• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi emotional maturity dengan personal adjustment pada mahasiswa baru yang tinggal di Pesantren.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi emotional maturity dengan personal adjustment pada mahasiswa baru yang tinggal di Pesantren."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI EMOTIONAL MATURITY DENGAN PERSONAL

ADJUSTMENT MAHASISWA BARU YANG TINGGAL DI PESANTREN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Puput Khumairoh B07213030

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara emotional maturity dengan personal adjustment pada mahasiswa baru yang tinggal di pesantren. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara emotional maturity dengan personal adjustment pada mahasiswa baru yang tinggal di pesantren. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru angkatan 2016 yang tinggal di pesantren An-Nur Surabaya dengan jumlah subyek 53 orang. Penelitian ini merupakan penelitian populasi sehingga seluruh populasi dijadikan subyek penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Sedangkan alat pengumpulan data menggunakan skala emotional maturity dan personal adjustment. Kemudian analisis datanya menggunakan teknik korelasi product moment dengan bantuan SPSS 16.00 for windows, yang diperoleh koefisien korelasi (r) = 0,618 dan p = 0,000 (p < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara emotional maturity dengan personal adjustment pada mahasiswa baru yang tinggal di pesantren, yakni semakin tinggi emotional maturity individu maka semakin tinggi personal adjustment yang dimiliki. Sebaliknya semakin rendah emotional maturity maka semakin rendah personal adjustment.

(7)

ABSTRACK

This research aimed determine the correation between emotional maturity with personal adjustment of freshmen college studentsat . The hypothesis of this research is there is relation between emotional maturity with adjustment of freshmen college studentsat Islamic Boarding School. The hypothesis proposed in this research is the relationship between emotional maturity with personal adjustment of freshmen college studentsat Islamic Boarding School.. The population in this study is a new student class of 2016 who live in boarding An-Nur Surabaya with the number of 53 subjects. This study is a population study so that the entire population be subjected to research. The method used in this research is quantitative. While the data collection tool using emotional maturity scale and personal adjustment. Then data analysis using product moment correlation technique with the help of SPSS 16.00 for windows, obtained correlation coefficient (r) = 0,618 and p = 0,000 (p <0,05). The results of this study indicate that there is a significant positive relationship between emotional maturity with personal adjustment of freshmen college studentsat Islamic BoardingSchool, ie the more higher emotional maturity of individuals the higher the personal adjustment. Otherwise, the lower the emotional maturity the lower the personal adjustment

(8)

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Pengertian Personal Adjustment ... 18

2. Kriteria Personal Adjustment ... 20

3. Bentuk Personal Adjustment ... 25

4. Aspek Personal Adjustment ... 26

5. Proses Personal Adjustment ... 29

6. Pola Dasar Personal Adjustment ... 30

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Personal Adjustment ... 32

8. Dimensi Personal Adjustment ... 35

B. Emotional Maturity 1. Pengertian Emotional Maturity ... 39

2. Ciri-ciri Emotional Maturity ... 42

3. Karakteristik Emotional Maturity ... 43

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Emotional Maturity ... 47

5. Aspek-aspek Emotional Maturity ... 48

C. Korelasi Emotional Maturity dengan Personal Adjustment pada Mahasiswa Baru yang Tinggal di Pesantren ... 52

D. KerangkaTeoritis ... 56

E. Hipotesis ... 59

(9)

2. Definisi Operasional Varibel ... 58

B. Populasi ... 60

C. Teknik Pengumpulan Data ... 61

D. Instrumen Penelitian ... 61

E. Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas ... 66

2. Reliabilitas ... 71

F. Analisis Data ... 73

1. Normalitas ... 74

2. Linieritas ... 74

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 75

1. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Usia... 75

2. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

A. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 76

1. Deskripsi Data ... 76

2. Reliabilitas Data ... 78

3. Uji Prasyarat ... 79

a. Uji Normlitas ... 79

b. Uji Linieritas ... 80

B. Hasil Penelitian ... 82

C. Pembahasan ... 83

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Hal ini bisa disebabkan lingkungan tempat tinggalnya kurang baik,ingin mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di perguruan tinggi. Berbagai cara yang dapat dilakukan oleh individu untuk mewujudkan keinginan tersebut salah satunya adalah pergi ke daerah lain atau yang biasa disebut merantau (Shafira, 2015).

Menurut payanta (dalam Aji, 2009) Individu perlu memahami bahwa di sepanjang hidupnya akan banyak mengalami perubahan-perubahan situasi, sehingga sudah memiliki kesiapan mental untuk menghadapi hal tersebut. Perubahan perubahan situasi yang akan dihadapi individu antara lain: bertambahnya usia, perpindahan tempat tinggal, perubahan iklim, perubahan pelajar menjadi mahasiswa, perubahan tempat tinggal semula di rumah menjadi tinggal di asrama dan sebagainya. Namun, ada kalanya dalam menyikapi lingkungan yang baru individu mengalami banyak permasalahan.

(11)

in intelektual, melainkan juga mencetak mor ar dapat sesuai dan menyesuaikan diri dengan sosial, kultural dan agama. Tidak terkecua kan diri dengan lingkungan, aturan dan norm

kampus. Adanya perbedaan cara belajar, ntara mahasiswa dengan pengajar, bahasa y ekstrakulikuler, membutuhkan kemampuan da puni untuk dapat beradaptasi dengan baik.

bar 1. Diagram penelitianPersonal Adjustment

in hasil penelitian Voitkane, berdasarkan ha h satu subyek, yakni subyek yang berinisial SS pada tanggal (12 maret 2017), subyek merupaka

atau santri baru yang tinggal di pesantren m ma ini subyek juga merasa sulit dalam me

kungannya. Subyek yang memiliki pribadi ya serta banyak kesibukan sehingga membua

(12)

3

berkomunikasi dengan teman-teman dalam artian berkomunikasi jika ada keperluan saja.

Dari hasil wawancara diatas senada dengan apa yang diungkapkan (Handono, 2013) bahwa agar mahasiswa dapat berhasil dalam pendidikannya, ia harus dapat menyesuaikan diri di tempat yang baru. Pada saat seseorang harus masuk pada suatu lingkungan yang baru akan timbul masalah sendiri bagi individu tersebut karena adanya perbedaan lingkungan fisik dan sosial. Dengan usia yang bisa dikatakan matang, individu dituntut untuk lebih cepat dalam proses memahami diri sendiri maupun lingkungan. Terlebih dengan menyandang status sebagai mahasiswa.

Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh status terkait dengan perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Menurut Winarno (dalam Asiyah, (2013) mahasiswa mempunyai peran sebagai agen perubahan sosial seperti yang tercantum dalam tridharma perguruan tinggi (pendidikan, peneliti, dan pengabdian masyarakat).

(13)

4

merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi (Siswoyo, 2007).

Menurut kamus bahasa Indonesia(2005), mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Usia mahasiswa umumnya berkisar antara 18-25 tahun untuk strata 1 (S1) yang dalam kategori psikologi berada pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Sebagian besar mahasiswa berada pada masa peralihan tersebut. Sebagai masa peralihan, mahasiswa sudah tidak pantas dan tidak mau dianggap anak-anak, terutama dari segi fisik. Tetapi, dari segi kepribadian, baik dalam emosi, cara berpikir, dan bertindak masih sering menampakkan diri ketidakdewasaan, seperti masih sering terombang-ambing, terpengaruh dan tergantung kepada orang lain (Nurhayati, 2011).

Mahasiswa yang juga adalah seorang akademisi memiliki beragam tuntutan dan permasalahan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Tuntutan tersebut dapat berupa permasalahan akademik maupun non akademik seperti yang diungkapkan Sukirman (2004). Banyaknya kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa misal mengikuti seminar dan pelatihan, anggota dalam kegiatan ekstra maupun intra kampus serta adanya tuntutan dalam studinya mengharuskan mahasiswa mampu menyikapi permasalahan itu dengan tepat ( Maulinawati, 2014).

(14)

5

sebagaimana yang dijelaskan oleh Suharman (dalam Aisyah, 2016). Mahasiswa baru pada umumnya masuk pada usia dewasa awal.

Hurlock (2002) mengatakan masa dewasa awal dimulai sejak usia 18 tahun sampai usia 40 tahun. Masa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru, dan harapan-harapan sosial baru. Personal adjustment ini menjadikan periode masa dewasa awal suatu periode khusus. Pada masa ini individu dituntut untuk mulai hidup mandiri dan memutuskan sesuatu dengan tepat. Seperti halnya dalam menentukan tempat tinggal.

Dalam menentukan tempat tinggal, seorang mahasiswa mengadakan banyak pertimbangan. Seperti yang diungkapkan (Al Fikri, 2013) Secara umum kebanyakan mahasiswa yang merantau ke daerah orang, dalam mencari tempat tinggal lebih banyak yang mencari kos -kosan, kontrakan atau tempat tinggal yang memiliki sedikit aturan. Di tengah maraknya mahasiswa lain mencari kelonggaran atau kebebasan, ternyata ada beberapa mahasiswa yang memutuskan untuk tinggal di lingkungan religius dan tentunya memiliki banyak aturan. Salah satunya adalah pesantren.

(15)

6

pesantren dengan segala aspek kehidupan dan perjuangannya memiliki nilai strategis dalam membina insan yang memiliki kualitas iman, ilmu dan amal. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah bangsa Indonesia dimana darinya bermunculan para ilmuwan, politikus dan cendekiawan yang memasuki berbagai kancah percaturan di segala bidang sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki, baik dalam taraf lokal, regional maupun nasional bahkan sampai ke taraf internasional (Nasir, 2005).

Kehidupan di pesantren yang sangat berbeda dengan kehidupan individu sebelumnya membuat ia harus melakukan personal adjustment agar bisa bertahan hingga menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan di pesantren tersebut. Padatnya jadwal yang diterima para Mahasiswa kemudian memberi dampak lain pada kehidupannya. Setiap hari mahasiswa dibebani oleh kegiatan yang tidak ringan, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Yang kemudian menjadi masalah adalah adanya mahasiswa yang tidak mampu menyesuaiakan diri dengan kehidupan sistem di pesantren tersebut. Tak jarang pula mahasiswa keluar dari pesantren sebelum lulus yang kemudian memilih tinggal di kos, sebagaimana diungkapkan (Aji, 2009).

(16)

7

1. Aturan yang berbeda ketika di rumah dan di pesantren. Santri di rumah tidak terikat oleh aturan yang harus ditaati, dapat bebas untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Tetapi saat di pesantren santri wajib untuk menaati aturan yang ada, tidak dapat bebas sesuai keinginannya.

2. Mandiri. Santri tidak selalu mengerjakan semua tugasnya sendiri ketika di rumah, misalnya membersihkan kamar, mencuci baju, menyetrika, mencuci piring setelah makan tidak selalu dilakukan santri sendiri karena mungkin ada pembantu tetapi saat di pesantren semua itu harus dilakukan oleh santri. Oleh karena itu santri dituntut untuk mandiri.

3. Jadwal yang padat setiap harinya di pesantren tentu saja berbeda dengan saat di rumah. Setiap hari di pesantren setiap santri harus mengikuti jadwal rutin dari pagi bangun hingga malam tidur kembali, sedangkan saat di rumah jadwal yang ada tidak sepadat di pesantren.

(17)

8

santri baru di pesantren. Setiap individu yang dihadapkan dengan lingkungan baru akan berusaha untuk melakukanpersonal adjustment.

Menurut Daradjat (1995) personal adjustment merupakan suatu proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang selaras antara dirinya dan lingkungannya. Kondisi lingkungan selalu berubah setiap saat, oleh karenanya dituntut untuk dapat membina dan menyesuaikan diri dengan membentuk hubungan yang baru dalam berbagai situasi, sesuai dengan peran yang dibawanya pada saat itu dengan lebih matang. Beberapa kasus terjadi disebabkan kurangnya personal adjustment yang dimiliki individu.

Personal adjustment merupakan hal yang penting bagi mahasiswa baru, bila mahasiswa tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan belajarnya yang baru akan mengalami potensi terjadinya banyak konflik dan fokus yang dihadapi bukan hanya masalah akademik, tetapi juga masalah lain diluar akademik. Gerungan (2006) mengemukakan personal adjustment dalam arti luas sesuai dengan keadaan lingkungan (autoplastis), tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan keinginan diri (alopastis). Kendala dalam menyesuaikan diri tidak hanya dialami oleh mahasiswa baru tetapi juga santri baru yang tinggal di pesantren.

(18)

9

Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta mengalami masalah dalam melakukan proses personal adjustment, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pesantren dan sebagainya. Hal tersebut terjadi apabila individu tidak memilikipersonal adjustmentdalam dirinya.

