MAKNA TRAD
KAT DESA LARANGAN LUAR KEC
ANGAN KABUPATEN PAMEKASA
SKRIPSI
epada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel S Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarja
(S. Sos) dalam Bidang Sosiologi
LTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLI
▸ Baca selengkapnya: maka laksamana pun menyuruh membawa segala senjata
(2)PENGESAHAN TIM PENGUJI
Skripsi oleh Moh Fawais dengan judul: “Makna Tradisi Nyikep(membawa senjata tajam) Masyarakat Larangan Luar kec. Larangan kab. Pamekasan” telah dipertahankan dan dinyatakan lulus di depan Tim Penguji Skripsi pada tanggal 18 Augustus 2016.
TIM PENGUJI SKRIPSI
Penguji I Penguji II
Husnul Muttaqin, S.Ag., S.Sos, M.S.I Dr. H. Hammis Syafiq, M.Fil.I
NIP.197801202006041003 NIP.197510162002121001
Penguji III Penguji IV
Dra. Hj. Nur Mazidah, M.Si Ridha Amaliyah, S.IP. MBA
NIP.195306131992032001 NIP.201409014
Kamis, 18 Agustus 2016
Mengesahkan,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dekan
ABSTRAK
Moh Fawais, 2016, Makna Tradisi Nyikep(Membawa Senjata Tajam) Masyarakat desa Larangan Luar Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan, Skripsi Program Studi Fakultas Sosiologi Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya
Kata kunci:nyekep, tradisi
Permaslahan yang dikaji dalam penelitian ini hanyalah satu yaitu bagaimana perpsepsi masyarakat larangan luar terhadap tradisi nyikep. Namun dari satu rumusan masalah terdapat sebuah sub pembahasan di dalamnya, antara lain masalah hrga diri bagi masyarkat larangan luar yang sangat dijunjung tinggi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Teori yang digunakan adalah Konstruksi Sosial Peter L. Berger yang memiliki konsep Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi. Dari hasil penelitian pandangan mereka terhadap kebiasaan membawasekep(senjata tajam).
PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN PENULIS SKRIPSI vi ABSTRAK ……… vii
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Rumusan Masalah………. 7
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ...……….…… 20
2. Lokasi dan Waktu Penelitian …..……...……… 21
3. Pemilihan Subyek Penelitian ……….………… 22
4. Tahap-tahap Penelitian ………...………… 22
5. Teknik Pengumpulan Data ………….………… 26
6. Teknik Analisis Data ………..…….…. 29
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….…… 29
BAB II TEORI KONSTRUKSI SOSIAL SEBAGAI ALAT
ANALISIS ……….……….… 33
A. TradisiNyikep………..……… 33
B. Gagasan Berger dan Luckman Tetang Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi……… 37
1. Internalisasi ………. 38
2. Obyektivasi ………. 41
3. Internalisasi………. 45
BAB III MAKNA TRADISINYIKEP(BAWA SENJATA TAJAM) MASYARAKAT LARANGAN LUAR KEC. LARANGAN KAB. PAMEKASAN………… 50
A. Deskripsi Umum Objek Penelitian………... 51
1. Letak Geografis Desa Larangan Luar ……… 51
2. Kondisi Demografi Desa Larangan Luar …… 51
3. Kondisi Ekonomi ………. 52
4. Kehidupan Keberagamaan Larangan Luar ….. 53
5. Keadaan Pendidikan Desa Larangan Luar ….. 54
6. Karakteristik Masyarakat Larangan Luar ……. 55
B. Diskripsi Hasil Penelitian ..………. 59
C. Analisis Data ..……….... 79
BAB IV PENUTUP………. 85
A. KESIMPULAN ………. 85
B. SARAN ..……… 87
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat merupakan ruang tempat terjadinya berbagai macam
proses sosial, karena adanya proses sosial tersebut dapat menciptakan banyak
keunikan dari berbagai aspek, baik itu aspek budaya maupun sosial. Keunikan
tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara mereka hidup dan menanggapi
berbagai macam rangsangan dari luar maupun dari dalam lingkungan mereka
sendiri, baik itu rangsangan dari sesama individu dalam masyarakat itu
maupun rangsangan dari sekitar lingkungan mereka yang berupa alam.
Madura adalah suatu wilayah yang memiliki empat kabupaten yakni
Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dengan masyarakat yang
memiliki ciri khas yang berbeda-beda, baik dari segi bahasa maupun budaya.
Banyak sekali budaya Madura yang sudah dikenal, baik nasional maupun
internasional, seperti budaya carok yang melibatkan antara dua laki-laki
maupun lebih yang dapat menimbulkan korban jiwa, atau seperti remoh yang
merupakan cara masyarakat Madura berpesta, maupun hajatan dengan
melibatkan banyak orang dan masih banyak sekali budaya atau tradisi yang
2
Salah satu sumber daya manusia adalah kebudayaan yang di hasilkan
oleh masyarakat. Budaya merupakan identitas mutlak yang tidak dimeliki oleh
kelompok lain secara otomatis menajadi ciri khas dari masyarakat tersebut.
Seperti misalnya masyarakat Madura yang sangat beragam kebudayaannya.
diantaranya rokatan tasek, rokat pandebeh, nyikep, dll. Yang menarik untuk di bahas adalah kebudaya nyikep yang sampek sekarang masih bertahan, terutama orang-orang yang mempunyai kepercayaan “kalau tidak nyikep bukan laki-laki”.
Nyikepberasal dari kata“Sekep”yang berarti membawa senjata tajam. sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat
tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.
Pada dasarnya orang yang pakaisekep, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan
lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya.
Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang tradisional
dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai tradisi turun
temurun, bahwa lambang kejantanan bagi orang Madura terletak bagaimana
3
Adapun senjata yang sering digunakan oleh orang Madura adaalah
celurit. Yang akan penulis jelaskan tentang sejarah munculnya Celurit.
Berawal dari kerajaan Madura di pimpinan oleh prabu Cakraningrat(abad
ke-12 M) dan dibawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), Celurit belum
dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada Masa pemerintahan
Panembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, Putra Sunan Kudus dari abad
ke-17 M tidak ditemukan Sejarah yang menyebutkan istilah Celurit dan
BudayaCarok. Senjata yang sering kali digunakan pada saat perang atau duel satu lawan satu selalu saja Pedang, Keris atau Tombak. Pada masa tersebut
juga masih belum di dengar istilahCarok.
Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18. Pada
masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera. pak
Sakera di angkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda.
Yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang berbentuk arit besar
yang kemudian di kenal dengan istilah Celurit. Dimana didalam setiap
kesempatan, beliau selalu membawanya untuk mengawasi para pekerja.1
Kemunculan versi kisah pak Sakera ada kesesuaian dengan hasil
penelitian De Jonge yang dikutip oleh Latief Wijaya. De Jonge mengutip
laporan seorang asisten residen dari Bangkalan, Brest Van Kempen, yang
1
4
menyatakan bahwa antara tahun 1847-1849, kemaanan di pulau Madura
sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus
pembunuhan. Bandingkan dengan kisah pak Sakera dan peristiwa kekacauan
yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut cacatan sejarah juga terjadi
pada abad 18 M.
Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai bagi
pengguna celurit masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan
simbolisasi figure pak Sakera sebagai sosok yang berani melawan ketidak
adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan lebih
melambangkan sifat “Blater”2 yang identic dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celutit kini melambangkan tindakan anarkis, egois dan
brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek“Carok”3. Untuk itu, penulis akan mencoba meluruskan kembali persepsi yang salah terhadap kebudayaan
nyikeptersebut.
Upaya Belanda untuk mencederai citra pak Sakera rupanya berhasil
merasuki pola pikir masyarakat Madura dan menjadi falsafahnya. Apabila ada
permasalahan yang menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan keluarnya
yang di anggap paling baik adalahCarokmenggunakan celurit.
Sama dengan bajingan
3
5
Ada juga terjadinya carok disebakan oleh masalah keluarga yang
bersangkut paut dengan istri. Seperti yang pernah terjadi pada masyarakat
larangan luar yang diketahui berselingkuh dengan orang lain, maka sang
suami merencanakan untuk membunuh selingkuhannya. Ditunggu waktu yang
tepat dengan perencanaan yang matang serta dengan persiapan yang sangat
matang. Suami tersebut bernama Asmadin, dan yang menjadi selingkuhan
istrinya adalah Muhammad.
Suatu hal yang peneliti temukan pada masalah tersebut, orang madura
cenderung tidak berpikir panjang untuk melakukan carok, apabila masalah
harga diri seorang suami, dampak yang akan di alami sudah tau persis kalau
membunuh akan di penjara, akan tetapi masyarkat madura berkeyakinan
masalah harga diri tidak bisa ditawar lagi dengan apapun selain carok, dan
pada akhirnya salah satunya harus terbunuh. Tidak lepas dari falsafah yang
dipegang oleh masyarakat madura yaitu lokanah teking kik bisa tampeih, tapi lokanah ati tak bisah tampeih kacepeh nginum dere(lukanya hati bisa diobati, kalau lukanya hati tidak bisa diobati selain minum darah). Falsafah yang
dipegang oleh kebanyakan masyarakat madura tersebut membuat orang
madura terkenal dengan pribadi yang keras, tidak pernah kompromi kalau
sudah menyangkut harga diri.
Seperti kasus yang terjadi di desa larangan luar tersebut, peristiwa itu
6
Muhammad dan Asmadin berlangsung sangat menegangkan, sehingga tidak
ada masyarakat yang berani ikut campur atau menghalangi kejadian tersebut.
Alhasil pertarungan tersebut dimenangkan oleh Asmadin yang tidak lain ialah
suaminya. Asmadin langsung menceraikan istrinya yang kedapatan selingkuh
dengan muhammad, dan beliaupun dengan sifat kesatrian menyerahkan diri
kepada polisi. Beliau tertuduh bersalah atas pembunuhan yang direncanakan
tersebut.
Uniknya masyarakat larangan luar sangat menghormati pak Asmadin,
itu dibuktikan dengan upaya masyarakat mencari cara agar hukuman yang
diperoleh mendapatkan keringanan dari pihak aparat dengan
pertimbangan-pertimbangan. Pada akhirnya pak Asmadin dikeluarkan dari pencara dan
diambil mantu oleh satu orang berpengaruh daerah pamekasan.
Istilah yang sering di pakai adalah”ango’an pute tolang etembeng pote
mata”, artinya lebih baik putih tulang ketimbang putih mata. Istilah lain yang sering di gunakan adala cek ngakoh reng mature mon lok Bengal ”jangan ngaku Orang Madura kalau tidak berani”, lokanah teking bisah tambahi, lokanah ateh tadek tanpena kacebe nginom dere(luka daging ada obatnya, lukanya hati tidak ada obatnya selain minum darah), ucapan-ucapan ini yang
7
Begitu berharganya keberadaan Senjata Tajam ditunjukkan juga
melalui ungkapan orang Madura arek kancanah sholawat (arit adalah teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu bersholawat
di setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa orang Madura tidak cukup hanya berlindung kepada
Tuhan saja, sehingga dibutuhkan Senjata Tajam sebagai sarana melindungi
dan mempertahankan diri.
Masyarakat Larangan Luar dalam segala kegiatannya membawasekep tidak hanya untuk sarana melindungi dan mempertahankan diri, tapi budaya
nyikep merupakan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Dalam banyak hal masyarakat Larangan Luar selalu membawa sekep, termasuk misalnya ada pemilihan kepala desa,nyekepadalah kewajiban.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalahnya adalah bagaimana persepsi masyarakat desa
Larangan Luar terhadap perilakunyikep?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini tentunya peneliti mempunyai tujuan
yang ingin dicapai, begitulah pada penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk
mengetahui bagaimana persepsi masyarakat larangan luar kecamatan larangan
8
D. MANFAAT PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti berharap semoga hasil
penilitian ini bermanfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis teoritis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap penelitian.
b. Untuk mengembangkan teori-teori sosial, terutama yang berhubungan
dengan budaya nyikep celurit.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan kontribusi terhadap para praktisi masyarakat luas
untuk mengenal dan memahami tradisi nyikep.
b. Sebagai bahan rujukan bagi penilitian selanjutnya untuk
dikembangkan dikemudian hari.
E. TELAAH PUSTAKA
1. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu, peneliti menguraikan tinjauannya
menegnai hasil-hasil study yang pernah dilakukan orang lain yang
memiliki hubungan atau relevansi dengan masalah yang akan diteliti
dengan mencari persamaan dan perbedaan dari penelitian yang sudah
sebelumnya tersebut. Adapun penelitian terdahulu yang relevan adalah
9
a. Penelitian dengan judul “Ungkapan Tradisional dalam Budaya Carok Pada Masyarakat Madura” yang diteliti oleh Lusi Agustini Darmayanti Mahasawi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan
tradisional dalam budaya Carok pada masyarakat Madura meiliki wujud peribahasa berupa peribahasa, perumpamaan (ibarat),
ungkapan, pepatah dan pameo. Wujud ungkapan tersebut
didasarkan pada kalimat-kalimat yang digunakan dalam setiap
ungkapan. Ungkapan tradisional dalam budaya Carok pada masyarakat Madura banyak menggunakan katakata kiasan dan kata
perbandingan untuk menyampaikan suatu maksud.
