• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA TRADISI NYIKEP (MEMBAWA SENJATA TAJAM) MASYARAKAT DESA LARANGAN LUAR KECAMATAN LARANGAN KABUPATEN PAMEKASAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA TRADISI NYIKEP (MEMBAWA SENJATA TAJAM) MASYARAKAT DESA LARANGAN LUAR KECAMATAN LARANGAN KABUPATEN PAMEKASAN."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA TRAD

KAT DESA LARANGAN LUAR KEC

ANGAN KABUPATEN PAMEKASA

SKRIPSI

epada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel S Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarja

(S. Sos) dalam Bidang Sosiologi

LTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLI

▸ Baca selengkapnya: maka laksamana pun menyuruh membawa segala senjata

(2)

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi oleh Moh Fawais dengan judul: Makna Tradisi Nyikep(membawa senjata tajam) Masyarakat Larangan Luar kec. Larangan kab. Pamekasan” telah dipertahankan dan dinyatakan lulus di depan Tim Penguji Skripsi pada tanggal 18 Augustus 2016.

TIM PENGUJI SKRIPSI

Penguji I Penguji II

Husnul Muttaqin, S.Ag., S.Sos, M.S.I Dr. H. Hammis Syafiq, M.Fil.I

NIP.197801202006041003 NIP.197510162002121001

Penguji III Penguji IV

Dra. Hj. Nur Mazidah, M.Si Ridha Amaliyah, S.IP. MBA

NIP.195306131992032001 NIP.201409014

Kamis, 18 Agustus 2016

Mengesahkan,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dekan

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Moh Fawais, 2016, Makna Tradisi Nyikep(Membawa Senjata Tajam) Masyarakat desa Larangan Luar Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan, Skripsi Program Studi Fakultas Sosiologi Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya

Kata kunci:nyekep, tradisi

Permaslahan yang dikaji dalam penelitian ini hanyalah satu yaitu bagaimana perpsepsi masyarakat larangan luar terhadap tradisi nyikep. Namun dari satu rumusan masalah terdapat sebuah sub pembahasan di dalamnya, antara lain masalah hrga diri bagi masyarkat larangan luar yang sangat dijunjung tinggi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Teori yang digunakan adalah Konstruksi Sosial Peter L. Berger yang memiliki konsep Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi. Dari hasil penelitian pandangan mereka terhadap kebiasaan membawasekep(senjata tajam).

(7)

PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN PENULIS SKRIPSI vi ABSTRAK ……… vii

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Rumusan Masalah………. 7

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ...……….…… 20

2. Lokasi dan Waktu Penelitian …..……...……… 21

3. Pemilihan Subyek Penelitian ……….………… 22

4. Tahap-tahap Penelitian ………...………… 22

5. Teknik Pengumpulan Data ………….………… 26

6. Teknik Analisis Data ………..…….…. 29

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….…… 29

(8)

BAB II TEORI KONSTRUKSI SOSIAL SEBAGAI ALAT

ANALISIS ……….……….… 33

A. TradisiNyikep………..……… 33

B. Gagasan Berger dan Luckman Tetang Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi……… 37

1. Internalisasi ………. 38

2. Obyektivasi ………. 41

3. Internalisasi………. 45

BAB III MAKNA TRADISINYIKEP(BAWA SENJATA TAJAM) MASYARAKAT LARANGAN LUAR KEC. LARANGAN KAB. PAMEKASAN………… 50

A. Deskripsi Umum Objek Penelitian………... 51

1. Letak Geografis Desa Larangan Luar ……… 51

2. Kondisi Demografi Desa Larangan Luar …… 51

3. Kondisi Ekonomi ………. 52

4. Kehidupan Keberagamaan Larangan Luar ….. 53

5. Keadaan Pendidikan Desa Larangan Luar ….. 54

6. Karakteristik Masyarakat Larangan Luar ……. 55

B. Diskripsi Hasil Penelitian ..………. 59

C. Analisis Data ..……….... 79

BAB IV PENUTUP………. 85

A. KESIMPULAN ………. 85

B. SARAN ..……… 87

DAFTAR PUSTAKA

(9)
(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masyarakat merupakan ruang tempat terjadinya berbagai macam

proses sosial, karena adanya proses sosial tersebut dapat menciptakan banyak

keunikan dari berbagai aspek, baik itu aspek budaya maupun sosial. Keunikan

tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara mereka hidup dan menanggapi

berbagai macam rangsangan dari luar maupun dari dalam lingkungan mereka

sendiri, baik itu rangsangan dari sesama individu dalam masyarakat itu

maupun rangsangan dari sekitar lingkungan mereka yang berupa alam.

Madura adalah suatu wilayah yang memiliki empat kabupaten yakni

Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dengan masyarakat yang

memiliki ciri khas yang berbeda-beda, baik dari segi bahasa maupun budaya.

Banyak sekali budaya Madura yang sudah dikenal, baik nasional maupun

internasional, seperti budaya carok yang melibatkan antara dua laki-laki

maupun lebih yang dapat menimbulkan korban jiwa, atau seperti remoh yang

merupakan cara masyarakat Madura berpesta, maupun hajatan dengan

melibatkan banyak orang dan masih banyak sekali budaya atau tradisi yang

(11)

2

Salah satu sumber daya manusia adalah kebudayaan yang di hasilkan

oleh masyarakat. Budaya merupakan identitas mutlak yang tidak dimeliki oleh

kelompok lain secara otomatis menajadi ciri khas dari masyarakat tersebut.

Seperti misalnya masyarakat Madura yang sangat beragam kebudayaannya.

diantaranya rokatan tasek, rokat pandebeh, nyikep, dll. Yang menarik untuk di bahas adalah kebudaya nyikep yang sampek sekarang masih bertahan, terutama orang-orang yang mempunyai kepercayaan “kalau tidak nyikep bukan laki-laki”.

Nyikepberasal dari kata“Sekep”yang berarti membawa senjata tajam. sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat

tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.

Pada dasarnya orang yang pakaisekep, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan

lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya.

Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang tradisional

dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai tradisi turun

temurun, bahwa lambang kejantanan bagi orang Madura terletak bagaimana

(12)

3

Adapun senjata yang sering digunakan oleh orang Madura adaalah

celurit. Yang akan penulis jelaskan tentang sejarah munculnya Celurit.

Berawal dari kerajaan Madura di pimpinan oleh prabu Cakraningrat(abad

ke-12 M) dan dibawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), Celurit belum

dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada Masa pemerintahan

Panembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, Putra Sunan Kudus dari abad

ke-17 M tidak ditemukan Sejarah yang menyebutkan istilah Celurit dan

BudayaCarok. Senjata yang sering kali digunakan pada saat perang atau duel satu lawan satu selalu saja Pedang, Keris atau Tombak. Pada masa tersebut

juga masih belum di dengar istilahCarok.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18. Pada

masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera. pak

Sakera di angkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda.

Yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang berbentuk arit besar

yang kemudian di kenal dengan istilah Celurit. Dimana didalam setiap

kesempatan, beliau selalu membawanya untuk mengawasi para pekerja.1

Kemunculan versi kisah pak Sakera ada kesesuaian dengan hasil

penelitian De Jonge yang dikutip oleh Latief Wijaya. De Jonge mengutip

laporan seorang asisten residen dari Bangkalan, Brest Van Kempen, yang

1

(13)

4

menyatakan bahwa antara tahun 1847-1849, kemaanan di pulau Madura

sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus

pembunuhan. Bandingkan dengan kisah pak Sakera dan peristiwa kekacauan

yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut cacatan sejarah juga terjadi

pada abad 18 M.

Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai bagi

pengguna celurit masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan

simbolisasi figure pak Sakera sebagai sosok yang berani melawan ketidak

adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan lebih

melambangkan sifat “Blater”2 yang identic dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celutit kini melambangkan tindakan anarkis, egois dan

brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek“Carok”3. Untuk itu, penulis akan mencoba meluruskan kembali persepsi yang salah terhadap kebudayaan

nyikeptersebut.

Upaya Belanda untuk mencederai citra pak Sakera rupanya berhasil

merasuki pola pikir masyarakat Madura dan menjadi falsafahnya. Apabila ada

permasalahan yang menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan keluarnya

yang di anggap paling baik adalahCarokmenggunakan celurit.

Sama dengan bajingan

3

(14)

5

Ada juga terjadinya carok disebakan oleh masalah keluarga yang

bersangkut paut dengan istri. Seperti yang pernah terjadi pada masyarakat

larangan luar yang diketahui berselingkuh dengan orang lain, maka sang

suami merencanakan untuk membunuh selingkuhannya. Ditunggu waktu yang

tepat dengan perencanaan yang matang serta dengan persiapan yang sangat

matang. Suami tersebut bernama Asmadin, dan yang menjadi selingkuhan

istrinya adalah Muhammad.

Suatu hal yang peneliti temukan pada masalah tersebut, orang madura

cenderung tidak berpikir panjang untuk melakukan carok, apabila masalah

harga diri seorang suami, dampak yang akan di alami sudah tau persis kalau

membunuh akan di penjara, akan tetapi masyarkat madura berkeyakinan

masalah harga diri tidak bisa ditawar lagi dengan apapun selain carok, dan

pada akhirnya salah satunya harus terbunuh. Tidak lepas dari falsafah yang

dipegang oleh masyarakat madura yaitu lokanah teking kik bisa tampeih, tapi lokanah ati tak bisah tampeih kacepeh nginum dere(lukanya hati bisa diobati, kalau lukanya hati tidak bisa diobati selain minum darah). Falsafah yang

dipegang oleh kebanyakan masyarakat madura tersebut membuat orang

madura terkenal dengan pribadi yang keras, tidak pernah kompromi kalau

sudah menyangkut harga diri.

Seperti kasus yang terjadi di desa larangan luar tersebut, peristiwa itu

(15)

6

Muhammad dan Asmadin berlangsung sangat menegangkan, sehingga tidak

ada masyarakat yang berani ikut campur atau menghalangi kejadian tersebut.

Alhasil pertarungan tersebut dimenangkan oleh Asmadin yang tidak lain ialah

suaminya. Asmadin langsung menceraikan istrinya yang kedapatan selingkuh

dengan muhammad, dan beliaupun dengan sifat kesatrian menyerahkan diri

kepada polisi. Beliau tertuduh bersalah atas pembunuhan yang direncanakan

tersebut.

Uniknya masyarakat larangan luar sangat menghormati pak Asmadin,

itu dibuktikan dengan upaya masyarakat mencari cara agar hukuman yang

diperoleh mendapatkan keringanan dari pihak aparat dengan

pertimbangan-pertimbangan. Pada akhirnya pak Asmadin dikeluarkan dari pencara dan

diambil mantu oleh satu orang berpengaruh daerah pamekasan.

Istilah yang sering di pakai adalah”ango’an pute tolang etembeng pote

mata”, artinya lebih baik putih tulang ketimbang putih mata. Istilah lain yang sering di gunakan adala cek ngakoh reng mature mon lok Bengal ”jangan ngaku Orang Madura kalau tidak berani”, lokanah teking bisah tambahi, lokanah ateh tadek tanpena kacebe nginom dere(luka daging ada obatnya, lukanya hati tidak ada obatnya selain minum darah), ucapan-ucapan ini yang

(16)

7

Begitu berharganya keberadaan Senjata Tajam ditunjukkan juga

melalui ungkapan orang Madura arek kancanah sholawat (arit adalah teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu bersholawat

di setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini

menunjukkan bahwa orang Madura tidak cukup hanya berlindung kepada

Tuhan saja, sehingga dibutuhkan Senjata Tajam sebagai sarana melindungi

dan mempertahankan diri.

Masyarakat Larangan Luar dalam segala kegiatannya membawasekep tidak hanya untuk sarana melindungi dan mempertahankan diri, tapi budaya

nyikep merupakan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Dalam banyak hal masyarakat Larangan Luar selalu membawa sekep, termasuk misalnya ada pemilihan kepala desa,nyekepadalah kewajiban.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalahnya adalah bagaimana persepsi masyarakat desa

Larangan Luar terhadap perilakunyikep?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini tentunya peneliti mempunyai tujuan

yang ingin dicapai, begitulah pada penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk

mengetahui bagaimana persepsi masyarakat larangan luar kecamatan larangan

(17)

8

D. MANFAAT PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti berharap semoga hasil

penilitian ini bermanfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis teoritis

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap penelitian.

b. Untuk mengembangkan teori-teori sosial, terutama yang berhubungan

dengan budaya nyikep celurit.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan kontribusi terhadap para praktisi masyarakat luas

untuk mengenal dan memahami tradisi nyikep.

b. Sebagai bahan rujukan bagi penilitian selanjutnya untuk

dikembangkan dikemudian hari.

E. TELAAH PUSTAKA

1. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu, peneliti menguraikan tinjauannya

menegnai hasil-hasil study yang pernah dilakukan orang lain yang

memiliki hubungan atau relevansi dengan masalah yang akan diteliti

dengan mencari persamaan dan perbedaan dari penelitian yang sudah

sebelumnya tersebut. Adapun penelitian terdahulu yang relevan adalah

(18)

9

a. Penelitian dengan judul “Ungkapan Tradisional dalam Budaya Carok Pada Masyarakat Madura” yang diteliti oleh Lusi Agustini Darmayanti Mahasawi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Jember. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan

tradisional dalam budaya Carok pada masyarakat Madura meiliki wujud peribahasa berupa peribahasa, perumpamaan (ibarat),

ungkapan, pepatah dan pameo. Wujud ungkapan tersebut

didasarkan pada kalimat-kalimat yang digunakan dalam setiap

ungkapan. Ungkapan tradisional dalam budaya Carok pada masyarakat Madura banyak menggunakan katakata kiasan dan kata

perbandingan untuk menyampaikan suatu maksud.

