SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Pada Program S1 Keperawatan
Oleh :
ADE SUPRIATNA
NIM : 11SP277001
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
ABSTRACT
Background : According to the WHO ( 2014 ), in 2013, there were 145 700 measles deaths from complications of the disease globally, about 400 deaths every day or 16 deaths every hour. This disease remains one of the main causes of death among children globally even though the vaccine is safe, effective, cost-effective and available. Approximately 145 700 people die from complications of measles by the year 2013 the majority of children under the age of 5 years. Measles is caused by the measles virus belonging to the paramyxovirus family and is usually transmitted through direct contact and through the air. The virus infects mucous membranes, and then spread throughout the body.
Objective: To identify factors - factors related to the occurrence of measles at children in District Health Clinics Sukamantri Ciamis regency with involving a sample of 46 childhood ≥ 9 months to 15 years who visited District Health Clinics Sukamantri Ciamis, kids where the measles as case not as much as 23 kids and as measles control as much as 23 child.
Materials and Methods : This study used a case-control study design with a retrospective approach. Data were obtained by collecting secondary data and primary data by direct interviews and statistical analysis to test a number of hypotheses.
Result : Results of bivariate analysis, showed that immunization status (OR=0.074, 95% CI 0.018-0.309 and ρ-value=0.000), nutritional status (OR=18.889, 95% CI 4.093-87.172 and ρ-value=0.000), age factor (OR=0.020, 95% CI 0.003-0.122 and ρ-value=0.000), and contact history (OR=6.750, 95% CI 1.820-25.035 and ρ-value=0.003) had a significant association with the incidence of measles in children in sub-district Puskesmas Sukamantri Ciamis District. Conclusions : Children who have a complete immunization status can reduce the risk of measles at 14.808 times. Children who have poor nutrition status may heighten the risk of measles incidence of 17.338 times. The farther the age of primary immunization period, the higher the risk of measles at 25.322 times. History of contact with measles can heighten the risk of the incidence of measles by 8.846 times.
Keywords : immunization status, nutritional status, age factor, history contacts, events measles
1 A. Latar Belakang Masalah
Penyakit campak merupakan penyebab kematian pada anak-anak di
seluruh dunia yang terus meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan
setiap tahun terdapat 30 juta orang yang menderita campak. Pada tahun
2002, dilaporkan ada 777.000 kematian karena komplikasi penyakit campak
di seluruh dunia, 202.000 kematian diantaranya berasal dari negara ASEAN,
serta 15% dari kematian karena komplikasi campak tersebut berasal dari
Indonesia. Di Indonesia diperkirakan lebih dari 30.000 anak meninggal setiap
tahun karena komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit campak. Ini berarti
setiap 20 menit terjadi 1 kematian anak karena komplikasi penyakit campak
di Indonesia (Fadhilaharif 2007, dalam Mariati 2012).
Pada tahun 2013, ada 145.700 kematian akibat komplikasi penyakit
campak secara global, sekitar 400 kematian setiap hari atau 16 kematian
setiap jam. Penyakit ini tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian
di kalangan anak-anak secara global meskipun vaksin yang aman, hemat
biaya dan efektif telah tersedia. Sekitar 145.700 orang meninggal akibat
komplikasi penyakit campak pada tahun 2013 sebagian besar anak-anak di bawah usia 5 tahun. Campak disebabkan oleh virus campak yang tergolong
dalam family paramyxovirus dan biasanya ditularkan melalui kontak langsung
dan melalui udara. Virus menginfeksi selaput lendir, kemudian menyebar ke
Pada tahun 2013, di Indonesia dilaporkan terdapat 11.521 kasus campak,
lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 15.987 kasus. Jumlah kasus meninggal akibat komplikasi campak sebanyak 2 kasus, yang
dilaporkan dari Provinsi Aceh dan Maluku Utara. Incidence rate (IR) campak
pada tahun 2013 sebesar 4,64/100.000 penduduk, menurun dibandingkan
tahun 2012 yang sebesar 6,53/100.000 penduduk (Profil Kesehatan
Indonesia, 2013).
Pada tahun 2013, di Indonesia jumlah KLB campak yang terjadi sebanyak
128 KLB dengan jumlah kasus sebanyak 1.677 kasus. Berdasarkan
konfirmasi laboratorium, 24 kejadian (18,8%) diantaranya merupakan rubella.
Frekuensi KLB campak tertinggi terjadi di Banten sebanyak 36 kejadian
dengan 247 kasus. Namun Provinsi dengan jumlah kasus terbanyak terjadi di
Lampung yaitu sebesar 309 kasus pada 8 KLB. Diikuti Jawa Barat sebanyak
18 KLB dengan 205 kasus dan Sumatera Barat serta Jawa Tengah
masing-masing 9 KLB (Kemenkes RI, 2014).
Tahun 2014, di Indonesia kasus campak yang rutin dilaporkan sebesar
12.222 kasus. Kasus campak rutin tersebut terbanyak dilaporkan dari
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (1.749 kasus), Daerah Istimewa
Yogyakarta (1.222 kasus), Jawa Timur (1.071 kasus). Dari seluruh kasus
campak rutin tersebut, ada 7 kasus meninggal, yang dilaporkan dari Provinsi Riau (3 kasus), Kepulauan Riau (2 kasus), Sumatera Selatan (1 kasus)
Provinsi Kalimantan Timur (1 kasus). KLB campak dapat terjadi apabila ada 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut‐turut yang terjadi mengelompok dibuktikan ada hubungan epidemiologi. Frekuensi KLB
dengan jumlah kasus sebanyak 2.104 kasus. Frekuensi KLB jumlah kasus
pada KLB campak mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 kasus KLB yang telah dikonfirmasi laboratorium adalah
positif campak dengan jumlah 80 kasus, sedangkan kasus rubella sebanyak
7 kasus (Ditjen P2PL, 2015).
Pada tahun 2012 di Provinsi Jawa Barat berdasarkan resume Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Barat jumlah kasus campak ada 1.954 kasus terjadi
pada perempuan dan 2.184 kasus terjadi pada laki-laki, sehingga total
kejadian kasus campak di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 ada 4.138
kasus, sedangkan di Kabupaten Ciamis jumlah kasus campak ada 37 kasus
terjadi pada perempuan dan 23 kasus pada laki-laki, sehingga total kejadian
kasus campak di Kabupaten Ciamis pada tahun 2012 ada 60 kasus (Dinkes
Jabar, 2012).
Menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2014) terdapat
671 kasus campak di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013. Di Kabupaten
Ciamis pada tahun 2013 terdapat 107 kasus campak, sedangkan pada tahun
2014 terdapat 153 kasus campak, diantaranya 79 kasus pada laki-laki dan 74
kasus pada perempuan (Dinkes Jabar, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Ciamis bahwa pada tahun 2012 dilaporkan ada 3 kasus campak, diantaranya 1 kasus terjadi di Puskesmas Ciamis, 1 kasus di Puskesmas Gardujaya, dan
1 kasus di Puskesmas Panjalu (Dinkes Kabupaten Ciamis, 2012).
Tahun 2013 dilaporkan ada 12 kasus campak, diantaranya 1 kasus di
Puskesmas Sadananya, 1 kasus di Puskesmas Ciamis, 2 kasus di
Puskesmas Sidaharja dan 5 kasus di Puskesmas Kalipucang (Dinkes
Kabupaten Ciamis, 2013).
