• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELAKSASI PROGRESIF DAN KUANTITAS TIDUR PADA LANSIA YANG MENGALAMI INSOMNIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELAKSASI PROGRESIF DAN KUANTITAS TIDUR PADA LANSIA YANG MENGALAMI INSOMNIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

6 pISSN 2443-1125 eISSN 2442-6873

RELAKSASI PROGRESIF DAN KUANTITAS TIDUR PADA LANSIA YANG MENGALAMI INSOMNIA

Eka Yuyud Mujiyanti, Tanto Hariyanto, Moh Z Rachman

Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No 77 C Malang email: tantohariyanto@yahoo.com

Abstract: Sleep is one of the basic human needs that must be fulfilled . The quality and quantity of sleep

determine the sleep needs of all people. With the increasing age, there will be a variety of disorders of the body such as sleep disturbances, for instance insomnia . One non- pharmacologic measures to improve the sleep disorder is to perform progressive relaxation. Progressive relaxation is an exercise to tense and provide relaxation to the muscles so that they can bring drowsiness . This study aims to describe the quality and quantity of sleep after progressive relaxation of the elderly who experience insomnia . The research results, describing the quality and quantity of sleep after progressive relaxation of the elderly who experience insomnia, showed improvement in the quality and quantity of sleep, due to quiet and clean environment.

Keywords: sleep, elderly, insomnia, progressive relaxation

Abstrak: Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Kualitas dan

kuantitas tidur menentukan kebutuhan tidur semua orang. Seiring bertambahnya usia seseorang, akan terjadi berbagai gangguan pada tubuh seperti gangguan tidur diantaranya yaitu insomnia. Salah satu tindakan non farmakologis untuk memperbaiki gangguan tidur tersebut adalah dengan melakukan relaksasi progresif. Relaksasi progresif adalah latihan untuk menegangkan dan memberikan relaksasi pada otot-otot sehingga dapat memunculkan rasa kantuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas dan kuantitas tidur setelah dilakukan relaksasi progresif pada lansia yang mengalami insomnia. Berdasarkan hasil penelitian gambaran kualitas dan kuantitas tidur setelah dilakukan relaksasi progresif pada lansia yang mengalami insomnia menunjukkan peningkatan pada kualitas dan kuantitas tidur, yang melatarbelakangi hal tersebut yaitu lingkungan tenang dan bersih.

Kata Kunci: tidur, lansia, insomnia, relaksasi progresif

PENDAHULUAN

Lanjut usia (lansia) merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan, lansia juga bukan suatu penyakit (Pudjiastuti, 2003). Lansia adalah individu berusia diatas 60 tahun dimana memiliki tanda-tanda penurunan fungsi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi yang berlangsung terus menerus secara alamiah. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008).

Pembangunan kesehatan di Indonesia menunjukkan keberhasilan dengan meningkatnya

usia harapan hidup (UHH) masyarakat, dan diharapkan UHH meningkatkan dari 66,2 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,6 tahun pada tahun 2009. Dengan meningkatkan UHH, maka populasi penduduk lanjut usia akan mengalami peningkatan bermakna dan tahun 2010 diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia, sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% dari total jumlah penduduk (Depkes 2008 dalam Perihatin, 2012). Sedangkan pada tahun 2010 di Indonesia jumlah lansia sebanyak 14,439.967 jiwa (7,18%) dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 23.992.553 jiwa (9,77%), sementara pada tahun 2011 jumlah lansia sebesar 20 juta jiwa (9,51%), dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Indonesia adalah termasuk negara

(2)

yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18% (Depkes, 2012). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, jumlah warga usila (usia lanjut) di Jawa Timur tahun 2010 sebanyak 7.956.188 orang dan 3.399.189 orang diantaranya (42,72%) telah mendapat pelayanan kesehatan (Dinkes Jatim, 2012). Sedangkan jumlah lansia di Kota Malang saat ini sekitar 53.800 jiwa atau sekitar delapan persen dari jumlah penduduk. Saat ini di Kota Malang sudah ada 299 posyandu dan 15 puskesmas yang menangani para lansia tersebut (Sukarelawati, 2013).

Semakin meningkatnya populasi lansia semakin banyak pula masalah kesehatan bagi lansia itu sendiri, hal tersebut dikarenakan terjadinya proses menua. Menurut Constantinides dalam Maryam (2008) menyatakan proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan salah satu diantara masalah kesehatan atau perubahan tersebut yaitu gangguan sulit tidur pada lansia (insomnia).

Tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang. Dengan tidur yang cukup, tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. Secara umum, tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan aktivitas fisik yang mini-mal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respons stimulus eksternal. Oleh karena itu, tidur dapat memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas, mengurangi stres dan kecemasan, serta dapat meningkatkan kemampuan dan konsentrasi saat hendak melakukan aktivitas sehari-hari (Mubarak, W. 2009).

Selain itu, gangguan tidur salah satunya yang sering terjadi terutama pada lansia yaitu

insom-nia. Insomnia adalah gejala yang sering dialami oleh klien yang mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan/atau tidur singkat atau tidur nonrestoratif (Zorick dalam Potter & Perry, 2005).

Johnson et al (2005) pernah meneliti kasus insomnia dengan menggunakan relaksasi progresif terhadap sampel lansia wanita, responden merasakan penurunan yang signifikan dari waktu tidur, penurunan frekuensi terbangun di malam hari, tidur lebih tenang setelah menggunakan teknik relaksasi progresif. Relaksasi progresif adalah latihan terinstruksi yang meliputi pembelajaran untuk mengerutkan dan merelakskan kelompok otot secara sistematik, dimulai dengan otot wajah dan berakhir pada otot kaki. Latihan ini dapat dikombinasikan dengan latihan pernapasan yang berfokus pada proses tubuh bagian dalam. Terapi relaksasi progresif memerlukan waktu 15 sampai 30 menit dan dapat disertai dengan instruksi yang direkam untuk mengarahkan individu agar memperhatikan urutan otot yang dirilekskan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan menggunakan metode wawancara pada bulan November 2013 di Panti Griya Kasih Siloam Malang,pada 2-3 lansia yang mengalami kesulitan tidur oleh berbagai faktor. Menurut Ny. P sebagai pengurus Panti Griya Kasih Siloam Malang, menyatakan dari 20 pasien lansia yang terdiri dari 19 wanita dan 1 laki-laki terdapat sekitar 20% pasien kesulitan tidur terutama pada malam hari. Penyebab diantaranya adalah dikarenakan kurangnya dukungan keluarga dari lansia seperti jarangnya waktu dikunjungi oleh keluarga, ada masalah yang dipikirkan oleh lansia dalam kurun waktu yang lama, penyebab lainnya adanya vektor (nyamuk, serangga). Selama ini di Panti Griya Kasih Siloam Malang, belum ada cara penanganan atau implementasi bagi lansia yang sulit tidur (in-somnia) hanya terapi secara farmakologis yang telah diberikan namun oleh sebagian lansia kurang mematuhi terapi farmakologi yang sudah diberikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kualitas dan kuantitas tidur setelah dilakukan relaksasi progresif pada lansia yang mengalami insomnia.

(3)

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan jenis studi kasus yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena. Dalam hal ini peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu (Arikunto, 2006).

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah wawancara dan observasi untuk mendapatkan data tentang kualitas dan kuantitas tidur lansia dengan insomnia. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur (struc-tured interview) yaitu wawancara yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci (Arikunto, 2006). Alat bantu dari kegiatan wawancara untuk penelitian ini adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang berisi beberapa item pertanyaan berisi tentang durasi, kualitas, latensi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur. Peneliti melakukan wawancara kepada dua responden sebelum dan sesudah dilakukannya penelitian, wawancara yang digunakan yaitu menggunakan metode eksploratif dan disesuaikan dengan pedoman wawancara yang sudah ditentukan (memakai Pittsburgh Sleep Quality Index). Setelah itu, selama tujuh hari berturut-turut diajarkan relaksasi progresif dan dilakukan pengamatan, peneliti melakukan wawancara kembali kepada dua responden yang telah diajarkan relaksasi progresif, wawancara yang digunakan tetap memakai metode eksploratif yang berarti mencari tahu lebih mendalam tentang suatu kasus (Semiawan, 2010).

Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga melakukan observasi untuk mendapatkan data mengenai gambaran kualitas dan kuntitas tidur setelah dilakukan relaksasi progresif pada lansia dengan insomnia. Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen (Arikunto, 2006). Alat bantu untuk melakukan observasi yaitu menggunakan lembar observasi yang berisi aspek-aspek tentang kualitas dan kuantitas tidur.

