• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mobilisasi Dini ICU 30-04-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mobilisasi Dini ICU 30-04-2013"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

EARLY MOBILITY AND WALKING PROGRAM FOR

PATIENTS IN INTENSIVE CARE UNITS: CREATING A

STANDARD OF CARE

DISUSUN

UNTUK

MEMENUHI

TUGAS

PROFESI

SURGICAL OF

N

URSING

K

ELOMPOK

1

 Moh. AMIN

105070209111031

 ARDIYAD

105070209111030

 KRISTIANITA

105070209111008

 OKTIFA

1050702091110

 LILIK S

1050702091110

 NASRULLAH

105070209111027

 ABDURAHMAN

105070209111022

 TAUFIK. A

105070209111039

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”

EARLY MOBILITY AND WALKING PROGRAM FOR PATIENTS IN INTENSIVE CARE UNITS: CREATING A STANDARD OF CARE

”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas profesi Surgical of nursing

Jurusan Ilmu Keperawatan Universitas Brawijaya Malang.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang bersifat

membangun sangat kami harapkan demi peningkatan penyusunan makalah kami

berikutnya.

Penulis berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak yang membutuhkan.

(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Pada dasarnya, setiap orang memiliki kebutuhan yang sama. Akan tetapi karena terdapat perbedaan budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berfikir keras dan bergerak untuk berusaha mendapatkan

Abraham maslow mengemukakan Teori Hierarki Kebutuhan yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki 5 kebutuhan dasar, yaitu : kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar pada manusia, kebutuhan rasa aman dan perlindungan dibagi menjadi : a. Perlindungan fisik meliputi perlindungan atas ancaman terhadap tubuh atau hidup, b. Perlindungan psikologis yaitu perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. Kebutuhan rasa cinta, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki. Kebutuhan akan harga diri maupun perasaan dihargai oleh orang lain. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi dalam hierarki maslow berupa kebutuhan.

Pemenuhan kebutuhan dasar pada manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut : 1. Penyakit, Jika dalam keadaan sakit maka beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar dari biasanya. 2. Hubungan keluarga yang baik dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya. 3. Konsep diri yang positif memberikan makna dan keutuhan bagi seseorang. Konsep diri yang sehat memberikan perasaan yang positif terhadap diri. Orang yang merasa positif tentang dirinya akan mudah berubah, mudah mengenali kebutuhan dan mengembangkan cara hidup yang sehat sehingga lebih mudah memenuhi kebutuhan dasarnya. 4. Tahap perkembangan, Setiap tahap perkembangan manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda, baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual.

Kebutuhan fisiologis atau kebutuhan fisik manusia merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang harus terpenuhi agar kelangsungan hidup bisa bertahan. Ada beberapa kebutuhan fisik manusia yang akan dibahas yaitu Mobilisasi yang merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur serta pengaturan posisi sebagai salah satu cara mengurangi resiko menghindari terjadinya dekubitus/pressure area akibat tekanan yang menetap pada bagian tubuh dan mempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai dengan body aligmen (Struktur tubuh).

Mobilisasi mempunyai banyak tujuan, seperti mengekspresikan emosi dengan gerakan nonverbal, pertahanan diri, pemenuhan kebutuhan dasar, aktivitas kehidupan sehari-hari dan kegiatan rekreasi.Dalam mempertahankan mobilisasi fisik secara optimal maka system saraf, otot, dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi baik.

(4)

Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada satu rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial di antaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).

B. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana bentuk/kebutuhan mobilisasi dan imobilisasi dalam Keterampilan Keperawatan Dasar?

2. Bagaimana pengaturan dan penjelasan dalam mobilisasi dini dan Posisi pada pasien?

C. Tujuan

Tujuan dibentuknya makalah ini adalah:

1. Untuk memenuhi apa dan bagaimana mobilisasi dan imobilisasi sesuai dengan Keterampilan Keperawatan Dasar.

2. Untuk memenuhi pengaturan dan fungsi Posisi dan Mobilisasi dini pada pasien dalam Keterampilan Keperawatan Dasar.

(5)

BAB II 2.1. Pengertian

Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya. Sedangkan gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American

Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika

individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al, 1995 dalam Fundamental Keperawatan Potter dan Perry, Ed. 4, Vol. 2).

Mobilisasi dan Imobilisasi berada pada suatu rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial di antaranya.Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi mobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).

Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik.

2.2. Jenis Mobilisasi dan Imobilisasi

1. Jenis Mobilisasi

a. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

b. Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilisasi sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.

2. Mobilisasi permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang ireversible, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya system saraf motorik dan sensorik.

(6)

a. Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan. b. Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang

mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Imobilisasi emosional, keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

d. Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

3. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi

a. Gaya Hidup. Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi

kemampuan mobilisasi seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.

b. Proses Penyakit/Cedera. Proses penyakit dapat memengaruhi

kemampuan mobilisasi karena dapat memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang mengalami fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bawah.

c. Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga

dipengaruhi kebudayaan. Contohnya orang yang memiliki budaya sering berkelanjutan jauh memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilisasi (kaki) karena adat dan kebudayaan tertentu dilarang untuk beraktivitas.

d. Tingkat Energi. Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi.

Agar seseorang dapat melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.

e. Usia dan Status Perkembangan. Terdapat perbedaan kemampuan

mobilisasi pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.

4. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilisasi

Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi gangguan.Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung dari umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami.Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda (Perry dan Potter, 1994).

(7)

a. Perubahan Metabolisme

Secara umum imobilisasi dapat mengganggu metabolisme secara normal, mengingat imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini juga dpat berisiko meningkatkan gangguan metabolisme.Defisiensi kalori dan protein merupakan karakteristik klien yang mengalami penurunan selera makan sekunder akibat imobilisasi. Protein disintesis dan diubah menjadi asam amino dalam tubuh untuk dibentuk kembali menjadi protein lain secara konstan. Asam amino yang tidak digunakan akan diekskresikan. Tubuh dapat mensintesa asam amino tertentu (nonesensial) tetapi tergantung pada protein yang dikonsumsi untuk menyediakan delapan asam amino esensial. Jika lebih banyak nitrogen (produk akhir pemecahan asam amino) yang diekskresikan dari pada yang dimakan dalam bentuk protein, maka tubuh dikatakan mengalami keseimbangan nitrogen negatif, dan kehilangan berat badan, penurunan massa otot, dan kelemahan akibat katabolisme jaringan. Kehilangan protein menunjukkan penurunan massa otot terutama pada hati, jantung, paru-paru, saluran pencernaan, dan sistem kekebalan (Long et al, 1993 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter ed.4, Vol.2). Beberapa dampak perubahan metabolisme di antaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dang gangguan gastrointestinal.

b. Ketidakseimbangan cairan dan Elektrolit

Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilisasi akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravascular ke interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Ekskresi kalsium dalam urine ditingkatkan melalui resorpsi tulang.Imobilisasi menyebabkan pelepasan kalsium ke dalam sirkulasi.Dalam keadaan normal ginjal dapat mengekskresi kelebihan kalsium.Jika ginjal tidak mampu berespon dengan tepat maka terjadi hiperkalsemia (Holm, 1989 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed.4, Vol.2).

c. Gangguan Fungsi Gastriointestinal

Imobilisasi dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena imobilisasi dapat menurunkan hasil

(8)

makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.Gangguan fungsi gastrointestinal bervariasi dan mengakibatkan penurunan motilitas saluran gastrointestinal. Konstipasi merupakan gejala umum.Diare sering terjadi akibat impaksi fekal.Perawat harus waspada terhadap temuan penemuan seperti ini yaitu bukan diare yang normal, tetapi lebih cair feses yang berkelanjutan melalui area yang terjepit.Jika dibiarkan tidak ditangani, impaksi fekal dapat mengakibatkan obstruksi usus mekanik sebagian ataupun keseluruhan yang menyumbat lumen usus, menutup dorongan normal dari cairan dan udara.Akibat adanya cairan dalam usus menimbulkan distensi dan peningkatan tekanan intraluminal.Selanjutnya, fungsi usus menjadi tertekan, terjadi dehidrasi, terhentinya absorbsi, dan gangguan cairan dan elektrolit semakin memburuk.

d. Perubahan Sistem Pernapasan

Akibat imobilisasi, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga menyebabkan anemia.

e. Perubahan Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular juga dipengaruhi oleh imobilisasi.Ada tiga perubahan utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan pembentukan thrombus.Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri.Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom.Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance and Huether, 1994 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol.2).Jika beban kerja jantung meningkat maka konsumsi oksigen juga meningkat.Oleh karena itu jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat yang lama.Jika imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan efisiensi jantung yang lebih lanjut dan peningkatan bebanm kerja.Klien juga berisiko terjadi pembentukan thrombus.Kelainan aliran darah vena yang lambat akibat tirah baring dan imobilisasi dapat menyebabkan akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh darah.

