• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802012090 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802012090 Full text"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI

PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN

GISTING LAMPUNG SELATAN

OLEH

MARIA LIDIA LIANASARI 802012090

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Maria Lidia Lianasari Nim : 802012090

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya berjudul:

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia atau mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga

Pada Tanggal : 11 Desember 2015 Yang menyatakan,

Maria Lidia Lianasari Mengetahui,

Pembimbing

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Maria Lidia Linasari Nim : 802012090

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN Yang dibimbing oleh:

Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 11 Desember 2015 Yang memberi pernyataan,

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN GISTING LAMPUNG SELATAN

Oleh

Maria Lidia Lianasari 802012090

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui pada tanggal : 12 Januari 2016ptemb2015 Oleh:

Pembimbing,

Enjang Wahyuningrum. M.Si., Psi.

Diketahui Oleh, Disahkan Oleh,

Kaprogdi Dekan

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(7)

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI

PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN

GISTING LAMPUNG SELATAN

Maria Lidia Lianasari Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan melibatkan 50 partisipan. Teknik pengambilan sampel adalah menggunakan teknik snowball sampling. Karakteristik subjek pada penelitian ini adalah remaja putus sekolah usia 12-21 tahun. Metode pengumpulan data pada variabel konsep diri menggunakan skala Tennessee Self Concept Scale yang dibuat oleh William H. Fitts. Pada variabel resiliensi dengan menggunakan skala Resilience Quotient yang dibuat oleh Reivich dan Shatte (2002). Hasil penelitian ini menunjukkan hasil adanya hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan resiliensi. Tingkat konsep diri remaja putus sekolah berada pada kategori tinggi dengan mean sebesar 87,66, sedangkan tingkat resiliensi remaja putus sekolah berada pada kategori tinggi dengan mean sebesar 63,32. Konsep diri memberikan sumbangan pengaruh terhadap resiliensi sebesar65,93%.

(9)

ii Abstract

This study aims to determine the relationship between self-concept and resilience in

adolescents of school dropout in the District Gisting, Lampung Selatan. This research is

a quantitative correlation with the involvement of 50 participants. The sampling

technique is using snowball sampling technique. The Characteristics of the subjects in

this study are young school dropouts aged 12-21 years. The data colletction method on

self-concept uses Tennessee Self Concept Scale made by William H. Fitts. Mean while,

the data collection method on the variables of resilience uses Resilience Quotient made

by Reivich and Shatte (2002). The results shows that there is a positive and significant

correlation between concept and resilience. Adolescents of school dropout

self-concept levels are on the high category with mean amounted to 87.66, while the level of

resilience in adolescents school drop out, at the high category with mean amounted to

63.32. Self concept give 65,93 % influence on resilience.

(10)

1

PENDAHULUAN

Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Branata (2009) mengungkapkan bahwa pendidikan ialah usaha yang sengaja diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia khususnya pada kelompok usia remaja (Santrock, 2003). Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak - kanak menuju masa dewasa, masa ini merupakan masa yang amat baik untuk mengembangkan segala potensi positif yang mereka miliki. Menurut Monks (2001) usia remaja berlangsung dari 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian: usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18 tahun adalah masa remaja madya, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Akan tetapi beberapa remaja mengalami kendala dan rintangan dalam melewati masa menempuh pendidikan itu hingga membuat mereka mengalami putus sekolah.

(11)

2

pada tahun 2011 berjumlah 10,268 juta dan masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA (Kompas, 2011).

Conger (1991) mengemukakan beberapa dampak yang akan terjadi jika seorang remaja putus sekolah yakni harga diri rendah, merokok, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang dan kenakalan remaja. Hadiyanto (1996) juga menambahkan tingginya angka putus sekolah dapat berakibat pada bidang-bidang lainnya yang sangat merugikan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, tingginya angka putus sekolah menambah tingginya angka pengangguran yang mungkin dapat berakibat terhadap tingginya kriminalitas atau gejolak sosial lainnya. Remaja putus sekolah mengalami permasalahan ketika memasuki pasar tenaga kerja, masalah sosial dan pendapatan yang memperburuk kondisi mereka untuk pindah ke jenjang karier. Remaja putus sekolah lebih banyak menganggur, dan yang berhasil mendapatkan pekerjaan mendapatkan upah lebih rendah dari pada yang memiliki ijazah. Wanita muda yang putus sekolah lebih mungkin memiliki anak di usia muda dan lebih mungkin menjadi orang tua tunggal (Adelman & Taylor, 2007).

