• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELIGIUSITAS, REGULASI DIRI, DAN KAITANYA DENGAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RELIGIUSITAS, REGULASI DIRI, DAN KAITANYA DENGAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

vii Oleh: Rinda Kurnia Azizah

ABSTRAK

Religiusitas dalam wacana etis yang lebih akrab dalam diskusi ilmiah dipandang sebagai faktor penting dalam penataan tata kehidupan manusia. Jika seseorang religius, maka personalitanya menggambarkan bangunan integral atau struktur. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat perilaku agama (religiusitas) seseorang akan membentuk keteraturan diri (regulasi diri) yang dimilikinya. Demikian pula yang terjadi pada seorang siswa, dengan perannya siswa memiliki tuntutan dan kewajiban yang harus mereka penuhi berupa: belajar, sekolah, mencapai cita-cita, prestasi dan sebagainya. Jika seorang siswa memiliki tingkat regulasi diri yang tinggi, ia akan dengan mudah mencapai tujuannya tersebut. Dapat dirumuskan sebuah model struktural yang menggambarkan keterkaitan ketiga variabel berikut : religiusitas memiliki keterkaitan dengan kemampuan regulasi diri siswa yang berpengaruh pada prestasinya dalam belajar matematika. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sebuah struktur model teoritis yang dapat menjelaskan keterkaitan antara tingkat religiusitas, regulasi diri dan prestasi belajar matematika sesuai data empiris, serta menguji secara empiris pengaruh langsung ataupun tidak langsung tingkat religiusitas, regulasi diri terhadap prestasi belajar matematika.

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan survei, dengan jenis penelitian lapangan dan kepustakaan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMAN 2 Probolinggo yang terdiri dari 3 kelas dan pengambilan sampelnya menggunakan simple random sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggukan angket dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis datanya menggunakan Structural Equation Model (SEM) melalui program Lisrel versi 9.2 for Student untuk menganalisis hubungan religiusitas, regulasi diri dan prestasi belajar matematika.

Struktur model teoroitis yang dibangun menggambarkan adanya hubungan antara religiusitas dan regulasi diri yang kemudian berpengaruh terhadap prestasi belajar matematikanya. Tingkat religiusitas diukur dengan tingkah laku, aplikasi peribadatan, perasaan keagamaan atau pengalaman, keterikatan, dan consequential effects. Sedangkan regulasi diri diukur dengan pengaturan diri secara standar, proses pemantauan diri, pengaturan diri terhadap kekuatan, dan pengaturan diri terhadap motivasi. Dan prestasi belajar matematika siswa diukur dari hasil nilai kognisi dan afektifnya. Hasil analisis pemodelan SEM menunjukkan model yang diajukan cocok dan konsisten terhadap data empirik. Hal ini dapat dilihat dari goodness of fit statistics (GOF) telah terpenuhi secara keseluruhan kecuali pada uji RMR karena> 0,05. Adapun hasil penelitian menunjukkan religiusitas dan regulasi diri memiliki hubungan secara langsung dan berpengaruh secara langsung pula terhadap prestasi belajar matematika. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perolehan nilai t-value 25,52 dan koefisien 1,40 untuk religiusitas dan regulasi diri. Kemudian pengaruh religiusitas dan regulasi diri terhadap prestasi belajar matematika masing-masing t-value nya 16,70 dan 13,10 sedangkan koefisiennya 0,55 dan 0,47.

(6)

ix

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Definisi Operasional ... 5

F. Sistematika Pembahasan ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Religiusitas ... 7

B. Regulasi Diri ... 13

C. Prestasi Belajar Matematika ... 19

D. Religiusitas, Regulasi Diri, dan Kaitannya dengan Pres- tasi Belajar Matematika ... 23

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 29

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

D. Variable Penelitian ... 30

E. Hipotesis ... 33

F. Sumber dan Janis Data ... 33

G. Teknik Pngumpulan Data ... 34

(7)

x

B. Confirmatory Factors Analisys (CFA) ... 43

C. Second Order CFA (Uji Kecocokan Keseluruhan Model) 50

D. Uji Kecocokan Model Struktural ... 53

E. Pembahasan Kecocokan Model Struktural ... 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64

(8)

xi

Gambar 3.1 Langkah-langkah Analisis dengan SEM ... 39

Gambar 4.1 Model Struktural Hubungan Religiusitas, Regulasi Diri dan Prestasi Belajar Matematika ... 42 Gambar 4.2 CFA I Religiusitas: Basic Model Standardized

Solution ... 44

Gambar 4.3 CFA I Religiusitas: Basic Model t-Value ... 45

Gambar 4.4 CFA I RegulasiDiri: Basic Model Standardized

Solution ... 47

Gambar 4.5 CFA I RegulasiDiri: Basic Model t-Value ... 47

Gambar 4.6 CFA I Religiusitas, Regulasi Diri dan Prestasi Bela

jar Matematika: Basic Model Standardized Solution 48

Gambar 4.7 CFA I Religiusitas, Regulasi Diri dan Prestasi

Belajar Matematika: Basic Model t-Value... 49

(9)

xii

Tabel 2.2 Perbedaan antara Siswa dengan Tujuan Penguasaan dan Siswa dengan Tujuan Performa ... 23 Tabel 3.1 Variabel Penelitian ... 32

Tabel 4.1 Uji Kecocokan Keseluruhan Model (Goodness of Fit) 52

(10)

xiii

Lampiran I (KISI-KISI DAN INSTRUMEN PENELITIAN)

Lampiran II (VALIDASI KONSTRUK INSTRUMEN PENELITIAN)

Lampiran III (REKAPITULASI JAWABAN RESPONDEN)

Lampiran IV (LISREL OUTPUT VERSI 9.2 FOR STUDENT)

Lampiran V (SURAT IZIN PENELITIAN)

Lampiran VI (SURAT BALASAN PENELITIAN)

Lampiran VII (PERNYATAAN KEASLIAN PENULIS)

(11)

1 A. Latar Belakang

Perilaku religiusitas adalah perilaku yang berdasarkan keyakinan suara hati dan keterikatan kepada Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk kuantitas dan kualitas peribadatan serta norma yang mengatur hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusiadan hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi dalam manusia.1 Aktifitas religiusitas bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual atau beribadah, tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir. Bukan hanya berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak yang terjadi dalam hati seseorang. Religiusitas seseorang akan meliputi berbagai macam sisi dan dimensi.

Dalam pandangan Jalaluddin Rakhmat, religiusitas

merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah dengan menghindari dari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah robot yang

bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.2

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa tingkat religiusitas seseorang tidak hanya terletak pada spiritualitas individu, tetapi lebih menyerupai aktifitas beragama yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara konsisten.

Menurut Zubaedi, agama dalam konteks ini, ditempatkan sebagai satu-satunya referensi bagi para pemeluknya dalam mengarahkan sikap dan menentukan orientasi pilihan tindakan. Artinya, secara ideal agama dijadikan semacam acuan bagi jati diri bagi setiap manusia untuk menjadi insan kamil.

Manusia ideal atau insan kamil, jika ditinjau dari sisi

psikologi, sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak Ilahi sebagai

1Rahman. 2009. Perilaku Religiusitas dalam Kaitannya Dengan Kecerdasan Emosi

Remaja. Jurnal Al-Qalamvol 15.no 23.

2

(12)

prototipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk

mengubah situasi hidupnya ke arah hidup yang bermakna.3

Umat Islam mempunyai visi tersendiri untuk mencapai tujuannya menjadi insan kamil. Beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim seperti: shalat, berpuasa, zakat, haji dan peribadatan lainnya, menjadikannya harus lebih mampu dalam mengatur segala aktifitas dalam kehidupan sehari-harinya. Seorang muslim yang taat, tentu lebih terbiasa dengan padatnya aktifitas sehari-hari jika dibandingkan dengan muslim yang tidak melaksanakan kewajibannya secara teratur.