Observasi terbagi menjadi dua yaitu siang hari untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pada tidur siang yang dibantu oleh tenaga kesehatan yang bertugas di Panti Griya Kasih Siloam Malang, kemudian observasi pada malam hari untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pada tidur malam yang dilakukan oleh peneliti.

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Februari-Maret 2014 di Panti Griya Kasih Siloam Malang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Subjek penelitian ini adalah lansia yang mengalami insomnia dengan jumlah subjek dua orang. Jenis penelitian ini studi kasus, sehingga peneliti hanya menggambarkan keadaan dan status fenomena yang terjadi di lokasi penelitian, sehingga hasil penelitian dirangkum dengan pembahasan. Berikut akan diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan dari hasil yang didapat. Subjek I (Oma Y)

Oma Y berusia 71 tahun sebelum dilakukan relaksasi progresif menunjukkan kualitas tidur yaitu sering terbangun ditengah malam hari dikarenakan sering BAK pada saat itu dan sulit untuk kembali tidur setelah bangun ditengah malam, Oma Y mengatakan bahwa jarang untuk tidur di siang hari, terkadang Oma Y menghabiskan waktu di tempat tidur sebelum waktunya untuk tidur yaitu sekitar 20-30 menit. Sedangkan menurut Bliwise dalam Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan lansia. Kecenderungan untuk tidur siang kelihatannya meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari. Berdasarkan hal tersebut, teori yang menyatakan pada lansia kecenderungan untuk melakukan tidur siang meningkat secara progresif sesuai dengan bertambahnya usia, teori tersebut tidak sesuai terhadap yang dialami Oma Y yaitu jarang untuk melakukan tidur siang meskipun sering terbangun di malam hari, ini dikarenakan oleh faktor ketenangan pikiran yang sering dialami oleh Oma

(4)

Y seperti sering memikirkan keluarga yang sudah jarang menghubungi Oma Y.

Menurut penelitian Drake, et al, 2014, yang menjelaskan bahwa pada orang lanjut usia tidur restoratif mereka semakin sedikit sehingga mudah terbangun. Sangat sulit bagi mereka untuk tidur selama 8 jam tanpa terbangun. Pada Oma Y mengatakan bahwa sering terbangun di tengah malam dan sangat jarang tertidur pada malam hari tanpa terbangun di tengah malam, beliau biasanya bangun karena ingin BAK dan secara tiba-tiba sering memikirkan keluarganya dirumah yang akhir-akhir ini jarang menghubungi Oma Y. Berdasarkan hal tersebut, pendapat yang menyatakan bahwa lansia mengalami tidur restoratif semakin sedikit dan sulit untuk tidur selama 8 jam tanpa terbangun sesuai terhadap Oma Y yang sering mengalami terbangun di tengah malam hari disebabkan oleh tanda-tanda dari penyakit penyerta (Diabetes Melitus) yaitu poliuri.

Oma Y mengatakan bahwa terkadang sering terbangun terlalu dini sekitar jam setengah 4 pagi dan biasanya setelah terbangun di tengah malam, Oma Y sulit mengawali untuk tidur kembali. Hal ini sesuai dengan Brenes et al (2009), menyatakan bahwa keluhan insomnia mencakup ketidak-mampuan untuk tertidur, sering terbangun pada dini hari. Berdasarkan hal tersebut, Oma Y menunjukkan tanda-tanda bahwa beliau meng-alami insomnia.

Menurut Akmal (2012) dalam Ismayadi (2012) yang menyatakan bahwa lansia menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur untuk memulai tidur, frekuensi terbangun menjadi meningkat sehingga fragmentasi tidur karena seringnya terbangun mengalami peningkatan. Sedangkan menurut Hidayat (2008) menyatakan bahwa kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda, usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam/hari. Pada Oma Y berangkat ke kamar tidur setelah doa bersama sekitar jam 20.30, baru bisa tertidur malam hari sekitar jam 21.00 dan bangun pada pagi hari sekitar jam 03.30, biasanya sering terbangun di tengah malam sekitar 1-2 jam serta jarang untuk tidur pada siang hari. Berdasarkan

hal tersebut yang dialami oleh Oma Y yaitu mengalami gangguan pada kualitas tidurnya yang ditunjukkan dengan sulit untuk mengawali tidur setelah terbangun di tengah malam dan terbangun terlalu dini. Oma Y juga mengalami gangguan pada kuantitas tidurnya yang ditunjukkan dengan jumlah kuantitas tidur yaitu dapat tertidur setelah 30 menit di tempat tidur dan kuantitas tidur Oma Y rata-ratanya 4-5 jam/hari sehingga Oma Y bisa dikatakan kehilangan waktu tertidur sekitar 1 jam dari waktu kebutuhan tidur usia lanjut.