(12)

3

menjelaskan bahwa 50% alasan dari siswa yang keluar sekolah adalah kendala yang berasal dari faktor ekonomi dan 35% kebanyakan karena masalah pribadi, seperti kehamilan atau pernikahan. Anak putus sekolah, dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Septiana & Wulandari (2012) faktor penyebabnya adalah pengalaman yang tidak menyenangkan seperti takut pada guru, tidak naik kelas, dan lain-lain, serta lingkungan seperti tingkat pendidikan orang tua rendah, rumah tangga bermasalah, dan lain-lain. Dengan demikian, bisa dicermati bahwa pengalaman dan lingkungan yang dialami mereka memengaruhi kondisi psikologis individu sehingga berdampak pada sikap dan perilaku mereka yaitu memutuskan untuk berhenti sekolah.

Putus sekolah juga mengakibatkan remaja menjadi putus asa, pesimis, tidak ada harapan dan melakukan bunuh diri. Kori Setiawan, warga Desa Banjarsari Kulon, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, ditemukan tewas dalam kondisi gantung diri di dalam kamar mandi yang diduga karena putus sekolah (Suara Pembaruan, 2011). Individu putus sekolah tidak mendapatkan pendidikan yang layak sehingga kesejahteraan ekonomi dan sosialnya menjadi “terbatas” sepanjang hidupnya ketika

(13)

4

Apabila bekerja, individu yang mengalami putus sekolah akan mendapat gaji di bawah mereka yang mempunyai ijazah pendidikan. Remaja dengan tingkat pendidikan rendah jarang mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan ke jenjang karier yang lebih tinggi, kurangnya pengalaman, keamanan kerja dan rendahnya performasi kerja (Nuqosin, 2012).

Kondisi putus sekolah tidak bisa dihindarkan karena beberapa faktor, artinya putus sekolah menjadi salah satu kondisi yang harus ditanggung oleh sebagian remaja. Kondisi kehidupan yang harus dihadapi setelah mengalami putus sekolah, antara lain adalah keterbatasan pengetahuan, keterbatasan akses informasi, keterbatasan akses sosialisasi, dan kesempatan kerja yang terbatas karena tidak mempunyai ijazah sebagai syarat administrasi. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan remaja putus sekolah tidak percaya diri untuk melakukan aktivitas tertentu karena merasa tidak mempunyai bekal pengetahuan, tidak mempunyai harga diri, tidak termotivasi dan mempunyai konsep diri negatif (Santrock, 2003).

Dari hasil wawancara dengan beberapa orang remaja putus sekolah di Kecematan Gisting, Lampung Selatan, yang menunjukkan bahwa mereka tidak dapat lolos dari cobaan hidup yang berupa penderitaan diri. Ketika remaja putus sekolah mengadakan hubungan dengan lingkungan sosial, mereka cenderung menampakkan sikap pendiam, perasaan minder dan rendah diri jika bergaul dengan teman-teman yang sekolah, tertutup dengan lingkungan, karena takut jadi pembicaraan orang-orang, cemas dan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain bahkan jarang mengikuti kegiatan sosial yang diadakan oleh masyarakat, malas untuk memikirkan masa depan.

(14)

5

kesulitan hidup yang ada, bertahan dan segera bangkit kembali apabila menemui kesulitan-kesulitan hidup serta mempunyai kehendak yang kuat dan mencari berbagai alternatif cara positif untuk menggapai hidup yang lebih baik Rumberger (1995). Remaja yang mengalami putus sekolah memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai strategi baru dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki walau terbatas.

Stoltz (2005) berpendapat bahwa pada dasarnya setiap orang memendam hasrat untuk mencapai kesuksesan. Dalam meraih kesuksesan, diperlukan kemampuan seseorang dalam berjuang menghadapi dan mengatasi masalah, hambatan, atau kesulitan yang dimilikinya serta mengubahnya menjadi peluang keberhasilan dan kesuksesan. Kesulitan, kemalangan sejatinya ditemui oleh setiap individu namun dengan jenis dan intensitas yang berbeda-beda. Individu ada yang berhasil melewati kesulitan dan kemalangan ada juga yang gagal dan terpuruk karena kesulitan dan kemalangan itu. Menurut Stoltz (2005), individu yang memiliki kemampuan mengatasi kesulitan tinggi akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih keberhasilan atau dapat memberikan hasil yang terbaik, serta selalu akan termotivasi, dan mereka akan mengerjakan pekerjaan atau aktivitas sebaik mungkin, termasuk mencari informasi serta memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia walau terbatas.