Berhasil tidaknya individu melakukan personal adjustment dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Faktor dari dalam diri misalnya keadaan fisik, psikologis, dan kematangan (misal meliputi: emosional, intelektual, sosial) sedangkan faktor dari luar misalnya lingkungan, religiusitas dan kebudayaan (Schneiders, 1964). Dari faktor yang disebutkan diatas, salah satunya ialahemotional maturity.

(19)

10

menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menerima dan membagikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain.

Menurut Semium(2006) menyebutkan emotional maturity adalah perasaan-perasaan emosi yang diatur menurut tuntutan dari luar dan dalam, kontrol emosi melatih emosi dengan cara mengubah ekspresinya dan disalurkan melalui saluran-saluran yang berguna dan dianggap baik. Selaras dengan yang diungkapkan Hurlock (dalam Anissa, 2012) berpendapat bahwa individu yang matang emosinya memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi.

Pada observasi yang dilakukan penulis pada 12 April 2107 dengan subyek yang berinisal DA. Subyek yang termasuk Mahasiswa baru UIN Sunan Ampel sekaligus santri baru di pesantren An Nur. Dalam kesehariannya individu memiliki kebiasaan yang berteriak, marah, dan menggerutu. Kebiasaan tersebut yang demikian membuat teman sekitar individu merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Selain itu individu dalam sehari-harinya tidak lepas dari mengeluh. Hal ini bisa diartikan individu belum bisa menerima dirinya sendiri.

(20)

11

dapat menerima kondisinya akan terbebas dari kecemasan dan konflik batin yang pada akhirnya akan mengarah pada kemampuan personal adjustment yang baik. Hal serupa juga diungkapkan Sutirna (2013) bahwa Emotional Maturityberkaitan denganpersonal adjustment.

Salah satu faktor dalam diri individu yang mempengaruhi ialah emotional maturity sebagaimana Sarita, Kavita, Sonam (2016) menyatakan “Emotional Maturity is a natural and inevitable essential

outcome of student growth and development. Emotional Maturity sangatlah penting dan harus diperhatikan oleh semua kalangan mahasiswa terutama pada mahasiswa baru yang tinggal di pondok pesantren.

Dari permasalahan tersebut maka peneliti berkeinginan untuk meneliti lebih dalam tentang Korelasi Emotional Maturity dengan Personal Adjustmentpada Mahasiswa Baru yang Tinggal di Pesantren.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada korelasiEmotional MaturitydenganPersonal Adjustmentpada Mahasiswa Baru yang Tinggal di Pesantren?

C. Tujuan Penelitian

(21)

12

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan: 1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, serta pemikiran, seputar permasalahan yang diteliti, baik bagi peneliti maupun pihak lain, sebagai bahan referensi yang terkait dengan ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa baru yang tinggal di pesantren

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam melakukan personal adjustment, sehingga dapat milikiemotional maturityyang diharapkan. b. Bagi Pesantren yang terkait

(22)

13

E. KeaslianPenelitian

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian riset terdahulu untuk dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Diantaranya:

Penelitian terdahulu yang berkaitan Emotional Maturity pernah dilakukan oleh Rahama (2013). Hasil pengujian terdapat hubungan antara emotional maturity siswa dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP IX

Kota Gorontalo. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel y, subyek dan alat pengumpulan data. Dalam penelitian tersebut menggunakan variabel y prestasi belajar. Subyek yang diambil siswa kelas VIII SMP.

(23)

14

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Annisa (2012). Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa emotional maturity istri termasuk tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar istri memiliki emotional maturity yang baik, dalam arti dapat mengontrol atau mengendalikan emosi sesuai dengan taraf perkembangan emosinya, serta dapat berpikir secara matang, baik dan objektif. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada subyek. Annisa menggunakan subyek para istri di RW. 03 Desa Godong, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan dengan karakteristik, yaitu: Tinggal bersama keluarga suami, Usia perkawinan kurang dari 5 tahun dan Perkawinan yang pertama.

Berikutnya penelitian dari Maduwita dan Kawuryan (2011). Hasil penelitian, disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan

antara emotional maturity dan perilaku agresi pada mahasiswa. Semakin tinggi emotional maturity maka akan semakin rendah perilaku agresi, sebaliknya semakin rendah emotional maturity maka akan semakin tinggi perilaku agresi. Perbedaan pada penelitian ini ada pada subyek penelitian, variabel x dan teknik pengambilan sampling. Penelitian tersebut menggunakan subyek Mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus. Dengan variabel yang digunakan perilaku agresi. Teknik pengambilan sampling menggunakan teknik accidental sampling.

(24)

15

penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek pada penelitian ini menunjukkan bentuk perilaku personal adjustment adaptasi, yaitu

mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada metode penelitian, teknik penggalian data dan

analisis data. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif dengan teknik penggalian data berupa wawancara dan analisa data dengan analisis tematik.

Penelitian yang dilakukan Irfan dan Suprapti (2014). Hasil analisis penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara self-efficacydengan personal adjustment terhadap perguruan tinggi

pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Airlangga dengan

kekuatan hubungan yang berada pada kategori sedang. Perbedaan dengan

penelitian ini terdapat pada variabel x dan subyek penelitian. Pada

penelitian tersebut menggunakan variabel x self-efficacy dengan

menggunakan subyek penelitian mahasiswa baru fakultas psikologi

Universitas Airlangga.

(25)

16

pada mahasiswa atau santri baru. Teknik pengambilan sampling menggunakanpurposive sampling.

Penelitian yang dilakukan Shafira (2015). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara emotional maturity dengan personal adjustment. Artinya semakin tinggi emotional maturitymaka akan semakin tinggipersonal adjustment, sebaliknya semakin rendahemotional maturitymaka akan semakin rendah pulapersonal adjustment. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada lokasi penelitian dan teknik pengambilan sampel. Pada penelitian tersebut, Shafira mengambil lokasi penelitian pada subyek yang berada di kampus tanpa menspesifikan tempat tinggal subyek. Sedangkan penelitian ini lebih fokus pada mahasiswa baru yang tinggal di pesantren. Selain itu, untuk pengambilan sampling dalam penelitian tersebut menggunakanpurposive sampling.

(26)

17

tipe-tipe stressor dengan variabel y proaktif koping. Subyek penelitian ini pada mahasiswa baru fakultas psikologi angkatan 2013 .