Tahun 2014 di wilayah Puskesmas Kabupaten Ciamis dilaporkan ada 27
kasus campak, diantaranya 5 kasus di Puskesmas Jatinagara, 5 kasus di
Puskesmas Ciawitali, 4 kasus di Puskesmas Cipaku, 3 kasus di Puskesmas
Cijengjing dan kasus tertinggi ada di Puskesmas Sukamantri yaitu sebanyak
10 kasus. Dengan demikian kasus campak di wilayah Puskesmas Kabupaten
Ciamis telah terjadi peningkatan dari tahun ke tahun selama 2012-2014
(Dinkes Kabupaten Ciamis, 2015).
Tabel 1.1
Daftar Kejadian Campak di Kabupaten Ciamis Tahun 2011 – 2014
No Puskesmas Kejadian Campak
2011 2012 2013 2014
1 Jatinagara - - - 5 kasus
2 Ciawitali - - - 5 kasus
3 Sukamantri 117 kasus - - 10 kasus
4 Cipaku - - - 4 kasus
5 Cijengjing - - - 3 kasus
6 Sadananya - - 1 kasus -
7 Ciamis - 1 kasus 1 kasus -
8 Cigayam - - 2 kasus -
9 Panawangan - - 1 kasus -
10 Sidaharja - - 1 kasus -
11 Gardujaya - 1 kasus 1 kasus -
12 Kalipucang - - 5 kasus -
13 Panjalu - 1 kasus - -
Jumlah 117 kasus 3 kasus 12 kasus 27 kasus
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis 2015
Sekitar 1,7 juta kematian yang terjadi pada anak atau 5% pada balita di
Indonesia disebabkan oleh komplikasi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) diantaranya seperti komplikasi penyakit campak
merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan demikian cakupan imunisasi harus
dipertahankan lebih tinggi dan lebih merata hingga mencapai tingkat
population immunity (kekebalan masyarakat), sementara kegagalan untuk
menjaga tingkat cakupan imunisasi yang tinggi dan merata akan dapat
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) seperti kejadian campak (Depkes, 2007).
Faktor-faktor kejadian campak menurut Ahmadi dan Suardiyasa (2008)
dalam Mariati (2012) diantaranya terjadi karena faktor status imunisasi, status
gizi, faktor umur dan riwayat kontak.
Data Riset Kesehatan Dasar (2013),”Menyebutkan beberapa alasan anak
tidak diimunisasi antara lain karena takut anaknya panas, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, kesibukan orang tua, seringnya anak
sakit, dan tidak tahu tempat imunisasi, ujar Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr.
dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), pada pembukaan kegiatan Workshop Peningkatan Kesehatan Ibu dan Imunisasi di Jakarta” (Riskesdas, 2013).
Meski capaian imunisasi campak di Indonesia telah mencakup 90%, pada
tahun 2013 WHO melaporkan terdapat sekitar 6.300 kasus campak di
Indonesia. Melihat kondisi tersebut, yakni adanya peningkatan pencapaian
imunisasi campak yang mencapai Universal Child Immunization (UCI), di sisi
lain masih terjadi kasus campak di masyarakat.
Vaksinasi campak menghasilkan penurunan 75% dalam kematian akibat komplikasi campak antara tahun 2000 dan 2013 di seluruh dunia. Pada tahun
2013, sekitar 84% dari anak-anak di dunia menerima satu dosis vaksin
campak saat ulang tahun pertama mereka melalui pelayanan kesehatan
rutin, naik dari 73% pada tahun 2000. Selama 2000-2013, vaksinasi campak
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Ciamis (2015) target jumlah sasaran bayi yang diimunisasi campak di seluruh Puskesmas Kabupaten Ciamis pada tahun 2012 sebanyak 31.744 orang,
sedangkan pencapaiannya sebanyak 28.911 orang (91,08%), tahun 2013
jumlah sasaran bayi yang diimunisasi campak sebanyak 28.038 orang,
sedangkan pencapaiannya sebanyak 20.990 orang (74,86%), tahun 2014
jumlah sasaran bayi yang diimunisasi campak sebanyak 23.570 orang,
sedangkan pencapaiannya sebanyak 20.223 orang (85,80%) (Dinkes
Kabupaten Ciamis, 2015).
Campak berat kemungkinan terjadi diantara anak-anak kurang gizi,
terutama mereka yang kurang vitamin A, atau yang sistem kekebalan
tubuhnya telah dilemahkan oleh HIV/AIDS atau penyakit lain. Komplikasi
yang paling serius termasuk kebutaan, ensefalitis (infeksi yang menyebabkan
pembengkakan otak), diare berat dan dehidrasi terkait, dan infeksi
pernafasan parah seperti pneumonia (WHO, 2014).
Menurut Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis (2014), dilaporkan
data sebagai berikut :
1) Berat badan bayi lahir rendah sebanyak 929 orang (4,55%).
2) Balita gizi baik sebanyak 73.508 orang (90,04%).
3) Balita gizi kurang sebanyak 3.949 (4,84%). 4) Balita gizi buruk sebanyak 106 orang (0,13%).
Kekurangan gizi pada usia dini akan berimplikasi pada perkembangan
anak dan selanjutnya perkembangan potensi diri pada usia produktif, ujar
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan
Nutrition Report (GNR), di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin pagi (9/2).
Menurutnya, masalah gizi di Indonesia dipengaruhi banyak faktor, diantaranya kemiskinan, kesehatan, pangan, pendidikan, air bersih, keluarga
berencana, dan faktor lainnya. Oleh karena itu permasalahan perbaikan gizi
masyarakat merupakan upaya dari berbagai sektor yang membutuhkan
sinergi dan harus terkoordinasi (Kemenkes, 2015).
Menurut kelompok umur sebagian besar kasus campak menyerang anak‐ anak usia pra sekolah usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5‐9 tahun (3.591 kasus) sedangkan pada kelompok umur 1‐4 tahun (3.383 kasus). Banyaknya kasus campak pada kelompok umur ≥5 tahun disebabkan karena telah terjadi akumulasi
kelompok rentan terkena campak dari tahun ke tahun. Campak dinyatakan
sebagai KLB apabila terdapat 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu
berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan
epidemiologis (Dirjen P2PL, 2015).
Riwayat alamiah penyakit campak diantaranya yaitu riwayat kontak,
adanya interaksi antara orang yang beresiko terkena campak (host) seperti
anak di bawah 5 tahun, orang yang terganggu sistem kekebalannya,
penderita kurang gizi dan kurang vitamin A serta ibu hamil dengan virus
rubeola (agent) kemudian dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang kurang
baik. Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel
dan berbiak pada epitel nasofaring. 3 hari setelah invasi, replikasi dan
kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang
Berdasarkan studi pendahuluan yang didapatkan pada tanggal 12 Maret
2015 dilaporkan bahwa di wilayah Puskesmas Kecamatan Sukamantri dilaporkan ada 127 kasus campak selama periode 2011-2014. Target
imunisasi campak di Puskesmas Sukamantri pada tahun 2012 sebanyak 610
orang sedangkan pencapaiannya sebanyak 538 orang (88,20%), tahun 2013
sebanyak 447 orang sedangkan pencapaiannya sebanyak 457 orang
(102,31%) dan tahun 2014 sebanyak 480 orang sedangkan pencapaiannya
sebanyak 406 orang (84,58%). Di Puskesmas Kecamatan Sukamantri
Kabupaten Ciamis tahun 2014 terdapat 10 orang yang terkena kasus
campak, pada dasarnya tidak ada riwayat pemberian imunisasi campak
sebanyak 8 orang, namun peneliti juga menemukan bahwa terdapat sejumlah
anak yang mempunyai riwayat imunisasi campak sebanyak 2 orang juga
terkena penyakit campak.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa kondisi ini mungkin
berhubungan dengan beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya
kasus campak. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul : “Faktor – Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Campak Pada Anak Di Wilayah Puskesmas Sukamantri Kabupaten Ciamis”. Hal ini juga didasarkan belum banyaknya penelitian
tentang kejadian campak, bahkan untuk Kabupaten Ciamis sendiri pengetahuan situasi penyakit campak hanya sebatas evaluasi program.
