TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI
MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN
KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA
SKRIPSI
Oleh:
Mohamad Izat Furqoni NIM : C32213089
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga”.
Hasil penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang: 1. Bagaimana praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga?
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik
observasi dan wawancara (interview). Selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu pembahasan dimulai dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari lapangan tentang praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga, kemudian dianalisis dengan menggunakan hukum Islam tentang gadai/rahn dan riba terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga diantaranya: penerimaan uang yang diberikan kepada penggadai (rahin) uang tersebut dikurangi 10% dari kesepakatan namun ketika pelunasan uang tersebut dibayarsesuai kesepakatan tanpa ada potongan 10%. Apabila penggadai (rahin) tersebut tidak bisa membayar bapak imron memberikan toleransi penambahan jangka waktu jika tetap tidak bisa membayar maka barang tersebut akan dijual kemudian sisa uang penjualan barang jaminan akan di berikan kepada penggadai.
Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga akad gadai yang dilakukan sudah memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam yaitu rahn. Akan tetapi uang yang diberikan oleh penerima gadai (murtahin) dipotong 10% dari yang telah disepakati, sehingga membuat adanya tambahan uang pada saat pelunasan. Kejadian tersebut membuat gadai itu menjadi fasid. Potongan uang yang dilakukan penerima gadai (murtahin) tindakan yang tidak benar karena uang utang yang seharusnya dalam akad gadai adalah uang utang yang tetap tidak bertambah-tambah.
Dengan demikian, dari kesimpulan di atas maka kepada penerima gadai hendaknya menggunakan konsep gadai/rahn yang benar tanpa ada unsur-unsur yang dilarang dalam Islam. Agar tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 29
BAB II TEORI GADAI DAN RIBA MENURUT HUKUM ISLAM ... 21
A. Gadai ... 21
1. Pengertian gadai dalam Islam ... 21
2. Dasar Hukum Gadai ... 22
3. Rukun Gadai ... 25
4. Syarat Gadai ... 37
5. Pendapat ahli fiqh muslim terhadap syarat-syart marhun bih ... 30
6. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 32
7. Berakhirnya Akad Gadai ... 34
B. Riba ... 36
1. Pengertian Riba dalam Islam ... 36
ix
3. Macam-macam Riba ... 40
4. Hikmah Diharamkannya Riba ... 43
BAB III PRAKTIK GADAI MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA... 45
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45
1. Letak Geografis desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga ... 45
2. Keadaan Sosial Ekonomi ... 47
3. Keadaan Sosial Keagamaan ... 47
4. Keadaan Sosial Pendidikan ... 48
B. Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 49
1. Latar belakang gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 49
2. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 50
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA ... 58
A. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 57
B. Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 58
BAB V PENUTUP ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat, disadari atau tidak bahwa manusia selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan pertolongan manusia lainnya untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial tersebut. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang-orang lain disebut dengan muamalah1.
Muamalah merupakan konsep yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang memiliki tujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan kemaslahatan dan menjauhkan segala kemudharatan yang terjadi. Konsep muamalah telah diatur oleh Islam dalam bentuk syariat yang memuat berbagai hukum, yaitu halal, haram, mubah, dan makruh. Di dalam
syariat terdapat prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan kehidupan. Baik
kaitannya dengan hubungan kepada Allah maupun hubungan kepada sesama manusia. Dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia memerlukan adanya batasan agar mereka tidak cenderung untuk menuruti hawa nafsu dan batasan tersebut ialah fiqh muamalah.
1
2
Fiqh muamalah adalah himpunan hukum-hukum yang mengatur
hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lain dalam bidang kegiatan Ekonomi2. Hukum tersebut ditetapkan demi terciptanya rasa aman, tegaknya undang-undang dalam Negara atau masyarakat Islam, juga agar tidak menghilangkan makna taat kepada Allah dan menjaga hak-Nya. Oleh sebab itu pemahaman dalam bidang fiqh muamalah amatlah penting, karena
fiqh muamalah merupakan pengarah kehidupan hubungan antar sesama
manusia. Sehingga manusia harus senantiasa mengikuti aturan yang ditetapkan Allah SWT, sekalipun dalam urusan duniawi yang termasuk kegiatan bermuamalah karena setiap kegiatan manusia kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dengan transaksi, Allah SWT telah menjadikan manusia saling melengkapi antara satu dengan yang lainya, agar mereka saling tolong-menolong, baik dengan tukar-menukar, sewa menyewa, bercocok tanam atau dengan cara yang lainya. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman dengan jaminan (gadai/rahn).
Gadai adalah menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Demikian definisi yang dikemukakan oleh para ulama.
2
3
Dalam hadist dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
ﺣ
ﺪﹶﺛ
ﻨﺎ
ﻝﺎﻗ ﻡﺮﺸﺣ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻭ ﻲﻠﹶﻈﻨﹶﳊﺍ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﺑ ﻕﺎﺤﺳﺍ
:
ﻦﺑ ﺲﻴﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ
ﺖﻟﺎﻗ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺩﻮﺳﻻﺍ ﻦﻋ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﻋ ﺶﻤﻌﻟﺍ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﻳ
:
ﻝﻮﺳﺭ ﻯﺮﺘﺷﺍ
ﻪﹶﻠﻟﺍ
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
ﻦﻣ
ﺩﻮﻬﻳ
ﻱ
ﺎﻣﺎﻌﻃ
ﻪﻨﻫﺭﻭ
ﹰﺎﻋﺭﺩ
ﻦﻣ
ﺪﻳﺪﺣ
)
ﻩﺍﻭﺭ
ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ
(
Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim
Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).(HR.
Bukhori).3
Rasulullah pernah mencontohkan praktik transaksi seperti contoh diatas, Rasulullah pernah membeli gandum dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau. Dengan perkembangan zaman, maka saat ini bukan hanya pakaian yang dicontohkan oleh Rasulullah tetapi segala macam harta benda dapat di tangguhkan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang Desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga.
Rahn mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada
kenyataannya, dalam masyarakat konsep tersebut dinilai tidak adil. Dilihat dari segi komersil yang meminjamkan uang merasakan dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan berlarut-larut sementara barang jaminan tidak laku. Di lain pihak barang jaminan mempunyai hasil.4
3
Bukhori, Shahih al-Bukhori,(Beirut al-Yamamah: Dar ibnu Katsir: 1987),jil. 2, 729.
4Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshori, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta:
4
Bagi masyarakat mendengar kata gadai bukanlah hal yang tabu, mereka mengetahui bahwa gadai merupakan salah satu ajaran yang ada dalam agama Islam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagian dari masyarakat Desa Pekiringan melaksanakan praktik gadai yang sangat sederhana yang dilakukan antar kerabat ataupun tetangga dekat. Mereka menganggap proses gadai tersebut lebih mudah dan efisien untuk mendapatkan pinjaman dibandingkan harus meminjam atau mengajukan pinjaman ke bank atau ke lembaga pegadaian. Meski begitu mereka menganggap bahwa barang gadaian tersebut sebagai antisipasi bilamana hutang tidak terbayar, maka barang gadai yang di gunakan dalam transaksi tetap barang yang bernilai setara dengan utang yang diminta.
5
Dalam penerimaan uang, penerima gadai (murtahin) mengurangi pencairan uang 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungan dari penerima gadai (murtahin). Akan tetapi pada saat penulasan penggadai (rahin) membayar sesuai kesepakatan tanpa ada potongan. Keuntungan dari penggadai (rahin) diperuntukan untuk diri sendiri tidak di peruntukan untuk perawatan barang gadai atau pemeliharaan barang gadai.
Perlu di ketahui menurut hukum Islam gadai adalah akad tabbaru’ di mana pada akad tabbaru’ tersebut merupakan sarana saling tolong mrnolong bagi umat islam tanpa adanya imbalan jasa.5 Tetapi yang terjadi praktik gadai di Desa Pekiringan menerapkan keuntungan 10% dari taksiran harga yang disepakati. Kalaupun ada penambahan uang dalam gadai itu di perbolehkan untuk perawatan barang jaminan.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui permasalahan mengenai pratik gadai yang ada di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. Bahwa adanya pemotongan 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungan dari pihak penerima gadai (murtahin). Padahal menurut hukum Islam tidak ada penambahan dalam akad tabbaru’
yaitu rahn.
Dengan adanya kejadian seperti itu maka praktik gadai yang dilakukan sebagian masyarakat Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga penulis rasa masih belum menjadi solusi untuk
5
6
menyelesaikan masalah keuangan, akan tetapi justru akan menambah masalah baru karena pemberi gadai (rahin) harus mengembalikan uang pinjaman lebih banyak dari uang pinjaman yang diterimanya.
Hal ini yang menjadi menarik untuk di teliti dan di bahas pada bab selanjutnya oleh sebab itu peneliti akan membahasnya dalam karya ilmiah dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga” yang
bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan dan mendiskripsikan tentang analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masaah di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Konsep pengurangan uang dalam praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga
2. Keuntungan dan kerugian dalam pelaksanaan transaksi gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga
3. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga
7
Supaya pokok permasalahan di atas lebih terarah mengenai praktek gadai motor, maka titik fokus permasalahan tersebut akan di batasi dengan hal-hal berikut :
1. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga
2. Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan : Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ?
D. Kajian Pustaka
8
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang pernah ada.6
1. Skripsi yang ditulis oleh Lina Nur dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Gadai Pohon Kelapa di Kecamatan Masalembu Kabupaten Sumenep.7 Dalam permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah pemanfaatan dan seluruh hasil dari marhun menjadi hak murtahin
untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).
2. Skripsi yang ditulis oleh Nur Rif’ati dengan judul Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus di Desa Karangmulyo Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal).8 Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa gadai sepeda motor tersebut dalam akad gadai yang sah, namun setelah akad yang dilakukan dan dengan ditindaklanjuti, barang gadai tersebut dimanfaatkan untuk disewa oleh penerima gadai. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).
3. Skripsi yang ditulis oleh Ratih Dwi Puspitasari dengan judul skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Bengkel,
6Tim Penyusun Fakultas Syari,ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Penulisan Skripsi, (Surabaya:
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 8.
7Lina Nur “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Gadai Pohon Kelapa di Kecamatan
Masalembu Kabupaten Sumenep’’,(Skripsi-UIN Sunan Ampel, Surabaya, 1991)
8Nur Rif’ati, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus di
9
“Tunggal Putra” Desa Maguwoharo Kecamatan Depok Kabupaten Sleman.9 Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa gadai disini tolong-menolong. Akan tetapi, adanya syarat yang di jadikan sebagai akad, bahwa barang jaminan ini akan dipindahtangankan atau dimanfaatkan lagi. Adapun yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).
4. Skripsi yang ditulis oleh Ade Tri Cahyani dengan judul Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.10 Gadai yang berupa barang hutang tidak sesuai/ dengan hukum Islam, praktek gadai tersebut dilihat dari ma’qud alaih
(barang yang digadaikan), Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).
5. Skripsi yang di tulis oleh Adib Abdur Rohman dengan judul skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gadai KTP di Kelurahan Simolawang Kecamatan Simokerto Surabaya.11 Dalam kasus ini barang jaminan dalam gadai yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang jelas jelas bukan barang yang bisa di tukar dengan uang bukan juga barang yang bisa di lelang. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang
9 Ratih Dwi Puspitasari “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Bengkel,
“Tunggal Putra” Desa Maguwoharo Kecamatan Depok Kabupaten Sleman”,(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,2012)
10Ade Tri Cahyani, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Pada Masyarakat
Kecamatan Tapos Kota Depok”, (Skripsi-UIN Syrif Hidayatullah, Jakarta, 2015)
11Adib Abdur Rohman “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gadai KTP di Kelurahan Simolawang
10
pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).
6. Skripsi yang ditulis oleh Mujahidah Muharroma Al-Karima dengan judul Skripsi Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Speda Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.12 Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa gadai di sini mengandung unsur kecurangan karena penerima gadai menggunakan barang gadai tersebut untuk disewakan. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).
Dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas semuanya masalah yang diangkat bermuara dalam barang jaminan, sebagiaan besar masalahnya adalah barang jaminan yang di pakai oleh penerima gadai (murtahin) kemudian ada barang jaminan yang tidak diperbolehkan dalam Islam yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang tidak bisa diuangkan atau dilelang. Sedangkan yang akan ditulis penulis adalah membahas tentang pengurangan uang utang terhadap penggadai (rahin) oleh penerima gadai (murtahin) dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap masalah tersebut.
