• Tidak ada hasil yang ditemukan

BASE LINE STUDY WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BASE LINE STUDY WAKATOBI SULAWESI TENGGARA"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

NATIONAL CRITC

C

C

R

R

I

I

T

T

C

C

R

R

E

E

P

P

O

O

R

R

T

T

BASE LINE STUDY WAKATOBI

SULAWESI TENGGARA

DESEMBER 2001

COREMAP

CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM

Jl.Raden Saleh No. 43 Jakarta 10330

Telp. (021) 3143080 Fax. (021) 3143082

(2)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh Laut Banda dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau

Tomia dan pulau Binongko. Semula gugusan pulau ini dikenal dengan nama kepulauan Tukang Besi,

karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya.

Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’ – 124°45’00’’ Bujur Timur dan

05°15’00’’ – 06°10’00’’ Lintang Selatan. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Keempat pulau tersebut relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil.

Secara administratif kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kepulauan Wakatobi terdiri dari empat pulau besar, yaitu Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Luas masing-masing pulau berturut-turut adalah sebagai berikut : pulau Wangi-wangi 156,5 km2; Kaledupa 64,8 km2; Tomia 52,4 km2 dan Binongko 98,7 km2. Kawasan Wakatobi telah ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan tersebut memiliki luas 1.390.000 hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu : Zona Inti, Zona Pelindung, Zona Pemanfaatan, Zona Pemanfaatan Tradisional dan Zona Rehabilitasi.

Dalam rangka mempersiapkan desain COREMAP tahap kedua Taman Nasional Laut Wakatobi telah dipilih oleh Pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai lokasi COREMAP fase II. Oleh karena itu diperlukan informasi dasar tentang keadaan lokasi tersebut yang telah dilakukan dalam kegiatan baseline studi ini. Adapun tujuan baseline studi ini adalah mengumpulkan data-data dasar mengenai kondisi karang, ikan, lamun serta kondisi lingkungan perairan setempat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk penyusunan desain fase II COREMAP-LIPI.

Pemetaan

Hasil citra diketahui bahwa luas terumbu karang di kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomea, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa

(3)

mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer.

Karang

Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50 meter -1,5 km untuk terumbu karang tepi. Rataan terumbu mempunyai moat dan reef rampart di tepi tubir. Kondisi tubir hampir semuanya dengan reef slope yang curam. Karang yang tumbuh di rataan terumbu umumnya didominansi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea rectiformis. Lereng terumbu atas umumnya didominasi oleh Acropora spp dan lereng terumbu tengah pada kedalaman sekitar 20 meter didominasi oleh karang Acropora hyacinthus, Echinopora spp. Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40 meter.

Hasil RRA menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau Wangi-wangi (2,7%/reef top; 28,7%/reef edge) relatif lebih jelek dibandingkan dengan Pulau Kaledupa (7,7%/reef top; 37,8%/reef edge), Pulau Tomia (32,3%/reef edge), Pulau Lintea (2,4%/reef top; 22,3%/reef edge) dan Atol Kaledupa (23,3%/reef top; 19%/reef edge). Analisis Bentic Life Form menunjukkan bahwa peresentase tutupan karang hidup di Pulau Kaledupa 49,59%, Pulau Lintea 43,96%, Pulau Tomia 42,71% dan Atol Kaledupa 37,57%. Secara keseluruhan, diketahui bahwa persentase tutupan karang hidup di daerah Reef Edge relatif masih lebih baik bila dibandingkan dengan di daerah Reef Top, kecuali di Atol Kaledupa.

Selama pengamatan, dijumpai 238 jenis karang batu dari 71 marga di Atol Kaledupa, 174 jenis dari 64 marga di pulau Kaledupa, 163 jenis dari 64 marga di pulau Lintea, 146 jenis dari 56 marga di pulau Tomia dan 131 jenis dari 55 marga di pulau Wangi-wangi.

Ikan Karang

Pengamatan dengan metoda RRA di perairan Wakatobi mencatat sejumlah 3117 individu ikan dari rataan terumbu (reef top) dan 20597 individu ikan dari lereng terumbu (reef edge) yang terdiri dari 39 suku, 105 marga dan 326 jenis. Dari rataan terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di P. Kaledupa (97 jenis) diikuti berturut-turut oleh P. Wangi-Wangi (83 jenis), P. Tomia (73 jenis) dan Atol Kaledupa (57 jenis). Sedangkan dari lereng terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di Atol Kaledupa (182 jenis), diikuti oleh P. Wangi-Wangi (177 jenis), P. Kaledupa (150 jenis) dan P. Tomia (117 jenis).

Berdasarkan kategori ikan, kekayaan jenis tertinggi untuk kelompok ikan major dimiliki oleh marga Pomacentridae dengan 61 jenis, ikan target ditempati oleh marga Serranidae (kelompok kerapu) sedangkan ikan indikator tercatat sebanyak 4 jenis. Kelimpahan ikan tertinggi untuk RRA di rataan terumbu ditempati oleh D. aruanus (Pomacentridae) dari kategori ikan major dengan 315 individu. Di

(4)

lereng terumbu, kelimpahan tertinggi diduduki oleh Cesio caerulaurea (Caesionidae) dari kelompok ikan target dengan 3365 individu.

Dari hasil pengamatan ikan karang dengan metoda LIT di perairan Wakatobi (Atol Kaledupa, P. Kaledupa dan Selat Tomia) diperoleh sebanyak 23678 individu yang terdiri dari 40 suku, 111 marga dan 320 jenis. Dari ikan yang diperoleh, tercatat 25 marga adalah ikan major, 14 marga merupakan ikan target, dan 1 marga merupakan ikan indikator. Berdasarkan jumlah jenis tertinggi untuk kategori ikan major adalah marga Pomacentridae dengan 55 jenis ikan; kategori ikan target marga Serranidae dengan 21 jenis dan untuk ikan indikator tercatat 30 jenis ikan. Kelimpahan ikan tertinggi untuk LIT ditempati oleh Chromis ternatensis (Pomacentridae) dengan 1874 ekor (ikan target).

Ikan indikator masih banyak dijumpai di perairan Wakatobi. Demikian pula dengan ikan target yang bernilai ekonomis penting. Selain itu ikan komersial lainnya seperti ikan Napoleon masih banyak dijumpai.

Lamun

Hasil pengamatan lamun di Wakatobi mencatat 9 jenis lamun yaitu : Haludule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Sebaran jenis lamun umumnya merata disetiap lokasi pengamatan. Kekayaan jenis lamun yang ada di Wakatobi tergolong tinggi jika dibandingkan dengan kehadiran lamun di Indonesia yaitu 12 jenis. Secara umum padang lamun didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66% + 9,7%, kerapatan 738 + 100 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 + 43,92 gram berat kering/m2.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa padang lamun umumnya homogen dan dapat digolongkan pada tipe padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Vegetasi dari padang lamun pada lokasi-lokasi yang diteliti pada umumnya adalah tipe tunggal Thalassodendron ciliatum , dan tipe campuran dengan kombinasi antara E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis serta Thalassodendron ciliatum dan T. hemprichii.

Kualitas Air

Kualitas air di perairan Wakatobi tergolong masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia (limbah rumah tangga, pelabuhan, wisata). Kadar oksigen terlarut di seluruh perairan berkisar antara 5,28 - 7,59 ppm (6,40 ±0,48 ppm). Kadar nitrat berkisar antara < 1,00 - 22,46 ppb (2,00 ±3,55 ppb),sedangkan kadar nitrit berkisar antara < 1,00 - 4,20 ppb (0,66 ±1,28 ppb). Kadar fosfat berkisar antara 1,57 - 12,11 ppb (4,82 ±2,42 ppb). Kadar TSS berkisar antara

(5)

2,76 – 5,02 ppm (3,81±0,49 ppm). Salinitas dan pH permukaan di perairan TN Wakatobi berkisar antara 34,5 - 35,0 %o dan 8,01 – 8,50.

Oseanografi

Suhu permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 – 28,73oC. Nilai salinitas pada permukaan (2

m) berkisar antara 34,15 – 34,34 psu. Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan Wakatobi berkisar antara 70,8 – 86,1 %. Nilai kekeruhan (turbiditas) sangat rendah yaitu < 1 NTU. Intensitas matahari mampu menembus sampai kedalaman antara 55 meter hingga 122 meter. Kecepatan arus pada kedalaman 13 meter berkisar antara 25 – 43 meter/detik.