Nilai budaya ungkapan pada budaya Carok masyarakat Madura di antaranya adalah nilai kekeluargaan, nilai kebersamaan, nilai
kesabaran, nilai kerja keras, nilai pantang menyerah, nilai
keteladanan, nilai kesantunan, dan nilai kedamaian. Nilai-nilai
ungkapan dalam budaya Carok pada masyarakat Madura dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dengan memisahkan antara nilai
yang baik dan nilai yang buruk. Ungkapan dalam budaya Carok pada masyarakat Madura memiliki fungsi sebagai media
pendidikan, cita-cita dari masyarakat madura, sebagai pengatur
10
kebudayaan masyarakat Madura. Fungsi ungkapan tersebut
menjelaskan bahwa setiap ungkapan memiliki fungsi terhadap
masyarakat Madura.
b. Penelitian dengan judul “Peranan kyai terhadap budaya carok”, penenelitian ini dilakukan oleh Achmad Wisnu Broto yaitu Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kali Jaga. Peneliti
menjelaskan, Fenomena yang sering kita lihat di masyakat adanya
Budaya Carok merupakan suatu hal yang biasa. Dalam hidup ini teruma dikalangan masyarakat Madura di jumapai kasus pembunuhan
yang melibat satua lawan orang atau banyak orang melakukan Carok, jika itu menyangkut harga diri. Bagi mereka yang melakukan carok
tidak memperdulikan dampak yang akan terjadi selanjutnya.
Akan ada kalangan masyarakat juga yang masih mempertimbangkan
carok perlu dilakukan atau tidak, yaitu suwen4 kepada sesepuh desa atau kyai. Apabila hal itu dilarang oleh kyai maka tidak dilakukan.
Bagi mereka sosok kyai adalah sosok yang dihormati dan dianut.
c. Penelitian dengan judul “Tradisi Carok pada Masyarakat Adat Madura” penelitian inidilakukan oleh Henry Arianto Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul Jakarta. Penulis mengatakan
bahwa banyak yang menganggap Carok adalah tindakan keji dan
4
11
bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental
dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak
yang masih memegang tradisi Carok. Kata carok sendiri berasal dari
bahasa Madura yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’. Biasanya,
“Carok” merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya
terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut
kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena
masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).
Adapun kesimpulan yang dapat penulis sampaikan disini adalah Carok
sebagai suatu institusionalisasi kekerasan, yang secara historis telah
dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu,
selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya
juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas
Negara atau Pemerintah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan
dalam mengontrol sumbersumber kekerasan, serta ketidakmampuan
memberikan perlindungan terhadap masyarakat terhadap rasa keadilan.
Dari ketiga penelitian tersebut memiliki persamaan penelitian yang
akan peneliti lakukan dimana obyek penelitian sama yaitu berkaitan
dengan tradisi masyarakat Madura. Yang mana kesamaanya terletak juga
12
harga diri masing-masing invidu. Namun dalam penelitian yang akan
peneliti lakukan ini juga memiliki perbedaan dari ketiga penelitian yang
telah dijelaskan diatas. Dimana letak berdedaannya adalah dalam
penelitian yang akan peneliti lakukan nanti lebih menekankan pada
bagaiman persepsi masyarakat larangan luar terhadap perilaku individu
atau kelompok yang nyikep celurit kemudian akan dilanjutkan dengan
penelitian untuk mengetahui alasan individu atau kelompok lebih memilih
nyikep untuk keamanan diri sendiri atau untuk menjaga harga diri.
2. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu bagian
penting dari keseluruhan langkah-langkah metode penelitian. Cooper
dalam Creswell mengemukakan bahwa kajian pustaka memiliki beberapa
tujuan yakni; menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian
lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu,
menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan
mengisi celah-celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya.5
Selanjutnya Geoffrey dan Airasian mengemukakan bahwa tujuan
utama kajian pustaka adalah untuk menentukan apa yang telah dilakukan
orang yang berhubungan dengan topik penelitian yang akan dilakukan.
5
13
Selain itu dengan kajian pustaka tidak hanya mencegah duplikasi
penelitian orang lain, tetapi juga memberikan pemahaman dan wawasan
yang dibutuhkan untuk menempatkan topik penelitian yang kita lakukan
dalam kerangka logis. Dengan mengkaji penelitian sebelumnya, dapat
memberikan alasan untuk hipotesis penelitian, sekaligus menjadi indikasi
pembenaran pentingnya penelitian yang akan dilakukan.
Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang kajian pustaka yang
disesuaikan dengan tema:
Masyarakat Madura bersifat terbuka dalam hal tradisi yang
berkembang didalam masyarakat dengan cacatan tidak bertentangan
dengan kearifan lokalyang berlaku dilingkungan masyarakat madura.
Mereka akan terus mewariskan warisan para leluhur madura dan
mewariskan dari generasi ke generasi, kearifan lokal yang berlaku di
madura merupakan jati diri dari orang Madura.
Kearifan lokal adalah suatu istilah yang dimiliki oleh masyarakat dan
tidak dimilik diluarkelompok tersebut.6 Kearifan lokal dapat berupa adat
istiadat, tradisi dll. Salah satu contoh adalah nyikep yang merupakan
tradisi dari leluhur sesepuh orang madura.
6
14
Sekep adalah senjata tajam yang biasanya dibawa kemanapun pergi oleh orang Madura. Banyak jenis sekep yang umumnye dibawa, namun yang paling populer dikalangan orang Madura adalah clurit. Sekep dalam
pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang
sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan
hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu
sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya. Senjata yang disekep,
ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah
diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau
sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang
Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan
tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.
Pada dasarnya orang yang bersekep atau “nyekep”, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus
berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi
ancaman disekitarnya. Dan sekep itu sendiri pada umumnya dimiliki oleh
kaum pria.Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang
tradisional dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai
tradisi turun temurun, bahwa lambing kejantanan bagi orang Madura
terletak bagaimana kemantapan dan ketegaran dirinya tatkala mereka
15
keyakinan, bila seorang laki-laki tidak “nyekep”, tak lebih dari seorang banci.7
Sedangkan Sekep yang sering dipakai adalah Celurit. Senjata celurit
mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan
ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk
mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol
perlawanan rakyat jelata.
Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18. Pada
masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera.
pak Sakera di angkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh
Belanda. Yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang
berbentuk arit besar yang kemudian di kenal dengan istilah Celurit.
Dimana didalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya untuk
mengawasi para pekerja.8
Dengan kemarahan memuncak, Belanda kemudian memerintahkan
seorang jagoan, bernama Markasan untuk membunuh Sakera. Pada saat
pekerja istirahat Markasan sengaja marah-marah serta memanggil Sakera
7
Rachmad Tri Imayanto,“Identitas Kaum Blatter Madura,” diakses tanggal 21 Juni 2016,
http://www.kompasiana.com/www.r3i-arosbaya.blogspot.com/identitas-kaum-blater-madura_54f913eea3331169018b461f
8
16
untuk mengadu kekuatan. Sakera yang mendapat kabar dari pekerja kebun
tersbut marah. Sejak saat itu Sakera menjadi burtonan belanda. Saat sakera
berkunjung ke rumah ibunya, ia dikeroyok oleh careik Rembang beserta
Belanda. Karena ibu sakera di ancam akan dibunuh maka ia akhirnya
menyerah,dan dipencarakan di Bangil. Selama dipencara Sakera terpaksa
meninggalkan istri tercintanya yangsangat cantik bernama Marlena dan
keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar,
Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi
mengincar Marlena istri Sakera. Berkali-kali Brodin berusaha untuk
mendekati Marlena.