Penelitian yang dilakukan oleh Fuad dan Zafriel (2013) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara personal adjustment di perguruan tinggi dan stres psikologis. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel x y, dan subyek penelitian. Penelitian tersebut menggunakan variabel x ypersonal adjustment di perguruan tinggi dan stress psikologis. Subyek mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Berikutnya penelitian yang dilakukan Yuniarti (2009) dengan hasil penelitian bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi efektivitas komunikasi interpersonal orang tua dan kematangan emosi

dengan penyesuaian diri pada remaja. Perbedaan dengan penelitian ini

terletak pada subyek penelitian. Subyek penelitian ini ialah siswa SMA.

Selain itu pada penelitian tersebut menggunakan dua variebel bebas yakni

persepsi efektivitas komunikasi interpersonal orang tua dan emotional

maturity.

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Personal Adjustment

1. Defenisi Personal Adjustment

Personal Adjustment (Penyesuaian diri) merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologi yang tepat diungkapkan oleh Schneiders (dalam Patosuwido, 1993). Sedangkan menurut Sawrey dan Telford (dalam Colhoun & Acocella, 1990) menyatakan Personal Adjustment sebagai interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan.

Selaras dengan Firman (dalam Wijaya , 2016) mengemukakan Personal Adjustment adalah kemampuan seseorang untuk mereaksi kenyataan-kenyataan, situasi-situasi, hubungan-hubungan sosial dalam lingkungannya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulann bahwa Individu yang mampu menyesuaikan diri akan siap menghadapi situasi baru serta bisa menyelaraskan dirinya sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan tersebut.

(28)

19

yang dihadapinya, kesulitan-kesulitan yang mengganggu tersebut bnnyak yang menyebutnya masalah, salah satu jalan yang kita lakukan untuk mengatasinya yaitu dengan membuat perubahan dan mengadakan kompromi dari hari kehari. Hal ini lah yang disebut dengan personal adjustment. Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa personal adjustment merupakan suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap menekankan hubungan yang hamonis dengan lingkungannya. Hal demikian akan menciptakan keselarasan antara diri dengan lingkungan.

Eshun (dalam Fuad dan Zarfiel, 2013) menambahkan bahwa sebuah respon individu terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dapat membantu individu mengatasi tuntutan-tuntutan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pandangan Allport (dalam Lazarus, 1976) mengenai pengertian personality dalam adjustment, dapat diketahui bahwa setiap individu memiliki cara personal adjustment yang unik terhadap lingkungannya.

(29)

20

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan personal adjustment merupakan kemampuan individu untuk dapat menyikapi perubahan dalam hidupnya. Baik dari dalam dirinya maupun lingkungannya. Individu yang personal adjustmentnya baik akan bersikap realistik dan objektif sehingga tidak akan menunjukkan adanya kesenggangan antara dirinya dengan lingkungan.

2. Kriteria Personal Adjustment

Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan Personal Adjustment, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan personal adjustment. Rintang-rintangan itu mungkin terdapat dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Hubungannya dengan rintangan itu, terdapat individu-individu yang sudah mampu melakukan personal adjustment secara positif maupun sebaliknya. Sunarto (1999) memberikan kriteria individu dengan personal adjustment positif maupun personal adjustment yang salah, yaitu sebagai berikut :

a. Personal Adjustment yang positif

Mereka yang tergolong mampu melakukan personal adjustment yang positif ditandai hal-hal sebagai berikut :

1). Tidak menunjukkan ketegangan emosional

2). Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis 3). Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi

(30)

21

5). Mampu dalam belajar 6). Menghargai pengalaman 7). Bersikap realistik dan obyektif

Dalam melakukan personal adjustment secara positif, individu dapat melakukannya dalam beberapa bentuk, antara lain :

1. Personal adjustment dengan menghadapi masalahnya secara langsung.

Dalam situasi ini individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya.

2. Personal adjustment dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan). Dalam situasi ini individu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya.

3. Personal adjustment dengan trial dan error (coba-coba)

Dalam cara ini individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.

4. Personal adjustment dengan subtitusi (mencari pengganti)

Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh adjusment dengan mencari pengganti.

(31)

22

Dalam hal ini individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu Personal adjustment.

6. Personal adjustment dengan belajar.

Dengan belajar, individu akan banyak memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang dapat membantu melakukan Personal adjustment 7. Personal adjustment dengan inhibisi dan pengendalian diri.

Personal adjustment akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula. Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindaka mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang dinamakan inhibisi.

8. Personal adjustment dengan perencanaan yang cermat.

Dalam situasi ini tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain segi untung dan ruginya.

b. Personal Adjustment yang salah

(32)

23

dalam adjustment yang salah, yaitu reaksi bertahan, reaksi menyerang, dan reaksi melarikan diri.

1) Reaksi bertahan (defence reaction)

Individu berusaha mempertahankan dirinya dengan seolah-olah ia tidak sedang menghadapi kegagalan dan berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kesulitan. Adapun bentuk khusus dari reaksi ini, yaitu sebagai berikut.

a) Rasionalisasi, yaitu mencari-cari alasan yang masuk akal untuk membenarkan tindakannya yang salah

b) Represi, yaitu menekan perasaannya yang dirasakan kurang enak ke alam tidak sadar. Ia akan berusaha melupakan perasaan atau pengalamannya yang kurang menyenangkan atau yang menyakitkan c) Proyeksi, yaitu menyalahkan kegagalan dirinya pada pihak lain

untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, siswa yang tidak lulus menyebutkan bahwa hal itu disebabkan guru-guru membenci dirinya.

d) “Sour grapes” (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan fakta atau kenyataan. Misalnya, remaja yang gagal SMS mengatakan bahwa handphone-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa menggunakan HP.

2) Reaksi menyerang (aggressive reaction)

(33)

24

kegagalannya. Ia tidak mau menyadari kegagalan atau tidak mau menerima kenyataan. Reaksi reaksinya, antara lain:

a) Selalu membenarkan diri sendiri,

b) Selalu ingin berkuasa dalam setiap situasi, c) Merasa senang bila mengganggu orang lain,

d) Suka menggertak, baik dengan ucapan maupun perbuatan, e) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka,

f) Bersikap menyerang dan merusak,

g) Keras kepala dalam sikap dan perbuatannya,

h) Suka bersikap balas dendam dan memerkosa hak orang lain i) Tindakannya suka serampangan, dan sebagainya.