Perbedaan-perbedaan yang ada pada diri manusia untuk menjadi insan kamil, dengan sendirinya manusia memiliki cara-cara tersendiri dalam mengelola atau memfasilitasi berbagai aktifitas yang mengarah pada eksistensi hidupnya. Hal ini

dibutuhkan adanya kemampuan dalam meregulasi diri.

Kemampuan semacam ini lebih dikenal dengan self regulation.

Sedangkan dalam dunia pendidikan, kemampuan ini lebih dikenal

dengan Self Regulation Learning (SRL).4

Menurut Bandura, siswa yang memiliki regulasi diri adalah siswa yang aktif dalam mengoptimalkan fungsi personal, fungsi

perilaku dan lingkungannya.5 Fungsi personal berarti siswa

merencanakan, mengolah, dan mengevaluasi berbagai informasi yang dipelajari dalam proses belajarnya dan menentukan konsekuensi akan keberhasilan dan kegagalannya. Sedangkan fungsi lingkungan dapat dipahami ketika siswa mampu menyeleksi, mengatur, bahkan membuat lingkungan fisik dan sosialnya dapat mendukung proses belajar.

Pembelajaran yang diatur sendiri (self regulation learning) merupakan pengaturan terhadap proses-proses kognitif sendiri agar

belajar secara sukses.6 Sebuah kemampuan yang

mengkombinasikan keterampilan belajar akademik dan

pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa lebih mudah,

3Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna. (Jakarta: Paramadina, 1996) hal.

67

4 Jeanne Ellis Ormorod, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang.

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hal. 30.

5 Zimmerman danMortinez Pons, Construck validation Of Strategy Model Of Student Self

Regulated Learning, (Journal Of Education Psychology, 1988), Hal. 284.

6

(13)

sehingga para siswa lebih termotivasi.7 Mereka memiliki skill

(keterampilan) dan will (kemauan) untuk belajar.8

Siswa yang belajar dengan regulasi diri mampu mentrans-formasikan kemampuan mentalnya menjadi keterampilan dan

strategi akademik.9 Seseorang yang memiliki kemampuan

pengaturan diri yang tinggi akan lebih mudah dalam menjalani proses pembelajarannya. Hal ini dikarenakan ia telah menentukan tujuan atau cita-cita yang harus dicapainya.

Seseorang yang telah menentukan cita-citanya, maka seluruh perhatian, minat, dan aktifitasnya akan dicurahkan pada cita-citanya itu. Ia seakan-akan tidak akan berpaling lagi dari garis yang telah menumpu kedua kakinya itu. Ia akan selalu aktif berusaha meningkatkan diri dengan segala kemampuannya. Disinilah

kemenangan bagi seseorang yang belajar dengan cita-cita.10

Menurut Duckworth & Seligman, siswa yang paling rajin dan paling berprestasi di kelas biasanya adalah siswa yang dapat mengatur sendiri (self-regulate) perilaku mereka secara efektif. Tetapi perkembangan perilaku yang diatur sendiri tidak bisa terjadi secara alamiah, melainkan perlu diarahkan dan dirancang secara sengaja dalam proses belajar-mengajar di kelas.11 Hal ini akan memberikan keterbiasaan pada siswa, sehingga dengan tanpa disadari kemampuan regulasi dirinya akan meningkat.

Dalam Islam dijelaskan bahwa,

7 Glynn, S.M., Aultman, L.P., & Owens, A.M. 2005. Motivation to Learn in general

education programs. The Journals of General of Education.54 (2), 150‐170.

8McCombs, B.L., &Marzano, R. J. 1990.Putting the self in self regulated learning: The

self as agent in integrating skill and will.Educational Psychologist, 25, 51‐70.

9 Zimmerman, B.J. 2002. Becoming a self regulated learner: An overview. Theory into

Practice, 41, 64‐70.

(14)

Artinya:

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang

(sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Islam juga mengatur segala yang terjadi di alam semesta, termasuk kehidupan manusia. Sebagai seorang hamba yang taat, manusia harus menaati segala perintah Tuhannya. Religiusitas itu sangat berpengaruh terhadap

kehidupan sehari-hari manusia.12 Seseorang yang memiliki tingkat

religiusitas yang tinggi, ia akan terbiasa dengan segala aturan dan kewajiban yang harus ia lakukan sesuai dengan ajaran dalam Islam, sehingga tanpa disadari hidupnya akan berjalan secara teratur.

Keterbiasaan tersebut tentu akan mempengaruhi sikap dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, dapat diindikasikan kebiasaan siswa dalam kesehariaanya akan terpengaruhi, mulai dari cara bergaulnya, pola belajarnya dan kegigihannya dalam mencapai cita-cita. Semakin tinggi religiusitas seorang siswa maka akan semakin tinggi pula tingkat regulasi dirinya. Demikian pula sebaliknya. Hal ini juga berlaku untuk siswa dalam mempelajari matematika.

Berpijak dari kerangka pembahasan yang telah dijabarkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara psikologis antara tingkat religiusitas dengan regulasi diri pada setiap individu yang berpengaruh pada prestasi belajarnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diangkat judul “Religiusitas, Regulasi Diri, dan Kaitannya dengan Prestasi Belajar

Matematika”

12 Liza Mega Fitriya Sari, Tingkat ReligiusitasDenganKecemasanMenghadapi

(15)

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latarbelakang di atas, penulis dapat merumus kanpertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur model teoritis hubungan religiusitas,

regulasi diri dan prestasi belajar matematika?

2. Apakah model teoritis pada rumusan masalah pertama

didukung oleh data empiris?

3. Apakah ada pengaruh langsung ataupun tidak langsung

religiusitas dan regulasi diri siswa terhadap prestasi belajar matematika?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menemukan sebuah struktur model teoritis yang dapat

menjelaskan keterkaitan antara tingkat religiusitas, regulasi diri dan prestasi belajar matematika sesuai data empiris.

2. Menguji secara empiris pengaruh langsung ataupun tidak

langsung religiusitas, regulasi diri terhadap prestasi belajar matematika.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat, antara lain:

1. Model teoritis yang menjelaskan hubungan antara tingkat

religiusitas, regulasi diri dan prestasi belajar matematika dapat

memperkaya wacana dalam psikologi pembelajaran

matematika.

2. Memberikan informasi kepada pembaca bahwa religiusitas dan

regulasi diri merupakan salah satu komponen yang penting untuk meningkatkan prestasi belajar matematika.

3. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh guru

matematika maupun pengambil kebijakan terkait untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.

E. Definisi Operasional

(16)

2. Religiusitas merupakan aktifitas keagamaan yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara konsisten.

3. Regulasi diri merupakan pengaturan terhadap proses-proses

kognitif siswa agar proses belajarnya secara sukses, dengan cara merancang tujuan, memilih strategi dan memantau setiap proses yang dijalani.

4. Prestasi belajar matematika merupakan penilaian terhadap hasil

belajar siswa bertujuan untuk mengetahui sejauh mana mereka telah mencapai sasaran belajar pada aspek kognitif dan afektif.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai isi skripsi ini, maka penulis membagi pembahasan tersebut kedalam lima bab yang terdiri dari sub-sub pembahasan tersendiri. Meskipun antara bab yang satu dengan bab yang lain masing-masing memiliki sisi pembahasan yang berbeda, tapi secara keseluruhan pembahasan di dalamnya masih mempunyai keterkaitan yang saling mendukung. Adapun kelima bab tersebut tersusun dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB 1: Pendahuluan memuat latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional dan sistematika pembahasan.

