ISLAM NUSANTARA; UPAYA PRIBUMISASI ISLAM MENURUT NU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Sarjanan Humaniora (S. Hum)
Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
OLEH
QUEEN FANNIS LISTIA
A02212093
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah di setujui
Tanggal 06 Januari 2016
Oleh
Pembimbing
Drs. Sukarma, M.Ag.
Abstrak
Skripsi ini berjudul “Islam Nusantara; Upaya Pribumisasi Islam ala NU” fokus penelitian yang dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah (1) Apa yang dimaksud Islam Nusantara? (2) Bagaimana upaya NU dalam mewujudkan Islam Nusantara melalui proses Pribumisasi Islam?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan indigenisasi yaitu usaha menerjemahkan keyakinan agama sehingga menyesuaikan dengan budaya setempat. Penulis mencoba memahami dinamika Islam Indonesia secara konstektual terkait dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang pluralistik. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah metodologi kualitatif-Induktif. Metode Kualitatif yang penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang pelaku yang diamati. Sedangkan Induktif untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang dimulai dari pernyataan spesifik untuk menyusun suatu argumentasi yang bersifat umum.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) Memaknai Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat istiadat di Nusantara. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Nusantara. (2) Tradisi kegamaan yang dijalankan masyarakat Nahdliyin dan praktek-praktek amaliyah NU menjadi pemandangan yang memenuhi kegiatan keagamaan sehari-hari.
Kelompok-kelompok yasinan, diba’an maupun sholawatan begitu banyak jumlahnya. Acara
ritual-ritual kegamaan seperti selametan, mauludan dan sebagainya yang
ABSTRACT
This Skripsi titled "Islam Nusantara; Upaya Pribumisasi Islam Menurut NU”
focus the research discussed in this skripsi research is (1) What is Islam Nusantara? (2) How NU efforts in realizing of Islam Nusantara through process of pribumisasi Islam ?.
This study uses the indigenization approach is the effort to translate religious
beliefs so as to adjust to the local culture. The author tries to understand the dynamics of Indonesian Islam as contextual sociological conditions associated with pluralistic Indonesian society. The research methodology used in this research is qualitative methodologies-Inductive. Qualitative research method that produces descriptive data in the form of words written or spoken of the perpetrators were observed. While Inductive to gain scientific knowledge starting from a specific statement to draw up a general argument.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Kegunaan Penelitian... 8
E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 8
F. Penelitian Terdahulu ... 10
G. Metode Penelitian... 11
BAB II : ISLAM DAN BUDAYA NUSANTARA
A. Islam Masuk ke Nusantara ... 18
B. Kebudayaan Nusantara... 22
C. Hubungan Islam dengan Budaya Nusantara...34
BAB III: PRIBUMISASI ISLAM ALA NU A. Gagasan Pribumisasi Islam ... 45
1. Pribumisasi Islam ... 45
2. Signifikasi Gagasan Pribumisasi Islam di Indonesia ... 55
B. NU dan Keindonesiaan ... 57
1. Indonesia dalam Prespektif Aswaja ... 57
2. NU dalam Memelihara Tradisi dan Mengembangkan Keindonesiaan...61
BAB IV: ISLAM NUSANTARA; UPAYA PRIBUMISASI ISLAM ALA NU A. Urgensi Kajian Islam Nusantara ... 69
B. Islam Nusantara; Upaya Pribumisasi Islam ala NU ... 75
C. Respons terhadap Islam Nusantara ... 83
B. Saran ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai wacana tentang Islam Nusantara mungkin telah mengundang
banyak perdebatan di berbagai kalangan umat Islam saat ini. Berbagai definisi
maupun maksud sering terdengar belakangan ini. Sebagian ada yang menolak
sebagian pula ada yang menerima. Alasan penolakan mungkin karena istilah
Islam Nusantara tidak sejalan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu yang hanya
merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau alasan kedua mungkin penolakan
itu terjadi karena apa yang dipandang tersebut berbeda.1 Pandangan ini hanya
melahirkan sikap pasif dalam bahkan perlawanan, namun tidak juga gampang
menyertakan tradisi dalam proses modernisasi saat ini. Tradisi yang dimaksud
disini terutama adalah keyakinan keagamaan yang merupakan bagian dari
pandangan individual dan sistem sosial masyarakat. Dalam hal ini yang
dibutuhkan adalah suatu kemampuan untuk memahami dinamika sosial dan
proses bagaimana agama terlebur dalam tata hubungan sosial dan dalam perilaku
manusia atau bersifat kelompok.
Secara historis-sosiologis pemikiran Islam di Indonesia berasal dari dua
kawasan intelektual yang berbeda. Pertama Timur Tengah sebagai central
peradaban Islam. Kedua, Barat sebagai studi Islam orientalis. Kedua kawasan itu
1
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 1981), 40.
menempatkan Islam secara berbeda. Timur Tengah menempatkan Islam sebagai
doktrin teologis. Sebaliknya Barat menempatkan Islam sebagai objek kajian
keilmuan dan seringkali mengkritik tentang Islam. Sedangkan kawasan
Nusantara berposisi sebagai pengimpor Islam dari dua kawasan tersebut dan
sekaligus sebagai Produsen. Karena Nusantara secara otonom merumuskan Islam
yang tidak terikat dari dua kawasan tersebut. 2
Karena itu, ada dua model aliran Islam di Nusantara. Pertama, aliran yang
fanatik terhadap kawasan rujukannya (Timur Tengah) dan yang kedua, aliran
yang berpijak pada lokalitasnya. Model aliran Islam yang pertama menempatkan
Islam sebagai doktrin teologis yang memaksakan paham keislamannya yang
berwajah Timur Tengah untuk diberlakukan secara murni di Indonesia dengan
cara menggantikan budaya lokal dengan budaya Timur Tengah.3 Seperti memberi
lebel kelompok Islam fundamentalis. Sebagai negara yang menerima pluralitas,
Indonesia menerima kedua kelompok yang seperti diatas. Namun ada juga
kelompok masyarakat yang netral terhadap keduanya. Mereka tidak terlalu kekiri
dan juga tidak kekanan. Suatu negara yang mampu menerima dan menghargai
pluralitas dan berkehidupan bersama sesuai ajaran yang dianutnya, hidup
berdampingan dalam suatu wilayah.
Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman budaya, datangnya Islam ke
Indonesia tidak menghilangkan budaya setempat. Namun Islam masuk ke
2
Askin Wijaya, Menusantarakan Islam (menelusuri jejak pergumulan Islam yang tak kunjung usai di Nusantara) (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), 3.
3
Ibid., 4.
Indonesia secara damai atau Penetarion Pasifique. Artinya Islam masuk dengan
mengakomodasi dan melebur dengan budaya setempat. Pada saat ini kita
disuguhkan dengan tantangan berupa perubahan dalam aspek kehidupan, sebagai
dampak laju akan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kondisi
yang seperti ini sebagai masyarakat Indonesia harus tetap mempertahankan
budaya lokal yang ada. Namun juga tidak melupakan nilai-nilai kehidupan dan
bermasyarakat. Dalam hal ini munculah berbagai pertanyaan apakah budaya yang
harus mengikuti agama? Ataukah agama yang harus mengikuti budaya? Berbagai
jawaban dan analisis yang berbeda-beda sering kali muncul untuk menanggapi
pertanyaan semacam itu. Tentu saja dalam hal ini ada penolakan mentah-mentah ,
ada juga yang menawarkan wacana baru misalnya mengenai gagasan Pribumisasi
Islam. Diamana pribumisasi Islam melahirkan model Islam pribumi dan mencoba
mendialokkan Islam dengan budaya lokal dan menjadikan Islam sebagai
penyempurna budaya.4 Bahkan, Islam bisa mengisi kekosongan yang jauh dari
jangkauan budaya.
Berbicara tentang pribumisasi Islam yang merupakan buah pemikiran dari
Gus Dur5 melahirkan wacana baru sekaligus menjadi sebagai diskursus Islam saat
ini adalah Islam Nusantara. Berbagai diskusi digelar terkait dengan wacana Islam
4
Abdurrahman Wahid, Tabayun Gusdur. Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural (Yogyakarta: LkiS, 1998), 235.
