• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN AKHLAK ANAK

MENURUT IBNU MISKAWAIH

SKRIPSI

Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh:

YUSUF ALI IMRON 121 05 004

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2010

(2)
(3)

MOTTO

CITA-CITA TIDAK AKAN TERCAPAI

KECUALI MELALUI BERBAGAI

RINTANGAN

JADILAH PEMIMPIN YANG DAPAT

DIPATUHI ATAU RAKYAT YANG PATUH

TAPI JANGAN JADI ORANG KETIGA

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, yang telah meberikan kekuatan dan pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang pangeran dari zaman jahiliyah menuju zaman ke-Islaman.

Tanpa bantuan dari berbagai pihak tentunya skripsi ini tidak akan bisa selesai, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tuaku dan adik-adikku yang selalu perhatian, kasih sayang serta memberikan pengorbanan siang dan malam tanpa mengenal lelah. 2. Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag selaku pembimbing skripsi, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan dukungan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar sampai selesa

3. Dindaku Tercinta dan Tersayang Naelasari Anisia yang selalu memberikan semangatnya serta motivasi berupa kedamaian dalam hatiku serta selalu sabar menghadapiku.

4. kepada kawan-kawan FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) yang mengajarkan tentang memperjuangkan nasib kaum tertindas.

5. Kepada kawan-kawan Teater Getar yang selalu menjadikanku keluarganya Sahabatku Adjie, camat, amrie yang selalu membantuku.

6. Semua temen-temen yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu terselesainya skripsi ini.

Penulis menyadari, skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan ilmiah dimasa yang akan datang.

Salatiga, 07 September 2010 Penulis,

(5)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada :

Terutama dan paling utama ALLAH SWT yang telah memberi sedikit dari rahmat & hidayahnya, serta masih mengizinkanku untuk bernafas sampai detik ini.

Bapak dan Ibu tercinta, Zumroni, S.Ag dan Latifah, yang telah

mem-berikan semua pengorbanan, bimbingan dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

Semua adik-adikku, yang selalu memberi semangat dalam hidupku, untuk selalu mengejar cita-cita setinggi mungkin.

 Kawan-kawan Teater GETAR, FPPI, LBC, yang selalu menjadi teman terbaikku.

Dindaku tercinta & tersayang Naelasari Anisia yang selalu memberikan semangat, perhatian dan motivasi, serta selalu ada buatku.

 Semua sahabatku yang tidak bisa saya sebut satu persatu yang selalu memberikan dukungan & semangat pada penulis.

(6)

DAFTAR ISI Halaman Judul ………. Motto ………... Persembahan ………... Kata Pengantar……… Daftar Isi……….. Abstrak………. BAB. I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah ……… B. Fokus Penelitian ………. C. Rumusan Masalah ………. D. Tujuan Penelitian……….. E. Manfaat Penelitian ………... F. Telaah Kepustakaan………. G. Metodologi Penelitian……… H. Sistematika Penulisan Skripsi ………... BAB. II Biografi Dan Setting Sosial Ibnu Miskawaih

A. Biografi Ibnu MIskawaih………. 1. Tentang Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih……….. 2. Pendidikan Ibnu Miskawaih………... 3. Aktivitas Ibnu Miskawaih .…………... 4. Karya-Karya Ibnu Miskawaih

5. Latar Belakang Penulisan Kitab Tahzibul Akhlak B. Setting Sosial Ibnu Miskawaih... BAB. III Isi Pokok Pemikiran Ibnu Miskawaih

A. Pendidikan Akhlak Anak……….. B Konsep Pendidikan Akhlak Anak………

1. Tujuan Pendidikan Akhlak………. 2. Materi Pendidikan Akhlak……… 3. Pendidik Dan Anak Didik ... 4. Lingkungan Pendidikan... 5. Metodologi Pendidikan……….. BAB IV. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Anak Menurut

Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan Islam Di Indonesia

A. Relevansi Materi Pendidikan Akhlak... B. Relevansi Tujuan Pendidikan Akhlak ………... C. Relevansi Metode Pendidikan Akhlak

BAB V. Penutup

A. Kesimpulan ……….. B. Saran-Saran………... Daftar Pustaka……….. Daftar Riwayat Hidup………..

(7)

ABSTRAK

Yusuf Ali Imron. 2010. PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Progran Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag.

Key word : Pendidikan Akhlak Anak - Ibnu Miskawaih.

Problematika rendahnya pendidikan akhlak di dalam masyarakat kita sekarang, yang berarah pada kehancuran bangsa ini. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa, seluruh masyarakat dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas harus dikembalikan kepada akhlak. Caranya membiasakan anak dengan akhlak yang baik sejak kecil agar tercipta generasi penerus yang memiliki kepribadian yang sempurna dan dapat menghadapi tantangan hidup di zaman sekarang.

Pendidikan mempunyai peranan penting terhadap perkembangan anak. Hal ini tentunya dalam membantu anak dalam menentukan dan mengembangkan jati dirinya. Nilai-nilai dan tata hidup anak akan memiliki arah sedemikian rupa, sehingga mereka tetap memiliki arah hidup yang taat dan efektif dalam menghadapi gerak perubahan ini. Artinya ia tetap memiliki tata nilai yang menjadi pegangan hidup.

Dengan demikian orang tua, masyarakat haruslah berperan serta dalam proses pendidikan akhlak bagi anak. Berangkat dari fenomena yang di paparkan diatas, dengan berlakunya otonomi pendidikan setidaknya kita harus kembali ke hakekat pendidikan, yaitu memanusiakan manusia dengan mendorong anak untuk memunculkan daya kritis, kreatif dan sebagainya.

Berangkat dari problematika tersebut diatas, penulis termotivasi untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan akhlak anak dengan mengacu pada kitab ”Tahzibul akhlak wa thathirul

A’raq” atau buku terjemahan dalam bahasa Indonesia menuju kesempurnaan akhlak.

Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa: pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak anak yang mengatakan bahwa watak itu bisa berubah, dan perubahan itu bisa melalui pendidikan dan pengajaran. Juga memaparkan tentang kebaikan dan kebahagiaan, karena Ibnu Miskawaih di dalam meninjau akhlak berdasarkan nilai-nilai kebajikan (al-khairu) untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka orang harus mencapai al-khairu terlebih dahulu, kebaikan atau kebajikan merupakan kunci kesempurnaan manusia.

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa orang tua sangat berperan dalam pendidikan akhlak anak. Menurutnya pendidikan akhlak merupakan konsepsi baku pembentukan pribadi anak, kedua orang tua yang mula-mula tampil untuk melakukan tugas tersebut. Pencapaian kepribadian akhlak yang luhur dan berbudi pekerti, orang tua selaku pendidik mempunyai peran: memberi contoh atau teladan yang baik, memberi nasehat, memberikan perhatian. Beberapa metode pendidikan akhlak anak Ibnu Miskawaih diantaranya : metode alamiah, metode keteladanan dan metode pembiasaan. Adapun relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih mengenai peran orang tua dalam pendidikan akhlak anakdiantaranya adalah: akhlak kepada Tuhan, akhlak kepada sesama, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak kepada lingkungan.

