• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V KESIMPULAN

Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi perempuan dan tertutupnya ruang interaksi antarkeduanya maka kompensasi terhadap pemenuhan kebutuhan seksual dalam menyalurkan hasrat seksualnya dilakukan cara-cara „berbeda‟ (non-heteroseksual), merupakan strategi napi untuk ke luar dari persoalan seksualitasnya sekaligus merupakan realitas seksualitas di tengah kehidupan napi.

Terdapat berbagai varian perilaku seksual napi,yang tidak hanya perilaku manusia seputar relasi seksual tetapi juga aktivitas non-seksual yang tampak dalam berbagai pola, di antaranya: (1) perilaku mempercantik diri yang mengarah pada aktualisasi daya tarik (stylish, fashionable); (2) perilaku seksual onani, yang dikenal di kalangan napi dengan istilah tante rosa, menulis, surat, atau lojon. Adalah perilaku seksual yang mengkode pada aktivitas seksual mandiri sebagai representasi pola perilaku seksual non-relasi; (3) perilaku seksual sebagaimana istilah yang-yangan atau soco-socoan, atau perilaku seksual yang mengkode hubungan antara dua orang napi sebagai representasi pola perilaku seksual dengan relasi.

Perilaku seksual dengan berbagai pola demikian terbentuk seiring dengan perkembangan pengetahuan napi tentang seksualitas, yang mana setiap individu (napi) memiliki pengetahuan seksualitas bagi dirinya sendiri, yang berbeda satu

(2)

sama lain. Kalau akibat pengetahuan kemudian memunculkan bentuk-bentuk perilaku seksual (baca: obyek dan tujuan) yang non-heteroseksual dan kemudian mewacana di lingkungan penjara lebih disebabkan karena pengetahuan tersebut mampu membentuk kekuasaan secara individu pada diri napi dalam melakukan tindakan kreatif seksual yang ‟ke luar‟ dari konstruksi sosial yang heteroseksual. Artinya, pengetahuan sadar napi dan berbagai pengalaman serta adanya tatanan budaya di lingkungan penjara mampu mengubah pola perilaku seksualitas napi. Dengan cara yang sama, respons terhadap wacana yang berkembang di tengah komunitas napi yang membentuk pengetahuan sadar napi mempunyai andil dalam melahirkan perilaku dan pola dalam menyalurkan hasrat seksualnya (non-heteroseksualitas).

Terjadinya pola dan perilaku seksual melalui proses dialektika dalam waktu relatif panjang, dan tidak dapat lepas dari dukungan faktor eksternal dan internal yang melingkupi kehidupan seksualitas napi. Secara eksternal, bagi napi sebelum berada di lingkungan penjara pernah mengalami sendiri peristiwa atau cara-cara „berbeda‟ dalam menyalurkan hasrat seksualnya sehingga pengalaman demikian merupakan potensi yang dapat muncul kembali dalam kehidupan seksualitas napi di penjara karena persoalan memori, yang tidak mudah dilupakan ataupun terlupakan. Berbeda jika napi tidak mengalami sendiri atau sekadar menyaksikan, sehingga peristiwa itu hanya akan menjadi pengetahuan (knowledge), oleh karena itu hal demikian relatif mudah dilupakan atau

terlupakan. Sedang secara internal, munculnya beberapa perubahan perilaku seksual napi erat kaitannya dengan perkembangan wacana tentang seksualitas di

(3)

tengah kehidupan napi di penjara.

Respons masing-masing individu napi terhadap stimulus (baca: wacana seksualitas) melalui proses penginderaan terhadap obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antargejala itulah yang berekses pada intensitas perilaku seksual, yang berbeda antara napi satu dan lainnya. Mereka yang secara eksternal berpengalaman melakukan perilaku seksual non-heteroseksual tidak berarti lebih tinggi ketimbang yang tidak berpengalaman dalam intensitas praktik.Itu sebabnya, respons terhadap wacana yang berkembang di tengah kehidupan penjara dalam membentuk pengetahuan sadar napi, yang ternyata melahirkan cara-cara „berbeda‟ dalam perilaku seksualnya. Jika kemudian wacana yang menunjuk pada berbagai aturan dan praktik pada rentang waktu tertentu akhirnya mampu mengonstruksi realitas seksual di penjara, tidak lain karena seksualitas adalah merupakan hasil konstruksi „pengetahuan-kekuasaan‟ sosial, yang mana kekuasaan lebih berbentuk sesuatu yang diproduksi oleh setiap individu napi melalui wacana.