(15)

6

bereaksi negatif terhadap pengalaman negatif, sedangkan individu lain tidak mengalami masalah apapun meskipun menghadapi tekanan yang berat. Menurut Reivich & Shatte (2012) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Pada sisi inilah, mengatasi kesulitan memiliki aspek-aspek yang dapat memberikan gambaran mengenai ketangguhan individu dalam menghadapi hambatan, kesulitan atau kegagalan dan dapat memprediksi apakah ia tetap terkendali dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit seperti kesulitan setelah mengalami putus sekolah. Keberhasilan dan kegagalan individu dalam menghadapi kesulitan dan kemalangan ditentukan oleh kemampuan individu tersebut dalam mengatasinya.

(16)

7

dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi. Dalam ketujuh kemampuan resiliensi melibatkan pikiran dan perasaan individu untuk menentukan dan menilai secara mendalam masalah yang dihadapi.

Dalam menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut, mampu tidaknya remaja dalam menyelesaikan permasalahannya tergantung pada kemampuan bertahan dalam menghadapi permasalahan karena setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Dan faktor yang mempengaruhi resiliensi salah satunya adalah konsep diri Werner (1992). Sebuah konsep diri yang positif juga berkontribusi terhadap kemampuan resiliensi. Menurut Evarall (2006) mengatakan bahwa remaja yang resilien cenderung memiliki tujuan, harapan, dan perencanaan terhadap masa depan, gabungan antara ketekunan dan ambisi dalam mencapai hasil yang akan diperoleh. Everall (2006) juga mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi yaitu faktor individual yang meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu, faktor keluarga yang meliputi dukungan yang bersumber dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan dan melayani anak, yang terakhir yakni faktor komunitas yang meliputi kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja.

(17)

8

dinilai oleh individu sendiri (Fitts, 1971). Fitts (1971) juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat dalam tingkah laku seseorang. Menurut Calhoun & Acocella (1990) konsep diri terbagi menjadi dua jenis, yaitu konsep diri yang positif dan konsep diri yang negatif.

Konsep diri yang positif membuat remaja akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Sedangkan konsep diri yang negatif, yang meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, malang, gagal, tidak menarik, tidak disukai, bahkan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Dengan konsep diri yang positif remaja mampu melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan dimasa yang akan datang (Hurlock, 1999).

Bagi remaja yang pendidikannya kurang atau dalam arti putus sekolah, remaja tersebut merasa mempunyai keterbatasan mereka akan merasa dirinya rendah atau dapat menyebabkan remaja yang memiliki konsep diri negatif, evaluasi diri yang dimilikinya juga meliputi penilaian yang negatif terhadap dirinya, merasa tidak pernah cukup, baik dengan apa yang dirasakannya dan selalu membandingkan apa yang akan dicapai dengan yang dicapai orang lain. Konsep diri negatif cenderung membuat individu bersikap tidak efektif, hal ini akan terlihat dari kemampuan menyelesaikan masalah dan penguasaan lingkungan dalam masyarakat Hurlock (1999). Seharusnya remaja dalam perkembangan yang baik, harus mampu mengenali dirinya sendiri, dan memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi.

(18)

9

memiliki konsep diri negatif hal ini yang membuat remaja tersebut memiliki konsep diri yang positif (Santrock, 2003). Remaja yang putus sekolah biasanya memiliki banyak kecenderungan negatif, remaja yang putus sekolah cenderung lebih suka memukul, kurang bisa menilai dirinya sendiri, mengabaikan peraturan yang ada di sekitarnya, kurang memberikan kasih sayang pada orang yang ada disekitarnya, melecehkan orang lain, menghina orang lain yang menurut mereka lebih rendah dari dirinya, tidak berlaku adil pada sesama, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada pada dirinya dan lain sebagainya. Remaja yang putus sekolah ketika dilihat dari pergaulannya dengan lingkungan yang kurang mendukung, yang membuat remaja lebih cenderung memunculkan perilaku negatif atau mempunyai konsep diri yang negatif Sobur (dalam Uliyah, 2014).

