• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Melo sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Melo sp."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Pepaya (Melo sp.)

Melo sp. termasuk Famili Volutidae yang kebanyakan tidak memiliki operkulum dan memiliki 180 jenis di seluruh dunia (Grzimex 1974). Melo sp. memiliki cangkang yang sangat besar. Puncaknya dapat tak terlihat dan terlihat. Apex halus, besar dan berbentuk seperti kubah. Puncak lingkarannya halus dan seperti mahkota, terdapat sejumlah columella yang saling berlipat. Klasifikasi keong papaya (Melo sp.) (Lineaus 1958) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Molusca Class : Gastropoda Subclass : Caenogastropoda Order : Hypsogastropoda Suborder : Neogastropoda Superfamiliy : Muricoidea Family : Volutidae Subfamily : Amoriinae Genus : Melo sp.

Famili volutidae merupakan salah satu keong yang disukai oleh para kolektor. Volutidae termasuk jenis karnivor yang memangsa hewan-hewan kecil, echinodermata dan moluska lainnya. Hidup di pasir yang bersih, dan berlindung di bagian bawah (Beechey 2005). Keong pepaya tersebar di perairan Indo-Pacific (Australia dan New Guinea) dan Indonesia (Grzimek 1974). Bentuk keong pepaya dapat dilihat pada Gambar 1.

(2)

Keong laut masuk dalam Kelas Gastropoda laut. Tubuhnya dilindungi oleh sebuah cangkang dan biasanya melingkar karena torsi, bentuk kepala jelas, mempunyai tentakel, mata dan radula. Kaki lebar dan datar, bernafas dengan sebuah atau sepasang insang, dioecious, larva trocopor, dan veliger (Purwaningsih 2007).

Tubuh keong terdiri atas empat bagian utama yaitu kepala, kaki, isi perut, dan mantel. Pada kepala terdapat sepasang mata, sepasang tentakel, sebuah mulut, dan sebuah siphon. Mantel merupakan arsitek pembentuk struktur cangkang dan pola luarnya. Di dalam kepala terdapat probosis yang di dalamnya terdapat radula. Kaki berukuran besar dan berbentuk pipih yang berfungsi untuk merayap dan melekat (Yulianda 1999). Cangkang dan anatomi gastropoda dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Cangkang keong pepaya dan anatomi gastropoda

Sumber: Pretre (1850)

Cangkang gastropoda paling luar disebut periostrakum, merupakan lapisan tipis yang terdiri atas bahan protein seperti zat tanduk disebut conchiolin atau choncin. Pada lapisan ini terdapat beberapa pigmen beraneka warna yang menjadikan banyak cangkang keong laut sangat indah warnanya: kuning, hijau cemerlang, dengan bercak-bercak merah atau garis-garis. Cangkang pada gastropoda terdiri atas lapisan kalsium karbonat sebanyak tiga lapis atau lebih, yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella, dan paling dalam adalah lapisan nakre atau hipostrakum (Suwignyo et al. 1997 diacu dalam Purwaningsih 2007). Struktur cangkang terbuat dari kalsium karbonat, yaitu 89-99% dan sisanya 1-2% fosfat, bahan organik conchiolin dan air (Darma 1988 diacu dalam Purwaningsih 2007).

(3)

2.2 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif karena kehilangan satu atau lebih elektron yang bermuatan listrik, dan untuk mengembalikan keseimbangannya maka radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan lemak (Dalimartha & Soedibyo 1998 diacu dalam Praptiwi et al. 2006).

Radikal bebas adalah atom, molekul atau sedikit kumpulan yang berisi satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas bersifat tidak stabil, reaktif, dan memiliki kemampuan untuk merusak molekul biologi yaitu DNA, protein, lipid, dan karbohidrat (Surai 2002).

Radikal bebas memiliki reaktivitas yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Senyawa radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Dampak kerja radikal bebas akan terbentuk radikal bebas yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya, namun bila dua senyawa radikal bertemu elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya bila senyawa bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi tiga kemungkinan yaitu: (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) pada senyawa bukan radikal bebas; (2) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas; (3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007).

Tahapan pembentukan reaksi radikal bebas terjadi melalui tiga tahap yang terdiri atas tahap inisiasi yaitu awal pembentukan radikal bebas. Tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal. Tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah (Fessenden dan Fessenden 1986). Sumber radikal bebas internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 1.

