BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ..................................... 73-80
5.2 Diskusi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa attachment styles dan loneliness terbukti berpengaruh signifikan terhadap interaksi parasosial pada penggemar Kpop. Penelitian oleh Cole & Leets (1999) mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa attachment styles berpengaruh secara signifikan terhadap interaksi parasosial. Attachment styles memiliki peran dalam pembentukan interaksi parasosial dengan figur media favoritnya. Menurut Giles dan Maltby (2004), attachment terhadap figur media pada umumnya disebut sebagai interaksi parasosial, yang dimana interaksinya bersifat satu arah dan seseorang tersebut
merasa figur medianya sebagai sosok teman atau kolega. Meskipun interaksi parasosial bersifat satu arah dan imajiner, seseorang tetap merasa bahwa interaksi parasosial sama dengan hubungan sosial sebenarnya.
Begitu juga dengan penelitian oleh Rubin dan Mchugh (1987), yang menyatakan bahwa loneliness memiliki pengaruh terhadap interaksi parasosial. Seseorang yang loneliness memiliki hubungan yang positif dalam membentuk suatu hubungan dengan figur media favoritnya. Hal tersebut yang membuat seseorang yang loneliness akan tertarik untuk berinteraksi parasosial. Interaksi parasosial merupakan salah satu perantara bagi individu yang loneliness untuk tetap menjalin suatu hubungan selayaknya hubungan nyata di kehidupan sehari-hari. Rubin, Perse, dan Powell (1985) mengatakan bahwa interaksi parasosial ini pada awalnya dipandang sebagai suatu hubungan yang tidak nyata atau sebagai pengganti hubungan sosial bagi para orangtua, cacat, dan kesepian (loneliness).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa interaksi parasosial penggemar Kpop terbukti signifikan dipengaruhi oleh tipe kelekatan preoccupied. Artinya, semakin tinggi skor tipe kelekatan preoccupied penggemar Kpop, maka semakin penggemar Kpop tersebut berpeluang untuk membentuk interaksi parasosial dengan figur media favoritnya.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Cole dan Leets (1999), yang menunjukkan bahwa individu dengan tipe kelekatan preoccupied cenderung mengembangkan interaksi parasosial dengan figur media favoritnya untuk memenuhi kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Interaksi parasosial antara individu dengan figur media favoritnya
hanya mencerminkan manifestasi lain dari keinginan individu untuk berhubungan dekat dengan orang lain, bahkan berhubungan dekat dengan figur media. Menurut Greenwood, Pietromonaco, dan Long (dalam Theran, Newberg, & Gleason, 2010), tipe kelekatan preoccupied berhubungan erat dengan interaksi parasosial. Hasil penelitian lain yang didukung oleh hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Laken (2009), yang menyatakan bahwa tipe kelekatan preoccupied telah terbukti menjadi prediktor kuat dalam interaksi parasosial.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tipe kelekatan fearful dan dismissing tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap interaksi parasosial.
Uniknya, hal tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Laken (2009), yang menyatakan bahwa individu yang memiliki tipe kelekatan fearful atau dismissing kemungkinan besar kurang membentuk interaksi parasosial.
Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa tipe kelekatan secure tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap interaksi parasosial. Hal tersebut terjadi dikarenakan variabel secure memiliki pengaruh yang kecil terhadap interaksi parasosial. Hal tersebut juga dapat didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Laken (2009), yang menyatakan bahwa individu dengan tipe kelekatan secure memiliki interaksi parasosial yang kecil.
Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh signifikan dari seluruh dimensi loneliness yaitu personality, social desirability, dan depression terhadap interaksi parasosial. Hasil penelitian ini
ternyata tidak sesuai dengan penilitian terdahulu oleh Dhanda (2011) yang memiliki hasil bahwa loneliness berpengaruh terhadap interaksi parasosial. dan
juga tidak sesuai dengan penelitian oleh Davila-Rosado (2001) yang mengatakan bahwa apabila loneliness meningkat maka interaksi parasosial pun juga akan meningkat, hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya kontak sosial.
Selain itu, hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa loneliness tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap interaksi parasosial ternyata sesuai dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rubin, Perse, dan Powell (1985), bahwa loneliness bukan prediktor yang kuat terhadap interaksi parasosial. Sehingga, hasil penelitian tidak berpengaruh secara signifikan. Penelitian oleh Tsao (dalam Eyal dan Cohen 2006), juga mengatakan bahwa pengaruh loneliness terhadap interaksi parasosial sangat kecil. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang, Fink, dan Cai (2008), yang menyatakan bahwa loneliness bukan prediktor yang kuat terhadap interaksi parasosial. Hal tersebut terjadi dikarenakan individu yang loneliness cenderung mencari orang untuk berinteraksi secara langsung dibandingkan dengan menghabiskan waktu mengkonsumsi media massa.