Tak heran jika Ibnu Miskawaih kemudian menyimpulkan, hal-hal yang telah terbiasa dilakukan oleh anak-anak sejak kecil, akan memengaruhinya ketika menjadi orang dewasa. Dengan demikian, anak laki-laki ataupun perempuan harus sejak dini dididik tentang kebaikan. Bila hal ini diabaikan, ungkap Ibnu Miskawaih, mereka akan jatuh dalam perangkap keburukan. Dan, tentunya hubungan spiritual dengan Allah SWT akan mengalami gangguan akibat perilaku yang buruk itu. Jadi, pendidikan akhlak menjadi hal yang sangat berperan penting.

(8)
(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dengan perubahan zaman yang semakin maju, secara otomatis juga telah merombak perubahan tatanan kehidupan. Pada masa dahulu kehidupan masyarakat sangat dinamis, saling menghormati dan menghargai terutama pada yang lebih tua (baik sebagai orang tua atau guru). Namun pada zaman sekarang keadaan tersebut mulai bergeser.

Akhlak yang baik merupakan buah iman yang mendalam dan perkembangan relegius yang benar. Dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah, SWT, rasa takut, bersandar, meminta ampun pada Allah, maka kita akan memiliki potensi menerima keutamaan dan kemuliaan akhlak (Arif Abdullah Fatah Thabrani, 1996 : 10).

Pada hakekatnya ajaran Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia. Pedoman hidup itu telah terurai banyak secara luas dan jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan contoh-contoh dalam kehidupan Nabi Muhammad, SAW. Inti dari pedoman hidup tersebut adalah manusia dianjurkan untuk membangun kehidupan itu dengan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Hal ini jika dijalankan, maka kehidupan akan selamat. Manusia disuruh untuk memilihnya, tentunya persoalan semacam ini masuk dalam lingkup pembahasan akhlak.

(10)

Melalui pendidikan dari Al-Qur’an anak diajak memiliki budi pekerti yang luhur yang sering disebut Akhlakul Karimah. Sehingga setelah Akhlakul Karimah ini melekat dalam setiap diri anak sebagai generasi penerus umat Islam, maka akan mengantarkan mereka pada umat yang baik. Sebagaimana di Firmankan Allah melalui Al-Qur’an menjadi Khoirul Ummah. Karena karimah telah melekat pada dirinya, kehidupan didunia akan menjadi tenang dan damai sebab dipenuhi orang-orang yang baik (Purwadi Wardoyo, 1999 : 13).

Penulis melihat karya-karya masa lampau, karena karya masa lampau merupakan sejarah yang perlu kita jadikan tolak ukur untuk dapat diambil hikmahnya, untuk bisa membawa perubahan ke masa depan yang lebih baik.

Dalam hal ini penulis melihat filosof muslim timur, karena menganggap timurlah yang tepat sebagai acuan, tuntunan disamping kesamaan akidah juga kesesuaian dengan jati diri manusia Indonesia. Dengan adanya kesamaan akidah juga kesesuaian inilah dapat memberikan jalan keluar didalam setiap masalah yang terjadi. Sedangkan penulis tidak melihat para tokoh barat yang dianggap lengkap secara proposional. Penulis memandang walaupun barat itu lebih lengkap akan tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya.

Penulis mengambil tokoh Ibnu Miskawaih, karena tokoh ini seorang muslim yang memiliki kredibilitas tinggi dalam bidang akhlak, etika, budi pekerti. Ibnu Miskawaih menonjol pembahasannya tentang etikanya dengan panduan antara kajian teoritis dan praktis.Hal tersebut bisa dilihat dengan

(11)

pengalaman hidupnya sendiri, yang waktu muda sering dihasilkan pada perbuatan yang sia-sia, telah menjadikan dorongan kuat bagi generasi sesudahnya.

Begitu para ahli (pendidikan dan filsafat) yang telah membahas etika atau akhlak, baik pada kalangan bahasan etika tidak kalah seriusnya dibandingkan dengan filusuf yunani. Tetapi tokoh yang paling menonjol banyak mencurahkan perhatiannya pada etika dalam pemikirannya adalah Ibnu Miskawaih dengan karya monumentalnya “Tahzibul akhlak wa thatirul A’raq”. Pandangan Ibnu Miskawaih tentang etika dan akhlak merupakan sebuah karya besar bagi dunia pendidikan dan banyak dijadikan referensi dalam praktek di dunia pendidikan Islam.

Problematika rendahnya pendidikan akhlak di dalam masyarakat kita sekarang, yang berarah pada kehancuran bangsa ini. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa, seluruh masyarakat dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas harus dikembalikan kepada akhlak. Caranya membiasakan anak dengan akhlak yang baik sejak kecil agar tercipta generasi penerus yang memiliki kepribadian yang sempurna dan dapat menghadapi tantangan hidup di zaman sekarang.

Pendidikan mempunyai peranan penting terhadap perkembangan anak. Hal ini tentunya dalam membantu anak dalam menentukan dan mengembangkan jati dirinya. Nilai-nilai dan tata hidup anak akan memiliki arah sedemikian rupa, sehingga mereka tetap memiliki arah hidup yang taat dan efektif dalam menghadapi gerak perubahan ini. Artinya ia tetap memiliki tata nilai yang menjadi pegangan hidup.

(12)

Dengan demikian orang tua, masyarakat haruslah berperan serta dalam proses pendidikan akhlak bagi anak. Berangkat dari fenomena yang di paparkan diatas, dengan berlakunya otonomi pendidikan setidaknya kita harus kembali ke hakekat pendidikan, yaitu memanusiakan manusia dengan mendorong anak untuk memunculkan daya kritis, kreatif dan sebagainya.

Berangkat dari problematika tersebut diatas, penulis termotivasi untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan akhlak anak dengan mengacu pada kitab ”Tahzibul akhlak wa thathirul A’raq” atau buku terjemahan dalam bahasa Indonesia menuju kesempurnaan akhlak.

B. Fokus Penelitian

Untuk menghindari salah tafsir dalam memahami judul di atas, maka perlu adanya pembahasan dan penjelasan terlebih dahulu dengan judul tersebut. Adapun pembahasan dan penjelasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pendidikan Akhlak Anak

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004 : 57). Atau dengan kata lain pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penentuan dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradapan umat manusia (Mansur, 2001 : 1).

Jadi pengertian diatas dapat difahami bahwa pendidikan adalah proses bimbingan oleh pendidik (guru, orang tua, masyarakat atau lingkungan) kepada anak didik baik jasmani maupun rohani yang

(13)

dilakukan secara sadar dan sengaja agar terbentuk kepribadian yang utama serta untuk memperbaiki kualitas hidup umat manusia.

Tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu pembentukan akhlak dan budi pekerti yang menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun perempuan, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi dan dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk (Muh. Atiyah, Al Abarasyi, 1970 : 103).

Kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian diatas, pendidikan akhlak anak adalah suatu bimbingan oleh si pendidik terhadap anak didik dengan tujuan membentuk kebiasaan atau sikap yang baik sehingga anak memiliki kepribadian yang utama.

2. Ibnu Miskawaih

Abu ali Ahmad Ibnu Miskawaih dilahirkan di Ray (Teheran). Mengenai tahun kelahiran para penulis berbeda-beda pendapat, M.M, Syarif mencatat tahun 320 H/933 M sebagai tahun kelahiran (M.M, Syarif, 1989 : 84). Margoliouth sebagaimana dikutip oleh Izzat menyebut 330 H/941 M, sementara Abdul Aziz Izzat sendiri menyebutkan 325 H./938 M (Abu Bakar Atjeh, 1991 : 170). Dalam kitab ”Tahzibul Akhlak” Ibnu Miskawaih menyebutkan 330 H/941 M merupakan tahun kelahirannya (Ibnu Miskawaih, 1994 : 13). Sedang penulis sendiri lebih condong pada tahun (330 H/941 M) sebagai tahun kelahiran Ibnu Miskawaih. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar

(14)

Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-khammar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.

Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.

Ibnu Miskawaih adalah seorang yang representatif dalam bidang akhlak (filsafat etika) dalam Islam. Sungguhpun terpengaruh oleh budaya asing, terutama yunani, namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara filsafat dan pemikiran Islam, terutama dalam bidang akhlak, hal itu bisa kita lihat dengan karyanya.

Kitab ”Tahzibul Akhlak wa Thathirul A’raq” yang merupakan uraian suatu aliran akhlak yang materinya ada yang berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran Islam serta diperkaya dengan pengalaman hidupnya dan juga situasi pada zamannya. Ia terutama ditunjukkan untuk memberikan bimbingan bagi generasi muda dan menuntut mereka pada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak sesat dan umur mereka tidak di sia-siakan. Dari itu ”aliran akhlak Ibnu Miskawaih merupakan perpaduan antara kajian filsafat teoritis dan juga tuntunan praktis di mana segi pendidikan dan pengajaran lebih menonjol” .

(15)

Pada tanggal 9 shaffar 421 H/16 pebruari 1030 M, Ibnu Miskawaih menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan bani Abbas (Abudin Nata, 200: 5). Yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Biografi Ibnu Miskawaih ?

2. Apa yang melatar belakangi Ibnu Miskawaih menekankan pemikirannya pada akhlak ?

3. Bagaimana konsep pendidikan akhlak anak menurut Ibnu Miskawaih ? 4. Sejauh mana relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih dalam konteks

pendidikan di Indonesia kontemporer ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan objek pokok permasalahan maka tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui biografi intelektual Ibnu Miskawaih.

2. Untuk mengetahui apa yang melatar belakangi Ibnu Miskawaih menekankan pemikirannya pada akhlak.

3. Untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak anak menurut Ibnu Miskawaih.

4. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih dalam konteks pendidikan di Indonesia kontemporer.

(16)

Setelah penulis mengkaji karya-karya Ibnu Miskawaih (Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq) dan karya lain yang ada hubungannya di harapkan bermanfaat bagi semua untuk :

a. Menambah wawasan pengetahuan tentang akhlak dan menjadikannya sebagai bekal utama dalam mencari ilmu di manapun berada.

b. Memberikan informasi dan dapat memperkaya wacana mengenai pemikiran tentang seorang cendekiawan muslim Ibnu Miskawaih yang dapat dijadikan panutan.

F. Telaah Kepustakaan

Untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil tiruan yang membahas permasalahan yang sama dari seseorang baik dalam bentuk buku, kitab dan dalam bentuk tulisan yang lainnya, maka penulis akan memaparkan beberapa buku yang sudah ada sebagai bandingan dengan mengupas permasalahan tersebut sehingga diharapkan akan muncul penemuan baru.

Karya tulis mengenai pemikiran Ibnu Miskawaih yang sebelumnya sudah ada diantaranya :

a. Menuju Kesempurnaan Akhlak, karya Ibnu Miskawaih, penerjemah Helmi Hidayat yang berisi: pembahasan tentang jiwa, tentang fitrah manusia dan asal usulnya, mengetahui dan memahami etika secara filosofis dan sangat mendidik.

b. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, karya Abudin Nata, berisi tentang konsep pendidikan para tokoh-tokoh Islam.

c. Akhlak Seorang Muslim, karya Muhammad Al-Ghazali, yang berisi tentang moralitas skriptual, teori-teori teologi dengan landasan Al-Qur’an

(17)

dan Sunnah, teori relegius berakar dari konsepsi Al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di alam semesta.

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah bibliografi, karena dengan metode sejarah untuk mencari, menganalisa, membuat interprestasi serta generalisasi dari fakta-fakta yang merupakan pendapat para ahli dan mencakup hasil pemikir-pemikir dan ahli-ahli (Moh. Nasir, 1995 : 62).

Tatang M. Arifin yang menyebutkan bahwa peneliti literer lebih di maksudkan studi ”kepustakaan” dan bukan studi ”perpustakaan” (Tatang M. Arifin, 1990 : 135). Jadi penelitian ini menggali datanya dari dari bahan-bahan tertulis (khususnya berupa teori-teori). Penelitian di dasarkan pada studi literer dari buku-buku yang ada hubungannya langsung dengan penelitian ini. Dengan cara demikian, maka penulis kan mendapatkan data-data serta informasi yang dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini penulis menggunakan:

a. Library Research yaitu suatu riset kepustakaan (Sutrisno Hadi, 1983 : 9). Penelitian ini menempuh langkah-langkah di antaranya:

- Mencari buku-buku yang ada kaitannya dengan penulisan ini. - Mencari penyusunan dalam buku-buku, mulai buku pegangan

sistematis, karangan kusus dan lain-lain.

- Menyusun catatan, kemudian dikonsultasikan atau dirujuk pada buku yang berkaitan.

(18)

b. Metode Deskripsi yaitu metode penelitian dengan cara mendeskripsikan realita-realita fenomena sebagaimana adanya yang di pilih dari perspektif subjektif (Anton Bekker dan A. Haris, 1990 : 65). Dalam hal ini mendiskripsikan pemikiran serta pendapat Ibnu Miskawaih yang berkaitan denagan akhlak dalam kitabnya ”Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq”.

c. Metode Historis yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui perkembangan pemikiran tokoh yang bersangkutan, baik yang berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh di dalamnya maupun dalam kehidupan sehari-hari (Winarno, 1989 : 132). Metode ini berarti penyelidikan yang mengaplikasikan metode pemecahan yang ilmiah dari perpekstif historis suatu masalah.

d. Metode Analisis, metode ini adalah di maksudkan untuk menganalisis bab per bab mencari pembentukan akhlak yang terkandung di dalam kitab ”Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq”.

e. Metode induksi, metode ini berdasarkan pada analisis dari isi kitab tersebut, maka penulis mengambil kesimpulan dengan metode induksi. 2. Metode Pengumpulan Data

Penulisan di dalam pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Karena penelitian ini bibliografi maka pengumpulan data yang di pergunakan adalah metode dokumentasi yaitu laporan dari kejadian-kejadian yang berisi pandangan pemikiran-pemikiran manusia di masa lalu (Moh. Nasir, 1995 : 62).