(6)

PENGANTAR

Dalam rangka mempersiapkan COREMAP fase II, maka Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara memilih Kepulauan Taman Nasional Wakatobi sebagai lokasi COREMAP fase II. Sebagai tindak lanjutnya, maka CRITC-Nasional melakukan baseline studi ekologi di daerah tersebut. Pada baseline studi ini data-data yang dikumpulkan adalah data karang, ikan karang, lamun, kualitas air serta beberapa parameter oseanografi. Metode pengumpulan data telah disepakati bersama dalam pertemuan yang diadakan pada bulan Agustus 2001. Salah satunya adalah menggunakan Rapid Reef Resources Assessment dan Line Intercept Transect untuk melihat kondisi karang, ikan karang serta lamun. Data yang terkumpul diharapkan dapat digunakan untuk mempersiapkan desain COREMAP fase II.

Baseline studi ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim peneliti, Kapten serta ABK Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, Pemda Kabupaten Buton, Taman Nasional, Camat Wangi-wangi, Operation Wallacea, serta berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti usaha dari para peneliti, kami percaya bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini. Oleh sebab itu segala kritik dan saran sangat dibutuhkan.

Mengetahui Asisten Direktur Bidang

Penelitian dan Informasi, Koordinator,

(7)

DAFTAR ISI

Hal RINGKASAN EKSEKUTIF 2 PENGANTAR 6 DAFTAR ISI 7 DAFTAR TABEL 9 DAFTAR GAMBAR 10 DAFTAR LAMPIRAN 12 1. PENDAHULUAN 13 1.1. Latar Belakang 13

1.2. Tujuan dan Sasaran 15

1.3. Hasil yang Diharapkan 15

2. METODOLOGI 16

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 16

2.2. Pemetaan 20 2.3. Karang 21 2.4. Ikan Karang 22 2.5. Lamun 22 2.6. Kualitas Air 26 2.7. Oseanografi 28

3. HASIL DAN BAHASAN 30

3.1. Kondisi Umum Kawasan Wakatobi 30

3.1.1. Pemetaan 30 3.1.2. Karang 32 3.1.3. Ikan Karang 34 3.1.4. Lamun 38 3.1.5. Kualitas Air 40 3.1.5.1. Oksigen 40

3.1.5.2. Nitrit dan Nitrat 41

3.1.5.3. Fosfat 41 3.1.5.4. TSS 42 3.1.5.5. Salinitas dan pH 42 3.1.6. Oseanografi 42 3.1.6.1. Suhu 42 3.1.6.2. Salinitas 43 3.1.6.3. Kecerahan 44 3.1.6.4. Kekeruhan (turbiditas) 45 3.1.6.5. Intensitas Matahari 45

3.2. Kondisi Masing-masing Lokasi Penelitian 47

3.2.1. Pulau Wangi-wangi 47 3.2.1.1. Karang 47 3.2.1.2. Ikan Karang 48 3.2.1.3. Lamun 49 3.2.1.4. Kualitas Air 50 3.2.1.5. Arus 53

(8)

3.2.2. Pulau Kaledupa 55 3.2.2.1. Karang 55 3.2.2.2. Ikan Karang 57 3.2.2.3. Lamun 59 3.2.2.4. Kualitas Air 59 3.2.2.5. Arus 62 3.2.3. Pulau Tomia 64 3.2.3.1. Karang 64 3.2.3.2. Ikan Karang 66 3.2.3.3. Lamun 67 3.2.3.4. Kualitas Air 68 3.2.3.5. Arus 72 3.2.4. Atol Kaledupa 74 3.2.4.1. Karang 74 3.2.4.2. Ikan Karang 76 3.2.4.3. Lamun 77 3.2.4.4. Kualitas Air 77 3.2.4.5. Arus 81

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 83

4.1. Kesimpulan 83

4.2. Rekomendasi 83

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

1 Jumlah Stasiun Pengamatan Di Kawasan Taman Nasional Wakatobi,

Sulawesi Tenggara

18

2 Persentase Tutupan Karang Berdasarkan Life Form di Kawasan TN Wakatobi 33

3 Keragaman Jenis Lamun Di Lokasi Penelitian Wakatobi (Klasifikasi Menurut

Den Hartog, 1970; Phillips &Menez, 1988).

38

4 Kisaran Kadar DO, Ph, Salinitas,TSS, Nitrat, Nitrit Dan Fosfat Di Perairan

Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Oktober-November 2001

40

5 Hasil RRA Di Tubir (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top)Di Pulau

Wangi-Wangi

48

6 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) P. Wangi-Wangi

49

7 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Dilereng Terumbu (Reef Edge) P.Wangi-Wangi

49

8 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering/M2),

Rata-Rata Tutupan (%) Dan Dominansi Jenis Di Pulau Wangi-Wangi.

50

9 Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top)

Di Pulau Kaledupa

57

10 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Edge) P. Keledupa

58

11 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Dilereng Terumbu (Reef Top) P.Kaledupa

58

12 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering/M2),

Rata-Rata Tutupan (%) Dan Dominansi Jenis Dipulau Kaledupa

59

13 Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top)

Di Pulau Tomia Dan Lintea, Oktober 2001

66

14 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Di Lereng Terumbu (Reef Edge) P. Tomia

67

15 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) P.Tomia

67

16 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering M2),

Rata-Rata Tutupan Dan Dominansi Jenis Dipulau Tomia Dan Atol Tomia

68

17 Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top)

Di Atol Kaledupa

75

18 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Di Lereng Terumbu (Reef Edge) P. Atol Kaledupa

76

19 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan

Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) Atol Kaledupa

77

20 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering M2),

Rata-Rata Tutupan Dan Dominansi Jenis Di Atol Kaledupa

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1 Peta Lokasi Penelitian 19

2 Stasiun Penelitian di Reef Top 23

3 Stasiun Penelitian Reef Edge 24

4 Titik LIT 25

5 Stasiun Penelitian Kualitas air 27

6 Stasiun Oseanografi 29

7 Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan

Wakatobi, Oktober 2001

33

8 Jumlah Jenis dan Jumlah Marga Karang Keras di Lokasi Penelitian,

Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001.

34

9 Jumlah Jenis Ikan Hasil RRA di Rataan Terumbu (reef top = 110 stasiun)

dan Lereng Terumbu (reef edge = 146 stasiun) di Perairan Wakatobi.

35

10 Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Kategori Ikan Hasil RRA di Perairan

Wakatobi.

35

11 Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi 36

12 Profil Tegak Suhu di Perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara 43

13 Profil Tegak Salinitas Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara 44

14 Profil Tegak Kecerahan Air Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara 45

15 Profil Tegak Intensitas Matahari Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara 46

16 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang

Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Wangi-wangi, Oktober 2001

48 17 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di

perairan Pulau Wangi-wangi, TN Wakatobi

52

18a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Sekitar Pulau

Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara

52

18b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Sekitar Pulau

Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara

53

18c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Sekitar Pulau

Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara

54

18d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Sekitar Pulau

Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara

54

19 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang

Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Kaledupa

56 20 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di

perairan Pulau Kaledupa, TN Wakatobi

58

21a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Sekitar Pulau

Kaledupa, Sulawesi Tenggara

61

21b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Sekitar Pulau

Kaledupa, Sulawesi Tenggara

62

21c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Sekitar Pulau

Kaledupa, Sulawesi Tenggara

62

21d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Sekitar Pulau

Kaledupa, Sulawesi Tenggara

63

22 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang

Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Tomia

63 23 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di

perairan Pulau Tomia, TN Wakatobi

67

24a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Perairan Pulau

Tomia, Sulawesi Tenggara

71

(11)