(9)

Perubahan yang terjadi dalam sistem musculoskeletal sebagai dampak dari imobilisasi adalah sebagai berikut :

 Pengaruh Otot.Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan.Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan, penururnan massa otot, atrofi dan kelainan sendi yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu bergerak terus menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.

 Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989 dalam Fundamental KeperawatanPerry dan Potter Ed.4, Vol.2). Apabila osteoporosis terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga menyebabkan kalsium terlepas ke dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadi hiperkalsemia. Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi dimana terjadi kondisi abnormal dan biasanya permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur sering menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi (Lehmkuhl et al, 1990 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol. 2). Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot

drop, dimana kaki terfiksasi pada posisi plantarfleksi secara

permanen. Ambulasi sulit pada kaki dengan posisi ini.

g. Perubahan Sistem Integumen

Perubahan sistem integument yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya luka decubitus sebagai akibat tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.

h. Perubahan Eliminasi

Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter membentuk

(10)

garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.Klien dengan imobilisasi berisiko terjadi pembentukan batu karena gangguan metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia. Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang terbatas, dan penyebab lain seperti demam, akan mengakibatkan resiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun, umunya urine yang diproduksi berkonsentrasi tinggi.Urine yang pekat ini meningkatkan risiko terjadi batu dan infeksi.Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi terutama pada wanita, meningkatkan risiko kontaminasi saluran perkemihan oleh bakteri Escherechia Coli. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.

i. Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilisasi karena selama proses imobilisasi seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain.

2.3. Mobilisasi Dini

Definisi Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini menurut Carpenito tahun 2000 adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.

Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas.

Mobilisasi dini merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca bedah dan dapat mencegah komplikasi pasca bedah. Banyak keuntungan bisa diraih dari latihan ditempat tidur dan berjalan pada periode dini pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko-resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan/penegangan otot-otot di seluruh tubuh dan sirkulasi darah dan pernapasan terganggu, juga adanya gangguan peristaltik maupun berkemih. Sering kali dengan keluhan nyeri di daerah operasi klien

(11)

tidak mau melakukan mobilisasi ataupun dengan alasan takut jahitan lepas klien tidak berani merubah posisi. Disinilah peran perawat sebagai edukator dan motivator kepada klien sehingga klien tidak mengalami suatu komplikasi yang tidak diinginkan.

Bentuk Mobilisasi Dini 1. Berdiri

2. Duduk

3. Berpindah dari satu kelompok lain, seperti :

 Dari tempat tidur ke kursi,

 Dari kursi biasa ke kursi berlubang,

 Dari kursi roda ke kloset duduk,

 Dari lantai ke kursi atau tempat tidur,

 Bangkit dari duduk,

 Berjalan :

 dengan bantuan

 Penyangga kaki dari logam  Sepatu khusus

 Bidai  Kaki palsu

 Menggerakkan tubuh, bahu, tangan dan lengan untuk berbagai macam gerakan, seperti :

 1). Menggerakkan dan melepaskan pakaian  2). Menjaga kebersihan pribadi,

 3). Mengerjakan pekerjaan rumah tangga

 Melakukan gerakan badan

 Mobilisasi dengan bantuan alat mekanik

 Kursi roda : di dorong oleh orang lain di jalanan sendiri. (Roper, 2002)

Bentuk Lain Mobilisasi Dini

1. Membantu pasien duduk di tempat tidur

Tindakan ini merupakan salah satu cara mempertahankan kemampuan mobilitas pasien:

 Memenuhi kebutuhan mobilitas

 Mempertahankan toleransi terhadap aktivitas

 Mempertahankan kenyamanan Bentuknya meliputi :

Mengatur posisi pasien di tempat tidur 1. Posisi fowler

Posisi dengan tubuh setengah duduk atau duduk Tujuan :

a. Mempertahankan kenyamanan b. Memfasilitas fungsi pernafasan 2. Posisi SIM

(12)

Pada posisi ini pasien berbaring miring, baik miring ke kanan atau miring ke kiri.

Tujuan :

a. Memberikan kenyamanan b. Melakukan hukna

c. Memberikan obat per anus (supositorial) d. Melakukan pemeriksaan daerah anus 3. Posisi trendelenburg

Posisi ini menempatkan pasien di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah dari bagian kaki.

Tujuan : Memperlancar peredaran darahke otak 4. Posisi Dorsal Recumbent

Pada posisi ini, pasien ditempatkan pada posisi terlentang dengan kedua lutut fleksi di atas tempat tidur.

Tujuan :

a. Perawatan daerah genitalia b. Pemeriksaan genetalia

c. Posisi pada proses persalinan 5. Posisi Litotomi

Pada posisi ini, pasien ditempatkan pada posisi terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan ditarik ke atas abdomen.

Tujuan :

a. Pemeriksaan alat genetalia b. Proses persalinan

c. Pemasangan alat kontrasepsi 6. Posisi Genu Pektoral (Knee chest)

Pada posisi genu pektoral, pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel pada bagian alas tempat tidur.

Tujuan : Pemeriksaan daerah rektum dan sigmoid

2. Memindahkan pasien dari tempat tidur satu ke kursi roda

Aktivitas ini dilakukan pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi roda.

Tujuan :

a. melatih otot skelet mencegah kontraktur b. Mempertahankan kenyamanan pasien c. mempertahankan kontrol diri pasien

d. Memindahkan pasien untuk pemeriksaan (diagnosa, fisik)

3. Memindahkan pasien oleh dua atau tiga perawat

 Pada tindakan ini pemindahan pasien dilakukan oleh dua sampai tiga orang perawat. Pemindahan ini dapat dari tempat tidur atau ke brankart atau dari satu tempat tidur ke tempat tidur yang lain. Pemindahan ini biasanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat atau tidak boleh melakukan pemindahan sendiri. Hal yang perlu

(13)

disiapkan sama dengan pemindahan pasien ke tempat tidur ke kursi roda.

 Tujuan : Memindahkan pasien dari rungan satu ke ruangan yang lain untuk tujuan tertentu (pemeriksaan diagnostik atau pindah ruangan)

4. Membantu pasien berjalan

 Seperti halnya tindakan lain, membantu pasien berjalan memerlukan persiapan. Perawat mengkaji beberapa toleransi pasien terhadap aktivitas, kekuatan, adanya nyeri dan keseimbangan pasien untuk menentukan jumlah bantuan yang diperlukan paien.

 Aktivitas ini memungkinkan memerlukan alat seperti kruk dan tongkat. Namun ada prinsipnya, perawat dapat melakukan aktivitas ini meskipun tanpa menggunakan alat.

Tujuan :

a. Memulihkan kembali toleransi aktivitas b. Mencegah terjadinya kontraktur sendi

Tabel Derajat Kekuatan Otot

Skala % Kekuatan Normal Keterangan

0 0 Paralisis sempurna

1 10 Tidak ada gerakan,

kontraksi otot dapat di palpasi atau di lihat

2 25 Gerakan otot penuh

melawan gravitasi, dengan topangan

3 50 Gerakan yang normal

melawan gravitasi

4 75 Gerakan yang penuh

melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan

penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan penuh. (A.Aziz. Alimul Hidayat dan Musrifatul Uliyah, 2004)

Macam Mobilisasi Dini 1. Mobilisasi penuh

Yaitu seluruh anggota dapat melakukan mobilisasi secara normal. Mobilisasi penuh mempunyai peranan penting dalam menjaga kesehatan baik secara fisiologis maupun psikologis.

(14)

 Yaitu sebagian dari anggota badan yang dapat melakukan mobilisasi secara normal.