(19)

Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini di bagi menjadi dua bagian yaitu :

a. Sumber data yang bersifat primer yaitu kitab ”Tahzibul Akhlak” karya Ibnu Miskawaih.

b. Sumber data yang bersifat skunder, yaitu yang menjadi pelengkap dalam penelitian ini, merupakan bacaan yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian.

3. Metode Analisa Data

Penelitian ini merupakan serangkaian kegiatan untuk menarik kesimpulan dari hasil kajian konsep atau teori yang mendukung dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan Skripsi BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Fokus Penelitian C. Rumusan Masalah D. Tujuan Penelitian E. Manfaat Penelitian F. Telaah Kepustakaan G. Metodologi Penelitian

H. Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II : BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL IBNU MISKAWAIH A. Biografi Ibnu Miskawaih

1. Tentang riwayat hidup Ibnu Miskawaih 2. Pendidikan Ibnu Miskawaih

(20)

3. Aktivitas Ibnu Miskawaih 4. Karya-karya Ibnu Miskawaih

5. Latar belakang penulisan kitab Tahzibul Akhlak B. Setting Sosial Ibnu Miskawaih

BAB III : ISI POKOK PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH A. Pendidikan Akhlak Anak

B. Konsep Pendidikan Akhlak Anak 1. Tujuan Pendidikan Akhlak 2. Materi Pendidikan Akhlak 3. Pendidik dan Anak Didik 4. Lingkungan Pendidikan 5. Metodologi Pendidikan

BAB IV : RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA. 1. Relevansi Materi Pendidikan Akhlak 2. Relevansi Tujuan Pendidikan Akhlak 3. Relevansi Metode Pendidikan Akhlak BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran

(21)
(22)

BAB II

BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL IBNU MISKAWAIH

A. Biografi Ibnu Miskawaih

1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof yang menitik beratkan perhatiaanya pada bidang etika, Ibnu Miskawaih adalah ”seorang filusuf muslim yang mencurahkan perhatiannya pada masalah etika islam (akhlak) dan dialah yang mula-mula membahas masalah tersebut dalam suatu uraian yang terinci.

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’qub Ibnu Miskawaih, akan tetapi kebanyakan orang menyebut namanya dengan Ibnu Miskawaih atau Miskawaih. Sedangkan penulis sendiri cenderung menggunakan namanya Ibnu Miskawaih.

Ibnu Miskawaih lahir di Rayy (Teheran) dan meninggal di Isfahan, tahun kelahiran di perkirakan 320 M/932 M dan wafat 9 Shaffar 421 H/16 Februari 1030 M (M.M. Syarif, 1989 : 84). Ibnu Miskawaih sepenuhnya hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyah (320 H-450 H/932 M-1062 M) yang para pemukanya berfaham Syi’ah (Abudin Nata, 200 : 5).

Ibnu Miskawaih adalah seorang anak yang bernasib tidak mujur. Sejak kecil Ia tidak pernah menerima dan merasakan belaian kasih sayang seorang ayah, karena ayahnya meninggal sewaktu Ia masih dalam kandungan, hidup dalam keadaan yatim, dia diasuh dan dibesarkan hanya oleh ibunya sampai menginjak dewasa.

(23)

Menginjak dewasa, Ibnu Miskawaih juga pernah tinggal bersama Ibnu al-Hamid sebagai seorang petugas perpustakaan (Pustakawan). Kemudian berhidmat pula kepada anaknya Ali bin al-Hamid tetapi terakhir tugas ini bukan sebagai tugas pokok melainkan dilakukan oleh Ibnu Miskawaih sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang yang Ia pandang sebagai seniornya. Ketika Ibnu Hamid meninggal tahun 360 H, Ia diganti oleh anaknya dengan nama keluarga Dzul al-Kifayatin (M.M. Syarif, 1996 : 84). Ibnu Miskawaih juga pernah mengabdi kepada Abdullah al-Daulah, salah seorang keturunan Buwaih dan kemudian beberapa penguasa yang lain.

Memperhatikan tahun kelahirannya dan wafatnya serta kehidupannya diatas, dapat diketahui bahwa Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan bani Abbassiyah berada dibawah pimpinan Buwaih yang beraliran Syi’ah dan dari keturunan Persi bani Buwaihi mulai terpengaruh sejak Khalifah al-Mustakhfi dari bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar M’az al-Daulah pada tahun 945 M. Ayahnya Abu Saja’ Buwaih adalah pimpinan suku yang sangat berpengaruh dan kebanyakan pengikutnya berasal dari daerah selatan laut Kaspia yang merupakan pendukung keluarga Saman. Tiga anaknya selain Ahmad, Ali dan Hasan adalah tokoh pimpinan yang disegani dinegeri Dailan, mereka muncul dalam bidang politik pada abad IV H. Dengan berhidmat pada seorang panglima Dalian Musdami bin Ziar yang berpengaruh besar di negeri-negeri laut Kaspia ditanah Persi.

(24)

Berawal dari latar belakang pendidikannya secara rinci tidak diperoleh keterangan. Akan tetapi diketahui cuma sebagian antara lain Ia terkenal mempelajari sejarah terutama Tarikh al-Thabari, kepada Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi (350 H/960 M). Ibn al-khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Ibnu Miskawaih mengkaji alkimia dari Abi Thayyib al-Razi, seorang ahli kimia (M.M. Syarif, 1989 : 83).

Secara konklusif dapat dikatakan bahwa dalam keseluruhan perjalanan study Ibnu Miskawaih mendapatkan tuntunan guru hanya pada pelajaran-pelajaran tingkat dasar. Adapun untuk pelajaran tingkat lanjutan di peroleh melalui self study yang berarti tanpa bimbingan dari seorang guru. Ibnu Miskawaih menganggap perpustakaan serupa sekolah, tempatnya untuk mendalami berbagai macam Ilmu Pengetahuan (Wahyu Murtiningsih, 2008 : 179).

3. Aktivitas Ibnu Miskawaih

Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selain akrab dengan penguasa Ibnu Miskawaih juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Yahya Ibnu Adi dan Ibnu Sina.

Selanjutnya Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemashurannya melebihi pendahulunya, al-Thabari wafat sekitar tahun (310 H/923 M). Selain itu juga dikenal sebagai dokter, penyair dan

(25)

ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel yang tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak. 4. Karya-karya Ibnu Miskawaih

Dari buku referensi tentang Ibnu Miskawaih yang penulis baca, bahwa Ibnu Miskawaih seorang penulis yang produktif, secara jelas tidak ada literatur yang memberikan informasi yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui sejak kapan Ibnu Miskawaih mulai menulis. Namun yang pasti ada banyak artikel maupun buku yang telah berhasil ditulisnya.

Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih yang penulis ketahui diantara semua karyanya adalah:

a. Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq (kitab ini membahas tentang teori-teori etika atau akhlak).

b. Al Fawz al-Asghar (kitab ini membahas persoalan ketuhanan, kejiwaan dan kebahagiaan).

c. Tajarub al-Umam (sebuah sejarah tentang peristiwa setelah banjir besar pada masa Nabi Nuh yang ditulis pada tahun 369 H/979 M). d. Jawidzan al-Khirad (kumpulan ungkapan bijak atau filsafat

Yunani, Arab, Persi dan India).

e. Tartib al-Sa’adah (kitab ini membahas tentang etika adab politik) f. Al Usn al-Farid (kitab ini berisi tentang kumpulan anekdot, syair,

pribahasa dan kata-kata mutiara).

g. Al Musthafa Fi al-syi’ri (kitab ini berisi kumpulan syair-syair pillihan).

(26)

i. Al Asyribah (kitab ini menerangkan macam-macam minuman). j. Al jami’ (berisi tentang ketabiban atau kedokteran).

k. Al Fawz al-Akbar (kitab ini berisi tentang persoalan etika). l. Thaharat al-Nafs (suci dan nafsu).

m. Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi Jauhar al-Nafs, naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463,lembar 57a-59a.

n. Aj wibah wa As’ilah fi al-Nafs wal Aql, dalam majmu’ah tersebut diatas dalam Raghib Majmu’ah di Istanbul.

o. Al Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats, naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31).

p. Risalah fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql, perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137).

Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa Ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70.

Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Ibnu Miskawaih sendiri bahwa Fauz Akbar ditulis setelah Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah (M.M. Syarif, 1996 : 85).

Hampir seluruh bidang keilmuan yang berkembang masa itu Ibnu Miskawaih pelajari, oleh karena itu ada beberapa penulis memberikan predikat filosof, sastrawan, ahli kedokteran, sejarawan dan fisikawan. Selain seorang sarjana yang amat luas Ilmu Pengetahuannya, Ibnu

(27)

Miskawaih juga selalu tercantum dalam deretan nama-nama para filosof muslim.

5. Latar Belakang Penulisan Kitab Tahzibul Akhlak

Dalam pendahuluan kitab “Tahzibul Akhlak” Ibnu Miskawaih :

انع هبردصت اقلخ انسفنل لصحن نا باتكلا اذه يف انضرع هيوكسم نب دمحا (لاق)

ةعاضب كلذ نوكيو ةقشم لو ةفلك ل انيلع ةلهس كلذ عم نوكتو ةليمج اهلك لاعفلا

قيرطو ميلعت بيترت ىلعو

Mengatakan, tujuan kami dalam kitab ini adalah agar mencapai budi pekerti yang melahirkan perbuatan-perbuatan luhur, serta mudah dilakukan dan tidak memberatkan atau menyakiti. Budi pekerti tersebut dapat dicapai dengan latihan dan pendidikan (Ibnu Miskawaih, 1985 : 3).

Ungkapan tersebut memberikan penjelasan tentang teori akhlak yang tujuan akhirnya adalah untuk turut memberikan sumbangan dan ikhtiar menyembuhkan penyakit hati sehingga seseorang bisa lebih berbudi pekerti luhur dimanapun dan kapanpun berada.

Tetapi disamping itu ada satu hal yang tidak menyenagkan dihati Ibnu Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh sebab itu, Ibnu Miskawaih mulai tertarik untuk mencurahkan perhatiannya dalam bidang etika Islam (akhlak) sebagai ikhtiar untuk mengatasi tradisi masyarakat dan dekadensi (kemerosotan tentang akhlak) tersebut.

Dari sinilah Ibnu Miskawaih untuk membangun masyarakat yang mengalami kemerosotan moral, dengan segala pemikirannya dan merasa bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan masa itu. lalu Ia menulis kitab “Tahzibul Akhlak” tersebut dengan tujuan, tatkala masyarakat dilanda penyakit kemerosotan moral. Oleh karena itu rujukannya adalah

(28)

untuk memberikan bimbingan dan menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak kepada nilai-nilai akhlak yang luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat, agar tidak sesat dan umur mereka tidak disia-siakan seperti yang dialami pada masa itu (Ahmad Daudy, 1986 : 61).

B. Setting Sosial Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih adalah ahli sejarah yang pemikirannya sangat cemerlang. Dialah Ilmuwan Islam paling terkenal dan yang pertama kali menulis filsafat akhlak. Setiap orang yang mengkaji sejarah al-Thabrani dan membandingkannya dengan sejarah Ibnu Miskawaih yang terkenal dengan nama ”Tajarub al-Umam”, akan memahami dia berada pada peringkat kedua dalam penulisan sejarah setelah peringkat yang diduduki oleh para pendahulunya. Karena Ibnu Miskawaih bekerja cukup lama di pemerintahan dan kantor negara, dia memiliki banyak keistimewaan. Pengetahuan tentang orang-orang yang terkenal pada zamannya sangat luas. Ia mampu memperoleh informasi dari sumber aslinya. Perlu diketahui Ia juga sangat memahami model administrasi dan strategi peperangan sehingga Ia dengan mudah dapat menuliskan berbagai peristiwa secara jelas. Dia juga menguasai berbagai manuver politik dengan baik, kita tahu bahwa al-Thabari jarang menyebutkan tentang ekonomi negara. Berbeda dengan Ibnu Miskawaih, Ia sering berbicara tentang perekonomian negara dengan sangat akurat, bahkan Ia menuliskannya menjadi sejarah politik yang sangat hidup (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 154).

Ibnu Miskawaih bersifat jujur dan objektif, meskipun dia mengabdikan dirinya kepada pemerintahan Buwayh, Ibnu Miskawaih tidak pernah

(29)

menyembunyikan kejahatan mereka. Bahkan sebaliknya dia berani membongkarnya untuk diadili. Berbeda dengan al-Thabari yang ahli tafsir Al-Qur’an dan ahli fiqih, perhatiaanya sangat sedikit kepada masalah-masalah agama. Sehingga mungkin saja orang yang membaca beberapa jilid bukunya, akan dengan mudah meragukan kemusliman pengarangnya (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 154).

Ibnu Miskawaih memiliki kemampuan luar biasa dalam mengungkapkan pribadi seseorang, menjelaskan kerusakan zamannya dan menuliskan pemandangan yang amat mengerikan yang sulit dilupakan meskipun hanya dibaca sekali saja. Misalnya, tragedi eksekusi dan penyaliban al-Hallaj, matinya Ibnu al-Furat dan penyanderaan Wazir Ibnu Maqlah (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 155).