Sementara Sakera ada di penjara, Brodin berhasil menyelingkuhi
istrinya. Kabar itupun sampai ke telinga Sakera. Ia pun marah besar dan
kabur dari penjara membunuh Brodin. Kemudian Sakera melakukan balas
dendam berturut-turut mulai dari carik Rembang. Bahkan kepala polisi
Bangil pun ditebas tangannya dengan celuritnya.9
Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian
masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada
persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu
menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi
9
17
menjunjung harga diri. Istilahnya, dari pada putih mata lebih baik putih
tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung
malu. Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan
tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan
Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun
secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat
melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit. Kondisi semacam
itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi
mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras,
suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang
menggunakan celurit.10 Carok seakan-akan merupakan satu-satunya
perbuatan yang harus dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak
mampu mencari dan memilih opsi jalan lain dalam upaya menemukan
solusi ketika mereka sedang mengalami konflik yang menyanggkut
masalah harga dirinya.11
Hal yang paling penting ketika carok adalah carok tidak dilakukan
tanpa persetujuan keluarga. Bahkan carok harus melalui ritual khusus dan
10
M. Zain,Peranan K.Abdur Rahim dalam Membendung Pertikaian “Carok” di Desa
Cangkarman Konang Bangkalan Madura (Surabaya, Uinsa, 2014),16.
11
18
kegiatan berdoa bersama keluarga. Sehingga pelaku carok dihormati oleh
masyarakat. Sebaliknya apabila dalam batas waktu 40 hari orang dihina
harga dirinya(khususnya kasus perselingkuhan) tidak malakukan carok
maka itu di anggap aib dan dicemoh oleh masyarakat.Para pelaku biasanya
langsung menyerahkan diri kepada polisi dan mengakui kesalahannya.
Setelah ditahan dan dalam masa peradilanpun mereka dapar perlakuan
khusus dari keluarga yang dinamakanNabang.Nabengyaitu meringankan
proses hukum bagi pelaku carok, biasanya denganmemberikan sejumlah
uang.
Motif utama adalah maslah harga diri. Karena orang madura
memegang prinsip peribahasa, ango’an pote tolah etempengpote mata
(lebih baik putih tulang ketimbang putih mata). Penghinaan terhadap
harga diri berarti menempatkan diri sebagai moso(musuh) orang dihina.
Oreng lowar(orang luar), bala(teman), bahkan taretan(kerabat), dapat
menjadi musuh apabila dia melakukan penghinaan yang terlalu serius.12
F. DEFINISI KONSEPTUAL
Definisi konseptual pada umumnya memberikan penjelasan mengenai
judul dari suatu penelitian. Judul dalam penelitian ini “Makna Tradisi Nyikep(Bawa Senjata Tajam) Masyarakat Larangan Luar Larangan
12Ma’arif, The Historis of Madura,
19
Pamekasan”, penjelasan dari judul suatu penelitian diuraikan satu persatu dalam definisi konseptual, sebagai berikut;
1. Tradisi
Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu
masyarakat. Tradisi merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk
memperlancar perkembangan pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam
membimbing anak menuju kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai
pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat. W.S. Rendra
menekankan pentingnya tradisi dengan mengatakan bahwa tanpa tradisi,
pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi
biadab.
Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya
sebagai pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi
sebagai pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh
karena itu, tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita
sesuaikan dengan zamannya.13
2. Nyikep(Bawa Senjata Tajam)
Salah satu kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang
Madura ialah "sekep".Sekepdalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi
13
20
pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian)
pemiliknya.
Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk
senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau,
clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika
berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura
yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian
pinggang.
G. METODE PENELITIAN.
1. Jenis Penilitian dan Pendekatan
Metode dalam pembuatan usulan penilitian ini mengambarkan
tentang tatacara pengumpulan data yang diperlukan guna menguji hipotesa
atau menjawab permaslahan yang ada. Dalam kegiatan ilmiah, metodologi
merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan secara teoritis
teknik operasional yang dipakai sebagai pegangan dalam mengambil
langkah-langkah.14
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif-deskriptif penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yang
terdapat dalam ilmu-ilmu sosial. Metode ini dibangun dengan berdasar
14
21
pada pemikiran pokok yang menempatkan realitas sosial sebagai hasil dari
bekerjanya proses interpretative individu atas stuktur yang didalamnya
melibatkan berbagai proses pemaknaan subjektif dan inter-subjektif. Oleh
karenanya faktor kedaleman, kekayaan, dan kompleksitas atau sebuah
makna sangat diperlukan. Disamping itu kompotesi wacana yang
melibatkan inklusi-eksklusi atas makna yang bersifat layers, multi-dementiondanmulti-truth.
Deskriptif adalah peniltian yang berusaha menuturkan pemecahan
masalah yang ada sekarang berdasarka data-data, jadi ia juga menyajikan
data, menganalisis dan meinterpretasi. Penilitian Diskriptif bertujuan
untuk pemecahan masalah secara sistematis faktual mengenai fakta-fakta
dan sifat-sifat populasi.15
Metode penelitian ini dibangun dengan berdasar pada pemikiran
pokok yang menempatkan realitas sosial sebagai hasil dari bekerjanya
proses interpretative individu atas struktur yang didalamnya melibatkan
berbagai proses pemaknaan subjektif dan inter-subjektif. Oleh karenanya
ketiganya sangat dioperlukan.16.
2. Lokasi dan waktu penelitian
15
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metode Penilitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 44.
16
22
Lokasi penilitian sebagai objek /sasaran perlu mendapatkan perhatian
dalam menentukannya, karena pada pripsipnya sangat sangat berkaitan
dengan permasalahn yang diambilnya. Lokasi penelitian sebagai sasaran
yang sangat membantu untuk keperluan data yang diambil, sehingga
informasi ini menunjang untuk memberikan informasi yang valid.17
Dapat ditarik suatu batasan bahwa dalam sebuah penelitian lokasi
penelitian harus mempunyai batasan yang jelas agar tidak menimbulkan
kekaburan dengan kejelasan atau wilayah tertentu. Oleh sebab itu peneliti
membatasinya dan mengambil lokasi di desa larangan luar, kecamatan
larangan pamekasan.
Untuk penelitian ini mulai dilakukan pada bulang Juni-Juli 2016.
Dengan diawali bimbingan terlebih dahulu kepada dosen pembimbing
mengenai konsep da nisi penelitian. Setelah selesai melakukan ujian
proposal.