3) Reaksi melarikan diri (escape reaction)

Dalam reaksi ini, individu akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan konflik atau kegagalannya. Reaksinya tampak sebagai berikut

a) Suka berfantasi untuk memuaskan keinginan yang tidak tercapai dengan bentuk angan-angan (seolah-olah sudah tercapai),

(34)

25

3. Bentuk Personal adjustment

Schneiders (dalam Chairunnisa, 2015) juga mengemukakan bahwa ada dua macam bentuk personal adjustment yang dilakukan individu, yaitu:

a. Personal adjustment pribadi

Adalah bentuk personal adjustment yang diarahkan kepada diri sendiri, seperti personal adjustment fisik dan emosi, personal adjustment seksual, dan personal adjustment moral dan religius. b. Personal adjustment sosial

Adalah bentuk personal adjustment terhadap lingkungan, seperti rumah, sekolah, dan masyarakat; yang merupakan aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola hubungan di antara kelompok yang ada dan saling berhubungan secara integral di antara ketiganya.

Sementara itu, menurut Gunarsa, bentuk personal adjustment ada dua, antara lain (dalam Sobur, 2003):

a. Adaptive

(35)

26

b. Adjustive

Merupakan bentuk personal adjustment bersifat psikis, artinya personal adjustment, baik emosi dan tingkah laku terhadap lingkungan yang memiliki norma sosial.

4. Aspek-aspek Personal adjustment

Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa personal adjustment yang baik meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebih

Aspek ini menekankan pada adanya kontrol emosi yang memungkinkan individu tersebut untuk menghadapi permasalahan dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan.

b. Tidak terdapat mekanisme psikologis

Aspek ini menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal daripada penyelesaian masalah melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

c. Tidak terdapat perasaan frustasi personal

(36)

27

bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.

d. Kemampuan untuk belajar

Penyesuaian merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres.

e. Pemanfaatan pengalaman masa lalu

Dalam proses pertumbuhan dan perubahan, penggunaan pengalaman di masa lalu itu penting. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain melalui kegiatan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu proses personal adjustment dalam dirinya.

Sedangkan Fahmy (1982) mengungkapkan bahwa ada 2 aspek personal adjustment yaitu:

a. Personal adjustment pribadi

(37)

28

ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya. Sebaliknya kegagalan adjustment pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.

b. Personal adjustment sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses adjustment sosial. Adjustment sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup Hubungan-hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum.

(38)

29

adjustment sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai adjustment pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam adjustment sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses adjustment sosial individu mulai berkenalan.

5. Proses Personal adjustment

Proses Personal adjustment menurut Schneiders (dalam Chairunnisa, 2015) setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu:

1. Motivasi dan Personal Adjustment

Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses personal Adjustment. Motivasi sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme. Kualitas respon, apakah sehat, efisien, merusak atau patologis ditentukan terutama oleh kualitas motivasi, selain juga hubungan individu dengan lingkungan.

2. Sikap Terhadap realitas dan Proses Personal Adjustment

(39)

30

dikatakan bahwa sikap yang sehat terhadap realitas dan kontak yang baik terhadap realitas itu sangat diperlukan bagi proses personal adjustment yang sehat. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan, dan semaunya sendiri, semuanya itu sangat mengganggu hubungan antara personal adjustment dengan realitas.

6. Pola dasar Personal Adjustment

Dalam Personal Adjustment sehari-hari terdapat suatu pola dasar Personal adjustment.

Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip personal adjustment yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya maka proses personal adjustment menurut Sunarto (1998) dapat ditujukan sebagai berikut:

1. Mula-mula individu disatu sisi merupakan dorongan keinginan

untuk memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan disisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri 2. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar

dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan.

3. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang

(40)

31

4. Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes dan tidak kaku

sehingga menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan

5. Dapat bertindak sesuai dengan potensi positif yang layak

dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan.

6. Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran,

selalu menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya.

7. Kesanggupan merespon frustasi, konflik, dan stress secara wajar,

sehat dan professional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam.

8. Kesanggupan bertindak secara terbuka dan sanggup menerima

kritik dan tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup memperbaiki tindakan-tindakan yang sudah tidak sesuai lagi. 9. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh

(41)

32

10.Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain dan segala sesuatu diluar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan kesepian.

7. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Personal Adjustment

Personal adjustment adalah kemampuan individu menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya, untuk mempertemukan tuntutan diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh diri sendiri dan lingkungannya (Parman, 2013). Dalam melakukan personal adjustment, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dalam kemampuan seorang individu dalam melakukan personal adjustment di kehidupannya. Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi personal adjustmentadalah :

a. Kondisi fisik

Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi personal adjustmentadalah :

1) Hereditas dan Konstitusi fisik

Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan personal adjustment. 2) Sistem utama tubuh seperti sistem syaraf, kelenjar dan otot

(42)

33

3) Kesehatan fisik

Personal adjustment individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses personal adjustment.

b. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk personal adjustment individu berbeda pada setiap tahap perkembangan sejalan dengan perkembangannya individu meninggalkan tingkah laku dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan personal adjustment.

c. Keadaan psikologis

(43)

34

termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

d. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tenteram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses personal adjustment. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tenteram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses personal adjustment. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar personal adjustment yang baik (Schneiders, 1964).

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

(44)

35

merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk melalukan personal adjustment dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

Daradjat (2001) mengemukakan ada 3 faktor yang mempengaruhi personal adjustment, ketiga faktor tersebut adalah:

a. Frustrasi (tekanan perasaan). Frustrasi adalah suatu proses dimana seseorang merasakan adanya hambatan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya.

b. Konflik (pertentangan batin). Konflik jiwa atau tekanan batin adalah terdapatnya dua macam dorongan atau lebih, yang berlawanan atau bertentangan satu sama lain, dan tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama.

c. Kecemasan, yaitu manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin.