Pertimbangan lain karena penyakit campak masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat terutama di Kabupaten Ciamis dan belum ada upaya
untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang diduga sebagai faktor
B. Rumusan Masalah
“Apa saja Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Campak
Pada Anak Di Puskesmas Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis” ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
campak pada anak di Puskesmas Kecamatan Sukamantri Kabupaten
Ciamis.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi hubungan status imunisasi dengan kejadian campak
pada anak di Puskesmas Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis.
b. Mengidentifikasi hubungan status gizi dengan kejadian campak pada
anak di Puskesmas Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis.
c. Mengidentifikasi hubungan faktor umur dengan kejadian campak pada
anak di Puskesmas Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis.
d. Mengidentifikasi hubungan riwayat kontak penderita campak dengan
kejadian campak pada anak di Puskesmas Kecamatan Sukamantri
Kabupaten Ciamis.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan
meningkatkan kemampuan meneliti penulis, dalam bidang kesehatan
masyarakat khususnya yang berhubungan dengan penyakit campak.
b. Bagi Kampus STIKes Muhammadiyah Ciamis
Menambah perbendaharaan penelitian dan menambah informasi bagi
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Ciamis mengenai
kondisi kesehatan masyarakat khususnya yang berhubungan dengan
penyakit campak di Kabupaten Ciamis.
c. Bagi Puskesmas Kecamatan Sukamantri
Diharapkan berguna untuk Puskesmas Sukamantri dalam
menanggulangi kejadian campak dan untuk profesi keperawatan di
Puskesmas Sukamantri.
d. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis
Menambah informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis
mengenai kondisi kesehatan masyarakat dan bisa digunakan sebagai
masukan untuk melakukan upaya pemberantasan dan pencegahan
dalam program yang berhubungan dengan penyakit campak di
Kabupaten Ciamis.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kejadian campak yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya dengan fokus penelitian serta tempat yang berbeda adalah
Imunisasi Campak Dengan Kejadian Campak di Kabupaten Banyumas
dengan menggunakan analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan bermakna secara statistik (OR =3,085, 95%CI 1,793-5,307 dan p =0,00)
antara ketepatan imunisasi campak dengan kejadian penyakit campak pada
balita di Kabupaten Banyumas.
Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya yaitu mengenai kejadian campak, variabel bebas
status imunisasi. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang
akan penulis lakukan adalah variabel bebas status gizi, faktor umur dan
riwayat kontak, jenis penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol
(case control study) dengan pendekatan retrospektif. Tujuan dalam penelitian
ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
campak pada anak di wilayah Puskesmas Kecamatan Sukamantri Kabupaten
Ciamis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di wilayah
12 A. Tinjauan Teori
1. Campak
a. Pengertian
Penyakit campak (Rubeola, campak 9 hari, measles) adalah suatu
infeksi virus yang sangat menular, ditandai dengan demam, batuk,
konjungtivis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva).dan ruam
kulit (Wikipedia, Maret 2015).
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus
campak. Penyebaran infeksi terjadi dengan perantara droplet, dengan
masa inkubasi 10-14 hari. Penyakit ini sangat infeksius, dapat
menular sejak awal masa prodromal berlangsung 2-4 hari yang
ditandai dengan demam yang diikuti dengan batuk, coryza (pilek), dan
atau konjungtivitis. Ruam campak adalah berupa erupsi
makulo-papular yang biasanya bertahan selama 5-6 hari, yang dimulai dari
batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah dan
leher. Setelah 3 hari ruam ini berangsur-angsur akan turun ke bawah
dan akhirnya akan sampai di tangan dan kaki.
Campak dapat merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat
menimbulkan komplikasi seperti otitis media (2,5%) dan
bronkopneumonia (4%). Ensefalitis akut terjadi pada 2-10/10.000
kasus dengan angka kematian 10-15 %, 15-40% kasus yang hidup akan menderita kerusakan otak permanen. Subacute sclerosing
timbulnya lambat dan terjadi kira-kira 1/25.000 kasus. Komplikasi
SSPE menyebabkan kerusakan otak yang progresif dan biasanya fatal. Komplikasi campak akan lebih berat terjadi pada pasien dengan
penyakit kronis dan anak kecil, keadaan ini sering terjadi di negara
berkembang (IDAI, 2005).
Campak sering juga dikenal dengan nama Rubeola atau Morbili
(Latin) atau Measles (Inggris) atau Gabag/Gabagen (Jawa) atau Tampek (Sunda) adalah penyakit yang sangat menular dan akut serta
menyerang hampir semua anak kecil yang disebabkan infeksi virus
akut yang tergolong dalam family Paramixovirus yaitu genus
Morbilivirus, dengan gejala awal menyerupai selesma disertai konjungtivitas, sedang tanda khas berupa bintik koplik, walaupun
demikian jarang terdeteksi. Penyakit campak ditandai dengan 3 (tiga)
stadium yaitu : stadium prodromal, stadium erupsi, dan stadium
convalences.
Virus campak sangat menular dan dapat tetap demikian sampai 2
jam di udara atau di permukaan. Gejala campak adalah ruam, demam
tinggi, batuk, pilek, mata merah dan berair. Beberapa orang yang
terkena penyakit campak juga mendapatkan infeksi telinga, diare,
atau infeksi paru-paru yang serius, seperti pneumonia. Meskipun kasus berat langka, campak dapat menyebabkan pembengkakan otak
dan bahkan kematian.apabila terjadi komplikasi. Campak akan
berdampak sangat parah pada bayi dan pada orang yang kurang gizi
atau yang sistem kekebalannya melemah seperti dari infeksi HIV,
Biasanya penyakit ini terjadi pada masa anak-anak dan kemudian
menyebabkan kekebalan seumur hidup. Penyakit ini menyerang anak golongan umur 5-9 tahun, tetapi di negara-negara yang belum
berkembang, insidensi tertinggi 2 (dua) tahun.
Untuk kepentingan surveilans Departemen Kesehatan RI
mendefinisikan penyakit campak sebagai berikut :
1) Tersangka Campak (suspected measles case) yaitu kasus
campak dengan gejala-gejala bercak kemerahan di tubuh
didahului dengan demam/panas, batuk, filek, dan mata merah.
2) Kasus Klinis Campak (menurut WHO) yaitu kasus dengan
gejala-gejala bercak kemerahan di tubuh terbentuk makulo papular
selama 3 (tiga) hari atau lebih disertai panas badan 38oC atau
lebih dan disertai salah satu gejala batuk, pilek atau mata merah.