Pola-pola perilaku seksual pada awalnya merupakan tindakan yang bersifat individual, namun realitasnya -pada akhirnya- menjadi pola tindakan kolektif dalam komunitas napi. Perubahan kerangka berpikir secara individual menuju kolektivitas ini tidak dapat dipungkiri karenaadanya gerakan secara horisontal yang sifatnya tidak terkendali, tanpa komando, dan mampu menerobos dinding-dinding vertikal institusi penjara. Pengaruh efek wacana ini pula yang menyeret ke dalam kesadaran individu menuju ke dalam situasi serba tidak teratur, semuanya menjadi tanpa batas dan sulit dihindarkan. Wacana dalam hal ini merupakan sebuah kekuasaan yang tidak lagi memerlukan kontrol secara

(4)

institusi, tetapi telah terpatri di dalam sistem pengetahuan (system of knowledge) atau mengonstruksi cara-cara berpikir yang dapat mempengaruhi perilaku seksual napi. Karenanya, apa yang menjadi pengetahuan seorang napi akan mempengaruhi napi dalam berperilaku yang memunculkan bentuk-bentuk cutting cross secara horisontal ke dalam institusi vertikal yang menekannya. Gerakan

secara horisontal demikian telah memungkinkan terjadinya perubahan pola tindakan yang semula bersifat individual berubah menjadi pola umum yang kaprah terjadi di kalangan napi di penjara. Namun yang pasti, bahwa pola tindakan demikian menunjukkan sebuah kreativitas individu napi yang mencoba ke luar dari strukturasi hierarkhis dalam institusi penjara.

Oleh karena itu, perilaku seksualitas dalam komunitas napi tidak hanya dilihat dari konteks normatif dari sebuah fenomena kultural. Perilaku seksual dalam komunitas napi menjadi kenyataan sosial yang tersirat dalam pergaulan melalui berbagai tindakan, dengan sendirinya melakukan cara-cara „berbeda‟ dalam pemenuhan kebutuhan seksual dalam menyalurkan hasrat seksualnya menjadi proses kultural. Inilah yang kemudian kehidupan napi di Penjara Wirogunan merupakan sebuah ruang sub-kultur tersendiri karena keunikannya dalam aspek cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tatanilai yang diikuti, dan hierarkhis kekuasaan intern dan sekaligus memiliki identitas kultural yang dalam kehidupan umum menjadikan lingkungan penjara menjadi unit budaya yang ‟berdiri sendiri‟ dan sekaligus menjadi ‟bagian dari kehidupan masyarakat‟.

Adapun perubahan orientasi seksual yang terjadi di lingkungan Penjara Wirogunan merupakan akibat dari konteks sosial yang melingkupi kehidupan

(5)

napi. Artinya, berada pada lingkungan baru dengan tatanan sosial-budaya khas, tidak mengherankan jika kemudian napi mengalami perubahan orientasi seksualitas (tujuan dan obyek), meski bersifat temporal dan tidak jarang orientasi seksual napi sekadar dorongan biologis. Dengan demikian dapat dipahami apabila faktor lingkungan sosial-budaya penjara yang dibarengi dengan lama waktu pemenjaraan mempunyai signifikansi terhadap perubahan perilaku seksual napi yang „berbeda‟ dengan ketika mereka masih berada di luar lingkungan penjara. Dengan cara yang sama, kondisi dan situasi penjara dengan kebudayaan di dalamnya, pada kenyataannya mampu mengubah perilaku seksual napi, yang berbeda dengan kebudayaan seksualitas yang dimiliki sebelum napi berada di penjara.

Perubahan orientasi dengan berbagai fenomena perilaku seksual di penjara juga tidak lepas dari bagaimana persepsi dan pengetahuan napi tentang seksualitas itu sendiri, yaitu, pandangan atau pemahaman napi dalam melihat seksualitas. Itu sebabnya, dapat dipahami jika di kalangan napi pun terdapat berbagai persepsi tentang seksualitas, yang berbeda satu sama lain, yang sangat tergantung dari pengetahuan pada masing-masing napi. Dari berbagai persepsi napi, akhirnya dapat dibedakan ke dalam dua (2) kategori, yakni: yang berkait dengan „kebutuhan ragawi‟ dan „kebutuhan lahiriah‟, yang satu sama lain merupakan sebuah jalinan yang tak terpisahkan, bersifat saling melengkapi, atau sebagai esensi seksualitas yang merupakan kebutuhan biologis yang diperlukan tubuh. Kebutuhan ragawi, lebih menyangkut pada persoalan pemenuhan kebutuhan secara fisik yang diperlukan tubuh dalam kaitannya dengan aspek kesehatan yang

(6)

bersifat jasmaniah. Sementara kebutuhan lahiriah, menyangkut persoalan pemenuhan kebutuhan rohaniah dalam kaitannya dengan aspek psikis, seperti motivasi, hiburan, spirit of life, kreativitas, harmonisasi, ataupun keseimbangan dalam hidup dan kehidupan.