Menurut American Psychological Association (dalam Djudiyah, 2011) cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan - persoalan yang dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang.

Menurut Fitts (1971), konsep diri terdiri dari 5 aspek yang meliputi, physical self

(19)

10

menyangkut sifat yang digunakan oleh dirinya dalam berhubungan dengan dunia luar),

family self (persepsi individu mengenai dirinya dengan interaksinya dengan keluarga dan orang – orang terdekat), dan yang terakhir social self (persepsi individu mengenai dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya secara umum).

Menurut Hurlock (1999), pembentukan konsep diri pada remaja dipengaruhi oleh faktor - faktor antara lain usia kematangan, penampilan diri, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas, dan cita-cita. Selain itu Fitts (1971) mengungkapkan pula mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yakni pengalaman, khususnya pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan positif dan perasaan bernilai serta berharga, lalu yang kedua kompetensi dalam bidang – bidang yang berarti bagi dirinya dan orang lain, serta yang ketiga adalah aktualisasi diri atau atau implementasi dan realisasi dari potensi personal nyata dari seseorang apapun bentuknya.

(20)

11

hubungan positif antara konsep diri dengan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional dan ingin mengukur korelasi antara konsep diri dan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja putus sekolah yang berusia 12-21 tahun di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan yang berjumlah 50 orang. Teknik pengambilan sampel partisipan menggunakan teknik snowball sampling.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologis Azwar (1999). Skala bertingkat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert. Skala likert adalah skala yang mengukur kekuatan persetujuan dari pernyataan-pernyataan untuk mengukur sikap atau perilaku. Skala yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua skala, yaitu:

a. Skala Konsep Diri

Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengukur konsep diri yang dimiliki oleh subjek diadaptasi dari Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang dikembangkan oleh William H. Fitts. Skala ini terdiri daru 40 item pernyataan.

(21)

12

aspek yaitu, physical self, moral - ethical self, personal self, family self, dan social self. Pengujian reliabilitas dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan data yang didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai). Hasil uji seleksi item dan reliabilitas penentuan-penentuan item valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2010) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,25 dan menunjukkan bahwa ada 10 item yang

gugur yaitu item 7, 12, 14, 15, 19, 28, 30, 32, 39, dan 40 dengan reliabilitas sebesar 0,898. Item-item dalam skala ini menggunakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).

Tabel 1. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Konsep Diri

No Aspek Item Favorable Item Unfavorable Jumlah item valid

1 Physical self 1, 12*, 18, 23,

30*,

7* 3

2 Moral – ethnical self 2, 13, 19* 24, 3

3 Personal self 3, 5, 8, 15*, 27,

31, 35, 36,

4, 9, 14*, 20, 25, 26, 32*, 37, 38,

40*

14

4 Family self 10, 16, 21, 6, 28*, 33, 39* 5

5 Social self 11, 17, 29, 34 22 5

(22)

13

b. Skala Resiliensi

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur resiliensi adalah skala resiliensi yang diadaptasi dari Resilience Quotient (RQ) yang diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (2002). Item-item dalam skala disusun berdasarkan tujuh aspek resiliensi oleh Reivich dan Shatte (2002). Skala ini terdiri dari 40 item. Pengujian reliabilitas dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan data yang didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai). Hasil uji seleksi item dan reliabilitas penentuan-penentuan item valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2010) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,25 dan menunjukkan bahwa ada 17 item yang gugur

yaitu item 6, 7, 10, 13, 14, 15, 18, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 32, 33, 34, dan 37 dengan reliabilitas sebesar 0,866. Item-item dalam skala ini menggunakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).

Tabel 2. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Resiliensi

(23)

14

penyebab masalah)

5 Empati 17, 38, 40 28, 37*, 39 5

6 Self Efficacy (Efikasi diri) 5, 11, 23*, 29*, 35 3

7 Reaching Out (Peningkatan aspek positif)

6*, 12, 24, 18*, 30, 36 4

Total valid 23

HASIL PENELITIAN Uji Asumsi

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara konsep diri dengan resiliensi di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan. Namun sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti harus melakukan uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik parametrik atau non-parametrik yang akan digunakan untuk uji korelasi.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan skala konsep diri (K-S-Z = 0,886, p = 0,413, p > 0,05) dan resiliensi (K-S-Z = 0,616, p = 0,843, p > 0,05). Hasil ini menunjukkan data konsep diri dan data resiliensi berdistribusi normal.

