• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ATTACHMENT STYLES DAN LONELINESS TERHADAP INTERAKSI PARASOSIAL PENGGEMAR KPOP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH ATTACHMENT STYLES DAN LONELINESS TERHADAP INTERAKSI PARASOSIAL PENGGEMAR KPOP"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

NASHWA OELFY

NIM: 1110070000154

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)

LEMBAR ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nashwa Oelfy

NIM : 1110070000154

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH ATTACHMENT STYLES DAN LONELINESS TERHADAP INTERAKSI

PARASOSIAL PENGGEMAR KPOP adalah benar merupakan karya saya

sendiri dan tidak melakukan tindak plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 24 Maret 2015

Nashwa Oelfy

(4)
(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Maret 2015

Nashwa Oelfy

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“You are never too old to set another goal or to

dream a new dream.” – C.S Lewis

“Life, she realize, was much like a song. In the beginning there

is mystery, in the end there is confirmation, but it’s in the

middle where all the emotion resides to make the whole thing

worthwhile.”

– Sparks, N

Skripsi ini dipersembahkan untuk My Wondermom, My

Superdad, Kak Sammy, dan Husein.

(7)

ABSTRACT

A) Faculty of Psychology B) March 2014

C) Nashwa Oelfy

D) The Effect of Attachment Styles and Loneliness toward Parasocial Interaction Kpop Fans.

E) xiv + 85 pages + 4 appendix

F) The aim of this study is to examine the effect of attachment styles and loneliness toward the parasocial interaction Kpop fans. Theorized that attachment styles (secure, fearful, preoccupied, and dismissing) and loneliness (personality, social desirability, and depression) affect the parasosial interaction Kpop fans. This study uses a quantitative approach with multiple regression analysis. Samples are 258 Kpop fans aged from 12-21 years.

The results showed significant influence of attachment styles (secure, fearful, preoccupied, and dismissing) and loneliness (personality, social desirability, and depression) toward the parasocial interaction Kpop fans. Minor hypothesis test results showed that only one significant dimension of the attachment styles, the dimension is preoccupied attachment styles.

G) Reading materials: 16 books, 21 journals, 1 essay, 3 thesis, 1 dissertation, 6 online articles

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah, serta inayah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“PENGARUH ATTACHMENT STYLES DAN LONELINESS TERHADAP INTERAKSI PARASOSIAL PENGGEMAR KPOP”. Shalawat serta salam

senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat.

Skripsi ini terwujud tak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam bentuk pikiran, tenaga, maupun waktu. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si., Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si., Wakil Dekan Bidang Akademik, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk belajar dan mengembangkan keterampilan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Pembimbing Akademik Kelas D 2010. Penulis ucapkan terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritik, dan nasihat yang diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada seluruh responden penelitian yaitu penggemar Kpop yang telah bersedia menjadi responden penelitian. Semoga senantiasa diberi kesehatan oleh Allah SWT.

(9)

4. Kedua orang tua tercinta, Baba dan Mommy, terimakasih atas doa, kasih sayang, dukungan, nasihat, serta perhatian kepada penulis. Saudara kandung penulis, Kak Sammy dan Husein, terima kasih untuk selalu memberikan dukungan yang tak henti-hentinya, baik dalam kondisi apapun. Terima kasih atas kasih sayang kalian yang luar biasa.

5. Keluarga ke-2 penulis, Kak Sari, Bonita, Galuh, Mutiara, Rio, Ami, Lia, Abe, Bojes, Fany, Licca, Ridho, Fidi, Laras, dan Tami. Terima kasih karena telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Seluruh keluarga besar kelas Psikologi 2010, Aniq, Amirra, Adila, Sunnny, Dian, Tenri, Icha, Rahma, Maul, Rere, Kak itri, Melina, Yunita, Ani, Meida, Shovia, Siska, Amalia, Atiqoh, Naqiyah, serta teman-teman lain. Terima kasih atas 4 tahunnya yang penuh warna. Semoga pertemanan kita akan terus berjalan dengan baik.

7. Seluruh pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk doa, dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

Terakhir, Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan sangat berguna agar pada penulisan selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Jakarta, 24 Maret 2015

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-13 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

1.2.1 Pembatasan Masalah ... 10 1.2.2 Perumusan Masalah ... 10 1.3 Tujuan Penelitian ... 11 1.4 Manfaat Penelitian ... 12 1.4.1 Manfaat Teoritis ... 12 1.4.2 Manfaat Praktis ... 12 1.5 Sistematika Penulisan ... 13

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 14-42 2.1 Interaksi Parasosial ... 14

2.1.1 Definisi Interaksi Parasosial ... 14

2.1.2 Dimensi Interaksi Parasosial ... 17

2.1.3 Karakteristik Seseorang dengan Interaksi Parasosial ... 18

2.1.4 Pengukuran Interaksi Parasosial ... 22

2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Parasosial ... 22

2.2 Attachment Styles ... 25

2.2.1 Definisi Attachment atau Kelekatan ... 25

2.2.2 Dimensi Attachment (Tipe-tipe Kelekatan) ... 27

2.2.3 Pengukuran Attachment Styles ... 30

2.3 Loneliness ... 30

2.3.1 Definisi Loneliness ... 30

2.3.2 Dimensi Loneliness ... 32

2.3.3 Pengukuran Loneliness ... 34

2.4 Remaja ... 34

(11)

2.5 Kpop ... 39

2.6 Kerangka Berpikir ... 39

2.7 Hipotesis Penelitian ... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 43-58 3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 43

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 43

3.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 45

3.4 Uji Validitas ... 48

3.4.1 Uji Validitas Konstruk Interaksi Parasosial ... 49

3.4.2 Uji Validitas Konstruk Attachment Styles ... 52

3.4.3 Uji Validitas Konstruk Loneliness ... 54

3.5 Teknik Analisis Data ... 56

3.6 Prosedur Penelitian ... 58

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 60-70 4.1 Gambaran Umum Sampel Penelitian ... 60

4.2 Hasil Analisis Deskriptif ... 61

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 63

4.3.1 Kategorisasi Skor Interaksi Parasosial ... 63

4.3.2 Kategorisasi Skor Attachment Styles ... 64

4.3.3 Kategorisasi Skor Loneliness ... 65

4.4 Uji Hipotesis ... 65

4.4.1 Uji Hipotesis Interaksi Parasosial ... 66

4.5 Pengujian Proporsi Varians ... 70

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 73-80 5.1 Kesimpulan ... 73 5.2 Diskusi ... 73 5.3 Saran ... 79 5.3.1 Saran Metodologis ... 79 5.3.2 Saran Praktis ... 80 DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue print skala interaksi parasosial ... 45

Tabel 3.2 Blue print skala attachment styles ... 46

Tabel 3.3 Blue print skala loneliness ... 47

Tabel 3.4 Penilaian skala likert interaksi parasosial dan attachment styles ... 47

Tabel 3.5 Penilaian skala likert loneliness ... 47

Tabel 3.6 Hasil uji validitas instrumen interaksi parasosial ... 51

Tabel 3.7 Hasil uji validitas instrumen attachment styles ... 54

Tabel 3.8 Hasil uji validitas instrumen loneliness ... 56

Tabel 4.1 Usia ... 60

Tabel 4.2 Durasi mengkonsumsi kpop ... 60

Tabel 4.3 Aktivitas mengkonsumsi kpop ... 61

Tabel 4.4 Deskripsi statistik variabel penelitian ... 62

Tabel 4.5 Pedoman interpretasi skor ... 63

Tabel 4.6 Kategorisasi sampel penelitian dalam tingkat interaksi parasosial ... 63

Tabel 4.7 Kategorisasi sampel penelitian dalam tingkat attachment styles ... 64

Tabel 4.8 Kategorisasi sampel penelitian dalam tingkat loneliness ... 65

Tabel 4.9 Model summary analisis regresi ... 66

Tabel 4.10 Perolehan R square dari dua variabel besar ... 66

Tabel 4.11 Anova pengaruh keseluruhan IV terhadap DV ... 67

Tabel 4.12 Koefisien regresi ... 68

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Syntax Analisis Faktor Konfirmatori Lampiran 3. Path Diagram

(15)

1

Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejak pertengahan tahun 1990, muncul suatu fenomena kecintaan akan musik dan drama dari negara ginseng yaitu Korea Selatan. Fenomena tersebut lebih di kenal dengan sebutan korean wave atau hallyu. Korea selatan juga terkenal akan musik pop Korea nya yang disebut Korean Pop atau Kpop. Kpop merupakan suatu aliran musik populer yang berasal dari Korea Selatan. Kpop sendiri merupakan bagian dari korean wave atau hallyu (Jin, 2012).

