat; bahan pembuatan pupuk lepas lambat (slow- release fertilizer) dalam bentuk urea formaldehid; bahan untuk pembuatan parfum;
bahan pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku; pencegah
korosi untuk sumur minyak; bahan untuk insulasi busa; bahan perekat
untuk produk kayu lapis (plywood); dalam konsentrasi yang sangat kecil (< 1%) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai produk
konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring,
2.3.3.Akibat Pemaparan Formalin
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan
bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga
menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang
menyebabkan keracunan pada tubuh (Cahanar et al, 2006). Formalin dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akibat uap formalin,
selain itu dapat terserap oleh kulit ataupun secara ingesti (tertelan).
Jika sampai tertelan (ingesti) maka orang tersebut harus segera
diminumkan banyak air dan segera dimintakan untuk memuntahkan
isi lambungnya (Sari, 2008).
Pemajanan formalin ke dalam tubuh dapat terjadi melalui ingesti
saat seseorang mengkonsumsi formalin pada makanan. Biasanya
terjadi pada makanan-makanan seperti tahu, daging ayam, dan mie
basah. Karena komoditas pangan tersebut relatif sering di konsumsi
masyarakat namun cepat mengalami pembusukan dan tidak tahan
lama sehingga beberapa produsen tidak bertanggung jawab memberi
tambahan pengawet formalin (Anwar dan Khomsan, 2009). Padahal
seharusnya formalin dilarang digunakan pada makanan mengingat
dampak buruk akibat penggunaan dari zat beracun tersebut (Sari,
2008).
Formalin diketahui sebagai zat beracun, yang dapat
menyebabkan dampak kesehatan baik secara langsung (akut) maupun
mengkonsumsi formalin dengan dosis mulai dari 15 mg/kg/hari,
adapun dampak tersebut yakni sakit kepala, radang hidung kronis
(rhinitis), mual-mual, (Sari, 2008). Selain itu dapat juga menyebabkan
muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, bahkan
kematian akibat kegagalan peredaran darah (Cahanar et al, 2006). Sedangkan dampak akumulatif berupa kerusakan ginjal dapat terjadi
jika terus mengkonsumsi makanan berformalin dengan dosis
0,2mg/kg/hari setiap harinya, dampak tersebut akan terlihat setelah
paparan dalam kurun waktu 30 tahun (EPA, 1991).
Konsumsi formalin pada manusia secara ingesti (tertelan) dapat
menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan. Pada wanita dapat
menyebabkan gangguan mentruasi dan infertilitas (kemandulan) (Sari,
2008). Seseorang mungkin hanya mampu bertahan 48 jam setelah
mengkonsumsi dosis fatal formalin (60-90ml) (Anwar dan Khomsah,
2008).
Menurut Sartono (2001), keracunan formaldehid juga dapat
terjadi melalui inhalasi menyebabkan iritasi pada saluran nafas, selain
itu juga merangsang mata. Gejala lain yang dapat timbul pada
konsumsi rendah, antara lain edema laring, dan reaksi sensitivitas
pada kulit seperti urtikaria. Penelitian pada binatang menunjukkan
bahwa formalin dapat menyebabkan kanker kulit dan kanker paru.
Formalin juga dapat merusak sistem syaraf tubuh manusia dan dikenal
sebagai zat yang bersifat racun untuk persyarafan tubuh kita
susah tidur, sensitif, mudah lupa, sulit berkonsentrasi. Selain itu,
berdasarkan penelitian Heryani, dkk (2011), diketahui bahwa paparan
formalin menyebabakan penurunan sel spermatogenik pada mencit.
Selain itu pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12
minggu menyebabkan terjadinya histopatologis gaster tikus wistar.
Perubahan yang terlihat berupa deskuamasi epitel, erosi epitel dan
ulseri epitel (Katerina, 2012).
Menurut Environmental Protection Agency (EPA, 1991) ambang batas formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh (No Observed Adverse Effect Level/ NOAEL) dalam bentuk makanan untuk orang dewasa sebesar 15 mg/kg per hari. Namun berdasarkan
uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian terus
menerus/ reference dose (RfD) untuk formalin sebesar 0,2 mg/kg/day (EPA, 1991).