BAB 2: Kajian pustaka memuat kajian tentang makna

religiusitas, regulasi diri, prestasi belajar matematika, dan hubungan ketiganya.

BAB 3: Metode penelitian memuat jenis penelitian, populasi dan

sampel penelitian, variabel penelitian, hipotesis, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB 4: Analisis data dan pembahasan memuat model teoritis,

confirmatory factor analisys (CFA), second order CFA, uji kecocokan model struktural, dan pembahasan kecocokan model struktural

BAB 5: Penutup merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan

(17)

7 A. Religiusitas

Menurut Pargament,13 agama (religi) merupakan “Suatu

pencarian makna terkait dengan kesucian”. Definisi ini memiliki

dua aspek penting: pencarian akan makna (asearch for

significance) dan kesucian (sacret). Pencarian merujuk kepada

proses penemuan kesucian, menjaga kesucian bila telah ditemukan, dan mentransformasi kesucian ketika tekanan internal atau eksternal perlu untuk berubah. Pencarian juga dapat dipahami sebagai cara orang menggapai tujuan mereka. Tujuan yang akan

dicapai juga bermacam-macam. Termasuk di dalamnya:

pencapaian akhir seseorang (seperti memaknai hidup dan pengembangan diri), kehidupan sosial (seperti bergaul dengan orang lain dalam tatanan kehidupan di dunia), serta kesucian (seperti kedekatan dengan Tuhannya).

Sementara itu, kesucian menurut kamus Oxford merujuk kepada hal-hal yang dianggap keramat, yakni zat yang patut

disembah.14 Pargament & Mahoney mendefinisikan kesucian

sebagai sesuatu yang bersifat Illahiyah atau berbagai aspek

kehidupan yang memiliki karakter ketuhanan, seperti kebajikan

yang diasoasikan dengan hal-hal yang bersifat keilahiahan.15

Berdasarkan definisi ini, maka berbagai aspek kehidupan dapat bertindak sebagai karakter yang istimewa melalui representasi ketuhanan. Apa yang membuat agama berbeda adalah pelibatan kesucian dalam pencarian akan makna hidup seseorang.

Salah satu ciri penting definisi agama menurut Pargament adalah agama memiliki sifat multi dimensi. Para ahli umumnya

13Pandangan ini terkait dengan aspek psikologi dan hal tersebut di luar sifat kesucian yang

memiliki sedikit dilakukan terkait dengan isu-isu kemanusian.Jalan beragama dapat diwujudkan dengan berbagai dimensi yang melibatkan kesucian, seperti ideologi, kode etik, pergaulan sosial dan pengalaman emosi. Lihat Pargament, K.I. (1997). The psychology of religion and coping.New York: The Guilford.

14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), kesucian diartikan sebagai kebersihan

hati, hal. 1538

15Pargament, K.I. & Mahoney, A. (2002). Spiritually: Discovering and conserving the

(18)

sepakat, agama dipandang sebagai suatu fenomena multi dimensi, walupun mereka tidak sepakat pada isi dari setiap dimensi tersebut. Ahli psikologi Gordon Allport membedakan dua orientasi agama, yakni orientasi ekstrinsik dan intrinsik.16 Kedua orientasi tersebut, walaupun secara konsep dan psikometri sulit diukur namun telah diterima secara meluas. Menurut Allport dan Ross, orientasi ekstrinsik merupakan ciri dari orang yang cenderung menggunakan agama sebagai tujuan akhir mereka. Orang dengan orientasi ini menganggap agama bermanfaat dalam berbagai hal, karena agama memberikan ketenangan, memberi panduan cara bersosialisasi dan pencarian kebenaran. Dalam konteks teologi, orientasi jenis ini pada intinya kembali kepada Tuhan, dan tidak berpaling dari-Nya.

Sebaliknya, karakteristik dari orientasi intrinsik adalah orang menemukan maksud utama pada agama. Mereka sebisa mungkin membawa ajaran-ajaran agama yang diyakininya ke dalam perilaku kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seseorang yang memiliki orientasi ini berupaya untuk menginternalisasi agama yang diyakini dan mengikutinya secara total. Dalam hati dan pikiranya

selalu berpedoman pada agama.17

16

Sebelumnya, Glock dan Stark telah terlebih dahulu mengembangkan cara mengukur keberagamaan seseorang. Mereka mengidentifikasi 5 dimensi keberagamaan, yaitu: (1) pengalaman atau experiental (pengalaman pribadi dan pengalaman emosi keagamaan seperti ungkapan pribadi keagamaan); (2) ideologi (penerimaan terhadap sistem keyakinan); (3) ritual (berpartisipasi dalam kegiatan dan praktik keagamaan); (4) intelektual (pengetahuan tentang sistem keyakinan); dan (5) konsekuensi (akibat-akibat etis dari keempat dimensi sebelumnya dan petunjuk yang diperoleh darinya). Glock, C.Y. & Stark, R. (1996).Cristen beliefs and anti-semitism.New York: Harper & Row.

17Allport dan Ross mengukur orientasi agama secara ekstrinsik dan 8intrinsic melalui skala

(19)

Religi atau jiwa agama, pertama kali muncul di tengah-tengah kita sebagai pengalaman personal dan sebagai lembaga sosial. Pada tingkat personal, agama berkaitan dengan apa yang diimani secara pribadi. Bagaimana agama berfungsi dalam kehidupan anda, bagaimana pengaruh agama pada apa yang anda pikirkan, rasakan, atau lakukan. Sedangkan pada tingkat sosial, agama dapat kita lihat pada kegiatan kelompok-kelompok sosial keagamaan. Peneliti agama di sini melihat bagaimana agama berinteraksi dengan bagian-bagian masyarakat lainnya atau bagaimana dinamika kelompok terjadi dalam organisasi keagamaan. Setiap diri kita

adalah bagian dari anggota kelompok keagamaan.18 Dalam aspek

perilaku, agama identik dengan istilah religiusitas (keberagamaan) yang artinya seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan akidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.19

Dalam pandangan Jaluluddin Rahmat, religiusitas merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Mengindarkan dari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah robot yang bergerak secara

mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.20 Dari sinilah

kemudian kita dapat melihat bahwa tingkat religiusitas seseorang tidak hanya terletak pada spriritualitas individu, tetapi lebih menyerupai aktifitas beragama yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara konsisten.

1. Dimensi-dimensi dalam religiusitas

Dalam konteks Islam, agama (ad-Din) adalah ketetapan Illahi yang diwahyukan kepada nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Agama sendiri sesungguhnya merupakan sistem yang menyeluruh yang mencakup berbagai dimensi kehidupan. Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi

18 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama…… hal. 32-33.

19Nashori dan mucharam, 2002. Dalam Salamah Noorhidayati, Kreativitas Berbasis

Religiusitas. Jurnal Episteme 2 No. 1 Juni 2007 hal. 46-56

20

(20)

keberagamaan.21 Pertama, dimensi peribadatan atau praktik agama (the ritualistic dimension, religious practice); yaitu aspek yang mengatur sejauh mana seseorang yang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah, berdoa pribadi, berpuasa, dan lain-lain. Dimensi ritual ini merupakan perilaku keberagaman yang berupa peribadatan berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual merupakan sentimen secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan pasti. Perilaku seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah mahdaah yaitu meliputi shalat, puasa, haji dan kegiatan yang lain yang

bersifat ritual, merendahkan diri kepada Allah dan

mengagungkannya.

Kedua, dimensi keyakinan (the ideological dimension, religious belief); yang berfungsi untuk mengukur tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang bersifat dogmatis dalam agama. Misalnya; menerima keberadaan Tuhan, malaikat dan setan, surga dan neraka, dan lain-lain. Dalam konteks Islam, dimensi ideologis ini menyangkut kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agamanya, baik itu dalam ukuran skala secara fisik, psikis, sosial, budaya, maupun interaksinya terhadap dunia-dunia mistik yang berada di luar kesadaran manusia lainnya.