 Terjadi pada pasien dengan gangguan saraf motorik dan sensorik, terdiri dari :

1. Mobilisasi sebagian dengan temporer, disebabkan oleh trauma yang reversibel

2. Pada sistem muskuloskeletal

3. Mobilisasi sebagian permanen disebabkan karena rusaknya sistem saraf yang reversibel (hemiplagi karena kecelakaan).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Gerak 1. Sendi

Yaitu pertemuan antara dua atau lebih ujung tulang 2. Tulang

Merupakan jaringan hidup yang mempulnyai banyak suplai darah.Tulang dapat tumbuh dan memperbaiki dirinya. Fungsi tulang sebagai tuas untuk menggerakkan otot-otot dan menyimpan kalsium dan fosfat, mengeluarkannya bila dibutuhkan.

3. Tendon

Merupakan jaringan ikat yang kuat, berwarna putih dan tidak elastis untuk melekatkan otot pada tulang.

4. Ligamen

Merupakan pita jaringan fibrosa yang kuat dan berfungsi untuk mengikat serta menyatukan tulang atau bagian lain untuk menyangga suatu organ. 5. Otot

Otot dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Otot skeletal yaitu otot yang ditemukan pada tulang rawan atau kulit. Dikendalikan melalui sistem syaraf pusat, serat-seratnya memperlihatkan garis-garis melintang.

2. Otot polos ditemukan pada dinding visera dan pembuluh darah. Dikendalikan melalui sistem syaraf otonom, serat-seratnya tidak memperlihatkan garis melintang.

3. Otot jantung yang hanya ditemukan di jantung 6. Sistem syaraf

Jaringan syaraf dibentuk dari neuron yang sel-selnya terkadang mengalami proses yang sangat panjang dikhususkan untuk penghantar implus syaraf yang menyokong dan memberi makan neuron-neuron.Neuron adalah unit dasar sistem persyarafan. (Cambridge Comunication Limited, 1998)

Resiko Bila Tidak Melakukan Mobilisasi

Berbagai masalah dapat terjadi bila tidak melakukan mobilisasi dini, misalnya : 1. Gangguan pernafasan yaitu sekret akan terakumulasi pada saluran

pernafasan yang akan berakibat klien sulit batuk dan mengalami gangguan bernafas.

(15)

2. Pada sistem kardiovaskuler terjadi hipotensi ortostatik yang disebabkan oleh sistem syaraf otonom tidak dapat menjaga keseimbangan suplai darah sewaktu berdiri dari berbagai dalam waktu yang lama.

3. Pada saluran perkemihan yang mungkin terjadi adalah statis urin yang disebabkan karena pasien pada posisi berbaring tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara sempurna.

4. Pada gastrointestinal terjadi anoreksia diare atau konstipasi. Anoreksia disebabkan oleh adanya gangguan katabolisme yang mengakibatkan ketidak seimbangan nitrogen karena adanya kelemahan otot serta kemunduran reflek deteksi, maka pasien dapat mengalami konstipasi.

Jenis Gerakan Sendi 1. Fleksi

Yaitu tindakan menekuk dua ujung sesuatu alat saling mendekati atau keadaan dua ujung sesuatu alat yang tertekuk berekatan.

2. Ekstensi

Yaitu gerakan yang membesarkan sudut antara dua ujung tulang yang bersendi. Gerakan yang menjauhkan ujung-ujung alat atau bagian tubuh. Hiperektensi yaitu ekstensi lebih lanjut.

3. Abduksi

Yaitu gerakan anggota badan atau mata kesisi menjahui sumbu tengah tubuh

4. Rotasi

Yaitu gerakan memutari pusat axis dari tulang 5. Eversi

Yaitu tindakan memutarkan telapak kaki kebagian luar 6. Inversi

Yaitu putar bagian telapak kaki kebagian dalam membentuk sudut dari persendian

7. Pronasi

Yaitu pemutaran lengan bawah ke dalam 8. Supinasi

(16)

BAB 3

TREND ISUE MOBILISASI DINI UNTUK PASIEN DI ICU

A. Early mobility and walking program for patients intensive care unit: creating a standard of care

Teknologi baru dalam perawatan kritis dan ventilasi mekanis telah membantu meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien sakit kritis. Mobilitas dini dan program berkelanjutan dikembangkan untuk memberikan pedoman bagi mobilitas dini yang akan membantu tenaga kesehatan bekerja di unit perawatan intensif, terutama tenaga kesehatan yang bekerja dengan pasien yang menerima ventilasi mekanis. Perawatan yang lama di unit perawatan intensif dengan menggunakan ventilasi mekanis dapat menyebabkan penurunan fungsional dan meningkatan morbiditas, mortalitas, biaya perawatan, dan lama tinggal di rumah sakit. Pelaksanaan mobilitas dini dan program yang berkelanjutan bisa memiliki efek menguntungkan pada semua faktor ini. Program meliputi mobilisasi progresif dan berkelanjutan, dengan perkembangan berdasarkan kemampuan fungsional pasien dan kemampuan untuk mentolerir aktivitas yang ditentukan. Program dibagi menjadi 4 tahap. Setiap fase mencakup pedoman positioning, latihan terapi, transfer, pendidikan kembali berkelanjutan, dan durasi dan frekuensi sesi mobilitas. Selain itu, kriteria untuk maju ke tahap berikutnya telah disediakan. Penggunaan program ini menuntut upaya kolaborasi di antara anggota tim multidisiplin dalam rangka mengkoordinasikan merawat dan memberikan mobilisasi yang aman bagi pasien di unit perawatan intensif. (American Journal of Critical Care. 2009; 18:212-221)

Teknologi baru dalam perawatan kritis dan ventilasi mekanis telah membantu meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang pasien sakit kritis dan peningkatansecara signifikan dalam jumlah pasien yang tergantung ventilator. Setiap tahun, lebih dari 1 juta pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) di Amerika Serikat. Selain penyakit penyerta mereka, pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis memiliki banyak hambatan untuk mobilitas. Mereka dikelilingi oleh kateter, tabung, dan dukungan peralatan pemantauan hidup. Mobilisasi dianggap sebagai tugas yang kompleks, dan Oleh karena itu pasien sering diistirahatkan. Setelah 1 minggu istirahat, kekuatan otot dapat menurunkan sebanyak 20%, dengan kerugian 20% tambahan, kekuatan yang tersisa masing-masing setiap minggu. Otot yang melemah dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen Kelemahan ini memberi tantangan untuk penyapihan dari dukungan ventilasi. Bedrest dan tidak beraktivitas adalah salah satu faktor risiko penyebab kelemahan neuromuskuler, dan korelasi yang kuat antara jenis kelemahan dan ventilasi mekanis berkepanjangan. Pernapasan dan kekuatan otot ekstremitas berubah setelah 1 minggu menggunakan ventilasi mekanis, dan kelemahan otot pernapasan dikaitkan dengan ekstubasi tertunda dan ventilasi berkepanjangan.

Banyak bukti yang dipublikasikan menunjukkan bahwa pasien di unit perawatan intensif memiliki morbiditas tinggi dan kematian, tingginya biaya

(17)

perawatan, dan ditandai penurunan fungsional status. Dihadapkan dengan tanggung jawab menangani masalah ini, tenaga kesehatan profesional telah ditantang untuk mempromosikan meningkatkan status fungsional awal dalam pengobatan kritis pasien sakit. Menariknya, bahkan latihan intensitas tinggi yang dilakukan di tempat tidur tidak melawan efek merugikan bedrest. Temuan ini berkaitan dengan pergeseran cairan intravaskuler jauh dari ekstremitas ke rongga dada yang disebabkan oleh penghapusan gravitasi stres. Dengan asumsi posisi tegak, bagaimanapun, membantu menjaga distribusi cairan yang optimal dan karena itu meningkatkan toleransi ortostatik. Atas dasar temuan ini, telah direkomendasikan bahwa posisi tegak dimasukkan dalam rencana mobilitas care.