Fenomena kecintaan akan budaya Kpop awalnya dipicu oleh kecintaan orang-orang terhadap drama romantis Asia, termasuk drama Korea. Dari hal tersebut, mereka kemudian mengenal Kpop dan menggilainya. Kpop tidak hanya memanjakan telinga dan mata, tetapi juga membentuk suatu imajinasi tentang selebriti Korea yang berpenampilan menarik dan berwajah mulus. Tidak heran, kini banyak para remaja yang memiliki keinginan untuk menjadi seperti selebriti Korea. Hasrat para remaja untuk berpenampilan dengan gaya Korea ini ternyata diperhatikan oleh sejumlah pengusaha salon di Jakarta. Para pengusaha tersebut secara bersamaan mengusung tema K-Cut style (potongan rambut Korea). Sederet toko kosmetik Korea, seperti Skin food, The face shop, dan Missha, membuka

(16)

cabang tokonya di Indonesia. Bahkan, toko roti atau makanan Korea pun mulai banyak dijual di Jakarta. Selain itu, perwakilan perusahaan Korea tumbuh subur di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia, saat ini terdapat 1.300 kantor cabang perusahaan Korea yang didirikan di Indonesia. Hal tersebut mengacu pada banyaknya jumlah penggemar Kpop saat ini di Indonesia

(Kamil, 2012).

Banyaknya penggemar Kpop di Indonesia juga ditunjukkan dari meningkatnya grafik digital, penjualan album musik, konser, jumlah penggemar (fan cafe) dari beberapa nama idola yang menjadi bintang di tahun ini. Salah satunya adalah EXO, video klip EXO ditonton lebih dari 14 juta kali di youtube. Lagu mereka konsisten berada diperingkat pertama di tiga negara, yaitu Indonesia, Singapura, dan Thailand (Ramadhani, 2013).

Fenomena para penggemar Kpop selalu terlihat dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan untuk mendekatkan dirinya dengan idolanya. Para penggemar membentuk sebuah kelompok penggemar yang menyukai idola Kpop yang sama. Mereka selalu terdepan untuk urusan temu sapa idolanya. Kelompok penggemar bintang Kpop ini biasanya memiliki nama sendiri disesuaikan dengan nama idolanya, seperti Shawol untuk penggemar SHINee, VIP untuk penggemar Bigbang, dan lain-lain. Berbagai kelompok penggemar Kpop di Indonesia banyak

mengadakan acara-acara yang mengumpulkan seluruh penggemar. Selain itu, agensi Kpop pun tampaknya memfasilitasi fanatisme para penggemar dengan menghadirkan aneka merchandise, foto, album, hingga kerja sama layanan khusus agar lebih mendekatkan antara penggemar dengan idolanya. Sayangnya, para

(17)

penggemar Kpop di Indonesia merasa sangat kesulitan ketika ingin bertemu idolanya secara langsung, hal tersebut terjadi dikarenakan perbedaan negara antara Indonesia dengan Korea Selatan. Para penggemar cenderung memanfaatkan media massa sebagai perantara antara dirinya dengan idolanya. Dengan media massa, mereka dapat mengetahui informasi terbaru dan perkembangan karir idolanya. Para penggemar Kpop juga mengganggap idola korea nya sebagai figur media favoritnya, karena para penggemar merasa mengenal idola atau figur medianya melalui media massa (Sari, 2012).

Dengan banyaknya paparan media massa, para penggemar atau pengguna media merasa sangat mengenal figur media favoritnya dari penampilan, sikap, gaya bahasa, dan tingkah laku figur medianya, meskipun mereka tidak berkomunikasi secara langsung dengan figur media favoritnya (Roberts, 2007). Peristiwa dimana seseorang merasa mengenal secara personal terhadap selebritis atau figur di media disebut dengan interaksi parasosial.

Konsep interaksi parasosial pertama kali diperkenalkan oleh Horton dan Wohl (1956) untuk mendeskripsikan respon pengguna media terhadap figur media selama mengkonsumsi media. Interaksi parasosial memiliki interaksi sosial dan komunikasi yang satu arah karena segala tindakan figur media di media massa dapat di observasi oleh pengguna media, yang dimana reaksi pengguna media hanya dapat diantipasi, sedangkan reaksi pengguna media tidak dapat diobservasi secara langsung oleh figur media. Meskipun interaksinya luas, interaksi parasosial bersifat satu arah, satu sisi, non-dialektikal, dikontrol oleh figur media, dan tidak dapat berkembang (Horton & Wohl, 1956).

(18)

Horton dan Wohl (1956) menganggap interaksi parasosial sebagai pengalaman ilusi yang dialami oleh pengguna media, yang merasa seperti berada dalam interaksi dengan figur media, meskipun situasinya tidak bertimbal balik. Menurut Caughey (dalam Meloy, Sheridan, & Hoffman, 2008) interaksi parasosial terjadi ketika seseorang yang belum pernah bertemu dengan figur media favoritnya tetapi merasa memiliki hubungan dekat dengannya, yang dalam arti dalam arti mereka terlibat dalam interaksi pseudo-sosial dengan figur media favoritnya.

Giles (dalam Meloy, Sheridan, & Hoffman, 2008) menjelaskan bahwa interaksi parasosial merupakan keterlibatan seseorang yang dalam meniru perilaku figur media favoritnya, mendiskusikan figur media favoritnya dengan orang lain, terlibat dalam interaksi imajinatif, dan terkadang, mencoba membuat kontak secara langsung dengan figur media favoritnya.

Interaksi parasosial dikonseptualisasikan sebagai keterlibatan interpersonal pengguna media dengan figur media. Keterlibatan tersebut digambarkan dalam beberapa karakteristik seperti mencari bimbingan dari figur media, melihat figur media sebagai teman, dan membayangkan menjadi bagian dari dunia sosial figur media yang disukai (Rubin, Perse & Powell, 1985). Pengguna media juga merasa mengenal figur medianya, seperti mengetahui teman dekat dan keluarga figur media. Selain itu, pengguna media pun merasa memiliki hubungan personal dengan figur media, memberikan perhatian penuh pada apa yang terjadi dengan kehidupan figur media, dan berkeinginan untuk menjadi seperti mereka (Hoffner & Buchanan, 2005).

(19)

Menurut Cole & Leets (1999), penyelidikan empiris pada fenomena interaksi parasosial telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir, dan banyak studi yang telah meneliti interaksi parasosial dengan penyiar berita televisi artis televisi terfavorit; artis opera sabun; karakter sinetron komedi terfavorit dan pembawa acara belanja di televisi.