Ketiga, dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension, religious knowledge); yaitu tentang seberapa jauh seseorang mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh mana seseorang itu mau melakukan aktifitas untuk semakin menambah pemahamannya dalam keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Misalnya; mengikuti seminar keagamaan, membaca buku agama, dan lain-lain.

Keempat, dimensi pengamalan (the experiential

dimension, religious feeling); berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah mangalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhan. Misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan, dan lain-lain. Berdoa merupakan salah

21Dikutip oleh Utami Munandar dalam Salamah Noorhidayati, Kreativitas Berbasis

(21)

satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah yang pada akhirnya ketenangan, ketentraman jiwa dan keindahan hidup akan digapai oleh semua manusia.

Kelima, dimensi konsekuensi (the consequential

dimension, religious effect); dalam hal ini berkaitan dengan sejauh mana seseorang itu mau berkomitmen dengan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya; menolong orang lain, bersikap jujur, mau berbagi, tidak mencuri dan lain-lain. Aspek ini berbeda dengan aspek ritual. Aspek ritual lebih pada perilaku keagamaan yang bersifat penyembahan/adorasi sedangkan aspek komitmen lebih mengarah pada hubungan manusia tersebut dengan sesamanya.

Sedangkan Brown menyebutkan ada lima variabel yang berkaitan dengan asal usul agama itu sendri, yaitu:

a. Tingkah laku.

b. Renungan suci dan iman (belief).

c. Perasaan keagamaan atau pengalaman (experience).

d. Keterikatan (infolvement).

e. Consequential effects.

Religiusitas biasa digambarkan dengan adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan agama sebagai unsur efektif dan perilaku sebagai unsur psikomotorik.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas

Al-Farabi melukiskan manusia sebagai binatang rasional (al-hayawan al-nathiq) yang lebih unggul dibanding makhluk-makhluk lain. Manusia menikmati dominasinya atas spesies-spesies lain karena mempunyai intelegensi atau kecerdasan (nuthq) dan kemauan (iradah). Keduanya merupakan fungsi

dari daya kemampuan yang ada pada manusia.22

Dalam kitab Ara’Ahl al-Madinah al-Fadlilah, dijelaskan

bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya, yang menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi sikap religiusitas seseorang. Adapun kelima faktor tersebut, antara lain:

22Al-Farabi, “Al-Siyâsah al-Madaniyah”, dalam Yuhana Qumaer (Ed), Falâsifah

(22)

a. Kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (al-quwwat al-ghadziyah), sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa.

b. Daya mengindera (al-quwwah al-hassah), yang

memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta obyek-obyek penglihatan lain.

c. Daya imajinasi (al-quwwahal mutakhayyilah) yang

memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski obyek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.

d. Daya berpikir (al-quwwat al-nathiqah), yang

memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni.

e. Daya rasa (al-quwwah al-tarwi'iyyah), yang membuat

manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.23

Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh melalui tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) dan daya pikir (al-quwwah al-nathiqah), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan. Menurut Osman Bakar, pembagian tiga macam indera tersebut sesuai denganstruktur tritunggal dunia

ragawi, jiwa dan ruhani, dalam alam kosmos.24

Berdasarkan pada konsep psikologi al-Farabi, maka dapat disimpulkan bahwa manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetative) dan binatang (animal). Ia juga dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek (al-aql al-kulli), sehingga dengan

23Al-Farabi, Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madînah al-Fadlilah (The Ferfect State), ed. Richard

Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 164-70

24

(23)

sendirinya manusia pun memiliki kesanggupan untuk lepas dari belitan dunia materi. Untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis yang bersifat non-material. Bahkan intelek ini diyakini banyak orang, akan mampu mengantarkan manusia

“bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah letak keutamaan nilai

seorang manusia dibanding makhluk lain di sekitar mereka.25

B. Regulasi Diri

Integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri siswa akan meningkatkan nilai religinya. Dengan ini dapat dilihat bahwa tingkat religiusitas siswa tidak hanya terletak pada spritualitas individu, tetapi lebih menyerupai aktifitas beragama yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan secara teratur (konsisten). Kebiasaan yang akan terulang-ulang ini secara tidak langsung akan melatih kemampuan pengaturan diri siswa yang disebut regulasi diri.

Regulasi diri memiliki banyak arti. Diantaranya adalah kemandirian belajar, regulasi diri atau kontrol diri. Namun pada dasarnya mencakup tiga ciri utama, yaitu merancang tujuan, memilih strategi, dan memantau proses kognitif dan afektif ketika

seorang siswa menyelesaikan suatu tugas akademik.26 Penentuan

terhadap standar-standar internal merupakan salah satu proses pada tahap-tahap belajar berdasar regulasi diri yaitu tahap refleksi diri, sehingga seorang siswa akan mulai melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri.27

Menurut Bandura, siswa yang memiliki regulasi diri adalah siswa yang aktif dalam mengoptimalkan fungsi personal, fungsi

perilaku dan lingkungannya.28 Fungsi personal berarti siswa

merencanakan, mengolah, dan mengevaluasi berbagai informasi yang dipelajari dalam proses belajarnya dan menentukan

25Nur Afida, Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Self Regulation Mahasiswa

Universitas Yudharta Pasuruan. Skripsi, 2009. Hal. 21

26 Utari Sumarmo. Kemandirian Belajar. (online: http://math.sps.upi.edu/ . Diakses pada 9

April 2015)

27Schunk.Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2012).

28 Zimmerman dan Mortinez Pons, Construck validation Of Strategy Model Of Student Self

(24)

konsekuensi akan keberhasilan dan kegagalannya. Fungsi lingkungan dapat dipahami ketika siswa mampu menyeleksi, mengatur, bahkan membuat lingkungan fisik dan sosialnya dapat mendukung proses belajar.

Zimmerman mengatakan bahwa siswa yang memiliki regulasi diri dalam belajar merupakan siswa yang aktif secara metakognitif, motivasi dan perilakunya dalam proses belajar.29 Regulasi diri dalam belajar juga merupakan kemampuan siswa yang aktif secara metakognitif dan mempunyai dorongan untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam proses belajar. Zimmerman juga menjelaskan bahwa regulasi diri dalam belajar merupakan usaha yang dilakukan siswa untuk mencapai tujuan belajar dengan mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku dan emosi.

Regulasi diri merupakan kombinasi keterampilan belajar dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa lebih mudah, sehingga para siswa lebih termotivasi.30 Mereka memiliki skill (keterampilan) dan will (kemauan) untuk belajar.31 Siswa yang belajar dengan regulasi diri mentransformasikan kemampuan-kemampuan mentalnya menjadi keterampilan-keterampilan dan strategi akademik.32

Regulasi diri mengintegrasikan banyak hal tentang belajar efektif. Pengetahuan, motivasi, dan disiplin diri atau volition (kemauan diri) merupakan faktor-faktor penting yang dapat

mempengaruhi regulasi diri.33 Pengetahuan yang dimaksudkan

adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri, materi, tugas, strategi untuk belajar, dan konteks-konteks pembelajaran yang akan digunakannya. Siswa yang belajar dengan regulasi diri dapat mengenal dirinya sendiri dan bagaimana mereka belajar dengan sebaik-baiknya. Mereka mengetahui gaya pembelajaran yang disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi dirinya, bagaimana cara

29 Zimmerman, B. J. 1989. A Social Cognitive View of Self Regulated Learning. Journal of

Educational Psychology, 81 (3), 1-23.

30 Glynn, S.M., Aultman, L.P., & Owens, A.M. 2005. Motivation to Learn in general

education programs. The Journals of General of Education.54 (2), 150‐170.