3) Kasus Campak Konfirmasi (confirmed measles case), yaitu kasus
klinis campak disertai salah satu kategori : Pemeriksaan
labolatorium serologis positif campak, ditemukan koplik spot, atau
meninggal karena kasus campak.
b. Etiologi
Campak, rubeola (bukan rubella = campak Jerman), atau measles
di beberapa daerah disebut juga sebagai tampek, dabaken atau
morbili adalah penyakit infeksi yang menular atau infeksius sejak awal
masa prodromal, yaitu kisaran 4 hari pertama muncul ruam. Campak
disebabkan oleh paramiksovirus (virus campak). Penularan terjadi
melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan
hari sebelum gejala muncul. Kekebalan terhadap campak diperoleh
setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif bayi lahir dari ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang
rentan terhadap campak adalah bayi berumur > 1 tahun, bayi yang
tidak mendapat imunisasi, remaja, dan dewasa muda yang belum
mendapatkan imunisasi kedua (Wikipedia, 2015).
c. Patofisiologi
Infeksi virus campak berdasarkan klasifikasi infeksi adalah jenis
infeksi stadium lambat dan infeksi umum (sistemik) berdasarkan
klasifikasi biologik. Interaksi sel hospes virus jenis ini merupakan jenis
yang dapat atau tidak dapat menyebabkan kematian sel. Namun
demikian, pelepasan virus ekstra seluler terjadi sebagai kejadian
terkait membran, dan virus dilepaskan ke dalam cairan ekstra seluler melalui proses “perkuncupan” (“budding”) pada permukaan sel. Pada
infeksi umum (sistemik), gambaran penyakit tampaknya tidak hanya
berkaitan dengan penyebaran virus dan kematian sel, tetapi ditambah
beberapa manifestasi yang mungkin disebabkan karena
hipersensitivitas, misalnya bintik-bintik merah.
Terjadi eksudat yang serius dan ploriferasi sel mononukleus dan
beberapa sel polimorfonukleus di sekitar kapiler adalah sebagai reaksi terhadap virus. Kelainan ini terdapat pada kulit, selaput lendir
nasofaring, bronkus dan konjungtiva.
d. Tanda dan Gejala
Menurut WHO tanda pertama campak biasanya demam tinggi,
berlangsung 4 sampai 7 hari. Sebuah pilek, batuk, mata merah dan
berair, dan bintik-bintik putih kecil di dalam pipi dapat berkembang pada tahap awal. Setelah beberapa hari, ruam meletus, biasanya
pada wajah dan leher bagian atas. Selama sekitar 3 hari, ruam
menyebar, akhirnya mencapai tangan dan kaki. Ruam berlangsung
selama 5 sampai 6 hari, dan kemudian memudar. Rata-rata, ruam
terjadi 14 hari setelah terpapar virus (dalam kisaran 7 sampai 18 hari).
Kebanyakan campak terkait kematian disebabkan oleh komplikasi
yang terkait dengan penyakit. Komplikasi lebih sering terjadi pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun, atau orang dewasa di atas usia 20
tahun. Campak berat kemungkinan terjadi diantara anak-anak kurang
gizi, terutama mereka yang kurang vitamin A, atau yang sistem
kekebalan tubuhnya telah dilemahkan oleh HIV/AIDS atau penyakit
lain. Komplikasi yang paling serius termasuk kebutaan, ensefalitis
(infeksi yang menyebabkan pembengkakan otak), diare berat dan
dehidrasi terkait, dan infeksi pernafasan parah seperti pneumonia
(WHO, 2014).
Dalam populasi dengan tingkat kekurangan gizi dan kurangnya
perawatan kesehatan yang memadai, hingga 10% dari kasus campak
mengakibatkan kematian. Wanita yang terinfeksi saat hamil juga berisiko komplikasi parah dan kehamilan mungkin berakhir dalam
pengiriman keguguran atau prematur. Orang-orang yang sembuh dari
campak kebal selama sisa hidup mereka (WHO, 2015).
Menurut wikipedia gejala penyakit ini mulai timbul dalam waktu
tenggorokan, pilek, batuk (cough), bercak koplik, nyeri otot, mata
merah (conjuctivitis) 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang
terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala di atas.
Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang mendatar)
maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya
ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di
leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke
batang tubuh, lengan dan kaki, sedangkan ruam di wajah mulai
memudar.
Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya 40℃. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya menurun, penderita mulai merasa membaik dan ruam yang tersisa
segera menghilang. Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang
radang dan merah selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama
4 hari hingga 7 hari (Wikipedia, 2015).
e. Masa Inkubasi
Masa inkubasi penyakit campak berada diantara 8-13 hari dengan
rata-rata 10 hari (Dirjen P2PL 2009), sedangkan menurut Setiawan
(2008), 10-14 mulai dari mendapat paparan sampai munculnya gejala
klinis. Gejala prodromal pertama penyakit adalah demam, lemas,
anoreksia, disertai batuk, pilek dan konjungtivitis dan berakhir 2
sampai 3 hari. Periode ini, mukosa pada pipi muncul lesi pucat kecil
campak yang biasa disebut koplik’s spots menurut Setiawan (2008)
dalam Mariati (2012).
f. Sumber, Cara dan Masa Penularan
Sumber penularan campak adalah manusia sebagai penderita.
Penularan dapat terjadi melalui batuk, bersin (sekresi hidung).
Penularan campak terjadi 1-3 hari sebelum panas (Dirjen P2PL,
2009).
Menurut Depkes (2008), ada beberapa cara dan masa penularan
penyakit campak yaitu:
1) Penularan dari orang ke orang melalui percikan ludah dan
transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau
sekresi hidung.
2) Masa penularan 4 hari sebelum bercak kemerahan/rash sampai 4
hari setelah timbul bercak kemerahan/rash, puncak penularan
pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu 1-3 hari pertama
sakit.
g. Pencegahan Penyakit Campak
Campak rutin vaksinasi untuk anak-anak, dikombinasikan dengan
kampanye imunisasi massal di negara-negara dengan kasus yang
tinggi dan tingkat kematian, adalah strategi kesehatan masyarakat kunci untuk mengurangi kematian akibat campak global. Vaksin
campak yang telah digunakan selama 50 tahun hal ini aman, efektif
dan murah. Biayanya sekitar $1 untuk mengimunisasi anak campak.
Vaksin campak sering digabungkan dengan rubella dan atau vaksin
sama efektif dalam bentuk tunggal atau kombinasi. Menambahkan
rubella terhadap vaksin campak meningkatkan biaya hanya sedikit,
dan memungkinkan untuk pengiriman dan biaya administrasi
bersama.
Pada tahun 2013, sekitar 84% dari anak-anak di dunia menerima
1 dosis vaksin campak dengan ulang tahun pertama mereka melalui
pelayanan kesehatan rutin naik dari 73% pada tahun 2000. Dua dosis
vaksin dianjurkan untuk memastikan kekebalan dan mencegah
wabah, seperti sekitar 15% anak-anak yang divaksinasi gagal
mengembangkan kekebalan dari dosis pertama (WHO, 2015).
Beberapa pencegahan penyakit campak :
1) Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)
Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit
yang masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum
tampak yang dapat dilakukan dengan memantapkan status
kesehatan balita dengan memberikan makanan bergizi sehingga
dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
2) Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mencegah seseorang terkena penyakit campak, yaitu :
a) Memberi penyuluhan terhadap masyarakat mengenai
pentingnya pelaksanaan imunisasi campak.
b) Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang
dianjurkan dengan alasan dapat melindungi sampai jangka
waktu 4-5 tahun.
3) Pencegahan Tingkat Kedua
Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit
sedini mungkin agar mendapatkan pengobatan yang tepat.
Dengan demikian pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat
menghambat atau memperlambat progrefisitas penyakit,
mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan kecacatan,
yaitu :
a) Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui
pemeriksaan fisik maupun darah.
b) Mencegah perluasan infeksi.
Anak yang menderita campak jangan masuk sekolah selama 4
hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak pada ruang
khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan
melakukan pemisahan penderita stadium kataral yakni dari
hari pertama hingga hari keempat setelah timbulnya rash yang
dapat mengurangi keterpajanan pasien-pasien dengan resiko
tinggi lainnya.
c) Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan penderita yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga
obat batuk. Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi
sekunder untuk mencegah agar tidak terjadi komplikasi.
d) Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
mengurangi terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis,
otitis media, pneumoni, ensefalomielitis, abortus dan
miokarditis.
4) Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang
dilakukan pada pencegahan tertier yaitu :
a) Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak
b) Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A
akan turun secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang
akan menurunkan imunitas mereka menurut Riesza (2006)
dalam Enida (2012).
h. Pengobatan Penyakit Campak
Komplikasi berat dari penyakit campak dapat dihindari melalui
perawatan suportif yang menjamin gizi yang baik, asupan cairan yang
cukup dan pengobatan dehidrasi dengan WHO-direkomendasikan
solusi rehidrasi oral. Solusi ini menggantikan cairan dan elemen
penting lainnya yang hilang melalui diare atau muntah. Antibiotik
harus diresepkan untuk mengobati mata dan infeksi telinga, dan
pneumonia. Semua anak-anak di negara berkembang yang
didiagnosis campak harus menerima dua dosis suplemen vitamin A,
diberikan 24 jam terpisah. Perawatan ini akan mengembalikan kadar
vitamin A rendah selama campak yang terjadi bahkan pada
dan kebutaan. Suplemen vitamin A telah terbukti mengurangi jumlah
kematian akibat komplikasi campak sebesar 50% (WHO, 2015). i. Epidemiologi
Penyakit campak sering terjadi pada anak usia dibawah 15 tahun
dengan angka kematian di Indonesia sebanyak 0,6% di tahun 1996.
Di daerah dengan cakupan imunisasi campak yang rendah selama
beberapa tahun akan terjadi akumulasi kelompok rentan campak
sehingga dapat menimbulkan KLB. Bagi penderita campak dengan
status gizi buruk sering menimbulkan komplikasi yang berat bahkan
kematian (Depkes, 2009). Indonesia termasuk dalam 47 negara
sebagai penyumbang kematian karena kasus campak di dunia.
Program imunisasi campak di Indonesia dimulai tahun 1982, dan
pada tahun 1991 Indonesia telah mencapai imunisasi dasar lengkap
Universal Child Immunization (UCI) secara nasional, meskipun
demikian masih ada beberapa daerah yang cakupan imunisasi
campaknya masih rendah sehingga sering terjadi kejadian luar biasa
(KLB) campak. Salah satu tahapan dalam upaya pemberantasan
campak ialah Tahap Reduksi Campak yang salah satu strateginya
ialah Surveilans menurut Dirjen P2PL (2009) dalam Mariati (2012).
j. Patogenesis
Campak terdiri dari 4 tahap : masa inkubasi, penyakit prodromal,
fase exanthematous, dan pemulihan. Selama inkubasi, virus campak
berpindah ke kelenjar getah bening regional. Sebuah terjadi kemudian
viremia primer yang menyebarkan virus ke system retikuloendotelial.
Penyakit prodromal mulai mengikuti viremia sekunder dan
berhubungan dengan nekrosis epitel dan pembentukan sel raksasa di jaringan tubuh. Sel yang dibunuh oleh fusi membran sel untuk sel
plasma yang berhubungan dengan replikasi virus yang terjadi pada
jaringan tubuh, termasuk sel-sel sistem saraf pusat (SSP). Virus
shedding dimulai pada fase prodromal. Dengan onset ruam, produksi
antibodi dimulai dan replikasi virus dan gejala mulai mereda. Campak
virus juga menginfeksi sel CD4 + T, mengakibatkan penekanan
respon imun Th1 dan banyak efek imunosupresif lainnya.
k. Infeksi Campak Tanpa Gejala
Pada individu dengan antibodi yang diperoleh secara pasif, seperti
bayi dapat terjadi suatu bentuk subklinis campak. Ruam mungkin
tidak jelas, singkat atau jarang. Demikian juga, beberapa individu
yang telah menerima vaksin saat terkena campak. Orang dengan
campak tanpa gejala atau subklinis tidak terjangkit virus campak dan
tidak menularkan infeksi untuk kontak rumah tangga. Pasien mulai
sakit demam tinggi dan sakit kepala diikuti dengan munculnya ruam
makulopapular pada ekstremitas yang menjadi petechial dan purpura
dan berkembang dalam arah sentripetal.
l. Penegakan Diagnosis Penyakit Campak
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan ruam kulit yang
khas. Pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya yaitu :
1) Pemeriksaan darah, pemeriksaan darah tepi,
3) Pemeriksaan komplikasi campak : enteritis, ensephalopati,
bronkopneumoni.
Konfirmasi serologi yang paling mudah dibuat oleh identifikasi
imunoglobulin M (IgM) antibodi dalam serum. Antibodi IgM muncul
bersamaan dengan munculnya ruam pada kulit dan pada sebagian
besar penderita dapat dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam pada
kulit Antibodi IgM cepat meningkat dan kemudian menurun sehingga
tidak dapat dideteksi sesudah 4-12 minggu. Jika spesimen serum
dikumpulkan <72 jam setelah onset ruam dan negatif untuk antibodi
campak, spesimen ulangi harus diperoleh. Konfirmasi serologi juga
dapat dilakukan dengan demonstrasi kenaikan 4 kali lipat pada
antibodi IgG dalam spesimen akut dan konvalesen diambil 2-4 minggu
kemudian. isolasi virus dari darah, urin, atau sekresi pernafasan dapat
dicapai oleh budaya di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) atau laboratorium lokal atau negara menurut Setiawan (2008)
dalam Mariati (2012).
Diagnosis kasus campak terdiri dari:
1) Kasus klinis adalah kasus yang menunjukkan gejala panas, rash
dan disertai salah satu gejala batuk, pilek atau mata merah.
2) Kasus konfirmasi adalah kasus klinis yang disertai hasil konfirmasi laboratorium serologis (IgM + atau kenaikan titer antibody 4 kali)
atau kasus campak yang mempunyai kontak langsung (hubungan
epidemiologi) dengan kasus konfirmasi dalam periode 1-2 minggu
Penegakan diagnosa lainnya berdasarkan adanya :
1) Anamnesis, tanda klinik dan tanda yang patognomonik.
2) Pemeriksaan serologik atau virologik yang positif (Darmowandowo
& Basuki, 2012).
m. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit viral dan bakterial yang memiliki gejala serupa
yang dikenal dengan measles like syndrome antara lain sebagai
berikut:
1) Rubella atau German measles disebabkan virus Rubella
Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran
kelenjar di daerah suboksipital, servikal bagian posterior, belakang
telinga.
2) Eksantema subitum
Ruam akan muncul bila suhu badan menjadi normal. Rubella
infantum (eksantema subitum) dibedakan dari campak dimana
ruam dari roseola infantum tampak ketika demam menghilang.
Ruam rubella dan infeksi enterovirus cenderung kurang mencolok
daripada ruam campak, sebagaimana tingkat demam dan
keparahan penyakit. Walaupun batuk ada pada banyak infeksi
ricketsia, ruam biasanya tidak melibatkan muka, yang pada
campak khas terlibat. Tidak adanya batuk atau riwayat injeksi
serum atau pemberian obat biasanya membantu mengenali
penyakit serum atau ruam karena obat. Meningokoksemia dapat
disertai dengan ruam yang agak serupa dengan ruam campak,
Pada meningokoksemia akut ruam khas purpura petekie.
Ruam papuler halus difus pada demam skarlet dengan susunan daging angsa di atas dasar eritematosa relatif mudah dibedakan.
Menurut Depkes (2008), diagnosis banding untuk campak
adalah :
1) Rubella (campak Jerman), terdapat pembesaran kelenjar
getah bening di belakang telinga.