3. Pemilihan Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek penelitian adalah
warga desa masyarakat larangan luar kecamatan larangan pamekasan.
4. Tahap-tahap penelitian
Tahap-tahap penelitian atau langkah-langkah penelitian yaitu
serangkain proses penelitian dimana penelitian dari awal yaitu berasa
17
23
menghadapi masalah, memecahkan masalah sampai akhirnya mengambil
keputusan yang berupa kesimpulan bagaimana hasil penelitiannya, dapet
memecahkan masalah atau tidak. Langkah-langkah penelitian memang
harus serasi kait mengaitkan dan dukung mendukung satu sama lain
sehingga merupakan jalinan urutan yang sistematis.18
Penelitian ini mempunyai beberapa tahapan, antara lain: pertama kali
yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah mengetahui situasi dan
kondisi lingkungan yang akan dijadikan tempat penelitian. Setelah
mengetahui gambaran awal dari situasi lingkungan warga masyarakat,
langkah berikutnya adalah melakukan penelitian guna untuk
mengambarkan permasalahan yang ada di \tempat penelitian. Sedangkan
langkah yang terakhir adalah penelitian lanjutan untuk menggali data lebih
dalam lagi dan penulisan laporan.
Langkah selanjutnya sebagai berikut:
1. Tahap Pra Lapangan
a. Menyusun Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian mengatur sistematika yang akan
dilaksanakan dalam penelitian. Memasuki langkah ini peneliti
harus memahami berbagai metode dan teknik penelitian. Metode
dan teknik penelitian disusun menjadi rancangan penelitian. Mutu
18
24
keluaran penelitian ditentukan oleh ketepatan rancangan
penelitian serta pemahaman dalam penyusunan teori.
b. Memilih Lapangan Penelitian
Pemilihan lapangan penelitian diarahkan oleh teori
substansif yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis kerja
walaupun masih tentatif sifatnya.19 Dalam menentukan lapangan
penelitian kita harus mempelajari dan mendalami fokus serta
rumusan lapangan penelitian.
c. Mengurus Perizinan
Yang harus diketahui oleh peneliti sebelum melakukan
penelitian adalah siapa saja pihak yang berwenang dalam
memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian dan juga persyaratan
lain yang diperlukan dalam mengurus perizinan.
d. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti sejauh mungkin
sudah menyiapkan segala alat dan perlengkapan penelitian yang
diperlukan sebelum terjun ke dalam kancah penelitian.
2. Tahap Lapangan
Adapun tahap lapangan, tersusun sebagai berikut:
19
25
a. Memahami latar penelitian dan persiapan
Untuk memasuki suatu lapangan penelitian, peneliti perlu
memahami latar penelitian terlebih dahulu, disamping itu peneliti
perlu mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental, guna
untuk memperoleh hasil yang maksimal yang di inginkan oleh
peneliti.
b. Memasuki lapangan
Dalam hal ini perlu adanya hubungan yang baik antara
peneliti dengan subyek yang diteliti sehingga tidak ada batasan
khusus antara peneliti dengan subyek, padatahapan ini peneliti
berusaha menjalin keakraban dengan tetap menggunakan sikap
dan bahasa yang baik serta sopan, agar subyek memahami bahasa
dan sikap yang digunakan oleh peneliti
3. Tahap Analisis Data
Analisa data merupakan suatu tahap mengorganisir dan
menurut data kedalam pola, kategori dan satu uraian dasar agar dapat
memudahkan dalam menentukan tema dan dapat merumuskan
hipotesa kerja yang sesuai denan data. Pada tahap ini data yang
diperoleh dari berbagai sumber, dikumpulkan, diklasifikasikan, dan
analisa dengan komparasi konstan. Proses analisis data bisa berupa
26
memberikan kode pada data-data yang diperoleh sehingga datanya
dapat ditelusuri dengan baik, benar dan bermakna bagi proses
penelitian.
4. Tahap Penulisan Laporan
Penulisan laporan merupakan hasil akhir dari suatu penelitian,
sehingga dalam tahap akhir ini peneliti mempunyai pengaruh terhadap
hasil penulisan laporan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui 3
(tiga) cara yaitu, melalui observasi, wawancara dan dokumetansi yang
dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara sistematis dan
terencana untuk memperoleh data yang valid. Dalam hal ini selain
peneliti melakukan pengamatan pada aktivitas yang terjadi di Desa
Langan Luar secara umum, peneliti juga melakukan pengamatan
terhadap aktivitas Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan sosial.
Terjun langsung terhadap kegiata-kegiatan yang berkaitan dengan
masyarakat luas. Misalnya ada kolom, kumpul-kumpul diwarung
peneliti menyempatkan untuk bergabung, sekaligus menanyakan
27
dilapangan tentang tradisi nyikep masyarakat larangan. Dari berbagai latar belakang masyarakat dan strata sosialnya pengguna nyikep mempunyai alasan masing-masing, seperti misalnya sebagai pelindung
dikala ada bahaya, sampai pada ajang sombong-sombongan dan masih
banyak lagi alasan kenapa masyarakat larangan Nyikep yang akan dijelaskan pada bab selanjutya.
b. Wawancara, yaitu dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap
para informan, dengan cara wawancara yang tidak terstruktur dengan
menggunakan panduan yang memuat garis besar lingkup penelitian,
dan dikembangkan dengan bebas selama wawancara berlangsung akan
tetapi tetap pada sebatas ruang lingkup penelitian, dengan tujuan agar
tidak kaku dalam memperoleh informasi dengan mempersiapkan
terlebih dahulu gambaran umum pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan. Wawancara mendalam secara umum merupakan suatu proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat
dalam kehidupan sosial yang relatif lama.20
20
28
Peneliti mengamati kenyataan dan mengajukan pertanyaan dalam
wawancara hingga berkembang secara wajar berdasarkan ucapan dan
buah pikiran yang dicetuskan oleh orang yang diwawancarai.21berikut
ini adalah informan yang berhasil penenliti wawancarai.
Tabel. 1.1
Pemilihan Subyek Penelitian
No Nama Asal Status
1 Pak Mahyun Budaggan 1 Tokoh maysrakat
2 Asnawai Tangkel Petani
3 Khairul Budagan 2 Petani
4 Pak Faruq Bicabbi Pedagang Sapi
5 Pak Jamilah Bicabii Pedagang
6 Sanusi Morpenang Petani
7 Fudili Budagan 1 Ternak Ayam
8 Markawi Tangkel Tokoh masyarakat
9 Suryadi Tangkel Masyarakat
10 Pardi Budagan 2 Petani
11 Subaidi Morpenang Petani
12 Pak somad Bicabbi 2 Pedagang
c. Dokumentasi, yaitu meneliti berbagai dokumen serta bahan-bahan
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
seseorang. Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatan harian,
sejarah kehidupan, biografi, peraturan dan semacamnya. Dokumen
21
29
yang berbentuk gambar dapat berupa foto, gambar hidup dan lain-lain.
