• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOLERANSI BEBERAPA KLON KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TOLERANSI BEBERAPA KLON KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Oleh"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TOLERANSI BEBERAPA KLON KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl.

Oleh Ruli Alhadi*)

Di bawah bimbingan Fatimah dan Ediwirman

*)

Program Studi Agroteknologi Universitas Tamansiswa Abstrak

Penelitian tentang toleransi beberapa klon kakao (Theobroma cacao L.) terhadap infeksi Phytophthora palmivora Butl. dengan tujuan untuk mendapatkan klon kakao yang toleran terhadap infeksi P. palmivora. telah dilakukan di Laboratorium Fitopatologi Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Andalas dari Februari hingga Maret 2014. Penelitian berpola Rancangan Acak Lengkap dengan 1 perlakuan terhadap 6 klon kakao yaitu: Sca 12, TSH 858, ICS 60, GC 7, K. TSH 858 dan K. ICS 60. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa inkubasi pada klon TSH 858 dan ICS 60 lebih lama (3 hari) jika dibandingkan dengan klon lainnya (2 hari). Pada pengamatan perkembangan luas bercak masing-masing klon kakao terlihat bahwa klon TSH 858 menunjukkan perkembangan luas bercak yang paling lambat, yakni 10.82 cm2/hari jika dibandingkan dengan klon kakao lainnya, ICS 60, GC 7, K. TSH 858 dan K. ICS 60 masing-masing 11.42, 12.95, 13.24 dan 13.58 cm2/hari. Kesimpulan dari penelitian adalah klon yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap serangan Phytophthora palmivora adalah klon TSH 858, sedangkan yang tidak toleran adalah klon GC 7.

Kata kunci: Klon kakao, toleransi, busuk buah, phytophthora palmivora PENDAHULUAN

Kakao merupakan komoditi perkebunan yang menduduki posisi ke-4 setelah kelapa sawit, karet dan kelapa (Tumpal, Riyadi, dan Nuraeni, 2012). Indonesia sebagai produsen kakao ketiga dunia dengan kontribusi hampir 12 % dari kebutuhan kakao dunia. Sebagai salah satu komoditas penyumbang devisa bagi negara disektor non migas (Karmawati, Mahmud, Syakir, Munarso, Ardana, dan Rubiyo, 2010). Kakao merupakan sumber pendapatan utama bagi banyak petani (Anonim, 2011). Kakao mempunyai manfaat antara lain sebagai produk makanan, minuman, kosmetik dan bermanfaat bagi kesehatan. Kulit buah dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahan mulsa dan pupuk organik (Hariyadi, Sehabudin dan Winasa, 2009).

(2)

Luas areal tanaman kakao di Indonesia mencapai 1.462.000 ha dengan produksinya 1.315.800 ton/tahun. 90% luas areal kakao di Indonesia merupakan perkebunan rakyat (Siswanto dan Karmawati, 2011). Tahun 2008, Indonesia mengekspor biji kakao sebanyak 380.512 ton senilai US$ 54,6 juta, secara total volume ekspor kakao mencapai 500.561 ton senilai US$ 1,2 miliar. Sementara tahun 2009 ekspor kakao Indonesia turun menjadi 248.000 ton hingga 406.000 ton (Saragih, 2012).

Strategi untuk mengatasi permasalahan busuk buah kakao di lapangan adalah dengan menanam klon kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora. Pengembangan klon kakao yang toleran terhadap infeksi P. palmivora dapat dikembangkan melalui hibridisasi terkontrol antara tetua

resisten dengan yang berdaya hasil tinggi. Untuk itu, identifikasi plasma nutfah

sebagai dasar pemuliaan tanaman kakao yang resisten atau toleran infeksi P. palmivora perlu dikembangkan (Rubiyo, 2009a). Klon kakao unggul sangat

tergantung pada tersedianya klon kakao yang lebih resisten terhadap infeksi P. palmivora sebagai tetua donor (Rubiyo, Purwantara dan Sudarsono, 2010). Respon ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan tipe klon kakao unggul (Akrofi dan Opoku, 2000).

Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pemuliaan tanaman sehingga diperoleh klon yang memiliki toleransi terhadap berbagai serangan penyakit. Pemuliaan tanaman memiliki peran penting dalam bidang pertanian, dengan menggunakan klon unggul sebagai bahan tanam, sehingga produksi kakao

dapat ditingkatkan. Pengujian klon kakao yang toleran terhadap infeksi P. palmivora dapat dilakukan dengan uji detached pod dan attached pod. Uji

detached pod merupakan pengujian ketahanan kakao dari buah yang dipetik, sedangkan uji attached pod merupakan uji ketahanan kakao yang langsung dilakukan pada buah kakao di lapangan (Rubiyo, 2009a).