Pentingnya mobilisasi dini telah dibahas sebelumnya. Pada tahun 1972, Foss menjelaskan teknik untuk menambah ambulasi selama ventilasi dari pasien yang menerima ventilasi mekanis. Foss juga menggambarkan manfaat terapi kegiatan fisik: rasa peningkatan kesejahteraan dan meningkatkan kekuatan umum. Pada tahun 1975, Burns dan Jones (dalam sebuah surat kepada editor) menggambarkan penggunaan alat bantu jalan (walker) yang dapat mengakomodasi ventilator, oksigen, dan kateter intravena dan memiliki bangku terpasang di mana pasien dapat duduk dan beristirahat. Mereka juga menyatakan bahwa memberikan ambulasi dini untuk pasien yang menerima ventilasi mekanis difasilitasi penyapihan dari dukungan ventilasi dan diminimalkan masalah yang terkait dengan bedrest yang berkepanjangan. Sebuah walker yang sama digunakan untuk ventilator berhasil digunakan untuk merehabilitasi seorang pasien yang mengalami komplikasi setelah operasi jantung dan perlu ventilator dalam jangka lama.

Dalam satu studi, protokol aktivitas secara prospektif diterapkan untuk semua pasien dengan gagal pernapasan yang dirawat di sebuah 8 tempat tidur ventilator ICU. Protokol ini mulai 4 hari setelah ventilasi mekanis dimulai. Tingkat penyakit penyerta tidak selalu mempengaruhi ambulasi ketika dimulai atau membatasi kemampuan pasien untuk ambulasi. Dalam penelitian yang sama, tidak ada extubations atau komplikasi yang terjadi ditambahkan untuk biaya perawatan pasien. Kesimpulan adalah bahwa aktifitas dini pada pasien dengan kegagalan pernapasan tidak hanya layak dan aman, tetapi juga merupakan suatu intervensi yang memiliki potensi untuk mencegah atau mengobati komplikasi neuromuskuler penyakit kritis.

Dalam study lain di mana protokol mobilitas disampaikan oleh tim mobilitas ICU, baik lama tinggal di ICU dan di rumah sakit dapat diperpendek untuk pasien dengan kegagalan pernapasan yang membutuhkan ventilasi mekanis. Dalam waktu 22 bulan, 309 pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok protokol atau Kelompok nonprotocol ketika dirawat di ICU. Tim mobilitas fisik terdiri dari perawat, asisten perawat, dan fisioterapis.

Fisioterapis Profesional telah dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari tim interdisipliner yang menyediakan perawatan pada pasien sakit kritis. Namun,

(18)

bukti ilmiah dari efektivitas fisiotherapis masih terbatas. Terapi fisik di ICU bisa termasuk salah satu intervensi terapi berikut: positioning, pendidikan, hiperinflasi manual; perkusi, getaran, suction, batuk, rentang gerak, strengthening, dan / atau latihan pernapasan; dan mobilisasi. Meskipun mobilisasi melibatkan stimulus gravitasi dan ambulasi pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis direkomendasikan, mobilisasi tersebut tidak selalu bagian dari pengobatan terapi fisik. Salah satu alasan untuk inkonsistensi yang bisa kurangnya standar untuk profesi terapi fisik di ICU karena perbedaan yang signifikan dalam praktek di rumah sakit, ICU, negara, level staf, pelatihan, dan keahlian. Meskipun terapi pernafasan merupakan profesi yang sudah ada di Amerika Serikat, di sebagian besar negara lain, terapis fisik bekerja di ICU terutama bertanggung jawab untuk Bersihan jalan nafas dan perawatan pernapasan. Karena peran spesifik fisiotherapis di ICU tidak didefinisikan dengan baik, itu bervariasi jauh, dan intervensi digunakan pada kebijaksanaan masing-masing profesional.

Mobilisasi dini pasien kritis yang menerima ventilasi mekanis adalah praktek terapi fisik tingkat lanjut. Mobilisasi tersebut memerlukan pendidikan dan keterampilan khusus dalam bidang tertentu yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan klinis serta resep pengobatan untuk pasien tersebut. Pendidikan kembali pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis dalam ICU berhubungan antara istirahat dan kemampuan untuk menanggung berat badan, berjalan, dan meningkatkan fungsi mobilitas. Terapis fisik harus menjadi bagian integral dari tim interdisipliner di ICU yang terlibat dalam pelaksanaan program ini, karena terapi fisik berada dalam posisi yang unik dengan kemampuan dan keahlian untuk menilai fungsi neuromuskuler akurat dan memberikan rehabilitasi yang sesuai teknik.

Tujuan dari mobilitas awal dan program berkelanjutan ini adalah untuk memberikan pedoman yang dapat membantu dokter yang bekerja dengan pasien di ICU, terutama pasien yang menerima ventilasi mekanis. Program memfasilitasi pengembangan rencana pengobatan dengan fokus pada kemampuan fungsional individu, mobilisasi progresif, dan kegiatan berkelanjutan lebih awal. Sebuah awal evaluasi terapi fisik secara menyeluruh sangat membantu untuk mengembangkan tujuan yang tepat dan rencana perawatan untuk mobilitas pasien di ICU (Tabel 1). Berdasarkan informasi ini, tujuan terapi fisik dan rencana individu perawatan yang diuraikan. Pada titik ini, pasien dimasukkan dalam tahap yang tepat dari awal dan mobilitas Program berkelanjutan. Dokter pasien dan Perawat harus tersedia untuk membantu dalam keputusan keputusan terkait dengan masalah medis yang sedang berlangsung.

Program ini dibagi menjadi 4 tahap dan mudah digunakan (Tabel 2 dan 3). Informasi yang diberikan termasuk jenis pasien untuk siapa setiap fase yang tepat, mobilitas tidur, transfer, kiprah, latihan terapiutik, posisi, pendidikan, dan durasi dan frekuensi sesi mobilitas. Selain itu, kriteria umum untuk perkembangan terapi intervensi yang ditawarkan. Mobilitas awal dan Program berkelanjutan menyediakan pendekatan praktis untuk membantu petugas kesehatan dalam pengelolaan pasien di ICU, terutama pasien yang

(19)

membutuhkan ventilasi mekanik. Mobilitas dini dapat didefinisikan sebagai awal program mobilitas ketika pasien minimal mampu berpartisipasi dengan terapi, memiliki Status hemodinamik stabil, dan mampu menerima oksigen. Penekanan ditempatkan pada mobilitas progresif, kemampuan fungsional individu, dan ambulasi pasien yang memenuhi kriteria tertentu.

Komunikasi yang baik dalam tim multidisiplin ICU, yang meliputi dokter, terapis fisik, perawat, dan terapis pernafasan, sangat penting untuk menyediakan mobilisasi sesuai, tergantung pada stabilitas medis pasien. Stabilitas medis didefinisikan sebagai memiliki perfusi cukup untuk mempertahankan fungsi organ normal. Parameter diterima adalah denyut jantung kurang dari 110/min saat istirahat, sebuah arteri rata-rata tekanan darah antara 60 dan 110 mm Hg, dan sebagian kecil dari oksigen inspirasi kurang dari 0,6. Tambahan oksigen biasanya dititrasi untuk mempertahankan oksigen saturasi lebih besar dari 88% dengan aktivitas. Pengetahuan dari nilai-nilai normatif adalah penting, tetapi kemampuan untuk memahami dan memutuskan apa yang dapat diterima untuk masing-masing Pasien juga penting. Keputusan ini bersifat individual Sesuai dengan permasalahan medis pasien saat ini, dan parameter yang ditentukan setelah diskusi dengan tim medis. Karena sifat kritis penyakit pasien dan perubahan konstan dalam keseluruhan kondisi medis, tanda-tanda vital pasien harus hati-hati dinilai sebelum, selama, dan sesudah intervensi mobilitas.