31McCombs, B.L., & Marzano, R. J. 1990. Putting the self in self regulated learning: The

self as agent in integrating skill and will.Educational Psychologist, 25, 51‐70.

32 Zimmerman, B.J. 2002. Becoming a self regulated learner: An overview. Theory into

Practice, 41, 64‐70.

33Woolfolk. 2008. Educational Psychology. Active Learning Edition Tenth Edition.

(25)

mengatasi bagian-bagian sulit, apa minat dan bakatnya, dan

bagaimana cara memanfaatkan kekuatan atau kelebihannya.34

Mereka juga tahu materi yang sedang dipelajarinya. Semakin banyak materi yang mereka pelajari semakin banyak pula yang

mereka ketahui, serta semakin mudah untuk belajar lebih banyak.35

Mereka mungkin mengerti bahwa tugas belajar yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda pula. Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali terasa sulit dan pengetahuan jarang yang bersifat mutlak. Biasanya ada banyak cara yang berbeda untuk

melihat masalah dan ada banyak macam solusi.36

1. Struktur sistem regulasi diri

Menurut Winne, setiap orang akan berusaha meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan.37 Oleh karena itu yang membedakan

hanyalah efektivitas dari regulasi diri sendiri. Pada waktu siswa mampu mengembangkan kemampuan regulasi diri secara optimal, maka pencapaian tujuan yang ditetapkan dapat dicapai secara optimal.

Akan tetapi sebaliknya, pada saat siswa kurang mampu mengembangkan kemampuan regulasi diri dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidak efektifan dalam kemampuan regulasi diri ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu

fase dalam proses self regulation, terutama pada Fase

Forethought dan Performance Control” yang tidak efektif.

Secara ringkas proses yang terjadi dalam ketiga fase tersebut dalam dilihat dari Tabel 2.1.

34Wolfolk. 2008.

35 Alexander. 2006. Psychology in Learning and Instruction. Upper Saddle River. N.J:

Merrill/Prentice Hall.

36 Pressley, M. 1995. More about the development of self regulation complex, long term,

and throughly social.Educational Psychologist, 30, 207-212.

37

(26)

Tabel 2.138

Struktur Fase dan Sub Proses pada Regulasi Diri

Forethought Performance/

Berdasarkan perspektif social cognitive, proses regulasi diri ini digambarkan dalam tiga fase perputaran39, yaitu:

a. Fase forethought

1) Task analysis

Yang menjadi inti task analysis meliputi penentuan tujuan (goal setting) dan strategic planning. Goal setting dapat diartikan sebagai penetapan atau penentuan hasil

belajar yang ingin dicapai oleh seorang siswa. Goal

system dari siswa yang mampu melakukan regulasi diri

tersusun secara bertahap. Bentuk kedua dari task

analysis adalah strategic planning. Perencanaan dan

pemilihan strategi tersebut membutuhkan penyesuaian yang terus menerus karena adanya perubahan-perubahan baik dalam diri siswa itu sendiri ataupun dari kondisi lingkungan tempat tinggalnya.

2) Self motivation beliefs

Bandura menyatakan bahwa yang menjadi dasar

task analysis dan strategic planning adalah self

motivation beliefs yang meliputi self eficacy, outcome

38Sumber: Boekaerts, 2000 39

(27)

expectation, intrinsic interest or valuing, dan goal

orientation.40 Self eficacy merujuk pada keyakinan

seorang siswa terhadap kemampuan untuk memiliki performance yang optimal untuk mencapai tujuan,

sementara outcomes expectation merujuk pada harapan

siswa tentang pencapaian suatu hasil dari upaya yang telah dilakukannya.

b. Fase performance/volitional control

1) Self control

Proses kerja self control seperti self instruction, imagery, attention focusing, dan task strategies, sangat membantu siswa menfokuskan pada tugas yang dihadapi dan mengoptimalkan usahanya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2) Self observation

Menurut Zimmerman dan Paulsen, proses self

observing, mengacu pada penelusuran seseorang terhadap aspek-aspek yang spesifik dari performance yang ditampilkan, kondisi sekelilingnya, dan akibat

yang dihasilkan.41 Penetapan tujuan yang dilakukan

pada fase forethought mempermudah self observation,

karena tujuannya terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya.

c. Fase self reflection

1) Self judgement

Self judgement meliputi self evaluation terhadap

performance yang ditampilkan dalam upaya mencapai tujuan dan menjelaskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapai. Self evaluation mengarah pada upaya untuk membanding informasi yang diperoleh melalui self monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase forethought.

2) Self reaction

Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah self reaction yang terus menerus akan mempengaruhi fase Forethought dan seringkali berdampak pada

40Boekaerts dalam Afida, 2009.Hal. 24 41

(28)

performance yang ditampilkan dimasa mendatang terhadap tujuan yang ditetapkan oleh siswa.

Pengaruh dari respon (feedback) terhadap pengalamannya yang kemudian akan memberikan pengaruh pada fase forethought dalam menetapkan tujuan dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan. Untuk memperoleh langkah yang optimal dan fungsional, ketiga fase tersebut terus menerus berulang dan membentuk suatu siklus. Dengan demikian untuk dapat meregulasi diri dalam setiap dinamika hidupnya, setiap manusia dituntut untuk selalu fleksibel dalam memahami

potensi perubahan yang terjadi pada dirinya setiap saat.42

2. Komponen-komponen regulasi diri

Regulasi diri yang telah diperkenal kepada kita sebelumnya, biasanya dibagi menjadi tiga komponen utama, di antaranya: standar (standards), pemantauan (monitoring), dan kekuatan (strength). Akan tetapi dari penelitian baru-baru ini, sekarang sudah diakui adanya komponen keempat sebagai pendukung, yaitu motivasi (motivation).

Adapun keempat komponen yang dimaksudkan tersebut memiliki pengertian sebagai berikut:

a. Self regulatory standards; diartikan sebagai perubahan yang

sering membuat siswa dalam satu aktifitas berdasarkan beberapa cita-cita, tujuan atau permintaan yang dia tafsirkan dari masyarakat atau dari diri. Perubahan ini sering terjadi ketika siswa merasa seolah-olah mereka tidak mengukur dirinya sampai pada standar ini. Baumeister dan Vohs menunjukkan regulasi diri yang efektif memerlukan komponen standar yang harus jelas. Ketika standar-standar ini saling bertentangan atau ambigu maka akan sangat sulit untuk membuktikan regulasi diri.

b. Self regulatory monitoring; merupakan komponen penting

untuk melacak perilaku agar berhasil mengatur diri sendiri. Menurut Zimmerman, regulasi diri ini berhubung dengan

putaran karena prosesnya yang menggunakan gaya “umpan

balik dari suatu kinerja, sebelum digunakan untuk

melakukan penyesuaian pada saat upaya tersebut

berlangsung”. Jenis penyesuaian semacam ini diperlukan

42

(29)

karena pribadi, perilaku dan faktor lingkungan yang terus berubah selama proses kinerja.

c. Self regulatory stregth; ini adalah ide yang lebih sering

disebut sebagai “ketekunan”. Hal ini menunjukkan bahwa

mengubah diri sendiri adalah sulit dan oleh karena itu memerlukan sejumlah kekuatan. Dalam beberapa studi baru-baru ini telah ditemukan bahwa gula darah, otak sumber utama bahan bakar. Namun tetap saja yang terpenting adalah kontributor peraturan kekuatan diri. Secara umum dikatakan bahwa siswa memiliki keterbatasan pasokan ketekunan, dan ketika suplai rendah maka dengan sendirinya pula self regulation tidak bisa bekerja secara efektif.

d. Self regulatory motivation; dimana dalam menentukan

komponen ini Baumeister dan Vohs, merujuk kepada sebuah motivasi harus yang memenuhi standar atau tujuan. Dari sinilah kemudian mereka menemukan bahwa meskipun tiga dari semua komponen lainnya yang hadir, namun apabila motivasi tersebut kurang maka dapat menyebabkan kegagalan untuk mengatur diri sendiri.