8. Dimensi dari Personal Adjustment

(45)

36

a. Ketiadaan Emosi Yang Berlebihan

Adjustment yang normal dapat diidentifikasi dengan tidak ditemukannya emosi yang berlebihan. Individu yang merespon masalah dengan ketenangan dan kontrol emosi memungkinkan individu untuk memecahkan kesulitan secara inteligen. Adanya kontrol emosi membuat individu mampu berpikir jernih terhadap masalah yang dihadapinya dan memecahan masalah dengan cara yang sesuai. Ketiadaan emosi tidak berarti mengindikasikan abnormalitas tapi merupakan kontrol dari emosi.

b. Ketiadaan Mekanisme Psikologis

Adjustment normal dikarakteristikkan dengan tidak ditemukannya mekanisme psikologis. Ketika usaha yang dilakukan gagal, individu mengakui kegagalannya dan berusaha mendapatkannya lagi merupakan personal adjustment yang baik dibandingkan melakukan mekanisme seperti rasionalisasi, proyeksi, kompensasi. Individu dengan personal adjustment yang buruk berusaha melakukan rasionalisasi dengan menimpakan kesalahan pada orang lain.

c. Ketiadaan Perasaan Frustrasi Pribadi

(46)

37

mengorganisasikan pikiran, perasaan, tingkah laku efisien pada situasi dimana individu merasa frustrasi. Individu yang merasa frustrasi akan mengganti reaksi normal dengan mekanisme psikologis atau reaksi lain yang sulit dalam melakukan personal adjustmentseperti sering marah tanpa sebab ketika bergaul dengan orang lain.

d. Pertimbangan Rasional Dan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-direction)

Karakteristik menonjol dari adjustment normal adalah pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Karakteristik ini dipakai dalam tingkahlaku sehari-hari untuk mengatasi masalah ekonomi, hubungan sosial, kesulitan perkawinan. Kemampuan individu menghadapi masalah, konflik, frustrasi menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan mampu mengarahkan diri dalam tingkah laku yang sesuai mengakibatkan adjustmentnormal.

e. Kemampuan Untuk Belajar

(47)

38

f. Kemampuan Menggunakan Pengalaman Masa Lalu

Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu merupakan usaha individu untuk belajar dalam menghadapi masalah. Adjustment normal membutuhkan penggunaan pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lampau yang menguntungkan seperti belajar berkebun diperlukan agar individu dapat menggunakannya untuk pengalaman sekarang ketika menghadapi kesulitan keuangan dengan membuka usaha menjual tanaman.

g. Sikap Realistik Dan Objektif

(48)

39

B. Emotional maturity

1. Definisi emotional maturity

Emotional maturity dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emotional dan maturity, kemudian diakhiri dengan penjelasan emotional maturity sebagai satu kesatuan. Istilah maturity menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 1980).

Emotional merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu (Lazzarus, 1991). Selain itu, terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan dalam diri individu yang memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan pelampiasan perilaku. Misalnya ketika individu sedang mengalami ketakutan, reaksi fisiologis yang dapat muncul adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih kencang), kemudian individu akan memikirkan bahwa dirinya sedang dalam bahaya, sedangkan tingkah laku yang dapat mucul adalah kecenderungan untuk menghindar dari situasi yang membuat ketakutan (Nevid dkk, 2005).

(49)

40

oleh pengalaman dan dalam perkembangan, emosi menuju tingkat yang konstan, yaitu adanya integrasi dan organisasi dari semua aspek emosi

Demikian halnya dengan Gunarsa (1991) menyatakan bahwa emotional maturity merupakan dasar perkembangan seseorang dan sangat mempengaruhi tingkah laku. Selain itu Chaplin, (2000) mendefinisikan Emotional maturity adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Menurut Patty, (1982) menyatakan bahwa emosi adalah perasaan terkejut, takut, sedih, marah, gembira yang bersifat bukan saja rohani tetapi juga jasmani. Emosi dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan yang merangsang dari organisme.

Morgan (dalam Naimah, 2015) menambahkan bahwa Emotional maturity merupakan keadaan emosi yang dimiliki seseorang dimana apabila mendapatkan stimulus emosi tidak menunjukkan gangguan kondisi emosi. Gangguan kondisi emosi yang terjadi tersebut dapat berupa keadaan kebingungan, berkurangnya rasa percaya diri dan terganggunya kesadaran sehingga orang tersebut tidak dapat menggunakan pemikirannya secara efektif dan rasional.

(50)

41

kanak-kanak. Seseorang yang telah mencapai emotional maturity dapat mengendalikan emosinya. Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berpikir secara lebih baik, melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004).

Goleman (2001) juga menambahkan menjelaskan jenis-jenis emosi termasuk di dalamnya amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Berdasarkan beberapa definisi emosi, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh individu dan disertai dengan gejala-gejala fisiologis, perasaan, dan perilaku yang ditunjukkan. Emotional maturity dapat didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain diungkapkan Covey (dalam Auha, 2013). Sedangkan menurut Dariyo (dalam Nurpratiwi, 2010) juga mendefinisikan emotional maturity sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas.

(51)

42

2. Ciri-ciri Emotional Maturity

Menurut pendapat Walgito (2000) ada beberapa ciri-ciri emotional maturity, yaitu:

1) Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan karena seseorang yang lebih matang emosinya dapat berpikir secara lebih baik, dapat berpikir secara obyektif.

2) Tidak bersifat impulsif, akan merespon stimulus dengan cara berpikir baik, dapat mengatur pikirannya untuk memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya.

3) Dapat mengontrol emosi dan mengekspresikan emosinya dengan baik. 4) Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya cukup

mempunyai toleransi yang baik.

5) Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian.

Sedangkan Sobur (dalam Asih, 2010) menjelaskan ciri-ciri individu yang memiliki emotional maturity, antara lain:

1) Penerimaan diri yang baik Individu yang memiliki emotional maturity akan dapat menerima kondisi fisik maupun psikisnya, baik secara pribadi maupun secara sosial.

(52)

43

nilai yang berlaku akan dapat dikendalikan dan diorganisasikan ke arah yang baik.

3) Objektif Individu akan memandang kejadian berdasarkan dunia orang lain dan tidak hanya dari sudut pandang pribadi.

3. Karakteristik Emotional Maturity

Hurlock (1980) mengemukakan tiga karakteristik dari emotional maturity, antara lain:

1. Kontrol emosi

Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Orang yang matang mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingi dengan orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri.

(53)

44

Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut.

3. Pengunaan fungsi kritis mental

Individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.

Menurut Feinberg (dalam Handayani, 2004) ada beberapa karakteristik atau tanda mengenai emotional maturity seseorang yaitu kemampuan seseorang untuk dapat menerima dirinya sendiri, menghargai orang lain, menerima tanggung jawab, percaya pada diri sendiri, sabar dan mempunyai rasa humor. Hal ini diuraikan di bawah ini:

1) Mampu menerima dirinya sendiri

(54)

45

mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Individu tidak menginginkan untuk menandingi orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri.

2) Menghargai orang lain

Seseorang yang bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda. Individu dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan- kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, maka tidak segan untuk menghentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, dan ketidakinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain.

3) Menerima tanggung jawab

(55)

46

yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada orang lain untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Perasaan aman dan bahagia akan dapat dicapai dengan memiliki kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.