Nilai budaya ungkapan pada budaya Carok masyarakat Madura di antaranya adalah nilai kekeluargaan, nilai kebersamaan, nilai

kesabaran, nilai kerja keras, nilai pantang menyerah, nilai

keteladanan, nilai kesantunan, dan nilai kedamaian. Nilai-nilai

ungkapan dalam budaya Carok pada masyarakat Madura dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dengan memisahkan antara nilai

yang baik dan nilai yang buruk. Ungkapan dalam budaya Carok pada masyarakat Madura memiliki fungsi sebagai media

pendidikan, cita-cita dari masyarakat madura, sebagai pengatur

(19)

10

kebudayaan masyarakat Madura. Fungsi ungkapan tersebut

menjelaskan bahwa setiap ungkapan memiliki fungsi terhadap

masyarakat Madura.

b. Penelitian dengan judul “Peranan kyai terhadap budaya carok”, penenelitian ini dilakukan oleh Achmad Wisnu Broto yaitu Mahasiswa

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kali Jaga. Peneliti

menjelaskan, Fenomena yang sering kita lihat di masyakat adanya

Budaya Carok merupakan suatu hal yang biasa. Dalam hidup ini teruma dikalangan masyarakat Madura di jumapai kasus pembunuhan

yang melibat satua lawan orang atau banyak orang melakukan Carok, jika itu menyangkut harga diri. Bagi mereka yang melakukan carok

tidak memperdulikan dampak yang akan terjadi selanjutnya.

Akan ada kalangan masyarakat juga yang masih mempertimbangkan

carok perlu dilakukan atau tidak, yaitu suwen4 kepada sesepuh desa atau kyai. Apabila hal itu dilarang oleh kyai maka tidak dilakukan.

Bagi mereka sosok kyai adalah sosok yang dihormati dan dianut.

c. Penelitian dengan judul “Tradisi Carok pada Masyarakat Adat Madura” penelitian inidilakukan oleh Henry Arianto Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul Jakarta. Penulis mengatakan

bahwa banyak yang menganggap Carok adalah tindakan keji dan

4

(20)

11

bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental

dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak

yang masih memegang tradisi Carok. Kata carok sendiri berasal dari

bahasa Madura yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’. Biasanya,

“Carok” merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya

terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut

kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena

masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).

Adapun kesimpulan yang dapat penulis sampaikan disini adalah Carok

sebagai suatu institusionalisasi kekerasan, yang secara historis telah

dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu,

selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya

juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas

Negara atau Pemerintah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan

dalam mengontrol sumbersumber kekerasan, serta ketidakmampuan

memberikan perlindungan terhadap masyarakat terhadap rasa keadilan.

Dari ketiga penelitian tersebut memiliki persamaan penelitian yang

akan peneliti lakukan dimana obyek penelitian sama yaitu berkaitan

dengan tradisi masyarakat Madura. Yang mana kesamaanya terletak juga

(21)

12

harga diri masing-masing invidu. Namun dalam penelitian yang akan

peneliti lakukan ini juga memiliki perbedaan dari ketiga penelitian yang

telah dijelaskan diatas. Dimana letak berdedaannya adalah dalam

penelitian yang akan peneliti lakukan nanti lebih menekankan pada

bagaiman persepsi masyarakat larangan luar terhadap perilaku individu

atau kelompok yang nyikep celurit kemudian akan dilanjutkan dengan

penelitian untuk mengetahui alasan individu atau kelompok lebih memilih

nyikep untuk keamanan diri sendiri atau untuk menjaga harga diri.

2. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu bagian

penting dari keseluruhan langkah-langkah metode penelitian. Cooper

dalam Creswell mengemukakan bahwa kajian pustaka memiliki beberapa

tujuan yakni; menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian

lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu,

menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan

mengisi celah-celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya.5

Selanjutnya Geoffrey dan Airasian mengemukakan bahwa tujuan

utama kajian pustaka adalah untuk menentukan apa yang telah dilakukan

orang yang berhubungan dengan topik penelitian yang akan dilakukan.

5

(22)

13

Selain itu dengan kajian pustaka tidak hanya mencegah duplikasi

penelitian orang lain, tetapi juga memberikan pemahaman dan wawasan

yang dibutuhkan untuk menempatkan topik penelitian yang kita lakukan

dalam kerangka logis. Dengan mengkaji penelitian sebelumnya, dapat

memberikan alasan untuk hipotesis penelitian, sekaligus menjadi indikasi

pembenaran pentingnya penelitian yang akan dilakukan.

Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang kajian pustaka yang

disesuaikan dengan tema:

Masyarakat Madura bersifat terbuka dalam hal tradisi yang

berkembang didalam masyarakat dengan cacatan tidak bertentangan

dengan kearifan lokalyang berlaku dilingkungan masyarakat madura.

Mereka akan terus mewariskan warisan para leluhur madura dan

mewariskan dari generasi ke generasi, kearifan lokal yang berlaku di

madura merupakan jati diri dari orang Madura.

Kearifan lokal adalah suatu istilah yang dimiliki oleh masyarakat dan

tidak dimilik diluarkelompok tersebut.6 Kearifan lokal dapat berupa adat

istiadat, tradisi dll. Salah satu contoh adalah nyikep yang merupakan

tradisi dari leluhur sesepuh orang madura.

6

(23)

14

Sekep adalah senjata tajam yang biasanya dibawa kemanapun pergi oleh orang Madura. Banyak jenis sekep yang umumnye dibawa, namun yang paling populer dikalangan orang Madura adalah clurit. Sekep dalam

pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang

sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan

hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu

sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya. Senjata yang disekep,

ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah

diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau

sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang

Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan

tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.

Pada dasarnya orang yang bersekep atau “nyekep”, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus

berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi

ancaman disekitarnya. Dan sekep itu sendiri pada umumnya dimiliki oleh

kaum pria.Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang

tradisional dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai

tradisi turun temurun, bahwa lambing kejantanan bagi orang Madura

terletak bagaimana kemantapan dan ketegaran dirinya tatkala mereka

(24)

15

keyakinan, bila seorang laki-laki tidak “nyekep”, tak lebih dari seorang banci.7

Sedangkan Sekep yang sering dipakai adalah Celurit. Senjata celurit

mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan

ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk

mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol

perlawanan rakyat jelata.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18. Pada

masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera.

pak Sakera di angkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh

Belanda. Yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang

berbentuk arit besar yang kemudian di kenal dengan istilah Celurit.

Dimana didalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya untuk

mengawasi para pekerja.8

Dengan kemarahan memuncak, Belanda kemudian memerintahkan

seorang jagoan, bernama Markasan untuk membunuh Sakera. Pada saat

pekerja istirahat Markasan sengaja marah-marah serta memanggil Sakera

7

Rachmad Tri Imayanto,“Identitas Kaum Blatter Madura,” diakses tanggal 21 Juni 2016,

http://www.kompasiana.com/www.r3i-arosbaya.blogspot.com/identitas-kaum-blater-madura_54f913eea3331169018b461f

8

(25)

16

untuk mengadu kekuatan. Sakera yang mendapat kabar dari pekerja kebun

tersbut marah. Sejak saat itu Sakera menjadi burtonan belanda. Saat sakera

berkunjung ke rumah ibunya, ia dikeroyok oleh careik Rembang beserta

Belanda. Karena ibu sakera di ancam akan dibunuh maka ia akhirnya

menyerah,dan dipencarakan di Bangil. Selama dipencara Sakera terpaksa

meninggalkan istri tercintanya yangsangat cantik bernama Marlena dan

keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar,

Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi

mengincar Marlena istri Sakera. Berkali-kali Brodin berusaha untuk

mendekati Marlena.