Dampak formalin secara inhalasi menurut EPA telah terbukti
dapat menimbulkan kanker dalam jangka kurun waktu 70 tahun. Data
dosis respon untuk resiko kanker pajanan secara inhalasi menunjukkan
bahwa pada dosis 5,6 mg/kg/hari pada manusia dapat menimbulkan
insiden kanker pada 2/153 orang sedangkan pada dosis 14,3
mg/kg/hari dapat menimbulkan insiden kanker sebesar 94/140 orang
2.3.4.Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu
Keberadaan formalin pada tahu hanya bisa dibuktikan dengan
uji laboratorium. Metode yang dilakukan salah satunya dengan cara
pengujian menggunakan food security kit- formaldehyde 1 (dengan meneteskan reagent). Dikatakan positif jika kerta test field berwarna
keunguan sedangkan jika negatif tidak berubah warna
(Tjiptaningdyah, 2010).
2.4. Konsep Perilaku
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan serta respon. Perilaku dilihat dari aspek biologis merupakan kegiatan atau
aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku
merupakan tindakan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat
dipelajari.
Menurut Notoadmodjo (2012), pada dasarnya bentuk perilaku dapat
diamati melalui sikap dan tindakan. Namun tidak berarti bentuk perilaku
hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja. Perilaku bisa saja bersifat
potensial yaitu dari bentuk penelitian, motivasi dan persepsi. Pada
pelaksanaannya perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon seseorang
terhadap rangsangan dari luar subjek. Respon ini berbentuk tindakan.
Selanjutnya, berbentuk perilaku aktif yakni tindakan yang dapat diobservasi
secara langsung dengan mata, sedangkan yang pasif yaitu yang terjadi di
pengetahuan. Adapun bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan
menjadi tiga jenis yaitu:
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi
rangsangan dari luar berupa segala hal dan kondisi baru yang perlu
diketahui dan dikuasai dirinya.
2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan
atau rangsangan dari luar atau lingkungan dari subyek yang terdiri dari:
a. Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam sehingga alam itu sendiri
akan membentuk perilaku manusia yang hidup di dalamnya sesuai
dengan sikap dan keadaan lingkungan tersebut
b. Lingkungan sosial budaya (non-fisik) mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap pembentukan perilaku manusia, lingkungan ini adalah
keadaan masyarakat yang segala budidayanya dimana manusia itu
lahir dan mengembangkan perilakunya.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa
tindakan (action) terhadap suatu rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2007).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni
dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik
dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan perilaku
disebut determinan. Menurut Green (1991), kesehatan individu/masyarakat
dipengaruhi oleh dua faktor pokok yakni faktor perilaku dan faktor di luar
perilaku (non-perilaku).
Selanjutnya Lawrence Green (1991) menganalisis, bahwa faktor
perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:
1) Faktor-faktor predisposisi (disposing factors)
Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan
faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan.
3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang tahu
dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
Contohnya sikap dan perilaku petugas dan tokoh masyarakat.
Menurut Notoatmodjo (2007), upaya peraturan pemerintah termasuk
perilaku masyarakat agar berperilaku sehat dengan cara tekanan melalui
UU, PP, dan Intruksi pemerintah. Biasanya upaya dengan pendekatan
tersebut lebih cepat mengubah perilaku namun tidak langgeng (sustainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan dengan cara ini tidak didasari
oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut.
Dalam terjadinya perubahan perilaku, dapat dipengaruhi oleh
penyuluhan dengan komunikasi dua arah. Komunikasi persuasi dua arah
dalam penyuluhan kesehatan dibutuhkan guna mengubah pengetahuan,
sikap dan perilaku kesehatan secara langsung terkait rantai kausal yang
sama (Mc guire dalam Fitriani, 2011).
2.6. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) 2.6.1. Pengetahuan
2.6.1.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo,
2004). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bloom dalam
Notoadmodjo (2010), menurutnya pengetahuan adalah hasil
penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dsb). Dengan sendirinya,
saat penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
Menurut Mubarak (2007), pengetahuan itu sendiri dapat
dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat
hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan
pendidikan yang tinggi maka seseorang akan semakin luas
pengetahuannya. Akan tetapi bukan berarti seseorang yang
berpendidikan rendah akan mutlak memiliki pengetahuan rendah, sebab
pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal saja
melainkan dapat di peroleh melalui pendidikan non formal atau hasil
penginderaan terhadap informasi yang berasal dari media massa.