5
Gus Dur adalah sapaan akrab Abdurrahman Wahid. Seorang kiai asal Jombang yang dengan pengetahuannya pada tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai dan bisa memahami dinamika agama dan modernisasi pada saat itu. Lihat LKiS, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010),13.
Nusantara, begitu juga puluhan artikel dan karya tulis lainnya muncul di media
sosial, dari tulisan mahasiswa hingga tulisan guru besar. Tradisi berfikir dan
membangun gagasan besar hingga menjadi kebudayaan telah menjadi bagian
penting kehidupan kaum Nahdliyin. Tradisi ini tidak hanya tumbuh subur di
kalangan Nahdliyin namun di sepanjang sejarah sebaian besar orang-orang
Indonesia. Bagi kelompok tertentu, Islam Nusantara diyakini sebagai gagasan
yang tidak masuk akal. Islam Nusantara dianggap sebagai sisi gelap dari agama
Islam. Disini para intelektual muslim perlu mendekati gagasan Islam Nusantara
secara hati-hati.
Nahdlatul Ulama (selanjutnya disingkat menjadi NU), mampu bertahan
hingga kini salah satu faktormya adalah karena NU memposisikan dirinya sebagai
agen perubahan, bukan sebuah institusi yang bertahan dari arus perubahan.6
Sebagai institusi yang berdiri pada barisan tradisionalis, NU terus menciptakan
tradisi-tradisi yang berbasis keislaman dan kelangsungannya dijaga oleh
pemimpin agama atau sering kita sebut sebagai kiai atau tokoh agama.
Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih dalam tentang
pemaknaan dan pemahaman lebih dalam tentang pribumisasi Islam dan Islam
Nusantara yang sering menimbulkan banyak kontroversi pada masyarakat
setempat saat ini. Gagasan Islam pribumi memang sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia. Namun, gagasan ini sepertinya perlu diperkenalkan
6
Muhammad Sulton Fatoni, “ Islam Nusantara Prespektif Tradisi Pemikiran NU”, Teosofi; Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, no 01 (Juni, 2013), 43.
kembali untuk menegaskan pentinganya gagasan Islam pribumi itu sendiri dalam
konteks berislam di Nusantara.7 Mengingat seringnya terjadi pergumulan budaya
dan agama yang terjadi di Indonesia saat ini, serta berpijak pada Islam pribumi ala
Gus Dur ini pula menjadi salah satu alasan pentingnya untuk dikaji kembali dan
memahami lebih dalam sehingga paradigma pribumisasi Islam melahirkan
wacana baru yaitu Islam Nusantara yang dicetuskan oleh masyarakat NU. Selain
beberapa alasan diatas juga sering kita jumpai dalam masyarakat awam yang
kerap kali mengartikan bahwa pergumulan budaya dan agama dianggap hal yang
wajar, sebab sudah menjadi warisan dari moyang sebelumnya. Wacana tentang
Islam pribumi atau pribumi Islam semuanya menjadi kabur.
Berangkat dari hal tersebut, perlu adanya penelitian yang lebih fokus tentang
Islam Nusantara NU untuk meluruskan pemahaman yang abstrak. Oleh karena
itu penelitian ini menjadi penting untuk memperkaya khazanah intelektual
ataupun diskursus Islam kontemporer. Selain itu Islam Nusantara saat ini juga
menjadi pokok kajian yang menarik untuk diulas kembali. Sebab bagi kelompok
tertentu Islam Nusantara diyakini sebagai gagasan yang tidak masuk akal. Islam
Nusantara dianggap sisi gelap dari agama Islam, disini sangat diperlukan
intelektual muslim untuk mendekati gagasan Islam Nusantara secara hati-hati.
B. Rumusan Masalah
7
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Nagara, Demokrasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), 66.
Berdasarkan latar belakang yang telah teruraikan diatas, penulis dapar
merumuskan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini sebagaui berikut:
1. Apa yang dimaksud Islam Nusantara?
2. Bagaimana upaya NU mewujudkan Islam Nusantara melalui pribumisasi
Islam?
3. Apa wujud dari Islam Nusantara?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk memenuhi persyararatan agar memperoleh Gelar Sarjana dalam
program Strata Satu (S-1) pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI).
2. Penelitian Ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang
paradigma Islam Nusantara.
3. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis wacana dari
upaya NU dalam mewujudkan Islam Nusantara melalui pribumisasi Islam.
D. Kegunaan Penelitian
1. Untuk menambah koleksi perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas
Adab khususnya yang terkait dengan upaya NU dalam mewujudkan Islam
Nusantara melalui proses pribumisasi Islam.
2. Untuk memperkaya khazanah pemikiran Islam bagi penulis khususnya. Juga
khususnya yang berkaitan dengan kajian pluralisme dan signifikasinya dalam
kehidupan umat beragama.
E. Penelitian Terdahulu
Wacana Islam Nusantara telah banyak mengundang hasrat atau minat
para intelektual muslim untuk mengkaji tentang Islam Nusantara lebih dalam.
Kajian tentang Islam Nusantara sedikit banyak telah ditulis oleh beberapa penulis
dalam paradigma yang berbeda-beda. Karya ilmiah ini hanya melengkapi kajian
yang sudah ada sekaligus membahas fokus maslah yang menurut penulis belum
terbahas dalam karya ilmiah yang ada. Dari penelusuran penulis, sejumlah karya
ilmiah yang membahas dan menyinggung tentang gagasan pribumisasi Islam Gus
Dur Antara lain :
1. Dr. Askin Wijaya, Menusantarakan Islam Menelusuri Jejak Pergumulan
Islam yang Tak Kunjung Usai di Nusantara(Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012)
yang menitik fokuskan pada Islam yang lebih spesifik dan praksis yakni Islam
Antroposentris-Trasformatif. Islam tidak hanya berbicara mengenai manusia
tetapi manusia sejatinya juga mendapat hak-haknya dari Islam, yakni
kehidupan yang damai. Dengan wajah baru Islam ini, Askin menawarkan
gagasan Islam kedamaian. Tawaran Islam kedamaian saat ini cukup beralasan
mengingat kehidupan keberagaman di Indonesia yang akhir-akhir ini ditandai
dengan dominasi Islam yang berwajah keras. Wajah kekerasan Islam itu tidak
menegakkan syari’at Islam tetapi cara-cara yang mereka tempuh jauh dari
syariat Islam dan budaya Nusantara. Budaya Islam Nusantara tidak menerima
Islam berwajah ekstrim.
2. Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Kemanusiaan dan
Pribumisasi Islam (Yogyakarta: Kutub, 2003) yang membahas tentang
gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam. Dalam buku ini penulis
menguraikan tentang pemikiran Gus Dur tantang Islam di Indonesia yang
memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan Islam di negara lainnya
termasuk Arab Saudi.
3. Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme
Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006) yang menyinggung tentang
permasalahan apakah Islam pribumi dapat dipandang absah dalam prespektif
doktrin Islam. Pro-kontra mengenai konsepsi dalam menyikapi wacana yang
digulirkan oleh Gus Dur terkait dengan gagasan Islam pribuminya. Dengan
langkah pribumisasi, menurutnya Wali Songo berhasil mengislamkan tanah
Jawa tanpa harus berhadapan dan mengalami ketegangan dengan budaya
setempat.
4. Mohammad Sobary, NU dan Keindonesiaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2010) tentang Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan salah satu
pemegang saham bagi lahirnya Republik ini. NU merupakan ormas Islam
terbesar di dunia Islam yang lahir jauh sebelum Republik ini berdiri.
ini, selayaknya bila NU tampil sebagai sumber moral dan kritik demi sehatnya
kehidupan berbangsa dan bernegara. NU dapat memainkan peran sebagai
pengawas dan penyangga moral intelektual.
5. Dr. K.H Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju
Masyarakat Mutamaddin (Jakarta: LTN NU, 2014) sebuah buku yang
menerangkan tentang Islam Ahlussunnah wal jama’ah di Nusantara yang
diamalkan dan dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama dan diajarkan di semua
pesantren Nusantara selama ini merupakan ajaran yang paling runtut
silsilahnya yang paling benar substansinya danpaling relevan untuk menjaga
dan mengembangkan budaya Nusantara yang majemuk.