12 Mujahidah Muharroma Al-karima “Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akada gadai
11
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
2. Mengetahui bagiamana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa {Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
F. Kegunaan Hasil Penelitian 1. Secara teoritis
penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu Syari’ah pada umumnya, dan khususnya jurusan Muamalah serta dapat dijadikan tambahan wawasan tentang praktik gadai motor, sehingga dapat dijadikan informasi bagi pembaca.
2. Secara Praktis
12
G. Definisi Operasional
Dalam rangka untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dan lahirnya multi-interpretasi terhadap judul ini, maka penulis merasa penting untuk menjabarkan tentang maksud dari istilah-istilah yang berkenaan dengan judul di atas, dengan kata kata kunci sebagai berikut:
Hukum Islam : Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam, berdasarkan Al-Qur’an, Hadis dan pendapat para Ulama fiqh mengenai praktik gadai.
Gadai (rahn) : Menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat Islam sebagai jaminan utang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagian manfat barang tersebut.
Desa Pekiringan : Desa yang terletak di Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang datanya digali melalui pengamatan-pengamatan dan sumber data di lapangan dan bukan berasal dari sumber-sumber kepustakaan.13
13
13
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena kualitatif memuat tetang prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang atau pelaku yang diamati.
Agar penulis skripsi dapat tersusun dengan benar, penulis memandang perlu menggunakan metode penulisan skripsi sebagai berikut: 1. Data yang dikumpulkan
Data merupakan kumpulan dari keterangan atau informasi yang benar dan nyata yang diperoleh baik dari sumber primer, maupun sekunder.14 Data adalah bahan keterangan tentang suatu objek uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek.15 Data yang peneliti kumpulkan diantaranya, yaitu :
a. Data kualitatif yaitu data yang tidak berbentuk angka, jenis data yang akan dicari adalah segala kata dan tindakan yang relevan dengan masalah yang akan diteliti16 yakni mengenai pengurangan uang dari penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin) di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. b. Data mengenai mekanisme pengurangan uang dari penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin) di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
14
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (tk: Gramedia Press), 211.
15 Burhan Burgin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif & Kualitatif,(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 123.
14
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung yakni informan di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga meliputi:
1) Penerima gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
2) Pemberi gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
b. Sumber data sekunder
Sumber data ini diambil dari dokumen dan bahan pustaka (literature buku) yang ada hubungannya dengan penelitian ini antara lain:
1. Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana Syraiah di Indonesia, Bandung: Refika Adiama, 2008.
2. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah: 2013. 3. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum
Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000.
15
Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Imani, 2007, Cet. 3.
5. Asyraf Wajdi Dusuki, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan OperasiI, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2015.
6. Choiruman Pasaribu. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: sinar Grafika, cet. 2, 1996.
7. Chuzaimah T Yanggo, A. Hafiz Anshori, AZ, MA,
Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Jakarta: pustaka
Firdaus, 1995.
8. Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
9. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
10. Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, Surabaya, Putra Media Nusantara: 2010.
11. Mardani, Hukum Ekonomi Islam,(Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2015.
12. Moh. Sholihuddin, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II: Akad Tabarru’ dalam hukum islam, Surabaya: UIN Sunan Ampel
Press,2014.
16
14. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press,2001.
15. Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah),
Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014.
16. Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
17. Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah, Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014.
18. Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta, Gema Insani Press: 2005, Cet-1.
19. Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Bandung: Hasyimi, 2015. 20. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kamaluddin A. Marzuki. et al,
jilid 12, Bandung: Alma’arif: 1988.
21. TM. Habsi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
22. Wahbah Az-Zuhaili: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani. et al, Fiqih Islam Wa Adillatuhhu 6,(Jakarta: Gema Insani, 2011.
3. Teknik pengumpulan data a. Observasi
17
yang terjadi.17 Dalam hal ini penulis akan mengadakan pengamatan secara langsung yang bertujuan untuk memperoleh data mengenai praktek gadai motor dengan pengurangan penerimaan uang utang di Desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga.
b. Wawancara
Wawancara (Interview) adalah usaha untuk mengumpulkan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan. Ciri utama Interview adalah terjadinya kontak langsung dan bertatap muka antara pencari informasi dengan sumber informasi. Sedangkan jenis pedoman interview yang akan digunakan oleh penulis adalah jenis pedoman interview tidak terstruktur, yakni pedoman wawancara yang hanya memuat garis-garis besar pertanyaan yang akan diajukan.18 Wawancara ini akan penulis lakukan terhadap penerima gadai dan pemberi gadai.
4. Teknik Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
17
Syarifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.
18
18
a. Organizing, yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.19
b. Coding, yaitu kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data yang relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.20
c. Editing, yaitu kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.21
5. Teknik Analisis Data
Setelah tahapan pengolahan data, langkah selanjutnya yaitu menganalisa data. Penelitian ini dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif, yakni menggambarkan kondisi, situasi atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang praktek gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yaitu menganalisis data dari umum kekhusus tentang praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. Sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai praktik gadai
19
Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66
20
Ibid, 99
21
19
motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
I. Sistematika Pembahasan
Sitematika pembahasan dibutuhkan agar penelitian ini lebih mudah dipahami dan lebih sistematis dalam penyusunannya, serta tidak keluar dari jalur yang sudah di tentukan oleh peneliti, maka peneliti membagi lima bab dalam penelitian pada penelitian ini yang sistematikanya tersusun sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakan, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, definisi operasional dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas landasan teori tentang rahn/gadai dalam hukum Islam dan riba dalam hukum Islam yang meliputi: pengertian rahn, dasar hukum rahn, rukun dan syarat rahn, berakhirnya rahn, penegrtian riba, dasar hukum riba, macam-macam riba, hikmah dilarangnya riba.
20
Bab keempat penulis membahas jawaban dari rumusan masalah dan analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.
BAB II
GADAI DAN RIBA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Gadai
1. Pengertian gadai dalam Islam
Ar-Rahn dalam kamus bahasa arab menggadaikan,
menanguhkan ﺎﻧﻫﺭ - ﻥﻫﺭﻳ – ﻥﻫﺭ atau jaminan hutang, gadaian.22
Disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Menurut syariat
Islam, gadai berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut
syariat sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan
mengambil utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut.