Hasil penelitian Cole dan Leets (1999) menyatakan bahwa attachment styles memiliki peran dalam pembentukan interaksi parasosial dengan figur media

favoritnya. Menurut Giles dan Maltby (2004), attachment terhadap figur media pada umumnya disebut sebagai interaksi parasosial, yang dimana interaksinya bersifat satu arah dan seseorang tersebut merasa figur medianya sebagai sosok teman atau kolega. Meskipun interaksi parasosial bersifat satu arah dan imajiner, seseorang tetap merasa bahwa interaksi parasosial sama dengan hubungan sosial sebenarnya. Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa interaksi parasosial memiliki kolerasi dengan attachment.

Bartholomew dan Griffin (dalam Baron & Byrne, 2005) mendefinisikan attachment sebagai suatu hubungan dekat atau perilaku lekat antara diri seseorang

dengan orang lain, yang diasumsikan bahwa perilaku interpersonal seseorang akan terlihat dari evaluasi dirinya yang negatif atau positif, dan sejauh mana orang tersebut mempersepsikan orang lain sebagai seseorang yang dapat dipercaya, dapat diharapkan, dan dapat diandalkan (positif) atau lawannya yaitu, mempersepsikan bahwa orang lain tidak dapat dipercaya, tidak dapat diharapkan dan tidak dapat diandalkan (negatif).

(20)

Attachment memiliki pengaruh terhadap interaksi parasosial. Dalam empat

dimensi utama attachment oleh Bartholomew dan Griffin (dalam Baron & Byrne, 2005), attachment styles memiliki empat dimensi yaitu secure, fearful, preoccupied, dan dismissing. Masing-masing dari dimensi tersebut memiliki

pengaruh yang berbeda terhadap interaksi parasosial.

Ditemukan bahwa seseorang dengan attachment styles preoccupied cenderung mengembangkan interaksi parasosial untuk memenuhi kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi; Penjelasan mengenai preoccupied konsisten dengan penelitian yang mengatakan bahwa preoccupied dapat menggambarkan keterlibatan dan intensitas para remaja yang memiliki interaksi parasosial (Theran, Newberg, & Gleason, 2010).

Seseorang dengan attachment styles fearful dan dismissing memiliki pengaruh kecil untuk membentuk interaksi parasosial, dikarenakan seseorang fearful dan dismissing memiliki gambaran negatif terhadap orang lain secara

bersamaan; serta, seseorang dengan attachment styles secure yang negatif (memiliki rasa tidak percaya, ragu-ragu, curiga) juga memberikan pengaruh terhadap interaksi parasosial (Cole & Leets, 1999).

Fenomena interaksi parasosial antara para penggemar Kpop sebagai pengguna media dengan figur media favoritnya, terlihat dalam karakteristik para pengguna media yang terkait dari perilaku attachment nya yaitu penggemar atau pengguna media akan berusaha untuk mengurangi jarak antara dirinya dengan figur media favoritnya (figur attachment nya), mereka cenderung mengikuti perkembangan figur media, dan mencoba untuk menghubungi figur medianya

(21)

melalui surat penggemar; pengguna media merasa senang ketika melihat figur medianya di media massa; dan pengguna media merasa sedih dan kecewa ketika figur medianya tidak pernah muncul di media massa (Weiss, 1991; Cole & Leets, 1999).

Interaksi parasosial juga memiliki hubungan yang erat dengan loneliness atau kesepian. Russell (dalam Cook & Wilson, 1979) mengatakan bahwa loneliness merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, yang

terkait dengan perasaan ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, depresi, kecemasan, kekosongan, kebosanan, kegelisahan dan perasaan terasingkan. Russell, Peplau, dan Ferguson (dalam Rubin, Perse, & Powell, 1985) menemukan bahwa loneliness terjadi ketika seseorang merasa kurang puas dengan hubungan

sosialnya, dan merasa kurang berpenampilan menarik daripada orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian Norlund (dalam Hoffner, 2002), seseorang yang kurang atau jarang melakukan hubungan sosial akan lebih sering berada di dalam rumah sehingga cenderung menggunakan televisi atau media yang lainnya sebagai teman dan cenderung membentuk interaksi parasosial.

Giles dan Maltby (2004) mendefinisikan interaksi parasosial adalah perilaku disfungsional yang dihasilkan dari konsekuensi negatif dalam kehidupan sosial seperti loneliness, isolasi, dan kurangnya interaksi manusia. Rubin, Perse, dan Powell (1985) mengatakan bahwa interaksi parasosial pada awalnya dipandang sebagai suatu hubungan yang tidak nyata atau sebagai pengganti hubungan sosial bagi para orangtua, cacat, dan seseorang yang kesepian (loneliness).

(22)

Penelitian mengenai loneliness dan interaksi parasosial banyak dilakukan, salah satunya yaitu “Loneliness and Parasocial Interaction with Media Characters” oleh Dhanda (2011) yang memiliki hasil bahwa loneliness

berpengaruh terhadap interaksi parasosial. Lalu, ada penelitian yang dilakukan oleh Davila-Rosado (2001) yang berjudul “Surviving Reality: Survivor & Parasocial Interaction”. Penelitian ini memiliki hasil, yaitu terdapat hubungan antara interaksi parasosial, loneliness, exposure, pemilihan spokesperson, dan motif menonton televisi. Dikatakan bahwa apabila loneliness meningkat maka interaksi parasosial pun juga akan meningkat, hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya kontak sosial (dalam Davila-Rosado, 2001).

Selain itu, terdapat penelitian mengenai hubungan loneliness dan parasosial yang dilakukan di Indonesia. Penelitian tersebut berjudul “Hubungan antara loneliness dan parasosial pada wanita dewasa muda. Hasil yang didapatkan pun menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara loneliness dan parasosial (Sekarsari, 2009).

Altman dan Taylor (dalam Camella, 2001) mengatakan bahwa interaksi parasosial akan terbentuk secara kuat ketika individu terlalu berlebihan dalam memberikan atensinya ketika menonton figur media favoritnya melalui media. Semakin lama seseorang menggunakan waktunya untuk menyaksikan figur medianya melalui media, maka ia akan semakin intim dengan figur media dan interaksi parasosialnya akan semakin kuat.

Peneliti memfokuskan sampel penelitian pada remaja berdasarkan beberapa alasan. Pertama, interaksi parasosial ternyata dapat terjadi pada masa

(23)

perkembangan remaja. Interaksi parasosial juga memainkan peran sosial, emosional, dan transisi yang penting pada masa remaja. Kedua, interaksi parasosial remaja dengan figur media biasanya disebut sebagai pseudofriends, hal tersebut sesuai dengan pergeseran perkembangan remaja terhadap peningkatan otonomi dalam hubungan dengan orang tua. Remaja dapat menggunakan interaksi parasosial untuk memudahkan transisi menuju hubungan dewasa nantinya, dan mengatasi tugas-tugas perkembangan seperti pembentukan dan pemeliharaan citra diri yang sehat (Theran, Newberg, & Gleason, 2010).

Peneliti juga memfokuskan sampel penelitian pada remaja yang berjenis kelamin perempuan berdasarkan dua alasan. Pertama, remaja perempuan lebih terlibat dalam interaksi parasosial dengan figur-figur media dibandingkan dengan remaja laki-laki (Theran, Newberg, & Gleason, 2010).

Kedua, remaja perempuan cenderung memilih figur media sebagai panutan atau figur, yang berkaitan dalam hal meniru gaya hidup seperti menginginkan tubuh yang ideal seperti yang dimiliki oleh figur media (Giles, 2002; Theran, Newberg, & Gleason, 2010). Peneliti beranggapan bahwa mayoritas remaja perempuan yang sangat menyukai figur media kemungkinan menunjukkan interaksi parasosial.

Dengan demikian penelitian ini berjudul “Pengaruh Attachment Styles

(24)

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1. Pembatasan masalah

Pembatasan dalam penelitian ini akan membahas lebih mendalam mengenai interaksi parasosial, attachment styles, dan loneliness pada penggemar kpop. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1. Interaksi parasosial merupakan hubungan interpersonal antara penggemar kpop sebagai pengguna media dengan selebriti kpop sebagai figur media

melalui media massa.