Dari beberapa penelitian yang ada, penelusuran yang penulis lakukan
belum berjumpa dengan sebuah karya yang membahas tentang gagasan
pemikiran tentang upaya NU dalam mewujudkan Islam Nusantara melalui
proses pribumisasi Islam. Penulis berpandangan bahwa hal tersebut patut
untuk diteliti agar bisa menjadi bahan kajian selanjutnya juga bisa menjadi
sebuah kontribusi atas jawaban dari dinamika Islam kontemporer.
F.Kerangka Teori
Secara garis besar agama memiliki dua aspek yang tidak bisa dipisahkan,
yaitu aspek normatif dalam pengertian agama sebagai wahyu dari Tuhan serta
secara aspek historis dalam pengertian perkembangan agama yang tidak bisa
teknologi berkembang sebegitu pesatnya. Fenomena ini terjadi setelah dunia
memasuki era renaissance yang amat menjunjung tinggi rasionalitas pemikiran.
Di era pemikiran baru ini berdampak pula pada pemahaman agama yang
mulai dipelajari dengan berbagai macam pendekatan ilmu modern. Pada era ini
juga terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama yang dahulu terbatas
pada tataran idealis ke arah historis, dari yang hanya berkaisar pada doktrin ke
arah historisitas, dari yang hanya berkaisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis,
dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
Dalam prespektif sosiologi agama, terjadi hubungan timbal balik antara
agama dan masyarakat. Disatu sisi sendi kehidupan masyarakat seringkali
dipemgaruhi oleh agama yang dianutnya sekaligus di sisi yang lain pada aspek
sosiologis praktek keagamaan juga tidak bisa dilepaskan dari konteks sosiologis
masyarakat.8 Melalui hubungan timbal balik ini terjadilah proses intergrasi antara
nilai-nilai agama dengan nilai lokal kemasyarakatan. Dengan demikian agama
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri sangat
diperlukan dalam kehidupan masyarakat dan juga sebaliknya hidup dan
berkembangnya agama membutuhkan masyarakat.
Dalam teori sosiologi agama, agama memiliki beberapa fungsi antara lain
fungsi mendidik (edukatif), fungsi penyelamat, fungsi sebagai perdamaian, fungsi
sebagai alat kontrol sosial (social control), fungsi sebagai penumpuk rasa
8
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Ghalia Indonesia bekerjasama dengan UMM Press, 2002), 43-44.
solidaritas, fungsi sebagai transformatif, fungsi sebagai kreatif dan fungsi sebagai
sublimatif. 9
Dalam hal ini penggunaan teori yang tepat dalam penelitian kualitatif ini
adalah teori yang kemukakan oleh seorang tokoh sosiologis Emile Durkheim.
Menurutnya, agama memainkan suatu peranan penting sebagai indikator
masyarakat. Khususnya dalam kumpulan masyarakat dan kesukuan. Tetapi agama
juga sekaligus sebagai indikator sosial yang penting dalam masyarakat yang lebih
kompleks. Emile Durkheim memandang agama memang sebagai indikator yang
harus senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat.10 Tidak
terkecuali dalam hal agama Islam pun tidak bisa lepas dari perubahan-perubahan
yang dialami oleh pemeluknya. Termasuk pluralitas agama sebagai akibat dari
perwujudan respon yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap kondisi
sosial, budaya, politik maupun ekonomi yang sedang kita hadapi.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian antropolog juga menjadi
penunjangnya. Menurut Koentjaraningrat, sistem nilai budaya itu merupakan
tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu sebabkan
nilai-nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam pikiran
masyarakat yang menganggap sebagai bernilai, berharga, dan penting dalam
kehidupan. Sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman hidup yang memberikan
9
Ibid., 54-56. 10
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, cet II, 1981), 43.
arah bagi kehidupan masyarakat.11 Dan nilai-nilai tersebut turum menurun hingga
telah mengakar kuat dalam diri masyarakat. Dengan demikian agama dan budaya
merupakan dua entitas penting yang selalu dipegang oleh masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keduanya mengalami perjumpaan dalam
perjalanan hidup masyarakat. Perjumpaan entitas ini terjadi dalam proses
akulturasi yang menciptakan sistem nilai baru hasil perpaduan antara agama dan
budaya.
Selain penerapan teori sosiologi dan antropologi, juga menerapkan teori
Islam dimana teori Islam mengajarkan tentang hakikat Islam yang sesungguhnya
pada masalah ilmiah yang mendasar. Terkait dalam penelitian budaya ini,
diperlukan teori Islam yang merujuk pada pedoman hidup kita yaitu Al-Qur’an
dan hadist. Seperti dalam firman Allah, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lurus” (Q.S. Al Isra’ : 9). Jadi jelas bahwa sumber
Islam bukan pada produk budaya. Juga dalam ayat lain dijelaskan tentang larangan
mencampur adukkan kebenaran dan kebathilan. Apa-apa yang ada pada kehidupan
kita sudah ada aturannya dalam Al-Qur’an, termasuk tentang Islam dan kehidupan,
dalam firman Allah yang berbunyi “Janganlah kamu campur adukkan antara
kebenaran dan kebathilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu
mengetahuinya” (Q.S. Al Baqoroh : 42)
G. Metodologi Penelitian
11
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah
metodologi kualitatif-Induktif. Metode Kualitatif yang penelitian menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang pelaku yang
diamati.12 Sedangkan Induktif untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang
dimulai dari pernyataan spesifik untuk menyusun suatu argumentasi yang bersifat
umum.13
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library Research) yakni
dengan menelusuri dan mengkaji bahan-bahan pustaka yang secra khusus
menyangkut tentang Islam dan pluralisme.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulis adalah pendekatan indigenisasi
yaitu usaha menerjemahkan keyakinan agama sehingga menyesuaikan dengan
budaya setempat. Penulis mencoba memahami dinamika Islam Indonesia
secara konstektual terkait dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia
yang pluralistik.
3. Sumber Data
12
Lexy Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rostakarya, 1991), 19. 13
Dalam penelitian ini bersifat kepustakaan. Karena itu data-data yang akan
dihimpun merupakan data-data keperpustakaan yang representatif dan relevan
dengan objek studi ini. Adapun sumber data yang perlu dibedakan antara
sumber primer dan sekunder. Sumber primer yaitu :
a. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The
Wahid Institute, 2006)
b. Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta:
Erlangga, 2006)
c. Khawaruzzaman Bustamam-Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia
(Jakarta: ULI press, 2004)
d. Mohammad Sobary, NU dan Keindonesiaan (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010)
e. Andre Feillard, Nahdlatul Ulama’ dan Negara dalam Elyasa KH.
Darwish (ed), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LkiS,
1994)
f. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara
Menuju Masyarakat Mutamaddin (Jakarta: LTN NU, 2014)
g. Abdurrahman Wahid, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga
Sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku atau majalah yang
ditulis oleh orang lain yang membahas tentang Islam Nusantara dan NU
dalam upaya pribumisasi Islam ditambah beberapa buku yang masih
terkait dengan persoalan tersebut seperti:
a. Islam Pribumi; Menolak Arabisme, Mencari Islam Indonesia dalam
Jurnal Tashwirul Afkar No.14 (Jakarta: 2003)
b. Menggugat fundamentalisme Islam, dalam Jurnal Tashwirul Afkar No.