24c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara

72

24d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Perairan Pulau

Tomia, Sulawesi Tenggara

73

25 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang

Tercatat dari Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Atol Kaledupa

78 26a Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di

perairan Atol Kaledupa Bagian Utara, TN Wakatobi

79 26b Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di

perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan, TN Wakatobi

80

27a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Perairan Sekitar

Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara

81

27b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Perairan Sekitar

Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara

81

27c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Sekitar

Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara

82

27d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Sekitar

Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lamp. Hal

1 Tabel Jumlah dan Sebaran Jenis Karang Batu Hidup di Wakatobi dan sekitarnya 88

2 Tabel Kelimpahan dan Kehadiran Ikan Karang dengan metode LIT di perairan Wakatobi 96

3 Tabel Index Keanekaragaman Jenis 104

4 Gambar Reef Habitat 105

5 Gambar Life Coral Cover Hasil RRA Reef Edge dan Reef Top di Seluruh Lokasi Penelitian

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Wangi-Wangi 105

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Kaledupa 106

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Tomia 107

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Utara 108

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Selatan 109

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef EdgeWangi-Wangi 110

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge P.Kaledupa 111

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge P.Tomia 112

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Utara 113

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Selatan 114

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Wangi-Wangi 115

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Kaledupa 116

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Tomia 117

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Utara 118

Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Selatan 119

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P. Wangi-Wangi 120

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P.Kaledupa 121

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P.Tomia 122

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Utara 123

Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Selatan 124

6 Gambar Karang

Karang merayap (Coral encrusting) 127

Karang submasif 127

Karang massif dari jenis Porites sp. dan karang lunak (soft coral) 128

Padang lamun yang dijumpai di lokasi penelitian 128

Gorgonian 129

Metode RRA untuk ikan karang yang diterapkan dalam penelitian. 129

(13)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terumbu karang Indonesia dan sumber daya yang berada di dalamnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai macam cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak kelestarian sumber daya seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia telah merebak hampir di seluruh perairan Indonesia. Akibatnya kondisi terumbu karang yang ada saat ini cenderung menurun. Menurut hasil penelitian Puslitbang Oseanologi tahun 2000 kondisi terumbu karang yang ada di Indonesia 6,20 % dalam kondisi sangat baik, sedangkan 70 % dalam keadaan sedang atau sangat buruk.

Dalam upaya memperlambat kerusakan dan menghindari semakin parahnya kondisi terumbu karang maka Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu karang (COREMAP). Tujuan utama program ini adalah untuk pengelolaan pemanfaatan sumber daya terumbu karang yang berkelanjutan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program COREMAP akan berlangsung selama 15 tahun dan di bagi menjadi 3 tahapan. Tahap pertama (inisiasi) selama 3 tahun, tahap kedua (akselerasi) selama 6 tahun dan tahap ketiga (institusionalisasi) selama 6 tahun.

Tahap pertama program COREMAP telah dilaksanakan di 4 propinsi, yaitu Riau, Sulawesi Selatan, Papua dan Nusa Tenggara Timur dan akan berakhir pada bulan Oktober 2002. Untuk mempersiapkan tahap kedua maka akan dilakukan perluasan ke propinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu pihak pemerintah daerah setempat diminta untuk mengusulkan calon lokasi COREMAP tahap kedua tersebut berdasarkan 14 kriteria yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kawasan Wakatobi dipilih dan diusulkan oleh pemerintah daerah propinsi Sulawesi Tenggara sebagai calon lokasi COREMAP tahap kedua.

Dalam rangka mempersiapkan desain COREMAP tahap kedua di lokasi yang telah dipilih maka diperlukan informasi dasar tentang keadaan lokasi tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan baseline studi ekologi di kawasan Wakatobi.

Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi

dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh Laut Banda dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau

Tomia dan pulau Binongko. Semula gususan pulau ini dikenal dengan nama kepulauan Tukang Besi,

karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya.

Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’ – 124°45’00’’ Bujur Timur dan

(14)

dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Keempat pulau tersebut relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil.

Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman Tersier hingga akhir jaman Miosen. Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Kawasan di sekitar Sulawesi, laut Flores, Laut Banda dan Laut Jawa bagian Timur merupakan kawasan dinamis yang mengalami interaksi tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia di sebelah barat, lempeng Indo-Australia di sebelah selatan dan lempeng Filipina di sebelah utara ke arah timur laut (Daly, et.al., 1991). Ketiga lempeng ini mengakibatkan tekanan dan tarikan, baik dari arah barat-timur maupun utara-selatan. Lempeng dasar dari kepulauan Wakatobi merupakan pecahan lempeng dasar yang berasal dari Papua Nugini. Lempeng ini memanjang sekitar 200 km ke arah barat laut dan tenggara. Dasar dari lempeng ini tidak berasal dari vulkanik dan selama ini tidak pernah tercatat adanya aktivitas vulkanik di daerah Wakatobi (Hamilton, 1979).

Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Kemudian terjadi proses antiklinal untuk bagian tertentu dan pelipatan keatas pada bagian yang lain yang diikuti oleh penenggelaman secara bersamaan dari lempeng dasar hingga beberapa ratus meter. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang. Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia merupakan pulau yang dasarnya tenggelam oleh proses antiklinal, sedangkan pulau Wangi-wangi, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan pulau Binongko merupakan pulau yang mengalami kenaikan karena proses pelipatan (Kuenen, 1933).

Secara administratif kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kepulauan Wakatobi terdiri dari empat pulau, yaitu Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Luas masing-masing pulau berturut-turut adalah sebagai berikut : pulau Wangi-wangi 156,5 km2; Kaledupa 64,8 km2; Tomia 52,4 km2 dan Binongko 98,7 km2.

Saat ini Kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan tersebut memiliki luas 1.390.000 hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu :

a. Zona Inti :

pulau Aname, pulau Kantole, pulau Runduma, pulau Cowo-cowo dan pulau Moromaho b. Zona Pelindung :

pulau Ndaa, karang Koromaho, karang Koko. c. Zona Pemanfaatan :

(15)

d. Zona Pemanfaatan Tradisional :

Pulau Kambodi, pulau Timau, pulau Kompo Nuone, pulau Kaledupa, pulau Binongko dan pulau Wangi-wangi.

e. Zona Rehabilitasi :

Karang Kaledupa dan karang Kapota

Tujuan dan Sasaran

Tujuan baseline studi ini adalah mengumpulkan data-data dasar mengenai kondisi karang, ikan, lamun serta kondisi lingkungan perairan setempat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk penyusunan desain fase II COREMAP-LIPI.

Hasil yang Diharapkan

Dari hasil studi ini diharapkan akan dapat dibuat Laporan yang berisi informasi tentang kawasan Wakatobi serta peta tematik sumberdaya perairan tersebut.

(16)

II. METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian baseline studi di Kawasan Wakatobi dilakukan dari Bulan September - Oktober 2001. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 daerah, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau Tomia, Karang Kaledupa (Gambar 1). Keadaan fisik keempat lokasi penelitian diuraikan sebagai berikut : Topografi Kepulauan Wakatobi umumnya datar, disekitarnya terdapat beberapa mikro atoll seperti karang kapota, karang kaledupa dan karang tomia. Konfigurasi perairan pada umumnya mendatar, kemudian melandai ke arah laut dan beberapa daerah bertubir tajam. Kedalaman air bervariasi, bagian terdalam terletak di sebelah barat (sampai 1044 meter) dan bagian timur pulau Kaledupa (Dirjen PHPA, 1990).

Pulau Wangi-wangi

Pulau Wangiwangi merupakan pulau terbesar diantara pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi, berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar sekitar 14.63 km dan panjang 16.09 km. Di rataan Pulau Wangiwangi itu sendiri terdiri dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau Kamponaone dan Pulau Suma. Di pulau ini terdapat 6 desa, tiga diantaranya terletak di tepi pantai. Rataan terumbu cenderung melebar kearah timur dan selatan dengan panjang sekitar 250m - 1.5 km

Pulau Kaledupa

Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu yang di dalamnya terdapat beberapa pulau antara lain Pulau Kaledupa, Pulau Lintea dan Pulau Hoga. Mempunyai panjang lebih kurang 22,92 km dan lebar 7.31 km, dengan rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 5 meter dan melebar kearah timur dan utara. Di pulau Hoga terdapat Marine Research Station milik Operation Wallacea. Di sebelah selatan perairan Pulau Hoga oleh masyarakat ditetapkan sebagai daerah perlindungan kecil (no fishing zone).

Biota laut di pulau ini sangat beragam. Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini terumbu karang banyak dieksploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau ini banyak menggunakan bahan peledak. Dari hasil survey bulan Februari 2000 menunjukkan bahwa banyak nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom dan cyanide (NaCN dan KCN)

(17)

Pulau Tomia

Pulau Tomia merupakan salah satu pulau besar yang ada dalam kawasan taman nasional Wakatobi. Pada sisi barat sampai selatan ada perkampungan yang terdiri dari lebih kurang 750 kepala keluarga dan semuanya menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Aktifitas penduduk pada pulau ini cukup ramai, terlihat adanya dermaga besar dengan kapal-kapal ikan dapat sandar pada dermaga tersebut.