2. Attachment styles merupakan kecenderungan perilaku lekat atau hubungan dekat antara diri seseorang dengan orang lain.

3. Loneliness merupakan pengalaman emosional terkait dengan perasaan yang tidak menyenangkan.

4. Korean Pop atau Kpop merupakan suatu aliran musik populer yang berasal dari Korea Selatan.

5. Sampel penelitian adalah penggemar Kpop yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 10-23 tahun.

1.2.2. Perumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh attachment styles dan loneliness terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

2. Apakah terdapat pengaruh attachment styles secure terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

(25)

3. Apakah terdapat pengaruh attachment styles fearful terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

4. Apakah terdapat pengaruh attachment styles preoccupied terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

5. Apakah terdapat pengaruh attachment styles dismissing terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

6. Apakah terdapat pengaruh loneliness personality terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

7. Apakah terdapat pengaruh loneliness social desirability terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

8. Apakah terdapat pengaruh loneliness depression terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

1.3. Tujuan penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh attachment styles dan loneliness terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

2. Apakah terdapat pengaruh attachment styles secure terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

3. Apakah terdapat pengaruh attachment styles fearful terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

4. Apakah terdapat pengaruh attachment styles preoccupied terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

(26)

5. Apakah terdapat pengaruh attachment styles dismissing terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

6. Apakah terdapat pengaruh loneliness personality terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

7. Apakah terdapat pengaruh loneliness social desirability terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

8. Apakah terdapat pengaruh loneliness depression terhadap interaksi parasosial pada penggemar kpop?

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menambahkan hasil-hasil penelitian mengenai interaksi parasosial, attachment styles, dan loneliness. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dari teori psikologi pada umumnya, dan khususnya psikologi sosial dan perkembangan.

1.4.2. Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai interaksi parasosial pada penggemar kpop

2. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran apakah dimensi attachment styles dan loneliness dapat menggambarkan interaksi parasosial pada

(27)

1.5. Sistematika Penulisan

Bab 1 Pendahuluan

Meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2 Landasan Teori

Meliputi teori-teori yang berhubungan dengan interaksi parasosial; definisi interaksi parasosial, faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi parasosial, efek parasosial, pengukuran interaksi parasosial, attachment styles; definisi attachment, pembentukan perilaku attachment, dimensi attachment styles,

pengukuran attachment style, loneliness; definisi loneliness, dimensi loneliness, pengukuran loneliness, remaja; batasan remaja, perkembangan pada masa remaja, kerangka berfikir dan hipotesis penelitian.

Bab 3 Metode Penelitian

Meliputi desain penelitian, sampel penelitian, metode pengumpulan data, uji validitas konstruk, prosedur penelitian, dan teknik analisis data.

Bab 4 Hasil Penelitian

Meliputi pengolahan semua data yang terkumpul dalam penelitian dan analisis data.

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Meliputi kesimpulan seluruh isi dan hasil penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan di bab sebelumnya. Bab ini juga berisi diskusi dan saran penelitian.

(28)

14

Pada bab dua ini dijelaskan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian. Teori tersebut yaitu teori interaksi parasosial, teori attachment styles, teori loneliness, teori remaja, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2.1. Interaksi Parasosial

2.1.1. Definisi interaksi parasosial

Konsep interaksi parasosial (parasocial interaction) pertama kali dicetuskan oleh Horton dan Wohl di tahun 1956 sebagai suatu hubungan pertemanan atau hubungan dekat dengan figur media (musisi, artis, aktor, pembawa acara) berdasarkan perasaan ikatan afektif seseorang terhadap tokoh tersebut.

Menurut Horton dan Wohl (1956), interaksi parasosial merupakan suatu hubungan interpersonal yang dimediasi dan terjadi antara pengguna media dengan figur media melalui media massa yaitu televisi, internet, radio, dan lain-lain. Interaksi parasosial juga dikatakan sebagai pengalaman ilusi yang dialami oleh pengguna media, yang merasa seperti berada dalam interaksi dengan figur media, meskipun situasinya tidak bertimbal balik.

Menurut Horton dan Wohl (1956), interaksi parasosial memiliki interaksi sosial dan komunikasi yang satu arah karena segala tindakan figur media di media massa dapat di observasi oleh pengguna media, yang dimana reaksi pengguna media hanya dapat diantipasi, sedangkan reaksi pengguna media tidak dapat diobservasi secara langsung oleh figur media. Dengan kata lain, interaksi

(29)

parasosial bersifat satu arah, non-dialektikal, dikontrol oleh performer, dan tidak dapat berkembang

Shener-Rogers, Rogers, dan Singhal (1998) mendefinisikan interaksi parasosial dari sejauh mana pengguna media mengembangkan hubungan interpersonalnya dengan figur media yang disukai. Hubungan interaksi parasosial tersebut terjadi ketika pengguna media melihat figur medianya sebagai sesuatu yang nyata, dan bereaksi terhadap figur tersebut, dan pengguna media merasa kesulitan dalam membedakan figur media sebagai tokoh fiksi dan kenyataan.

Menurut Caughey (dalam Meloy, Sheridan, & Hoffman, 2008), interaksi parasosial merupakan respon yang dimiliki oleh seseorang ketika ia merasa memiliki hubungan dekat dengan figur media favoritnya, tetapi belum pernah bertemu dengan figur media favoritnya. Dari hal tersebut dikatakan seseorang terlibat dalam interaksi pseudo-sosial dengan figur media favoritnya.

Menurut Giles (dalam Meloy, Sheridan, & Hoffman, 2008), interaksi parasosial merupakan keterlibatan seseorang yang dalam meniru perilaku figur media favoritnya, mendiskusikan figur media favoritnya dengan orang lain, terlibat dalam interaksi imajinatif, dan terkadang, mencoba membuat kontak secara langsung dengan figur media favoritnya.

Menurut Perse dan Rubin (1989), interaksi parasosial adalah hubungan interpersonal yang dirasakan pada pengguna media dengan figur media massa. Menurut mereka, interaksi parasosial merupakan suatu keterlibatan interpersonal yang afektif dengan kepribadian media. Rosengren dan Windahl (1972) mendefinisikan interaksi parasosial sebagai bentuk interaksi dengan seorang figur

(30)

dari dunia media massa, dan merasakan bahwa figur media tersebut seolah-olah hadir secara pribadi.

Nordlund (1978) mendefinisikan interaksi parasosial sebagai suatu unsur pokok yang menyeluruh, didasari fenomena yang lebih beragam terhadap keterlibatan pengguna media dalam porsi media yang digunakan. Rubin, Perse dan Powell (1985) juga mendefinisikan interaksi parasosial sebagai keterlibatan interpersonal pengguna media dengan media apa yang mereka konsumsi.

Rubin dan Mchugh (1987) mendefinisikan interaksi parasosial sebagai hubungan interpersonal satu sisi antara pengguna media (televisi, internet, radio) dengan figur media. Selain itu, Grant, Guthrie dan Ball-Rokeach (dalam Schramm & Hartmann, 2008) mendefinisikan interaksi parasosial sebagai hubungan antara pengguna media dan kepribadian televisi.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, peneliti mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh Horton dan Wohl (1956), yang mendefinisikan bahwa interaksi parasosial merupakan hubungan interpersonal yang dimediasi dan terjadi antara pengguna media dengan figur media melalui media massa yaitu televisi, internet, radio, dan lain-lain. Interaksi parasosial juga dikatakan sebagai pengalaman ilusi yang dialami oleh pengguna media, yang merasa seperti berada dalam interaksi dengan figur media, meskipun situasinya tidak bertimbal balik, bersifat satu arah, non-dialektikal, dikontrol oleh pengguna media, dan tidak dapat berkembang (Horton & Wohl, 1956).