Televisi merupakan salah satu media massa yang menyajikan
pesan-pesan pembelajaran secara audio visual dengan disertai unsur
gerak. Televisi tergolong ke dalam media massa. Kelebihan televisi salah
satunya adalah medium yang menarik, modern, menyajikan informasi
visual dan lisan secara simultan yang mudah diterima panca indera, serta
sifatnya langsung dan nyata. Namun televisi memiliki kelemahan yakni
sifat komunikasinya hanya satu arah, sehingga kurang efektif untuk
penyuluhan yang membutuhkan pendekatan mendalam kepada responden
(Mubarak, dkk, 2007)
Pengetahuan mengenai suatu objek juga dapat berasal dari lama
pengalaman yang terkait objek tersebut. Semakin lama pengalaman atau
kejadian yang dialami oleh seseorang maka akan semakin banyak
pengalaman yang didapatkannya, sehingga pengetahuannya bertambah
Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi.
4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Faktor yang menjadi penentu pengetahuan seseorang selain
pendidikan adalah usia. Dengan bertambahnya usia seseorang maka akan
terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan
pada aspek fisik mematangkan perkembangan organ sedangkan aspek
psikologis atau mental mempengaruhi taraf berfikir seseorang sehingga
semakin dewasa dan matang. Namun, dengan meningkatnya usia, maka
kemampuan otak untuk menangkap pengetahuan akan semakin menurun
(Mubarak, dkk, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan atau kognitif
seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada
perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai recall atau mengingat memori yang sebelumnya telah diamati. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa
orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan.
Ketidaktahuan masyarakat tentang formalin dapat diketahui apabila
mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin.
2) Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat
menginterpretasikan secara benar objek yang diketahui tersebut.
Seseorang dinyatakan telah memahami formalin apabila dapat
menjelaskan secara lengkap meliputi bahan kandungan, kerugian
akibat mengkonsumsi makanan berformalin dan lainnya.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang telah memahami objek dapat
mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya tersebut pada situasi
lain. Seseorang anggota masyarakat pada tingkat aplikasi dapat
menerapkan teori dengan memperhatikan dan tidak mengkonsumsi
makanan yang mengandung formalin.
Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk menjabarkan
dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
tingkat analisis adalah jika orang tersebut telah dapat membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan terhadap
pengetahuan atas objek tersebut. Kemampuan masyarakat dalam
menganalisis keberadaan formalin, kerugian dan akibat dalam
mengkonsumsinya.
5) Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain
seseorang mampu menyusun formulasi baru dari formulasi yang
telah ada. Seseorang pada tingkatan ini diharapkan mampu
menghubungkan teori tentang kerugian dalam penggunaan formalin
bagi kesehatan.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam
dan pemakaian formalin dalam makanan kemudian tidak
mengkonsumsinya (Notoatmodjo, 2010).
Kemudian, untuk meningkatkan pengetahuan diperlukan
penyuluhan kesehatan dalam upaya menjembatani adanya kesadaran
perilaku tidak menjual tahu berformalin dengan pemberian dan
peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Dengan
adanya penyuluhan kesehatan diharapkan responden dapat memiliki
tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan dan, keselamatan
lingkungan dan masyarakatnya, khususnya keamanan pangan terkait
makanan berformalin (Mubarak, dkk, 2007).
Menurut Fitriani (2011), penyuluhan kesehatan yang berisi promosi
dan pendidikan kesehatan sangat berperan dalam peningkatan pengetahuan
mengenai dampak akibat formalin tersebut. Penggunaan media seperti
video perjalanan dari pemaparan awal formalin hingga terjadinya penyakit
serta target organ dari formalin dapat membantu menjelaskan betapa
bahayanya formalin pada makanan jika terus dikonsumsi.