Jacobson (1930) dalam Davis (1995) menyatakan latihan relaksasi otot progresif yang dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari secara teratur selama satu minggu cukup efektif dalam menurunkan insomnia. Setelah dilakukan relaksasi progresif perkembangan kualitas tidur yaitu awalnya Oma Y menunjukkan kualitas tidur yang kurang baik seperti merasakan matanya perih, konjungtiva terlihat merah, pusing (sakit kepala), jarang tidur siang, sering terbangun ditengah malam dan sulit untuk tidur kembali, tetapi setelah dilakukan latihan relaksasi progresif, Oma Y tidak terlihat konjungtiva merah, tidak merasa perih pada matanya, dan tidak merasakan sakit kepala. Oma Y diajarkan relaksasi progresif 1x/hari dalam seminggu, awalnya beliau jarang dan hampir tidak pernah untuk tidur siang serta sering terbangun di tengah malam tetapi selama diajarkan relaksasi progresif Oma Y hampir tidak pernah bangun ditengah malam dan sering tertidur pada siang hari dengan nyenyak. Berdasarkan hal tersebut yang dialami oleh Oma Y yaitu sesuai dengan teori Jacobson setelah diajarkan relaksasi progresif secara teratur 1 kali/hari selama seminggu akan menurunkan insomnia ini ditunjukkan dengan kualitas tidur Oma Y menunjukkan peningkatan yang baik.

Guyton & Hall (2007) menyatakan bahwa kondisi rileks yang ditimbulkan saat melakukan relaksasi dikarenakan latihan relaksasi dapat memberikan pemijatan halus pada berbagai kelenjar-kelenjar pada tubuh, menurunkan produksi kortisol, mengembalikan pengeluaran hormon yang secukupnya sehingga memberi keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran.

(5)

Pada Oma Y mengatakan setelah diajarkan relaksasi progresif tidurnya nyenyak, merasa tenang dan badannya merasa segar setelah bangun tidur dengan suasana tempat yang tenang, sejuk, kamar tidur yang bersih dan tertata rapi. Pendapat lain juga didukung oleh Winanto (2009) dalam Ismayadi (2012) menyatakan bahwa lansia perlu memperhatikan kualitas tidurnya, tidak hanya tergantung pada jumlah, tetapi bergantung pada pemenuhan kebutuhan tubuh untuk tidur dan lamanya waktu tidur tergantung dari individunya sendiri dan yang menjadi salah satu indikator terpenuhinya kebutuhan kualitas tidur seseorang adalah kondisi saat bangun tidur. Seseorang yang segar artinya kebutuhan tidurnya sudah tercukupi. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada Oma Y setelah diajarkan relaksasi progresif, tampak tidak lemas/ lesu dan Oma Y mengatakan bahwa badannya segar setelah bangun tidur. Berdasarkan hal tersebut, bahwa latihan relaksasi progresif yang sudah diajarkan pada Oma Y saat berpengaruh pada kualitas tidur yaitu terpenuhinya kebutuhan kualitas tidur ditunjukkan dengan setelah bangun tidur beliau tampak segar tidak terlihat lemas/lesu dan mengatakan tidurnya menjadi nyenyak.

Kuantitas tidur lansia dengan insomnia sebelum dan setelah diberikan relaksasi progresif menunjukkan perbedaan/peningkatan yang signifikan terhadap lansia dengan insomnia. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kuantitas tidur pada Oma Y sesudah diberikan latihan relaksasi progresif dari jumlah total kuantitas tidur per 24 jam pada Oma Y sekitar 4,5 jam/24 jam setelah dilakukan intervensi relaksasi progresif menjadi 7-8 jam/24 jam dan jarang terbangun di tengah malam. Hal ini sesuai dengan teori Jacobson dalam Davis (1995) menyatakan bahwa latihan relaksasi progresif yang dilakukan satu kali sehari secara teratur selama tujuh hari cukup efektif untuk menurunkan insomnia. Berdasarkan hal tersebut, latihan relaksasi progresif sesuai untuk menurunkan insomnia terutama untuk mening-katkan kuantitas tidur pada Oma Y.