Demikian definisi yang dikemukakan oleh para ulama.23
Ada beberapa definisi rahn yang dikemukakan para ulama
fiqh.
a. Menurut Ulama Malikiyah :
ﺷﻴ
ﹲﺊ
ﻣ
ﺘﻤ
ﻮ
ﹶﻝ
ﻳﺆ
ﺧ
ﹸﺬ
ﻣ
ﻦ
ﻣﻟﺎ
ﻜ
ﻪ
ﹴﻡﹺﺯﻻ ﹴﻦﻳﺩ ﻰﻓ ﻪﹺﺑ ﺎﹰﻘﱡﺛﻮﺗ
Harta yang di jadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan)
bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang
bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan
(agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga
penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah
22Adib Bisri, Munawir AF, kamus AL-BISRI,(Surabaya: Pustaka Progressif: 1999), Cet Kel-1,
274
22
sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu adalah
surat jaminannya (sertifikatnya).
b. Ulama Hanafiyah :
ﺟ
ﻌ
ﹸﻞ
ﻋﻴ
ﹶﻟ ﻦ
ﻬ
ﻗ ﺎ
ﻴﻤ
ﹲﺔ
ﻣﻟﺎ
ﻴﹲﺔ
ﻓ
ﻧ ﻰ
ﹾﻈ
ﹺﺮ
ﺸﻟﺍ
ﺮ
ﹺﻉ
ﻭ
ﺛﻴﹶﻘ
ﹰﺔ
ﹺﺑﺪ
ﻳﹴﻦ
ﹺﺑ
ﺤ
ﻴ
ﹸﺚ
ﻳ
ﻤ
ﻜ
ﻦ
ﹶﺃ
ﺧ
ﹶﺬ
ﺪﻟﺍ
ﻳﹺﻦ
ﹸﻛﱡﻠ
ﻬ
ﹶﺃ ﺎ
ﻭ
ﺑﻌ
ﻀ
ﻬ
ﻣ ﺎ
ﻦ
ﺗﹾﻠ
ﻚ
ﹾﻟﺍ
ﻌﻴ
ﹺﻦ
Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
c. Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan
sebagai berikut :
ﺟ
ﻌ
ﹸﻞ
ﻋﻴ
ﹴﻦ
ﻭﺛ
ﻴﹶﻘ
ﹲﺔ
ﹺﺑﺪ
ﻳﹴﻦ
ﻳ
ﺴ
ﺘﻮ
ﻓ
ﻣ ﻰ
ﻨﻬ
ﻋ ﺎ
ﻨﺪ
ﺗ
ﻌﱡﺬ
ﹺﺭ
ﻭﹶﻓ
ﺋﺎﻪ
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.24
Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang
sama, yaitu gadai menurut bahasa adalah menahan, sedangkan
menurut istilah menjadikan barang yang memiliki nilai menurut
syariat sebagai jaminan hutang. Dalam Islam, rahn merupakan sarana
saling tolong-mrnolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.25
2. Dasar Hukum Gadai
a. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 283 :
24
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta, Gaya Media Pratama: 2000), 252.
25Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam(FIQH MUAMALAH), (Surabaya: UINSA Press:
23
βÎ)uρ
ó
ΟçFΖä.
4
’n?tã
9
x y™
ö
Νs9uρ
(
#ρ߉Éfs? $Y6Ï?%x.
Ö
≈yδÌsù
×
π|Êθç7ø)¨Β
(
÷
βÎ*sù
z
ÏΒr& Νä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïj
Šxσã‹ù=sù “Ï%©!$#
z
Ïϑè?øτ$# …çµtFuΖ≈tΒr&
È
,−Gu‹ø9uρ
©
!$# …çµ−/u‘
3
Ÿ
ωuρ
(
#θßϑçGõ3s?
n
οy‰≈y㤱9$#
4
tΒuρ $yγôϑçGò6tƒ
ÿ
…絯ΡÎ*sù
Ö
ΝÏO#u …çµç6ù=s%
3
ª
!$#uρ $yϑÎ/
t
βθè=yϑ÷ès?
Ò
ΟŠÎ=tæ ∩⊄∇⊂∪
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”26\
Para ulama fiqh, sepakat menyatakan bahwa rahn boleh
dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat,
asal barang barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai
(al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang. Maksudnya,
karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang/dikuasai oleh
pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam
pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status
marhun (menjadi agunan utang). Misalnya, apabila barang
jaminannya sebidang tanah maka yang di kuasai adalah surat
jaminan tanah itu.27
b. Berdasarkan dalil dari As-sunnah
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a :
26 Mushaf Lafziyyah Al-Huda,
24
ﻦﻋ
ﹴﺲﻧﹶﺃ
ﻲﺿﺭ
ﷲﺍ
ﻪﻨﻋ
ﹶﻝﺎﹶﻗ
:
ﺪﹶﻘﹶﻟﻭ
ﻦﻫﺭ
ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
ﺩ
ﺭ
ﻋﻪ
ﹺﺑ
ﺸ
ﻌﻴ
ﹺﺮ
ﻭﻣ
ﺸ
ﻴ
ﺖ
ﹺﺇﹶﻟ
ﻰ
ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
ﹺﺑ
ﺨ
ﻴﹺﺮ
ﺷ
ﻌﻴ
ﹴﺮ
ﻭﹺﺇ
ﻫ
ﹶﻟﺎﺔ
ﺳﻨ
ﺤ
ﹸﺔ
ﻭﹶﻟ
ﹶﻘﺪ
ﺳ
ﻤﻌ
ﺘﻪ
ﻳﹸﻘ
ﻮ
ﹸﻝ
)
ﻣﺎ
ﹶﺃ
ﺻ
ﺒ
ﺢ
ِ
ﻝﻵ
ﺪﻤﳏ
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
ﹺﺇ
ﹼﻻ
ﺻ
ﻉﺎ
ﻭ
ﹶﻻ
ﹶﺃ
ﻣ
ﺲ
ﻭ
ﹺﺇﻧ
ﻬ
ﻢ
ﻟﺘ
ﺴ
ﻌﹶﺔ
ﹶﺃﺑ
ﻴ
ﺕﺎ
(
ﻩﺍﻭﺭ
ﻯﺭﺎﺤﺒﻟﺍ
Artinya : Dari Anas r.a berkata, “sesungguhnya Rasulullah s.a.w menggadaikan baju besinya dengan biji gandum. Aku menemui Rasulullah saw dengan membawa roti yang terbuat dari gandum dan kue biasa yang sudah tengik aku pernah mendengar beliau berkata: “bagi keluarga Muhammad saw setiap pagi dan sore hanya memerlukan satu sha’. Padahal sesungguhnya mereka ada sembilan anggota keluarga.’’(HR. Bukhari)’28
Dalam hadist dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, yang berbunyi:
ﺣ
ﺪﹶﺛ
ﻨﺎ
ﻝﺎﻗ ﻡﺮﺸﺣ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻭ ﻲﻠﹶﻈﻨﹶﳊﺍ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﺑ ﻕﺎﺤﺳﺍ
:
ﻦﺑ ﺲﻴﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ
ﺖﻟﺎﻗ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺩﻮﺳﻻﺍ ﻦﻋ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﻋ ﺶﻤﻌﻟﺍ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﻳ
:
ﻝﻮﺳﺭ ﻯﺮﺘﺷﺍ
ﻪﹶﻠﻟﺍ
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ
ﻦﻣ
ﻱﺩﻮﻬﻳ
ﺎﻣﺎﻌﻃ
ﻪﻨﻫﺭﻭ
ﹰﺎﻋﺭﺩ
ﻦﻣ
ﺣ
ﺪﻳﺪ
)
ﻩﺍﻭﺭ
ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ
(
Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).(HR. Bukhori).29
28Bukhori, Shahih al-Bukhori,(Beirut al-Yamamah: Dar ibnu Katsir: 1987), jil. 2, 887.