4) Percaya pada diri sendiri

Seseorang yang matang dapat menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan suatu keputusan, karena percaya pada dirinya sendiri dapat memperoleh kepuasaan sehingga memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.

5) Sabar

(56)

47

6) Mempunyai rasa humor

Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat tetapi tidak akan menertawakan atau merugikan atau melukai perasaan orang lain. Seseorang juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor menyatakan sikap seseorang terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Emotional Maturity

Faktor-faktor yang mempengaruhi emotional maturity menurut Hurlock (1980), antara lain:

1. Usia

Semakin bertambah usia individu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi. 2. Perubahan fisik dan kelenjar

Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan

anggapan bahwa remaja adalah periode “badai dan tekanan”,

(57)

48

Beberapa ahli juga menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi emotional maturity, antara lain:

a. Pola Asuh Orang Tua

Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orangtua. Cara orangtua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak (Goleman, 2001).

b. Lingkungan

Kebebasan dan kontrol yang mutlak dapat menjadi penghalang dalam pencapaian emotional maturity remaja. Lingkungan disekitar kehidupan remaja yang mendukung perkembangan fisik dan mental memungkinkan emotional maturity dapat tercapai. Chaube (dalam Syarifah dkk, 2012).

c. Jenis Kelamin

Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. 5. Aspek-aspek Emotional maturity

(58)

49

a. Ketercukupan respon emosi, yang berarti bahwa responnya harus sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sebagai contoh, orang dewasa yang bertingkah laku seperti anak kecil, menangis dan meledakkan marahnya agar keinginannya dipenuhi adalah ciri ketidakmatangan emosi.

b. Cakupan kedalaman emosi, yang merupakan sebuah aspek dari perkembangan yang cukup. Orang yang mempunyai perasaan yang dangkal sebagai contoh orang yang kekurangan keakraban pertimbangan, cinta dan orang yang bersikap masa bodoh adalah orang yang tidak matang emosinya.

c. Kontrol emosi, Ciri dari ketidakmatangan adalah orang yang selalu menjadi korban ketakutan atau kecemasan, kemarahan, mengamuk, cemburu, dan kebencian.

Amas (2006) menyebutkan 5 aspek dalam emotional maturity yang berasal dari beberapa pendapat:

a. Stabilitas emosi

Salah satu ciri emotional maturity adalah kondisi emosi yang stabil (Nunally (dalam Amas, 2006). Karakteristik emosi yang stabil antara lain tidak adanya perubahan cepat dan tidak menentu, keceriaan, memiliki rasa percaya diri, sikap realistik, dan optimistik, tidak terobsesi dengan perasaan bersalah, cemas maupun kesepian.

(59)

50

Individu dengan emosi yang matang dapat mengidentifikasi emosi yang sedang dialami dan mampu mengekspresikannya (emosinya tidak datar). Hal ini bukan berarti individu tersebut bersifat impulsif, melainkan ekspresi emosinya dilakukan dengan cara yang tepat dan wajar serta dapat diterima secara sosial (lingkungan sosial).

c. Pengendalian emosi

Aspek ini mengungkap bagaimana cara individu mengendalikan emosi-emosinya apakah bersifat adaptif ataukah tidak. Cara pengendalian emosi yang adaptif tercermin pada tidak adanya kebiasaan untuk menghambat (supressing) dan menekan (repressing) perasaan-perasaannya, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan (Lawrence dan Smith (dalam Amas, 2006). Dalam pengendalian emosi individu yang matang tidak terus menjadi korban/merasakan akan rasa takut, cemas, marah, berontak, kecemburuan, benci,dll Schneiders (dalam Amas,2006).

d. Aspek sosial

(60)

51

kesulitan bila memulai suatu personal adjustment dengan lingkungan yang baru atau menjalin persahabatan dengan orang yang baru saja dikenal (Lawrence dan Smith (dalam Amas, 2006). e. Aspek interes

Karakteristik interes seseorang mencerminkan tingkat emotional maturity yang dimiliki. Sikap realistik terhadap harapan, segala aspirasi, dan stabilitas interes merupakan ciri dengan emosi yang matang (Lowie ( dalam Amas, 2006). Kemudian ciri-ciri interes individu yang belum matang emosinya ialah bersifat fantastis, obsesif kompulsif, variatif, diferensiatif dan infantil. Menurut Schneiders (dalam Amas, 2006) minat yang dimiliki dapat dikembangkan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman lebih luas.

(61)

52

C. Korelasi Emotional Maturity dengan Personal Adjustment pada Mahasiswa Baru yang Tinggal di Pesantren

Bagi mahasiswa baru kondisi selama sebelum dan sesudah memasuki perguruan tinggi tentu berbeda. Santrock (2003) juga menjelaskan transisi dari sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi melibatkan suatu perpindahan menuju struktur sekolah yang lebih besar, lebih impersonal, yang interaksinya adalah interaksi dengan teman sebaya yang lebih beragam latar belakang geografisnya dan juga kadang beragam latar belakang etnisnya serta bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi, unjuk kerja dan nilai-nilai ujian yang baik. Selain itu pada masa ini individu juga dituntut untuk mulai hidup mandiri dan memutuskan sesuatu dengan tepat. Seperti halnya dalam menentukan tempat tinggal .

(62)

53

tinggal di lingkungan religius dan tentunya memiliki banyak aturan. Salah satunya adalah pesantren.

Kehidupan di pesantren yang sangat berbeda dengan kehidupan individu sebelumnya. Demi terciptanya lingkungan pesantren yang harmonis dan kondusif, pengurus pesantren mewajibkan kepada para remaja yang tinggal di pesantren untuk menaati seluruh kegiatan dan peraturan yang berlaku di dalam pesantren (Pritaningrum dan Hendriani,2013). Individu yang masih berstatus mahasiswa atau santri baru banyak mendapatkan tantangan di lingkungan baru tempat ia tinggal. Agar bisa bertahan hingga menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan di pesantren tersebut, Setiap individu harus melakukan personal adjustment .

(63)

54

Sebagaimana yang diungkapkan (Schneiders, 1964) berhasil tidaknya individu melakukan personal adjustment dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Faktor dari dalam diri misalnya keadaan fisik, Psikologis, dan kematangan (misal meliputi: emosional, intelektual, sosial) sedangkan faktor dari luar misalnya lingkungan, religiusitas dan kebudayaan.

Hal ini bertentangan dengan penelitian Pritaningrum dan Hendriani (2013) yang menyatakan hasil penelitiannya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses personal adjustment pada remaja tahun pertama yang merupakan subyek 2 dari penelitian tersebut adalah kondisi fisik, kepribadian (pengaturan diri, kemampuan dan kemauan untuk berubah), edukasi dan pendidikan (belajar, pengalaman, latihan), lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat), agama dan budaya.