Dengan memperhatikan keempat komponen di atas, maka dapat dipastikan bahwa yang menarik adalah hadirnya sebuah konsep yang luas tentang regulasi diri tersebut. Hal ini disebabkan oleh regulasi diri itu sendiri merupakan landasan tema dalam berbagai bidang kehidupan penelitian dan cenderung mencakup spektrum yang lebar.

C. Prestasi Belajar Matematika

Penilaian terhadap hasil belajar siswa bertujuan untuk mengetahui sejauhmana mereka telah mencapai sasaran belajar. Inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang dikatakan oleh Winkel, bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan

dan pemahaman, dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan.43

Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas

43Ws. Winkel. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. (Jakarta : Gramedia. 1997),

(30)

yang diberikanguru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.

Marsun dan Martaniah berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik.44 Hal ini berarti prestasi belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa.

Menurut Poerwodarminto, yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh seorang siswa pada jangka waktu

tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah.45

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar merupakan hasil usaha siswa berupa kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam bukti laporan yang disebut rapor.

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Wingkel mengemukakan prestasi memiliki factor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor-faktor internal dan eksternal. Adapun rinciannya sebagai berikut:

a. Faktor-faktor internal

1) Jasmaniah (fisiologis), yaitu keadaan fisik yang sehat dan segar serta kuat akan menguntungkan dan memberikan prestasi siswa yangbaik. Tetapi keadaan fisik siswa yang kurang baik akan berpengaruh pada siswa dalam keadaan belajarnya.

Yang termasuk faktor ini antara lain: penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dan sebagainya.

2) Psikologis, diantaranya: Internal, non internal dan

kondisi fisik.

44Tjundjing Sia. Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa

SMU. Jurnal Anima Vol.17 no.1. 2001, hal.71

45dalam Boekaer Mila Ratnawati. Hubungan antara Persepsi Anak terhadap Suasana

(31)

a) Intelektual, yaitu: taraf integensi, kemampuan belajar, dan cara belajar.

b) Non intelektual, yaitu: motivasi belajar, sikap,

perasaan, minat, kondisi psikis, dan kondisi akibat keadaan sosiokultur.

c) Kondisi fisik.

b. Faktor-faktor eksternal

Yang termasuk faktor eksternal antara lain:

1) Pengaturan belajar di sekolah, yaitu: kurikulum, disiplin

sekolah, guru, fasilitas belajar, dan pengelompokkan siswa.

2) Sosial di sekolah, yaitu: sistem sosial, status sosialsiswa

dan interaksi guru dan siswa.

3) Situasional, yaitu: keadaan politik ekonomi, keadaan

waktu dan tempat atau iklim.46

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa di sekolah sifatnya dapat berubah-ubah (relative). Hal ini dikarenakan prestasi belajar siswa sangat berhubungan dengan faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan yang lainnya. Kelemahan salah satu faktor akan mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar. Dengan demikian, tinggi rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa di sekolah didukung oleh faktor internal dan eksternal seperti tersebut di atas.

2. Motivasi berprestasi

Para ahli teori motivasi mengemukakan bahwa motivasi prestasi (achievement motivation) adalah sifat (trait) umum yang selalu ditunjukkan siswa di berbagai bidang. Sebaliknya, sebagian besar teoritikus kontemporer percaya bahwa motivasi prestasi mungkin agak spesifik terhadap tugas dan peristiwa tertentu. 47

Terdapat beberapa pendekatan yang menggambarkan tujuan motivasi:

46W. S. Wingkel, 1983, hal. 43 47

(32)

a. Tujuan penguasaan (mastery goals)

Hasrat untuk memperoleh pengetahuan baru atau

penguasaan keterampilan baru atau menguasai keterampilan baru.

b. Tujuan performa (performance goal)

Hasrat untuk menampilkan diri sebagai orang yang kompeten di mata orang lain.

c. Tujuan pendekatan performa (performance approach goal)

Hasrat untuk terlihat baik dan mendapat penilaian positif dari orang lain.

d. Tujuan penghindaran performa (performance avoidance

goal)

Hasrat untuk tidak terlihat berpenampilan buruk atau menerima penilaian yang negatif dari orang lain.

Tujuan penguasaan, tujuan pendekatan, dan tujuan penghindaran performa tidak mesti saling terpisah. Siswa mungkin memiliki dua jenis tujuan secara bersamaan, atau

bahkan ketiga-tiganya.48

Siswa dengan tujuan penguasaan cenderung terlibat dalam berbagai aktifitas yang akan membantu mereka belajar.

Mereka memusatkan perhatian di kelas, memproses

pengetahuan dalam cara-cara yang mempromosikan

penyimpanan memori jangka panjang yang efektif, dan belajar dari kesalahan. Selain itu, siswa dengan tujuan penguasaan memiliki perspektif yang sehat tentang pembelajaran, usaha, dan kegagalan. Mereka menyadari bahwa belajar adalah suatu proses berusaha keras dan terus bertahan bahkan saat

menghadapi kemunduran yang bersifat sementara.49

Sebaliknya, siswa dengan tujuan performa, mereka akan menjauhi tugas-tugas sulit yang akan membantu mereka menguasai keterampilan baru. Selain itu, mereka juga sering mengalami kecemasan akan tes dan tugas-tugas kelas lainnya, yang justru memperlemah usaha mereka untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas tersebut (debilitating anxiety).

Menurut Hidi & Harackiewicz, tujuan-tujuan pendekatan performa merupakan suatu paket campuran. Terkadang

48Convington & Mueller dalam Jeanne, Psikologi Pendidikan... hal. 110 49

(33)

memilik pengaruh positif, khususnya ketika dikombinasikan dengan tujuan penguasaan yang memacu siswa berprestasi di level yang tinggi.

Tabel 2.250

Perbedaan antara Siswa dengan Tujuan Penguasaan dan Siswa dengan Tujuan Performa

Lebih cenderung termotivasi secara ekstrinsik dan mungkin mencoba mencontek untuk memperoleh nilai bagus

Percaya bahwa

kompetensi berkembang seiringwaktu melalui latihan dan usaha

Percaya bahwa kompetensi adalah karakteristk yang stabil

Menunjukkan pengaturan diri yang rendah

Memilih tugas-tugas yang memaksimalkan kesempatan belajar, mencari tantangan

Memilih tugas yang memaksimalkan kesempatan untuk menunjukkan kompetensi , menghindari tugas dan tidakan yang membuat mereka tampak tidak kompeten