Setelah evaluasi terapi fisik selesai, terapis fisik harus menentukan fase program di mana pasien harus dimasukkan dan harus menetapkan rencana mobilitas perawatan (Tabel3). Selama setiap intervensi mobilitas yang direncanakan, Perawat harus tersedia untuk membahas medis saat status dan rencana yang diusulkan perawatan, untuk mengelola obat jika perlu, dan untuk membantu yang diperlukan untuk menjamin keselamatan pasien. Seorang terapis pernafasan harus hadir untuk membantu dengan manajemen ventilator. Sebuah penilaian singkat dilakukan sebelum setiap sesi terapi fisik untuk menentukan apakah mobilisasi yang direncanakan masih sesuai. Rencana perawatan untuk mobilitas mungkin perlu dimodifikasi pada setiap sesi. Pasien tinggal di setiap fase tertentu dari Program sampai kriteria umum untuk kemajuan ke tahap berikutnya terpenuhi. Karena fluktuasi dan penurunan sesekali dalam kondisi medis yang kompleks, pasien mungkin harus sementara kembali ke fase program sebelumnya.

tahap 1

Tahap 1 meliputi pasien yang sakit kritis dengan beberapa masalah medis, dalam kondisi yang tidak stabil. Para pasien biasanya membutuhkan pendukung kehidupan peralatan atau intervensi (misalnya, ventilator, pompa balon intra-aorta, dialysis intravena berkelanjutan) atau sedang dirawat dengan obat-obatan (misalnya, vasopressor agen). Kondisi klinis yang kompleks pada Pasien dapat membatasi mobilitas mereka.. Kondisi dibawah ini termasuk di dalamnya, Status kardiovaskuler nyata tidak stabil, sedasi, kelumpuhan, koma, luka bakar, dan ortopedi atau neurologis defisit berat. Pasien biasanya dapat mentolerir kegiatan di tempat tidur namun terkendala kelemahan, toleransi aktivitas terbatas, dan ketidakmampuan untuk ambulasi. Beberapa pasien perlu diwaspadai, tetapi juga umum bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan mampu berpartisipasi hanya dalam minimal terapi.

(20)

Tujuan dalam tahap 1 adalah untuk memulai mobilisasi begitu kondisi medis pasien stabil. Latihan terapiutik dengan pasien posisi terlentang ditekankan. Kegiatan ini berkembang dengan mengubah posisi miring kanan dan kiri di tempat tidur serta duduk di sisi tempat tidur jika mampu. Aktivitas duduk seimbang ditujukan untuk menstimulasi kontrol tulang belakang. Berdiri dengan walker dengan bantuan harus dicoba ketika pasien memiliki kaki dan tulang belakang memiliki kekuatan melawan gravitasi. Awalnya, pasien mungkin dapat berdiri hanya untuk periode singkat atau bahkan mungkin tidak mampu untuk berdiri, namun, penting untuk melanjutkan percobaan sampai pasien bisa berdiri dengan aman. Bila diperlukan, pasien dipindahkan ke tandu kursi dengan menggunakan teknik perpindahan lateral. Mereka didorong untuk secara bertahap meningkatkan waktu yang dihabiskan duduk di kursi jika mampu mentoleransi. Tujuan dari kegiatan out-of bed ini adalah untuk meningkatkan toleransi ortostatik.

tahap 2

Phase 2 meliputi pasien yang secara keseluruhan kondisi medis dan kekuatan memungkinkan kegiatan berdiri dengan walker dan bantuan. Pasien harus dapat mengikuti perintah sederhana secara konsisten dan untuk berpartisipasi dalam terapi. Fokus terapi fisik adalah untuk mulai pendidikan berkelanjutan ulang dan pelatihan fungsional. Di titik ini, kegiatan berdiri lebih menantang dapat dimulai: pergeseran berat badan, jalan di tempat, dan berjalan miring di sepanjang tempat tidur. Penggunaan alat bantu dan sabuk penting untuk mempromosikan keselamatan para pasien dan staf. Pelatihan pasien untuk mentransfer ke kursi dengan menggunakan walker dan bantuan dimulai. Penggunaan komunikasi verbal untuk mempromosikan partisipasi pasien. Jika pasien memerlukan banyak bantuan dengan transfer, mereka harus menggunakan kursi tandu. Melakukan hal ini akan memfasilitasi transfer kembali ke tempat tidur dan mencegah ketakutan atau keputusasaan sehingga memiliki keinginan untuk latihan transfer mendatang. Pasien diharapkan untuk secara bertahap menghabiskan lebih waktu duduk untuk meningkatkan ortostatik toleransi dan kegiatan di luar tempat tidur. Pendidikan ulang sangat dianjurkan pada saat tepat, dengan semua langkah-langkah keamanan yang diambil (Tabel 4), namun jarak ini biasanya dibatasi oleh kelemahan pasien dan penurunan daya tahan tubuh.

tahap 3

Tahap 3 termasuk pasien yang mampu mentolerir secara terbatas berjalan dengan walker dan bantuan. Fokus terapi fisik adalah untuk menguasai kemampuan mentransfer dan memulai program berkelanjutan progresif untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Beberapa pasien mungkin dapat berjalan tetapi masih memiliki kesulitan berpindah karena kelemahan kaki. Dalam kasus ini, untuk alasan keamanan, pasien harus terus duduk di tandu kursi. Dokter yang memobilisasi pasien harus menyadari tingkat kebutuhan pendampingan pasien. Partsipasi, respon hemodinamik terhadap aktifitas, kebutuhan akan ventilator dan oksigen. Informasi ini menjadi sangat penting ketika pasien membutuhkan ventilator dan kebutuhan keamanan. Anggota tim harus mendiskusikan dan

(21)

menentukan kebutuhan akan mobilisasi yang aman. Dalam fase ini kebutuhan akan dukungan ventilator dan oksigenasi sangat penting untuk mentoleransi peningkatan kebutuhan oksigen.

Fase 4

Fase 4 meliputi pasien yang tidak lagi memerlukan dukungan ventilasi dan / atau telah dipindahkan dari ICU. Pasien-pasien ini biasanya memiliki derajat variabel kelemahan dan keterbatasan fungsional dan dapat berpartisipasi aktif dengan terapi lebih intens. Tambahan oksigen disediakan melalui trakeostomi atau melalui kanula hidung jika trakeostomi ditutup. Untuk mencapai tingkat tertinggi kebebasan sebelum dikeluarkan dari rumah sakit, pelatihan fungsional ditekankan. Pasien dianjurkan untuk pergi ke terapi fisik jika mungkin dan berusaha mencapai tingkat ketahanan dan kekuatan yang lebih tinggi.

Diskusi

Di seluruh dunia, pasien yang memerlukan perawatan intensif sering dibatasi untuk istirahat di tempat tidur karena potongan peralatan yang mengelilingi mereka yang dianggap sebagai hambatan untuk mobilitas. Tambahan kelemahan, faktor lain dalam perawatan kritis lingkungan seperti kurang tidur, kurangnya interaksi sosial, status gizi, sedasi, dan Budaya ICU yang mempromosikan istirahat berkontribusi lebih lanjut untuk penurunan fungsional.

Saat ini, data ilmiah tidak cukup kuat tersedia untuk mempromosikan praktik berbasis bukti terkait dengan upaya rehabilitasi yang disediakan oleh terapis fisik di ICU. Scheinhorn et all mengamati hasil menyapih sukses di antara pasien yang menerima ventilasi mekanis berkepanjangan di sebuah rumah sakit perawatan jangka panjang. Tingginya frekuensi pelayanan rehabilitasi yang disediakan dianggap penting dalam meningkatkan status fungsional. Dalam Unit pernapasan perawatan akut, Pendekatan interdisipline yang mencakup terapi fisik harian membantu mengaktifkan minimal 50% dari pasien yang menerima ventilasi mekanis berkepanjangan berada di rumah 6 bulan setelah pulang dan cukup independen dengan kegiatan sehari-hari.

Semua hasil positif yang dibahas dalam Studi tersebut berada pada pasien yang memiliki mengalami berkepanjangan penyakit dan imobilitas. Pertanyaannya sekarang sedang ditanyakan adalah ini: Jika pasien ICU dimobilisasi dan ambulated saat perjalanan penyakitnya, dapatkah mobilisasi seperti mengurangi efek dari istirahat dan meningkatkan kapasitas fungsional? Mobilitas awal pasien ICU bukanlah konsep baru, tetapi intervensi ini tidak rutin digunakan dalam perawatan kritis. Efektivitasnya belum banyak didokumentasikan. Bailey et al, 13 bagaimanapun, melaporkan bahwa sebagian besar korban (69%) bisa lebih ambulasi dari 100 ft (30 m) pada saat pulang dari Unit dengan menggunakan protokol aktivitas awal.

