• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYAKIT HIV/AIDS PADA ANAK. Nur Faizah Romadona

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYAKIT HIV/AIDS PADA ANAK. Nur Faizah Romadona"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu

PENYAKIT HIV/AIDS PADA ANAK Nur Faizah Romadona

Abstract. Every year, around 400.000 children are born with HIV in the world. At the end of 2010 there are 1.119 children living with HIV / AIDS in Indonesia, which means an increasing up to 700% in the last six years. The transmission of HIV in children mainly occurs due to vertical transmission from mothers who have HIV to her baby, during pregnancy, delivery and breastfeeding, and transmission through blood transfusion. Diagnosis in infants using virologic testing, but the diagnosis must usually wait until the child is 18 months old, due to maternal antibodies inborn that can affect test results. Treatment for children with HIV/AIDS include the provision of Anti Retroviral (ARV), supporting (vitamins), and treatment of opportunistic infections. Prevention of HIV transmission in children according to the WHO through four strategies, namely prevention of HIV infection in women of childbearing age, preventing unplanned pregnancies in women with HIV, preventing HIV transmission from pregnant HIV-infected mothers to her child (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV) and provide support, services and continuous care for people with HIV. The elimination of HIV mother-to-child transmission is one of the Millennium Development Goals on mother-to-child, maternal health and HIV/AIDS by 2015.

Keywords: HIV, AIDS, young children A. PENDAHULUAN

Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquaired Immune Deficiency Syndrome) di dunia maupun di Indonesia, baik pada orang dewasa maupun anak semakin meningkat jumlahnya setiap tahun. Diduga jumlah kasus HIV/AIDS ini menyerupai fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari jumlah kasus yang sebenarnya (Gemari, 2010). Penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia. Hal ini karena pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak (penularan vertical). Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak penderita HIV/AIDS mencapai 1.119 orang, dengan jumlah penderita dibawah lima tahun dilaporkan mencapai 514 anak (Depkes, 2011). Dilaporkan juga sebanyak 34 anak usia bawah lima tahun (balita) di propinsi Papua positif mengidap infeksi HIV(Judarwanto, 2010).

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sementara jumlah pekerja seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk ke dalam keluarga dan masyarakat umum (KPA, 2010).

Semakin tingginya jumlah penderita penyakit ini di Indonesia, selain membebani pembiayaan sistem kesehatan juga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tak sedikit karena sebagian besar penderita berada dalam usia produktif (20-39 tahun). Hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia sehingga mengakibatkan berkurangnya daya saing bangsa dalam percaturan global dunia. Makin bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS terutama pada anak dan wanita menyebabkan terancamnya Millenium Developmental Goals 2015 (4,5, dan 6) (Syafrawati, 2006).

(2)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu B. PEMBAHASAN

1. Penyakit HIV/AIDS, Sejarah dan Virus Penyebab

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker. Meskipun penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum bisa disembuhkan.

Kasus AIDS dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun pada tahun 1987 di Bali yang mengenai seorang wisatawan Belanda (Kurniasih dkk, 2006). Sejak saat itu HIV/AIDS dilaporkan muncul hampir di semua provinsi di Indonesia kecuali Sulawesi Barat (Depkes, 2011).

HIV adalah bagian dari keluarga atau kelompok virus lentivirus. Hingga saat ini spesies HIV yang diketahui dapat menginfeksi manusia ada dua yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh manusia dibandingkan HIV-2. HIV-1 adalah penyebab dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sedangkan kasus HIV-2 kebanyakan dijumpai di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse (Pan troglodytes troglodytes) yang ditemukan di Kamerun selatan, sedangkan HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun. Penularan virus dari hewan kepada manusia dikenal dengan zoonosis.

Virus HIV umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, persalinan, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

2. Prevalensi Penyakit HIV/AIDS

Jumlah penderita penyakit HIV mencapai 38,6 juta orang di seluruh dunia, sedangkan jumlah penderita HIV positif mencapai 44.292 orang di Indonesia dan penderita AIDS mencapai 24.482 orang yang berasal dari 32 provinsi serta 300 kota/kabupaten di tanah air (Depkes, 2011; Gemari: 2010). Perempuan penderita HIV/AIDS di Indonesia, hingga Desember 2008 tercatat sebanyak 22.125 orang, dan sebanyak 91,77% berada dalam usia reproduksi (15-49 tahun) (Ilhamy, 2008). Penelitian dari tahun 1999-2009 oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional terhadap 2800 pasien HIV/AIDS perempuan terungkap sebanyak 80% adalah ibu rumah tangga (Gemari, 2010).