25
Dari hadist di atas praktik gadai sudah pernah di ajarkan
Nabi Muhammad SAW, Rasulullah pernah menggadaikan baju
besinya kepada orang Yahudi untuk mendapatkan gandum untuk
keluarganya. Jadi jelas akad gadai dalam syariat Islam sangat di
perbolehkan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Islam yang
bertujuan untuk membantu sesama.
c. Ijma’ Ulama
Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai
itu boleh. Para ulama tidak pernah mempertentangkan
kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur ulama
berpendapat bahwa gadai di syari’atkan pada waktu tidak
berpergian maupun waktu berpergian.30
3. Rukun Gadai
Menurut Jumhur Ulama rukun rahn itu ada empat, yaitu :
a. Shigat (lafal ijab dan qabul)
Shigat menurut istilah fuqaha ialah:
“Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)”
Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul,
sedangkan ijab dan qabul adalah shigat aqdi atas perkataan yang
menunjukan kehendak kedua belah pihak seperti kata “saya
gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada
26
engkau’’, yang menerima gadai menjawab “saya terima marhun
ini’’. Shigat aqdi memerlukan tiga syarat:
1) Harus terang pengertiannya
2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang
bersangkutan
Akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa,
kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan,
sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Habsi Ash-Shiddieqy
dalam pengantar fiqh muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu
sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan
dengan lidah).31
b. Orang yang berakad (pemberi gadai dan penerima gadai)
Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan
murtahin adalah adanya ahliyyah. Maksud dari kata ahliyyah
adalah sudah tamyiz. Akad rahn tidak boleh dilakukan oleh anak
kecil yang belum tamyiz dan belum berakal. Di samping itu Ijab
qabul yang terdapat dalam akad rahn tidak boleh di gantungkan
(mu’allaq) dengan syarat teretentu yang bertentangan dengan
substansi akad rahn, dan juga tidak boleh disandarkan dengan
waktu di masa mendatang. Untuk pemberi gadai memiliki barang
yang akan digadaiakan. Sedangkan penerima gadai adalah orang
27
atau lembaga yang di percaya oleh rahin untuk mendapatkan
modal dengan jaminan barang.
c. Harta yang di jadikan agunan (Marhun).
Marhun adalah barang yang bernilai ekonomis yang
dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada. Marhun harus bisa
ditransasikan, dalam arti, ia ada ketika akad sedang berlangsung,
dan bisa di serahterimakan. Selain itu harus berupa berupa harta
(mal). Marhun harus berupa harta yang jelas nilai ekonomisnya.
Marhun merupakan mutlak milik rahin dan tidak terdapat hak lain
dalam marhun tersebut.32
d. Utang (Marhun bih)
Utang merupakan hak yang wajib diberikan kepada
pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila
barang tersebut tidak dapat di manfaatkan, maka tidak sah), dana
dapat dihitung jumlahnya. Selain itu utang yang digunakan
haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga
atau mengandung unsur riba.33
4. Syarat Gadai
Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn
yaitu :
a. Berakal.
32 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 263-264.
28
b. Baligh (dewasa).
c. Wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.
d. Utang.34
Disamping syarat-syarat sah gadai yang disebutkan diatas,
juga terdapat syarat-syarat lain yang harus dipenuhi secara fiqh,
diantaranya yaitu:
a. Syarat orang yang berakad (rahin dan murtahin)
Dalam akad gadai orang yang berakad adalah unsur yang
paling penting karena sangat mempengaruhi terhadap sah atau
tidak nya gadai tersebut dilakukan. Syarat yang terkait dengan
orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan
dalam bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang
yang telah baligh dan berakal. Sedangkan, menurut ulama
Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti ahliyah dalam jual beli dan
pemberian. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk,
gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula
seseorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang
dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan darurat dan meyakini
bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.35 Berdasarkan hal ini,
maka orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak
34 Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014), 124.
35 Moh. Sholihuddin, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II: Akad Tabarru’ dalam hukum
29
boleh mengadakan akad gadai atau dengan kata lain tidak boleh
menggadaikan dan menerima gadai.36
b. Syarat sighat (lafadz).
Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh
dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan
datang. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan
apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad
itu, maka syarat itu dibolehkan namun apabila syarat itu
bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. 37
c. Syarat barang gadai (marhun)
Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin
(penerima gadai) sebagai jaminan atas utang yang ia berikan.
Barang yang di jadikan jaminan harus dalam keadaan barang itu
tidak rusak sebelum janji utang harus di bayar.
Syarat marhun menurut pakar fiqh, adalah :
1) Marhun itu barang yang bisa di perjualbelikan dan nilainya
seimbang dengan marhun bih.
2) Marhun harta yang bisa di manfaatkan secara hukum Islam
(halal).
3) Milik sah rahin.
4) Harus jelas keberadaannya.
36
Wahbah Az-Zuhaili: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani. Fiqih Islam Wa Adillatuhhu 6,(Jakarta: Gema Insani, 2011), 122.
30
5) Marhun tidak terkait dengan hak orang lain.38
d. Utang (marhun bih)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut
disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang
tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau
utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut
merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah
merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba.39
Dalam akad gadai dalam penerimaan uang utang, ulama
Syafi’iyah dan ulama Hanabillah menetapkan tiga syarat utama,
yakni :
1) Harus berupa utang yang tetap dan wajib ditunaikan.