D. Regiusitas, Regulasi Diri danKaitannya dengan Prestasi Belajar Matematika

Agama mempunyai suatu konsep yang paling solid dan representatif dalam membangun hati nurani (qalb) manusia dalam mewujudkan eksistensinya. Agama mendapat tantangan kultural

yang menyeluruh yakni bagaimana penganutnya mampu

50

(34)

menerjemahkan nilai-nilai agama dalam rangka menjawab realitas sosial kemanusiaan. Untuk itu, diperlukan penghayatan spiritual yang dapat mengekspresikan nilai-nilai Illahiyyah dalam realitas kongkrit manusia, tanpa meninggalkan pemahaman secara mendalam terhadap ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama. Karena, jika dikaitkan dengan moral, kepercayaan religius ini dapat

menjadi motivasi untuk bersikap.51

Religiusitas dalam wacana etis yang lebih akrab dalam diskusi ilmiah dipandang sebagai faktor penting penataan tata kehidupan manusia.52 Jika dalam prosesi religiusitas (perilaku agama), manusia mampu membuat aturan, norma, dan tata cara peribadatannya yang mereka yakini bisa menuju pada kekuatan yang sakral, maka begitu pula halnya dalam kebutuhan manusia untuk membangun pengaturan diri yang menjadi syarat utama dalam mewujudkan harapan-harapan mulia bagi hidupnya. Sebab bagaimanapun besarnya semangat spiritual seseorang dalam pengabdiannya terhadap agama yang mereka imani, tanpa adanya standarisasi (standards), pemantauan (monitoring), dan kekuatan (strength), serta motivasi (motivation) yang jelas dan kuat dari dalam dirinya sangat mustahil bagi seseorang untuk meraih tingkat

religiusitas yang hendak diwujudkan secara optimal.53

Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat keterkaitan diantara keduanya. Terdapat ciri-ciri umum seseorang yang religius, yakni adanya keyakinan terhadap Tuhan dan adanya aturan (regulasi) tentang perilaku hidup manusia. Djohar menambahkan jika seseorang itu religius, maka personalitanya menggambarkan bangunan integral atau struktur integral dari manusia yang religius tersebut yang akan nampak dari wawasan, motivasi, cara berpikir, sikap perilaku maupun tingkat kepuasan pada diri siswa.54

Nashori dan Mucharam menggabungkan antara dimensi spiritual dan aspek-aspek Islam55 menjadi lima dimensi, yaitu

51Zubair, 1997 dalam Salamah Noorhidayati, Kreativitas Berbasis Religiusitas... hal. 47 52Abdul Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998.),

hal. 22

53Ibid, Afida, 2009. Hal. 35

54Djoihar, Religiusitas Iptek. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hal. 27

55Menurut Djamaludin Ancok dan Suroso Islam terbagi menjadi lima aspek, yaitu aspek

(35)

dimensi akidah (iman atau ideologi), dimensi ibadah (ritual), dimensi amal (pengamalan, perilaku), dimensi ihsan (penghayatan) dan dimensi ilmu (pengetahuan). Penghayatan dan penyerapan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, akan memunculkan regulasi diri. Selanjutnya, hubungan antara berbagai dimensi religiusitas tersebut dengan regulasi diri dijelaskan sebagai berikut. Keimanan yang kuat (akidah) terhadap Allah akan berimplikasi pada kemampuan dalam menetaskan ide-ide kreatif dan perilaku kesehariannya. Berkaitan dengan peran akidah

tersebut, terdapat dua pandangan. Pertama, diwakili oleh M.

Ustman Najati yang mempercayai bahwa hati nurani (conscience) adalah dimensi psiko-spiritual manusia yang berperan dalam menerima ilham atau ide-ide kreatif. Semakin kuat akidah seseorang, maka semakin kuat pula fondasi hati nurani untuk

menerima ilham atau ide-ide dari Allah. Kedua, diwakili Osman

Bakar yang mempercayai bahwa akidah ini, maka keimanan dapat

membangkitkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia.56

Dimensi ini juga memiliki peran pada prilaku seorang individu. Syekh Khalid menjelaskan dalam bukunya, bahwa akidah

memberikan pembinaan dalam setiap jiwa.57

Berkaitan dengan ibadah, intensitas praktik ibadah seseorang berpengaruh terhadap pemikirannya. Kalau seseorang intens

melakukan ibadah, maka Allah akan memudahkannya

mendapatkan pencerahan, jeli dalam melihat, peka dalam mendengar. Disamping itu, dengan segala peribadatan yang dilakukan, mulai dari shalat lima waktu, berpuasa, berzakat dan sebagainya, secara tidak langsung akan melatih seseorang dalam mengatur diri. Dimensi pengamalan (amal) tercermin dalam

konsep amar ma’ruf (humanisasi) dan nahi mungkar (linerasi) dan

iman kepada Allah (transendensi).58 Agar aktifitas humanisasi dan

liberasi berhasil dengan baik, maka manusia harus bekerja dengan

sungguh-sungguh.59 Hal ini tentu menambahkan motivasi yang

kuat dalam diri siswa.

56Ibid, Salamah Nurhidayati, hal. 52

57Syekh Khalid, Cara Islam Mendidik Anak. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal. 59 58Ketiga konsep tersebut berasal dari pemaknaan QS Ali Imran (3):110. “Kuntum khaira

ummatin linnasi ta’muruna bil ma’rufi watanhau ;anil munkari wa tu;minunna nbillah”

59

(36)

Selanjutnya tentang dimensi ihsan60, Sayyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa keberhasilan ilmuwan Muslim dalam merumuskan ide-ide, konsep-konsep dan teori-teori orisinal terjadi secara jelas dan bertahap melalui keterlibatan pengalaman intuitif. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa siswa yang intens melakukan dzikir maka dia akan menemukan berbagai pengalaman beragama. Ada cukup banyak contoh dari kalangan ilmuwan yang memiliki pengalaman semacam ini, diantaranya; al-Ghazali, Ibnu Sina, Albert Einsten, dan lainnya.

Berkenaan dengan keterkaitan pengetahuan agama dan regulasi diri, terdapat dua kemungkinan yang sangat berkaitan

dengan kognisi (sebagai aspek-aspek regulasi diri). Pertama,

secara langsung semakin banyak pengetahuan agama, akan semakin tinggi tingkat kelancaran berpikir (fluency of thinking).

Kedua, secara tidak langsung kebiasaan siswa mencari

pengetahuan agama akan mendorongnya menimba ilmu

pengetahuan lainnya. Disamping itu, Abdul Munir Mulkhan menjelaskan tentang hubungan antara religiusitas dan ilmu pengetahuan (kognisi), bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus diletakkan dalam kerangka kesadaran kehadiran Tuhan. Ilmu adalah konsep realitas sebagai bentuk kehadiran Tuhan dalam

dunia empiris yang disadari subjek.61

Sedangkan menurut Joachim Wach, penyerapan bentuk-bentuk religius tersebut dapat terekspresikan dalam beberapa bentuk, yaitu bentuk kognitif (thought), action dan fellowship. Penyerapan dalam bentuk kognitif bisa berupa ide-ide, pemikiran dan ilmu pengetahuan. Sedangkan penyerapan dalam bentuk action

tercermin dalam perilaku dan penyerapan dalam bentuk fellowship

terekspresikan berupa organisasi (hubungan antar manusia dan agama).62

Pernyataan diatas memiliki arti bahwa sebenarnya manusia telah melakukan konsep-konsep keteraturan terhadap dirinya. Hanya saja mungkin sedikit sekali orang yang memahami

60Dimensi ihsan, berkaitan dengan seberapa jauh seseorangmerasa dekat dan dilihatoleh

Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ihsan mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan, ketenangan hidup, dan dorongan untuk melaksanakan perinta agama.

61Ibid, Abdul Munir Mulkham, hal. 23 62

(37)

bagaimana cara kerja konsep tersebut secara tepat dan terstruktur. Kalau saja kita bersedia untuk meneliti lebih jauh lagi ke dalam diri, maka apa yang dimaksudkan oleh Jalaluddin Rakhmat mengenai agama sebagai unsur psikomotorik, akan semakin memudahkan cara pandang dan perilaku seseorang terhadap

keyakinan beragama.63

Hal ini tentu berlaku pula bagi siswa sebagai seorang pelajar. Mereka memiliki tuntutan dan kewajiban yang harus mereka penuhi berupa: belajar, sekolah, mencapai cita-cita, prestasi dan sebagainya. Siswa yang memiliki tingkat regulasi diri yang tinggi, ia akan dengan mudah mencapai tujuannya tersebut. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa tingkat religiusitas memiliki keterkaitan dengan tingkat regulasi diri siswa yang berpengaruh pada prestasinya dalam belajar matematika.