Sementara Sakera ada di penjara, Brodin berhasil menyelingkuhi

istrinya. Kabar itupun sampai ke telinga Sakera. Ia pun marah besar dan

kabur dari penjara membunuh Brodin. Kemudian Sakera melakukan balas

dendam berturut-turut mulai dari carik Rembang. Bahkan kepala polisi

Bangil pun ditebas tangannya dengan celuritnya.9

Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian

masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada

persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu

menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi

9

(26)

17

menjunjung harga diri. Istilahnya, dari pada putih mata lebih baik putih

tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung

malu. Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan

tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan

Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun

secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat

melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit. Kondisi semacam

itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi

mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras,

suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang

menggunakan celurit.10 Carok seakan-akan merupakan satu-satunya

perbuatan yang harus dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak

mampu mencari dan memilih opsi jalan lain dalam upaya menemukan

solusi ketika mereka sedang mengalami konflik yang menyanggkut

masalah harga dirinya.11

Hal yang paling penting ketika carok adalah carok tidak dilakukan

tanpa persetujuan keluarga. Bahkan carok harus melalui ritual khusus dan

10

M. Zain,Peranan K.Abdur Rahim dalam Membendung Pertikaian “Carok” di Desa

Cangkarman Konang Bangkalan Madura (Surabaya, Uinsa, 2014),16.

11

(27)

18

kegiatan berdoa bersama keluarga. Sehingga pelaku carok dihormati oleh

masyarakat. Sebaliknya apabila dalam batas waktu 40 hari orang dihina

harga dirinya(khususnya kasus perselingkuhan) tidak malakukan carok

maka itu di anggap aib dan dicemoh oleh masyarakat.Para pelaku biasanya

langsung menyerahkan diri kepada polisi dan mengakui kesalahannya.

Setelah ditahan dan dalam masa peradilanpun mereka dapar perlakuan

khusus dari keluarga yang dinamakanNabang.Nabengyaitu meringankan

proses hukum bagi pelaku carok, biasanya denganmemberikan sejumlah

uang.

Motif utama adalah maslah harga diri. Karena orang madura

memegang prinsip peribahasa, ango’an pote tolah etempengpote mata

(lebih baik putih tulang ketimbang putih mata). Penghinaan terhadap

harga diri berarti menempatkan diri sebagai moso(musuh) orang dihina.

Oreng lowar(orang luar), bala(teman), bahkan taretan(kerabat), dapat

menjadi musuh apabila dia melakukan penghinaan yang terlalu serius.12

F. DEFINISI KONSEPTUAL

Definisi konseptual pada umumnya memberikan penjelasan mengenai

judul dari suatu penelitian. Judul dalam penelitian ini “Makna Tradisi Nyikep(Bawa Senjata Tajam) Masyarakat Larangan Luar Larangan

12Ma’arif, The Historis of Madura,

(28)

19

Pamekasan”, penjelasan dari judul suatu penelitian diuraikan satu persatu dalam definisi konseptual, sebagai berikut;

1. Tradisi

Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu

masyarakat. Tradisi merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk

memperlancar perkembangan pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam

membimbing anak menuju kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai

pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat. W.S. Rendra

menekankan pentingnya tradisi dengan mengatakan bahwa tanpa tradisi,

pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi

biadab.

Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya

sebagai pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi

sebagai pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh

karena itu, tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita

sesuaikan dengan zamannya.13

2. Nyikep(Bawa Senjata Tajam)

Salah satu kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang

Madura ialah "sekep".Sekepdalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi

13

(29)

20

pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian)

pemiliknya.

Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk

senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau,

clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika

berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura

yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian

pinggang.

G. METODE PENELITIAN.

1. Jenis Penilitian dan Pendekatan

Metode dalam pembuatan usulan penilitian ini mengambarkan

tentang tatacara pengumpulan data yang diperlukan guna menguji hipotesa

atau menjawab permaslahan yang ada. Dalam kegiatan ilmiah, metodologi

merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan secara teoritis

teknik operasional yang dipakai sebagai pegangan dalam mengambil

langkah-langkah.14

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kualitatif-deskriptif penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yang

terdapat dalam ilmu-ilmu sosial. Metode ini dibangun dengan berdasar

14

(30)

21

pada pemikiran pokok yang menempatkan realitas sosial sebagai hasil dari

bekerjanya proses interpretative individu atas stuktur yang didalamnya

melibatkan berbagai proses pemaknaan subjektif dan inter-subjektif. Oleh

karenanya faktor kedaleman, kekayaan, dan kompleksitas atau sebuah

makna sangat diperlukan. Disamping itu kompotesi wacana yang

melibatkan inklusi-eksklusi atas makna yang bersifat layers, multi-dementiondanmulti-truth.

Deskriptif adalah peniltian yang berusaha menuturkan pemecahan

masalah yang ada sekarang berdasarka data-data, jadi ia juga menyajikan

data, menganalisis dan meinterpretasi. Penilitian Diskriptif bertujuan

untuk pemecahan masalah secara sistematis faktual mengenai fakta-fakta

dan sifat-sifat populasi.15

Metode penelitian ini dibangun dengan berdasar pada pemikiran

pokok yang menempatkan realitas sosial sebagai hasil dari bekerjanya

proses interpretative individu atas struktur yang didalamnya melibatkan

berbagai proses pemaknaan subjektif dan inter-subjektif. Oleh karenanya

ketiganya sangat dioperlukan.16.

2. Lokasi dan waktu penelitian

15

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metode Penilitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 44.

16

(31)

22

Lokasi penilitian sebagai objek /sasaran perlu mendapatkan perhatian

dalam menentukannya, karena pada pripsipnya sangat sangat berkaitan

dengan permasalahn yang diambilnya. Lokasi penelitian sebagai sasaran

yang sangat membantu untuk keperluan data yang diambil, sehingga

informasi ini menunjang untuk memberikan informasi yang valid.17

Dapat ditarik suatu batasan bahwa dalam sebuah penelitian lokasi

penelitian harus mempunyai batasan yang jelas agar tidak menimbulkan

kekaburan dengan kejelasan atau wilayah tertentu. Oleh sebab itu peneliti

membatasinya dan mengambil lokasi di desa larangan luar, kecamatan

larangan pamekasan.

Untuk penelitian ini mulai dilakukan pada bulang Juni-Juli 2016.

Dengan diawali bimbingan terlebih dahulu kepada dosen pembimbing

mengenai konsep da nisi penelitian. Setelah selesai melakukan ujian

proposal.

3. Pemilihan Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek penelitian adalah

warga desa masyarakat larangan luar kecamatan larangan pamekasan.