13 (Jakarta: 2002)
c. Manhajul Fikr NU: Sebuah Pencarian yang Tak Tuntas, dalam Jurnal
Tashwirul Afkar No. 19 (Jakarta: 2006)
d. Menafsirkan Hermeneutika dalam Jurnal Gerbang Vol. 145 (Surabaya:
eLSAD, 2003)
e. Islam Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005)
f. Eriyanto, Analisa Wacana Kritis; Pengantar Analisis Tekas Media
(Yogyakarta: LkiS, 2003)
g. Azurmadi Azra, Menggapai Solidaritas; Tensi Antara Demokrasi,
Fundamentalisme, dan Humanisme (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002)
h. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
i. Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pribumisasi Islam dalam
Jurnal Teosofi Vol. 3 No. 1 (Surabaya: Jauhar, 2013)
j. Revitalisasi Islam “Rahmatan lil ‘Alamin dalam Koran Jawa Pos 11
April 2003
k. Islam Lokal Versus Islam Kaffah dalam Koran Media Indonesia 6 Juni
2003
l. NU dan Islam Nusantara oleh Muhammad Sulton Fatoni dalam koran
Republika, 19 Juni 2015
m. Islam dan Akulturasi Budaya oleh Lukman Hakim Saifuddin dalam
koran Tempo, 26 Mei 2015
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan penulisan ini, penulis mengumpulkan data yang
diperlukan dengan cara mengkaji dan mempelajari sumber-sumber data
tersebut. Untuk penggalian data, penulis menggunakan Library Reseach
dengan mencari data yang mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya.14 Data yang
diperoleh melalui studi ini lebih spesifiknya berkisar pada tema Islam
Nusantara. Jadi pengambilan data hanya terfokus pada konsepsi Islam
Nusantara atau tema-tema yang berkaitan dengan hal tersebut.
5. Tekhnik Analisis Data
14
Data terkumpul bukanlah merupakan hasil akhir dari suatu penelitian
ilmiah, tetapi data-data tersebut masih perlu dianalisis lagi. Dalam hal ini,
peneliti menggunakan Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis)
yaitu melihat wacana atau pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan
sebagai bentuk dari praktek sosial.15 Maksudnya disini diperlukan analisa
kritis terhadap konsepsi wacana Islam Pribumi menurut Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) yang kemudian mulai diterapkan oleh kaum Nahdliyin
yang dimaknai sebagai konsepsi umum dalam membongkar dan counter
wacana terhadap Arabisme Islam hingga menuju wacana Islam Nusantara
atau hal-hal yang sedikit banyak berkaitan dengan tema besar tersebut.
Kemudian setelah cukup mengkaji pembahasan tentang pribumisasi Islam,
penulis mengkaji lagi tentang Islam Nusantara yang mana wacana tentang
Islam Nusantara dan upaya pribumisasi Islam Nahlatul Ulama (NU) muncul
tak lain karena sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur
mengenai pribumisasi Islamnya.
Untuk ketajaman analisa, metode Analisis Wacana Kritis didukung
dengan menggunakan metode Deskriptif-Historis. Metode deskriptif
merupakan proses pencaria fakta dengan ketetapan interpretasi.16 Kegunaan
deskriptif ini untuk menjelaskan bahwa suatu fakta dalam hal ini berupa
15
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisa Teks Media (Jogjakarta: LkiS, 2003), 24. 16
pemikiran itu benar atau salah.17Analisa historis difungsikan untuk mendapat
keterangan mendalam tentang pengertian dan pengetahuan mengenai
substansi dan sebab-sebab munculnya konsepsi tersebut.18 Kajian historis
disini lebih tertuju bagaimana Gus Dur memunculkan ide-ide Islam Pribumi
(latar belakang dan kepentingannya) dalam menghadapi munculnya wacana
Islam Nusantara di Indonesia serta mencari kembali identifikasi Islam
Indonesia berdasarkan tradisi dan lokalitas masing-masing.
H. Sistematika Pembahasan
Pada penyusunan karya Ilmiah nanti akan dikemas dalam bentuk perbab.
Secara global dan sistematikanya dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pada Bab Pertama yaitu pendahuluan, terdapat latar belakang yang
disertai alasan memilih judul kemudian rumusan masalah, penelitian terdahulu,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, metodologi penelitian dan
terakhir sistematika pembahasan. Adapun pada bab awal ini menyesuaikan pada
aturan karya tulis ilmiah yang berlaku di fakultas Adab.
Bab kedua yaitu tentang Islam dan Budaya Nusantara. Yang didalamnya
nanti berisi tentang Masuknya Islam ke Nusantara, Sejarah dan Kebudayaan
Nusantara dan terakhir Antara Nusantara dan Indonesia.
17
Jujun Sumatrani, Ilmu dalam Prespektif (Jakarta: Gramedia, 1987), 27. 18
Kemudian bab ketiga berisikan tentang Pribumisasi Islam dan NU. Dalam
bahasan Pribumisasi Islam akan dikupas dengan bahasan tipologi gagasan
Pribumisasi Islam dan sub babnya. Kemudian pada NU akan dijelaskan tentang
NU dan masalah kebangsaan.
Pada bab keempat berisi tentang Islam Nusantara upaya pribumisasi
Islam ala NU. Pada bab ini menjelaskan tentang urgensi kajian Islam Nusantara
serta kaitannya NU dengan Islam Nusantara.
Dan pada bab terakhir yaitu penutup yang berisi kesimpulan, kritik dan
BAB II
ISLAM DAN BUDAYA NUSANTARA
A. Islam masuk ke Nusantara
Penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam
sejarah Indonesia, namun juga yang paling abstrak. Kapan, mengapa, bagaimana
penduduk Indonesia mulai menganut agama Islam menjadi perdebatan oleh
beberapa ilmuwan, tetapi tidak mungkin dicapai kesimpulan yang pasti.
Pada umunya ada dua kemungkinan berlangsungnya proses masuknya Islam
ke Nusantara. Pertama, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Hamka--dengan
menunjuk salah satunya pada catatan berita dari para musafir Tiongkok,
sebagaimana yang dituangkan dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam
ke Indonesia di Medan pada tahun 1963 menyatakan bahwa Islam masuk ke
wilayah Nusantara (Indonesia) pada abad-abad pertama Hijriyah atau pada abad
ke tujuh atau delapan Masehi.1 Pernyataan ini dibuktikan dengan catatan berita
Tiongkok bahwasannya di pulau Jawa pada abad ke tujuh Masehi berdiri sebuah
kerajaan Hindu Holing (Kalingga) yang diperintah seorang ratu Shima. Menurut
berita tersebut, keberadaan kerajaan ini terdengar oleh raja Ta-Chih yang
kemudian mengirim utusan pada kerajaan tersebut. Ta-chih adalah sebutan orang
Arab yang diberikan oleh orang Cina. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
1
bahwa pada kira-kira abad ke tujuah atau delapan Masehi para pedagang dari
teluk Persia (Arab) di barat sampai ke Asia Tenggara dan Cina di timur. Oleh
karena wilayah-wilayah teluk Persia, India (Gujarat) sudah lebih awal dikuasai
umat Islam dan dapat dipastikan bahwa sebagian besar para pedagang itu adalah
para muslimin.2 Dengan demikian kuat dugaan bahwa pada abad ke tujuh atau
delapan Masehi itu banyak orang Arab Islam yang telah berjumpa denga
orang-orang Jawa maupun Sumatera.
Di bawah ini dicantumkan kutipan sebagian kesimpulan hasil Seminar yang
dimaksud sebagai berikut :
1. Bahwa menurut sumber-sumber yang telah kita ketahui, Islam untuk pertama
kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh
atau delapan Masehi) dan langsung dari Arab.
2. Bahwa daerah yang pertama kali didatangi oleh orang Islam ialah pesisir
Sumatera dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam
pertama berada di Aceh.
3. Bahwa dalam proses pengislaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut
aktif mengambil bagian.
4. Bahwa mubaligh-mubaligh Islam selain sebagai penyiar agama juga sebagai
saudagar.