Fenomena perilaku seksual napi juga merupakan fakta yang mempertegas realitas sosial kehidupan napi yang kehadiran dan keberadaannya tidak terbebas dari permisivitas terhadap nilai-nilai secara sosial-budaya di lingkungan penjara, yang terbentuk dari sikap solidaritas komunitas napi atas kesadarannya memberi jalan ke luar dalam mengatasi persoalan seksualitas mereka.Dalam hal ini permisivitas merupakan idioms legitimasi sosial dalam membentuk kemapanan perilaku seksual di kalangan napi, atau yang mampu mengonstruksi secara sosial. Dengan cara yang sama, faktor sosial lingkungan penjara mempunyai andil cukup dominan dalam memecahkan problem seksualitas. Itu sebabnya, konstruksi sosial demikian menjadi proses penting karena adanya basis kultural yang turut menentukan di dalam proses pembentukannya. Dengan demikian, fenomena perilaku seksual napi yang non-heteroseksual yang terjadi di Penjara Wirogunan adalah merupakan gejala „normal‟.

Secara antropologis, gejala permisivitas demikian mencerminkan bahwa kebudayaan di penjara dibentuk oleh aspek utama, yakni relativisme kebudayaan, yaitu pandangan yang melihat suatu kebudayaan dari sisi internal, di mana tidak terjadi penilaian terhadap kebudayaan lain berdasar standar yang berlaku di dalam kebudayaan penjara. Artinya, di lingkungan penjara tidak memperdebatkan

(7)

persoalan apakah kebudayaan seksualitas di dalam penjara sesuai atau tidak dengan kebudayaan di luar penjara dalam persoalan seksualitas.

Dipahami, bahwa manusia yang tergantung pada simbol-simbol dan sistem simbol, memiliki kemampuan untuk menerjemahkan perilaku seksual yang disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan oleh nilai dari seksualitas itu sendiri. Oleh sebab itu, melalui kumpulan makna umum di dalam seksualitas, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah-lakunya. Dengan cara yang sama, perilaku seksual napi sebagai kebudayaan adalah merupakan ekspresi simbolik individu napi atau komunitas napi dalam penjara. Sebagai ekspresi simbol, karenanya perilaku seksual dalam ruang kehidupan napi mempunyai makna yang tidak tunggal.

Secara emik, perilaku seksual napi sangat dekat dengan persoalan penyaluran hasrat seksual, atau yang lebih berkait erat dengan aspek biologis ataupun psikologis. Karenanya, perilaku seksual napi dapat ditafsirkan sebagai sebuah „kegiatan hiburan‟, yang dimaknai sebagai (a) sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan: ketenangan jiwa dan pikir; melepas kejenuhan; ataupun, kepuasan batin, yang cenderung lebih bersifat psikologis individu atau yang mengarah pada „dunia imajinatif‟; (b) perilaku seksual sebagai sesuatu yang diperlukan untuk menuju atau mencapai kondisi sehat, baik sehat secara individual ataupun sosial. Secara individual, kesehatan dimaksud sebagai refleksi kebutuhan biologis (dorongan seksual), karena dipahami apabila individu napi tidak mampu memenuhi kebutuhan seksualnya besar kemungkinan akan mempengaruhi kondisi fisik dan mental-psikisnya. Sedangkan sehat secara sosial erat kaitannya dengan

(8)

persoalan lingkungan di dalam menciptakan harmonisasi hubungan antarnapi, yang mana di lingkungan penjara memiliki aturan, norma, dan nilai-nilai termasuk dalam memaknai seksualitas. Karena itu, makna yang kedua ini lebih bersifat biologis yang mengarah pada „dunia nyata‟.

Dari apa yang tersirat dalam simbol yang tercermin dalam perilaku seksual napi tersebut merupakan realitas dan nilai sosial-budaya yang ‟diterima‟ dalam kehidupan napi di lingkungan penjara sejalan dengan sistem pengetahuan yang mereka miliki.

Referensi

Dokumen terkait

tanya jawab atas dokumen pemilihan / lelang dapat dilihat pada lampiran Berita Acara (terlampir). dan perubahan-perubahan atas dokumen pemilihan akan dituang dalam Addendum

Evaluasi dan penilaian harga penawaran dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam dokumen pengadaan dan berkesimpulan memenuhi syarat (tidak melebihi HPS) atau

orang-orang yang hancur dengan sebab mereka, dan betapa banyak mereka menggiring kawan-kawan mereka menuju kehancuran, dari arah yang mereka sadari maupun tidak mereka sadari.

The conversion of OPEFB to ethanol basically consists of three steps which are pretreatment, hydrolysis of cellulose and hemicellulose to simple sugars (hexoses and pentoses),

Struktur kendali rinci (d etailed control structure ) Menspesifikasikan tiga struktur kendali, (1) Jika sistem digabungkan dengan prosedur lain, bagaimana sistem pakar

yang baik dan memiliki empati yang tinggi pada orang lain. mempengaruhi seseorang akan lebih mudah untuk memaafkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan santoquin dan vitamin E dalam pakan tidak nyata (P > 0,05) berpengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot hidup, pertambahan

parhobas dalam acara pesta pada sistem kekerabatan Batak Toba di Desa.