4. Tahap-tahap penelitian

Tahap-tahap penelitian atau langkah-langkah penelitian yaitu

serangkain proses penelitian dimana penelitian dari awal yaitu berasa

17

(32)

23

menghadapi masalah, memecahkan masalah sampai akhirnya mengambil

keputusan yang berupa kesimpulan bagaimana hasil penelitiannya, dapet

memecahkan masalah atau tidak. Langkah-langkah penelitian memang

harus serasi kait mengaitkan dan dukung mendukung satu sama lain

sehingga merupakan jalinan urutan yang sistematis.18

Penelitian ini mempunyai beberapa tahapan, antara lain: pertama kali

yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah mengetahui situasi dan

kondisi lingkungan yang akan dijadikan tempat penelitian. Setelah

mengetahui gambaran awal dari situasi lingkungan warga masyarakat,

langkah berikutnya adalah melakukan penelitian guna untuk

mengambarkan permasalahan yang ada di \tempat penelitian. Sedangkan

langkah yang terakhir adalah penelitian lanjutan untuk menggali data lebih

dalam lagi dan penulisan laporan.

Langkah selanjutnya sebagai berikut:

1. Tahap Pra Lapangan

a. Menyusun Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian mengatur sistematika yang akan

dilaksanakan dalam penelitian. Memasuki langkah ini peneliti

harus memahami berbagai metode dan teknik penelitian. Metode

dan teknik penelitian disusun menjadi rancangan penelitian. Mutu

18

(33)

24

keluaran penelitian ditentukan oleh ketepatan rancangan

penelitian serta pemahaman dalam penyusunan teori.

b. Memilih Lapangan Penelitian

Pemilihan lapangan penelitian diarahkan oleh teori

substansif yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis kerja

walaupun masih tentatif sifatnya.19 Dalam menentukan lapangan

penelitian kita harus mempelajari dan mendalami fokus serta

rumusan lapangan penelitian.

c. Mengurus Perizinan

Yang harus diketahui oleh peneliti sebelum melakukan

penelitian adalah siapa saja pihak yang berwenang dalam

memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian dan juga persyaratan

lain yang diperlukan dalam mengurus perizinan.

d. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti sejauh mungkin

sudah menyiapkan segala alat dan perlengkapan penelitian yang

diperlukan sebelum terjun ke dalam kancah penelitian.

2. Tahap Lapangan

Adapun tahap lapangan, tersusun sebagai berikut:

19

(34)

25

a. Memahami latar penelitian dan persiapan

Untuk memasuki suatu lapangan penelitian, peneliti perlu

memahami latar penelitian terlebih dahulu, disamping itu peneliti

perlu mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental, guna

untuk memperoleh hasil yang maksimal yang di inginkan oleh

peneliti.

b. Memasuki lapangan

Dalam hal ini perlu adanya hubungan yang baik antara

peneliti dengan subyek yang diteliti sehingga tidak ada batasan

khusus antara peneliti dengan subyek, padatahapan ini peneliti

berusaha menjalin keakraban dengan tetap menggunakan sikap

dan bahasa yang baik serta sopan, agar subyek memahami bahasa

dan sikap yang digunakan oleh peneliti

3. Tahap Analisis Data

Analisa data merupakan suatu tahap mengorganisir dan

menurut data kedalam pola, kategori dan satu uraian dasar agar dapat

memudahkan dalam menentukan tema dan dapat merumuskan

hipotesa kerja yang sesuai denan data. Pada tahap ini data yang

diperoleh dari berbagai sumber, dikumpulkan, diklasifikasikan, dan

analisa dengan komparasi konstan. Proses analisis data bisa berupa

(35)

26

memberikan kode pada data-data yang diperoleh sehingga datanya

dapat ditelusuri dengan baik, benar dan bermakna bagi proses

penelitian.

4. Tahap Penulisan Laporan

Penulisan laporan merupakan hasil akhir dari suatu penelitian,

sehingga dalam tahap akhir ini peneliti mempunyai pengaruh terhadap

hasil penulisan laporan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui 3

(tiga) cara yaitu, melalui observasi, wawancara dan dokumetansi yang

dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara sistematis dan

terencana untuk memperoleh data yang valid. Dalam hal ini selain

peneliti melakukan pengamatan pada aktivitas yang terjadi di Desa

Langan Luar secara umum, peneliti juga melakukan pengamatan

terhadap aktivitas Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan yang

berhubungan dengan sosial.

Terjun langsung terhadap kegiata-kegiatan yang berkaitan dengan

masyarakat luas. Misalnya ada kolom, kumpul-kumpul diwarung

peneliti menyempatkan untuk bergabung, sekaligus menanyakan

(36)

27

dilapangan tentang tradisi nyikep masyarakat larangan. Dari berbagai latar belakang masyarakat dan strata sosialnya pengguna nyikep mempunyai alasan masing-masing, seperti misalnya sebagai pelindung

dikala ada bahaya, sampai pada ajang sombong-sombongan dan masih

banyak lagi alasan kenapa masyarakat larangan Nyikep yang akan dijelaskan pada bab selanjutya.

b. Wawancara, yaitu dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap

para informan, dengan cara wawancara yang tidak terstruktur dengan

menggunakan panduan yang memuat garis besar lingkup penelitian,

dan dikembangkan dengan bebas selama wawancara berlangsung akan

tetapi tetap pada sebatas ruang lingkup penelitian, dengan tujuan agar

tidak kaku dalam memperoleh informasi dengan mempersiapkan

terlebih dahulu gambaran umum pertanyaan-pertanyaan yang akan

diajukan. Wawancara mendalam secara umum merupakan suatu proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan

atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan

pedoman wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat

dalam kehidupan sosial yang relatif lama.20

20

(37)

28

Peneliti mengamati kenyataan dan mengajukan pertanyaan dalam

wawancara hingga berkembang secara wajar berdasarkan ucapan dan

buah pikiran yang dicetuskan oleh orang yang diwawancarai.21berikut

ini adalah informan yang berhasil penenliti wawancarai.

Tabel. 1.1

Pemilihan Subyek Penelitian

No Nama Asal Status

1 Pak Mahyun Budaggan 1 Tokoh maysrakat

2 Asnawai Tangkel Petani

3 Khairul Budagan 2 Petani

4 Pak Faruq Bicabbi Pedagang Sapi

5 Pak Jamilah Bicabii Pedagang

6 Sanusi Morpenang Petani

7 Fudili Budagan 1 Ternak Ayam

8 Markawi Tangkel Tokoh masyarakat

9 Suryadi Tangkel Masyarakat

10 Pardi Budagan 2 Petani

11 Subaidi Morpenang Petani

12 Pak somad Bicabbi 2 Pedagang

c. Dokumentasi, yaitu meneliti berbagai dokumen serta bahan-bahan

yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari

seseorang. Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatan harian,

sejarah kehidupan, biografi, peraturan dan semacamnya. Dokumen

21

(38)

29

yang berbentuk gambar dapat berupa foto, gambar hidup dan lain-lain.

Sedangkan dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni. Studi

dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari

penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian

kualitatif.22

6. Teknik Analisis Data

Menurut Restu Kartiko Widi dalam bukunya, analisis data adalah

proses penghimpunan atau pengumpulan, pemodalan, dan tranformasi data

dengan tujuan untuk menyoroti dan memperoleh informasi yang

bermanfaat memberikan saran, kesimpulan dan mendukung pembuatan

keputusan.23

Peneliti menggunakan untuk menganilisis setiap informasi yang

diberikan oleh informan. Sebab hasil temuan memerlukan pembahasan

lebih lanjut dan penafsiran lebih dalam untuk menentukan makna dibalik

fakta serta mencermati secara kritis dan hati-hati terhadap perspektif

teoritis yang digunakan.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang

terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh

peneliti. Data yang valid adalah data yang tidak terdapat perbedaan antara

22

Sugiyono,Memahami Penelitian Kualitatif(Bandung: CV. Alfabeta, 2014), 82.