2. Uji Linearitas

(24)

15

Analisa Deskriptif

Tabel 3. Statistik Deskriptif Skala Konsep Diri dan Resiliensi Pada Remaja Putus Sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

konsepdiri 50 87.6600 12.49426 57.00 111.00

resiliensi 50 63.3200 10.83539 43.00 91.00

Tabel 3 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel. Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 4 kategori mulai dari “sangat

tinggi” hingga “sangat rendah”. Interval skor untuk setiap kategori ditentukan dengan

menggunakan rumus interval dalam Hadi (2000). Tabel 4 dan 5 menunjukkan jumlah partisipan untuk setiap kategori pada masing - masing variabel.

Tabel 4. Kriteria Skor Konsep Diri

No Interval Kategori Mean F Presentase

1 97,5 ≤ x ≤ 120 Sangat tinggi 11 22% 2 75 ≤ x < 97,5 Tinggi 87,66 32 64%

3 52,5 ≤ x < 75 Rendah 7 14%

4 30 ≤ x < 52,5 Sangat rendah 0 0%

Total 50 100 %

(25)

16

Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa skor konsep diri berada pada kategori tinggi dengan mean sebesar 87,66. Sebanyak 32 remaja putus sekolah yang menjadi subjek penelitian memiliki skor konsep diri yang berada pada kategori tinggi dengan prosentase 64%. 11 partisipan berada pada kategori sangat tinggi dengan prosentase 22%. Sisanya sebanyak 7 partisipan masuk kategori skor konsep diri rendah dengan prosentase 14%. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 57 sampai dengan skor maksimum sebesar 111 dengan standar deviasi 12,49. Tabel 5. Kriteria Skor Resiliensi

No Interval Kategori Mean F Presentase

1 74,75 ≤ x ≤ 92 Sangat tinggi 8 16% 2 57,5 ≤ x < 74,75 Tinggi 63,32 27 54%

3 40,25 ≤ x < 57,5 Rendah 15 30%

4 23 ≤ x < 40,25 Sangat rendah 0 0%

Total 50 100 %

SD = 10,84 Min = 43 Max = 91

(26)

17

Uji Korelasi

Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, diketahui bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal dan variabel-variabel penelitian linear maka uji korelasi dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik. Uji korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson. Tabel 4 menunjukkan hasil dari uji korelasi.

Tabel 6. Korelasi Konsep Diri& Resiliensi

Correlations

Konsepdiri resiliensi

Konsepdiri Pearson Correlation 1 .812**

Sig. (1-tailed) .000

N 50 50

Resiliensi Pearson Correlation .812** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 50 50

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Hasil dari uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara konsep diri dengan resiliensi pada dengan r = 0,812 dengan signifikan = 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan adanya korelasi positif yang signifikan antara konsep diridengan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan. Dengan demikian semakin tinggikonsep diri maka semakin tinggi pula tingkat resiliensi.

PEMBAHASAN

(27)

18

0,812 dengan signifikan 0,000 (p < 0,01) artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan resiliensi, semakin positif konsep diri maka semakin tinggi resiliensi, semakin negatif konsep diri maka semakin rendah resiliensinya.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Djudiyah (2011) konsep diri yang positif merupakan salah satu faktor konstribusi bagi resiliensi pada remaja. Menurut America Psychological Association (dalam Djudiyah, 2011) menyatakan bahwa cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja akan berdampak pada perkembangan resiliensinya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyebabkan daya resiliensinya tidak berkembang atau cenderung rendah, namun bila remaja berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang.

(28)

19

kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja (Everall, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri dengan segala aspek yang terkandung didalamnya memang memberikan kontribusi terhadap resiliensi remaja meskipun resiliensi tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tersebut, dalam hal ini konsep diri memiliki konstribusi yang positif terhadap resiliensi remaja putus sekolah, sehinga semakin positif konsep diri maka semakin tinggi resiliensi remaja tersebut, sebaliknya semakin negatif konsep diri maka semakin rendah resiliensi remaja tersebut, sehingga hal ini mencerminkan bahwa memiliki konsep diri menjadi salah satu cara untuk dapat meningkatan daya resiliensi yang ada di dalam individu.