(31)

2.1.2 Dimensi interaksi parasosial

Menurut Horton dan Wohl (dalam Rubin, Perse, & Powell, 1985), interaksi parasosial terbagi ke dalam tiga dimensi, yaitu :

1. Empathy

Keinginan untuk bertemu dengan selebriti favorit (active bonding), pengguna media merasa memiliki beberapa kesamaan ikatan dua arah dengan selebriti favorit; meliputi pertemanan, empati, dan penarikan selama selebriti favorit tidak muncul di media (passive bonding).

2. Physical Attraction

Persepsi pengguna media pada suara, ketertarikan fisik, dan kealamian figur media favoritnya.

3. Perceived Similarity

Pengguna media mengindentifikasi figur media favoritnya dan melihat kesamaan figur media dengan dirinya.

Selain itu, Schramm dan Hartmann (2008) menyatakan bahwa interaksi parasosial memiliki tiga dimensi yaitu affective, behavioral response, dan perceptual cognitive antara pengguna media dengan figur media. Penjelasan dari

tiga dimensi interaksi parasosial yaitu : 1. Affective

Melihat perasaan positif dan negatif pengguna media terhadap figur media favoritnya. Dari hal tersebut, pengguna media memberikan respon secara lebih mendalam atau lebih emosional terhadap figur medianya.

(32)

2. Perceptual Cognitive

Tingkatan dimana pengguna media memberikan perhatian atau atensinya secara penuh pada figur medianya. Atensi yang diberikan yaitu persepsi terhadap figur media favorit, evaluasi aktivitas figur media terhadap kenangan dan pengalaman hidup sendiri, atau perbandingan sosial antara figur media dan pengguna media.

3. Behavioral

Melihat perilaku nonverbal (bahasa tubuh, mimik), verbal, dan paraverbal (misalnya, teriak, bernafas) pengguna media, sama seperti intensi perilaku (keinginan untuk mengatakan sesuatu kepada figur media).

Berdasarkan penjelasan dimensi-dimensi diatas, peneliti memilih dimensi interaksi parasosial dari Horton dan Wohl (dalam Rubin, Perse, & Powell, 1985) yaitu empathy, perceived similarity, dan physical attraction.

2.1.3 Karakteristik seseorang dengan interaksi parasosial

Interaksi parasosial dikonseptualisasikan sebagai keterlibatan interpersonal pengguna media dengan figur media. Keterlibatan tersebut digambarkan dalam beberapa karakteristik seperti melihat figur media sebagai teman, membayangkan menjadi bagian dari dunia sosial figur media yang disukai dan keinginan untuk bertemu dengan figur media (Rubin, Perse, Powell, 1985). Pengguna media juga merasa mengenal figur medianya, seperti mengetahui teman dekat dan keluarga figur media. Selain itu, pengguna media pun merasa memiliki hubungan personal dengan figur media, memberikan perhatian penuh pada apa yang terjadi dengan

(33)

kehidupan figur media, dan berkeinginan untuk menjadi seperti mereka (Hoffner & Buchanan, 2005).

Caughey, Boone dan Lomore (dalam Hoffner & Buchanan, 2005) mengatakan bahwa pengguna media yang berinteraksi parasosial cenderung membuat perubahan dalam penampilan, sikap, nilai, aktivitas, dan karakteristik lain untuk menjadi seperti figur media favoritnya. Hoffner dan Cantor (dalam Hoffner & Buchanan, 2005) juga berpendapat bahwa pengguna media cenderung mencari tingkat kemiripan dengan figur media untuk mendukung keinginannya agar menjadi seperti figur medianya, tingkat kemiripan tersebut menjadi sinyal bahwa hal tersebut layak dan sesuai bagi pengguna media untuk menjadi seperti figur media dalam cara-cara tertentu.

Salah satu karakteristik penting dari interaksi parasosial adalah mengenai umpan balik atau respon yang diberikan pengguna media kepada figur medianya. Pengguna media secara otomatis merespon penampilan figur media secara nonverbal dan verbal, mereka menyesuaikan respon mereka dengan hal-hal yang ditampilkan oleh figur media (Schramm & Hartmann, 2008).

Menurut Cole & Leets (1999), ditemukan bahwa seseorang yang preoccupied cenderung mengembangkan interaksi parasosial untuk memenuhi

kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Sedangkan, seseorang dengan secure negatif (memiliki rasa tidak percaya, ragu-ragu, curiga) juga memberikan pengaruh terhadap interaksi parasosial.

Selain itu, Cole dan Leets (1999) juga menjelaskan bahwa pengguna media yang cenderung berinteraksi parasosial akan berusaha untuk mengurangi

(34)

jarak antara dirinya dengan figur media yang disukai. Mereka juga akan selalu memberikan perhatian penuh terhadap informasi-informasi penting mengenai figur medianya, mengatur ulang jadwal atau pengaturan perekaman video figur media (Rubin & Bantz, 1989; Cole & Leets, 1999). Terkadang mereka mencoba menghubungi figur media nya melalui surat penggemar atau secara langsung (Leets, deBecker, & Giles, 1995; Cole & Leets, 1999). Selain itu, pengguna media akan merasa senang ketika melihat figur medianya muncul di berbagai media (Perse, 1990; Cole & Leets, 1999).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Levy (dalam Moores, 2000) karakteristik interaksi parasosial dapat dilihat dari respon pengguna media terhadap figur media, ditemukan lebih dari setengah respondennya setuju bahwa figur media yang disukai sudah seperti teman yang setiap hari mereka lihat. Beberapa responden penelitiannya merasa bingung untuk membedakan antara figur media dan teman sebenarnya, tetapi banyak yang menganggap bahwa figur media mereka sebagai seseorang yang spesial. Sehingga, para pengguna media cenderung membentuk dan memelihara hubungannya dengan figur media.

Cerulo (dalam Livingstone & Lunt, 1994) juga mengatakan karakteristik interaksi parasosial ditemukan pada pengguna media dan media yang digunakan, contohnya pada talk show Oprah, para pengguna media merasa nyaman ketika menyapa pembawa acara favoritnya dengan komentar terhadap gaya rambut, baju, dan berat badan pembawa acara tersebut. Para pengguna media sudah mengetahui apa yang mereka harapkan dari figur medianya, mereka merasa memiliki figur

(35)

tersendiri, dan hubungan dengan lingkungannya berkurang, dari hal tersebut interaksi parasosialnya lebih meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian Norlund (dalam Hoffner, 2002), seseorang yang kurang atau jarang melakukan hubungan sosial akan lebih sering berada di dalam rumah sehingga cenderung menggunakan televisi atau media yang lainnya sebagai teman dan akan membentuk interaksi parasosial. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Schiappa, Allen, dan Gregg (dalam Preiss, Gayle, Burrell, Allen, & Brynt, 2007), yang mengatakan bahwa seseorang cenderung membentuk interaksi parasosial karena kurangnya kontak interpersonal dengan orang lain dan cenderung mencari hubungan sosial lain yaitu melalui figur media.

Selain itu, empati memainkan peran penting dalam hubungan interpersonal dan berkontribusi terhadap respon emosional jangka pendek terhadap selebriti. Beberapa penelitian membuktikan bahwa empati dapat menjadi sarana dalam mengembangkan kelekatan afektif jangka panjang terhadap figur media. Empati dapat meningkatkan kecenderungan pengguna media untuk mengenali dan berbagi pandangan dan perasaan emosional pada figur media yang disukainya, yang kemudian akan membuatnya merasa semakin dekat dengan figur media tersebut dan membentuk interaksi parasosial (Hoffner, 2002).