2) DHF atau DBD, dalam 2-3 hari bisa terjadi mimisan, tes
turniket (Rumple Leede) positif, perdarahan diikuti shock,
laboratorium menunjukan trombosit < 100.000/ml dan
serologis positif IgM DHF.
3) Cacar air (varicella), ditemukan vesikula atau gelembung berisi
cairan.
4) Alergi obat, kemerahan di tubuh setelah minum obat / disuntik,
disertai gatal-gatal.
5) Miliaria atau keringat buntel : gatal-gatal, bintik kemerahan.
n. Komplikasi
Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang
berakibat serius. Berikut ini beberapa komplikasi yang bisa menyertai
campak menurut wikipedia (2015) :
1) Infeksi bakteri : Pneumonia dan infeksi telinga tengah.
2) Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit)
sehingga penderita mudah memar dan mudah mengalami
perdarahan.
Komplikasi biasanya sering terjadi pada anak-anak dibawah usia 5
tahun dan anak-anak dengan gizi buruk. Komplikasi dapat berupa radang telinga tengah, radang paru (pneumonia) atau radang otak
(ensefalitis). Kematian pada penyakit campak bukan karena penyakit
campaknya sendiri melainkan karena komplikasi dengan radang
otak/paru. Kesakitan dan kematian akibat campak pada pasien <5
tahun usia (terutama <1 tahun usia) dan orang-orang tahun 20> usia.
Komplikasi campak sebagian besar disebabkan oleh efek patogen
virus pada saluran pernafasan (pneumonia) dan sistem kekebalan
tubuh. Pneumonia adalah penyebab paling umum kematian pada
campak. Patogen bakteri yang paling umum adalah S. pneumoniae,
H. influenzae, dan S. aureus. Obliterans bronchiolitis. Croup, trakheitis, dan bronkiolitis adalah komplikasi umum pada bayi dan
balita dengan campak. Pneumonitis terjadi pada 58% pasien dengan
keganasan yang terinfeksi dengan campak, dan ensefalitis terjadi
pada 20%.
o. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus campak diantaranya sebagai berikut :
1) Pengobatan simtomatik (antipiretik).
2) Pemberian antibiotik bila ada komplikasi, bila berat maka segera dibawa ke Rumah Sakit.
2. Imunisasi
a. Pengertian
Kata imun berasal dari bahasa Latin immnunitas yang berarti
pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator
Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai
warga negara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini
kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi
perlindungan terhadap penyakit dan lebih spesifik lagi terhadap
penyakit menular.
Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri atas
sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya bekerja sama secara
kolektif dan terkoordinasi untuk melawan benda asing, seperti
kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh.
Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke
dalam tubuh, sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang
disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk
membentuk antibodi tidak terlalu kuat karena tubuh belum mempunyai “pengalaman”.
Namun, pada reaksi yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, tubuh
sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat
dan dalam jumlah yang lebih banyak.
Itulah sebabnya pada beberapa jenis penyakit yang dianggap
berbahaya dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini
terjangkit penyakit tersebut atau seandainya terkena pun tidak akan
menimbulkan akibat yang fatal (Ronald H.S, 2011). b. Jenis Imunisasi
Imunisasi ada 2 macam, yaitu:
(1) Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang
sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk
merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contohnya
adalah imunisasi polio dan campak.
(2) Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga
kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah
penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang
mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat
pada bayi yang baru lahir. Bayi tersebut menerima berbagai jenis
antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa
kandungan, misalnya antibodi terhadap campak (Ronald H.S,
2011).
c. Konsep Imunisasi Campak
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Imunisasi memuat antara lain :
1) Pengertian Umum Imunisasi :
a) Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan
menderita penyakit tersebut.
b) Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk
mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan.
c) Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk
mempertahankan tingkat kekebalan di atas ambang
perlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan.
d) Bulan Imunisasi Anak Sekolah yang selanjutnya disebut BIAS
adalah bentuk operasional dari imunisasi lanjutan pada anak
sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu setiap
tahunnya dengan sasaran semua anak kelas 1, 2 dan 3 di
seluruh Indonesia.
e) Universal Child Immunization yang selanjutnya disebut UCI
adalah suatu keadaan tercapainya imunisasi dasar secara
lengkap pada semua bayi. Bayi adalah anak di bawah umur 1
tahun.
f) Vaksin adalah suatu produk biologik yang terbuat dari kuman,
komponen kuman, atau racun kuman yang telah dilemahkan
atau dimatikan dan berguna untuk merangsang kekebalan
tubuh seseorang. 2) Aspek Imunologi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila
kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit
Jika dilihat dari cara timbulnya, terdapat dua jenis kekebalan,
yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. a) Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh
individu itu sendiri. Misalnya: kekebalan pada janin yang
diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah
pemberian suntikan immunoglobulin. Kekebalan pasif tidak
belangsung lama karena akan di metabolisme oleh tubuh.
Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh
immunoglobulin lainnya lebih pendek.
b) Kekebalan aktif
Kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada
antigen seperti pada imunisasi, atau terpajang secara alamiah.
Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan
pasif karena adanya memori immunologi.
3) Tujuan Imunisasi
Imunisasi bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu
pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan
penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. 4) Respon Imun
Respon imun : respon tubuh berupa urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen (Ag) berguna mengeliminasi antigen
a) Mekanisme pertahanan nonspesifik atau nonadaptif ataupun
innate artinya tidak ditujukan berbagai macam antigen.
b) Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif
khusus pada satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih
cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya ini
disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan
pertama kali antigen.
5) Keberhasilan Imunisasi
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor yaitu
status imun pejamu, faktor genetik pejamu serta kualitas dan
kuantitas vaksin menurut IDAI (2008) dalam Mariati (2012).
a) Status imun pejamu
Antibodi spesifik terjadi pada pejamu terhadap vaksin yang
diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misal
pada bayi yang semasa janin mendapat antibodi maternal
spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak
diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih
tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Status
imun mempengaruhi juga hasil imunisasi. Individu yang
mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun
congenital. Dengan adanya defisiensi imun merupakan
indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian
halnya vaksinasi pada individu yang menderita penyakiit
pula keberhasilan vaksinasi. Gizi buruk juga akan menurunkan
fungsi sel sistem imun misal makrofag dan limfosit. imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifitasnya rendah.
b) Faktor genetik pejamu
Variabilitas genetik mempengaruhi interaksi antara sel-sel
imun. Secara genetik respon imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup dan rendah terhadap antigen tertentu.
Ini akan memberikan respon rendah terhadap antigen tertentu
tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karenanya tidak
heran bila ditemukan keberhasilan vaksinasi tidak 100%.
Agamaglobulin yang terangkai dengan kromosom x yang
hanya ada pada anak laki-laki atau penyakit alergi yaitu
penyakit yang menunjukkan perbedaan responsi imun
terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang
diturunkan. Faktor tersebut mendukung adanya peran genetik
dalam respon imun hanya saja mekanisme yang sebenarnya
belum di ketahui.
c) Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme yang diubah sehingga
patogenesitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap
mengandung sifat antigenesitasnya. Faktor keberhasilan
vaksin ditentukan oleh kualitas dan kuantitas vaksin
diantaranya:
(1) Cara pemberian vaksin, ini akan mempengaruhi respon
(2) Dosis vaksin, dosis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
mempengaruhi respon imun yang terjadi.
(3) Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang
terjadi.
(4) Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat
meningkatkan respon imun terhadap antigen.
(5) Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respon imun
lebih baik dibanding vaksin mati.
6) Efikasi Vaksin Campak
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk menilai vaccine efficacy
(VE) tetapi tergantung dengan laboratorium dengan biaya yang
mahal sehingga tidak dapat dilakukan secara luas di lapangan.