Setiap tahun sekitar 400.000 anak terlahir dengan terinfeksi HIV. Saat ini jumlah anak (usia di bawah 15 tahun) penderita HIV/AIDS di Indonesia meningkat hampir 700% dalam kurun enam tahun terakhir. Pada Januari 2004 jumlah anak penderita HIV/AIDS diketahui sebanyak 158, kemudian pada Desember 2009 diketahui jumlah penderita sudah meningkat sebanyak 691, dan pada Desember 2010 jumlahnya sudah menjadi 1.119 anak. Kasus penularan HIV pada anak paling sering disebabkan akibat transmisi dari ibu yang mengidap HIV kepada anaknya (Gemari, 2010).

3. Proses Penyakit dalam Tubuh (Patofisiologi)

Virus HIV1 terutama menuju sel limfosit (CD4+) dan sel monosit atau makrofag. Setelah sel terinfeksi virus, maka RNA sampul dari virus terlepas dan membentuk DNA transkrip rangkap dua, yang kemudian ditransfer ke sel DNA host, dan terjadilah perusakan sistem imunologi baik selular maupun humoral. Kemudian bersama sitokin yang dipengaruhi akan mempengaruhi fungsi makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Perusakan sel B mengakibatkan antibody skeunder

(3)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu

menjadi lemah dan respon vaksinasi memburuk. Sel mediated juga mengalami kerusakan sehingga infeksi oportunis mudah terjadi seperti jamur, pneumonia pneumokistik carinii, diare kronik, dan sebagainya. Virus juga dapat menginvasi sel syaraf otak sehingga terjadi atrofi otak (Indarso dkk, 2005).

Pada saat limfosit yang terinfeksi menjadi aktif misal saat infeksi berulang, maka terjadilah apoptosis dan lisis sel host. Karena CD4+ limfosit merupakan respon imun yang penting terhadap keadaan zat-zat pathogen, apabila jumlah CD4+ dibawah 200 /mm3 maka tubuh menjadi rentan terhadap infeksi oportunis atau keganasan. Pada awal infeksi, virus menyerang sel dan terjadilah perbanyakan virus sehingga terjadi viremia (adanya virus dalam darah). Saat respon imun host terangsang, viremia menghilang, dan 80% penderita asimptomatik (tanpa gejala), dan hanya 20% sisanya yang mengalami penyalit progresif. Pada penderita asimptomatik, proses penyakit berkisar selama 10 tahun, dan dengan adanya infeksi oportunis (AIDS) proses berlangsung sekitar 5 tahun (Indarso dkk, 2005).

4. Gejala dan Tanda Penyakit HIV/AIDS pada Anak

Gejala dan tanda umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, demam lama atau sering mengalami infeksi, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus, berat badan terus turun, dan gangguan sistem serta fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama.

5. Diagnosis HIV pada anak

Diagnosis ditegakkan anamnesa (persangkaan), pemeriksaan fisik berdasarkan klasifikasi klinis (CDC revisi 1994), pemeriksaan laboratorium (tes serologi bagi bayi usia lebih dari 18 bulan atau persangkaan virus dalam darah bagi bayi usia kurang dari 18 bulan, dan kadar CD4+.

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Infeksi HIV pada anak: kategori klinis (CDC revisi 1994) 1. Kategori N (Tanpa Gejala)

Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A.

2. Kategori A (gejala klinis ringan)

Terdapat dua atau lebih berikut tanpa gejala kategori B atau C

a. Limfadenopati (=0,5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap satu tempat) b. Hepatomegali

c. Splenomegali d. Dermatitis e. Parotitis

f. ISPA, sinusitis, atau otitis media berulang atau menetap 3. Kategori B (Gejala Klinis Sedang)

Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C

a. Anemia (< 8 g/dl), neutropenia (<1000/mm3), atau trombositopenia (< 100.000/mm3) menetap = 30 hari.