Pulau Tomia berbentuk memanjang kearah timur barat dengan lebar pulau sekitar 7.80 km dan panjang 13.17 km. Merupakan pulau yang relatif besar, terdiri dari Pulau Tomia dan Pulau Tolandono. Di sekitar pulau banyak ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar, dan sebagian besar terdiri dari batuan vulkanik dengan beberapa pantai yang mempunyai dasar pasir putih. Rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 3 meter dan melebar kearah timur dan selatan. Topografi pulau ini datar, disekitarnya terdapat mikro atoll seperti karang Koko, karang Ndaa, karang Sawa Olo-olo dan karang Wailale. Konfigurasi terumbu karang (Waturumbu) pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa kawasan mempunyai tubir-tubir karang yang tajam. Biota-biota yang ada : kima, lola, penyu, karang keras, karang lunak, spons, seagrass, dan lain-lain.

Sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional, masyarakat resah karena tidak dapat memanfaatkan sumberdaya laut di sekitarnya. Hal ini terjadi karena sosialisasi dari pemerintah terkait tentang eksistensi Taman Nasional belum pernah dilakukan. Selain itu batas-batas zonasi serta biota yang dilindungi belum diketahui masyarakat. Perusakan terumbu karang di kecamatan ini dilakukan oleh pengusaha dengan menggunakan racun sianida. Hasil penelitian PHPA dan WWF menunjukkan bahwa terumbu karang di kecamatan Tomia (306.680 ha) telah mengalami degradasi. Menurut pemerintah daerah setempat daerah yang perlu untuk direhabilitasi adalah sebelah utara dan selatan pulau Lintea, sebelah selatan pulau Tokobao, sebelah timur pulau Tolandono.

Karang Kaledupa

Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak disebalah barat Pulau Lintea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta memanjang kearah Tenggara dan Barat Laut dengan Panjang lebih kurang 49.26 km dan lebar 9.75 km. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi.

Keempat lokasi penelitian tersebut di atas dipilih berdasarkan konsentrasi sebaran terumbu karang di kawasan Wakatobi yang dilihat dari hasil citra. Posisi dan jumlah stasiun pengamatan

(18)

berbeda untuk masing-masing kajian. Jumlah stasiun pengamatan untuk masing-masing kajian disajikan pada Tabel 1. di bawah ini :

Tabel 1. Jumlah Stasiun Pengamatan di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Jumlah stasiun

No. Bidang kajian P. Wangi-wangi P. Kaledupa P. Tomia & Lintea Karang Kaledupa 1 Oseanografi • CTD 5 5 5 5 2 GIS : • titik ikat (GCP) 4 1 6 0 • titik interpretasi 24 41 22 44 3 Lingkungan 10 15 14 19

4 Karang (Reef edge) 26 20 28 72

5 Ikan (Reef edge) 26 20 28 72

6 Lamun (Reef edge) 26 20 28 72

7 Karang (Reef Top) 24 25 25 36

8 Ikan (Reef Top) 24 25 25 36

9 Lamun (Reef Top) 24 25 25 36

10 Line Intercept

(19)
(20)

Pemetaan

Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra indraja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1, 2, 3, 4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove.

Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multi-spectral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Citra ini merekam daerah studi (Path/Row : 111/64) pada tanggal 29 Juni 2000. Survei atau kerja lapang untuk pengumpulan data maupun untuk keperluan verifikasi telah dilakukan pada akhir September sampai awal Oktober 2001.

Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Image Analysis pada Extension ArcView 3.1

version. Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi

beberapa langkah berikut ini. Pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan filter low-pass.

Selanjutnya memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vector (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu table berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari table itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis lanjutan.

Langkah ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadai, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : 25000. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Poligon sebaran mintakat terumbu ini kemudian dijadikan masker untuk klasifikasi jenis tutupan perairan dangkal di mintakat terumbu. Klasifikasi jenis tutupan perairan dangkal dilakukan dengan masukan band 1, 2, 3 dan 4 dengan metode isodata clustering (pengkelasan tanpa data acuan atau istilah lainnya yaitu unsupervised classification). Citra dikelaskan menjadi 8 klas tentatif yaitu klas 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.

(21)

Ke delapan klas ini secara acak dipilih, ditentukan posisinya Berdasarkan posisi itu dilakukan kunjungan lapangan dengan dipandu oleh alat GPS. Selain sample model titik-titik ini digunakan pula sample model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Untuk keperluan kerja lapang ini selain menggunakan hard-copy peta tentative juga dibantu dengan peta rupa bumi Bakosurtanal yang meliput daerah studi. Peta rupa bumi ini perlu sebagai orientasi terutama nama-nama desa dan kota kecamatan. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan klasifikasi ulang agar diperoleh klas yang sebenarnya. Hasilnya disusun menjadi peta sebaran ekosistem perairan dangkal.

Karang

Pengamatan dilakukan dengan 3 cara yaitu secara kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif. Pengamatan kualitatif dilakukan secara visual dengan mengamati profil habitat yang dilakukan di rataan terumbu karang sampai kedalaman dimana karang masih tumbuh. Pengamatan populasi karang untuk mengetahui kekayaan jenis pada lereng terumbu di lakukan secara vertikal, dengan jarak pandang 2,5 meter kekiri dan kekanan. Pengamatan semi kuantitatif dilakukan dengan metode Rapid Reef Resource Assessment (RRA) dengan mengamati persentase (%) area terumbu karang seluas 10 x 10 m selama 5 menit pada masing-masing stasiun dengan tujuan untuk mengetahui komposisi habitat. Observasi dengan RRA dilakukan pada rataan terumbu/reef top (Gambar 2) dan lereng terumbu/reef edge (Gambar 3). Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda RRA sebanyak 256.

Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metoda Line Intercept Transect (LIT). Penentuan titik-titik LIT ini diambil berdasarkan hasil pengamatan RRA reef edge pada hari sebelumnya (Gambar 4). Titik-titik tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi terumbu karang yang ada. Roll meter digunakan untuk membuat garis transek dengan ukuran 2 x 50 meter yang diletakkan pada kedalaman 5 meter dan sejajar garis pantai. Semua bentuk pertumbuhan dan jenis karang (species) serta biota lainnya yang berada dibawah garis transek dicatat dengan ketelitian mendekati centimeter. Semua lokasi pengamatan dipetakan dalam Base map dengan menggunakan GPS. Peralatan SCUBA, alat tulis bawah air, roll meter, dan kamera bawah air digunakan selama melakukan pengamatan di bawah air.. Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda LIT adalah sebanyak 8 titik.

Untuk mengetahui nilai indeks keanekaragaman serta persentase tutupan karang digunakan formula sebagai berikut :

Analisis keanekaragaman genera digunakan formula Shannon-wiener

H’ = - ∑ (ni/N) log(ni/N)

Dimana : H = indek keragaman jenis

N = total jumlah individu/koloni (presentase tutupan jenis karang) Ni = jumlah individu dalam spesies ke-I (presentase tutupan karang)

(22)

Analisis persentase total tutupan karang dipakai formula Cox (1967)

Total panjang intersep per spesies Persentase

tutupan (%) = Total panjang transek X 100

Ikan Karang

Pengamatan ikan karang dilakukan bersama-sama dengan pengamatan karang. Peneliti karang dan ikan karang secara bersama-sama melakukan pengamatan di rataan terumbu (reef top) dan lereng terumbu (reef edge) (Gambar 2 dan 3). Metoda yang dipakai dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam 2 jenis; 1). Rapid Reef Resources Assessment (RRA) merupakan metoda penilaian kondisi terumbu karang yang berdasarkan pada metoda manta taw, selanjutnya dikembangkan oleh CSIRO (Long et al., 1996; 1997). 2). Line Intercept Transect/LIT, yakni metoda sensus visual.

Pengambilan data dasar dengan metoda RRA di lereng terumbu, penyelam berenang bebas sepanjang 5 – 10 meter (kurang lebih 10-15 menit). Semua ikan yang ditemui dalam jarak pandang 2 m (kiri dan kanan penyelam) dicatat. Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda RRA sebanyak 256 titik.