(22)

Morris dan Herridge19 telah membahas penting masalah: efek imobilitas pada saraf dan otot, parameter keamanan dalam studi mobilitas masa depan, proses masalah perawatan yang diperlukan untuk mobilisasi dini, peran profesional dalam mobilitas awal di ICU, dan pertanyaan masa depan untuk terapi mobilitas ICU. Sebagai contoh program menargetkan awal ICU mobilitas, Morris dan Herridge menyebutkan keberhasilan penggunaan program mobilitas yang dijelaskan dalam laporan kasus. Program digunakan untuk pasien dalam laporan itu adalah yang memiliki kesamaan dalam mobilitas awal dan program berkelanjutan yang dijelaskan dalam artikel kami.

Dalam laporan kasus, pasien dengan ventrikel kiri dengan menggunakan perangkat bantu yang memerlukan ventilasi mekanik berkepanjangan memulai program mobilitas di hari ke-7 pasca operasi. Meskipun beberapa masalah medis dan kebutuhan untuk ventilasi mekanis berkepanjangan, perbaikan fungsional yang signifikan dibuat selama berkepanjangan 49-hari tinggal di ICU. Pasien menerima total 25 sesi terapi fisik selama tinggal di ICU, dan 21 dari sesi ini termasuk menahan beban dan / atau peningkatan kegiatan kiprah pendidikan ulang. Ventilator portabel digunakan selama 4 sesi kiprah latihan ulang. Ketika dipindahkan dari ICU, dengan bantuan minimal yang diperlukan pasien untuk kegiatan di luar tempat tidur, dan mampu berjalan 600 kaki (180 m) dengan walker dan pengawasan. Setelah 6 minggu di ruang perawatan akut, pasien menjalani transplantasi jantung.

Karena peran spesifik dari terapi fisik di ICU tidak didefinisikan dengan baik, keterlibatan terapis fisik dalam pengaturan ini bervariasi sekitar dunia sehubungan dengan metode pelaksanaan, waktu pelaksanaan, dan apakah terapi fisik diimplementasikan sama sekali. Mobilitas awal dan program berkelanjutan dijelaskan dalam artikel ini adalah dikembangkan untuk membantu dokter dengan merinci proses melalui penurunan fungsional selama di ICU tetap dapat diatasi. Program ini menguraikan intervensi mobilitas untuk pasien di ICU dan mungkin nilai khusus bagi pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis berkepanjangan.

Dalam sebagian besar keadaan, pemantauan dan kehidupan peralatan pendukung, termasuk ventilator, tidak boleh membatasi mobilitas. Pasien dapat dengan aman dimobilisasi dengan endotrakeal atau trakeostomi tube ketika semua yang sesuai tindakan yang diambil. Setelah pasien dievaluasi oleh terapis fisik, mereka ditempatkan di salah satu tahapan program yang sesuai dengan tingkat mobilitas mereka. Kemampuan untuk kemajuan dengan terapi. Masing-masing fase mencakup pedoman posisi, latihan terapi, transfer, dan pendidikan berkelanjutan ulang. Kriteria untuk maju ke fase berikutnya juga disediakan. Penggunaan ventilasi yang tepat dan dukungan oksigen tambahan sehingga pasien dapat mentolerir peningkatan kebutuhan oksigen. Tujuan utama dari mobilitas dini dan program berkelanjutan adalah untuk mempromosikan tingkat maksimal independence sebelum keluar rumah sakit dan kapasitas berjalan meningkat untuk pasien yang memenuhi kriteria untuk ambulasi.

(23)

1. Tahap 1 meliputi pasien yang dibatasi Istirahat di tempat tidur dan hanya bisa keluar dari tempat tidur di tandu Kursi karena ketidakmampuan mereka untuk menanggung berat badan. Peningkatan untuk mengubah dan duduk di sisi tempat tidur dan kegiatan berdiri didorong jika ditoleransi

2. Pada fase 2, pasien memiliki kemajuan untuk beerpindah dengan walker, kegiatan prewalking, dan latihan berkelanjutan ulang di ruang karena mereka yang terbatas dengan daya tahan dan kelemahan.

3. Tahap 3 kemajuan pasien yang siap untuk mulai program pendidikan kembali berjalan progresif di luar ruang untuk meningkatkan daya tahan mobilitas dan fungsional.

4. Tahap 4 menggambarkan perawatan pasien yang telah ditransfer keluar dari ICU dan sedang siap untuk dikeluarkan dari rumah sakit. Mobilitas dini dan program berkelanjutan ini telah digunakan oleh salah satu dari kami (C.P.) di Rumah Sakit Methodist, Houston, Texas, sejak tahun 1996. Tidak ada data ilmiah dalam laporanini, tetapi program ini telah diterima dengan baik oleh pasien, dokter, terapis fisik, perawat, dan anggota keluarga. Kami berpikir bahwa mobilitas di awal ICU dapat menyebabkan hasil positif berikut:

 Meminimalkan komplikasi tirah baring

 Mempromosikan perbaikan fungsi untuk pasien

 Mempromosikan penyapihan dari dukungan ventilasi sebagai kekuatan keseluruhan pasien dan meningkatkan daya tahan

 Mengurangi lama tinggal di rumah sakit

 Mengurangi biaya rumah sakit secara keseluruhan  Meningkatkan kualitas hidup pasien

Manfaat psikologis peningkatan mobilitas Hasil positif lain kita amati. Sekali pasien memiliki kemajuan dengan mobilitas fungsional, mereka mengembangkan pandangan yang jauh lebih positif terhadap pemulihan mereka. Yang penting, kita tidak pernah melihat Kondisi medis pasien memburuk sebagai akibat langsung dari intervensi digunakan dalam mobilitas dini dan program yang berkelanjutan.

Peningkatan fungsi dapat berpengaruh menggembirakan pada kualitas hidup pasien dan dapat membantu pasien dalam penyapihan ventilasi mekanis ketika berhasil menyapih berhubungan dengan kelemahan otot. Penggunaan program ini dan pengelompokan pasien menurut fase membantu memfasilitasi pengambilan keputusan untuk dokter yang terlibat dalam proses mobilitas.

Hasil dari mobilitas awal dan program yang berkelanjutan adalah beberapa faktor dapat membatasi perbaikan fungsional pada beberapa pasien: miskin status fungsional sebelumnya, usia lanjut, penyakit penyerta kompleks, cedera tulang belakang, luka bakar, neurologis yang parah dan / atau cedera ortopedi, dan disfungsi cardiopulmonary berat.

(24)

Karena fokus utama dari program mobilitas dini dan berkelanjutan, banyak pasien hanya tetap dalam tahap 1 untuk waktu yang lama, dan beberapa mungkin tidak akan pernah bisa maju ke fase berikutnya. Pasien biasanya meerupakan orang-orang yang memiliki faktor pembatas dan di antaranya perbaikan yang signifikan pada mobilitas fungsional tidak dapat diharapkan dalam waktu dekat.

Sebuah Pendekatan tim multidisiplin sangat penting bagi keberhasilan karena interaksi elemen yang berbeda akhirnya menentukan apakah sakit kritis Pasien akan meningkatkan mobilitas fungsional yang kompleks. Pendekatan tim akan menjamin keamanan intervensi dalam pelaksanaan Program mobilitas dini. Sebagai Milbrandt mengamati sebuah editorial pada upaya mobilisasi awal terutama ambulasi, " mungkin kita suatu hari nanti melihat aktivitas dini sebagai bagian integral dari perawatan pasien sakit kritis. "

B. Mobilisasi dan efeknya pada status hemodinamik dan pernafasan perawatan pasien intensif

Penelitian ini meneliti mobilisasi akut pasien rawat inap, khususnya pengaruh mobilisasi pada parameter hemodinamik dan pernafasan mereka. Tiga puluh satu pasien di unit perawatan intensif (ICU) yang dianggap cocok untuk mobilisasi, berdasarkan proses skrining yang komprehensif, melakukan 69 perawatan mobilisasi secara total. Perawatan dilakukan paling sering termasuk duduk di tepi tempat tidur dan berdiri. Pengukuran yang dilakukan termasuk denyut jantung, sistolik dan diastolik tekanan darah, dan saturasi oksigen perkutan, diukur sebelum,selama dan setelah mobilisasi. Selain itu, setiap penurunan status klinis, danintervensi yang diperlukan untuk itu, tercatat. Pada sebagian besar kesempatan (91,3%), pretreatment data dari pasien menunjukkan cadangan jantung dan pernapasan = atau marjinal. Selama mobilisasi, peningkatan yang signifikan terlihat pada denyut jantung dan darah tekanan, sedangkan saturasi oksigen menurun perkutan (tidak signifikan). ini Perubahan umumnya besarnya kecil dan tidak memerlukan spesifik intervensi. Pada tiga dari 69 kesempatan mobilisasi (4,3%), status klinis memburuk, yang memerlukan intervensi. Untuk semua tiga pasien yang terlibat, ini adalah penurunan saturasi oksigen, yang membutuhkan peningkatan sementara fraksi yang diilhami oksigen untuk menstabilkan Status pernapasan. Meskipun mobilisasi mengakibatkan signifikan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah dan penurunan tidak signifikan dalam perkutan saturasi oksigen, pasien ICU dalam penelitian ini dianggap cocok untuk mobilisasi mampu secara aman dimobilisasi.