Dalam penelitian Hoffner (2002), ditemukan bahwa parasosial lebih kuat

dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki, dan biasanya perempuan cenderung lebih fleksibel dalam memilih figur medianya. Selain itu, Levy (dalam Wang, Fink, & Cai, 2008) melaporkan bahwa individu lebih sering menggunakan televisi atau media yang lain ketika merasa kesepian dibandingkan

(36)

dengan individu yang tidak kesepian. Kedua, Perse dan Rubin (dalam Wang, Fink, & Cai, 2008) serta Rubin dan McHugh (dalam Wang, Fink, & Cai, 2008) menemukan bahwa paparan media yang lebih besar akan meningkatkan interaksi parasosial.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik interaksi parasosial dapat dilihat ketika seseorang memberikan berbagai respon terhadap peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan figur media favoritnya, keinginan untuk bertemu, interaksi dan hubungan sosial yang kurang, menganggap figur media favoritnya sebagai seseorang yang spesial, attachment styles, perbedaan seseorang dalam berempati, self-esteem yang rendah, dan jenis

kelamin.

2.1.4 Pengukuran interaksi parasosial

Peneliti membuat alat ukur yang mengukur Interaksi Parasosial. Alat ukur tersebut didasari pada tiga dimensi interaksi parasosial oleh Horton dan Wohl (dalam Rubin, Perse, dan Powell, 1985) yaitu empathy, physical attraction dan perceived similarity. Jumlah keseluruhan item yang terdapat pada alat ukur

interaksi parasosial terdiri atas 38 pernyataan, dengan menggunakan item jenis favorable dan unfavorable. Item-item dalam skala ini diukur dengan empat poin

skala Likert.

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi parasosial

1. Attachment Styles. Menurut Cole dan Leets (1999), attachment styles memiliki pengaruh terhadap interaksi parasosial. Hal tersebut didasari oleh keyakinan attachment atau kelekatan seseorang berkaitan erat dengan

(37)

keinginannya untuk membentuk interaksi parasosial dengan figur media favoritnya. Cole dan Leet (1999) juga menyatakan bahwa seseorang yang memiliki attachment styles preoccupied cenderung mengembangkan interaksi parasosial untuk memenuhi kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Attachment styles yang lain seperti secure, fearful, dan dismissing juga turut memberikan pengaruh-pengaruh yang berbeda terhadap interaksi parasosial.

2. Loneliness. Rubin dan Mchugh (1987), menyatakan bahwa loneliness memiliki pengaruh terhadap interaksi parasosial. Seseorang yang loneliness memiliki hubungan yang positif dalam membentuk suatu hubungan dengan figur media favoritnya. Sehingga dapat membuat seseorang tersebut membentuk suatu interaksi parasosial. Interaksi parasosial merupakan salah satu perantara bagi individu yang loneliness untuk tetap menjalin suatu hubungan selayaknya hubungan nyata di kehidupan sehari-hari. Rubin, Perse, dan Powell (1985) mengatakan bahwa interaksi parasosial ini pada awalnya dipandang sebagai suatu hubungan yang tidak nyata atau sebagai pengganti hubungan sosial bagi para orangtua, cacat, dan kesepian (loneliness).

3. Motivasi. Hoffner (2002) mengemukakan bahwa motivasi yang dimaksud adalah motivasi untuk memperoleh tujuan, kebutuhan dan keinginannya yang dalam konteks interaksi parasosial adalah kebutuhan akan kepuasan sosial dan emosional. Hal tersebut dapat memotivasi pengguna media untuk

(38)

menonton tayangan televisi lebih lanjut dan dapat membantu pengguna media memuaskan kebutuhan keanggotaannya dalam suatu perkumpulan. 4. Similarity. Kesamaan antara seseorang dengan figur media (similarity).

Adanya kesamaan baik dalam hal penampilan fisik, tingkah laku dan reaksi emosional, akan membuat pengguna media akan lebih tertarik pada karakter dan kepribadian figur media yang mirip dengan dirinya. Misalnya, persamaan dalam jenis kelamin, etnis, kelas sosial, usia, kepribadian, kepercayaan dan pengalaman (Hoffner, 2002).

5. Keinginan untuk mengindentifikasi, yaitu figur media yang muncul di televisi memiliki wajah yang tampan ataupun cantik, memiliki bakat yang tidak biasa, atau sangat sukses. Pengguna media akan tertarik pada individu tersebut dan melihat mereka sebagai panutan. Proses ini terjadi saat menyaksikan figur media melalui media. Pengguna media atau penggemar memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasi figur media dan ikut berpartisipasi dalam pengalaman figur media melalui media (Hoffner, 2002).

6. Komunikasi antar pengguna media. Komunikasi tersebut terjadi untuk mengurangi ketidakpastian suatu informasi dan menambah informasi-informasi mengenai figur media yang disukai. Ketidakpastian dalam interaksi parasosial dapat dikurangi melalui strategi pasif seperti mengobservasi pengguna media tersebut dalam berbagai situasi dan melalui strategi aktif, seperti berbicara dengan sesama pengguna media mengenai figur media tersebut. Penelitian menunjukkan semakin sering sesama

(39)

pengguna media berkomunikasi untuk lebih menggenal figur media yang disukainya, semakin kuat interaksi parasosial yang terbentuk (Hoffner, 2002).

7. Lamanya menonton televisi. Altman dan Taylor (dalam Camella, 2001) juga menambahkan faktor yang mempengaruhi interaksi parasosial pada individu, yaitu lamanya seseorang menonton televisi. Faktor tersebut juga turut mempengaruhi kuatnya interaksi parasosial yang terbentuk. Semakin lama seseorang menonton televisi, maka seseorang tersebut akan semakin intim dengan figur media dan interaksi parasosialnya semakin kuat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi parasosial adalah attachment styles, loneliness (kesepian), motivasi, kesamaan dengan figur media, keinginan untuk mengindentifikasi figur media, komunikasi antar pengguna media, dan lamanya menonton televisi.

2.2 Attachment Styles

2.2.1 Definisi attachment styles

Bowlby (1982) mendefinisikan attachment sebagai suatu teori mengenai kecenderungan psikologis untuk membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain, serta merasa nyaman jika orang tersebut hadir dan juga merasa cemas jika orang tersebut tidak ada. Attachment yang sehat membawa cinta, keamanan, dan kebahagiaan; attachment yang tidak sehat membawa kecemasan, duka cita dan depresi (Bowlby, 1982).

(40)

Bartholomew dan Griffin (dalam Baron & Byrne, 2005) mendefinisikan attachment sebagai suatu hubungan dekat atau perilaku lekat antara diri seseorang

dengan orang lain, yang diasumsikan bahwa perilaku interpersonal seseorang akan terlihat dari evaluasi dirinya yang negatif atau positif, dan sejauh mana orang tersebut mempersepsikan orang lain sebagai seseorang yang dapat dipercaya, dapat diharapkan, dan dapat diandalkan (positif) atau lawannya yaitu, mempersepsikan bahwa orang lain tidak dapat dipercaya, tidak dapat diharapkan dan tidak dapat diandalkan (negatif).

Menurut Mayseless dan Scharf (2007), teori attachment menggambarkan suatu pengalaman dalam hubungan dekat, yaitu kemampuan untuk membentuk hubungan dekat dengan orang lain. Selama perjalanan waktu, hubungan dekat tersebut akan berpengaruh pada pembentukan attachment styles, model mental, atau harapan seseorang terhadap orang lain dalam hal ketersediaan, kepercayaan, dan responsif seseorang di masa remaja dan dewasa (Cole & Leets, 1999).