2) Utang itu harus bersifat mengikat, seperti harga atas barang
yang dibeli dalam transaksi jual beli.
3) Nominal utang harus diketahui secara jelas dan pasti.40
5. Pendapat ahli fiqh muslim terhadap syarat-syart marhun bih
Berdasarkan berbagai opini para ahli fiqh muslim, syarat-syarat
berkaitan dengan utang pokok rahn dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Utang pokok harus merupakan utang yang sudah ditetapkan,
mengikat, dan dapat diberlakukan, baik melalui peminjaman,
38 Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah,(Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014),120.
39 Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,(Jakarta: sinar Grafika, cet. 2, 1996),142.
31
penjualan, atau kerusakan dalam bentuk kekeliruan tindakan atau
pelanggaran hak (selain yang ada dalam kontrak) menyangkut
suatu harta.
2) Utang harus diketahui dan didefinisikan bagi kedua belah pihak
yang berkontrak. Oleh sebab itu, jika salah satu atau kedua belah
pihak tidak yakin mengenai utang tersebut, misalnya, lalu debitur
menggadaikan sebuah objek atas suatu utang yang belum diperinci
diantara kedua pihak, yang wajib dibayarkan olehnya kepada
debitur, maka penggadai ini dianggap tidak shahih.
3) Utang pokok harus sudah jatuh tempo/mengikat, atau akan jatuh
tempo. Jadi, rahn itu shahih bila utangnya didasarkan pada harga
jual yang mengikat, atau berada dalam periode opsi sebelum
keterikatannya, karena kontrak penjualan akan mengikat sesudah
opsi tersebut kadaluwarsa. Namun, rahn itu tidak sah bila
utangnya tidak didasarkan pada ju’alah (janji memberikan
imbalan) sebelum penyelesaian tugasnya, karena liabilitasnya
tidak mengikat.
4) Menurut ulama Hanafi dan Maliki, utang pokok harus dapat
dipertanggungjawabkan, agar dapat dilunasi. Oleh karena itu rahn
itu tidak shahih bila utang didasarkan pada manfaat. Sebagai
contoh jika dua individu menyewakan suatu harta bersama-sama
dan salah satu dari mereka berutang kepada yang lain suatu porsi
32
digunakan untuk pencagaran. Meski demikian para ulama Syafi’i
dan Hambali membolehkan liabilitas semacam ini dalam rahn.41
6. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhin. Sedangkan hak
dan kewajiban adalah sebagai berikut:
a. Hak dan Kewajiban pemberi gadai (rahin)
1) Hak Pemberi Gadai
a) Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan
kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi
hutangnya.
b) Pemberi gadai berhak mendapat uang gadai sesuai
kesepakatan.
c) Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari
kerusakan dan hilangnya barang gadai apabila hal itu
disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
d) Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari
penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan
utang dan biaya lainya.
e) Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabila
penerima gadai telah jelas menyalahgunkan barangnya.
2) Kewajiban Pemberi Gadai
33
a) Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang
telah diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang
waktu yang telah ditentukan.
b) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas
barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang
telah ditentukan pemberi gadai tidak bisa membayar
utangnya kepada penerima gadai.
b. Hak dan Kewajiban penerima gadai (murtahin)
1) Hak penerima gadai (murtahin)
a) Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang
digadaikan, apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo
tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang
berhutang.
b) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang
jaminan.
c) Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai
berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan
oleh pemberi gadai.
2) Kewajiban penerima gadai (murtahin)
a) Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas
hilang atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika
34
b) Penerima gadai berkewajiban memberi uang utang sesuai
dengan kesepakatan.
c) Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang
yang digadaikan untuk kepentingan pribadi.
d) Penerima gadai berkewajiban memberi tahu kepada
pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang
gadai.42
Apabila pemberi gadai tidak mau menjual barang
gadainya, hendaklah penerima gadai mengajukan tuntutan
kepada hakim. Demikian pendapat Imam Syafi’i. Adapun
pendapat Imam Maliki, sebaiknya masalah itu di ajukan
lebih dahulu kepada hakim, dan jika barang terus dijual
tanpa diajkuan terlebih dahulu kepada hakim, penjualannya
pun tetap sah.43
7. Berakhirnya Akad Gadai
Akad rahn akan berakhir ketika murtahin telah
mengembalikan marhun kepada rahin, atau rahin telah membayar
hutang yang menjadi tanggungannya. 44
Gadai dipandang batal dengan beberapa keadaan seperti:
a. Borg (barang gadai) diserahkan kepada pemiliknya.
42 Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul
mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun ,(Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, 200.
43Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat
Madzhab,(Bandung: Hasyimi, 2015), 236.
35
Jumhur ulama selain Syafi’i menganggap gadai menjadi
batal jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin)
sebab borg merupakan jaminan utang, jika borg diserahkan, tidak
ada lagi jaminan. Selain itu dipandang batalpun akad gadai jika
murtahin meminjamkan borg kepada rahin atau kepada orang lain
atas seizin rahin.
1) Dipaksa menjual borg, Gadai batal, jika hakim memaksa rahin
untuk menjual borg atau hakim menjualnya jika rahin menolak.
2) Rahin melunasi semua hutangnya.
3) Pembebasan utang.
4) Pembatalan akad gadai dari pihak murtahin.
Akad gadai dipandang batal dan berakhir jika murtahin
membatalkan rahin meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya
dipadang tidak batal jika rahin membatalkannya.
Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk
mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahin
tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara
membatalkannya adalah dengan tidak memegang.
b. Rahin meninggal
Menurut Imam Malik, rahn batal atau berakhir jika rahin
36
dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan
borg kepada rahin.45
c. Borg rusak
Berdasarkan kesepakatan fuqaha, akan rahn batal dengan
rusak nya barang jaminan/borg. Baik itu menurut jumhur ulama
yang mengatakan bahwa marhun adalah barang amanat di tangan
murtahin sehingga jika rusak, maka ia tidak menanggungnya
kecuali jika ada unsur pelanggaran atau kelalaian dan keteledoran
dari murtahin.
d. Tasharruf dan borg
Akad rahn selesai dan berakhir jika salah satu pihak, yaitu
rahin atau murtahin melakukan pentasharufan terhadap marhun
dengan meminjamkannya, menghibahkannya, mensedekahkannya,
atau menjualnya kepada orang lain dengan seizin pihak yang
satunya.46
B. Riba
1.` Pengertian Riba dalam Islam
Menurut bahasa riba memiliki beberapa penegertian yaitu
bertambah
ﹸﺓﺩﺎﻳﹺﺰﻟﺍ
, berkembang, berbungaﻡﺎﻨﻟﺍ
,
berlebihan atau
45 Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun ,(Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, 207.