Sebagaimana di sebutkan Soeparwoto, dkk (dalam Kumalasari & Ahyani, 2012) faktor-faktor yang mempengaruhi personal adjustment dari faktor internal meliputi motif, konsep diri, persepsi, sikap, kepribadian, inteligensi dan minat. Sedangkan faktor eksternal meliputi keluarga, kondisi sekolah, kelompok teman sebaya, prasangka sosial, hukum dan norma sosial. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi personal adjustment yang disebutkan diatas, salah satunya ialah emotional maturity.

(64)

55

kehidupan sehari-hari dan lingkungannya. Individu dapat dikatakan telah matang emosinya apabila telah dapat berpikir secara objektif. Demikian halnya dengan Shafira (2015) menyatakan Emotional Maturity merupakan ekspresi emosi yang bersifat konstruktif dan interaktif. Individu yang telah mencapai Emotional Maturity ditandai oleh adanya kemampuan dalam mengontrol emosi, mampu berpikir realistik, memahami diri sendiri, dan mampu menempatkan emosi di saat dan tempat yang tepat. Perkembangan bentuk emosi yang positif tersebut memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menerima dan membagikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain.

Lain halnya dengan Kartono (1995) yang mengartikan emotional maturity sebagai suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, oleh karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pada emosional seperti pada masa kanak-kanak. Seseorang yang telah mencapai emotional maturity dapat mengendalikan emosinya. Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berpikir secara lebih baik dan melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004).

(65)

56

perilaku agresi. Individu yang memiliki emotional maturity akan dapat mengendalikan diri di setiap situasi.

Sebagaimana menurut Yusuf (dalam Lathifah,2015) menyatakan bahwa individu yang memiliki Emotional Maturity juga akan mampu menerima dirinya sehingga dapat melakukan personal adjustment dengan baik. Individu yang dapat menerima kondisinya akan terbebas dari kecemasan dan konflik batin yang pada akhirnya akan mengarah pada kemampuan personal adjustment yang baik.

Individu yang mempunyai emotional maturity yang stabil ia akan mampu menekan perasaannya dan menghadapi semua permasalahannya

dengan tenang. Dengan demikian individu akan mampu menerima dirinya

dan mampu mengelola emosinya sehingga akan mambantunya melakukan

personal adjustment dengan baik.

D. Kerangka Teori

(66)

57

sedangkan faktor dari luar misalnya dukungan sosial dan budaya. Dari faktor yang disebutkan diatas, salah satunya ialah emotional maturity

Yusuf (2004) menyatakan bahwa individu yang memiliki emotional maturity akan mampu menerima dirinya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Individu yang dapat menerima kondisinya akan terbebas dari kecemasan dan konflik batin yang pada akhirnya akan mengarah pada kemampuan personal adjustment yang baik.

Hal serupa juga diungkapkan Sutirna (2014) bahwa emotional maturity berkaitan dengan personal adjusment. Emotional maturity merupakan aspek yang sangat dekat dengan kepribadian. Bentuk kepribadian ini akan dibawa individu dalam kehidupan sehari-hari dan lingkungannya. Individu dapat dikatakan telah matang emosinya apabila telah dapat berpikir secara objektif.

Schneiders (1999) juga mendukung dengan menyatakan bahwa yang tergolong mampu melakukan personal adjustment secara positif ditandai hal-hal seperti : (1) tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan; (2) tidak menunjukkan adanya mekanisme pertahanan yang salah; (3) tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi; (4) memiliki pertimbangan yang rasional dalam pengarahan diri; (5) mampu belajar; (6) kemampuan menggunakan pengalaman, (7) bersikap realistik dan obyektif.

(67)

58

emosi yang stabil, maka ia mampu mengadakan kompromi atau personal adjustment terhadap sesuatu yang diinginkan dengan fakta yang ada sehingga dapat menghadapi masalah dengan tenang bagi individu yang menghadapi suatu permasalahan sehingga membangkitkan emosinya dan tidak dapat mengendalikannya, individu tersebut dikatakan belum memiliki emosi yang matang (Usop, 2006).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa individu

yang mempunyai emotional maturity akan mampu menerima dirinya dan mampu mengelola emosinya sehingga akan mambantunya melakukan

personal adjustment yang baik.

(68)

59

E. Hipotesis

(69)

58

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif yang penulis gunakan adalah penelitian korelasional yang ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel-variabel lain.

1. Definisi Variabel

a.Variabel Y : Personal Adjustment b.Variabel X : Emotional Maturity 2. Definisi Operasional variabel

Menurut Kerlinger (2006), definisi operasional adalah melekatkan arti pada suatu konstruk atau variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur konstruk atau variabel tersebut.

Gambar

Tabel 1. Penilaian Pernyataan Favorabel dan Unfavorabel
Tabel 2  Blue print Personal Adjustment
Tabel 3 Blue print
Tabel 4.  Sebaran Aitem Valid dan Gugur  Skala
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dana pembendaharaan Negara tidak cukup, maka pemerintah dapat menggunakan pajak orang-orang kaya untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang tidak mampu; sebab jika

Untuk mengetahui kerataan permukaan benda kerja dilakukan dengan pengamatan menggunakan Prussian Blue Paste.. Benda kerja yang telah dikerjakan

Untuk mengetahui adanya pengaruh gaya mengajar guru dan motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMAN 2 Trenggalek

Faktor-faktor lain yang menyebabkan tingginya kesalahan dalam penggunaan verba frasal oleh para siswa SMA Negeri 2 Manado yaitu bahwa para siswa mengalami ketidakpahaman

Bahkan jika dokter menghilangkan semua kanker yang dapat dilihat pada saat operasi, pasien dapat diberikan terapi radiasi , kemoterapi , atau terapi hormon

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi atas dukungan guru dengan school engagement pada siswa ini juga sejalan dengan hasil

Pengaruh Konsentrasi Tepung Wortel (Dauscus carota L) Pada Pakan Terhadap Peningkatan Warna Ikan Koi (Cyprinus carpio).. Dibimbing oleh SYAMMAUN USMAN dan INDRA

Manusia juga disebut sebagai makhluk entitas, yaitu dorongan manusia untuk mengekpresikan eksistensi dirinya kepada orang lain, manusia memiliki dorongan untuk diberi jati dirinya