Berdasarkan hasil penelitian Permanasari (2010) tentang hubungan
pengetahuan dan sikap pedagang dengan praktik penggunaan formalin
pada produk ikan basah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian
besar pedagang memiliki pengetahuan kurang yakni sebesar 56,67%,
melakukan praktik perdagangan makanan berformalin sebesar 50%. Selain
itu, berdasarkan penelitian Habibah (2013) di Semarang, menyatakan
formalin pada jenis makanan ikan asin masih kurang yakni sebesar 81,1%,
kemudian sebesar 21,9% sampel yang diuji positif mengandung formalin.
2.6.1.2. Cara Menilai Pengetahuan
Cara untuk mengukur pengetahuan seseorang dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui
pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket dan kuesioner. Indikator
pengetahuan kesehatan seseorang adalah “tingginya pengetahuan”
responden tentang kesehatan, atau besarnya persentase kelompok
responden tentang variabel-variabel atau komponen-komponen kesehatann
(Notoatmodjo, 2010).
Dalam hal ini pengukuran pengetahuan menggunakan kuesioner,
dengan penilaiannya menggunaan skor. Setiap jawaban benar dari item
pertanyaan pengetahuan diberikan skor 1 dan bila salah diberi skor 0,
sehingga setiap pedagang tahu mempunyai total skor pengetahuan yang
kemudian dilakukan perhitungan proporsi benar yang dinyatakan dalam
persentase (%).
Kriteria pengetahuan menurut Wijaya et al (2013) dengan kategori sebagai berikut:
1) Tinggi : Jika nilai lebih besar dari pada mean apabila berdistribusi
normal. Jika tidak berdistribusi normal maka nilai lebih besar dari
2) Rendah : Jika nilai lebih rendah dari pada mean apabila berdistribusi
normal. Jika tidak berdistribusi normal maka nilai lebih rendah dari
pada median.
2.6.2. Sikap
2.6.2.1. Definisi Sikap
Menurut Koentjaraningrat dalam Maulana (2009) sikap merupakan
reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau
objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan.
Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu
untuk berkelakukan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat
pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Sedangkan menurut
Notoadmodjo (2010), sikap juga merupakan respons tertutup seseorang
terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor
pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak
setuju, baik-tidak baik, dsb).
Menurut Zuriah (2006), sikap dikategorikan menjadi sikap positif
dan sikap negatif, yakni sebagai berikut:
a. Sikap positif merupakan kecenderungan tindakan yang mendekati,
menenangi, menghadapkan objek tertentu yang baik.
b. Sikap negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai objek tertentu yang baik.
Secara ringkas, sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai
masyarakat. Sedangkan sikap negatif adalah sikap yang tidak seseuai
dengan nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat
atau bahkan bertentangan (Purwanto, 1998).
Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2010), sikap terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu:
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap
objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Artinya,
bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang
tersebut terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Artinya, sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan
atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau
perilaku terbuka (tindakan)
Menurut Waluyo (2000), sikap juga terbentuk dari 3 komponen yakni
komponen afektif (perasaan), kognitif (pemikiran), dan perilaku. Seperti
halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan
intensitasnya (Notoatmodjo, 2007), yakni sebagai berikut:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi
dapat dilihat dari kesadaran dan perhatioan orang itu terhadap
b. Menanggapi atau merespon (responding)
Menanggapi yakni memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena ada usaha untuk
mengerjakan tugas yang diberikan atau menjawab pertanyaan tersebut.
Misalnya sikap seseorang menyikapi dan menanggapi tentang
pemakaian formalin pada tahu.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap. Misalnya seseorang pedagang tahu
mengajak pedagang tahu lainnya (tetangganya) untuk mengikuti
ceramah dan mendengarkan atau mendiskusikan tentang keamanan
pangan. Hal ini adalah suatu bukti bahwa pedagang tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap kemanan pangan terutama pengawet
makanan.
d. Bertanggung Jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seseorang
pedagang tahu mau menjadi akseptor dalam penjualan tahu berformalin,
meskipun mendapat tantangan dari orang lain (Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Permanasari (2010) tentang hubungan
pengetahuan dan sikap pedagang dengan praktik penggunaan formalin pada
produk ikan basah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian besar
pedagang memiliki sikap kurang yakni sebesar 53,33%, melakukan praktik
Habibah (2013) di Semarang, menyatakan bahwa masih terdapat penjual
yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan formalin pada makanan
yakni sebanyak 1 orang sedangkan yang memiliki sikap positif sebanyak 7
orang, kemudian sebesar 21,9% sampel yang diuji positif mengandung
formalin.