46 Wahbah Az-Zuhaili: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani.
37
menggelembung47, menurut Abdul Ghofur Anshori istilah riba berasal
dari kata r-b-w, yang di gunakan dalam Al-Qur’an sebanyak dua puluh
kali. Di dalam Al-Qur’an riba dapat dipahami dalam delapan arti, yaitu:
pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat, menjadi besar, dan
juga di gunakan dalam artian bukit kecil. Walaupun istilah yang berbeda
namun dapat diambil satu pengertian umum, yaitu meningkat, baik
menyangkut kualitas maupun kuantitas.48
Sedangkan menurut terminologis riba yaiitu sebagai berikut :
a. Menurut Ulama Syafi’iyah, riba adalah bentuk transaksi dengan
cara menetapkan pengganti tertentu yang tidak diketahui
kesamaannya (dengan yang ditukar), dalam ukuran syar’i pada saat
transaksi, atau disertai penangguhan terhadap kedua barang yang
dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya.
b. Menurut Ulama Hanafiah, riba adalah nilai lebih yang tidak ada
pada barang yang ditukar berdasarkan ukuran syar’i yang di
persyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad pada saat
transaksi.
c. Menurut Ulama Hanabilah, riba adalah kelebihan tanpa ganti rugi
yang dikhususkan.49
d. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Fiqh ‘ala
Al-Madzahib Al-Arba’ah, riba adalah bertambahnya salah satu dari
47 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002).57. 48
Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana Syraiah di Indonesia (Bandung: Refika Adiama, 2008), 11.
49
38
dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan
ini.50
e. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, riba
adalah penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama,
kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan atau dalam transaksi
pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima
fasilitas mengembalikan dan yang melebihi pokok pinjaman
karena berjalannya waktu.51
2. Dasar Hukum Pengharaman Riba
a. Berdasarkan dalil al-Qur’an
Riba hukumnya adalah haram dengan ketentuan firman
Allah SWT dan sabda-sabda dari Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah: 275 :
š
Ï%©!$#
t
βθè=à2ù'tƒ
(
#4θt/Ìh9$#
Ÿ
ω
t
βθãΒθà)tƒ
ā
ωÎ) $yϑx.
ã
Πθà)tƒ ”Ï%©!$#
ç
µäܬ6y‚tFtƒ
ß
≈sÜø‹¤±9$#
z
ÏΒ
Äb
§yϑø9$#
4
y
7Ï9≡sŒ
ö
Νßγ¯Ρr'Î/
(
#þθä9$s% $yϑ¯ΡÎ)
ß
ìø‹t7ø9$#
ã
≅÷WÏΒ
(
#4θt/Ìh9$#
3
¨
≅ymr&uρ
ª
!$#
y
ìø‹t7ø9$#
t
Π§ymuρ
(
#4θt/Ìh9$#
4
yϑsù …çνu!%y`
×
πsàÏãöθtΒ ÏiΒ
ϵÎn/§‘
4
‘yγtFΡ$$sù …ã&s#sù $tΒ
y
#n=y™
ÿ
…çνãøΒr&uρ
’n<Î)
«
!$#
(
ï
∅tΒuρ
y
Š$tã
y
7Íׯ≈s9'ρé'sù
Ü
=≈ysô¹r&
Í
‘$¨Ζ9$#
(
ö
Νèδ $pκÏù
š
χρà$Î#≈yz ∩⊄∠∈∪
ِِ
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
50
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,(Jakarta: Amzah: 2013), 258.
51
39
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.52
Firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran: 130 :
$y㕃r'¯≈tƒ
š
Ï%©!$#
(
#θãΨtΒ#u
Ÿ
ω
(
#θè=à2ù's?
(
##θt/Ìh9$# $Z ≈yèôÊr&
Z
πx yè≈ŸÒ•Β
(
(
#θà)¨?$#uρ
©
!$#
ö
Νä3ª=yès9
t
βθßsÎ=ø è? ∩⊇⊂⊃∪
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.53
Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum ayat 39:
!
$tΒuρ ΟçF÷s?#u ÏiΒ $\/Íh‘
(
#uθç/÷zÏj9
þ
’Îû
É
Α≡uθøΒr&
Ä
¨$¨Ζ9$#
Ÿ
ξsù
(
#θç/ötƒ
y ‰ΨÏã « !$# ( !
$tΒuρ
ΟçF÷s?#u ÏiΒ
;
ο4θx.y—
š
χρ߉ƒÌè?
t
µô_uρ
«
!$#
y
7Íׯ≈s9'ρé'sù
ã
Νèδ
t
βθà ÏèôÒßϑø9$#
∩⊂∪
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”54
firman Allah SWT Surat al-Maidah ayat 2:
$pκš‰r'¯≈tƒ
t
Ï%©!$#
(
#θãΖtΒ#u
Ÿ
ω
(
#θ6=ÏtéB
u
È∝¯≈yèx©
«
!$#
Ÿ
ωuρ
t
öꤶ9$#
t
Π#tptø:$#
Ÿ
ωuρ
y
“ô‰oλù;$#
Ÿ
ωuρ
y
‰Íׯ≈n=s)ø9$#
I
ωuρ
t
ÏiΒ!#u
|
MøŠt7ø9$#
t
Π#tptø:$#
t
βθäótGö6tƒ
W
ξôÒsù ÏiΒ
ö
ΝÍκÍh5§‘ $ZΡ≡uθôÊÍ‘uρ
4
#sŒÎ)uρ
52
Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009), 48.
53
Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009), 67.
54
40
÷
Λäù=n=ym
(
#ρߊ$sÜô¹$$sù
4
Ÿ
ωuρ
ö
Νä3¨ΖtΒÌøgs†
ã
β$t↔oΨx©
B
Θöθs% βr&
ö
Νà2ρ‘‰|¹
Ç
tã
Ï
‰Éfó¡yϑø9$#
Ï
Θ#tptø:$# βr&
(
#ρ߉tG÷ès?