b. Meningitis bakteriil, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal) c. Kandidiasis orofarings menetap > 2 bulan pada anak usia >6 bulan d. Kardiomiopati

e. Infeksi sitomegalovirus dengan onset < 1 bulan f. Diare berulang atau kronik

g. Hepatitis

h. Stomatitis Herpes simpleks berulang (> 2 episode dalam setahun) i. Bronkhitis, pneumonitis atau esofagitis HSV dengan onset usia < 1 tahun j. Herpes Zooster paling sedikit dua episode berbeda atau > 1 dermatom k. Leiomiosarkoma

(4)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu m. Nefropati

n. Nokardiosis o. Demam > 1 bulan

p. Toksoplasmosis dengan onset < 1 bulan

q. Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi) 4. Kategori C (Gejala Klinis Berat)

Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstitial limfoid yang masuk kategori B

Pemeriksaan standar HIV yaitu Enzyme-Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) dan analisa Western untuk mengetahui adanya antibodi immunoglobulin. Imunoglobulin G (IgG) tidak dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini karena karena masih ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, yang terkadang hingga usia 24 bulan. Namun IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada darah bayi. Namun sensitifitas kedua pemeriksaan tersebut masih sangat rendah sehingga jarang diapakai sebagai alat diagnosis.

Pemeriksaan bagi anak di bawah usia 18 bulan menggunakan uji virologik yaitu pemeriksaan kultur HIV dan tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV (viral load). Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan kultur yang berbeda, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif.Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapat dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2 bulan. Darah tali pusat tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan HIV. Jika PCR kultur virus adalah positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang usia 4 bulan. Pemeriksaan lainnya harus dimajukan sebelum usia 4 bulan bila timbul gejala infeksi pada bayi. Atau bila pemeriksaan hematologi atau imunologi menunjang adanya infeksi HIV.

Diagnostik terakhir berdasarkan jumlah CD4+. Jumlah normal CD4+ pada anak berkisar 2500-3500/ml.

Diagnosis berdasarkan kategori imunologi (umur, persentase CD4+ dan kadar CD4+).

Tabel 2. Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori status imunosupresi berdasarkan jumlah dan persentase sel T CD4+ menurut usia (CDC revisi 1994)

USIA <12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun

Status Imun Jml/mm3 % Jml/mm3 % Jml/mm3 %

Kategori 1 Tidak Ada Supresi

=1500 =25% =1000 =25% =500 =25%

Kategori 2. Supresi Sedang

750-1499 15-24% 500-999 15-24% 200-499 15-24% Kategori 3. Supresi Berat <750 <15% <500 <15% <200 <15% 6. Penanganan Penyakit HIV/AIDS pada Anak

Penanganan pada bayi dan anak yaitu

a. Memberikan obat anti retrovirus (ART: Anti Retroviral Therapy).  Pada bayi baru lahir:

Pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV dilakukan pada usia 1,2,4,6,18 bulan. Bila hasilnya positif dua kali berturut-turut selang satu bulan, maka segera berikan ART.

 Pada Anak, bila usia lebih dari 18 ulan lakukan tes antibody HIV. Bila hasil positif, pemberian ART berdasarkan ada tidak gejala klinis dan status imun (lihat tabel 3). b. Tidak memberikan ASI karena resiko penularan. Namun bila pemberian susu formula

(5)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu

atau keterbatasan kesediaan susu formula oleh keluarga, dapat disarankan: ASI eksklusif dengan ASI perah (memeras ASI kemudian dihangatkan) atau menggunakan ibu susuan yang HIV negatif (wet nursing), dan dilanjutkan makanan padat setelah usia 6 bulan. c. Pemberian Imunisasi rutin tetap dilakukan, kecuali bayi mengalami infeksi berat

hendaknya tidak diberikan vaksin hidup Polio dan BCG, kemudian bayi dirujuk ke Tim BIHA (Bayi dengan HIV/AIDS)

Tabel 3. Indikasi dan Rekomendasi Pengobatan Anti retrovirus pada Anak (Indarso dkk, 2005)

B. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk memulai ART pada anak dengan diagnosis infeksi HIV asimptomatik dan status imun normal:

1. Jumlah kopi RNA HIV tinggi atau meningkat 2. Jumlah atau rasio CD4+ cepat menurun 3. Perkembangan gejala klinis cepat

C. Rekomendasi utama antiretrovirus inisial pada anak

1. Satu Inhibitor protease sangat aktif (nelvinavir atau ritonavir) dan dua NRTI 2. NNRTI (efavirenz) dan dua NRTI untuk anak > 3 tahun

3. Dua NRTI dan Nevirapin (NVP)

7. Strategi Pencegahan Penyakit HIV/AIDS pada Anak

Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui empat strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya (Prevention of Mother To Chid HIV Transmission) dan memberikan dukungan, layanan serta perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV.