(4)

Tabel 1 Sumber-sumber radikal bebas

Sumber Internal Sumber Eksternal

Mitokondria Fagosit

Xanthin oksidase

Reaksi yang melibatkan logam transisi Jalur arakhidonat Peroksisom Olahraga Peradangan Iskemia/reperfusi Rokok Radiasi Sinar UV Polusi Obat-obatan kimia Bahan-bahan kimia Industrial solvents

Sumber: Furst (1996) diacu dalam Surai (2002)

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia internal maupun eksternal) dan secara eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalu injeksi. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor (Muchtadi 2001).

Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini sering kali terjadi kebocoran elektron. Kondisi inilah yang menyebabkan mudahnya terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, contohnya hidrogen peroksida (H2O2), ozon. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) atau reactive oxygen species (ROS) (Winarsi 2007).

2.2 Antioksidan

Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Antioksidan dapat menghambat laju oksidasi bila bereaksi dengan radikal bebas (Hudson 1990 diacu dalam Praptiwi et al. 2006).

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat

(5)

reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, akibatnya kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi 2007).

Antioksidan berfungsi menetralisasi radikal bebas, sehingga atom dan elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi stabil. Keberadaan antioksidan dapat melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit degeneratif dan kanker. Antioksidan juga membantu menekan proses penuaan dini (Tapan 2005).

2.2.1 Sumber antioksidan

Antioksidan berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Adawiyah et al. 2001). Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari: (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari suatu atau dua komponen makanan; (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan; (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan pada makanan sebagai bahan tambahan makanan (Pratt 1992 diacu dalam Adawiyah et al. 2001). Bahan pangan sumber antioksidan alami dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Bahan pangan sumber antioksidan alami

Antioksidan Bahan Pangan

Vitamin A dan Karotenoid

Mentega, margarin, buah-buahan berwarna kuning, sayuran hijau

Vitamin E Biji bunga matahari, biji-bijian yang mengandung kadar minyak tinggi, kacang-kacangan, susu

Vitamin C (asam askorbat)

Buah-buahan (jeruk), sayur-sayuran (sebagian rusak dalam pemasakan), kentang

Vitamin B2 (riboflavin)

Susu, produk hasil olahan susu, daging, ikan, telur, serealia utuh, kacang-kacangan

Seng (Zn) Bahan pangan hewani: daging, udang, ikan, susu

Tembaga (Cu) Hati, udang, biji-bijian, serealia (kadar dalam makanan tergantung pada konsentrasi Cu dalam tanah)

Selenium (Se) Serealia, daging, ikan (kadar dalam makanan tergantung pada konsentrasi Cu dalam tanah)

Protein Ovalbumin dalam telur, gliadin dalam gandum

Sumber: Belleville-Nabet (1996) diacu dalam Muchtadi (2001)

Senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol,

(6)

isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersil (Pratt dan Hudson 1990).

2.2.2 Mekanisme kerja antioksidan

Antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi. Hal ini dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan; 2) pelepasan elektron dari antioksidan; 3) addisi lemak ke dalam cincin atomatik pada antioksidan; dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986).

Antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat pada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil (Winarsi 2007). Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Belleville-Nabet 1996 diacu dalam Winarsi 2007).

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non-enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif. Sistem pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembetukannya. Antioksidan sekunder bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya, akibatnya radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan sekunder ini dapat berupa komponen non nutrisi, dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan (Winarsi 2007). Antioksidan sekunder juga berfungsi memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autoksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon 1990).

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan

(7)

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double strand, baik gugus non-basa maupun basa (Winarsi 2007).

2.2.3 Uji aktivitas antioksidan

Metode yang umum digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah metode serapan radikal bebas DPPH (Diphenylpicrylhydrazyl) karena merupakan metode yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani et al. 2005). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses ini dapat ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi (Molyneux 2004).

Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui donasi atom hidrogen dan menyebabkan peluruhan warna DPPH dari ungu menjadi kuning yang diukur dengan panjang gelombang 517 nm. Senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning pucat. Pengukuran aktivitas antioksidan ini dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri (Molyneux 2004). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal) Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan

Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH dengan IC50 (Inhibition concentration), yaitu konsentrasi larutan sampel

(8)

yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH (Andayani et al. 2003). Suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antioksidan

sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat IC50 antara 50-100 ppm, sedang jika nilai IC50 101-150 ppm, dan lemah jika nilai IC50 antara 150-200 ppm (Molyneux 2004).

2.3 Ekstraksi Senyawa Aktif

Ekstraksi merupakan suatu cara memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Ragam ekstraksi tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987).

Ekstraksi dapat dilakukan dalam dua cara yaitu aqueous phase dan organik phase. Cara aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut air, misalnya untuk gula, NaCl dan sebagainya. Cara organik phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya, misalnya untuk bahan-bahan berlemak, karoten dan sebagainya (Winarno et al. 1973).

Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi dan sifat pelarut yang digunakan. Metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan terdiri atas ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998).

Syarat pelarut dapat digunakan di dalam proses ekstraksi, yaitu pelarut tersebut merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut tersebut harus terpisah dengan cepat setelah pengocokkan. Pelarut agar cepat terpisah harus menggunakan pelarut yang mempunyai berat jenis yang berbeda, yaitu yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 1 atau kurang dari 1 (Winarno et al. 1973). Beberapa pelarut organik dan sifat-sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 3.

(9)

Tabel 3 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya Pelarut Titik didih

(°C) Titik beku (°C) Konstanta dielektrik (Debye) Dietil eter Karbon disulfide Aseton Kloroform Metanol Tetrahidrofuruan Di-isopropil eter N-heksan Karbon tetraklorida Etil asetat Etanol Benzena Sikloheksana Isopropanol Air Dioksan Toluena

Asam asetat glacial N.N dimetil formamida Dietilenaglikol 35 46 56 61 65 66 68 69 76 77 78 80 81 82 100 102 111 118 154 245 -116 -111 -95 -64 -98 -65 -60 -94 -23 -84 -117 5,5 6,5 -89 0 12 -95 17 -61 -10 4,3 2,6 20,7 4,8 32,6 7,6 3,9 1,9 2,2 6,0 24,3 2,3 2,0 18,3 78,5 2,2 2,4 6,2 34,8 37,7

Sumber: Nur dan Adijuwana (1989)

Kelarutan zat di dalam pelarut-pelarut tergantung dari ikatannya yaitu polar atau non polar. Zat yang polar contohnya air, sedangkan non polar yaitu karbontetrakhlorida. Zat-zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut di dalam pelarut non polar (Winarno et al. 1973). Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida. Pelarut non polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak yang mudah menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida (Harborne 1987). Metanol merupakan senyawa polar yang disebut sebagai pelarut universal karena selain mampu mengekstrak komponen polar juga dapat mengekstrak komponen nonpolar seperti lilin dan lemak (Houhton dan Raman 1998).

Hasil ekstrak tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah

(10)

pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya. Keberhasilan ekstraksi tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang diperoleh maksimal jika ekstraksi dilakukan berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit-sedikit. Efisiensi ekstraksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan luas kontak yang besar (Khopkaar 2003).

2.5 Senyawa Fitokimia

Fitokimia merupakan suatu bagian ilmu pengetahuan alam. Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman) yang berarti kimia tanaman. Fitokimia menguraikan aspek kimia suatu tanaman (Sirait 2007). Fitokimia atau kimia tumbuhan berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan erat dengan keduanya. Fitokimia ini mencakup struktur kimianya, biosintesis, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah dan fungsi biologisnya. Senyawa fitokimia berpotensi mencegah berbagai penyakit degeneratif dan kardiovaskuler (Harborne 1987).

2.5.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder, yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid merupakan golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan. Alkaloid banyak ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting, dan kulit kayu (Suradikusumah 1989).

Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Alkaloid yang mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak mengandung cincin heterolistik disebut protoalkaloid. Keduanya diturunkan dari asam amino (Suradikusumah 1989).

Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas di bidang pengobatan. Alkaloid sering bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan tetap

(11)

belum begitu pasti walaupun beberapa senyawa dilaporkan berperan sebagai pengatur tumbuhan atau penolak dan pemikat serangga (Harborne 1987).

2.5.2 Steroid/Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid ini dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Harborne 1987).

Steroid atau sterol adalah triterpen yang bentuk dasar sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Sterol awalnya diduga hanya terdapat pada binatang. Sterol diketahui juga terdapat pada jaringan tumbuhan (fitosterol). Fitosterol secara struktural berbeda dengan sterol binatang. Perbedaannya dengan kolesterol terutama karena adanya substitusi gugus metal, etil atau etilidien (Suradikusumah 1989).

2.5.3 Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri atas C6-C3-C6 (Sirait 2007). Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam. Flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi warna merah, ungu, biru, dan kuning dalam tumbuhan (Suradikusumah 1989).

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, flavan-3,4-diol (Harborne 1987).

Flavonoid dapat berguna bagi kehidupan manusia. Flavon dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diurematik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007).

(12)

2.5.4 Saponin

Saponin adalah glikosida dan sterol yang telah terdeteksi pada lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin juga merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan terhadap sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah dalam laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (Harborne 1987).

Saponin sebagian besar bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi dengan asam (sukar larut dalam air), sebagian besar ada yang bereaksi dengan basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin dapat bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Saponin yang beracun disebut sapotoksin. Saponin dapat menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika (Sirait 2007).