(25)

PENDAHULUAN

Manajemen fisioterapi akut pasien yang berada di unit perawatan intensif (ICU) sering menggabungkan beberapa bentuk mobilisasi. Tujuan mobilisasi untuk pasien termasuk meningkatkan volume paru-paru, meningkatkan ventilasi = pencocokan perfusi, menyediakan stimulus gravitasi untuk mengembalikan cairan yang normal distribusi dalam tubuh, mengurangi efek imobilitas, dan mempertahankan atau meningkatkan fungsi dan kebugaran (Bishop, 1996; Dean, 1994; Dean dan Ross, 1992a, 1992b, Stiller dan Phillips, 2003). Meskipun mobilisasi dianggap suatu bagian penting dari manajemen fisioterapi pasien rawat inap, penelitian ini menilai secara keseluruhan memobilisasi pasien, maupun efek mobilisasi status hemodinamik dan pernafasan.Hal ini adalah kelalaian penting karena ada potensi untuk efek samping, terutama mengingat cardiorespiratory fungsi batas dari pasien akut. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah percontohan untuk mendokumentasikan keselamatan mobilisasi pasien akut di ICU, khususnya tanggapan dan hemodinamik dan pernafasan terjadinya efek samping yang merugikan selama mobilisasi.

METODE

Sebuah studi prospektif dilakukan selama tiga terpisah dua periode minggu di Royal Rumah Sakit Adelaide (RAH) ICU dan termasuk semua pasien di mana mobilisasi merupakan bagian dari manajemen fisioterapi pasien. Periode-periode waktu yang berbeda dipilih untuk memastikan bahwa pilihan yang lebih luas pasien adalah termasuk dalam sampel penelitian daripada harus terjadi jika satu periode waktu kontinu digunakan. Untuk keperluan penelitian ini, mobilisasi didefinisikan sebagai bergerak dari berbaring untuk duduk di tepi tempat tidur, duduk untuk berdiri, transfer berdiri dari tepi tempat tidur ke kursi, atau berjalan. Pasien yang menjalani bentuk pasif mobilisasi, seperti posisi tegak di tempat tidur dan mekanik transfer dari tempat tidur ke kursi tidak diteliti. Mobilisasi Tugas dipilih didasarkan pada status klinis umum pasien dan kemampuan. Sebelum memobilisasi setiap pasien, komprehensif berbagai faktor termasuk latar belakang medis, kardiovaskular cadangan, pernafasan cadangan dan faktor lain yang relevan, diambil menjadi pertimbangan untuk menilai apakah mobilisasi adalah aman untuk melanjutkan. Proses penyaringan ini didasarkan pada yang

(26)

dijelaskan oleh Stiller dan Phillips (2003) dan diringkas dalam diagram alir Format pada Gambar 1.

Data pra-perawatan yang Latar Belakang direkam, termasuk informasi deskriptif (Misalnya, diagnosis utama, medis masa lalu utama sejarah, hari pasca-masuk ke ICU, intubasi = Status ventilasi), data hematologis (Misalnya, hemoglobin, jumlah trombosit, sel darah putih menghitung), suhu tubuh dan berat badan. Selain itu, untuk pasien dengan garis arteri, rasio tekanan parsial oksigen dalam darah arteri ke fraksi oksigen terinspirasi (PaO2 = FIO2 ratio) dihitung dari gas darah arteri terbaru (ABG) sebagai indikasi oksigenasi dan pernafasan cadangan (lihat Tabel 1).

Untuk keperluan penelitian ini, hasil langkah-langkah yang dipilih yang mudah diakses dalam pengaturan klinis. Denyut jantung (HR) adalah direkam dari elektrokardiograf (EKG) memantau, setelah memastikan bahwa pelacakan memuaskan hadir. Selain merekam nilai absolut dari HR, HR juga dinyatakan sebagai persentase usia yang diprediksi maksimal HR (di mana usia diprediksi maksimum HR sama dengan 220 dikurangi usia, dalam tahun) untuk memberikan indikasi cadangan jantung (Franklin, Whaley, dan Howley, 2000; McArdle, Katch, dan Katch, 1996; Stiller dan Phillips, 2003). The jantung ritme diamati pada EKG dan setiap aritmia didokumentasikan. Sistolik dan diastolik tekanan darah (BP) tercatat dari garis arteri invasif atau, bagi pasien tanpa garis arteri, dari oscillometric sphygmomanometer. Jalur arteri yang dikalibrasi setiap hari sesuai dengan RAH Protokol ICU. Sebelum pengukuran BP invasif dicatat dapat dipastikan bahwa memuaskan tracing diperoleh. Percutaneous saturasi oksigen (SpO2) direkam menggunakan oksimeter pulsa dengan jari atau penyelidikan telinga, setelah memastikan bahwa pelacakan memuaskan didirikan dan bahwa SDM pada oksimeter adalah mirip dengan yang terlihat pada EKG. Di samping parameter objektif, penampilan pasien didokumentasikan dan berikut ini mencatat: keadaan sadar, pola pernafasan, pucat, kemerahan, berkeringat, sifat lekat, sianosis, terlihat atau pasien melaporkan tanda-tanda sakit, ketidaknyamanan atau kelelahan. Setiap penurunan kondisi pasien selama perawatan mobilisasi adalah dicatat dan intervensi apapun yang diperlukan dalam manajemen tercatat. Langkah-langkah hasil dicatat selama periode awal sesaat sebelum pengobatan mobilisasi, selama setiap tugas mobilitas (dalam 30 detik penyelesaian tugas), dan dalam satu menit penyelesaian seluruh perawatan mobilisasi ketika pasien telah kembali ke Posisi beristirahat. Data

(27)

Interval dari waktu yang berbeda periode dibandingkan dengan menggunakan diulang mengukur analisis uji varians. Ketika Efek waktu yang signifikan ditemukan, dipasangkan tes t digunakan untuk mengidentifikasi periode waktu yang berbeda secara signifikan. Nilai probabilitas kurang dari 0,05 dianggap signifikan.

PEMBAHASAN

Studi ini menemukan bahwa mobilisasi itu terkait dengan peningkatan yang signifikan dalam HR, sistolik dan tekanan darah diastolik, dan penurunan SpO2. Meskipun perubahan secara statistik signifikan bagi SDM dan BP, besarnya perubahan itu penting secara klinis ringan. Hanya ada tiga episode klinis utama penting (4.3%) ketika intervensi tertentu diperlukan selama mobilisasi untuk menstabilkan hemodinamik dan pernafasan atau = status, dengan ketiga pasien menanggapi cepat untuk intervensi minimal. Dengan demikian, mobilisasi ditahan dengan baik pada pasien dianggap cocok untuk mobilisasi, meskipun. Data pra-pengobatan mereka disarankan terbatas jantung dan = atau cadangan pernapasan (lihat Gambar 1).