Ibnu Miskawaih juga mempunyai kelebihan dalam bidang filsafat akhlak. Sejak masa mudanya, dia telah mempelajari akhlak Persia dan Yunani. Keterlibatannya dalam bidang politik dan sosial membuatnya sangat matang dalam dunia itu. Disamping itu, dia juga sangat senang mengkaji persoalan jiwa dan seluk beluknya. Dalam bidang ini dia mengarang berbagai buku diantaranya buku yang berjudul ”Tahzibul Akhlak, Al Fawz al-Akbar, Al Fawz al-Asghar” dan buku berbahasa Persia yang berjudul ”Jawidan Khurd” yang artinya akal yang kekal.

Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa adalah sebuah inti yang sangat halus yang tidak dapat dirasakan oleh salah satu indra manusia. Dia mengetahui bahwa dia mengetahui dan bekerja. Dia bukan badan, karena dia bisa menerima sesuatau yang saling bertolak belakang, seperti keberanian dan rasa

(30)

takut. Sifatnya sangat menerima pengetahuan. Jiwa memang satu kesatuan antara akal, akil, dan maqul. Ibnu Miskawaih memberikan penjelasan bahwa dengan jiwa, manusia dapat mencapai puncak wujud, bahkan mengapai zat-Nya.

Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan kami timbul melalui gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah berlawanan.

Pembahasan Ibnu Miskawaih tentang kebaikan dengan menggabungkan ide Aristoteles dengan Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.

Untuk mendapat jiwa yang bersih maka anak-anak sejak kecil lagi harus didedahkan dengan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk pula hanya akan mengganggu proses tumbesaran dan menyebabkan mereka membesar tanpa menghiraukan tatasusila. Anak-anak perlu dilatih pada peringkat awal tumbesaran supaya bersikap dan bertindak mengikut nilai-nilai ini agar sebati dengan diri serta sanubari mereka.

Neoplatonism Ibnu Miskawah memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral

(31)

berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.

Ini adalah peran filusuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis.

Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.

Ibnu Miskawaih menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.

Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.

(32)

Ibnu Miskawaih menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aqli fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.

Dalam hal akhlak, manusia memiliki sifat yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang bertabiat baik, jumlahnya sangat kecil. Ada pula yang bertabiat jahat, jumlahnya sangat banyak. Ada pula manusia yang tidak termasuk kedalam kelompok pertama dan kelompok kedua. Mereka bisa saja masuk dalam kelompok yang bertabiat baik dan bertabiat jelek karena dibiasakan. Allah adalah kebaikan yang mutlak. Semua orang yang baik berupaya mencapai kepada-Nya. Ibnu miskawaih membedakan antara kebaikan dan kebahagiaan. Menurutnya, kebaikan adalah apa yang dituju oleh manusia dalam posisinya sebagai manusia, sedangkan kebahagiaan adalah milik pribadi. Seseorang tidak berbahagia, kecuali dia telah dapat memuaskan tabiatnya (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 155).

Asas dari keutamaan, menurut Ibnu Miskawaih, adalah kecintaan manusia kepada semua manusia. Tanpa kecintaan tidak akan ada suatu masyarakat. Manusia tidak dapat mencapai jati dirinya, kecuali dia hidup bersama-sama jenisnya dan saling memberikan pertolongan. Kecintaan tidak akan berbekas, kecuali dalam kehidupan bermasyarakat. Jika seseorang

(33)

mengucilkan diri dari masyarakat, hidup sebagai paderi atau ahli ibadah, dia tidak akan tahu apakah perbuatannya baik atau buruk.

Masalah akhlak pernah ditulis oleh para Ilmuwan sebelum Ibnu Miskawaih, seperti Ibnu al-Muqaffa’ dan al-Jahizh. Namun, buku yang mereka tulis hanya kumpulan hikmah dan kata-kata mutiara yang susunan katanya sangat bagus, tetapi ditulis secara tidak teratur. Ibnu Miskawaih dan Abu Bakar al-Razi menulis akhlak secara teratur, menyeluruh dan filosofis, sehingga menjadikan akhlak sebagai sebuah ilmu akhlak menurut Aristoteles dan para penulis akhlak lainnya dari Yunani (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 156).

Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawaih merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.

(34)
(35)

BAB III

ISI POKOK PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH

A. Pendidikan Akhlak Anak

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004 : 57). Atau dengan kata lain pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradapan umat manusia (Mansur, 2001 : 1).

Jadi pengertian diatas dapat difahami bahwa pendidikan adalah proses bimbingan oleh pendidik (guru, orang tua, masyarakat atau lingkungan) kepada anak didik baik jasmani maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan sengaja agar terbentuk kepribadian yang utama serta untuk memperbaiki kualitas hidup umat manusia.

Tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu pembentukan akhlak dan budi pekerti yang menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun perempuan, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi dan dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk (Muh. Atiyah al-Abarasyi, 1970 : 103).

Kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian diatas, pendidikan akhlak anak adalah suatu bimbingan oleh si pendidik terhadap anak didik dengan tujuan membentuk kebiasaan atau sikap yang baik sehingga anak memiliki kepribadian yang utama.

(36)

Ibnu Miskawaih, merumuskan bahwa akhlak ialah suatu keadaan

bagi diri atau jiwa (al-Nafs) yang mendorong diri atau jiwa untuk melakukan

sesuatu perbuatan atau tindakan dengan senang tanpa didahului oleh daya

pemikiran, kerana sudah menjadi sifat atau kebiasaan

Cita-cita pendidikan sebagaimana yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih di isyaratkanya dalam awal kalimat kitab Tahzibul Akhlak ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia dan budi (jiwa/watak) serta lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia.

Dalam pendahuluan kitab “Tahzibul Akhlak” Ibnu Miskawaih :

انع هبردصت اقلخ انسفنل لصحن نا باتكلا اذه يف انضرع هيوكسم نب دمحا (لاق)

ةعاضب كلذ نوكيو ةقشم لو ةفلك ل انيلع ةلهس كلذ عم نوكتو ةليمج اهلك لاعفلا

قيرطو ميلعت بيترت ىلعو

Mengatakan, tujuan kami dalam kitab ini adalah agar mencapai budi pekerti yang melahirkan perbuatan-perbuatan luhur, serta mudah dilakukan dan tidak memberatkan atau menyakiti. Budi pekerti tersebut dapat dicapai dengan latihan dan pendidikan (Ibnu Miskawaih, 1954 : 9).

Hal ini sejalan dengan ayat Allah dalam surat Al-Furqan ayat 63 dan Ali Imrom ayat 112 yang berbunyi :



























(37)

Artinya : Dan hamba-hamba Tuhan yang maha penyayang itu (ialah) orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (Q.S. Al-Furqan : 63) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 568).









































































Artinya :Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu, karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas (Q.S. Ali Imron : 112) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 94).

Sebagai filusuf akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian serius terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa seorang anak itu diibaratkan sebagai mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak ini, jiwa binatang berakhir, sementara jiwa manusia mulai muncul. Menurutnya, anak-anak harus dididik mulai dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yakni daya keinginan, daya marah, dan daya berfikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, berpakaian, dan lainnya. Sementara daya berani diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berfikir dilatih dengan menalar, sehingga akan dapat menguasai segala tingkah laku.