2.5.5 Fenol hidrokuinon

Fenol mencakup sejumlah senyawa yang umumnya mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol larut dalam air, karena paling sering bergabung dengan gula glukosida dan biasanya terdapat dalam rongga sel. Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar (Suradikusumah 1989).

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon. Kuinon terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok untuk tujuan identifikasi yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Harborne 1987).

2.5.6 Karbohidrat

Karbohidrat biasa digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan makromolekulnya menjadi monosakarida sederhana (glukosa, fruktosa) turunannya; oligosakarida, yang terbentuk dengan kondensasi dua satuan monosakarida atau lebih (sukrosa), dan polisakarida, yang terdiri atas satuan

(13)

monosakarida berantai panjang, disambungkan dengan cara kepala ke ekor, berbentuk rantai lurus atau bercabang (Harborne 1987).

Karbohidrat merupakan konstituen yang paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan kandungan kimia lainnya yang terdapat dalam tanaman ataupun hewan. Karbohidrat dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman. Zat tersebut diubah menjadi senyawa kimia organik lain yang diperlukan tanaman. Karbohidrat mempunyai peranan penting yaitu berguna sebagai storing energy seperti pati, dapat pula berguna sebagai transport of energy seperti sukrosa, dan sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa (Sirait 2007).

2.5.7 Gula pereduksi

Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan dengan ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya (Winarno 1997).

Gula adalah senyawa tanpa warna dan bila terdapat dalam jumlah mikro, harus dideteksi dengan cara reaksi menggunakan pereaksi kromogen yang cocok. Gula mereduksi seperti glukosa yang secara klasik dideteksi berdasarkan pembentukan endapan merah-kuning dengan larutan fehling, dapat mudah dideteksi pada kromatogram dengan menggunakan pereaksi fenol atau amina (Harborne 1987).

2.5.8 Peptida

Peptida merupakan hasil polikondensasi asam amino. Gugus karbonil dari satu asam amino berikatan dengan gugus asam amino lain membentuk ikatan amida atau ikatan peptida (Sastroamidjojo 1996). Pembentukan ikatan peptida memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi. Reaksi keseimbangan ini lebih cenderung berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).

Ikatan peptida ini terbentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi

(14)

kondensasi yang kuat. Tiga asam amino dapat disatukan oleh dua ikatan peptida dengan cara sama untuk membentuk suatu tripeptida, tetrapeptida dan pentapeptida. Asam amino yang bergabung dengan cara demikian dalam jumlah banyak dihasilkan struktur yang dinamakan polipeptida. Peptida dengan panjang yang bermacam-macam dibentuk oleh hidrolisa sebagian dari rantai polipeptida yang panjang dari protein, yang dapat mengandung ratusan asam amino (Lehninger 1982).

2.5.9 Asam amino

Asam amino merupakan rantai panjang penyusun protein yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat pada semua protein namun tidak terdapat pada karbohidrat dan lemak. Asam amino terdiri atas karbon yang terikat pada satu gugus karboksil (-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H) dan satu gugus rantai cabang (-R). Asam amino dibedakan berdasarkan rantai cabang gugus R-nya (Almatsier 2006).

Sifat fisika asam amino ditentukan oleh struktur ion dwikutub. Kelompok asam amino lebih mudah larut dalam air daripada pelarut organik. Asam amino membentuk garam dengan asam atau basa karena bersifat amfoter (Robinson 1995). Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1,0 gugus karboksilnya tidak terdisosiasi, sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH yang tinggi misalnya pada pH 11,0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak terdisosiasi (Winarno 1997).

Gambar

Gambar 2 Cangkang keong pepaya dan anatomi gastropoda
Tabel 1 Sumber-sumber radikal bebas
Tabel 3 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya  Pelarut  Titik didih

Referensi

Dokumen terkait

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih.. elektron yang tidak berpasangan dan bersifat sangat reaktif

Radikal bebas adalah molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya, radikal bebas sangat reaktif dan tidak stabil,

Radikal bebas adalah kelompok molekul kimia yang sangat reaktif dengan satu atau lebih elektron tak berpasangan yang dapat mengoksidasi biomolekul yang mereka

Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas, dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel

Aktivitas antioksidan dapat diukur dengan menggunakan metode penangkapan radikal bebas stabil DPPH (2,2-diphenyl-I-picrylhidracyl). DPPH adalah suatu radial bebas

DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. DPPH menerima

DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil sehingga dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH

Radikal bebas adalah molekul yang tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya sehingga sangat reaktif untuk mendapatkan pasangan elektron dengan