Meskipun kejadian insidennya rendah, masalah selama mobilisasi ditemukan dalam penelitian ini, penting untuk menekankan bahwa komprehensif proses penyaringan (Stiller dan Phillips, 2003) digunakan untuk memilih pasien yang cocok untuk mobilisasi. Selain itu, tindakan pencegahan yang sesuai diambil sebelum, selama dan setelah mobilisasi. Proses penyaringan yang disajikan dalam aliran Format grafik pada Gambar 1 adalah versi sederhana dari pedoman yang diterbitkan oleh Stiller dan Phillips (2003). Dalam studi saat ini, meskipun mayoritas pasien menunjukkan pretreatment terbatas jantung dan = atau cadangan pernafasan menurut diagram alir (lihat Gambar 1), manfaat yang dirasakan memobilisasikan dianggap lebih besar daripada risiko yang dirasakan. Seperti dijelaskan lebih lengkap di set lengkap pedoman (Stiller dan Phillips, 2003), parameter yang ditunjukkan pada Gambar 1 tidak dimaksudkan menjadi kontraindikasi terhadap mobilisasi atau ditafsirkan dalam isolasi, melainkan harus digunakan dalam hubungannya dengan penilaian klinis suara. Dokter yang berpengalaman sering mampu membedakan mana pasien akan mentolerir mobilisasi meskipun marjinal jantung dan pernafasan atau = cadangan saat istirahat. Hal ini bergantung pada kemampuan klinisi yang berpengalaman untuk memperhitungkan parameter lebih objektif (lihat Gambar1)

(28)

dan juga untuk mengamati dan menafsirkan lebih subyektif faktor, seperti penampilan pasien, keadaan sadar dan tingkat rasa sakit dan kelelahan. Misalnya, seperti dicatat oleh Stiller dan Phillips (2003), penampilan pasien (misalnya, wajah berekspresi, sianosis, pucat, flush, sifat lekat, sweatiness, kecemasan) dapat memberikan cerdas dokter dengan informasi penting mengenai seberapa baik pasien akan mentolerir mobilisasi informasi yang mungkin tidak jelas dengan lainnya langkah-langkah. Dengan pengalaman, dokter dapat mensintesis semua informasi yang tersedia dan diskriminasi antara pasien yang akan atau tidak akan mentolerir mobilisasi aktif, meskipun marjinal cadangan. Rendah insiden masalah dalam Studi ini menunjukkan bahwa proses penyaringan, yang meliputi penilaian klinis, dapat membantu dalam identifikasi pasien yang akan mentolerir mobilisasi. Selain itu, gambaran ini masalah keselamatan sebelum memulai mobilisasi mampu menyoroti pasien cenderung memiliki potensi masalah dan membantu mengidentifikasi mana sistem ini cenderung akan ditantang selama mobilisasi.

Respon hemodinamik pasien yang menunjukkan selama mobilisasi harus diantisipasi, dalam hal tidak progresif peningkatan SDM selama mobilisasi dan return ke dekat tingkat dasar pada penyelesaian pengobatan mobilisasi (Franklin et al, 2000;McArdle et al, 1996; Selwyn dan Braunwald, 2001). Tekanan darah (diastolik dan sistolik) menunjukkan respon yang mirip dengan HR. Namun itu jelas bahwa kenaikan BP terlihat untuk pasien dengan garis arteri invasif sering tampak berlebihan. Hal ini mungkin mencerminkan ketidaktelitian pengukuran BP invasif ketika arteri baris dipindahkan dari posisi di mana ia memiliki telah dikalibrasi. Respon hemodinamik terlihat selama mobilisasi dalam penelitian ini adalah mirip dengan yang dilaporkan selama pernapasan pengobatan fisioterapi (Cohen, Horiuchi, Kemper, dan Weissman, 1996; Klein et al, 1988; Weissman et al, 1984) dan rutin ICU lainnya kegiatan (mis., gerakan tubuh dan anggota badan, Pemeriksaan fisik; Weissman et al, 1984).

Itu diantisipasi bahwa oksigenasi ini pasien akut akan membaik selama mobilisasi, karena menguntungkan yang diharapkan efek dari posisi tegak pada volume paru-paru dan ventilasi = distribusi perfusi (Dean, 1985, Dean dan Ross, 1992a, 1992b; Ross dan Dean, 1992; Wong, 1999). Sebaliknya, dalam hal ini sampel pasien akut, SpO2 menurun selama tugas mobilitas pertama dan menunjukkan penurunan lebih lanjut selama mobilitas kedua tugas. Ini penurunan SpO2 paling mungkin mencerminkan bahwa, meskipun manfaat

(29)

teoritis, pasien sistem kardiorespirasi tidak bisa memenuhi kebutuhan oksigen meningkat dikenakan oleh pengobatan mobilisasi. Namun, ini menurun tidak mencapai signifikansi statistik, atau, sebagai penurunan SpO2 dari empat persen atau lebih adalah biasanya diperlukan untuk dianggap signifikan secara klinis (Franklin et al, 2000; lihat Gambar 1), akan mereka dianggap signifikan secara klinis.

Dapat dikatakan bahwa tiga pasien Kondisi yang memburuk selama mobilisasi seharusnya tidak dimobilisasi sama sekali berbasis pada data pra-perlakuan mereka (lihat Gambar 1). Namun, untuk ketiga pasien itu mengira bahwa manfaat potensi mobilisasi sebanding potensi risiko. Selain itu, bahkan meskipun ketiga pasien desaturated selama mobilisasi, mereka cepat pulih setelah FIO2 meningkat, yang dibenarkan keputusan untuk melakukan mobilisasi. Hipotetis, jika meningkatkan FIO2 yang tidak membaik SpO2, intervensi yang tepat mungkin termasuk mengakhiri pengobatan mobilisasi dan, itu diperlukan, meningkatkan tingkat ventilasi mendukung. Dalam cara yang sama bahwa pra-oksigenasi sebelum hisap telah terbukti untuk mencegah hisap diinduksi hipoksemia (Chulay, 1988; Ciesla, 1996; Mancinelli-Van Atta dan Beck,1992), adalah mungkin bahwa peningkatan FIO2 sebelum mobilisasi mungkin bermanfaat bagi pasien dengan oksigenasi marjinal.

Penelitian lebih lanjut harus dilakukan dengan kelompok pasien yang sama untuk mengkonfirmasi Temuan studi ini. Hal ini dapat membantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memprediksi pasien cenderung memburuk selama mobilisasi. Ini juga mungkin membantu dalam penelitian masa depan untuk mengukur oksigenasi selama mobilisasi menggunakan parameter diperoleh dari GDA, seperti PaO2 = FIO2 rasio, karena ini memperhitungkan FIO2 dan sehingga lebih akurat mencerminkan oksigenasi dan pernapasan yang mendasari cadangan (Stiller dan Phillips, 2003). Namun, pengukuran sering dari GDA sering tidak praktis dalam pengaturan klinis, sedangkan SpO2, berdasarkan menjadi pengukuran non-invasif, memberikan umpan balik instan ke dokter. Selain itu, Penelitian ini hanya pasien diukur untuk waktu singkat setelah selesainya mobilisasi pengobatan, dan jangka panjang efek mobilisasi bisa diselidiki. Meskipun studi terkontrol acak akan lebih jelas menetapkan peran mobilisasi dalam pemulihan pasien akut, mungkin sulit untuk menahan mobilisasi dari etika sudut pandang.

Referensi

Dokumen terkait

WHO dan American College of Obstetricians and Gynecologist (1995) menyatakan Intra Uterine Fetal Death ( IUFD ) ialah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram

Pentaksir sekolah perlu memindahkan markah yang ditaksir ke Borang Final Individual Score Form dan menyerahkan semua eviden dan Rekod untuk disimpan oleh Ketua Pentaksir

berapakah selisih taraf intensitas bunyi yang terdeteksi oleh orang yang berada dekat dengan gedung (pada jarak 10 m dari sumber ledakan)tersebut dengan orang yang

Sebagai information provider untuk menampilkan informasi dari data tersebut, diperlukan modul yang dapat menerima dan menyimpan data dari semua sistem penerima dan

[r]

Hasil penelitiаn yаng telah dilаkukаn di PT Segаr murni utаmа menghasilkan pengaruh dari kualitas kehidupan kerja karyawan terhadap komitmen organisasi memiliki pengаruh

Pernyataan di atas yang merupakan tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup adalah: A. Perhatikan gambar beikut ini! Siku dan lutut termasuk persendian…. Getah lambung

memberikan pengaruh berbeda sangat nyata pada pertumbuhan tinggi maupun diameter anakan Pasak Bumi dari 2 populasi, Samboja dan TNK.. Faktor populasi memberikan