23

(39)

30

data yang dilaporkan peneliti dengan kenyataan yang terjadi pada objek di

lapangan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data

menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak

dan tergantung pada konstruksi manusia.24

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan valid terhadap data

yang telah terkumpul, maka penulis menggunakan teknik triangulation,

yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu. Sebagai perbandingan triangulasi ini digunakan dengan

cara membandingkan dan mengecek derajat balik kepercayaan atau

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam

metode penelitian, hal ini bisa membandingkan data hasil pengamatan

dengan data hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan

suatu dokumen yang berkaitan, atau juga membandingkan hasil

wawancara dari 2-3 informan yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif,

kriteria utama yang menunjukkan keabsahan sebuah hasil penilitian

adalah, valid, reliabel dan obyektif.

H. PEMBAHASAN

1. BAB I PENDAHULUAN

24

(40)

31

Merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum yang

memuat pola dasar penulisan skripsi ini yaitu latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep,

dan metode penelitian yang meliputi: pendekatan dan jenis penelitian,

subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, jenis dan sumber data, teknik

pengumpulan data, teknik analisis data serta teknik keabsahan data, dan

sistematika pembahasan.

2. BAB II KONTRUSI SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS

Dalam bab kajian pustaka, penulis memberikan gambaran tentang

definisin konsep yang berkaitan dengan judul penulisan, serta teori yang

akan digunakan dalam penganalisahan masalah. Definisi konsep harus

digambarkan dengan jelas. Selain harus memperhatikan relefansi

teoriyang akan digunakan dalam menganalisis data.

3. BAB III Makna Tradisi Nyikep (Bawa Senjata Tajam) Masyarakat Larangan Luar Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan

Dalam bab penyajian dan analisis data, penulis memberikan gambaran

tentang data-data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder.

Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar,

(41)

32

4. BAB IV PENUTUP

Dalam bab penutup, penulis menuliskan kesimpulan dan saran dari

permasalahan dalm penulisan selain itu juga diberikan rekomendasi

(42)

BAB II

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS

A. TradisiNyikep

Sekep kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang Madura.

Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu

sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.

Nyikep yang merupakan akifitas yang merupakan kegiatan-kegiatan dalam melakukan perjalanan rumah untuk melakukan perlindungan atau menjaga diri

yang mengancam nyawa sehingga kemudian menggunakan benda tersebut

sebagai suatu penyelamatan. Nyikep adalah suatu simpol kejantanan bagi kalangan masyarakat Larangan Luar. Budaya nyikep tidak hanya melulu tentang kekerasan, karena itu merupakan warisan dari para leluhur yang mengajarkan

tentang pentingnya menjaga harga diri ataupun menjaga mara bahaya yang

kemungkinan besar tidak dasari oleh seseorang, maka dengan membawa sikep akan bisa setidaknya menjaga diri sendiri.

Sebagaimana diungkapkan oleh Berger dan Luckman, bahwa terdapat

momen eksternalisasi, objektivasi, dan inetrnalisasi. Alam sebagai subjek

memberikan gambaran bahwa alam adalah sebuah internal, yaitu proses

(43)

34

sebagai sesama subjek. Alam menjadi dunia subjek bagi manusia. Tetapi disisi

lain, muncul pandangan bahwa alam dunia objek yang terpisah dari manusia.

Oleh karena itu, terdapat penempatan manusia sebagai subjek dan alam sebagai

objek. Bertolak dari keduanya lalu muncul pandangan bahwa alam adalah dunia

subjek-objek atau yang dikenal sebagai momen eksternalisasi.1 Proses momen

yang jelasakan Berger dan Luckman dikenal dengan dialektika atau konstruksi

sosial.

Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika dalam pengertian bahwa

masyarakat adalah suatu prosuk manusia, lain tidak, yang akan memberi

tindak-balik pada produsennya. Masyarkat adalah suatu produk manusia. Masyakat tidak

mempunyai bentu lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh

aktivitas dan kesadaran manusia, sehingga dipastikan bahwa manusia adalah

suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode dalam

masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut seterusnya.

Masyarkat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih ada sesudah individu

mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai dari hasil proses sosial,

iindividu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu

identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari

hidupnya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat.

1

(44)

35

Kedua pernyataan itu, bahwa manusia adalah produk masyarakat dan

masyarakat produk manusia tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya

menggambarkan sifat dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Hanya jika

difat ini diterima, maka masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka

yang memadai realitas empirisnya.

Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum,

atau langkah yaitu ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pemahaman secara

seksama terhadap tiga momentum ini akan diperoleh suatu pandangan atas

masyarakat yang memadai secara empiris.2

Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui

respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi

sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang

proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial,

individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di

dalam dunia sosialnya.3

Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia

sosialnya, bahwa individu menjadi panglima dalam dunia sosialnya yang

dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah manusia korban fakta

sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan

mengkontruksi dunia sosialnya. Akhirnya, dalam pandangan paradigma definisi

2

Peter L. Berger,Kabar Angin Dari Langit(Jakarta: PT Pustaka LP3ES,1992), 3-4.

3

(45)

36

sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuasaan konstruk

sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.

Dunia sosial itu dimaksud sebagai mana yang disebut oleh George Simmel

bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan

kita bahwa realitas itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hokum yang menguasainya. Realitas sosial itu ada dilihat dari subyektivitas ada itu sendiri dari dan dunia

objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai

kedirian-nya, namun juga dilihat dari mana ‘kedirian’ itu berada, bagaimana ia

menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan

menerimanya.

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu

memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara

subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif.

Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan mengkonstruksinya dalam dunia

realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam

institusi sosialnya4.

4

(46)

37

B. Gagasan Berger dan Luckman tentang Eksternalisasi, Objektivasi, dan

Internalisasi

Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika dalam pengertian bahwa

masyarakat adalah suatu prosuk manusia, lain tidak, yang akan memberi

tindak-balik pada produsennya. Masyarkat adalah suatu produk manusia. Masyakat tidak

mempunyai bentu lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh

aktivitas dan kesadaran manusia, sehingga dipastikan bahwa manusia adalah

suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode dalam

masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut seterusnya.5

Masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan manusia, hanya manusia saja

yang hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan

saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya

manusiapun tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Seseorang manusia yang

tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan

bakat-bakat manusianya yaitu mencapai kebudayaian, dengan kata lain di mana orang

hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.6

Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih ada sesudah

individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai dari hasil

5

Berger,Kabar Angin, 3.

6

(47)

38

proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang

pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian

dari hidupnya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat. Kedua

pernyataan itu, bahwa manusia adalah produk masyarakat dan masyarakat produk

manusia tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya menggambarkan sifat

dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Hanya jika sifat ini diterima, maka

masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka yang memadai realitas

empirisnya.

Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum,

atau langkah yaitu ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pemahaman secara

seksama terhadap tiga momentum ini akan diperoleh suatu pandangan atas

masyarakat yang memadai secara empiris.7

1. Ekternalisasi

Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia

merupakan merupkan momen adaptasi diri dengan sosio-kultural. Dalam

momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia

menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia

kulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia

sosio-kulturalnya. Pada momen ini, terkadang dijumpai orang yang mampu

7

(48)

39

beradaptasi dan juga ada juga yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan

penolakan tergantung dari mampu atau tidaknya individu untuk menyesuaikan

dengan dunia sosio-kultural tersebut.8

Eksternalisasi merupakan suatu pencurahan kedirian manusia secara

terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya

dan juga merupakan suatu keharusan antropologis. Manusia menurut

pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan

dirinya terus-menerus ke dalam dunia yang di tempatinya. Kedirian manusia

bagaimanapun tidak bisa dibayangkan tetap tinggal diam di dalam lingkup

dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar

untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Kedirian manusia itu

esensinya melakukan eksternalisasi dan ini sudah sejak permulaan. Fakta

antropologis yang mendasar ini sangat mungkin berakar dalam lembaga

biologis manusia. Homo sapiens menemposisi yang istimewa dalam dunia binatang. Keistimewaan ini tetap ada dalam hubungan manusia dengan

dirinya sendiri maupun dengan dunia. Tidak seperti binatang tingkat tinggi

lainnya, yang dilahirkan dengan sesuatu organisme yang pada kelompoknya

sudah lengkap, manusia itu belum selesai setelah dilahirkan. Langkah-langkah

penting dalamg proses finishing dalam proses perkembangan manusia, yang sudah terjadi dalam periode emberio bagi binatang menyusui tingkat tinggi

8

(49)

40

lainnya, dalam hal manusia terjadi dalam tahun pertama setelah kelahirannya.

Demikianlah, proses biologis menjadi manusia terjadi ketika bayi manusia

berada dalam interaksi dengan suatu lingkungan ekstra-organismik, yang

merupakan dunia fisis dan dunia manusia dari si bayi itu. Maka terdapat suatu

dasar biologis bagi proses menjadi manusia dalam arti perkembangan

kepribadian dan perolehan budaya, perkembangan-perkembangan yang

terakhir ini tidak ditumpuk sebagai mutasi-mutasi yang asing dalam

perkembangan biologis manusia, tetapi berakar di dalamnya.9

Pemahaman atas masyarakat sebagaimana masyarakat yang berakar

dalam eksternalisasi manusia, yaitu sebagai produk aktifitas manusia sangat

penting mengingat kenyataan, bahwa masyarakat tampak dalam pengertian

sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda, lepas dari berbagai aktivitas

manusia dan termasuk sebagai bagian dari alam yang terpampang. Mengenai

proses objektivasi yang memungkinkan kenampakan akan dibahas kemudian.

Cukuplah dikatakan, bahwa salah satu keuntungan penting dalam perspektif

sosiologis adalah penyederhaan keutuhan-keutuhan hipotesis, yang

membentuk gambaran masyarakat dalam pikiran manusia awam, menjadi

aktivitas manusia yang menghasilkan keutuhan-keutuhan itu dan yang tanpa

status dalam realitas. Bahkan untuk membentuk masyarakat dan semua

9

Peter L. Berger diterjemahkan Hartono,Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial

(50)

41

formasinya itu adalah makna-makna manusiawi yang diexternalisasi dalam

aktivitas manusia.

Masyarakat adalah produk dari manusia, berakar dalam fenomena

eksternalisasi, yang pada gilirannya didasarkan pada kondisi kontruksi

biologis manusia. Namun, ketika kita ingin berbicara produk-produk

eksternal, kita seakan-seakan mengisyaratkan bahwa prosuk-produk itu

memperoleh suatu tingkat kebedaan jika dibandingkan dengan produser

produk-produk itu. Tranformasi produk-produk manusia ini ke dalam suatu

dunia tidak saja berasal dari manusia, tetapi yang kemudian menghadapi

manusia sebagai suatu faksifitas di luar dirinya, adalah diletakkan dalam

konsep objektivasi, dunia yang diproduksi manusia ini kemudian menjadi

sesuatu yang berbeda diluar sana. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik

material maupun non-material, yang mampu menentang kehendak

produsennya. Sekali sudah tercipta, maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu

saja. Meskipun semua kebudayaan berasalah dari, dan berakar dalam,

kesadaran subyektif makhluk manusia, sekali sudah terbentuk kebudayaan itu

tidak bisa diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan itu

berada di dalam subyektivitas individual sebagaimana juga dunia. Dengan

kata lain dunia yang diproduksi manusia memperleh sifat realitas objek.10

2. Obyektivasi

10

(51)

42

Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia subjektif

yang dilembagakan atau mengalami proses institusional. Realitas sosial

seakan-akan berada di luar diri mnusia. Ia menjadi realitas objektif. Karena

objektif, sepertinya ada dua realitas, yaitu realita diri yang subjektif dan realita

lainnya yang berada di luar diri yang objektif. Dua realitas itu membentuk

jaringan interaksi intersubjektif melalui proses pelembagaan institusional.

Pelembagaan atau institusional, yaitu proses untuk membangun kesadaran

menjadi tindakan. Tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap

tindakan, karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari system kognitif

dan system evaluatifnya. Peta kesadarannya telah menerima dan system

evaluasi yang berasal dari system nilai juga telah menjadi bagian di dalam

seluruh mechanism kehidupannya. Dengan demikian, ketika suatu tindakan

telah menjadi suatu yang habitual, maka telah menjadi tindakan yang

mekanis, yang mesti dilakukan begitu saja.11

Manusia menciptakan sebuah alat, berarti bahwa dia memperkaya

totalitas obyek-obyek fisis yang ada di dunia, begitu dicipta, alat itu

mempunyai keberadaan sendiri yang tidak bisabegituu saja diubah oleh

mereka yang memakainya. Bahkan alat itu(katakanlah alat petanian) mungkin

saja memaksakan logika keberadaanya kepada para pemakainya, terkadang

dengan cara yang mungkin tidak mengenakkan bagi mereka. Misalnya,

11

(52)

43

sebuah bajak, meskipun jelas adalah produksi manusia, adalah suatu benda

eksternal bukan saja dalam pengertian bahwa pemakainya mungkin

tersandung bajak itu dan terluka, seperti juga manusia bisa jatuh akibat

tersandung batu atau tunggul pohon atau benda-benda alami lainnya. Lebih

menarik lagi, bajak itu mungkin memaksakan pemakai untuk mengatur

aktivtas pertanian mereka dan barangkali juga aspek-aspek kehidupan mereka

yang lain, sedemikian sehingga bersesuaian dengan logika bajak itu dan ini

mungkin tidak diduga oleh mereka yang semula menemukan peralatan itu.

Namun obyektivitas yang sama juga mencirikan unsur-unsur non-material

dari kebudayaan. Manusia menemukan bahasa dan kemudian mendapati

bahwa pembicaraan maupun pemikirannya didominasi oleh tatabahasa

tersebut. Manusia mencitakan nilai-nilai dan akan merasa bersalah apabila

melanggar nilai-nilai itu. Manusia membentuk lembaga-lembaga yang

kemudian berhadapan dengan dirinya sebagai konstelasi-konstelasi dunia

eksternal yang kuat mengendalikan bahkan mengancamnya.12

Yang perlu diingat adalah tidak ada kontruksi manusia yang dapat

secara akurat disebut sebagai fenomena sosial jika kontruksi tersebut sudah

mencapai tingkat obyektivitas yang memaksa individu mengakui sebagai

nyata. Dengan kata lain, sifat pemaksa utama dari masyarakat itu tidak

terletak peralatan-peralatan kontrol sosialnya, tetapi pada kekuasaanya untuk

12

(53)

44

membentuk dan menerapkan dirinya sebagai realitas. Dalam hal ini contoh

paradigmanya adalah bahasa. Bagaiamapun terkucilnya bahasa dari pemikiran

sosiologis, hampir tidak ada yang memungkiri bahwa bahasa adalah produk

manusia. Sesuatu bahasa adalah sejarah yang panjang mengenai kecerdikan,

imajinas bahkan kedengkian manusia.

Obyektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya.

Lembaga-lembaga, peran-peran, dan identitas-identitas itu eksis sebagai

fenomena nyata secara obyektif dalam dunia sosial, meskipun semua itu tidak

lain adalah produk-produk manusia. Misalnya, keluarga adalah pelembagaan

seksualitas manusia dalam suatu masyarakat tertentu dialami dan dimengerti

sebagai realitas oyektif. Lembaga itu ada disana, eksternal dan memaksa,

menerapkan pola-pola yang telah ditetapkan sebelumnya pada individu dalam

bidang kehidupannya ini. Obyektivitas yang sama juga terdapat pada

peran-peran yang diharapkan dimainkan oleh individu dalam konteks

kelembagaanyang bersangkutan,sekalipun ternyata ia ternyata tidak menyukai

apa yang dilakukannya. Peran-peran dari misalnya, suami, ayah atau paman

secara obyektif didefenisikan dan bisa sebagai model untuk perilaku untuk

perilaku individual. Dengan memainkan peran-peran ini, individu kemudian

mewakili obyektivitas-obyektivitas kelembagaan dengan cara yang bisa

(54)

45

3. Internalisasi

Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi dari di dalam

dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas

sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas

sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia

akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Secara kodrati, manusia

memiliki kecenderungan untuk mengelompokkan. Artinya, manusia akan

selalu berada di dalam kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas rasa

seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam

identitas yang sama13.

Internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan

dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu

menjadi anggotanya. Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi

pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang

lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari

kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil penciptaan

makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan

dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia dimana sudah ada

orang lain. Dalam proses “mengambil alih” dunia itu, individu dapat

memodivikasi dunia tersebut, bahkan dapat meciptakan kembali dunia secara

13

(55)

46

kreatif. Dalam kontreks ini Berger dan Luckman mengatakan, bagaimanapun

juga dalam bentuk internalisai yang kompleks, individu tidak hanya

“memahami” proses-proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat.

Individu “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia

individu bagi dirinya. Ini menandai individu dan orang lain mengalami

kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekedar sepintas lalu,

dan juga suatu prespektif komperhensif yang mempertautkan urutan situasi

secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya

memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya

bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-kenyataan itu secara

timbal balik14.

Internalisasi mengisyaratkan bahwa fasilitas obyektif dunia sosial itu

juga menjadi fasilitas subyektif. Individu mendapatkan lembaga-lembaga

sebagai dunia subyektif diluar dirinya, tetapi sekarangjuga menjadi data

kesadarannya sendiri. Program-program kelembagaan-kelembagaan yang

dibuat masyarakat secara subyektif adalah nyata seperti sikap-sikap,

motif-motif dan proyek kehidupan. Realitias lembaga-lembaga itu diperoleh oleh

individu seiring dengan peran dan identitasnya. Misalnya, individu menerima,

sebagai realitas, aturan-aturan kekerabatan khusus dalam masyarakatnya.

Dengan itu dia menyandang peran yang telah ditetapkan baginya dalam

14

(56)

47

konteks ini dan memahami identitasnya sendiri dalam kerangka peran-peran

ini. Demikianlah, maka dia tidak hanya memainkan peran paman, tetapi dia

adalah betul-betul adalah seorang paman. Juga, apabila sosialisasi cukup

berhasil, dia tidak menghendaki peran paman tersebut. Sikap-sikapnya

terhadap orang lain dan motif-motifnya untuk tindakan-tindakan tertentu

secara endemis bersifat kepamanan.

Proses internalisasi harus selalu dipahami sebagai salah satu mumentum

dari proses dialektik yang lebih besar yang juga termasuk

momentum-momentum eksternalisasi. Jika ini tidak dilakukan, maka akan muncul suatu

gambaran determenisme mekanistik, yang mana individu dihasilkan oleh

masyarakat sebagai sebabyang menghasikkan akibat dalam alam. Gambaran

seperti itu mendistorsikan fenomena kemasyarakatan. Bukan saja internalisasi

bagian dari dialektik fenomena sosialyang lebih besar, tetapi sosialisasi

individu juga terjadi dengan cara dialektik. Individu tidak dicipta sebagai

suatu benda yang pasif dan diam. Sebaliknya, dia dibentuk selama dialog

yang lama yang di dalamnya dia sebagai peserta.

Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan bagaimana meneruskan

peranan sosial yang dibangun kepada generasi berikutnya. Proses ini disebut

sosialisasi. Dalam proses sosialisasi itu makna dari pranata sosial harus

dijelaskan sedemikian rupa, sehingga dapat diterima oleh individu

Gambar

Tabel. 1.1
table atau bagan yang mendukung data.
  Table 3.1Jumlah Penduduk  Desa Larangan Luar
tabel guna memudahkan yang akan dijelaskan dibawah ini;
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi yang ada pada lingkungan masyarakat sudah menjadi bagian dari kebudayaan yang ada pada masyarakat, masyarakat dan tradisi sangat sulit untuk dipisahkan atau

Nilai paedagogis yang hendak ditanamkan yaitu nilai historis/sejarah untuk hanguri-uri (melestarikan adat tradisi turun temurun dari nenek moyang) agar tidak

Di dalam Ensiklopedia (1999 : 21) tradisi disebut sebagai suatu kebiasaan yang telah dilakukan berulang kali dari generasi ke generasi. Dalam arti sempit tradisi ialah

1) Tradisi batik yang ada di desa Karangturi sudah terjadi sejak lama secara turun temurun. Batik Lasem dulunya hanya memiliki warna coklat atau sogan, dan hanya bisa

Lambu Kabupaten Bima, akan selalu di lestarikan, kapanca tersebut merupakan warisan budaya lokal yang secara turun- temurun dan kemudian diwariskan kepada generasi

Tradisi tiban dalam perspektif dakwah adalah tradisi yang sudah turun – temurun hadir dalam kehidupan masyarkat desa Bauh Gunung Sari, dalam tradisi ini berhubungan

Kebiasaan yang ada di masyarakat Desa Tuko Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan merupakan kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dilakukan turun

Informan yang tidak memiliki kemampuan menghitung weton, dan memiliki pengalaman baik, mengkontruksi weton sebagai tradisi yang dilakukan secara turun temurun