Subjek II (Oma T)

Oma T berusia 83 tahun, sebelum dilakukan

relaksasi progresif menunjukkan kualitas tidur yang kurang baik yaitu terdapat gangguan tidur yang dialami Oma T sering terbangun di tengah malam dan sulit untuk memulai tidur, jarang untuk tidur di siang hari. Berdasarkan hal tersebut, kualitas tidur menjadi berubah pada kebanyakan lansia ditunjukkan pada Oma T yaitu sering terbangun tengah malam dan sulit untuk memulai tidur kembali. Menurut Bliwise dalam Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan lansia. Perubahan-perubahan itu mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan jumlah jam tidur siang (Hidayat, 2008). Tetapi hal ini tidak ditunjukkan pada Oma T yang jarang melakukan tidur di siang hari dimungkinkan karena berdasarkan hasil penelitian saat itu Oma T sering mengkonsumsi kopi sehari dapat 2-3 gelas dalam mengkonsumsi kopi terutama sebelum tidur.

Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya (Hidayat, 2008). Tetapi pada Oma T menunjukkan tanda-tanda kualitas tidur yang kurang seperti terlihat kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, mata terasa perih, dan sering terbangun di tengah malam. Berdasarkan hal tersebut Oma T mengalami kualitas tidur yang tidak baik dikarenakan oleh faktor ketenangan pikiran yang terganggu seperti memikirkan keluarga (anak-anaknya) karena sudah tidak pernah mengunjungi/ menjenguk Oma T di panti. Sebagian besar lansia yang mengalami stres emosional, beberapa otot akan mengalami ketegangan sehingga mengaktifkan saraf simpatis. Pada respon fight or flight memerlukan energi yang cepat, sehingga hati melepaskan lebih banyak glukosa untuk menjadi bahan bakar otot dan pelepasan hormon yang menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi gula. Membutuhkan energi yang begitu cepat akan membuat metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan dalam pemakaian energi. Aktifnya saraf simpatis membuat lansia tidak dapat santai atau relaks sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. (Purwanto, 2007). Oma T mengatakan bahwa

(6)

sering memikirkan keluarga (anak-anaknya) yang akhir-akhir ini tidak pernah menghubungi ataupun mengunjungi Oma T di Panti Griya Kasih Siloam Malang sehingga hal tersebut menjadi gangguan dalam kebutuhan tidur beliau. Seringkali sulit untuk memulai tidur Oma T biasanya terlalu memikirkan hal tersebut sebelum memulai untuk tidur. Berdasarkan hal tersebut Oma T mengalami peningkatan pada saraf simpatis disebabkan beliau seringkali memikirkan keluarga (anak dan cucunya) yang jarang menghubungi ataupun datang untuk menjenguknya sehingga membuat Oma T tidak dapat santai ataupun relaks, oleh karena itu tidak dapat memunculkan rasa kantuk. Kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda, usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam/hari (Hidayat, 2008). Pada Oma T kuantitas tidur sebelum dilakukan relaksasi progresif pada Oma T yaitu 4 jam/hari. Hal tersebut berarti bahwa Oma T mengalami kuantitas tidur yang kurang dari kebutuhan tidur sebenarnya. Oma T baru bisa tertidur setelah 1-2 jam di tempat tidurnya dan sering terbangun di tengah malam karena kecemasannya pada keluarga dirumah yang tidak pernah mengunjungi Oma T. Hal ini sesuai dengan teori menurut Akmal (2012) dalam Ismayadi (2012) yang menyatakan bahwa lansia meng-habiskan lebih banyak waktu di tempat tidur untuk memulai tidur, frekuensi terbangun menjadi meningkat sehingga fragmentasi tidur karena seringnya terbangun mengalami peningkatan.

Setelah dilakukan intervensi yaitu relaksasi progresif dengan suasana lingkungan sekitar yang tenang, kamar bersih, rapi dapat dilihat perkembangan kualitas tidur pada Oma T yaitu sudah berkurang kehitaman disekitar mata, tidak terlihat bengkak di kelopak mata, Oma T sudah membiasakan untuk tidur pada siang hari dan mengatakan tidurnya setelah diajarkan relaksasi progresif 1 kali/hari menjadi nyenyak dan bangun tidur merasakan segar serta tidak lesu. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hidayat (2008) menyatakan bahwa kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur seperti menunjukkan tanda fisik dan tidak mengalami

masalah dalam tidurnya. Tanda fisik seperti ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk ber-konsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing. Berdasarkan hal tersebut Oma T setelah dilakukan relaksasi progresif menunjukkan tanda-tanda kualitas yang baik dengan didukung suasana lingkungan sekitar yang tenang dan nyaman, ini berarti relaksasi progresif dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas tidur yang kurang.