(29)

20

faktor komunitas merupakan tiga faktor yang memengaruhi resiliensi. Menurut Everall (2006) menyatakan bahawa remaja yang resilien cenderung memiliki tujuan, harapan, dan perencanaan terhadap masa depan dengan gabungan antara ketekunan dan ambisi dalam mencapai hasil yang akan diperoleh.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan positif yang signifikansi antara konsep diri dengan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.

2. Remaja putus sekolah memiliki skor konsep diri yang berada pada kategori tinggi dengan mean sebesar 87,6 dan remaja putus sekolah memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi pula dengan mean sebesar 63,32.

3. Besarnya variasi konsep diri dengan resiliensi dapat menjelaskan bahwa konsep diri memberikan pengaruh terhadap resiliensi sebesar65,93 dan sisanya sebesar 34,07% yang dipengaruhi oleh faktor lain di luar konsep diri yang dapat berpengaruh terhadap resiliensi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut:

(30)

21

sekolah. Bagi remaja yang memiliki resiliensi rendah, hendaknya meningkatkan konsep diri yang lebih positif dengan mengubah keyakinan, pandangan atau penilaian terhadap dirinya menjadi lebih positif agar daya resiliensi yang dimilikinya juga semakin positif karena dengan konsep diri yang positif remaja akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Kontribusi variabel konsep diri yang sebesar 65,93% terhadap resiliensi terhadap remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan bisa menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya dengan topik resiliensi pada remaja putus sekolah. Penelitian selanjutnya bisa meneliti variabel – variabel lain di luar konsep

(31)

22

Daftar Pustaka

Adelman, H.S. & Taylor, L. (2009). School Dropout Prevention: A Public Health Role For Primary Health Care Providers. Developmental And Behavioral News, 18(1), 1-23. Retrieved October 23, 2015, from http://Smhp.Psych.Ucla.Edu/Pdfdocs/Drop.Pdf

Akuntono, I. D. W. (2011, 26 Desember). Angka Putus Sekolah dan Komersialisasi

Pendidikan. Kompas. Diunduh dari

http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/26/10392444/Angka.Putus.Sekolah.dan .Komersialisasi.Pendidikan

Amalia, F.N. (2015). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Remaja Pada Keluarga Orang Tua Tunggal. Skripsi. Program sarjana (S1) pada Program Sarjana Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Azwar, S. (1999). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---, S. (2010). Penyususnan skala psikologi. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Branata, M.(2009). Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relations.

USA: Mc Graw-Hill.

Christenson, S. L., & Thurlow, M. L. (2004). School dropouts: Prevention considerations, interventions, and challenges. American Psychological Society, 13(1), 36–39. Retrieved September 20, 2015, from http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.474.1870&rep=rep1& type=pdf

Conger, J.J. (1991). Adolescence And Youth (4th Ed). New York: Harper Collins Djudiyah & Yuniardi, M. (2011). Model Pengembangan Konsep Diri Dan Daya

Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma Psikis Remaja Dari Keluarga Single Parent. Jurnal Proyeksi 6(1), 16-26.

Dian, F. (2008). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Coping Strategy Pada Developed Kidiie Dalam Komunitas Hacker di Perguruan Tinggi X Bandung.

Skripsi. Program Sarjana (S1) pada Program Sarjana Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung. Bandung.

Evarall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L. (2006). Creating A Future: A Study Of Resilience In Suicidal Female Adolescents. Journal Of Counseling & Development, 84(4), 461-470. Retrieved October, 20, 2015, from http://Www.Nursingacademy.Com/Uploads/6/4/8/8/6488931/Roughspotsresilien ce.Pdf

(32)

23

Hamid, C, A. (2014). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Resiliensi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2010-2013 Universitas Islam Negri Malang. Skripsi. Program Sarjana (S1) pada Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Malang. Malang.

Hurlock, E. B. 1999. Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih Bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta : Erlangga.