Penentuan lokasi LIT berdasar pertimbangan hasil dari RRA pada daerah lereng terumbu. Penyelam akan mencatat semua ikan pada garis transek sepanjang 50 meter dengan jarak pandang 2 - 5 meter (kiri dan kanan penyelam) dengan 3 kali ulangan. LIT ini dilakukan pada kedalaman, 5 meter. Ikan dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni ikan indikator, ikan target dan ikan major. Jumlah Titik contoh yang diamati dengan metoda LIT sebanyak 8 titik (Gambar 4).

Lamun

Pengamatan lamun di kawasan Wakatobi dilakukan bersama-sama dengan pengamatan karang dan ikan. Untuk mempetakan distribusi lamun dilakukan pengamatan dengan merujuk metode “RRA (Rapid Reef Resource Assesment)” dan pengambilan contoh lamun dengan metode garis transek yang telah dimodifikasi dari Dartnall & Jones (1986) dan English et al. 1994. Jika suatu area luas padang lamunnya kecil dan kelimpahannya rendah, maka hanya informasi umum tentang jenis dan luas padang lamun yang dicatat. Transek garis dilakukan pada setiap pulau/atoll dengan tegak lurus dari garis pantai. Jumlah transek yang diamati sebanyak 8 titik.

Untuk mengetahui kelimpahan, komposisi jenis dan biomassa lamun dilakukan pengambilan contoh secara acak sebanyak tiga kali dengan bingkai 25 cm x 25 cm yaitu pada bagian pinggir, tengah dan ujung dekat tubir. Lamun yang diambil diidentifikasi dan diestimasi persen tutupan secara visual pada setiap lokasi transek. Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium untk dibersihkan, dicuci dengan air asin dan diidentifikasi. Kemudian setiap contoh lamun dipisahkan menurut jenisnya dan dihitung jumlah tegakannya serta ditimbang dengan berat basah. . Setiap titik/stasiun pengambilan contoh dicatat posisinya dengan GPS.

(23)
(24)
(25)
(26)

Kualitas Air

Penelitian kualitas air dilakukan bersamaan dengan penelitian terumbu karang di perairan Wakatobi. Setiap titik/stasiun pengambilan contoh dicatat posisinya dengan GPS (Gambar 5). Parameter kualitas air yang diteliti adalah oksigen terlarut (DO), nutrien (nitrat, nitrit, fosfat), salinitas, pH dan zat padat tersuspensi.

Contoh air permukaan (± 1 meter) diambil dengan Van Dorn. Kadar oksigen terlarut ditentukan dengan modifikasi Winkler (Carritt et al. 1966). Contoh air yang diambil segera disaring dengan kertas saring sellulosa ester 0,45 um, dimasukkan ke dalam botoll polietilen, kemudian disimpan (tidak lebih dari 28 hari) dalam freezer (- 4oC). Kadar nitrit ditentukan dengan metode spektrofotometrik berdasarkan pembentukan senyawa diazonium (Strickland et al. 1968). Kadar nitrat ditentukan dengan metode spektrofotometrik setelah direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit (Grasshoff 1976). Kadar fosfat ditentukan dengan metode spektrofotometrik didasarkan pada pembentukan senyawa komplek fosfomolibdat (Koreleff 1976). Kadar zat padat tersuspensi ditentukan dengan metode gravimetric (APHA-AWWA-WPCF 1980). Nilai salinitas diukur langsung dengan menggunakan Refraktometer. Demikian pula dengan nila pH yang juga diukur langsung dengan menggunakan pH meter.

(27)
(28)

Oseanografi

Pengukuran parameter oseanografi dilakukan di 20 stasiun pengamatan seperti yang terlihat dalam Gambar 6.

Suhu, salinitas dan transmisi cahaya (kecerahan), turbiditas, intensitas matahari

Pengukuran parameter suhu, salinitas, kecerahan, turbiditas dan intensitas matahari terhadap kedalaman dilakukan dengan menggunakan CTD Model SBE 911 Plus. Sistem CTD tersebut diturunkan dari kapal Baruna Jaya VIII ke dalam air secara perlahan selama lebih kurang 10 menit. Data parameter direkam dalam monitor untuk dianalisa lebih lanjut. Pada survei kali ini, CTD diturunkan pada kedalaman 300 m sesuai dengan kedalaman laut di lokasi survei.

Analisa data menggunakan paket program SEASAVE (Sea-Bird Electronics, Inc., 1998). Program ini dapat memberikan gambaran data suhu, salinitas, kecerahan, turbisitas dan yang lainnya dengan interval kedalaman 1 m dari permukaan hingga 300 m (dapat dilihat pada hasil print stasiun CTD ). Nilai suhu dinyatakan dalam satuan derajat Celcius, salinitas dalam psu, kecerahan dalam persen (%), turbididas dalam NTU sedangkan intensitas matahari dalam meter.

Pengukuran arus laut

Pengukuran kecepatan arus di perairan Wakatobi dilakukan dengan menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) frekuensi 75 kHz. Lokasi pengukuran arus dilakukan di Pulau Wangi-wangi, P. Kalaedupa, P. Tomea dan Atol Besar dengan cara membuat trek (lintasan) mengelilingi pulau pada kedalaman laut antara 30 hingga 300 m.. Kuat arus diukur dengan ketebalan lapisan 5 m dan jumlah lapisan 20. Lama perekaman data setiap trek di setiap lokasi berkisar antara 5 hingga 7 jam tergantung panjang lintasan (trek ADCP). Kedalaman pengukuran untuk menggambarkan stik arus kecepatan dan arah dipilih pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m. Dimulai dari kedalaman 13 meter karena kedalaman ini merupakan kedalaman minimum yang dapat dideteksi oleh ADCP.

(29)
(30)

III. HASIL DAN BAHASAN

Kondisi Umum Kawasan Wakatobi

Pemetaan

Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir. Alur pembahasan di bawah ini diurutkan menurut alur proses yang dilalui.

Geometri Citra

Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum WGS’84 menggunakan system koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit setelah tanggal 28 April 2000 mempunyai tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground control points (GCP) lokal sampai mencapai kurang dari 15 meter kesalahannya.

Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari sekitar 142 titik ground check di lapangan (termasuk 11 titik yang akan dijadikan GCP) yang tersebar pada terumbu dekat pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan dapat diplotkan ke peta dasar dengan presisi tinggi.

Hasil Interpretasi Manual

Daerah studi merupakan gugusan pulau-pulau dengan empat pulau utama yaitu P. Wangi-wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, dan P. Binongko, serta dua kawasan terumbu karang besar yaitu Karang Kapota dan Karang Kaledupa. Oleh Pemerintah, dalam hal ini Dirjen PHPA, kawasan Kepulauan Wakatobi ini ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Dari citra komposit warna semu (false color composite) band 4, 3, 2 untuk saluran warna merah, hijau dan biru, dapat diintepretasi bahwa daerah studi merupakan pulau-pulau karang dan merupakan

(31)

daratan sebagai hasil proses itu dapat dikenali dengan baik. Ketika kerja lapang di semua pulau yang dikunjungi mempunyai tanah pasiran dengan dasar pasir koral. Ini sangat memperkuat interpretasi bahwa daerah studi adalah pulau koral yang berkembang dengan proses utamanya pengendapan.

Dari citra dapat pula diukur lebar terumbu pada masing-masing pulau. Di kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomea, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer. Secara keseluruhan luas total terumbu karang di kepulauan wakatobi adalah 8.816,169 hektar.

Menggunakan kombinasi band 5, 3, 2 dalam citra komposit warna semu agar dapat mengenali mangrove, ternyata sulit sekali menemukan mangrove dari interpretasi citra. Dengan citra komposit ini mangrove akan mempunyai rona merah lebih gelap dibanding vegetasi lainnya. Ini menjadi sifat khas dari tumbuhan mangrove yang relatif basah dengan struktur daging daun yang lebih tebal dibanding tumbuhan lain. Oleh karena mintakat mangrove kurang dapat dikenali dari citra komposit ini maka tidak dilakukan digitasi terhadap sebaran mangrove. Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa lokasi ditemukan mangrove. Umumnya mangrove yang ditemukan mempunyai sebaran relatif sempit (diperkirakan lebarnya sekitar 10 – 15 meteran) dan berupa spot-spot saja. Kondisi ini tentunya tidak memungkinkan mangrove ini dapat tergambar di citra. Citra yang digunakan mempunyai ukuran piksel 30 x 30 m, sedangkan lebar mangrove hanya 10 – 15 m yang berarti 1 piksel-pun tidak ada. Memang ada juga ditemukan mangrove yang mempunyai hamparan luas (mungkin dalam hitungan hektar) di lapangan namun di citra termasuk dalam daerah tutupan awan sehingga tidak memungkinkan didigitasi.