2
5. Bahwasannya penyiaran agama Islam di Indonesia dilaksanakan secara
damai.3
Pendapat kedua menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-11 Masehi dengan bukti adanya makam seorang perempuan di Leran sekitar
delapan kilo meter ke arah Barat kota Gresik, Jawa Timur. Dari pengamatan
terhadap angka tahun pada nisan makam itu disimpulkan bahwa Fatimah binti
Maymun perempuan yang dimakamkan itu meninggal dunia pada tahun 1082
Masehi. Dengan melihat angka tahun tersebut bisa dikatakan bahwa Fatimah
binti Maymun sudah masuk ke wilayah ini pada priode kerajaan Dhaha Kediri.4
Perbedaan pendapat para peneliti juga menyangkut waktu kedatangan Islam
ke Nusantara. Sebagian peneliti menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara
pada abad ke-1 Hijriyah atau ke-7 Masehi, seperti yang diyakini oleh Naquib
al-Attas, Fatimi, dan Uka Tjandrasasmita dan Islam mulai berkembang pesat pada
abad ke-8 Masehi. Sementara sebagian lainnya meyakini Islam datang pada abad
ke-13 Masehi. Namun teori ini mendapat banyak sanggahan dari banyak peneliti
yang mensinyalir bahwa abad ke-13 Masehi merupakan masa perkembangan dan
perluasan Islam ke berbagai wilayah Nusantara. Sebagai sintesisnya bisa
dikatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi yang
3
Lihat Prasaran (Bandingan Utama Terhadap Prasaran M.D. Mansur) Hamka, Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah Pesisir Sumatera Utara, dalam “Risalah Seminar Masuknya Islam ke Indonesia tahun 1963 di Medan”. (Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia), 72. Lihat Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara (Surabaya: Jauhar, 2009), 62. 4
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu 2001), 54.
ditandai dengan berdirinya kampung-kampung Muslim pada abad ke-2 Hijriyah
atau ke-8 Masehi dan berkembang luas pada abad ke-13 Masehi.5 Selanjutnya
mengenai daerah yang menjadi tujuan pertama Islam datang. Ada dua daerah
yeng mendapat pengaruh Islam pertama kali yakni daerah Sumatera yang
merupakan jalan perdagangan internasional, dan Jawa. Tingkat terpengaruhnya
kedua daerah itu pun juga berbeda. Awalnya Islam berpengaruh di daerah yang
tidak dikuasai oleh Hindu-Budha, seperti Aceh, Sumatera Barat, Banten dan
Makassar. Islam yang menyebar di daerah-daerah ini konon masih murni (belum
berakulturasi dengan tradisi lokal setempat). Sementara itu, Islam yang datang ke
Jawa justru bebarengan dengan masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha. Oleh
karena itu Islam di Jawa bersifat sinkretis.6
Sebagaimana halnya dengan persoalan di atas, perbedaan pendapat dari para
peneliti juga terjadi pada masalah identitas Islam yang pertama kali masuk dan
berpengaruh di Nusantara. Jika dilihat dari kuatnya keterpengaruhan, maka
tasawuf menempati posisi penting dalam proses Islamisasi di Nusantara
meskipun masih diragukan oleh sebagian peneliti.7 Argumen para peneliti yang
berpegang pada tasawuf adalah pada aspek keluwesan Islam, sikap
komprominya dengan tradisi. Suatu aspek Islam yang sulit ditemukan dalam
5
Azhar Arsyad, Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara secara Damai, dalam Komaruddin Hidayat, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Bandung: Mizan, 2006), 76.
6
Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), 40.
7
Menurut Ricklefs, Tasawuf memang bagian dari Islamisasi, tetapi perannya yang pasti masih belum jelas. Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), 18.
tradisi hukum Islam (Fiqh) baik praktik hukum yang terkait dengan masalah
duniawi maupun masalah ukhrowi, entah yang berasal dari agama asli Indonesia
(Animisme dan Dinamisme) maupun tradisi Hindu-Budha.8 Dan pendapat yang
terakhir ini tampaknya lebih mendekati kebenarannya. Sebab, Islam masuk ke
Nusantara pada saat posisi Islam dan umat Islam di Timur Tengah mengalami
kemunduran akibat jatuhnya Baghdad di tangan penguasa Mongol pada tahun
1258. Pada era kemunduran Islam ini, para ilmuwan muslim lebih banyak beralih
pada disiplin tasawuf, sehingga membuat tasawuf lebih tampak dominan dalam
cakrawala pemikiran Islam.9
B. Kebudayaan Nusantara
Berbicara tentang Nusantara dan Indonesia yang merupakan secara singkat
keduanya merujuk pada satu wilayah, namun pada situasi dan kondisi yang
berbeda. “Nusantara” mewakili nama masa-masa awal keberadaan wilayah yang
kini bernama Indonesia. Nusantara berasal dari dua kata nusa dan antara. Nusa
berarti pulau atau tanah air, sedangkan antara berarti jarak, sela, selang, di
tengah-tengah dua benda. Kedua kata ini kemudian digabung dengan membuang
huruf “a” pada kata “antara”, sehingga menjadi Nusantara.10 Dengan pengertian
itu, Nusantara berarti pulau-pulau yang terletak di antara dua, tepatnya di antara
dua benua yaitu Asia dan Australia. Dan di antara dua lautan yaitu India dan
8
Delear Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996), 21. 9
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 4.
10
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), 55.
Pasifik. Penamaan demikian tak lain karena banyaknya pulau di Nusantara yang
berjumlah kurang lebih 17.000 pulau.
Sementara itu, kata “Indonesia” berasal dari bahasa latin yaitu indus yang
berarti India dan nesos dalam bahasa Yunani kuno berarti pulau. George S.W
Earl, seorang etnolog Inggris pada tahun 1850 mengusulkan istilah Indunesians.
Salah seorang muridnya bernama James Richardson Logan menggunakan
perkataan Indonesia sebagai sinonim dari Indian Archipelago. Tetapi, Adolf
Bastian yang mempopulerkan nama “Indonesia” dalam bukunya yang berjudul
Indonesien Oder Die Inseln des Malayichen Archipels. Adapun tokoh Indonesia
yang mempopulerkan nama Indonesia adalah Ki Hajar Dewantara ketika
mendirikan biro pers di negeri Belanda dengan nama Indonesisch pers-Bureau
pada tahun 1913, meskipun Ki Hajar Dewantara sendiri tidak memaksudkan
Indonesia itu sebagai sebuah bangsa atau negara. Tetapi menurut syafi’i Ma’arif,
Ki Hajar Dewantara adalah seorang futurolog yang mampu memprediksi masa
depan Indonesia yang kelak menjadi nama bagi negara Indonesia ini.11
Digunakannya Indonesia sebagai sebuah nama negara terjadi pada tahun
1920 yang dideklarasikan oleh Perhimpunan Indonesia (PI), perkumpulan para
sarjana Indonesia di negeri Belanda, meskipun pada waktu itu nama Nusantara
masih tetap digunakan dan bahkan secara bergantian dengan nama Indonesia.
Untuk kepentingan penulisan ini, kedua nama itu akan digunakan secara
bergantian tetapi dengan maksud dan pengertian yang sama.
11
Ibid., 326.
Berbicara tentang Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan beragam
budayanya yang tumbuh dan berkembang dalam sendi kehidupan masyarakat
hingga kini belum mencapai puncaknya. Sebab kebudayaan yang mempunyai
sifat dinamis dan tidak terbatas ruang dan waktu. Sebelum Islam hadir
ditengah-tengah masyarakat Indonesia, kala itu masyarakat Indonesia berkeyakinan
animisme dan dinamisme sebuah refleksi dari agama Hindu Budha. Muncul dan
berkembangnya Islam di Indonesia tidak dapat luput dari pertautan sejarah yang
panjang. Beragam bentuk kebudayaan dan praktek keagamaan membaur menjadi
warna khas bagi bangsa Indonesia ini. Berangkat dari hal tersebut, maka sulit
kekayaan budaya lokal dicabut dari akarnya begitu saja, bahkan oleh sistem
budaya ataupun strategi apapun.
Kebudayaan mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kultur dalam
arti sebagai usaha dari otak manusia atau akal budi manusia. Dalam istilah
Antropologi budaya, perbedaan arti antara kata budaya dengan kebudayaan
ditiadakan. Kata “budaya” hanya dipakai sebagai suatu singkatan dari
kebudayaan dengan arti yang sama.12 Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa
dan karsa manusia. Kebudayaan dapat diartikan sebagai perkembangan
kecerdasan akal pada umumnya pada suatu masa atau daerah, sedangkan menurut
ilmu Antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
12
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar.13
Selain istilah kultur (culture) dalam artian kebudayaan, dikenal juga istilah
peradaban (civilization). Kebudayaan seringkali dicampuradukkan atau dianggap
mempunyai arti dalam pengertian yang sama. Kebudayaan merupakan suatu
sikap batin, sifat dari jiwa manusia yaitu usaha untuk mempertahankan hakikat
dan kebebasannya sebagai makhluk yang membuat hidup ini lebih indah dan
mulia. Sementara peradaban, ialah suatu aktivitas lahir yang biasanya dipakai
untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan indah
seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santaun pergaulan, kepandaian
menulis, dan sebagainya. Istilah peradaban sering juga dipakai untuk menyebut
suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni
bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan
kompleks.14 Walaupun keduanya sangat erat hubungannya namun pengetiannya
tetap berbeda. Seseorang yang beradab belum tendu berbudaya. Kemajuan dalam
bidang materi tidak mesti bersesuaian dengan perkembangan akal. Sebaliknya
manusia yang berbudaya belum tentu berkeadaban. 15Adab berarti kesopanan,
budi pekerti atau tingkah laku. Peradaban berarti kemajuan atau kecerdasaan
kebudayaan.