Beberapa dimensi yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap interaksi parasosial mungkin terjadi dikarenakan beberapa hal. Faktor pertama terjadi terjadi dikarenakan adanya keterbatasan atau kelemahan dalam penelitian. Antara lain partisipan yang kurang serius saat mengisi skala sehinga respons menjadi tidak terpola. Faktor kedua, kondisi serta situasi pada saat sampel penelitian mengisi skala yang tidak kondusif menyebabkan sampel penelitian menjadi tidak konsentrasi dalam memberikan responnya. Faktor ketiga, dikarenakan oleh banyaknya item dan tidak semua item mencakup konsep yang
bisa dimengerti secara jelas oleh sampel penelitian. Faktor kelima, minimnya penelitian terdahulu yang menghubungkan antara variabel attachment styles dan variabel loneliness terhadap variabel interaksi parasosial menyebabkan penelitian ini terbatas secara kajian literatur.
Gambaran umum sampel penelitian dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari 258 sampel penelitian yaitu penggemar Kpop lebih banyak di usia remaja madya (16 – 18 tahun) yaitu sebesar 56%. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan tempat dalam menyebarkan kuesioner penelitian, sehingga hasil terbanyak yang didapatkan yaitu remaja madya.
Gambaran umum sampel penelitian yang kedua adalah durasi para penggemar Kpop dalam mengkonsumsi berbagai macam hal-hal yang berkaitan dengan figur media favoritnya dalam waktu 24 jam atau sehari, ternyata lebih banyak di kategori 0-8 jam yaitu sebesar 59%. Dalam Jannah (2014), remaja penggemar Kpop yang cenderung menghabiskan waktunya untuk mengkonsumsi Kpop ternyata memiliki dampak negatif secara psikologis. Dampak negatif
tersebut membuat remaja lupa waktu karena keasyikan menonton acara Kpop seperti, video Kpop ataupun acara televisi (variety show) yang menampilkan artis-artis Kpop. Hal ini membuat remaja menjadi malas untuk melakukan kegiatan lain karena remaja keasyikan menonton youtube, televisi yang menayangkan figur media favoritnya. Selain itu, figur Kpop juga sangat mempengaruhi perilaku remaja, remaja menjadikan figur Kpop sebagai idola dan model yang mempengaruhi penampilan dan perilaku remaja sehari-hari.
Gambaran umum sampel penelitian yang ketiga adalah ketertarikan penggemar akan Kpop lebih ditunjukkan dalam aktivitas mengikuti perkembangan figur media favoritnya melalui social media yaitu sebesar 42%. Persentase aktivitas penggemar Kpop terbanyak dalam mengikuti informasi terbaru dan perkembangan figur media favoritnya melalui social media wajar terjadi pada penggemar Kpop di Indonesia. Hal tersebut terjadi dikarenakan jauhnya lokasi antara para penggemar dengan figur media favoritnya dan menjadikan para penggemar untuk menggunakan social media, karena informasi yang didapatkan melalui social media selalu informasi yang paling terbaru dibandingkan dengan informasi di media lain seperti televisi, radio, dan majalah. Social media menjadi salah satu kategori yang paling populer untuk mengkonsumsi Kpop di kalangan penggemar di Indonesia dan di tempat lain (Jung, 2011). Dalam penelitian Stever dan Kevin (2013), juga dikatakan bahwa social media memberikan pengaruh terhadap perkembangan seseorang secara psikologis.
Selain itu, ketertarikan remaja terhadap Kpop ikut dipengaruhi oleh kelompok teman sebayanya, yang ditandai dengan attachment yang kuat dan hubungan yang dekat. Ketika kelompok teman sebaya remaja menunjukkan ketertarikan pada figur media, remaja akan cenderung mengikuti kelompok teman sebayanya agar bisa memenuhi fungsi sosialnya. Hubungan ini cenderung mempengaruhi remaja dalam pengembangan interaksi parasosial dengan figur media (Giles & Maltby, 2004).
Pada penelitian ini ternyata pengaruh keseluruhan independent variable (attachment styles dan loneliness) terhadap dependent variable (interaksi
parasosial) hanya 9.5%. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak hal lain di luar penelitian ini yang ikut mempengaruhi interaksi parasosial. Yang demikian ini bisa terjadi karena dalam penelitian ini hanya diteliti dua independent variable saja, sehingga variabel lain yang mungkin ikut berpengaruh tidak ikut diteliti.