Klasifikasi Citra

Sebelum proses klasifikasi, batas-batas pulau dan juga batas tubir terumbu didigitasi. Pada prakteknya pendigitasian ini menemui kendala ketika harus mendigit daerah yang tertutup awan. Satu-satunya jalan adalah dengan mendigit secara menduga-duga. Konsekuensinya, hasil digitasi merupakan batas yang tidak akurat. Hal inilah yang menjadi kendala dan sekaligus merupakan keterbatasan metode ini. Namun demikian oleh karena kondisi ini tidak begitu banyak dijumpai maka dapatlah dimaklumi.

Kendala tutupan awan ini juga berdampak kepada berubahnya nilai pantulan obyek yang berada di dekat tutupan awan maupun di daerah bayangan awan itu. Kondisi ini secara teknis memang sulit untuk diatasi. Dengan demikian ini harus menjadi catatan karena berpengaruh pada ketelitian hasil klasifikasi isodata clustering.

Keterbatasan lain dengan klasifikasi dengan citra ini adalah keterbatasan kemampuan energi elektromagnetik dalam hal penetrasinya pada perairan. Oleh karena itu untuk klasifikasi multispektral

(32)

pada obyek bawah air seperti kali ini hanya menggunakan band 1, 2, 3, dan 4 sebagai masukan dalam proses. Ini didasari beberapa referensi yang mengatakan bahwa band-band itulah yang mampu menembus kedalam air. Pada perairan relatif jernih (seperti di daerah studi) band 4 dapat menembus sampai kedalaman 0,5 meter. Band 3 dapat menembus sampai kedalaman sekitar 5 meter. Band 2 lebih dalam lagi yaitu mencapai 15 meter, dan band 1 dapat mencapai 25 meter bahkan bisa diatas 30 meteran. Ini berarti bahwa obyek, apapun itu, yang berada di kedalaman lebih dari 25 meter, sangat sulit diklasifikasikan.

Pada studi ini telah disebutkan bahwa untuk peta tentatif obyek bawah air di perairan dangkal diklasifikasi menjadi 8 klas. Setelah dilakukan pengecekan lapangan di 130 titik sampel maka ke delapan klas ini diklasifikasikan lagi menjadi 3 klas yaitu pasir, koral dan lamun. Sebenarnya dari ke 130 titik sampel ada 2 titik sampel diantaranya dimana ditemukan tutupan algae diatas pasir. Karena di lapangan tutupan ini sebaran dan dominasinya kurang maka tidak dijadikan sebagai klas tersendiri tetapi dimasukkan sebagai klas pasir.

Dari 130 titik sampel yang tersebar di P. Wangi-wangi, P. Kaledupa, P. Tomia dan Atol Kaledupa, ketika diamati di lapangan tidak semuanya merupakan obyek tunggal. Kebanyakan dari titik sampel tersebut pada luasan pengamatan sekitar 30 x 30 meter (sesuai dengan ukuran piksel citra) merupakan obyek non-tunggal. Untuk ini dalam analisis, pertimbangan dominasi diperlukan. Hal ini sesuai dengan prinsip klasifikasi citra yang hanya mendasarkan pada rona seperti pada model isodata clustering ini. Satu piksel citra diwakili oleh satu nilai digital yang dapat dianggap sebagai nilai pantulan dari obyek seluas 30 x 30 m di lapangan. Sedangkan kenyataan di lapangan areal seluas itu dapat terdiri dari beragam obyek. Sehingga obyek yang dominanlah yang berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pantulan untuk 1 piksel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai digital pada 1 piksel itu mewakili nilai pantulan obyek dominan pada luasan 30 x 30 m di lapangan. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam menanggapi hasil klasifikasi citra.

Karang

Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50-1,5 km untuk terumbu karang tepi. Rataan terumbu mempunyai moat dan reef rampart di tepi tubir. Tubir hampir semuanya dengan reef slope yang curam. Karang yang tumbuh di rataan terumbu umumnya didominansi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea rectiformis. Hal ini menunjukkan bahwa rataan terumbu masih dalam kondisi ideal. Lereng terumbu atas umumnya didominasi oleh Acropora spp dan lereng terumbu tengah pada kedalaman sekitar 20 meter didominasi oleh karang Acropora hyacinthus, Echinopora spp. Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40 meter.

(33)

Hasil RRA menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau Wangi-wangi relatif lebih jelek dibandingkan dengan Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Atol Kaledupa (Gambar 7).. Secara keseluruhan, diketahui bahwa persentase tutupan karang hidup di daerah Reef Edge relatif masih lebih baik bila dibandingkan dengan di daerah Reef Top kecuali di Atol Kaledupa. Hal ini mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia yang banyak dilakukan di daerah Reef Top, disamping faktor alami yang tidak stabil dan dinamis. Berdasarkan pengamatan dilapangan, terutama di pulau Wangi-wangi terlihat banyaknya pecahan-pecahan karang yang hancur tak beraturan yang diduga akibat bahan peledak. Dugaan ini juga dikuatkan oleh informasi dari pemerintah daerah setempat yang menceritakan bahwa mereka sering mendengar dentuman-dentuman bom yang dilakukan untuk menangkap ikan oleh nelayan-nelayan dari luar kawasan ini.

0 5 10 15 20 25 30 35 Reef Top 2.7308 7.72 0 2.44 23.3056 Reef Edge 28.7083 34.85 32.3 22.333 19.0278 Pulau Wangi-Pulau Kaledupa Pulau Tomia Pulau Lintea Atol kaledupa

Gambar 7. Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001

Hasil analisis bentik life form disajikan dalam Tabel 2. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa persentase karang hidup di Pulau Kaledupa 49,59%, Pulau Lintea 43,96%, Pulau Tomia 42,71% dan Atol Kaledupa 37,57%.

Tabel 2. Persentase Tutupan Karang Berdasarkan Life Form di Kepulauan Wakatobi

L O K A S I Bentic Life Form

A B C D E F G H

Hard Coral (Acropora 3,66 4,8 7,87 9 5,55 8,22 13,98 6,68

Hard Coral (Non-Acropora) 35,43 31,28 54,98 36,23 34,46 34,49 40,09 27,17

Dead Scleractinia 5,84 6,6 3,78 4,67 0,72 1,68 2,29 4,69 Algae 15,45 21,54 19,4 20,84 20,89 26,52 8,32 22,05 Other Fauna 32,42 32,54 7,33 21,9 37,72 27,91 16,28 36,48 Abiotic 7,2 3,24 6,64 7,36 0,66 1,18 19,04 2,93 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 Keterangan :

A = Atol Kaledupa Timur D = Pulau Kaledupa Utara G = Pulau Lintea Utara B = Atol Kaledupa Barat E = Pulau Kaledupa Timur H = Pulau Lintea Selatan C = Pulau Kaledupa Barat F = Pulau Tomia Utara

(34)

Selama pengamatan, dijumpai 238 jenis karang batu dari 71 marga di Atol Kaledupa, 174 jenis dari 64 marga di pulau Kaledupa, 163 jenis dari 64 marga di pulau Lintea, 146 jenis dari 56 marga di pulau Tomia dan 131 jenis dari 55 marga di pulau Wangi-wangi (Gambar 8)

0 50 100 150 200 250 Jumlah jenis 131 174 146 163 238 Jumlah suku 55 64 56 64 71 Pulau Wangi-Pulau Kaledupa Pulau Tomia Pulau Lintea Atol Kaledupa

Gambar 8. Jumlah jenis dan jumlah marga karang keras di Lokasi Penelitian, Kepulauan Wakatobi,

Oktober 2001.

Ikan Karang

Dari hasil pengamatan selama penelitian ini, terlihat bahwa kondisi alam di Kepulauan Wakatobi merupakan pulau-pulau karang dengan terumbu karang yang mengitarinya. Kondisi terumbu karang dibeberapa tempat terutama di daerah yang landai dan dangkal mengalami kerusakan karena kemungkinan kegiatan-kegiatan seperti pengeboman ikan dan pengambilan karang untuk keperluan pembangunan fisik. Pada kedalaman antara 5 meter sampai >8 meter umumnya berada pada kondisi yang sangat baik dan kaya akan jenis-jenis kehidupan laut. Keanekaragaman ikanpun dijumpai sangat tinggi.