Oma T mengatakan bahwa setelah dilatih relaksasi progresif merasakan pikiran tenang, merasa ngantuk, sering menguap, dan saat bangun tidur Oma T merasa segar kembali serta tidak terlihat lemah/lesu. Hal ini sesuai dengan Guyton & Hall (2007) menyatakan bahwa kondisi rileks yang ditimbulkan saat melakukan relaksasi dikarenakan latihan relaksasi dapat memberikan pemijatan halus pada berbagai kelenjar-kelenjar pada tubuh, menurunkan produksi kortisol, mengembalikan pengeluaran hormon yang secukupnya sehingga memberi keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran.

Menurut Jacobson dalam Davis (1995) menyatakan bahwa latihan relaksasi otot progresif yang dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari secara teratur selama satu minggu cukup efektif dalam menurunkan insomnia. Hal tersebut ditunjukkan pada kuantitas tidur Oma T sebelum dan setelah diberikan relaksasi progresif menunjukkan perbedaan/peningkatan yang signifikan terhadap lansia dengan insomnia. Perkembangan kuantitas tidur pada Oma T sesudah diberikan latihan relaksasi progresif dari jumlah total kuantitas tidur per 24 jam yaitu 4 jam/ 24 jam setelah dilakukan intervensi relaksasi progresif kuantitas tidur menjadi 6,5 jam/24 jam dan sudah mengurangi untuk tidak terbangun di tengah malam hari. Oma T juga sudah mengurangi mengkonsumsi kopi yang awalnya 2-3 gelas per hari menjadi 1 gelas per hari dan setelah dilakukan penelitian selama seminggu Oma T bangun ditengah malam hari hanya untuk BAK dan setelah

(7)

itu Oma T dapat tidur kembali. Berdasarkan hal tersebut, latihan relaksasi progresif berpengaruh pada kuantitas tidur dan kebiasaan yang mempengaruhi kurangnya kebutuhan tidur pada Oma T. Selain itu faktor yang mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut yaitu keinginan atau kemauan dalam diri Oma T untuk memperbaiki kebutuhan tidur.

Instrumen penelitian yang dipakai yaitu Pitts-burgh Sleep Quality Index (PSQI), instrumen tersebut digunakan peneliti sebelum dilakukannya penelitian selama seminggu dan sesudah penelitian dengan metode wawancara terstruktur, tetapi saat dilakukan pengamatan tidak bisa dilihat melalui instrumen tersebut karena peneliti masih perlu memilah aspek kualitas dan kuantitas. Instrumen PSQI dapat digunakan pada lansia yang tidak memiliki gangguan kognitif sedang dan berat karena instrumen tersebut salah satunya harus mengingat beberapa minggu atau bulan yang lalu tentang kualitas dan kuantitas tidur.

PENUTUP

Kualitas tidur setelah dilakukan relaksasi progresif pada Oma Y mengalami perubahan yaitu dapat tidur di siang hari dengan nyenyak/pulas, jarang terbangun di tengah malam dan tidak sulit untuk memulai tidur. Sedangkan kuantitas tidur juga mengalami perubahan yaitu dari 4,5 jam/24 jam menjadi 7-8 jam/24 jam. Perubahan kualitas dan kuantitas tidur pada Oma Y tersebut, dilatar belakangi dengan suasana lingkungan yang tenang, tidak terdapat tamu pada waktu jadwal tidur siang. Kualitas tidur setelah dilakukan relaksasi progresif pada Oma T mengalami perubahan yaitu dapat tidur di siang hari dengan nyenyak, jarang terbangun di tengah malam, dan mengurangi konsumsi kopi menjadi 1 gelas/hari. Kuantitas tidur Oma T juga mengalami perubahan yaitu dari 4 jam/24 jam menjadi 6,5 jam/24jam. Hal ini dilatarbelakangi dengan suasana lingkungan yang tenang, kamar tertata rapi, dan dari kemauan responden untuk latihan relaksasi progresif.

Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa relaksasi progresif baik digunakan pada lansia

dengan insomnia untuk memenuhi kualitas dan kuantitas tidur yang sesuai kebutuhan tidur.

Rekomendasi dari penelitian ini untuk peneliti selanjutnya sebelum dilakukan penelitian, disarankan untuk mengkaji kriteria subjek yang mempunyai gangguan aspek kognitif yang kurang dan dapat memperhatikan kembali instrumen penelitian agar sesuai dengan intervensi yang akan dilakukan

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu

Pendekatan Praktek, Edisi revisi VI. Jakarta : PT

Rineka Cipta.

Brenes, Gretchen A., Michael Miller, Mellinda Stanley, Jeff D. William, Mark Knudson, Vaughn McCall. 2009. Insomnia in older adults with generalized anxiety disorder. The American Journal Of

Geri-atric Psychiatry. Volume 17 Issue 6. Published by

Elsevier Inc

Davis, M. 1995. Paduan Relaksasi dan Reduksi Stress

Edisi III. Alih Bahasa Budi Ana Keliat dkk. Jakarta

EGC.

Depkes RI. 2012. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2012. Jakarta: Depkes RI

Dinkes Jatim. 2012. Profil Kesehatan Jawa Timur 2010. http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/ 1312948638_Profil_Kesehatan_Provinsi_Jawa_ Timur_2010.pdf diakses tgl 5 maret 2014

Drake CL., Hays RD., Morlock R., Wang F., Shikiar R., Frank L., Downey R., Roth T. 2014. Development and evaluation of a measure to assess restorative sleep. J. clin sleep medicine. 10(7), 741A-741E.doi:10.5664/jcsm.3860. diakses tgl 20 Maret 2014

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Kebutuhan

Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika.

Ismayadi. 2012. Relaksasi Otot Progresif dengan

Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia. (Online).

(http://repository.usu.ac.id). diakses pada tanggal 11 Mei 2014.

Johnson, Joyce Young, dkk. 2005. Prosedur Perawatan

di Rumah : Pedoman Untuk Perawat. Alih bahasa

Monica Eslter. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Maryam, S & Rosidawati, dkk. 2008. Mengenal Usia

Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba

(8)

Mubarak, Wahit Iqbal. 2009. Buku Ajar Kebutuhan

Dasar Manusia : Teori & Aplikasi dalam Praktik.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Perihatin, Eska. 2012. Pengaruh Terapi Relaksasi

Progresif Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi di Kelurahan Rangkapan Jaya Sawangan Depok Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental

Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik Edisi IV, Volume 2. Alih Bah asa Renata

Komalasari. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Pudjiastuti, Sri Surini & Utomo Budi. 2003. Fisioterapi

pada Lansia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Purwanto, 2007. Terapi Insomnia. http://klinis. wordpress.com diakses tgl 9 agustus 2014 Semiawan, Conny R. 2010. Metode Penelitian

Kualitatif. Jakarta:Grasindo

Sukarelawati, Endang. 2013. 6.000 Lansia Kota Malang Peroleh Tunjangan. http://www.antarajatim.com/ lihat/berita/111197/6000-lansia-kota-malang-peroleh-tunjangan. diakses tgl 23 september 2013

Referensi

Dokumen terkait

contoh dapat dari kasus atau gambar yang relevan dengan Kompetensi Dasar. Metode pembelajaran Examples Non Examples merupakan metode pembelajaran yang menggunakan gambar

Kecepatan rencana (V R ) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan- kendaraan bergerak dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan penggunaan senjata api illegal oleh anggotan

Berdasarkan hasil penelitian pada remaja putri yang mengalami obesitas yang dilaksanakan selama dua minggu di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran

Kegiatan proses penyusunan, pembahasan dan penetapan Raperda menjadi Perda yang dilakukan oleh lembaga DPRD Kabupaten Pacitan belum sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi

Tapi sebagai kakek Saya ya mending tidak usah, takut nanti di sawer-sawer mbak, tapi kalau cucu Saya berminat tentunya nanti dalam pengawasan Saya karena Dolalak kan

Hasil penelitian ini serupa dengan data yang diperoleh dari Goldsmith, dkk yang menyatakan bahwa melanoma maligna paling sering terjadi pada usia rata-rata 52 tahun, 10-

Infrastruktur dan Energi Meningkatnya mobilitas barang antarwilayah Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya 1 Meningkatnya mobilitas