Kehidupan utama anak-anak memerlukan dua syarat, yakni : Syarat kejiwaan, Syarat pertama ini tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta

(38)

kepada kebaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah pada anak yang berbakat baik. Bagi anak-anak tidak berbakat, maka hal ini bisa dilakukan dengan cara latihan membiasakan diri agar cenderung kepada kebaikan. Syarat sosial, Syarat kedua dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan anak dari pergaulan dengan teman-teman-teman-temannya yang berakhlak buruk, menumbuhkan rasa percaya diri pada dirinya, dan menjauhkan anak-anak dari lingkungan keluarganya pada saat-saat tertentu, serta memasukkan mereka ke tempat kondusif (Mudakir Fauzi, 2010 : 10).

Selanjutnya Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa banyak tingkatan manusia dalam menerima akhlak. Dalam konteks anak-anak, Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak atau karakter mereka muncul sejak awal pertumbuhan mereka. Anak-anak tidak menutup-nutupi dengan sengaja dan sadar, sebagaimana dilakukan orang dewasa.

Seorang anak terkadang merasa enggan untuk memperbaiki karakternya. Karakter mereka itu mulai dari karakter yang keras sampai kepada karakter yang malu-malu. Terkadang karakter anak-anak itu baik, terkadang pula buruk seperti kikir, keras kepala, dengki, dan seterusnya. Keberadaan berbagai karakter anak ini menjadi bukti bahwa anak-anak tidak memiliki tingkatan karakter yang sama. Tak hanya itu, sebagian mereka tanggap dan sebagian lain tidak tanggap, sebagian mereka lembut dan sebagian lagi keras, sebagian mereka baik dan sebagian lain buruk. Namun sebagian mereka berada pada “posisi tengah” di antara kedua kubu ini (Ibnu Miskawaih, 1994 : 38). Sebagai pendidik, maka orang tua harus mendisiplinkan karakter mereka. Jika tabiat-tabiat ini diabaikan, tidak

(39)

didisiplinkan, dan di koreksi, maka mereka akan tumbuh berkembang mengikuti tabiatnya. Selama hidupnya, kondisinya tidak akan berubah. Mereka akan memuaskan diri sesuai dengan apa yang dianggapnya cocok menurut selera alamiahnya, dan seterusnya.

Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat alqur’an yang memberi isyarat untuk itu seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi :





























Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya,karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal (Q.S. Al-Isra’ : 29) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 428).

























Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta)nya, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan menjaga di tengah-tengah antara yang kedua itu” (Q.S. Al-Furqan : 67) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 568).

Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh larena itu sungguhpun Ibnu Miskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam (Abuddin Nata, 2001 : 10).

(40)

Tidak sebatas itu, Ibnu Miskawaih memandang syari’at agama dapat menjadi faktor guna meluruskan karakter remaja. Syari’at agama menjadi penting karena dapat membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik. Syari’at agama pun dapat mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berfikir dan penalaran yang akurat. Dalam konteks ini, sebagai pendidik, maka orang tua wajib mendidik mereka agar menaati syari’at ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dilakukan melalui nasehat, pemberian ganjaran dan hukuman. Jika mereka telah membiasakan diri dengan prilaku ini, dan kondisi ini terus berlangsung lama, maka mereka akan melihat hasil dari prilaku mereka itu. Mereka pun akan mengetahui jalan kebajikan dan sampailah mereka pada tujuan mereka dengan cara yang baik.

B. Konsep Pendidikan Akhlak Anak

Bertolak dari pemikiran Ibnu Miskawaih diatas, Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Disini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang di-bangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibnu Miskawaih ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara sepontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai

(41)

kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan ini maka Ahmad al-Hamid as-Syair dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibnu Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab as-sa’adat di bidang akhlak. As-Sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna As-Sa’adat sebagaimana dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa inggris walau secara umum diartikan sebagai happines (Abuddin Nata, 2001 : 12). Menurutnya as-sa’adat merupakan konsep komprehensif yang didalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (succes), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness) dan kecantikan (beautitude).

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya (Abuddin Nata, 2001 : 12).

Menurut Ibnu Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak ini adalah mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga manusia itu dapat berprilaku terpuji dan sempurna sesuai dengan substansinya sebagai manusia, serta bertujuan mengangkat manusia dari derajat yang paling tercela sehingga menjadi derajat yang dicintai oleh Allah SWT. Secara tegas dapat dikatakan bahwa menurut Ibnu Miskawaih bahwa pendidikan akhlak ini bertujuan agar manusia menjadi manusia sempurna.

(42)

Menurut Ibnu Miskawaih, kesempurnaan manusia memiliki tingkatan dan substansi. Baginya kesempurnaan manusia ada dua macam, yakni kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan kognitif terwujud jika manusia mendapatkan pengetahuan sedemikian rupa sehingga persepsinya, wawasannya, dan kerangka berfikirnya menjadi akurat. Sementara kesempurnaan praktis ialah kesempurnaan karakter. Menurut Ibnu Miskawaih, kesempurnaan teoritis (kognitif) berkenaan dengan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa kesempurnaan praktis, begitu pula sebaliknya. Hal ini karena pengetahuan adalah permulaannya dan perbuatan itu akhirnya. Kesempurnaan sejati tercapai jika keduanya berjalan berkesinambungan. Di pihak lain, bagi Ibnu Miskawaih bahwa kesempurnaan manusia itu terletak pada kenikmatan spiritual, bukan kenikmatan jasmani.

2. Materi Pendidikan Akhlak

Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan , Ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, di ajarkan atau dipraktekan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua isi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh Ibnu Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.

Sejalan dengan uraian tersebut diatas Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah (1). Hal-hal yang

(43)

wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2). Hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3). Hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.

Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibnu Miskawaih dapat direroleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut Al-Ulum Al-Fikriyah, dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut Al-Ulum Al-Bissiyat. berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi yang terdapat dalam ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 41).

Ibnu Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi manusia disebutkan Ibnu Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa’i. Ibnu Miskawaih tidak memberi penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukan ini. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperincipun orang sudah dapat menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan shalat secara teratur yang paling sedikit dilakukan lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku’, dan sujud memang memiliki unsur olah tubuh. Shalat sebagai jenis olah tubuh akan dapat lebih dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan) bilamana dalam berdiri, ruku dan sujud dilakukan dalam tempo yang agak lama.

Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibnu Miskawaih dengan pembahasan

(44)

tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang terhadap ilmu. Adapun materi yang terkait dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.

Selanjutnya karena materi-mareri tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian terhadap Tuhan, Ibnu Miskawaih tampak akan menyetujuinya. Ia menyebutkan misalnya ilmu nahwu (tata bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibnu Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi yang ada dalam ilmu manthiq (logika) akan memnantu manusia untuk lurus dalam berfikir. Adapun materi yang terdapat dalam ilmu hitung Hisab) dan geometri (Al-Bandasat) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan. Sementara itu sejarah dan sastra akan membantu manusia berlaku sopan. Materi yang ada dalam syari’at sangat ditekankan oleh Ibnu Miskawaih, menurutnya dengan mendalami syari’at manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhoi Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kebahagiaan (As-Sa’adat) (Ibnu Miskawaih, 1994 : 54).