2.6.2.2. Cara Menilai Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang
bersangkutan. Pertanyaan secara langsung dapat dilakukan dengan cara
memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” dan “tidak
setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai objek tertentu. Namun
menurut skala Lickert, penilaian sikap terbagi mejadi 5 kategori: sangat
setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; sangat tidak setuju, kemudian untuk
keperluan analisis diberi skor (Sugiyono, 2009).
Adapun teknik perhitungan hasil skala lickert pada instrument
kuesioner atau angket, dapat dengan menganalisis data interval dengan
menghirung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban
responden. Misalnya instrument itu diberikan kepada 100 orang karyawan
yang diambil sampel. Dari 100 orang tersebut setelah dilakukan analisis
pada salah satu pernyataan misalnya:
Jumlah skor untuk 25 orang menjawab SS = 25x5 =125
Jumlah skor untuk 5 orang menjawab RG = 5x 3 = 15
Jumlah skor untuk 20 orang menjawab TS = 20x1 =20
Jumlah skor untuk 10 orang menjawab STS = 10x1 =10
Jumlah total = 350
Jumlah skor ideal (kriterium) untuk seluruh item adalah 5x 100 = 500
(seandainya semua menjawab SS). Jumlah skor yang diperoleh penelitian =
350. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat persetujuan terhadap pernyataan
tersebut = (350:500)x 70% dari yang diharapkan (100%).
Namun, secara kontinum dapat juga digambarkan sebagai berikut:
STS TS RG ST SS
100 200 300 350 400 500
Jadi berdasarkan data yang diperoleh dari 100 responden maka
rata-rata 350 terletak pada daerah setuju.
Cara pengukuran sikap selain menggunakan skala lickert adalah
dengan pengkategorian antara positif dan negatif. Positif jika jumlah
jawaban benar lebih dari setengah jumlah soal mengenai sikap, sedangkan
negatif jika jawaban benar kurang dari setengah jumlah soal mengenai sikap
2.6.3. Persepsi
2.6.3.1. Definisi Persepsi
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui
melalui persepsi. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda,
meskipun mengamati terdahap objek yang sama (Notoatmodjo, 2007).
Pepsepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali dengan
proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra,
kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru
kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi.
Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan
lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam
diri individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).
Menurut Sunaryo (2004), syarat-syarat terjadinya persepsi adalah
sebagai berikut:
a. Adanya objek yang dipersepsi
b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu
persiapan dalam mengadakan persepsi
c. Adanya alat indera/ reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang
kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
Selain itu, menurut Thoha (2003) proses terbentuknya persepsi
didasari pada beberapa tahapan, yaitu:
Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu
rangsangan yang hadir dari lingkungannya.
b. Registrasi
Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah
mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat seseorang
berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat
mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim padanya,
kemudian mendatar semua informasi yang terkirim kepadanya.
c. Interpretasi
Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang
sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang
diterimanya. Proses interpretasi tersebut tergantung pada cara
pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang.
Dalam proses persepsi terdapat 3 komponen utama yaitu:
a. Seleksi yakni proses penyaringan oleh indera terhadap rangsagangan
dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak maupun sedikit.
b. Interpretasi (penafsiran), yaitu proses mengorganisasikan informasi
sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang
dianut, motivasi, kepribadiaan, dan kecerdasan. Interpretasi juga
bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan
pengkategorian informasi yang diterimanya, itu proses mereduksi
c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk
tingkah laku, yang merupakan reaksi yaitu bertindak sehubungan
dengan apa yang telah di serap yang terdiri dari reaksi tersembunyi
sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang
nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi (pembentukan
kesan) (Sobur, 2009).
Sama halnya dengan pengukuran sikap, pengukuran persepsi dapat <