8. Penularan Ibu pengidap HIV/AIDS kepada bayinya dan Strategi Pencegahan.

Penularan dari ibu yang terinfeksi HIV/AIDS kepada anaknya disebut dengan transmisi atau penularan vertikal. Penularan terjadi selama kehamilan (in-utero), saat persalinan, atau melalui ASI. Tanpa intervensi, resiko penularan dari ibu kepada bayinya adalah: selama kehamilan 5-10%, selama persalinan 10-20%, dan saat menyusui sebanyak 10-15%, sehingga total resiko penularan vertical adalah 45-50%.

PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV) adalah suatu program intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya. PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar ((90%) terjadi secara vertikal, dan hanya hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi HIV/AIDS pada anak akan mengganggu kesehatan anak, membebani keuangan keluarga, dan mengurangi kualitas generasi penerus bangsa. Intervensi PMTCT ini mudah dilaksanakan, memungkinkan pencegahan primer kepada pasangan pengidap, A. Indikasi Pengobatan Anti Retrovirus pada Anak:

1. Diagnosis infeksi HIV (+)

2. Gejala Klinis Kategori ABC (Tabel 2) 3. Imunosupresi kategori 2 atau 3 (Tabel 3)

4. Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) kurang dari 12 bulan 5. Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis dan status imun normal

• Opsi 1 berikan terapi antiretrovirus

• Opsi 2 berikan terapi antiretrovirus bila resiko progresivitas tinggi, namun bila resiko rendah pemberian ART ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas dan virology untuk melihat perubahan resiko progresivitas

(6)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu

dan memungkinkan perawatan dan pengobatan dini oleh keluarga. Dengan intervensi PMTCT, resiko penularan vertikal dapat dikurangi hingga 50% (Ilhamy, 2008).

Konsep dasar intervensi PMTCT adalah:

1. Mengurangi jumlah ibu hamil pengidap HIV/AIDS. Upaya ini bertujuan :

a. Mencegah tertularnya penyakit HIV/AIDS pada seluruh wanita usia reproduksi.

b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita usia reproduksi yang mengidap HIV.

Sebelum seorang ibu dengan HIV memutuskan untuk hamil, hendaknya melalui diskusi yang intens dengan pasangan, mendapat dukungan keluarga, dan diijinkan dokter. Ibu akan mendapat konseling mengenai kemungkinan resiko penularan pada janin, mendapat pengobatan ARV (anti retrovirus theraphy) dan pemantauan teratur dari dokter. Dokter biasanya akan mengijinkan seoarng ibu dengan HIV untuk hamil dengan syarat: bila kadar CD4 > 500, tidak terdeteksi virus (viral load) dalam darah ibu, dan ibu minum ART secara teratur sebelum dan selama kehamilan.

2. Turunkan viral load (jumlah virus dalam tubuh pengidap) serendah-rendahnya. Upaya yang dilakukan untuk menurunkan viral load adalah:

a. Minun ARV secara teratur (bagi ibu usia subur yang tidak hamil)

b. Minum ARV profilaksis (pencegahan), bagi ibu dengan HIV positif yang hamil.

Pada 2008, 45% ibu hamil yang HIV-positif menerima ART untuk mencegah penularan virus kepada bayinya. Sementara jumlah ibu yang terjangkau hampir dua kali lipat sejak 2006, hanya 21% di antaranya yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, menjalani tes HIV pada 2008

3. Meminimalkan paparan janin/bayi dengan cairan tubuh ibu yang mengidap HIV posistif. Upaya yang dilakukan adalah:

a. Selama kehamilan: Memberi ARV profilaksis pada ibu hamil denga HIV positif.

b. Selama Persalinan: disarankan secara secsio cesarean (operasi) atau bisa pervaginam dengan syarat tanpa trauma kepada ibu dan janin.

c. Menyusui (laktasi):

• Memberi susu formula eksklusif bila bayi tumbuh sehat tanpa ASI

• ASI eksklusif selama 6 bulan, bila bayi mengalami gangguan tumbuh kembang bila menggunakan ASI formula

4. Optimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif. Upaya yang dapat dilakukan:

• Minum roboransia (penunjang kesehatan misal: vitamin)

• Ibu menjalani pola hidup sehat: cukup gizi, cukup istirahat, cukup olahraga, tidak merokok, dan tidak minum alkohol.