13
Koentjaraningrat, Pengantar, 193.
14
Koentjaraningrat, Pengantar, 193. 15
Seorang antropolog bernama Clifford Geertz mengemukakan bahwa agama
merupakan sistem budaya yang dipengaruhi oleh berbagai proses perubahan
sosial dan dengan sendirinyan mampu mempengaruhi perubahan sistem budaya.
Jauh sebelum datangnya agama Islam bangsa Indonesia menganut kepercayaan
Animisme dan Dinamisme. Keduanya berpengaruh sangat kuat pada diri
masyarakat. Keyakinan tersebut sedikit banyak masih dilaksanakan di beberapa
wilayah. Ketegori perkembangan budaya di Indonesia dapat dilihat sesuai dengan
periodenya yaitu pra-perkembangan budaya (animisme dan dinamisme),
perkembangan budaya Hindu, perkembangan budaya Budha, dan perkembangan
budaya Islam, antara lain:
1. Kepercayaan Animisme
Kepercayaan Animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau
jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia
sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang
bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh yang
berwatak buruk maupun baik.16 Dengan kepercayaan tersebut mereka
beranggapan bahwa di samping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling
berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut
mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan uapacara disertai sesaji.
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah
agar keluarga mereka terlindung dari roh jahat. Mereka meminta berkah kepada
16
roh. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang
kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek
moyang serta menolak perbuatan hantu yang jahat.17 Arwah yang pernah hidup
pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan pengalamannya sehingga perlu
dimintai berkah dan petunjuk. Cara yang ditempuh untuk menghadirkan arwah
nenek moyang adalah dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam
bidang tersebut, yang disebut perewangan untuk memimpin acara. Mereka juga
membuat patung nenek moyang agar arwah roh nenek moyang masuk dalam
patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan tersebut.
Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan
membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari nenek moyang.
Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian
agar arwah nenek moyang yang dipanggil menjadi gembira dan berkenan
memberikan berkah kepada keluarganya. Sisa-sisa upacara keagamaan semacam
itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa sekarang.18 Namun,
upacara tersebut telah berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat tradisnional
misalnya pertunjukan wayang.
Upacara kematian secara berurutan diadakan antara lain slametan atau
geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Slametan nelung dino
yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari ke tiga susudah saat
17
Abdul Jamil dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), 7. 18
Ibid., 8.
meninggalnya seseorang. Slametan mitung dino yaitu upacara selamatan saat
sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ke tujuh. Kemudian
slametan matang puluh dino atau empat puluh harinya. Slametan nyatus atau
seratus harinya, slametan mendak sepisan dan mendak pindo yaitu setahun atau
dua tahunnya. Slametan nyewu atau ke seribu harinya, slametan nguwis-uwisi
atau peringatan saat kematian seseorang untuk yang terakhir kalinya.19 Upacara
selamatan dan pertunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang
adalah sisa-sisa tindakan keagamaan peninggalan zaman animisme yang terus
dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman
animisme adalah pemberian sesaji pada roh yang berdiam di pohon-pohon
beringin atau pohon besar yang berumur tua, di sendang-sendang atau tempat
mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau
tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib
atau angker.20
Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut,
maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan
bunga. Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap
adanya kekuatan makhluk-makhluk yang diam ditempat di tempat-tempat
tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan agar tidak
19 Ibid. 20
Ibid., 9.
mengganggu kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Sesaji kepada roh-roh
dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik atau rumit, misalnya pada
malam kliwon.
2. Kepercayaan Dinamisme
Kepercayaan dinamisme adalah kepercayaan setiap benda mempunyai
kekuatan seperti gunung, bebatuan, dan sebagainya.21 Masyarakat Indonesia
mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari
kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam,
matahari, hujan, angin, hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan dibalik
semua kekuatan alam itu.
Berbagai ritual keagamaan dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang
akan mempengaruhi kehidupan dirinya. Misalnya laku prihatin atau merasakan
perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan
mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti makan
nasi putih dan minum air putih), dan berpuasa pada hari weton atau pada hari
kelahiran. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula
21
dengan cara menggunakan benda-benda bertuah dan berkekuatan seperti jimat
berupa keris atau benda-benda yang dianggap keramat.
3. Perkembangan Budaya Hindu
Sesudah perkembangan pra-budaya, datang budaya Hindu di Indonesia yang
eksistensinya dengan mudah dapat dikenali dari peninggalan batu bertulis,
monumen atau relief di candi, termasuk bahasa Sangsekerta yang mereka
tinggalkan. Pengaruh budaya Hindu dimulai pada tahun 78 M yaitu
sejakberdirinya kerajaan Aji Saka yang ditandai dengan adanya kalender Saka.
Kalender ini didasarkan pada peredaran matahari, satu tahun terdiri dari 12 bulan
masing-masing bulan disebut dengan Ka-Sa, Ka-Ro, Ka-Tiga, Ka-Pat, Ka-Lima,
Ka-Nem, Ka-Pitu, Ka-Wolu, Ka-Sanga, Ka-Sepuluh/ Ka-Sa-dasa, Ka-Dastha,
Ka-Sa-dha.22 Sistem kalender ini masih digunakan oleh orang Badui, Samin,
Tengger dan dipertahankan dengan sangat gigihnya di Pulau Bali. Nama-nama
hari sampai sekarang masih dipergunakan di Bali (Redite, Coma, Anggara,
Budha, Wrehaspati, Sukra dan Caniscara)23
Prasasti-prasasti di Yogyakarta dan Solo pada masa Mataram I menyebutkan
nama-nama hari serupa itu. Pengaruh budaya Hindu mencapai puncaknya semasa
kejayaan Majapahit kekuasaannya mencapai seluruh kepulauan Nusantara. Saat
itu bahasa Sangsekerta digunakan dalam penulisan kitab Weda. Demikian juga
22
Karim, Islam, 131. 23
Warta Hindu Dharma, Kalender Caka 1923 (Denpasar: 2002). Nama hari tersebut hampir sama di India Timur dan Bangladesh seperti: Robibar, Shom, Manggal, Budh, Wrihashpati, Shukro, dan Shonibar. Lihat Karim, Islam, 131.
menumen Hindu seperti Candi Prambanan. Kerajaan Hindu Majapahit menjadi
kerajaan yang sangat kokoh dan disegani di Nusantara. Sejak wafatnya Gadjah
Mada, majapahit begitu kokoh dan mulai melemah serta mulai merosot ketika
kerajaan Islam mulai berkembang di Demak.24 Relief budaya Hindu hingga kini
yang masih terpelihara baik di Bali (Pura).
Selain itu, bahasa Sangsekerta juga berpengaruh kuat seperti contoh
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Eka Karsa, Panca Satya dan sebagainya
membuktikan bahwa bahasa Sangsekerta sudah mengakar di masyarakat
Indonesia. Huruf ha, na, ca, ra, ka, yang didasarkan pada huruf Dewa Negari
yang disebut dengan aksara digunakan untuk penulisan kitab Weda dan dokumen
resmi kerajaan yang hingga kini masih dapat dilihat di perpustakaan. Di Bali,
tulisan pada daun lontar yang menggunakan huruf caraka masih tersimpan di
beberapa musium dan monumen.