Sedangkan dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni. Studi
dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari
penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian
kualitatif.22
6. Teknik Analisis Data
Menurut Restu Kartiko Widi dalam bukunya, analisis data adalah
proses penghimpunan atau pengumpulan, pemodalan, dan tranformasi data
dengan tujuan untuk menyoroti dan memperoleh informasi yang
bermanfaat memberikan saran, kesimpulan dan mendukung pembuatan
keputusan.23
Peneliti menggunakan untuk menganilisis setiap informasi yang
diberikan oleh informan. Sebab hasil temuan memerlukan pembahasan
lebih lanjut dan penafsiran lebih dalam untuk menentukan makna dibalik
fakta serta mencermati secara kritis dan hati-hati terhadap perspektif
teoritis yang digunakan.
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang
terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh
peneliti. Data yang valid adalah data yang tidak terdapat perbedaan antara
22
Sugiyono,Memahami Penelitian Kualitatif(Bandung: CV. Alfabeta, 2014), 82.
23
30
data yang dilaporkan peneliti dengan kenyataan yang terjadi pada objek di
lapangan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data
menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak
dan tergantung pada konstruksi manusia.24
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan valid terhadap data
yang telah terkumpul, maka penulis menggunakan teknik triangulation,
yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Sebagai perbandingan triangulasi ini digunakan dengan
cara membandingkan dan mengecek derajat balik kepercayaan atau
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
metode penelitian, hal ini bisa membandingkan data hasil pengamatan
dengan data hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan
suatu dokumen yang berkaitan, atau juga membandingkan hasil
wawancara dari 2-3 informan yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif,
kriteria utama yang menunjukkan keabsahan sebuah hasil penilitian
adalah, valid, reliabel dan obyektif.
H. PEMBAHASAN
1. BAB I PENDAHULUAN
24
31
Merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum yang
memuat pola dasar penulisan skripsi ini yaitu latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep,
dan metode penelitian yang meliputi: pendekatan dan jenis penelitian,
subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, jenis dan sumber data, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data serta teknik keabsahan data, dan
sistematika pembahasan.
2. BAB II KONTRUSI SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS
Dalam bab kajian pustaka, penulis memberikan gambaran tentang
definisin konsep yang berkaitan dengan judul penulisan, serta teori yang
akan digunakan dalam penganalisahan masalah. Definisi konsep harus
digambarkan dengan jelas. Selain harus memperhatikan relefansi
teoriyang akan digunakan dalam menganalisis data.
3. BAB III Makna Tradisi Nyikep (Bawa Senjata Tajam) Masyarakat Larangan Luar Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan
Dalam bab penyajian dan analisis data, penulis memberikan gambaran
tentang data-data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder.
Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar,
32
4. BAB IV PENUTUP
Dalam bab penutup, penulis menuliskan kesimpulan dan saran dari
permasalahan dalm penulisan selain itu juga diberikan rekomendasi
BAB II
TEORI KONSTRUKSI SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS
A. TradisiNyikep
Sekep kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang Madura.
Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu
sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.
Nyikep yang merupakan akifitas yang merupakan kegiatan-kegiatan dalam melakukan perjalanan rumah untuk melakukan perlindungan atau menjaga diri
yang mengancam nyawa sehingga kemudian menggunakan benda tersebut
sebagai suatu penyelamatan. Nyikep adalah suatu simpol kejantanan bagi kalangan masyarakat Larangan Luar. Budaya nyikep tidak hanya melulu tentang kekerasan, karena itu merupakan warisan dari para leluhur yang mengajarkan
tentang pentingnya menjaga harga diri ataupun menjaga mara bahaya yang
kemungkinan besar tidak dasari oleh seseorang, maka dengan membawa sikep akan bisa setidaknya menjaga diri sendiri.
Sebagaimana diungkapkan oleh Berger dan Luckman, bahwa terdapat
momen eksternalisasi, objektivasi, dan inetrnalisasi. Alam sebagai subjek
memberikan gambaran bahwa alam adalah sebuah internal, yaitu proses
34
sebagai sesama subjek. Alam menjadi dunia subjek bagi manusia. Tetapi disisi
lain, muncul pandangan bahwa alam dunia objek yang terpisah dari manusia.
Oleh karena itu, terdapat penempatan manusia sebagai subjek dan alam sebagai
objek. Bertolak dari keduanya lalu muncul pandangan bahwa alam adalah dunia
subjek-objek atau yang dikenal sebagai momen eksternalisasi.1 Proses momen
yang jelasakan Berger dan Luckman dikenal dengan dialektika atau konstruksi
sosial.
Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika dalam pengertian bahwa
masyarakat adalah suatu prosuk manusia, lain tidak, yang akan memberi
tindak-balik pada produsennya. Masyarkat adalah suatu produk manusia. Masyakat tidak
mempunyai bentu lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh
aktivitas dan kesadaran manusia, sehingga dipastikan bahwa manusia adalah
suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode dalam
masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut seterusnya.
Masyarkat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih ada sesudah individu
mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai dari hasil proses sosial,
iindividu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu
identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari
hidupnya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat.
1
35
Kedua pernyataan itu, bahwa manusia adalah produk masyarakat dan
masyarakat produk manusia tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya
menggambarkan sifat dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Hanya jika
difat ini diterima, maka masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka
yang memadai realitas empirisnya.
Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum,
atau langkah yaitu ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pemahaman secara
seksama terhadap tiga momentum ini akan diperoleh suatu pandangan atas
masyarakat yang memadai secara empiris.2
Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui
respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi
sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang
proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial,
individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di
dalam dunia sosialnya.3
Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia
sosialnya, bahwa individu menjadi panglima dalam dunia sosialnya yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah manusia korban fakta
sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan
mengkontruksi dunia sosialnya. Akhirnya, dalam pandangan paradigma definisi
2
Peter L. Berger,Kabar Angin Dari Langit(Jakarta: PT Pustaka LP3ES,1992), 3-4.
3
36
sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuasaan konstruk
sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
Dunia sosial itu dimaksud sebagai mana yang disebut oleh George Simmel
bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan
kita bahwa realitas itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hokum yang menguasainya. Realitas sosial itu ada dilihat dari subyektivitas ada itu sendiri dari dan dunia
objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai
kedirian-nya, namun juga dilihat dari mana ‘kedirian’ itu berada, bagaimana ia
menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan
menerimanya.
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara
subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif.
Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan mengkonstruksinya dalam dunia
realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam
institusi sosialnya4.