• Menggunakan kondom, untuk mencegah infeksi baru (bila pasangannya tidak menderita HIV/AIDS), atau mencegah superinfeksi (bila pasangannya menderita HIV/AIDS).

Kegiatan komprehensif PMTCT adalah:

1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi. Menggunakan idiom ABCD (Abstinensia, Be Faithful, Condom, Drug No) 2. Mencegah kehamilan yang tidak dierncanakan pada ibu dengan HIV positif. Karena adanya resiko MTCT, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak disarankan hamil. Adapun pilihan kontrasepsi bagi perempuan dengan HIV positif:

• Suntik dan implant: bukan kontraindikasi

• Vasektomi dan Tubektomi: bila tidak ingin punya anak lagi. • Spons dan diafragma: kurang efektif

(7)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu • AKDR (IUD) : tidak dianjurkan karena adanya resiko perdarahan

• Kondom: sangat dianjurkan (pilihan utama) karena bersifat dual protection (mencegah kehamilan dan mencegah penularan HIV)

3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV positif kepada bayi yang dikandungnya.

Merupakan inti dari PMTCT, intervensi berupa:

• Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif. • Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT). • Pemberian obat retrovirus (ART).

• Konseling mengenai HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi. • Persalinan yang aman.

4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi & keluarganya

• Isu yang mungkin dihadapi ibu dengan HIV positif:  Kepatuhan minum obat ARV

 Biaya untuk pemeriksaan laboratorium setiap 3 bulan  Biaya untuk membeli ARV

• Isu yang mungkin dihadapi anak:

 Menjadi yatim piatu pada usia yang lebih dini

 Biaya pemeliharaan kesehatan lebih besar daripada anak bukan penderita HIV positif.

Dalam upaya agar ibu, anak dan remaja memiliki kesempatan hidup dan bertumbuh sehat di dunia yang bebas AIDS, UNICEF telah menyusun sepuluh prioritas, yaitu (Unite for Children, 2009):

1) Mempercepat peningkatan layanan PMTCT dan diagnosis bayi lebih dini untuk mendorong pemberantasan penularan HIV pada anak.

2) Secara terus-menerus mencari bukti baru untuk informasi mengenai pencegahan HIV. 3) Dukungan dan pemberdayaan remaja, khususnya remaja putri, agar dapat menentukan dan

tanggap terhadap kerentanan mereka.

4) Melindungi hak remaja dan anak muda yang hidup dengan HIV untuk mendapatkan dukungan dan layanan yang bermutu.

5) Memastikan agar remaja yang paling berisiko terjangkau oleh program pencegahan, pengobatan, layanan perawatan dan dukungan HIV.

6) Menolak kekerasan seksual terhadap remaja putri dan para ibu.

7) Peningkatan perlindungan sosial yang peka terhadap masalah anak, bagian penting pada tanggapan bagi anak yang terdampak oleh AIDS.

8) Memperkuat kapasitas komunitas untuk menanggapi kebutuhan anak yang terdampak oleh AIDS dengan mencegah pemisahan keluarga dan meningkatkan mutu perawatan alternatif. 9) Memperkuat seluruh sistem agar manfaat yang diperoleh pada perempuan dan anak

terdampak oleh AIDS dapat diperluas dan dipertahankan.

10) Memperbaiki pengumpulan dan analisis data untuk mencapai hasil bagi anak, dan menemukan celah ketidakseimbangan jangkauan dan akses pada layanan.