Efikasi vaksin adalah kemampuan vaksin campak melindungi
terhadap penyakit bagi mereka yang sudah diimunisasi yang
dihitung dalam %. Efektivitas vaksin diperkirakan dengan
mengurangi dari 1 paparan odds rasio untuk kasus divaksinasi
dibandingkan divaksinasi kontrol (1 - rasio odds). Karena campak
masih sangat langka pada anak-anak (rata-rata tahunan, 2
kasus/100.000 penduduk), rasio odds diperkirakan risiko relative
(Sonja et al, dalam Mariati 2012).
Distribusi penentuan efikasi vaksin (EV) dengan studi kasus
Tabel 2.1
Distribusi Penentuan Efikasi Vaksin dengan Studi Kasus Kontrol
Imunisasi Kasus Kontrol
Vaksin a b Tidak Vaksin c d Sumber : Mariati 2012 RR = 𝑂𝑅 =𝑎𝑑 𝑏𝑐 VE(%) = (1 - RR) x 100 = (1 - 𝑎𝑑 𝑏𝑐
)
x 100d. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Balita dan Anak
Jadwal pemberian imunisasi dasar anak dapat dilihat pada tabel
2.2 berikut ini :
Tabel 2.2
Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Anak
Usia Jenis Imunisasi yang Diberikan
0–7 hari Hepatitis B 1 bulan BCG, Polio 1 2 bulan DPT-HB1, Polio 2 3 bulan DPT-HB2, Polio 3 4 bulan DPT-HB3, Polio 4 9 bulan Campak Sumber : Kemenkes RI 2014
Jadwal imunisasi campak rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). Jadwal imunisasi IDAI secara berkala di evaluasi
untuk penyempurnaan, departemen kesehatan/WHO, kebijakan
imunisasi tahun 2008 sama dibandingkan dengan jadwal tahun 2004
yang tertera pada buku imunisasi edisi kedua.
Jadwal imunisasi rekomendasi dari IDAI Tahun 2010 dapat dilihat
pada table 2.3 :
Tabel 2.3
Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Anak Rekomendasi IDAI 2010
Vaksin Keterangan
Campak Diberikan pada umur 9 bulan, vaksin ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun. Program BIAS : disesuaikan dengan jadwal imunisasi Kementrian Kesehatan.
MMR Dapat diberikan pada umur 12 bulan, apabila belum mendapat vaksin campak umur 9 bulan. Selanjutnya MMR ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun.
Sumber : IDAI 2010
Koordinasi pelayanan imunisasi rutin oleh swasta diperlukan untuk
penyediaan vaksin dan pelaporan. Prosedur yang dilakukan pada
komponen ini adalah : Skrining, menjaring sasaran di semua pintu
masuk BP/KIA atau dalam kegiatan MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit).
Petugas harus mengantisipasi adanya penolakan terhadap
imunisasi. Alasan yang biasa dikemukakan oleh keluarga harus
dibicarakan agar tindakan yang tepat dapat diberikan. Misalnya
imunisasi campak tidak perlu diberikan pada anak yang pernah
menderita campak yang ditandai dengan gejala pathognomonis
campak yaitu hiperpigmentasi dan deskuamasi.
Menurut rekomendasi dari Depkes imunisasi campak yang hanya
diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dalam kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes ternyata kurang memberikan
perlindungan jangka panjang. Oleh karena itu, campak diberikan
penguat pada saat masuk SD (Sekolah Dasar) melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Vaksin yang diberikan pada
imunisasi rutin meliputi:
(1) Pada Bayi : Hepatitis B, BCG, Polio, DPT dan Campak.
(2) Pada Anak Sekolah : DT ,Campak dan TT.
(3) Pada WUS : TT.
e. Status Imunisasi
Penyelenggaraan program imunisasi harus dimaksimalkan karena
cakupan imunisasi yang tinggi dapat memberikan gambaran status
kekebalan bayi terhadap penyakit. Status imunisasi yang diberikan
akan sangat berguna untuk :
(1) Menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit menular.
(2) Memberikan kekebalan terhadap penyakit menular tertentu,
sehingga biaya pengobatan tidak diperlukan. Apabila anak tahan
terhadap beberapa penyakit berbahaya, maka anak tersebut akan
tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sehat.
Mereka yang telah diimunisasi tersebut kadang menimbulkan
reaksi samping imunisasi tetapi para orang tua tidak perlu
khawatir terhadap imunisasi yang dilakukan terhadap anak-anaknya dan juga wanita hamil dan usia subur. Suntikan hanya
menyebabkan sakit sedikit untuk sesaat, hal itu wajar dan tidak
3. Gizi
a. Pengertian
Kata gizi sendiri berasal dai bahasa Arab “ghidza” yang berarti
makanan. Gizi adalah segala sesuatu yang dikonsumsi oleh manusia
yang mengandung unsur-unsur zat gizi yaitu karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, mineral dan air yang dipergunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan dari
organ tubuh manusia.
Ilmu gizi sendiri adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu
tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan yang
optimal. Gizi sangatlah penting sekali bagi kelangsungan hidup
manusia. Apabila gizi terpenuhi, maka akan terhindar dari berbagai
penyakit karena mempunyai tubuh yang sehat (Mitayani & Wiwi
Sartika, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2007), gizi adalah ilmu yang mempelajari
atau mengkaji masalah makanan yang dikaitkan dengan kesehatan. b. Unsur – Unsur Gizi
Unsur-unsur zat gizi yang dibutuhkan oleh organ-organ tubuh
menurut ilmu gizi adalah :
1) Karbohidrat atau hidrat arang 2) Protein (seperti zat putih telur
3) Lemak
4) Vitamin
5) Mineral
Akibat gizi kurang pada proses tubuh bergantung pada zat-zat gizi
apa yang kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas) menyebabkan gangguan pada
proses-proses tubuh. Masalah gizi merupakan masalah yang multi dimensi,
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ekonomi, pendidikan,
sosial budaya, pertanian, kesehatan dan lain-lain. Penyebab langsung
masalah gizi adalah ketidak seimbangan antara asupan makanan
yang berkaitan dengan penyakit infeksi; kekurangan asupan makanan
membuat daya tahan tubuh sangat lemah, memudahkan terkena
penyakit infeksi karena iklim tropis, sanitasi lingkungan yang buruk,
sehingga menjadi kurang gizi, penanganan masalah gizi masih
terkonsentrasi pada 4 masalah utama kurang gizi, seperti :
1) Kekurangan Energi Protein (KEP) bagi balita
2) Anemia Gizi Besi
3) Kurang Vitamin A
4) Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY).
Menurut Mitayani dan Wiwi Sartika dalam buku Ilmu Gizi bahwa
akibat dari kekurangan gizi pada proses tubuh adalah sebagai berikut:
1) Dampak Terhadap Pertumbuhan
Anak-anak tidak tumbuh menurut proteinnya. Protein digunakan sebagai zat pembakar, sehingga otot-otot menjadi lembek dan
dan rambut mudah rontok. Anak-anak yang berasal dari tingkat
sosial ekonomi menengah ke atas rata-rata lebih tinggi daripada
2) Dampak Terhadap Produksi Tenaga
Kekurangan energi berasal dari makanan menyebabkan seseorang kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja dan
melakukan aktifitas.
3) Dampak Terhadap Pertahan Tubuh
Daya tahan terhadap tekanan atau stres menurun sistem imunitas
atau antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi
seperti pilek batuk, diare.
4) Dampak Terhadap Struktur dan Fungsi Otak
Kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap
perkembangan mental, dengan demikian kemampuan berfikir otak
mencapai bentuk maksimal pada usia 2 tahun. Kekurangan gizi
dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara permanen.