4
37
B. Gagasan Berger dan Luckman tentang Eksternalisasi, Objektivasi, dan
Internalisasi
Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika dalam pengertian bahwa
masyarakat adalah suatu prosuk manusia, lain tidak, yang akan memberi
tindak-balik pada produsennya. Masyarkat adalah suatu produk manusia. Masyakat tidak
mempunyai bentu lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh
aktivitas dan kesadaran manusia, sehingga dipastikan bahwa manusia adalah
suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode dalam
masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut seterusnya.5
Masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan manusia, hanya manusia saja
yang hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan
saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya
manusiapun tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Seseorang manusia yang
tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan
bakat-bakat manusianya yaitu mencapai kebudayaian, dengan kata lain di mana orang
hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.6
Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih ada sesudah
individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai dari hasil
5
Berger,Kabar Angin, 3.
6
38
proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang
pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian
dari hidupnya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat. Kedua
pernyataan itu, bahwa manusia adalah produk masyarakat dan masyarakat produk
manusia tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya menggambarkan sifat
dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Hanya jika sifat ini diterima, maka
masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka yang memadai realitas
empirisnya.
Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum,
atau langkah yaitu ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pemahaman secara
seksama terhadap tiga momentum ini akan diperoleh suatu pandangan atas
masyarakat yang memadai secara empiris.7
1. Ekternalisasi
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia
merupakan merupkan momen adaptasi diri dengan sosio-kultural. Dalam
momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia
menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia
kulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia
sosio-kulturalnya. Pada momen ini, terkadang dijumpai orang yang mampu
7
39
beradaptasi dan juga ada juga yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan
penolakan tergantung dari mampu atau tidaknya individu untuk menyesuaikan
dengan dunia sosio-kultural tersebut.8
Eksternalisasi merupakan suatu pencurahan kedirian manusia secara
terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya
dan juga merupakan suatu keharusan antropologis. Manusia menurut
pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan
dirinya terus-menerus ke dalam dunia yang di tempatinya. Kedirian manusia
bagaimanapun tidak bisa dibayangkan tetap tinggal diam di dalam lingkup
dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar
untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Kedirian manusia itu
esensinya melakukan eksternalisasi dan ini sudah sejak permulaan. Fakta
antropologis yang mendasar ini sangat mungkin berakar dalam lembaga
biologis manusia. Homo sapiens menemposisi yang istimewa dalam dunia binatang. Keistimewaan ini tetap ada dalam hubungan manusia dengan
dirinya sendiri maupun dengan dunia. Tidak seperti binatang tingkat tinggi
lainnya, yang dilahirkan dengan sesuatu organisme yang pada kelompoknya
sudah lengkap, manusia itu belum selesai setelah dilahirkan. Langkah-langkah
penting dalamg proses finishing dalam proses perkembangan manusia, yang sudah terjadi dalam periode emberio bagi binatang menyusui tingkat tinggi
8
40
lainnya, dalam hal manusia terjadi dalam tahun pertama setelah kelahirannya.
Demikianlah, proses biologis menjadi manusia terjadi ketika bayi manusia
berada dalam interaksi dengan suatu lingkungan ekstra-organismik, yang
merupakan dunia fisis dan dunia manusia dari si bayi itu. Maka terdapat suatu
dasar biologis bagi proses menjadi manusia dalam arti perkembangan
kepribadian dan perolehan budaya, perkembangan-perkembangan yang
terakhir ini tidak ditumpuk sebagai mutasi-mutasi yang asing dalam
perkembangan biologis manusia, tetapi berakar di dalamnya.9
Pemahaman atas masyarakat sebagaimana masyarakat yang berakar
dalam eksternalisasi manusia, yaitu sebagai produk aktifitas manusia sangat
penting mengingat kenyataan, bahwa masyarakat tampak dalam pengertian
sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda, lepas dari berbagai aktivitas
manusia dan termasuk sebagai bagian dari alam yang terpampang. Mengenai
proses objektivasi yang memungkinkan kenampakan akan dibahas kemudian.
Cukuplah dikatakan, bahwa salah satu keuntungan penting dalam perspektif
sosiologis adalah penyederhaan keutuhan-keutuhan hipotesis, yang
membentuk gambaran masyarakat dalam pikiran manusia awam, menjadi
aktivitas manusia yang menghasilkan keutuhan-keutuhan itu dan yang tanpa
status dalam realitas. Bahkan untuk membentuk masyarakat dan semua
9
Peter L. Berger diterjemahkan Hartono,Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial
41
formasinya itu adalah makna-makna manusiawi yang diexternalisasi dalam
aktivitas manusia.
Masyarakat adalah produk dari manusia, berakar dalam fenomena
eksternalisasi, yang pada gilirannya didasarkan pada kondisi kontruksi
biologis manusia. Namun, ketika kita ingin berbicara produk-produk
eksternal, kita seakan-seakan mengisyaratkan bahwa prosuk-produk itu
memperoleh suatu tingkat kebedaan jika dibandingkan dengan produser
produk-produk itu. Tranformasi produk-produk manusia ini ke dalam suatu
dunia tidak saja berasal dari manusia, tetapi yang kemudian menghadapi
manusia sebagai suatu faksifitas di luar dirinya, adalah diletakkan dalam
konsep objektivasi, dunia yang diproduksi manusia ini kemudian menjadi
sesuatu yang berbeda diluar sana. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik
material maupun non-material, yang mampu menentang kehendak
produsennya. Sekali sudah tercipta, maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu
saja. Meskipun semua kebudayaan berasalah dari, dan berakar dalam,
kesadaran subyektif makhluk manusia, sekali sudah terbentuk kebudayaan itu
tidak bisa diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan itu
berada di dalam subyektivitas individual sebagaimana juga dunia. Dengan
kata lain dunia yang diproduksi manusia memperleh sifat realitas objek.10
2. Obyektivasi
10
42
Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia subjektif
yang dilembagakan atau mengalami proses institusional. Realitas sosial
seakan-akan berada di luar diri mnusia. Ia menjadi realitas objektif. Karena
objektif, sepertinya ada dua realitas, yaitu realita diri yang subjektif dan realita
lainnya yang berada di luar diri yang objektif. Dua realitas itu membentuk
jaringan interaksi intersubjektif melalui proses pelembagaan institusional.