C. KESIMPULAN

Semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS pada anak baik di dunia maupun di Indonesia hendaknya menjadi perhatian semua kalangan, karena dapat menyebabkan gagalnya program Millenium Developmental Goals 2015 bidang kesehatan yang dicanangkan oleh PBB. HIV/AIDS pada anak sebagian besar (90%) terjadi melalui penularan vertikal dari ibu kepada bayinya, sehingga pencegahan transmisi dari ibu hamil dengan HIV positif menjadi sangat vital. Upaya pencegahan transmisi vertikal ini disebut dengan PMTCT (Prevention of Mother To Child

(8)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Visit Our website at: perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu

Transmission of HIV). Diharapkan melalui program PMTCT angka kasus HIV/AIDS pada anak dapat diturunkan. Diperlukan dukungan semua pihak, terutama keluarga dan lingkungan untuk membantu suksesnya program PMTCT ini.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes (2011). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. (Online). Akses: http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf (diunduh 10 Juni 2011).

Judarwanto, W. (2009). Manifestasi klinis HIV pada anak (Online). Akses:

http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/01/13/aidshiv-aids-pada-anak-indonesia/ (diunduh 10 Juni 2010)

Indarso, F., Harianto, A. Etika, R., Utomo, MT,. Damanik, S.M. (2005). Pengelolaan Bayi Baru Lahir dengan Ibu HIV. Naskah Lengkap Continuing Education XXXV, Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV, Hot Topic In Pediatrics. Surabaya: UNAIR.

Ilhamy, M. (2008). Stadium Klinis Infeksi HIV. (Online). Akses: www.kesehatanibu.depkes.go.id/unduh/slide_presentasi/Stadium.ppt (diunduh 15 Juni 2011).

Ilhamy, M. (2008). Pencegahan Penularan HIV pada perempuan, bayi, dan anak. (Online). Akses: www.kesehatanibu.depkes.go.id/unduh/slide_presentasi/Modul02.ppt (Diunduh 15 Juni 2011).

Kurniasih, N., Manullang, E., Wardah, Anam, MS, Istiqomah. (2006). Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta: Depkes RI.

NN. (2010). Adakah Obat untuk HIV(Online). Akses: http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/perawatan (Diunduh 25 Juni 2011)

NN (2007). Anak dan HIV (Online). Akses: http://www.odhaindonesia.org/content/anak-dan-hiv (diunduh 20 Juni 2011)

NN (2010). HIV/AIDS mengancam anak bangsa. Majalah Gemari: 119(IX).

Syafrawati (2006). Pencapaian MDGs bidang Kesehatan di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, I (1) 1:4.

World Health Organization (2010). Antiretroviral Therapy for HIV infection in infants and Children: Towards Universal Access. Genewa: WHO.

Unite against AIDS. (2009). Children and AIDS: The fourth stocktaking report. UNICEF

Gambar

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Infeksi HIV pada anak: kategori klinis (CDC revisi 1994)  1
Tabel  2.  Sistem  klasifikasi  infeksi  HIV  pada  anak:  kategori  status  imunosupresi  berdasarkan  jumlah dan persentase sel T CD4 +   menurut usia (CDC revisi 1994)
Tabel 3. Indikasi dan Rekomendasi Pengobatan Anti retrovirus pada Anak (Indarso dkk, 2005)

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bahan baku industri pangan, kosmetik, dan bioetanol, tantangan dalam pengembangan iles-iles di Indonesia ialah bagaimana mendapatkan dan merakit varietas unggul

Penelitian yang berjudul PERKEMBANGAN CV DAYA CIPTA DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI DESA PASIR WETAN KECAMATAN KARANG LEWAS 1985-2010

Arahan Kerja Penawaran Biasiswa/Bantuan Kewangan Dalaman Pengajian Siswazah (UPM/PU/S/AK05/01).. Pemohon/Pelajar 5.3 Lengkapkan borang permohonan

Unit kompetensi ini berlaku untuk menyiapkan operasi proses pemindahan gambar pada flat screen atau rotary screen secara manual atau dengan alat exposure,

Dengan adanya anak terlantar membuktikan bahwa ketidakberfungsian keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar anak.Masalah kesejahteraan anak merupakan salah satu masalah

Korelasi yang positif dan signifikan antara antara kesejahteraan guru dengan motivasi kerja dalam pelaksanaan proses pembelajaran di SMA Negeri 1 Pollung dapat dipahami

Pra Produksi merupakan elemen kerja terpenting dalam pembuatan Film Dokumenter, karna pada proses inilah yang menentukan sukses atau tidaknya produksi film

Efektifitas pengaruh pemberian ekstrak bawang putih untuk pengobatan ikan patin (Clarias sp.) yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila.. PKM Penulisan Ilmiah,