4. Perkembangan Budaya Budha
Agama Budha yang didirikan oleh Sang Budha, Shiddharta Gautama datang
ke Indonesia secara penetration pacifique melalui perdagangan yang dilakukan
oleh orang India dan Tiongkok. Agama Budha lebih menekankan pada moral
atau etika yang sangat berguna bagi penguasaan diri pribadi, menuntun manusia
untuk berbuat baik terhadap sesamanya supaya dapat mencapai Nirwana yaitu
24
Karim, Islam, 132.
kehidupan abadi tanpa penderitaan.25 Ajaran Budha mendorong manusia untuk
mengingatkan budi daya agar kehidupan manusia lebih terangkat dan mencapai
kebahagiaan. Manusia mencapai ketinggian derajat karena budi dan dayanya.
Penyiaran agama yang dilakukan oleh para pedagang mendapat sambutan baik ,
karena ajarannya memandang manusia mempunyai derajat yang sama dan
meninggalkan pembagian kasta seperti dalam agama Hindu. Banyak diantara
masyarakat Indonesia yang mau menerima agama Budha karena ajarannya sesuai
dengan jalan pikiran masyarakat Indonesia. Ajarannya mengenai perjuangan
untuk mencapai Nirwana harus sengsara dan benar-benar mendorong manusia
untuk tahan derita.
Candi Borobudur merupakan menumen yang paling mencolok dari agama
Budha. Candi Borobudur melambangkan falsafah agama Budha yang sebenarnya
membuktikan kemegahan ajaran Budha. Peninggalan Gautama berupa selendang,
cupak, tongkat dijadikan pola dasar dari bentuk candi tersebut. Selendang
digambarkan sebagai alas, cupak yang terbalik merupakan bentuk kubah,
sedangkan tongkat tertancap pada cupak berdiri tegak menuju langit
menggambarkan kehidupan fana di dubia dan keadilan di Nirwana.26 Antara
ajaran Budha dan Hindu sulit dipisahkan, terutama dalam kehidupan masyarakat
Bali yang mana upacara keagamaan mereka seolah tercampur antara ajaran
Hindu dan Budha. Juga pada kehidupan agama Hindu dan Budha di Indonesia
25
James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. II (New York: Charles Scribner’s, 1953), 881
26
Karim, Islam, 135.
berkembang secara damai. Pengaruh ajaran keduanya adalah tentang moral. Saat
Islam datang ke Indonesia, ajaran moral yang ditanamkan oleh pemeluk agama
Budha yang tidak bertentangan justru memperlancar meresapnya ajaran Islam di
sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
5. Perkembangan Budaya Islam
Pengaruh Islam dalam masyarakat di pesisir utara pulau Jawa lebih menonjol
dibandingkan dengan penduduk Jawa di pesisir selatan. Hal ini menunjukkan
hubungan perdagangan di pulau Jawa saat itu cukup ramai, sehingga Islam lebih
banyak meresap, sedangkan dibagian selatan pulau Jawa kontak budaya sangat
jarang terjadi, sehingga pengaruh Islam pun kurang mendalam. Hal ini
dibuktikan dengan kraton Yogyakarta dan Solo yang terletak dibagian selatan
pulau Jawa yang masih bertahan dengan kebudayaan Jawa membuktikan bahwa
kontak budaya memberikan peluang besar bagi pengaruh budaya. Di sisi lain di
pesisir utara sudah banyak dipengaruhi oleh Wali Songo.
Islam dan ujud formasi keagamaannya pun tidak mungkin memaksakan diri
untuk menolak budaya yang ada di Nusantara. Peran penting sejarah Islam pada
awal perkembangannya di Indonesia dimainkan secara apik oleh para wali dan
ulama, sehingga sifat Islam yang akomodatif tersebut dapat diterima dengan
mudah oleh masyarakat setempat. Salah satu budaya yang penting adalah tradisi
wayang yang telah dikemas sedemikian rupa oleh para wali sehingga mampu
Islam.27 Sepanjang catatan sejarah menyebutkan bahwa penyebaran agama Islam
di kepulauan Indonesia adalah melalui media perdagangan. Dengan proses yang
sering kita sebut dengan Penetration Pacifique (secara damai). Dapat dikatakan
pula bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak didasarkan atas misi atau
dorongan kekuasaan, akan tetapi penyebaran Islam berlangsung secara
perlahan.28 Agama Islam berinteraksi dengan berbagai budaya lokal tertentu
terdapat kemungkinan Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan justru malah
memperbarui budaya lokal, mungkin pula Islam yang justru diwarnai oleh
budaya lokal. Melalui hal itu timbulah istilah proses lokalisasi (Jawanisasi)
dimana unsur-unsur Islam yang dalam sastra budaya Jawa melahirkan Islam
Kejawen.29
Interaksi antara Islam dengan budaya setempat membuat masyarakat Jawa
mengadopsi kepercayaan atau ritual dan tradisi dari agama lain termasuk tradisi
Hindu-Budha yang dianggap sesuai alur pemikiran mereka.30 Meskipun mengaku
sebagai Islam, tetapi mereka juga meletakkan Yasinan dan Tahlilan ketika di
undang slametan oleh tetangga dan kerabatnya, menghadiri pengajian di hari-hari
besar Islam atau malam Suro mengeramatkan keris serta benda pusaka lainnya
dan masih banyak lagi. Hal ini mereka lakukan dalam rangka mencari kedamaian
dan ketenangan dalam menghadapi ketegangan akibat munculnya berbagai
27
Pengantar Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif “ Sublimitas Indonesia” dalam Abdul Karim, Islam Nusantara: Pengaruh Keislaman dalam Sejarah Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), X.
28
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1979), 260. 29
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), 8. 30
Jamil, Islam, 86.
macam problematika kehidupan yang tak kunjung usai. Dengan demikian sadar
atau tidak mereka masih menerpkan budaya Hindu-Budha dalam ajaran agama
Islam.
C. Hubungan Agama Islam dengan Budaya Nusantara
Ketika Islam masuk ke Nusantara ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama,
pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur.
Dalam bidang politik antara lain ditandai dengan jatuhnyan dinasti Abbasiyah
oleh serangan Mongol pada 1258 M dan tersingkirnya dinasti Al-Ahmar di
Andalusia oleh gabungan tentara Arogan dan Castella pada 1492 M. Kedua,
sebelum datangnya Islam ke Nusantara agama Hindu-Budha dan kepercayaan
asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan
masyarakat Nusantara, khususnya di Jawa. Upacara-upacara seperti nelung dino,
mitung dino, matang puluh, nyatus, mendhak, sewu yang merupakan tradisi pra
Islam dalam rangka menghormati kematian sesorang tidak begitu saja
dihilangkan oleh para mubaligh, tetapi dibiarkan berlanjut dengan diwarnai dan
diisi dengan unsur-unsur dari agama Islam.
Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan budaya setempat
membawa dampak negatif yaitu singkritisme. Secara etimologis, singkritisme
mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.31 Singkritisme dalam
agama adalah suatu sikap yang mencampuradukkan antara Islam dengan
kepercayaan-kepercayaan lain, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar
ajaran Islam dan mana pula yang berasal dari tradisi. Namun terdapat sisi
positifnya yaitu ajaran yang disingkritismekan tersebut telah menjadi jembatan
yang memudahkan masyarakat Nusantara khususnya Jawa dalam menerima
Islam sebagai agama mereka yang baru.
Selain itu, budaya yang berkembang di Indonesia juga merupakan proses
dari akulturasi berbagai macam budaya. Akulturasi adalah percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.32 Dalam
beberapa aspek proses akulturasi budaya terjadi secara damai (penetarion
pacifique) satu sisi ada kalanya budaya Islam yang dominan, tapi sisi lain budaya
asli mendominasi percampuran budaya itu. Proses percampuran berbagai macam
budaya itu dapat ditemukan sebagai berikut:
a) Didominasi oleh budaya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ritual Islam, seperti
peralatan yang digunakan saat sholat (sajadah, tasbih dan sebagainya),
kelembagaan zakat, waqaf, dan perurusan pelaksanaan haji.
b) Percampuran antara kedua budaya seperti bangunan masjid, bentuk joglo,
pakaian, lagu kasidah, tahlil dan sebagainya.