Pelembagaan atau institusional, yaitu proses untuk membangun kesadaran
menjadi tindakan. Tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap
tindakan, karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari system kognitif
dan system evaluatifnya. Peta kesadarannya telah menerima dan system
evaluasi yang berasal dari system nilai juga telah menjadi bagian di dalam
seluruh mechanism kehidupannya. Dengan demikian, ketika suatu tindakan
telah menjadi suatu yang habitual, maka telah menjadi tindakan yang
mekanis, yang mesti dilakukan begitu saja.11
Manusia menciptakan sebuah alat, berarti bahwa dia memperkaya
totalitas obyek-obyek fisis yang ada di dunia, begitu dicipta, alat itu
mempunyai keberadaan sendiri yang tidak bisabegituu saja diubah oleh
mereka yang memakainya. Bahkan alat itu(katakanlah alat petanian) mungkin
saja memaksakan logika keberadaanya kepada para pemakainya, terkadang
dengan cara yang mungkin tidak mengenakkan bagi mereka. Misalnya,
11
43
sebuah bajak, meskipun jelas adalah produksi manusia, adalah suatu benda
eksternal bukan saja dalam pengertian bahwa pemakainya mungkin
tersandung bajak itu dan terluka, seperti juga manusia bisa jatuh akibat
tersandung batu atau tunggul pohon atau benda-benda alami lainnya. Lebih
menarik lagi, bajak itu mungkin memaksakan pemakai untuk mengatur
aktivtas pertanian mereka dan barangkali juga aspek-aspek kehidupan mereka
yang lain, sedemikian sehingga bersesuaian dengan logika bajak itu dan ini
mungkin tidak diduga oleh mereka yang semula menemukan peralatan itu.
Namun obyektivitas yang sama juga mencirikan unsur-unsur non-material
dari kebudayaan. Manusia menemukan bahasa dan kemudian mendapati
bahwa pembicaraan maupun pemikirannya didominasi oleh tatabahasa
tersebut. Manusia mencitakan nilai-nilai dan akan merasa bersalah apabila
melanggar nilai-nilai itu. Manusia membentuk lembaga-lembaga yang
kemudian berhadapan dengan dirinya sebagai konstelasi-konstelasi dunia
eksternal yang kuat mengendalikan bahkan mengancamnya.12
Yang perlu diingat adalah tidak ada kontruksi manusia yang dapat
secara akurat disebut sebagai fenomena sosial jika kontruksi tersebut sudah
mencapai tingkat obyektivitas yang memaksa individu mengakui sebagai
nyata. Dengan kata lain, sifat pemaksa utama dari masyarakat itu tidak
terletak peralatan-peralatan kontrol sosialnya, tetapi pada kekuasaanya untuk
12
44
membentuk dan menerapkan dirinya sebagai realitas. Dalam hal ini contoh
paradigmanya adalah bahasa. Bagaiamapun terkucilnya bahasa dari pemikiran
sosiologis, hampir tidak ada yang memungkiri bahwa bahasa adalah produk
manusia. Sesuatu bahasa adalah sejarah yang panjang mengenai kecerdikan,
imajinas bahkan kedengkian manusia.
Obyektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya.
Lembaga-lembaga, peran-peran, dan identitas-identitas itu eksis sebagai
fenomena nyata secara obyektif dalam dunia sosial, meskipun semua itu tidak
lain adalah produk-produk manusia. Misalnya, keluarga adalah pelembagaan
seksualitas manusia dalam suatu masyarakat tertentu dialami dan dimengerti
sebagai realitas oyektif. Lembaga itu ada disana, eksternal dan memaksa,
menerapkan pola-pola yang telah ditetapkan sebelumnya pada individu dalam
bidang kehidupannya ini. Obyektivitas yang sama juga terdapat pada
peran-peran yang diharapkan dimainkan oleh individu dalam konteks
kelembagaanyang bersangkutan,sekalipun ternyata ia ternyata tidak menyukai
apa yang dilakukannya. Peran-peran dari misalnya, suami, ayah atau paman
secara obyektif didefenisikan dan bisa sebagai model untuk perilaku untuk
perilaku individual. Dengan memainkan peran-peran ini, individu kemudian
mewakili obyektivitas-obyektivitas kelembagaan dengan cara yang bisa
45
3. Internalisasi
Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi dari di dalam
dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas
sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas
sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia
akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Secara kodrati, manusia
memiliki kecenderungan untuk mengelompokkan. Artinya, manusia akan
selalu berada di dalam kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas rasa
seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam
identitas yang sama13.
Internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan
dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya. Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi
pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang
lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari
kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil penciptaan
makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan
dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia dimana sudah ada
orang lain. Dalam proses “mengambil alih” dunia itu, individu dapat
memodivikasi dunia tersebut, bahkan dapat meciptakan kembali dunia secara
13
46
kreatif. Dalam kontreks ini Berger dan Luckman mengatakan, bagaimanapun
juga dalam bentuk internalisai yang kompleks, individu tidak hanya
“memahami” proses-proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat.
Individu “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia
individu bagi dirinya. Ini menandai individu dan orang lain mengalami
kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekedar sepintas lalu,
dan juga suatu prespektif komperhensif yang mempertautkan urutan situasi
secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya
memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya
bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-kenyataan itu secara
timbal balik14.
Internalisasi mengisyaratkan bahwa fasilitas obyektif dunia sosial itu
juga menjadi fasilitas subyektif. Individu mendapatkan lembaga-lembaga
sebagai dunia subyektif diluar dirinya, tetapi sekarangjuga menjadi data
kesadarannya sendiri. Program-program kelembagaan-kelembagaan yang
dibuat masyarakat secara subyektif adalah nyata seperti sikap-sikap,
motif-motif dan proyek kehidupan. Realitias lembaga-lembaga itu diperoleh oleh
individu seiring dengan peran dan identitasnya. Misalnya, individu menerima,
sebagai realitas, aturan-aturan kekerabatan khusus dalam masyarakatnya.
Dengan itu dia menyandang peran yang telah ditetapkan baginya dalam
14
47
konteks ini dan memahami identitasnya sendiri dalam kerangka peran-peran
ini. Demikianlah, maka dia tidak hanya memainkan peran paman, tetapi dia
adalah betul-betul adalah seorang paman. Juga, apabila sosialisasi cukup
berhasil, dia tidak menghendaki peran paman tersebut. Sikap-sikapnya
terhadap orang lain dan motif-motifnya untuk tindakan-tindakan tertentu
secara endemis bersifat kepamanan.
Proses internalisasi harus selalu dipahami sebagai salah satu mumentum
dari proses dialektik yang lebih besar yang juga termasuk
momentum-momentum eksternalisasi. Jika ini tidak dilakukan, maka akan muncul suatu
gambaran determenisme mekanistik, yang mana individu dihasilkan oleh
masyarakat sebagai sebabyang menghasikkan akibat dalam alam. Gambaran
seperti itu mendistorsikan fenomena kemasyarakatan. Bukan saja internalisasi
bagian dari dialektik fenomena sosialyang lebih besar, tetapi sosialisasi
individu juga terjadi dengan cara dialektik. Individu tidak dicipta sebagai
suatu benda yang pasif dan diam. Sebaliknya, dia dibentuk selama dialog
yang lama yang di dalamnya dia sebagai peserta.
Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan bagaimana meneruskan
peranan sosial yang dibangun kepada generasi berikutnya. Proses ini disebut
sosialisasi. Dalam proses sosialisasi itu makna dari pranata sosial harus
dijelaskan sedemikian rupa, sehingga dapat diterima oleh individu