¢
(
#θçΡuρ$yès?uρ ’n?tã
Îh
É9ø9$#
3
“uθø)−G9$#uρ
(
Ÿ
ωuρ
(
#θçΡuρ$yès? ’n?tã
É
ΟøOM}$#
È
β≡uρô‰ãèø9$#uρ
4
(
#θà)¨?$#uρ
© !$# ( ¨ βÎ) © !$# ß
‰ƒÏ‰x©
É
>$s)Ïèø9$# ∩⊄∪
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”55
b. Berdasarkan dalil as-sunnah
Rasulullah SAW bersabda :
ﹶﻟﻌ
ﻦ
ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ
ﹶﺍﻛ
ﹸﻞ
ﺮﻟﺍ
ﺑ
ﻭ ﺎ
ﻣﻮ
ﻛﹶﻠ
ﻪ
ﻭ
ﺷ
ﻫ ﺎ
ﺪﻳ
ﻪ
)
ﻦﻋ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ
ﺮﺑﺎﺟ
ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ
(
Artinya: Rasulullah SAW melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya (HR Abu Daud, dan hadist yang sama juga di riwayatkan Muslim dari Jbir ibn ‘Abdillah)56
3. Macam-macam Riba
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba jual beli
dan riba akibat hutang piutang.
a. Riba jual beli
55
Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009), 107.
41
Istilah riba al-fadhl diambil dari kata al-fadhl yang
bermakna tambahan dalam salah satu barang yang
dipertukarkan.57
Hanafiah memberikan definisi riba al-fadhl adalah
tambahan benda dalam akad jual beli (tukar-menukar) yang
menggunakan ukuran syara’ (yaitu literan atau timbangan) yang
jenis barangnya sama.
Syafi’iyah memberikan definisi riba al-fadhl adalah adanya
tambahan atas dua benda yang ditukarkan termasuk di dalamnya
riba qard(utang).58
Rasulullah SAW bersabda :
ﹶﻻﺗ
ﹺﺒﻴﻌ
ﻮ
ﱠﺬﻟﺍ ﺍ
ﻫ
ﺐ
ﹺﺑ
ﱠﺬﻟﺎ
ﻫ
ﹺﺐ
ﹺﺇ
ﱠﻻ
ﻣ
ﹾﺜ
ﹰﻼ
ﹺﺑ
ﻤﹾﺜ
ﹴﻞ
ﻭ
ﹶﻻ
ﺗ
ﺸ
ﱡﻔ
ﺑ ﺍﻮ
ﻌ
ﻀ
ﻬ
ﺑ ﻰﻠﻋ ﺎ
ﻌ
ﹴﺾ
ﹺﺇ
ﱠﻻ
ﻣﹾﺜ
ﹰﻼ
ﹺﺑ
ﻤﹾﺜ
ﹴﻞ
ﻭ
ﹶﻻ
ﺗﹺﺒ
ﻴﻌ
ﻣ ﺍﻮ
ﻨﻬ
ﹶﻏ ﺎ
ﺎﺋﺒ
ﹺﺑ ﺎ
ﻨ
ﹺﺟ ﺎ
ﹴﺰ
)
ﻢﻠﺴﻣ ﻭ ﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ
ﰉﺃ ﻦﻋ
ﺪﻴﻌﺳ
ﻯﺭﺪﳋﺍ
(
Artinya: Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas, kecuali seimbang(sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya, dan jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang belum ada (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri)
Dalam jual beli prinsip keadilan dan keseimbangan harus
ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan muncul kezaliman.
Oleh karena itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli
57
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari,(Jakarta, Gema Insani Press: 2005), Cet-1, 391.
58
42
barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat
merugikan pihak lain.59
Islam melarang riba atas jual beli atau perniagaan. Riba
tambahan dalam jual beli adalah riba al-fadhl ialah jual beli satu
jenis barang dari barang-barang ribawi dengan barang sejenisnya
dengan nilai (harga) lebih, misalnya jual beli satu kwintal beras
dengan satu seperempat kwintal beras sejenisnya, atau jual beli
satu ons perak dengan satu ons perak dan satu dirham.60
b. Riba akibat hutang piutang
Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi riba nasi’ah
adalah Adanya tamabahan yang disebutkan (dalam penukaran
barang yang sejenis) sebagai imbalan diakhirkannya penyerahan.
Sayid Sabiq memberikan definisi riba nasi’ah adalah
tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang
memberikan utang dari orang yang menerima utang sebagai
imbalan ditundanya pembayaran.61
Riba akibat hutang piutang disebut riba nasi’ah yaitu
pembayaran barang yang dipertikarkan, diperjualbelikan, atau
diutangkan karena diakhirkan waktu pembayarannya baik yang
sejenis maupun tidak. Riba ini yang masyhur di kalangan kaum
jahiliyah menurut Ibnu Hajra al-Maliki ialah bila seseorang dari
59 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama,2000), 185. 60
Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah,(Surabaya, Putra Media Nusantara: 2010), 119.
61
43
mereka meminjamkan harta kepada orang lain hingga waktu yang
telah ditentukan, dengan syarat bahwa ia harus menerima dari
peminjam pembayaran lain menurut kadar yang ditentukan
tiap-tiap bulan, sedangkan harta yang dipinjamkan semua jumlahnya
tetap dan tidak bisa dikurangi. Bila waktu yang ditentukan habis,
pokok pinjaman diminta kembali. Andaikan sebut, dia minta
tangguh, sehingga yang meminjamkan dapat menerima tangguhan
tersebut dengan syarat pinjaman pokok harus dikembalikan lebih
dari semula.62 Begitulah gambaran dari riba nasi’ah yang sangat
menyiksa bagi para peminjam.
4. Hikmah Diharamkannya Riba
Di atas telah dikemukakan bahwa riba hukumnya dilarang.
Adapun sebab dilarangnya riba ialah dikarenakan riba menimbulkan
kemudaratan yang besar bagi umat manusia.63
Dampak negatif terhadap individu yaitu kebutaan nurani pelaku
riba dengan kegoisan, keserakahan, kikir, dan menjadi budak harta
yang berakhir dengan kondisi yang dijelaskan Allah tentang pelaku
riba dalam QS. Al-Baqarah: 275, yaitu orang tersebut bagaikan orang
gila.
Dampak negatif terhadap masyarakat adalah bila mana riba
telah menjalar pada kehidupan sebuah masyarakat akan tampa