Menurut Kamus Lengkap Psikologi, Attachment biasa disebut penglengketan, perkaitan, relasi, ikatan, tersangkut satu sama lain, hubungan, atau pelekatan. Definisi lain mengatakan bahwa Attachment merupakan suatu daya tarik atau ketergantungan emosional antara dua orang. Selain itu, attachment dikatakan sebagai kaitan stimulus-respons atau kaitan perangsang-reaksi (Chaplin, 1981).

Teori attachment merupakan suatu teori interpersonal alternatif yang mengeksplorasi bagaimana orang-orang membentuk hubungan dekat dan berinteraksi dengan orang lain. Secara khusus, penerapan teori attachment oleh

(41)

Bowlby mengarah ke fase remaja dan dewasa, dan telah menghasilkan berbagai informasi mengenai perkembangan dan pemeliharaan hubungan dekat dengan orang lain (Cole & Leets, 1999).

McEllhaney et al. (dalam Lerner & Steinberg, 2009) menjelaskan bahwa teori attachment memiliki gambaran spesifik mengenai perbedaan seseorang dalam perkembangan otonominya; independen, mandiri yang difasilitasi oleh hubungan kelekatan yang secure. Hal tersebut terjadi ketika pengasuh mendukung secara emosional dan mendorong otonom, membuat kapasitas anak berkembang yaitu memiliki keberanian yang penuh, dapat menguasai situasi dan tugas yang baru, dan mampu meminta pertolongan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, peneliti mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh Bartholomew dan Griffin (dalam Baron & Byrne, 2005), yang mendefinisikan attachment merupakan suatu hubungan dekat atau perilaku lekat antara diri seseorang dengan orang lain, yang diasumsikan bahwa perilaku interpersonal seseorang akan terlihat dari evaluasi dirinya yang negatif atau positif, dan sejauh mana orang tersebut mempersepsikan orang lain sebagai seseorang yang dapat dipercaya, dapat diharapkan, dan dapat diandalkan (positif) atau lawannya yaitu, mempersepsikan bahwa orang lain tidak dapat dipercaya, tidak dapat diharapkan dan tidak dapat diandalkan (negatif) (Bartholomew & Griffin, 1994; Baron & Byrne, 2005).

2.2.2 Dimensi attachment (attachment styles)

Attachment styles adalah konsep yang berasal dari teori attachment oleh John

(42)

dengan orang lain (Levy, Ellison, Scott & Bernecker, 2011). Bartholomew & Griffin (dalam Baron & Byrne, 2003) membagi attachment styles menjadi empat dimensi, yaitu :

1. Secure

Memiliki self-esteem yang tinggi dan positif terhadap orang lain, sehingga ia mencari kedekatan interpersonal dan merasa nyaman dalam hubungan. Dibandingkan dengan dimensi attachment styles yang lain, seseorang yang secure lebih tidak mudah marah, lebih tidak mengatribusikan keinginan

bermusuhan dengan orang lain dan mengharapkan hasil positif dan konstruktif dari konflik. Dimensi secure paling mampu membentuk hubungan yang berlangsung lama, dengan komitmen, dan memuaskan (Baron & Byrne, 2003).

2. Fearful

Memiliki self esteem yang rendah dan pandangan negatif terhadap orang lain. Dengan meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghindari hubungan akrab, seseorang berharap dapat melindungi diri mereka dari rasa sakit karena ditolak. Seseorang dengan attachment styles fearful menggambarkan orang lain secara negatif, memendam perasaan tidak bersahabat dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne, 2003).

3. Preoccupied

Memiliki pandangan yang negatif mengenai dirinya dan harapan positif bahwa orang lain akan mencintai dan menerimanya. Seseorang tersebut mencari kedekatan dalam hubungan (terkadang kedekatan yang berlebihan),

(43)

tetapi mereka juga mengalami kecemasan dan rasa malu karena merasa “tidak pantas” menerima cinta dari orang lain. Tekanan mengenai kemungkinan ditolak terjadi secara ekstrem. Kebutuhan untuk dicintai dan diakui ditambah adanya gambaran negatif tentang dirinya mendorong terjadinya suatu depresi setiap kali hubungan menjadi buruk (Baron & Byrne, 2003).

4. Dismissing

Memiliki gambaran diri yang sangat positif (terkadang tidak realistis) dan gambaran diri dari seseorang ini berbeda jauh dari gambaran orang lain tentang mereka. Seseorang dengan attachment styles dismissing juga menolak melihat dirinya sebagai sosok yang berharga, independen dan sangat layak untuk mendapatkan hubungan yang dekat; orang lain mungkin lebih melihat mereka secara negatif, tidak ramah, dan terbatas keterampilan sosialnya. Masalah utamanya adalah mereka mengharapkan yang terburuk dari orang lain, sehingga mereka mungkin saja merasa takut terhadap kedekatan yang jujur. Baik seseorang preoccupied dan dismissing menghindari interaksi langsung berhadapan dan lebih memilih kontak impersonal seperti catatan atau e-mail (Baron & Byrne, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa empat dimensi tersebut memiliki aspek yang berbeda, secure mempunyai evaluasi diri persepsi mengenai orang lain yang positif, fearful mempunyai evaluasi diri dan persepsi mengenai orang lain yang negatif, preoccupied mempunyai evaluasi diri yang negatif dan persepsi mengenai

(44)

orang lain yang positif, dan dismissing mempunyai kombinasi evaluasi diri yang positif dan persepsi mengenai orang lain yang negatif.

2.2.3 Pengukuran attachment styles

Peneliti mengadaptasi alat ukur attachment styles yaitu Attachment Styles Questionnaire (ASQ) dari Van-Oudenhoven, Hofstra dan Bakker (dalam Polek,

2008). Alat ukur tersebut didasari dari model attachment styles Bartholomew dan Griffin, yang terdiri dari empat dimensi yaitu dimensi secure, dimensi fearful, dimensi preoccupied, dan dimensi dismissing. Jumlah keseluruhan item yang digunakan yaitu 22 item, dengan menggunakan item jenis favorable dan unfavorable. Item-item dalam skala ini diukur dengan empat poin skala Likert.

2.3 Loneliness

2.3.1 Definisi loneliness

Menurut Peplau dan Perlman (1982), loneliness adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika hubungan sosial seseorang menurun secara kualitas maupun kuantitas. Definisi tersebut memberikan tiga elemen penting tentang bagaimana para peneliti melihat loneliness.

Pertama, loneliness dihasilkan dari kurangnya hubungan sosial seseorang berkurang. Loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang di inginkan dan jenis hubungan sosial yang sudah di miliki. Terkadang, loneliness merupakan hasil dari pergeseran kebutuhan sosial individu bukan dari

perubahan tingkat kontak sosialnya. Kedua, loneliness merupakan pengalaman subjektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana. Ketiga,

(45)

Loneliness merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan (Peplau & Perlman,

1982).

Menurut Peplau, Sears dan Freedman (1988), loneliness merupakan kegelisahan subjektif yang dirasakan pada saat hubungan sosial kehilangan ciri-ciri pentingnya. Loneliness mungkin merupakan kondisi sementara yang dihasilkan dari sebuah perubahan dalam kehidupan sosial seseorang. Menurut Sullivan (dalam Peplau dan Perlman 1982), loneliness merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, yang terhubung dengan pelepasan yang tidak memadai pada kebutuhan untuk memiliki hubungan dekat dengan orang lain.

Menurut Young (dalam Peplau & Perlman, 1982), loneliness adalah ketiadaan hubungan sosial yang memuaskan, hal tersebut disertai dengan gejala tekanan psikologis yang terkait dengan kesepian yang dirasakan. Menurut Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982), loneliness terjadi bukan karena individu tersebut sendiri, tetapi individu tersebut merasa belum memiliki hubungan yang diinginkan atau belum dapat mengatur suatu hubungan tertentu. Loneliness tampaknya selalu menjadi respon terhadap ketidakhadiran hubungan tertentu.