Dari uraian tersebut diatas terkesan bahwa materi pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar menjadi filusuf. Karena itu ia memberi

(45)

jalan agar seseorang memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu. Dalam hubungan ini Ibnu Miskawaih memberikan uraiaan tentang sejumlah ilmu yang dipelajari agar seseorang menjadi filusuf. Ilmu tersebut adalah : (1). Matematika (Ar-Riyadiyat), (2). Logika (Al-Manthiq) sebagai alat falsafat dan (3). Ilmu kealaman (Natural Science), menurutnya seseorang baru dapat dikatakan filusuf apabila sebelumnya telah mencapai predikat muhandis (Insinyur/Engineer), munajjim (Astrologer), tabib (Psysician), manthiqi (Logician), atau nahwi (Philologist/Grammarian), atau lainnya (Abuddin Nata, 2001 : 15).

Selain materi yang terdapat dalam ilmu-ilmu tersebut, Ibnu Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak agar dengan itu manusia akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab (Ibnu Miskawaih, 1994 : 54).

Pendapat Ibnu Miskawaih diatas lebih jauh mempunyai maksud agar setiap guru atau pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Para guru atau pendidik dipandang oleh Ibnu Miskawaih mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap bidang ilmu bagi pembentukan pribadi mulia.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Ibnu Miskawaih memberi makna kejasmanian terhadap sesuatu yang sudah pasti bernilai kerohanian. Untuk perintah shalat dan puasa misalnya, dikaitkan dengan kesehatan tubuh. Kegiatan ritual lainnya seperti haji, shalat jum’at dan berjamaah, ia terjemahkan sebagai upaya untuk membantu manusia untuk

(46)

mengembangkan cinta kepada sesama dan rasa persahabatan yang fitrawi agar manusia tidak saling berselisih. Hal ini sangat berbeda dengan pendat Al-Ghazali tentang manfaat shalat yang dinilainya semata-mata untuk keuntungan jiwa Individual (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 53).

Apabila dianalisa secara seksama terlihat, bahwa berbagi ilmu yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan semata-mata karena ilmu sendiri, atau tujuan akademik semata-mata tetapi karena tujuan lain yang lebih substansial, pokok dan hakiki, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa akhlak yang mulia, dan bukan semata-mata ilmu. Dengan cara demikian, semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi pula akhlaknya.

Namun untuk meliahat sisi akhlak yang terdapat dalam setiap ilmu yang diajarkan diperlukan adanya kemampuan metodologi dan pendekatan dalam penyampaiaan setiap ilmu. Seseorang yang mengajarkan ilmu matematika atau fisika misalnya, selain dapat menggunakan pendekatan secara integrated, yaitu dengan melihat ilmu tersebut dari suatu sudut atau lainnya, misalnya dari aspek akhlak atau moral. Dengan cara demikian seseorang yang mempelajari ilmu tersebut selain memiliki keahlian dalam matematika dan fisika untuk keperluan hitungan bagi kepentingan pembangunan misalnya dapat memiliki akhlak yang mulia.

3. Pendidik dan Anak Didik

Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak

(47)

didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya (Abuddin Nata, 2001 : 17).

Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibnu Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syari’at sebagai acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibnu Miskawaih mendudukkan cinta terhadap guru berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 133 ). Alasan yang ia ajukan adalah karena seorang guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan illahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan bijaksana yang tinggi dan

(48)

menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 134).

Namun demikian, Ibnu Miskawaih tampaknya tidak menempatkan guru secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut diatas. Guru menempati posisi yang demikian tinggi itu adalah guru yang berderajat Mu’alim Al-Misal (misalnya), Al-Hakim atau Al-Mualim Al-Hikmat (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 134).

Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih terhadap Allah (Abuddin Nata, 2001 : 18).

Dari pandangan demikian itu, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan diatas disini sama oleh Ibnu Miskawaih denganseorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab. Menurutnya yang tergolong sebagai teman atau saudara adalah orang yang satu keturunan atau lainnya, baik anak-anak maupun orang tua (Ibnu Miskawaih, 1994 : 140).

Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat memudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat memudar. Ketiga, cinta yang

(49)

melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat dan keempat cinta yang melekatnya lambat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya kenikmatan, termasuk cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.

Macam-macam cinta ini, menurutnya sekedar cinta manusiawi. Ibnu Miskawaih sangat mengharapkan adanya cinta selain itu semua. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan itu, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempurna. Cinta yang demikian disebutnya dengan cinta illahi. Cinta ini tidak memiliki cacat sedikitpun, karena ia muncul dari manusia yang suci terlepas dari pengaruh kematerian. Pemikiran demikian itu sejalan dengan tujuan pemikiran akhlak yang telah diuraikan diatas.

Adapun posisi teman atau saudara, menurut Ibnu Miskawaih, paling tinggi hanya mungkin diletakkan diatas berbagi hubungan cinta kasih tersebut, tetapi masih berada dibawah cinta murni. Dengan demikian, maka cinta murid terhadap guru biasa, masih menempati posisi lebih tinggi dari pada cinta anak terhadap orang tua, hanya saja tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Seperti halnya pada masalah lain, Ibnu Miskawaih selalu berusaha mencari yang terbaik. Yang terbaik,

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tayangan iklan IM3 versi voucher internet menggunakan bintang iklan Adly Fayruz dan Junior Liem yang dianggap mewakili remaja dewasa dan mencerminkan produk

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap siswa ditemukan (1) 25% siswa bergaul dengan lawan jenis namun sebaliknya 10% siswa tidak bergaul dengan

Konsep manusia selalu melihat yang adil itu satu orang dapat satu, maka yang lain juga dapat satu, atau kalau diprosentase maka pembagian untuk dua orang masing- masing harus

Peserta Ronde Nasional Mahasiswa dan Pelajar hanya atlet yang belum pernah mengikuti Pelatda, Pelatnas, dan binaan PP Perpani dan atau dibatasi oleh skor yang akan ditetapkan

Banyak komplikasi yang muncul akibat penyakit diabetes ini, hal yang dapat dilakukan oleh penderita DM adalah mencegah komplikasi dengan cara mengontrol dan mengendalikan

Walau begitu, dengan masih tingginya harga batubara serta digenjotnya produksi, UNTR dinilai tidak akan kesulitan mencapai target penjualan alat berat untuk tahun

Dalam melaksanakan transaksi jual beli, hal yang penting diperhatikan adalah mencari barang yang halal dan dengan jalan yang halal pula artinya carilah barang yang halal

Oleh karena keberadaan penelitian mengenai suporter sepakbola yang masih terhitung minim, juga karena ketertarikan saya mengenai dunia suporter sepakbola dan keinginan