5) Dampak Terhadap Perilaku
Baik anak-anak maupun orang dewasa yang kurang gizi
menunjukan perilaku tidak tenang. Mereka mudah tersinggung,
cengeng dan apatis menurut Mitayani & Wiwi Sartika dalam buku
Ilmu Gizi, (2010).
Sedangkan akibat dari gizi lebih pada proses tubuh dalam
buku Ilmu Gizi adalah timbulnya risiko dalam terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi dan tekanan darah tinggi,
penyakit-penyakit diabetes, jantung koroner, hati dan kantung
Menurut Almatsier (2001) dalam buku Ilmu Gizi (2010),
dampak yang mungkin muncul dalam pembangunan bangsa dimasa depan karena masalah gizi antara lain :
1) Kekurangan gizi adalah penyebab utama kematian bayi dan
anak-anak. Hal ini berarti berkurangnya kuantitas suber daya
manusia di masa depan.
2) Kekurangan gizi berakibat meningkatnya angka kesakitan dan
menurunnya produktifitas manusia.
3) Kekurangan gizi berakibat menurunnya tingkat kecerdasan
anak-anak. Akibatnya diduga tidak dapat diperbaiki bila
gterjadi kekurangan gizi semasa anak dikandung sampai
kira-kira usia 3 tahun.
4) Kekurangan gizi berakibat menurunnya daya tahan manusia
untuk bekerja yang berarti menurunnya produktifitas kerja
manusia.
d. Status Gizi
Menurut Almatsier (2004) dalam bukunya prinsip dasar ilmu gizi
bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dengan penggunaan zat-zat gizi dibedakan antara status
gizi buruk, kurang baik dan gizi lebih. Untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung cukup gizi dan aman untuk
dikonsumsi. Zat gizi merupakan ikatan kimia tang diperlukan tubuh
untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi membangun
dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan
Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi
malnutrisi, tetapi belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi terhadap kegawatan penyakit campak dan efek yang ditimbulkan
penyakit terhadap nutrisi yang dikarenakan penurunan selera makan
dan kemampuan untuk mencerna makan baik. Dari sebuah studi
dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang menyebabkan
kegawatan campak bukanlah protein dan kalori tetapi vitamin A.
Ketika terjadi defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan menyertai
penyakit campak. Adapun urutan kejadiannya, kematian yang
berhubungan dengan penyakit campak mencapai tingkat yang tinggi,
biasanya > 10% terjadi pada keadaan malnutrisi (Barus, 2010).
e. Konsep Gizi Seimbang
Gizi seimbang adalah makanan yang mengandung semua zat-zat
gizi terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin, lemak dan mineral yang
berfungsi sebagai sumber tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur
atau keseimbangan antara asupan energi dan zat-zat gizi lainnya
dengan kebutuhan seseorang atau individu (Mitayani & Wiwi Sartika,
2010).
(1) Standar Berat Badan dan Tinggi Badan Menurut Umur
Dengan menimbang bayi setiap bulan dapat diketahui
perkembangan kesehatannya. Bila berat badan bayi bertambah
terus secara normal, berarti bayi dalam keadaan sehat dan
Tabel 2.4
Berat Badan dan Tinggi Badan Menurut Umur
Umur
Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (Cm) 100 % Standar 90 % Standar 80 % Standar 100 % Standar 90 % Standar 80 % Standar 0 3.4 3.0 2.7 50.5 45.0 43.0 1 4.3 3.7 3.4 55.0 48.5 46.0 2 5.0 4.4 4.0 58.0 51.5 49.0 3 5.7 5.1 4.5 60.0 54.0 51.0 4 6.3 5.7 5.0 62.5 56.5 53.0 5 6.9 6.2 5.5 64.5 58.0 54.5 6 7.4 6.7 5.9 66.5 59.0 56.0 7 8.0 7.1 6.3 67.5 60.5 57.5 8 8.4 7.6 6.7 69.5 62.0 59.0 9 8.9 8.0 7.1 70.5 63.5 60.0 10 9.3 8.4 7.4 72.0 65.0 61.5 11 9.6 8.7 7.7 73.5 66.5 63.0 12 9.9 8.9 7.9 74.5 67.0 64.5 15 10.6 9.5 8.5 78.0 70.5 68.0 18 11.3 10.1 9.0 81.5 73.0 69.0 21 11.9 10.7 9.6 84.5 76.0 72.0 24 12.4 1.2 9.9 87.5 78.5 74.0
(2) Kebutuhan Gizi Remaja
Kebutuhan gizi remaja relatif besar, karena mereka masih
mengalami pertumbuha. Selain itu remaja umumnya melakukan
aktifitas fisik lebih tinggi dibanding usia lainnya, sehingga
diperlukan zat gizi yang lebih banyak. Tubuh yang berubah cepat
pada masa remaja membutuhkan masukan energi, protein dan
vitamin dalam jumlah besar. Energi diperlukan sebagai sumber tenaga sel-sel tubuh yang bekerja lebih keras untuk berkembang
Tabel 2.5
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Untuk Kelompok Remaja
Uraian Perempuan Laki-laki 13-15 th 16-19 th 20-45 th 13-15 th 16-19 th 20-45 th Energi (kcal) 2100 2000 2200 2400 2500 2800 Protein (g) 62 51 48 64 66 55 Kalsium (mg) 700 600 600 700 600 500 Besi (mg) 19 25 26 17 23 13 Vitamin A (RE) 500 500 500 600 700 700 Vitamin E (mg) 8 8 8 10 10 10 Vitamin B1 (mg) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,2 Vitamin C (mg) 60 60 60 60 60 60 Folat (mg) 130 150 150 125 165 170
Sumber : Widya Karya Nasional Pangan & Gizi VI 1998, dalam buku Saku Ilmu Gizi (2010)
f. Klasifikasi Status Gizi
Status gizi balita dikelompokan ke dalam beberapa jenis menurut
Departemen Kesehatan (2003) dalam Nurmalasari (2011), yaitu :
1) Gizi Lebih
Biasanya bersangkutan dengan kelebihan energi di dalam
hidangan yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan atau
penggunaannya. Ada 3 zat makanan yang menghasilkan energi
utama yaitu karbohidrat, protein, lemak. Kelebihan energi di dalam
tubuh diubah menjadi lemak dan disimpan pada tempat-tempat
tertentu.
2) Gizi Baik
Keadaan dimana tubuh mendapatkan gizi yang optimum/berat
akan terbatas dari penyakit dan mempunyai daya tahan yang
setinggi-tinginya. 3) Gizi Kurang
Keadaan dimana susunan yang dikonsumsi masih seimbang,
hanya jumlah kesulurahannya tidak mencukupi kebutuhan hidup.
Pada gizi kurang gejala subjektifnya yaitu timbulnya perasaan
lapar, sehingga keadaan ini disebut gizi lapar (under nutrition).
Penyakit ini terutama diderita oleh anak-anak yang sedang
tumbuh pesat, yaitu kelompok balita. Pada kondisi ini yang paling
menonjol adalah kurang kalori dan protein.
4) Gizi Buruk
Keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup
dan sering disertai penyebab lain seperti penyakit disentri, diare
dan tuberkulosis dalam waktu yang lama.
g. Pengukuran Status Gizi
Pengukuran kategori status gizi didasarkan pada WHO-NCHS
(National Center for Health Statistic) dengan kriteria (standar baku
terlampir) :
Gizi Buruk : <60% median BB/U
Gizi Kurang : 60% median BB/U
Gizi Sedang : 70% median BB/U
Gizi Baik : 80%-120% median BB/U