Russell (1978) mengatakan bahwa loneliness merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, yang terkait dengan perasaan kekosongan, kecanggungan, dan kebosanan; seseorang yang kesepian sering merasa depresi, tidak bahagia, kurang puas dengan hubungan sosial, dan merasa kurang berpenampilan menarik daripada orang lain.

Jong-Gierveld (1978) mendefinisikan loneliness sebagai keterlambatan pengalaman antara hubungan interpersonal yang ada dan yang diinginkan sebagai

(46)

hal yang tidak menyenangkan atau ketidakterimaan, terutama ketika individu tersebut merasa tidak mampu untuk mewujudkan hubungan interpersonal yang diinginkan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Gordon (dalam Peplau & Perlman, 1982), loneliness merupakan suatu perasaan kekurangan yang disebabkan oleh kurangya jenis tertentu dalam hubungan manusia; perasaan akan hilangnya seseorang, dan karena seseorang tersebut memiliki harapan-harapan terhadap kekosongan yang dirasakan. Loneliness dapat dicirikan sebagai perasaan akan kekurangan ketika hubungan manusia yang diharapkan tidak hadir.

Sermat (1978) mendefinisikan loneliness sebagai suatu perbedaan pengalaman antara jenis hubungan interpersonal individu dalam memandang dirinya di kondisi saat ini, dan jenis hubungan yang ingin dimiliki, baik dalam pengalaman masa lalu atau beberapa keadaan ideal yang tidak pernah ia alami.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, peneliti mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh Russell (1978), yang mendefinisikan bahwa loneliness merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, yang terkait dengan perasaan kekosongan, kecanggungan, dan kebosanan; seseorang yang kesepian sering merasa depresi, tidak bahagia, kurang puas dengan hubungan sosial, dan merasa kurang berpenampilan menarik daripada orang lain.

2.3.2 Dimensi loneliness

Menurut Russell (1996), loneliness terbagi menjadi tiga bentuk dimensi, yaitu: a. Personality atau kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri seseorang

dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan karakteristik perilaku dan berpikir.

(47)

b. Social Desirability, yaitu kehidupan sosial yang diinginkan seseorang pada kehidupan di lingkungannya.

c. Depression, merupakan salah satu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, dan berpusat pada kegagalan.

Weiss (dalam Peplau & Goldston, 1984) mengemukakan bahwa di dalam perasaan kesepian terdapat dua dimensi, yaitu :

a. Kesepian Emosional (Emotional Loneliness)

Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya hubungan sosial dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung kepada siapapun. Hubungan yang ada kurang memuaskan, atau merasa lingkungan sosial kurang memahaminya.

b. Kesepian Sosial (social loneliness)

Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya teman, saudara atau orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-aktivitas dan kepetingan-kepentingan bisa saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan sosial.

Menurut Young (dalam Peplau & Goldston, 1984) loneliness dapat dibagi menjadi tiga dimensi berdasarkan durasi loneliness yang dialaminya, yaitu:

a. Transient loneliness yakni perasaan loneliness yang singkat dan muncul sesekali, yang banyak dialami oleh seseorang ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Transient loneliness menghabiskan waktu yang singkat,

(48)

seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh.

b. Transitional loneliness yakni ketika seseorang yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi loneliness setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya tersebut (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru). c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika seseorang merasa tidak dapat

memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik.

Berdasarkan penjabaran dimensi-dimensi diatas, peneliti memilih dimensi oleh Russell (1996) yaitu personality, social desirability, dan depression.

2.3.3 Pengukuran loneliness

Alat ukur yang digunakan peneliti untuk mengukur loneliness menggunakan skala baku yang disusun oleh Russell (1996) yaitu UCLA Loneliness Scale versi ketiga. Jumlah keseluruhan item yang digunakan yaitu 20 item, dengan empat pilihan jawaban yaitu “tidak pernah”, “jarang”, “kadang-kadang”, dan “sering”. Item-item dalam skala ini diukur dengan empat poin skala Likert..

2.4 Remaja

Larson (dalam Santrock, 2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Menurut bapak studi ilmiah remaja yaitu Hall (dalam Santrock, 2003), remaja adalah masa antara

(49)

usia 12 sampai 23 tahun dan penuh dengan masa guncangan yang ditandai dengan konflik dan perubahan. Remaja awal berkisar antara usia 12 sampai 15 tahun, remaja madya berkisar antara usia 16 sampai 18 tahun, dan remaja akhir berkisar antara usia 19 sampai 23 tahun.

Remaja menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) berada di tahapan perkembangan tahap identity versus identity confusion. Pada tahap identity versus identity confusion, dikatakan bahwa remaja merupakan masa dimana seseorang

dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan ke mana mereka menuju dalam hidupnya. Remaja bereksperimen dengan sejumlah peran dan identitas yang mereka ambil dari kebudayaan sekitarnya. Kaum muda yang berhasil mengatasi identitas-identitas yang saling bertentangan selama masa remaja ini, muncul dengan suatu kepribadian baru yang menarik dan dapat diterima, sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasi identitas akan mengalami kebingungan, dan kebingungan muncul dalam satu dari dua pilihan: individu menarik diri, memisahkan diri dari teman sebaya dan keluarga; atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok. Erikson (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa masa remaja berkisar antara 10 sampai 20 tahun.

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1980), masa remaja adalah usia di mana seseorang berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan

(50)

dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1980), masa remaja berada di usia 13 sampai 18 tahun. Remaja awal bermula dari usia 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan remaja akhir bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum (dalam Hurlock, 1980).

Pada tahun 1974, WHO atau World Health Organization (dalam Sarwono, 2008) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Maka, secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut, yaitu:

1. Individu yang mulai mengalami perubahan seksual sekunder sampai mengalami kematangan seksual,

2. Individu yang berkembang secara psikologis dan mengidentifikasikan diri menjadi dewasa,

3. Individu yang tadinya tergantung secara sosial ekonomi kemudian menjadi lebih relatif mandiri.

Berdasarkan penjabaran diatas, remaja merupakan suatu periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Batasan usia remaja

(51)

yang digunakan adalah usia remaja secara umum yaitu dari usia 12 tahun sampai 23 tahun (Santrock, 2003).

2.4.1 Perkembangan pada masa remaja

Menurut Santrock (2003) dan Steinberg, Vandell, dan Bonstein (2011), terdapat tiga hal perubahan fundamental yang perlu diketahui dalam perkembangan remaja, yaitu perubahan fisik, kognitif, dan sosioemosional.

2.4.1.1 Perubahan secara fisik

Tanda perkembangan biologis yang paling jelas pada remaja adalah terjadinya perubahan mencakup perkembangan fisik yang dimulai dengan pubertas, yaitu saat remaja mulai aktif dan matang secara seksual dan mampu melakukan reproduksi (Santrock, 2003). Pubertas meliputi semua perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan dan laki-laki dalam melewati masa kanak-kanak sampai dewasa.

Kegiatan seksual remaja berkaitan dengan kejadian pubertas, yaitu saat tubuh remaja mulai berkembang menjadi bentuk dewasa dan fungsi-fungsi reproduksi mulai bekerja karena adanya perubahan hormonal. Gejala dimulai ketika hypothalamus di dalam otak memberikan tanda kepada kelenjar pituitary untuk melepas sejumlah hormon-hormon gonads yang melepaskan hormon androgen dan estrogen ke dalam pembuluh darah. Hormon-hormon tersebut menstimulasi perkembangan seksual dan aspek-aspek lain dalam pertumbuhan fisik (Steinberg, Vandell, & Bonstein, 2011).

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Berfikir .............................................................................
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Tabel 3.1. Blue print skala interaksi parasosial
Tabel 3.2. Blue print skala attachment styles
+7

Referensi

Dokumen terkait