Pengujian toleransi klon-klon kakao di lapangan dan di laboratorium masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bercak di lapangan akan berbeda dengan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bercak di laboratorium. Uji toleransi klon kakao di lapangan akan mengalami kesulitan akibat areal yang cukup luas dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan penyakit di lapangan seperti suhu, kelembaban dan curah hujan yang selalu berubah. Oleh karena itu, untuk kemudahan dalam seleksi klon-klon kakao yang toleran terhadap serangan P. palmivora dilakukan di laboratorium dengan uji detached pod. Sejalan dengan dikembangkan klon kakao unggul, diperlukan informasi terkait dengan tingkat toleransi dari klon-klon yang ada dengan menggunakan uji detached pod.

(3)

Berdasarkan uraian di atas maka telah dilakukan suatu kajian dalam bentuk penelitian mengenai Toleransi Beberapa Klon Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Infeksi Phytophthora palmivora Butl. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan klon kakao yang toleran terhadap infeksi jamur P. palmivora berdasarkan uji detached pod.

BAHAN DAN METODE

Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium Fitopatologi Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang yang dimulai pada bulan Februari sampai Maret 2014.

Bahan dan alat yang digunakan untuk uji detached pod di laboratorium adalah: buah kakaosehat yang berumur 4 bulan sesudah antesis (buah telah berkembang sempurna tetapi belum masak), buah kakao yang terinfeksi busuk buah,alkohol 70%, aquadest steril, kertas HVS, PDA (Potato Dextrosa Agar), cawan petri, kapas, pinset, jarum oase, kaca objek, laminar air flow, hot plate, botol skot, gelas piala, pengaduk, pisau, engkas, auto clave, mikroskop binokuler, kamera digital dan alat-alat tulis.

Penelitian ini berpola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 perlakuan berupa inokulum jamur P. palmivora yang diinokulasikan pada 6 jenis klon kakao yaitu: klon Sca 12 (K1), klon TSH 858 (K2), klon ICS 60 (K3), klon

GC 7 (K4), klon kemiripan TSH 858 (K5) dan klon kemiripan ICS 60 (K6).

Isolasi jamur berasal buah kakao yang terinfeksi penyakit busuk buah dipetik langsung dari batang. Buah kakao yang terinfeksi dicuci bersih dengan air mengalir dan dilanjutkan dengan mengambil potongan buah antara bagian kulit kakao yang sehat dengan yang sakit sebesar 5 mm. Potongan disterilkan dengan larutan alkohol 70% selama 30 detik, lalu dicelupkan kedalam aquades steril. Potongan kemudian diletakkan kedalam media PDA. Selanjutnya diinkubasikan selama 3-7 hari pada kondisi gelap dalam ruang bersuhu 260C. Jamur yang sudah tumbuh pada PDA kemudian dibiakkan dan dimurnikan pada medium yang sama untuk mendapatkan biakan yang murni (Umayah dan Purwantara, 2006). Miselia patogen yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan (Rubiyo et al., 2010).

Parameter pengamatan meliputi; masa inkubasi, perkembangan gejala infeksi P. palmivora berdasarkan luas bercak dan pengelompokan toleransi buah terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan luas bercak.

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Masa Inkubasi

Hasil pengamatan munculnya bercak pada buah kakao yang diinokulasi dengan patogen P. palmivora disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Masa inkubasi dan luas bercak buah kakao yang diinokulasi dengan patogen Phytophthora palmivora.

Klon kakao Masa inkubasi (hari)

Luas bercak 3 hari sesudah inokulasi (hsi) (cm2) Sca 12 2 4.05 TSH 858 3 3.89 ICS 60 3 3.47 GC 7 2 5.23 K. ICS 60 2 4.46 K. TSH 858 2 4.15 Rata-rata 2 4.21

Tabel 1 menunjukkan masa inkubasi buah kakao yang diinokulasi dengan P. palmivora berkisar antara 2 sampai 3 hari. Klon TSH 858 dan klon ICS 60 memiliki masa inkubasi rata-rata 3 hari sesudah inokulasi, lebih lambat jika dibandingkan dengan klon, Sca 12, GC 7, K. TSH 858 dan K. ICS 60 dengan masa inkubasi 2 hari sesudah inokulasi. Hal ini disebabkan kemampuan klon kakao dalam mempertahankan diri dari serangan patogen sebelum penetrasi dan pasca penetrasi bervariasi.

Pertahanan diri sebelum penetrasi berhubungan dengan bentuk struktural buah kakao dan zat biokimia yang dihasilkan sebelum adanya serangan patogen. Menurut Agrios (1996), pertahanan struktural meliputi jumlah dan kualitas lilin serta kutikula yang menutupi sel epidermis, ukuran, letak dan bentuk stomata dan lentisel, serta jaringan dinding sel yang tebal yang menghambat gerak maju patogen. Senyawa yang dihasilkan jaringan tumbuhan sebelum adanya serangan patogen adalah fenolik dan tanin. Senyawa fenolik dan hasil oksidasinya dapat menghasilkan ketahanan terhadap penyakit melalui reaksi penghambatan enzim pektolitik dan enzim patogen yang lain.

Klon TSH 858 dan ICS 60 memiliki rata-rata luas bercak yang lebih kecil pada 3 hari sesudah inokulasi, berturut-turut adalah 3.89 dan 3.47 cm2. Sedangkan klon GC 7 memiliki luas bercak yang paling besar, yaitu 5.23 cm2. Klon lainnya, Sca 12, K. TSH 858 dan K. ICS 60 masing-masing mempunyai luas bercak 4.05, 4.46 dan 4.15 cm2 pada 3 hari sesudah inokulasi. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Rubiyo et al., (2010) yaitu pada 3 hari

(5)

sesudah inokulasi klon ICS 60 menghasilkan bercak yang lebih kecil (1.6 cm2) dibandingkan dengan klon GC7 (7.7 cm2), namun untuk perkembangan bercak selanjutnya klon ICS 60 memiliki respon yang agak rentan dan klon GC 7 memiliki respon yang sangat rentan. Untuk lebih jelasnya, gejala bercak pada buah kakao akibat infeksi P. palmivora pada 3 hari sesudah inokulasi disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa klon kakao yang diuji dengan P. palmivora telah menimbulkan bercak pada 2 hari sesudah inokulasi (hsi).

Namun, jika dilihat dari masa inkubasi, klon TSH 858 dan klon ICS 60 memiliki masa inkubasi yang lebih lama, yaitu 3 hari sesudah inokulasi sehingga bercak yang ditimbulkan relatif kecil dengan masing-masing luas bercak 3.89 dan 3.47 cm2 (Gambar 3. b dan 3. f). Klon Sca 12, GC 7, K.TSH 858 dan K.ICS 60 memiliki masa inkubasi yang lebih cepat yaitu 2 hari sesudah inokulasi sehingga pada 3 hsi telah menimbulkan bercak yang lebih besar yaitu masing-masing 4.05, 5.23, 4.46 dan 4.15 cm2. Hal ini berhubungan dengan kemampuan

masing-masing klon kakao dalam mempertahankan diri dari serangan patogen P. palmivora. Setiap klon kakao mempunyai kemampuan yang berbeda dalam

memperlambat infeksi P. palmivora.

Gambar 3. Variasi munculnya bercak pada beberapa klon kakao sebagai gejala pertama infeksi P. palmivora pada 3 hari sesudah inokulasi.

Pertahanan diri berhubungan dengan sifat struktural yang dimiliki setiap klon kakao sebagai penghalang dan penghambat masuknya patogen ke dalam jaringan buah sebelum timbulnya bercak hitam. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Mardinus (2006) bahwa tumbuhan dapat bertahan diri dari serangan patogen dengan kombinasi yang dimiliki yaitu, sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen mendapatkan peluang masuk dan menyebar di dalam jaringan tumbuhan, selanjutnya adalah reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan sehingga menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada jaringan tanaman.

(6)

Semakin baik ketahanan tanaman pada pasca penetrasi, maka masa inkubasi akan semakin lama dan perkembangan bercak akan lambat, demikian sebaliknya jika tanaman tidak mampu dalam menghambat patogen masuk kedalam jaringan, maka tanaman akan mudah terinfeksi oleh patogen, sehingga masa inkubasi akan lebih cepat dan menghasilkan bercak yang lebih besar.

B. Perkembangan Gejala Infeksi P. palmivora Berdasarkan Luas Bercak Pertambahan dan persentase luas bercak klon kakao yang diinokulasi dengan P. palmivora pada umur 3 hingga 7 hari sesudah inokulasi (hsi) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan dan persentase luas bercak pada klon kakao yang diinokulasi dengan patogen Phytophthora palmivora 3-7 hari sesudah inokulasi (hsi).

Klon kakao

Luas bercak pada hari pengamatan (hsi) (cm2) Rata-rata pertambahan luas (cm2/hari)* Persentase luas bercak 7 hsi (%) 3 5 7 Sca 12 4.05 19.45 49.21 9.91 100 TSH 858 3.89 19.62 54.13 10.82 75 ICS 60 3.47 17.81 57.14 11.42 80 GC 7 5.23 28.6 64.75 12.95 100 K. ICS 60 4.15 24.78 66.21 13.24 97 K. TSH 858 4.46 25.57 67.94 13.58 98

Keterangan: *Rata-rata pertambahan luas bercak (ΔL) dihitung dengan rumus ΔL = ∑(Xn – Xn-1)/N, Xn adalah rata – rata luas bercak pada hari

ke-n, Xn-1 adalah rata - rata luas bercak pada hari ke n-1, dan N

adalah jumlah pengamatan yang dilakukan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa klon kakao yang diuji (Sca 12, TSH 858, ICS 60, GC 7, K. ICS 60 dan K. TSH 858) menghasilkan rata-rata pertambahan luas luas bercak yang berbeda akibat infeksi P. palmivora. Dimana rata-rata pertambahan bercak yang terkecil diperoleh pada klon Sca 12. Hal ini disebabkan ukuran buahnya yang relatif kecil sehingga menghasilkan pertambahan luas bercak yang paling kecil (9.91 cm2/hari), kemudian urutan selanjutnya adalah klon TSH 858, ICS 60, GC 7, K. ICS 60 dan K. TSH dengan luas bercak masing-masing adalah 10.82, 11.42, 12.95, 13.24 dan 13.58 cm2/hari.

Klon yang dapat digunakan sebagai pembanding tingkat toleransi buah terhadap serangan P. palmivora adalah klon TSH 858. Klon TSH 858 memiliki ukuran buah yang relatif sama dengan klon GC 7, ICS 60, K.TSH 858 dan K.ICS 60 dan memiliki pertambahan bercak yang lebih kecil, dapat dikatakan bahwa klon TSH 858 memiliki kemampuan dalam menghambat masuk dan

(7)

berkembangnya patogen di dalam jaringan buah, sehingga memiliki perkembangan luas bercak yang lambat. Klon Sca 12 memiliki pertambahan yang paling kecil, namun tidak dapat digunakan sebagai pembanding karena ukuran buahnya yang kecil sehingga pertambahan bercak perhari juga relatif kecil (9.91 cm2/hari).

Gambar 4. Grafik rata-rata pertambahan luas bercak pada buah kakao akibat infeksi jamur Phytophthora palmivora 3 hingga 7 hari sesudah inokulasi (hsi).

Gambar 4 menunjukkan bahwa pertambahan luas bercak pada masing-masing klon kakao memiliki perbedaan. Klon Sca 12 memiliki perkembangan bercak yang lambat dengan pertambahan bercak 9.91 cm2/hari dan klon K. TSH 858 memiliki perkembangan bercak yang tinggi dengan pertambahan bercak 13.58 cm2/hari. Klon kakao GC 7, K. TSH 858 dan K. ICS 60 merupakan 3 klon yang rentan terhadap serangan P. palmivora dengan pertambahan luas bercak masing-masing 12.95, 13.58 dan 13.24 cm2/hari, lebih cepat jika dibandingkan dengan klon Sca 12, TSH 858 dan ICS 60 dengan rata-rata pertambahan bercak masing-masing 9.91, 10.82 dan 11.42 cm2/hari. Jika dilihat dari grafik rata-rata pertambahan bercak, klon GC 7 mempunyai perkembangan bercak yang menarik, pada awal muncul klon GC7 mempunyai luas bercak yang tinggi kemudian menurun.

Perkembangan luas bercak pada buah kakao berhubungan dengan ketahanan pasca penetrasi. Hal ini menunjukkan adanya peranan mekanisme biokimiawi yang terjadi di dalam sel setelah terinfeksi oleh patogen. Pertahanan biokomiawi tersebut akan menentukan tahan atau tidak tahannya terhadap serangan patogen. Rubiyo (2009b) juga melaporkan bahwa aktifitas kitinase, dan peroksidase terhadap klon yang diuji menunjukkan adanya peran kitinase pada

(8)

ketahanan kakao akibat infeksi P. palmivora. Peningkatan aktifitas kitinase pada klon yang tahan umumnya konsisten meningkat, begitu juga pada enzim peroksidase.

Klon K.TSH 858 dan K.ICS 60 merupakan klon kakao yang belum teridentifikasi dengan jelas, warna dan bentuk morfologinya mirip dengan klon TSH 858 dan ICS 60. Namun, tingkat tolerannya terhadap infeksi P. palmivora berbeda dengan klon TSH 858 dan ICS 60. Hal ini berhubungan dengan ketahanan masing-masing jenis buah kakao. Bentuk morfologinya hampir sama, namun tingkat ketahanannya terhadap serangan P. palmivora tidak sama. Hal ini didukung oleh penjelasan Kurniasih (2012) yang menyatakan bahwa tanaman sejenis memberikan respon yang berbeda terhadap serangan patogen. Ada yang rentan, agak rentan, tahan atau agak tahan. Hal ini tergantung pada jenis dan jumlah gen resisten yang terdapat pada tanaman tersebut. Namun, faktor ketahanan terhadap serangan patogen akan berimbang terhadap faktor lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi.

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa perbedaan persentase luas bercak pada klon kakao yang diuji pada 7 hari sesudah inokulasi. Klon TSH 858 dan ICS 60 memiliki persentase luas bercak yang terkecil yaitu masing-masing 75.% dan 80%. Sedangkan klon Sca 12 dan GC 7 memiliki persentase luas bercak terbesar (100%), selanjutnya diikuti oleh klon K.TSH 858 dan K. ICS 60 yaitu 98% dan 97%. Persentase luas bercak klon kakao yang diinokulasi dengan P. palmivora pada 7 hari sesudah inokulasi menunjukkan bahwa klon TSH 858 merupakan klon yang memiliki perkembangan luas bercak yang lambat akibat infeksi P. palmivora pada uji detached pod, terbukti bahwa pada 7 hari sesudah inokulasi, hanya 75% bagian permukaan buah yang terinfeksi, sedangkan klon lainnya (Sca 12 dan GC7) telah mencapai 100 %.

Persentase luas bercak masing-masing klon kakao yang diuji akan berhubungan dengan masa inkubasi dan pertambahan luas bercak perhari. Masa inkubasi yang lebih lambat pada buah juga akan memperlambat perkembangan bercak dan perkembangan bercak yang lambat, maka persentase luas bercak yang dihasilkan akan lebih kecil. Terlihat pada klon TSH 858 memiliki masa inkubasi yang lambat, perkembangan bercak dan persentase luas bercak yang dihasilkan juga lebih kecil dibandingkan dengan klon ICS 60, GC 7, K. ICS 60 dan K. TSH 858.

(9)

Gambar 5. Variasi muncul dan berkembangnya bercak pada beberapa klon kakao akibat infeksi Phytophthora palmivora, diamati pada 7 hari sesudah inokulasi (hsi).

Gambar 5 menunjukkan bahwa luas bercak terus berkembang hingga buah menjadi busuk total, pada 7 hari sesudah inokulasi (Gambar 5) terlihat bahwa hampir seluruh permukaan buah kakao telah hitam dan timbul lapisan berwarna putih yang merupakan miselium dari jamur P. palmivora. Semangun (2000) juga menyatakan bahwa buah yang sakit dan hitam timbul lapisan berwarna putih bertepung yang disebut dengan miselium. Rubiyo dan Amaria (2013) juga menjelaskan, jika kondisi lingkungan (kelembaban) sesuai, maka miselium yang berwarna putih dan mengandung sporangium akan menutupi seluruh permukaan buah. Awalnya bercak pada buah berukuran kecil seperti spot-spot yang kotor, tebal dan terdapat pada fase perkembangan buah, kemudian bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Dayanti (2013) melaporkan bahwa, laju perkembangan diameter bercak pada kakao jenis Criollo dan Forastero akibat infeksi P. palmivora pada pengujian di lapangan relatif kecil, yaitu 0.99 sampai 2.21cm/hari pada kakao Criollo dan pada kakao Forastero mencapai hanya 0.98 hingga 1.70 cm/hari.

3. Pengelompokan Toleransi Buah terhadap Infeksi P. palmivora Berdasarkan Luas Bercak

Pengelompokan toleransi klon buah kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan luas bercak yang diuji di laboratorium pada pengamatan 7 hari sesudah inokulasi (hsi) disajikan pada Tabel 3. Terlihat bahwa klon Sca 12 memiliki respon agak toleran terhadap infeksi P. palmivora dengan luas bercak 49.21 cm2 pada 7 hari sesudah inokulasi dan klon TSH 858, ICS 60, GC 7, K. ICS 60 dan K. TSH 858 memiliki respon tidak toleran dengan luas bercak 54.13-67.94 cm2 pada 7 hari sesudah inokulasi.

(10)

Tabel 3. Rata-rata luas bercak dan respon buah kakao terhadap infeksi Phytphthora palmivora pada 7 hari sesudah inokulasi (hsi).

Klon kakao Luas bercak (cm2) Respon*

Sca 12 49.21 AT TSH 858 54.13 TT ICS 60 57.14 TT GC 7 64.75 TT K. ICS 60 66.21 TT K. TSH 858 67.94 TT

Keterangan : * AT: agak toleran (luas bercak 25 – 50 cm2), TT: tidak toleran (>50-75 cm2) terhadap infeksi P. palmivora.

Tabel 3 menujukkan bahwa klon Sca 12 termasuk kedalam kelompok agak toleran (luas bercak 25–50 cm2), selanjutnya klon TSH 858, ICS 60, GC 7, K. TSH 858 dan K. ICS 60 termasuk kedalam kelompok tidak toleran (>50-75 cm2) terhadap serangan P. palmivora berdasarkan luas bercak. Namun, ketahanan pada masing-masing klon kakao yang diuji berdasarkan luas bercak hasilnya kontradiksi pada pembahasan sebelumnya. Terlihat bahwa klon Sca 12 pada persentase luas bercak 7 hari sesudah inokulasi telah mencapai 100%, sedangkan klon TSH 858 persentase luas bercak hanya mencapai 75% serta bijinya masih terlihat putih walaupun kulit buahnya telah hitam akibat infeksi P. palmivora. Untuk lebih jelasnya, gambar pembusukan biji buah kakao yang diuji pada 7 hari sesudah inokulasi disajikan pada Gambar di bawah ini.

Gambar 6: Pembusukan biji pada klon kakao yang diuji di laboratorium akibat infeksi Phytophthora palmivora pada 9 hari sesudah inokulasi (hsi).

Gambar 6 menunjukkan bahwa klon kakao yang diuji di laboratorium dengan menggunakan uji detached pod telah mengalami pembusukan pada biji dan biji menjadi hitam. Klon TSH 858 toleran terhadap infeksi P. palmivora, kulit buahnya telah hitam membusuk, tetapi bijinya masih berwarna putih dan tidak menunjukkan gejala busuk dibandingkan dengan klon yang lainnya, Sca 12, GC 7, ICS 60, K.TSH 858 dan KICS 60.

(11)

Terlihat bahwa klon Sca 12 yang mempunyai perkembangan luas bercak terkecil (9.91 cm2/hari) dan dikategorikan agak toleran berdasarkan luas bercak pada 7 hari sesudah inokulasi, namun dilihat dari bijinya pada 9 hari sesudah inokulasi (hsi) telah mengalami pembusukan dan warnanya menjadi hitam. Klon Sca 12 dapat diketegorikan agak toleran berdasarkan luas bercak, namun tidak dapat dikatakan toleran jika dilihat dari bijinya pada 9 hari sesudah inokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat serangan pada permukaan buah kakao akibat infeksi P. palmivora tidak selalu diikuti dengan pembusukan biji.

Tabel 4. Gabungan hasil parameter pengamatan masing-masing klon kakao.

Klon kakao Masa inkubasi (hari) Luas bercak (hsi)(cm2) Rata-rata pertambahan luas (cm2/hari) Persentase luas bercak (%) Warna biji kakao pada 9 hsi 7 hsi Sca 12 2 49.21 9.91 100 hitam TSH 858 3 54.13 10.82 75 putih ICS 60 3 57.14 11.42 80 hitam GC 7 2 64.75 12.95 100 hitam K. ICS 60 2 66.21 13.24 97 hitam K.TSH858 2 67.94 13.58 98 hitam

Tabel 4 menunjukkan bahwa gabungan hasil parameter pengamatan pada Klon TSH 858 yang memiliki respon tidak toleran berdasarkan luas bercak kontradiksi dengan klon Sca 12 yang memiliki respon agak toleran (Tabel 3), jika dilihat hasil persentase luas bercak 7 hari sesudah inokulasi dan warna biji kakao pada 9 hari sesudah inokulasi, klon TSH 858 memiliki keunggulan dibandingkan dengan klon Sca 12, yaitu persentase luas bercak pada 7 hari sesudah inokulasi mencapai 75 %, warna biji kakao masih bagus dan berwarna putih, sedangkan pada Sca 12 mencapai 100% dan biji kakao sudah hitam dan busuk.

Klon TSH 858 memiliki masa inkubasi lebih lambat (3 hari) dibandingkan dengan Sca 12 (2hari). Hal ini dapat dikategorikan klon TSH 858 merupakan klon yang toleran terhadap serangan P. palmivora dilihat dari masa inkubasi, persentase luas bercak dan warna biji kakao. Sebagaimana diketahui bahwa nilai ekonomis pada tanaman kakao terletak pada bijinya, dan biji yang diperoleh pada klon TSH 858 masih berwarna putih dan tidak membusuk. Berbeda dengan klon lainnya yang tergolong tidak toleran, seperti pada klon GC 7 yang rentan terhadap serangan P. palmivora dan memiliki pertambahan bercak yang besar, pada uji detached pod terlihat bahwa biji didalamnya sudah hitam dan membusuk pada 9 hari sesudah inokulasi (hsi).

(12)

Patogen P. palmivora dapat masuk kedalam jaringan internal kulit buah kakao dan menyebabkan pembusukan pada biji, bila buah kakao terinfeksi oleh P. palmivora, maka perkembangan buah juga akan terganggu, buah menjadi busuk dan tidak dapat dipanen. Ritonga (2013) juga melaporkan bahwa patogen ini menyerang jaringan internal buah, menyebabkan biji kakao berkerut dan berubah warna. Namun, pembusukan biji pada klon yang toleran berbeda dengan klon yang tidak toleran. Pembusukan biji akan lebih cepat pada klon yang tidak toleran

Cepat atau lambatnya perkembangan bercak dan pembusukan pada biji akan berhubungan dengan mekanisme ketahanan struktural maupun biokimiawi. Namun, penyebaran patogen pada buah akan berbeda antara klon yang resisten

dengan tidak resisten (Tarjot, 1974). Buah kakao yang rentan terhadap P. palmivora jika selnya telah terinfeksi oleh patogen, maka perkembangan

bercaknya akan lebih cepat, sehingga pembusukan pada biji juga lebih cepat. Sedangkan kakao yang resisten, jika terinfeksi patogennya akan bertahan lama di dalam sel sebelum terjadinya nekrosis. Perpindahan patogen antar sel menjadi terhambat sehingga perkembangan bercak dan pembusukan biji juga akan melambat.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa klon yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap serangan P. palmivora adalah klon TSH 858, sedangkan yang tidak toleran adalah klon GC 7.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan disarankan menggunakan klon kakao TSH 858 sebagai klon unggulan yang toleran untuk penyakit busuk buah dan diharapkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme ketahanan buah kakao terhadap infeksi P. palmivora.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, GN. 1996. Plan Panthology. Third Ed. Terjemahan Munzil Busnia. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. 713 hal.

Anonim . 2007. Perkembangan Luas dan Produksi Komoditi Perkebunan di Sumatera Barat 25Agustus 2010: Diakses pada tanggal 20 Desember 2012.

(13)

_______.2011. Buku Panduan Teknis Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Gerakan Nasional Peningkatan produksi dan Mutu Kakao: 2011. 75 hlm.

_______.2012a. Isolasi Buah Kakao yang Terserang Phytophthora Palmivora. http://patrayasa.blogspot.com/2012/06/isolasi-buah-kako-yang terserang: diakses pada tanggal 16 Desember 2012.

_______.2012b. Klasifikasi Kakao. (http://informasi.budidaya.blogspot. com/2008/03 klasifikasi-tanaman- kakao-anatomi-buah.html:diakses pada tanggal 16 Desember 2012.

______. 2013. Budidaya Kakao. Home Site: diakses pada tanggal 16 Desember 2013.

Darmono,T. W, Jamil, I. dan Andreas, D. 2006. Pengembangan Penanda Molekuler untuk Deteksi Phytophthora Palmivora pada Tanaman Kakao. Faperta IPB.Menara Perkebunan 2006 74(2): 87-96 hal.

Dayanti, L. 2013. Hubungan Intensitas Serangan Phytophthora palmivora dengan Kehilangan Hasil pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao.L) di Kecamatan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman Barat. Skripsi. Universitas Tamansiswa Padang: 50 hal.

Deberdt, P., Mfegue, C.V., Tondje, P.R., Bon, M.C., Ducamp, M., Hurard, C., Begoude, B.A.D., Ndoumbe-Nkeng, M., Hebbar, P.K and Cilas, C. 2008. Impact of environmental factors, chemical fungicide and biological control on cacao pod production dynamics and black pod disease (Phytophthora megakarya) in Cameroon. Biological Control 44:149-159 pp. .

Drenth, A. and Guest, D. I. 2004. Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph N0. 114, 238p.

Hariyadi, Sehabudin, U. dan Winasa, I.W. 2009. Identifikasi Permasalahan dan Solusi Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009: 21 hal.

Hartanto. H. 2012. Identifikasi Potensi Anti Oksidan Minuman Coklat dari Kakao Lindak (Theobroma cacao. L) Dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode Radikal Bebas 1, 1 Diphenyl-2- Picry Lhydrazil (DPPH). Skripsi. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya: 71 hal.

Jusuf, M., Candra, A. dan Wahyuni, T.S. 2013. Toleransi Klon-Klon Harapan Ubi Jalar terhadap Penyakit Kudis (Sphaceloma batatas) di Lahan Sawah. Seminar dan Kongres Nasional Ke-XXII Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.

(14)

Karmawati, E., Mahmud, Z., Syakir, M., Munarso, J., Ardana, K. dan Rubiyo. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Puslitbang Perkebunan. Bogor: 92 hal.

Kurniasih. 2012. Pemanfaatan Marka Molekuler Untuk Mendukung Perakitan Kultivar Unggul Kakao (Theobroma cacao. L). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.

Langsa, Y. dan Ruruk, B. 2007. Klon Unggul Kakao Indonesia. Badan Penelitian dan Pengenbangan Pertanian BPTP Sulawesi Tengah: 6 hal.

Mardinus. 2006. Jamur Patogenik Tumbuahan. Andalas University Press. Kampus Unand Limau Manis. 241 hal.

Ramlan. 2010. Pengelolaan Penyakit Busuk Buah Kakao .Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PBJ dan PFJ XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: 380-387 hal.

Rivai, F .2006. Kehilangan Hasil Akibat Penyakit Tanaman. Andalas University Press: UNAND. 281 hal.

Rubiyo, Purwantara, A. dan Sudarsono. 2010. Ketahanan 35 Klon Kakao terhadap Infeksi Phytophthora palmivora Butl Berdasarkan Uji Detached Pod. Jurnal litri Vol.16. No. 4 Desember 2010: 172-178 hal.

Rubiyo. 2009a. Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Terhadap Penyakit Busuk Buah di Indonesia. Institut Pertanian Bogor: Diakses pada tanggal 20 Desember 2012.

Rubiyo. 2009b. Aktivitas Enzim Kitinase, Peroksidase serta Kerapatan Stomata pada Ketahanan Kakao (Treobroma cacao L) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana: IPB. Rusliana, E. M. S. 1998. Ekstrak Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao. L).

Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian: IPB.

Saragih, R. 2012. Kakao Indonesia. PBT BBP2TP Medan : diakses pada tanggal 23 Desember 2013.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 835 hal.

Sri-Sukamto dan Pujiastuti, D. 2004. Keefektifan beberapa bahan pengendali penyakit busuk buah kakao Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan 20(3):132-142 hal.

Tarjot, M,. 1974. Physiologi of Fungus. In: P.H. Gregory (ed). Phytophthora Disease of Cocoa: 103-116pp. Longman London.

(15)

Tumpal, H.S., Riyadi, S., dan Nuraeni, L. 2012. Budi Daya Cokelat. Penebar Swadaya: Jakarta. 172 hal.

Umayah, A. dan Purwantara, A. 2006. Identifikasi Isolat Phytophthora Asal Kakao. Menara Perkebunan 74 (2).76-85 hal.

Gambar

Tabel 1. Masa inkubasi dan luas bercak buah kakao yang diinokulasi dengan      patogen  Phytophthora  palmivora
Gambar  3  menunjukkan  bahwa  klon  kakao  yang  diuji  dengan                        P
Tabel 2. Perkembangan dan persentase    luas bercak      pada      klon kakao yang     diinokulasi   dengan  patogen  Phytophthora  palmivora 3-7 hari sesudah       inokulasi (hsi)
Gambar 4. Grafik rata-rata pertambahan luas bercak pada buah kakao akibat         infeksi jamur Phytophthora palmivora 3 hingga 7 hari sesudah          inokulasi (hsi)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengolahan data maka dapat kita analisis kesesuain perancangan desain baru preamplifier gitar bass elektrik, dari 20 responden 15 diantarnya tertarik dan 18 merasa

Terdapat beberapa contoh sahaja kata terbitan yang diwakili oleh kedua-dua bentuk imbuhan awalan kata adjektif tersebut yang ditemui oleh pengkaji... Alomorf ini hadir pada

Tax amnesty memungkin- kan orang pribadi atau badan untuk melunasi kewajiban pajak yang sebelumnya tidak mereka penuhi, tanpa harus terkena ancaman dari beberapa atau

Manajemen lingkungan pada wilayah endemis malaria di Puskesmas Atapupu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu serta dampaknya terhadap kejadian malaria melalui

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara akuisisi foto udara format kecil hingga identifikasi obyek yang masuk dalam ruang bebas dengan data olahan

14 Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari dokumen-dokumen yang berkenaan dengan akad-akad pembiayaan di lembaga keuangan syariah seperti buku-buku yang

Kemudian akan diamati zona hambat dari 6 kelompok tersebut sehingga akan diperoleh data konsentrasi ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmanii) yang paling efektif

Pada BAB II disajikan kajian teori yang meliputi kajian teori yang melandasi kajian permasalahan penelitian, BAB III membahas metode penelitian, BAB IV hasil penelitian