31
Ibid., 87. 32
KBBI, 65.
c) Membentuk corak kebudayaan sendiri, seperti sistem pemerintahan (Pancasila),
sistem permusyawaratan dan sebagainya.33
Dalam proses ini adakalanya budaya yang lebih tinggi mengalahkan yang
lebih rendah, tetapi adakalanya pula terjadi akulturasi yang sama kuatnya
sehingga membentuk budaya baru yang masing-masing budaya ikut mewarnai
budaya yang baru. Dengan demikian berlaku ketentuan akulturasi budaya di
Indonesia terjadi melalui proses seleksi alam, yang mana yang sesuai akan tetap
bertahan sedangkan yang tidak akan tersisih.
Tradisi menyelaraskan antara Islam dan budaya telah berlangsung sejak awal
perkembangan Islam di Nusantara. Dalam kehidupan keberagaman,
kecenderungan untuk mengakomodasikan Islam dengan budaya setempat telah
melahirkan kepercayaan-kepercayaan serta upacara-upacara ritual sebagaimana
akan diuraikan pada bagian berikut:
1) Hubungan Budaya dengan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Setiap agama dalam atri seluas-luasnya tentu saja memiliki aspek
fundamental yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan
terhadap sesuatu yang sakral, yang suci, atau yang gaib. Dalam agama Islam
aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga
terdapatlah rukun iman yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus
dipercayai atau diimani oleh seorang muslim.34
33
Karim, Islam, 144. 34
Jamil, Islam, 122.
Yang termasuk rukun iman adalah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya,
para nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya, hari akhir (hari kiamat, surga dan neraka),
dan percaya kepada qodho’ dan qodar yakni ketentuan tentang nasib baik atau
buruk dari Allah.
Sementara itu, dalam budaya pra Islam yang bersumberkan dari ajaran
Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti Dewa Brahma,
Dewa Wisnu, Dewa Siwa dan masih banyak para dewa-dewa lain. Demikian juga
terdapat kepercayaan terhadap kitab-kitab suci, oarang-orang suci (para resi),
roh-roh jahat, lingkatan penderitaan (samsara), hukum karma, dan hidup bahagia
abadi (moksa). Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat
kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab
penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan).
Kelepasan yang dimaksud adalah Nirwana, dan untuk sampai ke Nirwana harus
mencapai delapan jalan kebenaran, semacam rukun iman juga terdapat dalam
agama Budha. Meskipun semula agama ini tidak jelas konsep ketuhanannya,
tetapi dalam perkembangannya agama Budha juga percaya kepada Tuhan yang
disebut Sang Hyang Adi Budha.35
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme,
kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni karena tercampur
dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat. Arti keramat
disini bukan hanya sekedar berarti mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magis
35
sebagai sesuatu yang sakral bersifat illahiyah. Dalam tradisi Nusantara terdapat
berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Ada juga yang disebut azimat, pusaka
dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, batu akik dan lain sebagainya.
Barang peninggalan para raja-raja di Nusantara yang disebut sebagai benda
pusaka. Begitu juga kuburan-kuburan ataupun petilasan-petilasan, hari-hari
tertentu, dipandang memiliki barokah atau juga bisa membawa kesialan.
Barang-barang tersebut dianggap sebagai penghubung atau wasilah dengan Allah. Oleh
karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantera, ayat-ayat suci
Al-Qur’an atau huruf-huruf Arab menjadi rajahan yang diyakini memiliki nilai yang
sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung dalam ayat-ayat itu melainkan
dari daya gaibnya.
2) Hubungan Budaya dan Islam dalam Aspek Ritual
Agama Islam mengajarkan kepada para pemeluknya melakukan
kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu
meliputi sebagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersampul dalam rukun Islam
yakni syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Khusus mengenai sholat dan puasa
disamping terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib di bulan Ramadhan,
terdapat pula sholat-sholat dan puasa-puasa sunnah. Aspek sholat dan puasa
tempak mempunyai pengaruh yang sangat luas dan mewarnai sebagai bentuk
upacata tradisional penduduk Nusantara.
Bagi masyarakat Nusantara, dalam hidup penuh dengan upacara, baik
keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kemudian kanak-kanak, hingga remaja
sampai dewasa sampai pada kemtiannya. Atau juga upacara yang berkaitan
dengan aktifitas sehari-hari.
Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara yang disebut dengan
kenduren atau slametan. Dalam uapacara slametan ini yang pokok adalah
pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan
tentang Islam. Slametan adalah suatu uapacara makanan yang telah diberi doa
sebelum dibagi-bagikan. Slametan itu sangat erat hubungannya dengan
kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk halus. Sebab
hampi semua slametan hampir ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup.36
Berkaitan denga lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara, antara lain:
a) Upacara tingkeban atau mitoni dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan
dalam perut ibu.
b) Upacara kelahiran dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan
rambut pada saat bayi berumur tujuh hari. Dalam tradisi Islam upacara ini
disebut juga aqiqah dengan penyembelihan hewan aqiqah berupa kambing.
c) Upacara Sunatan dilakukan pada saat anak laki-laki berkhitan. Pelaksaan
khitanan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan
hukum Islam. Khitanan atau sunatan merupakan pernyataan pengukuhan
sebagai orang Islam.
36
d) Upacara perkawinan dilakukan pada saat pasangan memasuki jenjang rumah
tangga. Pada upacara perkawinan ini dilaksanakan dalam beberapa tahap,
yakni tahap sebelum akad nikah yaitu ngunduh manten, nduwe gawe hingga
resepsi pengantin.
e) Upacara kematian yang dilakukan setelah penguburan selama sepekan dan
tiap malam hari diadakan slametan mitung dino yaitu kirim doa dengan
didahului bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil dan sholawat Nabi yang
secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut tahlilan.37
Uraian tentang hubungan antara budaya Nusantara dan Islam dalam aspek
kepercayaan dan ritual di atas menunjukkan secara jelas bahwa memang terjadi
dalam kehidupan keberagamaan masyarakat Nusantara suatu upaya untuk
mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa pra Islam.
Upaya itu telah dilakukan sejak Islam mulai disebarkan oleh para mubaligh yang
tergabung dalam Walisongo dan dilanjutkan oleh para orang-orang keraton serta
dpraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Nusantara. Upaya ini
masih terus berproses hingga dewasa ini. Sebagian nilai-nilai Islam itu telah
menjadi bagian dari budaya Nusantara khususnya pada tanah Jawa. Kendati
demikian warisan nilai-nilai budaya pra Islam masih tampak meski dalam wadah
yang terlihat Islami.
1. Pengaruh Barat tergadap Islam dan Budaya Nusantara
37
Ibid., 348.
Hal yang menarik dengan masuknya pengaruh barat, para pendukung budaya
Islam Kejawen cepat menyesuaikan diri terhadap model pendidikan barat.
Karena golongan priyayi lebih diprioritaskan oleh Belanda sebagai pembantu
birokrasi pemerintahannya, maka golongan ini mudah menyesuaikan diri dengan
kemajuan peradaban barat, hingga dalam masa kemerdekaan merekalah yang
memegang tumpuk pimpinan negara.38
Adapun lingkungan budaya Islam pesantren bersifat sangat ekspresif dan
mengarah pada mitologisasi para wali yang konon menguasai berbagai macam
ilmu gaib (keramat). Lingkungan budaya Islam pesantren di Jawa pada dasarnya
bersifat tradisional dan lamban dalam menerima pengaruh budaya Barat. Apalagi
sistem guruisme dalam tradisi tarekat lebih menomorsatukan ilmu gaib hingga
sulit untuk mengembngkan daya kritis seperti dalam pendidikan model Barat.
Belum lagi naluri kepribumian yang anti barat membuat mereka enggan
memasukkan anak mereka ke sekolah-sekolah belanda.
Di Indonesia, sikap elastis tampak mewarnai pemikiran kaum muslim yang
menganut rasionalisasi. Dari sikap mereka terhadap terjadinya akulturasi, umat
Islam di Indonesia pada umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan:
a. Golongan Modern, yang menghendaki agar pelaksanaan keagamaan yang
bersifat akidah dan ibadah diamalkan sesuai dengan ajaran aslinya.39
38
Simuh, Islam, 112.
39
Muchtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), 145. Dan Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 43.
b. Golongan Tradisional