Monks, F. J., Knoers, A. M. P., Haditono, S, R. (2001). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Natalia, F. (2012). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Intensi Kedisiplinan Siswa Kelas VIII SMP Negri 2 Salatiga Semester Gasal. Program Sarjana (S1) pada Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Nuqosin, A., R. (2012). Penguatan Modal Psikologis Melalui Pelatihan Mengatasi Kesulitan Pada Remaja Putus Sekolah Di Yogyakarta. Skripsi. Program Sarjana (S1) pada Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta

Pranandari, K. (2008). Kecerdasan Adversitas Ditinjau Dari Pengatasan Masalah Berbasis Permasalahan Dan Emosi Pada Orangtua Tunggal Wanita. Jurnal Psikologi 1(8), 121-127. Diunduh pada 19 Oktober, 2015, dari http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/viewFile/287/231

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The resiliency Factor: 7 keys to finding your inner strenght and overcoming life’s hurdles. New York: Three Rivers Press.

Rembulan, C.L. (2009). Penguatan Resiliensi Dengan Pelatihan Strategi Koping Fokus Emosi Pada Remaja Putri Yang Tinggal Di Panti Asuhan. Tesis: Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Psikologi UGM.

Rumberger, R. W. (1995). Dropping Out of High School: The Influence of Race, Sex and Family Background. American Educational Research Journal, 20(2), 199-220. Retrieved 8 September, 2015, from http://aer.sagepub.com/content/20/2/199.full.pdf

Santrock, John W. (2003) Adolescence. Perkembangan remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga, 2003

Septiana, L & Wulandari, S. P. (2012). Pemodelan Remaja Putus Sekolah Usia SMA di Propinsi Jawa Timur dengan Menggunakan Metode Regresi Spasial. Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga.

(33)

24

Stoltz, P. G. (2005). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: Grasindo.

Suarapembaruan.com. (4/8/2011).

Http://Www.Suarapembaruan.Com/Tajukrencana/Ironi-Putus-Sekolah/9827. Diakses pada kamis, 19 Oktober 2015.

Uliyah, N., Abdul, A. (2014). Perbedaan Konsep Diri Negatif Antara Remaja Yang Sekolah Dan Remaja Yang Putus Sekolah. Jurnal Psikologi. 2(2), 80-88. Diunduh pada 20 Oktober 2015, dari http://jurnal.yudharta.ac.id/wp-content/uploads/2015/07/Perbedaan-Konsep-Diri-Negatif.pdf

Hadiyanto. (1996). Faktor-Faktor Penyebab Putus Sekolah Pada Pendidikan Dasar: Suatu Kajian Dalam Rangka Mensukseskan Wajib Belajar 9 Tahun: Laporan Penelitian. Institute Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Padang. Http://Elib.Pdii.Lipi.Go.Id/Katalog/Index.Php/Searchkatalog/Byid/32403.

Diakses Minggu, 12 Februari 2012.

Wayman, J. C. (2002). The Utility of Educational Resilience as a Framework for Studying Degree Attainment in High School Dropouts. Journal of Educational Research, 95 (3), 167-178.

Retrieved September 8, 2015, from

http://www.csos.jhu.edu/contact/staff/jwayman_pub/do_edresil.pdf

Werner, E. (1992). The children of Kauai: Resiliency and recovery in adolescence and adulthood. Journal of Adolescent Health, 13(4), 262–268. Retrieved September

7, 2015, from

http://www.esd113.org/cms/lib3/wa01001093/centricity/domain/48/resilienceres earchchildren.pdf

Gambar

Tabel 1. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Konsep Diri
Tabel 2. Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Resiliensi
Tabel 3 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel.
Tabel 5. Kriteria Skor Resiliensi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis interkorelasi penggunaan strategi meta- kognitif dalam belajar keempat keterampilan berbahasa Indonesia menunjukkan ada hubung- an positif antara satu

Ketua STPP Bogor yang selanjutnya disebut Ketua adalah Pimpinan Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan,

Pemudahcara tidak melibatkan diri dalam proses perkembangan isu kelompok dan

- Bagian dari pohon yang dipotong, dikuliti dengan tangan ataupun tidak, diberi bahan pengawet maupun tidak, dihilangkan getahnya atau tidak, menjadi batang

Alternatif strategi pengembangan bisnis gula semut Koperasi Serba Usaha Jatirogo berdasarkan analisis SWOT, antara lain meningkatkan kegiatan promosi, meningkatkan

Handphone Nokia merk Lumia memiliki teknologi dan fitur yang mengikuti perkembangan jaman..

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan konstruktif balok dengan menggunakan media pembelajaran yang bervariasi dapat meningkatkan kemampuan

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes Dengan Pulasan Van Gieson Di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dan Rumah Sakit