Pengamatan yang dilakukan dengan metoda RRA di empat wilayah penelitian di perairan Wakatobi mencatat sejumlah 3117 individu ikan dari rataan terumbu (reef top) dan 20597 individu ikan dari lereng terumbu (reef edge) yang terdiri dari 39 marga, 105 marga dan 326 jenis. Dari rataan terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di P. Kaledupa (97 jenis) diikuti berturut-turut oleh P. Wangi-Wangi (83 jenis), P. Tomia (73 jenis) dan Atol Kaledupa (57 jenis). Sedangkan dari lereng terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di Atol Kaledupa (182 jenis), diikuti oleh P. Wangi-Wangi (177 jenis), P. Kaledupa (150 jenis) dan P. Tomia (117 jenis). (Gambar 9)

(35)

0 50 100 150 200 Reef Edge 83 97 73 57 Reef Top 177 150 117 182 Pulau Wangi-wangi Pulau

Kaledupa Pulau Tomia Atol Kaledupa

Gambar 9. Jumlah Jenis Ikan Hasil RRA di Rataan Terumbu (reef top = 110 stasiun) dan Lereng

Terumbu (reef edge = 146 stasiun) di Perairan Wakatobi.

Berdasarkan kategori ikan, kekayaan jenis tertinggi untuk kelompok ikan major dimiliki oleh marga Pomacentridae dengan 61 jenis, diikuti oleh Labridae dengan 11 jenis dan Balistidae 5 jenis. Sedangkan sisanya berkisar antara 1-4 jenis ikan. Untuk ikan target, kekayaan jenis tertinggi ditempati oleh marga Serranidae (kelompok kerapu) dengan 7 jenis, diikuti oleh Labridae 5 jenis, Acanthuridae 4 jenis, dan sisanya berkisar antara 1-3 jenis. Kekayaan jenis ikan untuk kelompok ikan indikator tercatat sebanyak 4 jenis. (Gambar 10)

81 19

4

Major Target Indikator

Gambar 10. Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Kategori Ikan Hasil RRA di Perairan Wakatobi.

Kelimpahan ikan tertinggi untuk RRA di rataan terumbu ditempati oleh D. aruanus (Pomacentridae) dari kategori ikan major dengan 315 individu , sedangkan terendah 1 individu ikan yang tercatat dari 32 jenis ikan. Untuk lereng terumbu, kelimpahan tertinggi diduduki oleh Caesio caerulaurea (Caesionidae) dari kelompok ikan target dengan 3365 individu dan terendah 1 individu yang berasal dari 20 jenis ikan. Umumnya di rataan terumbu kelimpahan tertinggi didominasi oleh marga Pomacentridae dari kelompok ikan major, sedangkan untuk daerah lereng terumbu, kelimpahan tertinggi ditempati oleh kelompok ikan ekor kuning (Caesionidae) dari kategori ikan target.

Dari hasil pengamatan ikan karang dengan LIT di tiga (3) wilayah pengamatan di perairan Wakatobi (Atol Kaledupa, P. Kaledupa dan Selat Tomia) diperoleh sebanyak 23678 individu yang terdiri dari 40 suku, 111 marga dan 320 jenis. Dari ikan yang diperoleh, tercatat 25 marga adalah ikan major, 14 marga merupakan ikan target, dan 1 marga merupakan ikan indikator. Berdasarkan

(36)

jumlah jenis, untuk kategori ikan major, marga Pomacentridae menempati jumlah jenis tertinggi dengan 55 jenis ikan. Sedangkan untuk kategori ikan target, jumlah jenis tertinggi diduduki oleh marga Serranidae dengan 21 jenis dan untuk ikan indikator tercatat sejumlah 30 jenis ikan.

0 20 40 60 Jumlah Jenis 55 21 30 Jumlah Marga 25 14 1

Major Target Indikator

Gambar 11. Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi

Kelimpahan tertinggi untuk ikan yang dicatat dari penelitian ini ditempati oleh Chromis ternatensis (Pomacentridae) dengan 1874 ekor, diikuti oleh Caesio caerulaurea (1591 ekor), Pterocaesio randalli (1246 ekor) dan Caesio teres (1061ekor). Ketiga jenis terakhir ini termasuk dalam kategori ikan target dari kelompok ikan ekor kuning (Tabel 10). Dilihat dari persentasi kehadiran, 4 jenis ikan memiliki kehadiran 100%, yakni ditemui disetiap stasiun pengamatan dalam setiap ulangannya. Tiga jenis diantaranya termasuk marga Pomacentridae, yaitu Amblyglyphydodon leucogaster, Amphiprion clarkii dan Paraglyphydodon nigroris serta satu jenis dari marga Acanthuridae yakni Zebrasoma scopas. Keempat jenis ikan ini masuk dalam kategori ikan major. Sedangkan jenis yang paling rendah kelimpahan dan kehadirannya dijumpai pada 22 jenis ikan dengan kelimpahan 1 ekor dengan 4,16% kehadirannya (Tabel 10).

Dominasi ikan major disuatu terumbu karang merupakan suatu fenomena yang umum dijumpai (Hilomen & Yap 1991; Satumanatpan & Sudara 1992). Penelitian yang dilakukan dengan metoda RRA dan LIT menunjukkan bahwa kelimpahan dan kehadiran tertinggi ditemui pada jenis-jenis ikan dari marga Pomacentridae. Ikan dari marga Pomacentridae merupakan salah satu ikan yang paling dominan di terumbu karang dan memiliki jumlah jenis yang sangat tinggi. Fenomena ini sesuai dengan penelitian lainnya dibanyak terumbu karang (Kuiter & Debelius 1994; Allen 1997).

Variasi kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kedalaman. Pada rataan terumbu, dijumpai kelimpahan dan keanekaragaman yang lebih rendah dibandingkan dengan di lereng terumbu. Hal ini disebabkan pengamatan pada daerah rataan yang sangat tergantung pada keadaan pasang surut, sehingga ada keterbatasan pengamatan pada waktu air surut rendah. Selain itu untuk keragaman jenis ikan yang tinggi pada beberapa penelitian dijumpai pada daerah lereng terumbu.

(37)

Komunitas ikan karang yang terdiri dari berbagai jenis ikan yang sangat bervariasi, menunjukkan bahwa sebagian ikan mempunyai spesialisasi hidup hanya pada daerah karang hidup, sebagian menyenangi daerah karang mati untuk habitatnya dan lainnya berasosiasi dengan menunjukan kelimpahan yang tinggi pada persentasi tutupan karang yang sedang. Keanekaragaman yang tinggi dan sebaran ikan dapat dikatakan sebagai konsekuensi alami dari adanya struktur habitat dan adanya response individu dari setiap jenis ikan terhadap adanya habitat tertentu yang disenanginya (preferensi habitat).

Kelimpahan dan kekayaan jenis ikan disuatu terumbu karang seringkali dikaitkan dengan kondisi terumbu karang itu sendiri dan persentasi tutupan karangnya. Semakin tinggi persentasi tutupan karangnya semakin tinggi kelimpahan dan jumlah jenisnya. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan yang tinggi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan struktur habitat yang kompleks dari terumbu karang yang masih dalam kondisi baik. Beberapa peneliti menemukan bahwa kelimpahan dan keragaman jenis ikan kepe-kepe meningkat dengan meningkatnya persentasi tutupan karang (Bell & Galzin 1984; Bouchon-Navaro & Bouchon 1989, Suharsono et al. 1998). Akan tetapi pada penelitian lain dijumpai bahwa kekayaan jenis yang dijumpai pada kondisi terumbu karang dengan persentasi tutupan karang yang rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata (Jones & Syms 1995).

Tingginya jumlah jenis ikan kepe-kepe di perairan Wakatobi dapat dijadikan gambaran bahwa terumbu karang diperairan ini masih tergolong cukup baik, mengingat ikan kepe-kepe dijadikan suatu indikator lingkungan terumbu karang. Semakin subur tingkat kondisi terumbu karang semakin tinggi keragaman jenis ikan kepe-kepenya. Hal ini dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di perairan Riau, dimana kondisi terumbu karang sudah sangat rusak, hanya dijumpai 3 jenis ikan kepe-kepe selama penelitian tersebut.

Keanekaragaman jenis ikan karang yang tinggi dan tingginya kelimpahan ikan yang tercatat diterumbu karang perairan Wakatobi menunjukkan bahwa perairan karang Kep. Wakatobi masih memiliki daya dukung yang tinggi untuk kehidupan ikan karangnya. Dengan perkataan lain, masih tersedia cukup banyak ruang kehidupan bagi ikan-ikan karang dan biota laut lainnya. Banyaknya jenis-jenis ikan target bernilai ekonomis penting, disamping itu ikan-ikan yang ditempat-tempat lain sudah dianggap langka seperti ikan Napoleon dan ikan pari burung, diperairan waktobi masih dapat ditemukan dengan mudah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki potensi yang tinggi dan perlu dikelola secara baik untuk menjaga kelestariannya. Selain itu dari pengamatan terlihat penangkapan ikan oleh nelayan setempat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan yakni dengan menggunakan pancing, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya usaha penagkapan dengan cara yang merusak seperti menggunakan bom dan bubu. Dari pengamatan, sebagian besar jenis ikan target yang dijumpai sudah berada dalam ukuran tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi ikan diperairan ini masih dalam toleransi yang dapat terkontrol cukup baik. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya Taman Nasional Laut yang berfungsi baik.

(38)

Perairan karang diwilayah tersebut masih sangat potensial untuk dijadikan daerah konservasi mengingat banyaknya jenis ikan indikator dan ikan target bernilai ekonomis penting dan beberapa jenis ikan komersial lainnya yang selalu diburu (Ikan Napoleon) dan jenis-jenis lainnya yang termasuk jarang (ikan Pari Burung) yang dijumpai selama penelitian. Penangkapan ikan oleh nelayan tradisional dilakukan dengan menggunakan pancing yang merupakan alat tangkap ramah lingkungan, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya indikasi penangkapan secara ilegal dengan menggunakan alat tangkap yang merusak (bom dan bubu).

Lamun

Hasil pengamatan lamun di Wakatobi mencatat 9 jenis lamun yaitu : Haludule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 3), sebaran jenis lamun umumnya merata disetiap lokasi pengamatan Kekayaan jenis lamun yang ada di Wakatobi tergolong tinggi jika dibandingkan dengan kehadiran lamun di Indonesia yaitu 12 jenis. Sebaran jenis lamun umumnya merata di setiap lokasi pengamatan. Dari tabel 3 terlihat bahwa jumlah jenis lamun yang paling banyak terdapat di perairan pulau Kaledupa. Padang lamun di perairan ini secara umum didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, sedangkan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 gram berat kering/m2.

Tabel 3. Keragaman jenis lamun di lokasi penelitian Wakatobi (klasifikasi menurut Den Hartog, 1970;

Phillips &Menez, 1988). LOKASI J E N I S 1 2 3 4 5 I. POTAMOGETONACEAE 1. Halodule pinifolia - - - - + 2. H. uninervis + + - + + 3. Cymodocea rotundata + + + + + 4. C. serrulata - - - - + 5.Syringodium isoetifolium + + + + + 6.Thallasodendron ciliatum + + + + + II. HYDROCHARITACEAE 7. Enhalus acroides - + + + + 8. Thallasia hemprichii + + + + + 9. Halophila ovalis + + + + + Jumlah jenis 6 7 6 7 9

Keterangan : + ada; - tidak ada

(39)

Tipe padang lamun

Padang lamun di lima lokasi penelitian umumnya homogen dan dapat digolongkan pada tipe: padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Tipe ini, umumnya ditemukan di lokasi-lokasi di daerah pasang-surut dan rataan terumbu yang dangkal serta daerah tubir yang dalam.

Vegetasi dari padang lamun di lokasi-lokasi yang diteliti umumnya adalah tipe tunggal dan tipe campuran dengan kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai dari pinggir pantai sampai ke tubir. Tipe tunggal adalah Thalassodendron ciliatum, sedangkan tipe campuran merupakan kombinasi antara E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis serta Thalassodendron ciliatum dan T. hemprichii. Hal ini hampir sama dengan padang lamun di perairan Taman laut Nasional Takabonerate untuk tipe tunggal, dan perairan Indonesia umumnya untuk tipe campuran yaitu : E. acoroides dan T. hemprichii (Heijs & Brouns 1986; Azkab 1991).

Kerapatan merupakan elemen dari struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi produksi (Jacobs 1984). Kerapatan setiap jenis lamun mempunyai variasi, dimana secara kuantitatif terdapat perbedaan pada setiap lokasi penelitian dengan jenis yang sama, khususnya untuk jenis-jenis T. ciliatum. Nilai kerapatan terbesar dijumpai pada Halophila ovalis yang tumbuh di Atol Tomia, yaitu 3264 tegakan/m2.

Ada enam jenis lamun yang umumnya ditemukan pada lokasi-lokasi penelitian. Lamun ini tumbuh pada rataan terumbu di daerah pasang surut Pulau. Tutupannya cukup tinggi (50 % - 90 %) dengan Thalassodenron ciliatum adalah jenis lamun yang dominan, kecuali di Pulau Kaledupa yang didomiansi oleh T. hemprichii dan E. acoroides. Substrat bervariasi dari pasir kasar sampai karang mati atau karang hidup.

Berdasarkan pertumbuhan, pola distribusi dan habitat, maka selayaknya perairan Taman Nasional Laut Wakatobi didominasi oleh T. ciliatum karena substrat yang umumnya keras terdiri dari karang mati dan karang hidup. Hal ini karena T. ciliatum memiliki perakaran yang cukup kuat dan dapat hidup di perairan mulai dari bagian atas sub litoral sampai kedalaman 30 meter. Jenis-jenis lainnya seperti marga Halophila, Halodule dan Cymodocea hanya tumbuh di daerah intertidal bawah, sedangkan E. acroides walaupun karakter system vegetatifnya hampir sama dengan T. ciliatum lebih cenderung hidup di daerah yang agak stabil dengan substrat berlumpur.

Dengan melihat hasil penelitian pada ke lima lokasi yang tutupannya rata-rata 66%, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sumberdaya lamun di perairan Taman Laut Nasional Wakatobi secara umum dapat dikatakan cukup besar. Lebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan biota yang berasosiasi dengan padang lamun, potensi sumberdaya lamun cukup tinggi, khususnya dari segi perikanan dan sumbangan nutrisinya pada ekosistem terumbu karang disekitarnya.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Stasiun Pengamatan di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara
Gambar 7. Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001
Gambar 8. Jumlah jenis dan jumlah marga karang keras di Lokasi Penelitian, Kepulauan Wakatobi,  Oktober 2001
Gambar 11. Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan kepala PAUD dan kompetensi guru terhadap kinerja guru PAUD di Kecamatan Sembawa Kabupaten Banyuasin. Data

Dengan panjang 900 mm, lebar 450 dan tinggi 800 mm, pencacah ini digerakkan oleh motor penggerak dengan putaran 1400 rpm dan daya 11,65 hp yang mana

BBRI  3000‐3200.  Saham‐saham  perbankan  unggulan  kemarin  didominasi  tekanan  jual  terutama  oleh  pemodal  asing.  Hal  ini  juga  dialami  saham  Bank 

Bahwa Pemohon akan mengajukan seorang atau lebih anggota DPR yang mungkin dulu atau MPR karena kalau ini rumusan di dalam Undang-Undang Dasar pada perubahan Undang-Undang

Tabel 4 menunjukkan nilai untuk variabel harga saham yaitu sebesar 0,131, hasil ini menunjukkan bahwa sebesar 13,1% variabel harga saham dapat dijelaskan oleh

Iklan yang berdurasi 1:01 menit tersebut merupakan iklan Partai Gerindra dengan keterangan “Akses pekerjaan harus terbuka luas, agar kelak tidak ada lagi gelar

Pondok pesantren Manbail Futuh sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dengan berbagai ciri khas dan keunikannya, memiliki materi pendidikan akhlak yang sangat utuh dan

Sama seperti Azka dalam buku ini, ia juga kesal karena baju kesayangannya.. Bagaimana Azka menyelesaikan masalahnya, silakan membaca