63

(38)
(39)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan survei yang melibatkan teori, bukti empiris, fakta dan kenyataan yang ada dengan penekanan pada penemuan model struktural (jalur) hubungan antar variabel yang dikaji. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research).

Terdapat tiga permasalahan penting yang akan dibahas pada penelitian ini. Permasalahan yang pertama adalah model kerangka teoritik untuk menjelaskan hubungan antara tingkat religiusitas dengan regulasi diri siswa untuk meningkatkan prestasi belajar matematika. Permasalahan yang kedua menjelaskan teori yang mendasari model yang ditemukan pada permasalahan pertama. Serta permasalahan yang ketiga menjelaskan pengaruh langsung maupun tidak langsung dari tingkat religiusitas terhadap regulasi diri siswa dalam belajar matematika.

Permasalahan pertama dan kedua termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan. Jenis penelitian kepustakaan ini digunakan karena adanya penguraian teori secara teratur dari semua data yang menjelaskan keterkaitan antara religiusitas, regulasi diri dan pretasi belajar matematika, yang kemudian mengahasilkan sebuah model teoritis.

Penelitian ketiga termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research), karena data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh secara langsung dari responden melalui angket. Selanjutnya, untuk menganalisis data lapangan tersebut peneliti menggunakan pendekatan SEM (Structure Equation Model) melalui program LISREL 9.2 for student.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

(40)

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto, populasi adalah keseluruhan

subyek penelitian.64 Adapun yang menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 Probolinggo.

Dalam bidang penelitian, sampel adalah bagian dari populasi. Dengan demikian sampel tentu harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penulis menggunakan metode random sampling, yaitu teknik pengambilan data yang dilakukan secara acak.

Kriteria jumlah sampel penelitian berdasarkan analisis model

SEM dijelaskan seperti berikut.65

1. Jika penduga parameter menggunakan metode kemungkinan

maksimum (maximum likelihood estimation), besar sampel yang disarankan adalah 100 hingga 200 sampel.

2. Sejumlah 5 hingga 10 kali jumlah parameter yang ada dalam

model.

3. Sama dengan 5 hingga 10 kali jumlah variabel manifes

(indikator) dari keseluruhan variabel laten.

Penelitian ini melibatkan 11 variabel manifest dari 3 variabel laten yang ada. Sehingga sampel yang diambil didasarkan pada kriteria diatas, yaitu sejumlah 10 x 11 = 110 responden (siswa). Pada penelitian ini akan diambil 3 kelas, diantaranya : XI IIS 1, XI IPA 3, dan XI IB 1. Masing-masing kelas terdiri dari 40 anak, sehingga jumlah total sampel sebanyak 120 responden.

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang

menjadi titik perhatian suatu penelitian.66 Dalam model persamaan

struktural (SEM) mengandung 2 jenis variabel yaitu variabel laten dan variabel teramati:

1. Variabel laten

Menurut Hair, variable laten adalah suatu konstruk dalam model persamaan struktural yang tidak dapat diukur secara langsung, tetapi dapat direpresentasikan oleh satu atau lebih

64 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek(Jakarta: Rineka

Cipta, 2002), hal. 115.

65 Solimun, Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos, (Malang: FMIPA

Universitas Brawijaya, 2002), 78.

66

(41)

variable indikator.67 Variabel laten terdiri dari 2 jenis, yaitu variabel eksogen dan endogen. Variabel eksogen adalah variabel bebas dalam semua persamaan yang ada pada model. Sedangkan, variabel endogen adalah variabel terikat pada paling sedikit satu persamaan dalam model, namun di persamaan sisanya variabel tersebut adalah bebas. Variabel eksogen pada penelitian ini religiusitas dan regulasi diri siswa. Sedangkan variabel endogen dalam penelitian ini adalah prestasi belajar matematika.

2. Variabel teramati

Variabel teramati adalah variabel yang dapat diamati atau diukur secara empiris dan sering disebut sebagai indikator. Cukup banyak komponen atau faktor yang bisa digunakan untuk kerangka indikator dalam membuat indikator religiusitas, regulasi diri dan prestasi siswa.

a. Variabel religiusitas siswa

Berdasarkan teori Brown, bahwa ada lima variabel untuk menjelaskan tentang agama (religi) yang berkaitan dengan asal usul agama, di antaranya:

1) Tingkah laku;

2) Aplikasi peribadatan (belief);

3) Perasaan keagamaan atau pengalaman (experience);

4) Keterikatan (infolvement); dan

5) Consequential effects.68

b. Variabel regulasi diri siswa

Menurut Baumeister dan Vohs ada empat komponen yang bisa dijadikan sebagai indikator dalam membuat indikator yang akan digunakan untuk mengukur regulasi diri (self regulation) siswa dalam sebuah penelitian, di antaranya:

1) Pengaturan diri secara standar (standards);

2) Proses pemantauan (monitoring) diri;

3) Pengaturan diri terhadap kekuatan (stregth); dan

4) Pengaturan diri terhadap motivasi (motivation).69

67 Dalam Tisti Ilda Prihandini. “Structural Equation Modelling (SEM) dengan Model

Struktural Regresi Spaial” . Jurnal Seminar Nasional Statistika Universitas Diponogero, Semarang 21 Mei 2011. Hal. 2

68L. B. Brown (Ed) dalam Nur Afida, 2009, hal. 51

69

(42)

c. Variabel Prestasi Belajar Matematika Siswa

Nasution berpendapat ada tiga komponen yang bisa dijadikan sebagai indikator dalam membuat indikator yang

akan digunakan untuk mengukur prestasi belajar

matematika siswa dalam sebuah penelitian, di antaranya; kognitif; afektif; dan psikomotorik.70 Pada penelitian ini, peneliti mengukur prestasi melalui aspek kognitif dan afektif.

Berdasarkan penjelasan variabel-variabel penelitian di atas, maka variabel dalam penelitian ini dapat dijelaskan melalui Tabel 3.1. Dimana dari masing-masing variabel laten dapat dijabarkan dalam beberapa variabel manifest.

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

70 Ghullam Hamdu, Pengaruh Motivasi Belajar Siswa Terhadap Pestasi Belajar IPA di

Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1 April 2011, hal. 90 Konstruk/

Pengaturan diri secara standar (standards)

Proses pemantauan (monitoring) diri

Pengaturan diri terhadap kekuatan (stregth)

Gambar

Tabel 2.2 Perbedaan  antara Siswa dengan  Tujuan Penguasaan
Tabel 2.138
Tabel 2.250
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan Wujud Benda Melalui Model Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas V-B MIN 1 Kota Surabaya”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

Pengujian statistik deskriptif akan menggambarkan nilai minimum, nilai maksimum, mean dan standar deviasi dari data variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu

Penelitian ini bertujuan mengembangkan perangkat pembelajaran untuk melatihkan keaktifan dan meningkatkan hasil belajar peserta didik di SMAK St.Stanislaus Surabaya yang

Jumlah Saham yang ditawarkan 26.000.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai

Jumlah jam kerja menunjukkan banyaknya jam kerja yang dialokasikan oleh tenaga kerja wanita di Kota Manado khususnya pada sektor informal. Peningkatan jam kerja tenaga

Pembangunan Infrastruktur Pisew Kecamatan Ongka Malino Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah Tahun Anggaran 2016. 2016 1

Dari batasan istilah tersebut penulis bermaksud mencari tahu tentang seberapa tinggi keaktifan dan hasil belajar siswa di kelas XI IPS 1 SMA Pangudi Luhur Sedayu pada

• Peningkatan Jalan Akses Pelabuhan Rawajitu – Sp.Penawar Bina Marga Provinsi Pantai Timur Sumatera- Jawa Bagian Barat Laut (Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi)