• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI BENGKULU TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI BENGKULU TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI BENGKULU

TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA

(1) Gambaran Umum Wilayah Studi

Kota Bengkulu merupakan ibukota Propinsi Bengkulu, yang secara geografis terletak pada 10°20'14'' - 10°20'22'' Bujur Timur dan 3°45' - 3°59' Lintang Selatan, dengan luas wilayah sekitar 539,3 km2 (daratan seluas 151,70 km2 dan lautan seluas 387,6 km2). Wilayah administrasi kota Bengkulu sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Seluma, dan sebelah Barat dengan Samudra Indonesia. Berdasarkan Perda Nomor 28 Tahun 2003, Kota Bengkulu terdiri atas 8 Kecamatan yaitu: Kecamatan Selebar (6 Kelurahan), Kecamatan Kampung Melayu (6 Kelurahan), Kecamatan Gading Cempaka (11 Kelurahan), Kecamatan Ratu Samban (9 Kelurahan), Kecamatan Ratu Agung (8 Kelurahan), Kecamatan Teluk Segara (13 Kelurahan), Kecamatan Sungai Serut (7 Kelurahan), dan Kecamatan Muara Bangkahulu (7 Kelurahan).

Topografi Kota Bengkulu terdiri atas daerah pantai dan dataran rendah yang relatif datar. Wilayah yang relatif datar terutama berada di wilayah pantai dengan ketinggian berkisar 0-10 meter dpl, sedangkan dibagian timur ketinggiannya berkisar 25 - 50 meter dpl. Kota Bengkulu merupakan salah satu kota yang rawan terhadap bencana gempa dan tsunami karena posisinya yang berada di pesisir barat Pulau Sumatera yang dipengaruhi pergerakan lempeng bumi yang memanjang di perairan barat Pulau Sumatera.

Jumlah penduduk Kota Bengkulu dari tahun 2004 sampai dengan 2006 tidak mengalami pertumbuhan signifikan, pada tahun 2004 tercatat sebanyak 262.440 jiwa dan pada tahun 2006 menjadi 261.620 jiwa.

Berdasarkan jenis lapangan pekerjaan yang tersedia, jumlah angkatan kerja yang bekerja pada bidang pertanian tercatat sekitar 9,50%, pertambangan dan penggalian sekitar 0,60%, industri pengolahan sekitar 5,30%, listrik gas dan air minum sekitar 0,20%, konstruksi sekitar 8,30%, perdagangan sekitar 29,40%, transportasi dan komunikasi sekitar 5,40%, bank dan lembaga keuangan sekitar 2,20%, jasa sekitar 39,10%, dan bidang lainnya sekitar 0,10%.

Berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk Kota Bengkulu terdiri dari; 0,6% tidak sekolah; 7,80% tidak tamat SD; 13,20% tamat SD; 14,40% tamat SLP; 40,90% tamat SLTA; 6,40% tamat D-I/D-II/D-III; 14,30% sarjana, dan 2,30% pasca sarjana. Komposisi tersebut tidak banyak mengalami banyak perubahan sejak tahun 2004, kecuali untuk tingkat pendidikan sarjana dan pasca sarjana yang mengalami peningkatan lebih dari 1%. Dilihat dari persentase tenaga kerja yang tamat SLTP ke bawah sebesar 36%, menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga jumlah tenaga kerja di Kota Bengkulu memiliki pendidikan relatif

(2)

rendah dan ini menggambarkan bahwa kualitas SDM angkatan kerja Kota Bengkulu juga masih rendah. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi pemerintah Kota Bengkulu dalam upaya meningkatkan kualitas SDM di Kota Bengkulu melalui peningkatan kualitas pendidikan. Pemerintah Kota Bengkulu menyadari hal ini dan pembenahan sudah mulai dilakukan misalnya melalui program Bengkulu Kota Pelajar yang melibatkan instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat secara lintas sektoral.

Kondisi tingkat pendidikan di Kota Bengkulu dapat dilihat juga dari Angka Partipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) masing-masing jenis dan jenjang pendidikan. Berdasarkan data tahun pelajaran 2006/2007 tercatat APK Taman Kanak-Kanak sebesar 17,54% (artinya, baru sebesar 17,54% dari penduduk usia TKK yang telah memperoleh layanan pendidikan TKK), APK tingkat SD/MI/Pendidikan sederajat sebesar 104,92% dan APM sebesar 91,69 %, APK tingkat SMP/MTs/Pendidikan sederajat sebesar 102,6% dan APM sebesar 91,57%, APK tingkat SMA/MA/SMK/Pendidikan sederajat sebesar 74,40% dan APM sebesar 42,55%.

Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kota Bengkulu tahun 2006 adalah 69,7 tahun (lebih tinggi dari AHH penduduk Provinsi Bengkulu sebesar 68,9 tahun dan Nasional sebesar 67,8 tahun). Angka harapan hidup penduduk merupakan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat bersangkutan.

Angka Kematian Kasar / AKK (Crude Death Rate / CDR) penduduk Kota Bengkulu tahun 2006 termasuk rendah, yaitu 1,48 per 1.000 penduduk, meningkat sedikit dibandingkan dengan AKK tahun 2005 (1,4 per 1.000), atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan AKK Provinsi dan Nasional.

Struktur perekonomian Kota Bengkulu didominasi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Jasa-jasa dan sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Walaupun pertumbuhan ekonomi meningkat namun peningkatan tersebut belum mampu memulihkan pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan karena pertumbuhan ekonomi masih mengandalkan konsumsi. Sektor produksi belum banyak berkembang karena masih banyak terganjal sejumlah permasalahan berkenaan dengan tidak kondusifnya lingkungan sehingga tidak mampu meningkatkan gairah investasi. Sulitnya pemulihan sektor investasi juga disebabkan karena lemahnya daya saing daerah terutama dengan semakin ketatnya persaingan ekonomi antar daerah. Lemahnya daya saing tersebut diakibatkan karena rendahnya produktivitas sumberdaya manusia serta rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi dalam proses produksi.

Permasalahan lain yang juga berpengaruh cukup kuat adalah terbatasnya kapasitas infrastruktur dalam mendukung efisiensi. Penyelesaian yang berlarut-larut dalam permasalahan-permasalahan daerah akan sangat berpengaruh terhadap kinerja kemajuan dan kemampuan perekonomian daerah yang berakibat pada kemandirian daerah.

(3)

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, maka tingkat kebutuhan perumahan dan permukiman di Kota Bengkulu juga mengalami peningkatan. Kebutuhan pembangunan perumahan sebagian dibangun secara individu dan sebagian oleh developer. Berdasarkan data yang ada (data tercatat tahun 2003), berdasarkan kondisi fisik hunian tercatat jumlah rumah di wilayah Kota Bengkulu terdiri dari rumah permanen 32,681 unit, semi permanen 10.237 unit, dan temporer / darurat sekitar 1.695 unit. Permasalahan di bidang permukiman adalah terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana dan sarana perumahan, masih banyaknya penduduk perkotaan dan perdesaan yang belum memiliki tempat tinggal, belum tertatanya sistem perumahan dan lingkungan (terutama di daerah perdesaan, pesisir/nelayan, dan permukiman sekitar pasar), dan rendahnya daya beli masyarakat untuk membangun rumah layak huni.

Kelurahan yang menjadi fokus kajian dari Tim PJM Pronangkis dan Tim Peran Pemerintah adalah Kelurahan Anggut Dalam dan Kelurahan Penurunan yang keduanya berada di Kecamatan Ratu Samban. Lokasi dari kedua kelurahan itu dapat dilihat pada gambar berikut.

a.

Gambaran Umum Kelurahan Anggut Dalam

Luas Kelurahan Anggut Dalam adalah 16,145 m2 yang terdiri dari 2 RW dan 6 RT. Jumlah penduduk kelurahan ini pada tahun 2007 adalah 2.031 jiwa yang terdiri dari 983 laki-laki dan 1.48 perempuan. Hasil Pemetaan Swadaya dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-P2KP) jumlah warga miskin di kelurahan ini sebanyak 451 jiwa (14,5% dari jumlah penduduk). Kondisi ekonomi masyarakat Kelurahan Anggut Dalam ini diwarnai oleh tingginya jumlah warga yang tidak punya pekerjaan tetap dan pengangguran, yaitu sekitar 215 orang.

Persoalan lingkungan adalah persoalan yang paling menonjol di Kelurahan Anggut Dalam dimana persoalan rumah tidak layak huni, saluran dan jalan setapak, mewarnai kehidupan masyarakat.

Di bidang sosial, masalah kemiskinan di Kelurahan Anggut Dalam ditandai dengan cukup besarnya jumlah anak putus sekolah, yaitu sebanyak 122 orang dan jumlah orang yang memiliki tingkat kesehatan rendah, yaitu sebanyak 175 orang.

Berangkat dari gambaran di atas maka masalah penanggulangan kemiskinan di Kelurahan ini memerlukan strategi dan upaya yang besar agar terjadi perubahan hidup masyarakat yang lebih baik.

b.

Gambaran Umum Kelurahan Penurunan

Kelurahan Penurunan mempunyai luas wilayah yang cukup besar yaitu 58.10 ha, dengan luas lahan permukimannya 36 ha.

(4)

Jumlah penduduk kelurahan ini adalah 5.253 jiwa dengan 1.253 KK. Tingkat pendidikan di kelurahan ini ditandai dengan jumlah penduduk yang sampai dengan tamat SD mencapai 429 orang, SLTA 186 orang, SLTA 295 orang dan perguruan tinggi 197 orang. Sedangkan mata pencaharian yang paling menonjol dari penduduk kelurahan ini adalah pedagang kecil (521 orang) dan buruh swasta (383 orang) dari jumlah orang yang bekerja (1.480 orang)

Permasalahan lingkungan yang dihadapi masyarakat adalah masih banyaknya masyarakat yang tidak memiliki MCK, adanya saluran air yang tidak berfungsi baik dan ada yang buntu sehingga mengakibatkan genangan air, dan masih adanya warga yang mengalami kesulitan air bersih.

Permasalahan di bidang ekonomi dicerminkan oleh besarnya jumlah buruh swasta dan pedagang kecil dengan penghasilan rendah serta warga yang belum memiliki pekerjaan tetap. Jumlah pengangguran di kelurahan ini cukup besar, yaitu sebanyak 158 orang.

Di bidang social, permasalahan kemiskinan di kelurahan ini ditandai dengan banyaknya jumlah orang dengan tingkat kesehatan rendah (210 orang) dan anak putus sekolah (80 orang),

(2) Hasil Temuan Lapangan

1. Sejauh mana masyarakat peduli pada tujuan PJM Pronangkis?

• Pada umumnya masyarakat memperoleh informasi tentang PNPM /

P2KP dari pelaksanaan sosialisasi di tingkat Kelurahan yang dilakukan oleh Fasilitator Kelurahan;

• Sosialisasi di tingkat Kelurahan dilakukan bertahap, pertama dilakukan

di Kelurahan yang dihadiri para Ketua RT, dan kedua dilakukan di tingkat RT dipimpin para Ketua RT yang mengundang warganya untuk mengikuti sosialisasi yang disampaikan Fasilitator Kelurahan;

• Kegiatan sosialisasi masih sebagai formalitas kegiatan PNPM / P2KP,

sehingga maksud dan tujuan sosialisasi tidak berdampak maksimal terhadap pemahaman masyarakat mengenai tujuan mendasar PNPM / P2KP;

• Minat menjadi Relawan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk

membantu sesama warga yang tergolong tidak mampu, keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan P2KP, serta keinginan ikut serta mengawasi penyaluran dan pengelolaan BLM;

• Informasi tentang PNPM / P2KP yang masih terbatas, terutama

pengertian dasar tentang pemberdayaan masyarakat, menimbulkan tanggapan bahwa PNPM / P2KP sama dengan program-program lainnya yang bersifat charity (serupa Jaring Pengaman Sosial / JPS);

• Kemauan sebagian besar masyarakat untuk turut serta dalam proses

(5)

(BLM) berupa ‘uang’(kegiatan bidang ekonomi);

• Kegiatan penyusunan Refleksi Kemiskinan (RK) maupun Pemetaan

Swadaya (PS) melibatkan sebagian besar masyarakat umum dan relawan (laki-laki maupun perempuan) dengan pendampingan oleh Fasilitator Kelurahan;

• Pada umumnya proses penyusunan Refleksi Kemiskinan (RK) dan

Pemetaan Swadaya (PS) didasarkan pada cakupan wilayah RT di tingkat Kelurahan sesuai metode sosialisasi yang dilakukan oleh Fasilitator Kelurahan;

• Pemilihan anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dilaksanakan

berdasarkan seleksi terhadap perwakilan per-RT yang dilakukan oleh masyarakat secara demokrasi. Setiap RT memilih 5 orang wakilnya melalui musyawarah pemilihan anggota BKM tingkat Kelurahan. Selanjutnya, di tingkat kelurahan dipilih 9 – 13 orang relawan yang dipercaya untuk menjadi anggota BKM;

• Perbandingan komposisi antara relawan dan tokoh masyarakat dalam

BKM lebih didominasi oleh unsur relawan, akan tetapi kapasitas dan kualitas SDM para relawan masih relatif sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan tingkat pemahaman anggota BKM akan maksud dan tujuan PNPM / P2KP masih relatif kurang / rendah;

• Proses penyusunan PJM Pronangkis umumnya hanya dihadiri sebagian

kecil masyarakat, terutama oleh BKM dan Fasilitator Kelurahan;

• Penyusunan usulan Rencana Kegiatan dalam PJM Pronangkis didasarkan

pada konsep TRIDAYA, yang mencakup kegiatan sektor sosial (pelatihan, santunan jompo, beasiswa, dll), sektor ekonomi (dana bergulir), dan sektor lingkungan (perbaikan siring drainase, jalan lingkungan, dll);

• Masyarakat belum dapat menyusun Rencana Anggaran Biaya untuk

masing-masing jenis kegiatan, sehingga penyusunan anggaran untuk beberapa usulan kegiatan tidak sesuai dengan kebutuhan seperti dituangkan dalam Refleksi Kemiskinan (RK) dan hasil kegiatan Pemetaan Swladaya (PS).

• Pembentukan KSM umumnya sudah mengikuti aturan yang ada. Dalam

beberapa kasus penetapan dan penunjukan ketua KSM didasarkan pada rapat BKM dan Faskel. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat Ketua dan anggota KSM yang mengundrkan diri tetapi namanya masih tercantum dalam usulan kegiatan dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan yang pada akhirnya minimbulkan permasalahan.

• Relawan maupun masyarakat sebagian besar ikut serta dalam rembug

warga pengajuan usulan kegiatan di tingkat RT;

• Tahap akhir penyusunan dokumen PJM Pronangkis hanya dilakukan oleh

anggota BKM dengan bantuan Fasilitator Kelurahan (Faskel). Hasil penyusunan PJM Pronangkis tidak pernah diumumkan kepada masyarakat untuk dimintakan pendapat (langsung disahkan oleh BKM atas permintaan Faskel dengan alasan waktu yang mendesak)

(6)

2. Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh elit lokal, berdasarkan tingkat keterlibatannya ?

• Kelompok yang menjadi ‘elite’ (yang mempunyai pengaruh /

kekuasaan) dalam lingkup wilayah sasaran kegiatan PNPM / P2KP antara lain Ketua RT, Tokoh Masyarakat, Lurah, PJOK / Camat, dan Fasilitator Kelurahan;

• Pengaruh ‘elite’ dalam proses penyusunan PJM Pronangkis pada tingkat

masyarakat tidak terlalu berpengaruh, karena adanya pemahaman bahwa kegiatan P2KP sudah tersedia alokasi angarannya;

• Persepsi aparatur Kelurahan menempatkan PNPM / P2KP berada diluar

struktur / dinamika kegiatan pembangunan Kelurahan, sehingga Lurah memberikan arahan bahwa substansi PJM Pronangkis adalah kegiatan diluar materi usulan kegiatan pembangunan yang disusun oleh Kelurahan dalam rangka Musrenbang di tingkat Kecamatan dan tingkat Kota;

• Lurah tidak banyak berperan pada awal pelaksanaan PNPM / P2KP yang

umumnya dikarenakan kurangnya informasi, serta adanya persepsi bahwa urusan kegiatan P2KP berada diluar lingkup tugas kelurahan;

• Dokumen PJM Pronangkis yang disusun oleh BKM dalam perkembangan

prosesnya belum menjadi PJM Pronangkis Kelurahan;

3. Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh maksud proyek (“daftar harapan” proyek) dan oleh batasan volume alokasi anggaran (orientasi BLM) ?

• Usulan kegiatan dalam PJM Pronangkis pada dasarnya mengacu pada

kebutuhan masyarakat sebagaimana tercatat dari hasil Pemetaan Swadaya (PS) yang mencakup kegiatan peningkatan kualitas lingkungan, kegiatan ekonomi, dan kegiatan sosial (prinsip TRIDAYA);

• Kurangnya informasi tentang proses penyusunan PJM Pronangkis sangat

berpengaruh terhadap kualitas substansi PJM Pronangkis;

• Substansi PJM Pronangkis seharusnya didasarkan pada hasil Pemetaan

Swadaya yang mengindikasikan kebutuhan kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan, akan tetapi dalam kenyataannya usulan yang disusun mengikuti contoh kegiatan TRIDAYA yang ada dalam buku panduan serta “formula anggaran dan besaran Dana BLM yang akan dikucurkan” untuk pelaksanaan P2KP;

• Proses perumusan dan penyusunan dokumen PJM Pronangkis lebih

menjadi beban Fasilitator Kelurahan karena keterbatasan kapasitas para anggota BKM untuk merumuskannya;

• Khusus menyangkut kegiatan sosial yang bersifat karitatif, seperti

bantuan untuk orang jompo, bea siswa dan bantuan perbaikan rumah tidak layak hun.i Dalam PJM Pronangkis yang disusun BKM dan Faskel, kegiatan-kegiatan bantuan sosial ini ditetapkan sebagai kegiatan yang akan didanai oleh BLM P2KP. Padahal terdapat ketentuan P2KP (yang sebelumnya tidak dipahami oleh Faskel dan BKM) yaitu bahwa BLM

(7)

P2KP tidak boleh digunakan untuk kegiatan tersebut. Persoalan timbul ketika BLM kegiatan ini dicairkan tetapi tidak dapat segera digunakan. Sebagian warga yang tidak mengetahui ketentuan ini terus mempertanyakan terus mengapa rencana kegiatan bantuan sosial ini tidak direalisasikan.

4. Sejauh mana rencana pembangunan masyarakat (PJM Pronangkis) menggambarkan orientasi yang diharapkan ke arah pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan seperti di-indikasikan oleh HDI/MDG?

• Masyarakat umumnya belum mengerti tentang kegiatan-kegiatan dalam

konteks Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / MDG, namun demikian dalam susunan usulan program substansinya telah memberikan indikasi kebutuhan unsur-unsur IPM / MDG, meskipun degan pemahaman yang kurang dalam (dangkal);

• Adanya ketentuan bahwa BLM P2KP tidak dapat digunakan langsung

untuk mendanai kegiatan sosial dan kurangnya informasi yang diterima oleh warga mengenai hal ini telah mengakibatkan ketidakpercayaan warga terhadap BKM. Untuk dapat menggunakan BLM sebagai sumber dana kegiatan sosial, BKM membuat kebijakan ”memutarkan dana” yang ternyata mengakibatkan penyaluran dana BLM menjadi terhambat;

• Dokumen PJM Pronangkis yang disusun oleh BKM dalam perkembangan

prosesnya belum menjadi PJM Pronangkis Kelurahan;

• Untuk kegiatan lingkungan umumnya berupa perbaikan

drainase/selokan, jalan lingkungan dan MCK serta bantuan perbaikan rumah tidak layak huni; untuk kegiatan ekonomi berupa dana bergulir dan ekonomi produktif; dan untuk kegiatan sosial berupa santunan jompo, beasiswa, dan pengobatan gratis serta pelatihan ketrampilan 5. Apa sajakah kebutuhan peningkatan kapasitas dan advokasi di tingkat

masyarakat untuk memastikan pemahaman dan orientasi ke arah pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan sebagai dasar untuk perencanaan masyarakat yang bersifat partisipatif ?

• Masyarakat pada umumnya baru pada tahap mengetahui P2KP, tetapi

belum memahami tentang hakekat P2KP, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pemberdayaan agar mampu mandiri;

• Sosialisasi kepada seluruh stakeholder masih perlu dilakukan dalam

konteks pemahaman yang benar (khususnya yang menyangkut proses pembelajaran dan pemberdayaan) kepada pihak-pihak yang terkait dengan PNPM / P2KP seperti relawan, Fasilitator Kelurahan, aparat Kelurahan, Kecamatan, SKPD dan anggota DPRD khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan;

• Proses rekrutmen dan seleksi fasilitator kelurahan perlu dilakukan

secara lebih ketat (terutama terkait dengan kesesuaian latar belakang pendidikan / pengalaman fasilitator), dan pelatihan kepada fasilitator terseleksi dalam konteks proses dan prosedur pemberdayaan masyarakat;

(8)

• Perlu dilakukan sosialisasi untuk meluruskan informasi dan pandangan

pada pengertian sebenarnya bahwa “PJM Pronangkis adalah kegiatan perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat yang perlu diakomodir oleh Pemerintah Daerah”, terutama untuk lingkungan SKPD yang terkait erat dengan kegiatan penanggulangan kemiskinan khususnya maupun kegiatan pembangunan pada umumnya; 6. Faktor-faktor apa yang menghadang partisipasi berbasis luas secara

umum, dan termasuk partisipasi perempuan (dicirikan oleh jelasnya rasa kepemilikan), dan pembagian tanggung jawab dalam proses perencanaan di lokasi penelitian ?

• Pada umumnya masyarakat masih mengalami kesulitan untuk mengerti

dan memahami prosedur administrasi maupun teknis BLM PNPM (penyusunan proposal dan kelengkapannya);

• Beberapa format yang diberikan (contoh) dalam buku panduan dan /

atau yang disampaikan oleh fasilitator masih sulit dilaksanakan oleh masyarakat dalam waktu yang cepat;

• Batasan waktu proses penyusunan usulan kegiatan dirasakan terlalu

pendek dan masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi batasan waktu yang ditetapkan;

• Penyampaian usulan melalui kegiatan musrenbang tingkat kelurahan

belum dapat mengakomodir usulan kegiatan dalam PJM Pronangkis demikian pula pada tingkat Kecamatan. Hal ini erat kaitannya dengan pemahaman yang rendah tentang P2KP.

• Besarnya ukuran kelurahan yang dicermikan dengan banyaknya

lingkungan dan penduduk membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mensosialisasi P2KP secara memadai dan menghimpun potensi dan partisipasi masyarakat. Akan tetapi batasan waktu yang ada menjadi penghambat partisipasi masyarakat.

• Terkait dengan keterbatasan waktu ini, hasil penyusunan PJM

Pronangkis tidak sempat disosialiasikan kepada masyarakat sesuai dengan prosedur perencanaan partisipatoris dalam P2KP, sehingga

masyarakat tidak dapat berpartisipasi penuh dalam

pennetapan/pengambilan keputusan untuk pengesahan PJM Pronangkis.

• Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan

seharusnya menjadi salah satu faktor pendorong / pertimbangan dalam menunjang keberhasilan proses pengintegrasian usulan kegiatan masyarakat kedalam Rencana Pembangunan Daerah, melalui SKPD atau Legislatif (DPRD);

• Peluang keberhasilan pengintegrasian usulan kegiatan kedalam Rencana

Pembangunan Daerah merupakan salah satu sumber motivasi bagi masyarakat untuk terus berpartisipasi atau tidak dalam kegiatan di lingkungannya.

7. Apakah strategi advokasi yang tepat yang harus dijalankan P2KP untuk mengurangi tantangan-tantangan tersebut ?

(9)

• Tahapan sosialisasi P2KP / PNPM seharusnya mulai dari tingkat

Pemprov, Pemko (Bappeda, SKPD terkait program penanggulangan kemiskinan), aparat tingkat kecamatan, kelurahan dan baru ke masyarakat. Hal ini penting karena kenyataan yang ada dukungan terhadap BKM sangat terbatas karena pemahaman aparat pemerintah dengan berbagai tingkatan masih terbatas/rendah;

• Adanya anggota BKM yang sekarang terpilih menjadi anggota legislatif

sebaiknya mendapat pembekalan yang baik dalam rangka memberikan advokasi tentang program P2KP/PNPM dilingkungan legislatif Kota Bengkulu;

• Rotasi faskel perlu memperhatikan proses pelaksanaan P2KP yang

sedang berjalan. Rotasi faskel yang tidak tepat waktu dan tepat personel menyebabkan proses sosialisasi P2KP menjadi terhambat. 8. Apakah persyaratan mendasar pada kedua belah pihak (dalam kemampuan,

pengetahuan dan dalam penjadwalan) untuk meningkatkan pengintegrasi yang lebih baik ke dalam proses perencanaan pemerintah formal di berbagai tingkatan dan mekanisme?

• Kunci dari proses integrasi PJM Pronangkis dengan PJM Kota Bengkulu

terletak pada kesamaan pandang / persepsi dari semua stakeholder mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kelurahan. Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah “sosialisasi secara terstruktur”;

• Upaya yang dilakukan Pemko Bengkulu dengan mengalokasikan dana

untuk menyusun PJM Pronangkis Kota merupakan langkah awal yang baik untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis yang disusun oleh BKM dari masing-masing kelurahan menjadi materi PJM Pronangkis Kota Bengkulu;

• Menyesuaikan jadwal pelaksanaan penyusunan usulan program /

kegiatan masyarakat sesuai jadwal proses musyawarah perencanaan pembangunan pada setiap tingkatan (Kelurahan / Kecamatan / Kota);

• Meningkatkan peran serta BKM dan LPM dalam melakukan perencanaan

di tingkat kelurahan;

• Meningkatkan kerja sama / koordinasi antar lembaga kemasyarakatan

pada tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota, antara lain BKM dengan LPM, BKM dan LPM dengan Kelurahan, BKM dengan Kelompok Peduli, dan lain-lain;

• Meningkatkan peluang bagi BKM dan LPM untuk secara bersama-sama

turut aktif dalam forum Musrenbang tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota;

• Membuka peluang bagi BKM dan LPM untuk secara bersama-sama

melakukan konsultasi dengan SKPD terkait maupun Legislatif;

• Pelatihan aparat kelurahan, aparat kecamatan, pengurus LPM, dan BKM

dalam menyusun usulan program / kegiatan berbasis masyarakat;

(10)

kegiatan yang berbasis masyarakat (pemberdayaan masyarakat);

• Penetapan arah kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan daerah

untuk kegiatan berbasis masyarakat (pemberdayaan masyarakat) dan menyajikannya secara jelas dalam dokumen Rencana Kegiatan Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan penjabarannya dalam Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). 9. Peraturan pemerintah apakah yang perlu direvisi untuk mendukung

integrasi yang lebih baik lagi di tingkat lokal dari aspirasi masyarakat ke dalam proses perencanaan pembangunan formal.

• Diperlukan adanya Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri

(KEPMEN), Peraturan Gubernur / Keputusan Gubernur (PERGUB / KEPGUB), Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (PERWAL / KEPWAL) yang mengatur proses dan prosedur penyampaian usulan kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat agar dapat masuk kedalam daftar rencana kegiatan pada dokumen Rencana Pembangunan Daerah di tingkat Kota;

• Diperlukan tinjauan atas Kebijakan Penyelenggaraan PNPM / P2KP agar

dapat disesuaikan dengan Kebijakan Pemerintah Kota Bengkulu, terutama terkait dengan upaya men-sinergi-kan dengan target capai IPM maupun program kegiatan fasilitasi kelompok warga tidak mampu (sektor pendidikan, sektor kesehatan, sekotr ekonomi / daya beli masyarakat);

• Diperlukan adanya Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal /

Kepwal) Bengkulu yang menjabarkan Mekanisme Teknis Penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan, yang mencakup mekanisme pelaksanaan (i) identifikasi dan inventarisasi kegiatan yang dilakukan Eksekutif maupun Legislatif; (ii) musyawarah rencana pembangunan pada setiap jenjang struktural (Kelurahan / Kecamatan / Kota); dan (iii) sinkronisasi usulan program / kegiatan pada setiap jenjang struktural (Kelurahan / Kecamatan / Kota);

• Diperlukan Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal)

Bengkulu tentang Pembagian Peran, Tugas Pokok dan Fungsi antara LPM dan BKM secara definitif dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan;

• Diperlukan Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal)

Bengkulu tentang Penetapan Jadwal Musrenbang Tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota dalam kaitannya dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) setiap tahunnya, serta Dokumen Penjabaran Pelaksanaan APBD Kota setiap tahunnya agar dapat mengakomodir usulan kegiatan yang berbasis masyarakat;

Diperlukan Peraturan Walikota (Perwal) / Keputusan Walikota (Kepwal) / Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan definisi kemiskinan di Kota Bengkulu, terutama terkait dengan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kota Bengkulu yang sedang dalam proses penyusunan

(11)

untuk SPKD Tahun 2009-2014;

B. KEJADIAN / HAMBATAN TAK TERDUGA

1. Tidak ada hambatan atau kejadian tak terduga yang dianggap mengganggu kontinyuitas pelaksanaan kegiatan Tim secara signifikan; 2. Pelaksanaan FGD di kelurahan Anggut Dalam dilakukan terpisah, antara

BKM dan relawan untuk menghindari bentrok, dikarenakan LPJ BKM di tolak masyararakat;

C. KOMENTAR LAIN-LAIN

(1) Umum

1. Banyak fasilitator baru yang belum dilatih P2KP sangat berpengaruh terhadap kinerja, dalam pendampingan;

2. Fasilitator belum mampu menjadi mediator di tengah-tengah masyarkat yang ada perselisihan di tubuh BKM;

3. Keterlambatan realisasi Gaji Fasilitator Kelurahan berpengaruh terhadap kinerja pelaksanaan pendampingan di lokasi sasaran kegiatan;

(2) Kelurahan Anggut Dalam Kec. Ratu Samban

1. BKM tidak mempunyai Sekretariat, baik di Kantor Kelurahan / LPM maupun di tempat lainnya, sehingga terkadang menjadi kendala dalam proses koordinasi dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh BKM; 2. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui FGD dengan warga RT

1/6, LPJ Kegiatan Tahun 2008 BKM ditolak oleh warga Kelurahan Anggut Dalam. Sebagian warga telah mengadukan pengurus BKM ke pihak kepolisian;

3. Beberapa fasilitator kelurahan tergolong relatif baru dalam penanganan kegiatan pendampingan masyarakat, dan belum pernah mengikuti ‘pelatihan dasar fasilitator’ dalam konteks PNPM / P2KP. Hal terebut mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antara fasilitator dengan BKM / KSM / Masyarakat yang didampingi antara lain mengenai tata laksana kegiatan maupun pengaturan pelaksanaan kegiatan;

4. Beberapa fasilitator kelurahan kurang intensif dalam melaksanakan tanggung jawab pendampingan di wilayah kerjanya, sehingga kegiatan pendampingan tidak dilakukan secara kontinyu;

(12)

5. Didapati yang menjadi KSM dan Panitia / KSM ditunjuk oleh BKM, tanpa membertahukan yang bersangkutan hal mana menyebabkan terjadinya kesalahan teknis dalam proses pelaksanaan kegiatan;

(3) Kelurahan Penurunan Kec. Ratu Samban

1. BKM mempunyai Sekretariat, tetapi tidak ditemukan papan nama BKM baik di Kantor Kelurahan / LPM maupun di tempat lainnya, sehingga terkadang menjadi kendala bagi masyarakat yang mengadu;

2. BKM menangani 2 program yang ada di Kelurahan Penurunan (P2KP dan NUSSP), sangat berpengaruh terhadap kinerja BKM.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi motivasi yang dimiliki auditor akan meningkatkan kulitas audit yang dihasilkan, secara perhitungan statistik dapat

A szociáldarwinista geopolitika elemzése során két szerzőt emel ki Szilágyi István: Friedrich Ratzelt, aki a német geopolitikai iskola atyja volt, illetve Rudolf Kjellént, aki

Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah, maka Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 18 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Persiapan Pengadaan Tanah Bagi

Berdasarkan hasil perhitungan statistik F , nilai signifikansi sebesar 0,000 yang berarti lebih kecil dari pada nilai 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa

Berdasarkan hasil pengujian secara simultan yakni melalui Uji F, diperoleh bahwa likuiditas yang diproyeksikan oleh current ratio dan leverage yang diproyeksikan oleh

Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada responden penelitian, di mana pada penelitian tersebut adalah pasien di ICU, sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan

BAND PERNYATAAN STANDARD DESKRIPTOR EVIDENS 3 Tahu, Faham dan BolehBuat B3 Mengetahui, memahami dan mengamalkan perkara-perkara kemahiran manipulatif dalam

Memandangkan motivasi juga merupakan salah satu fasa dan prinsip utama dalam proses pembelajaran Bahasa Arab, maka penulis dapat membuat kesimpulan bahawa perbincangan