• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

15

A. LANDASAN TEORI

1. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah a. Pengertian Hak Atas Tanah

Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.23Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah24.

Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakaan, perkebunan25.

b. Macam Hak Atas Tanah

Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa atas dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain

23 Boedi Harsono, op.cit. hlm. 283 24Ibid

25Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta, 2010,

(2)

serta badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria dan Pasal 53 Undang- Undang Pokok Agraria dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu:

1) Hak atas tanah yang bersifat tetap

Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.

2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang

Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini belum ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria menyadari bahwa dalam perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat, hanya saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang.

3) Hak atas tanah yang bersifat sementara

Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa Undang Undang Pokok Agraria . Macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa Tanah Pertanian.

(3)

Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:26

1) Hak atas tanah yang bersifat primer.

Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas tanah negara.

2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.

Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah Pertanian.

Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya sebagai berikut :

1) Hak milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial (Pasal 20 ayat (2) Undang Undang Pokok Agraria ). Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk

memberi hak atas tanah kepada warganya27.

Hak milik tidak dibatasi oleh jangka waktu. Selama pemegang haknya masih memenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang

26Ibid, hlm. 52-53

(4)

haknya tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut menjadi hapus.

Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:

a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka waktunya tertentu.

b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang mempunyai diberi “tanda hak milik”.

Terpenuh artinya:

a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak lain.

b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik: menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai.

c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.

d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna usaha terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk bangunan.28

(5)

Subyek hak milik atas tanah yaitu warga negara Indonesia dan badan hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syarat. Pemberian landasan hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk medapatkan hak milik atas tanah, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah29. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini : a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut

bank negara);

b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;

c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan

d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 Undang- Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:

a) Tanahnya jatuh kepada negara :

(1) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria ;

(2) Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya; (3) Karena ditelantarkan; dan

(6)

(4) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) Undang- Undang Pokok Agraria .

b) Tanahnya musnah. 2) Hak Guna Usaha (HGU)

Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 Undang- Undang Pokok Agraria ). Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki spesifikasi. Spesifikasi Hak Guna Usaha tidak bersifat terkuat dan terpenuh, dalam artian bahwa Hak Guna Usaha ini terbatas daya

berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain30.

Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria telah diakui dengan sendirinya bahwa Hak Guna Usaha ini sebagai hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi, tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu hak milik dengan orang lain.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 8 ayat (1), Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahannya.

Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli,

30Ibid, hlm 110

(7)

tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun 1996).

Subyek Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah:

a) Warga Negara Indonesia;

b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Berkaitan dengan subyek Hak Guna Usaha di atas, maka bagaimana kalau subyek pemegang Hak Guna Usaha tersebut beralih menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) telah beralih ke tangan pihak asing. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan31:

Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari Pasal 3).

Hak Guna Usaha mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa, Hak Guna Usaha hapus karena:

a) Jangka waktunya berakhir;

(8)

b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat tidak dipenuhi;

c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

d) Dicabut untuk kepentingan umum; e) Ditelantarkan;

f) Tanahnya musnah;

g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).

Ketentuan Pasal 34 Undang Undang Pokok Agraria ini diatur kembali dalam Pasal 17 PP Nomor 40 Tahun 1996, Hak Guna Usaha Hapus karena:

a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;

b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

c) Dicabut berdasarkan Undang Undang No.20 Tahun 1961; d) Ditelantarkan;

e) Tanahnya musnah; dan

f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan. 3) Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 Undang Undang Pokok Agraria), dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya.

(9)

Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbaharui haknya.

Subyek yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan adalah: warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996). Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34 ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).

Hak Guna Bangunan mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 dinyatakan bahwa, Hak Guna Bangunan hapus karena:

a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;

b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban pemegang hak

dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau (2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan Hak milik atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum yang tetap;

c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum janghka waktu berakhir;

d) Dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 1961; e) Ditelantarkan;

(10)

f) Tanahnya musnah;

g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat dalam satu tahun yang tidak melepaskan atau mengalihkan haknya).

4) Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak pakai diatur dalam Pasal 39-58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.

Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus ada persetujuan tertulis terlebih dahulu pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui haknya. 5) Hak Sewa

Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka waktu Hak Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam ketentuan perjanjian

sewa-menyewa dalam Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

(11)

2. Tinjauan Tentang Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

Konsep fungsi sosial baru timbul sekitar abad ke-19 sebagai reaksi daripada penerapan dan penggunaan hak milik secara mutlak dan formalistis di dalam masa puncak perkembangan kapitalis (Hoch kapitalismus) dan industrialisme di Eropa. Menurut Wolfgang Friedman yang dikutip Sunarjati Hartono, menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang sederhana (pra-industri) hak milik mempunyai fungsi memenuhi kebutuhan seseorang, sesuai dengan pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah. Di dalam masyarakat pra-industri yang sederhana, seperti di dalam hukum adat Indonesia, apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaan, maka yang dimaksud olehnya adalah barang yang dikuasai sepenuhnya dan yang dapat dinikmati sepenuhnya pula32.

Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang mempunyai berbagai macam hak untuk menjamin dan mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat salah satunya adalah hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan hak yang dipunyai seseorang yang menurut sifatnya termasuk hak yang secara wajar boleh dimiliki oleh suatu pihak karena hubungannya yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu tempat dan waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat. Hak ini masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena adanya suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa33. Artinya hak atas tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat diganggu gugat melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa kepentingan sebagai sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain adalah kepentingan umum.

Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya berarti dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai warga

32 Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Alumni,

Bandung, 1978, hlm. 16-17

33Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran

(12)

masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi hukum adat adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan penguasaan tanah secara individual sekaligus mengandung unsur kebersamaan34. Ini berarti bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara individual tidak dibenarkan penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan pribadi, melainkan penggunaannya harus disesuaikan dengan manfaat bagi masyarakat dan negara. Hak milik atas tanah dalam hukum adat yang berkembang sebelum bangsa barat datang adalah hukum adat yang merupakan hukum asli golongan pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:

ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria ).

Dari ketentuan di atas berarti hak atas tanah bukanlah bersifat pribadi semata-mata. Penggunaannya juga harus memperhatikan kepentingan

34Boedi Harsono, op.cit, hlm. 79

(13)

bersama yaitu kepentingan umum, karena bidang tanah yang dikuasai itu adalah sebagian dari tanah bersama.

Dalam konsep hukum barat, pengertian fungsi sosial pada hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu bagi kepentingan bersama. Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam hukum adat dan hukum tanah nasional merupakan bagian dari alam pikiran asli orang Indonesia. Bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus makhluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kepentingan masyarakatnya35.

Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari tiga kewajiban dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang bersifat umum yang dibebankan pada setiap pemegang hak atas tanah, yakni:

a. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6); b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 15);dan

c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10)36.

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang Undang Pokok Agraria mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain37:

a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum tanah nasional;

b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga kepentingan masyarakat; dan

35Ibid, hlm. 302 36Ibid, hlm. 42-43 37Ibid, hal. 299

(14)

c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya, sifatnya, dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak hanya pemilik tanah saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan

masyarakat secara keseluruhan38. Maka jika kepentingan umum

menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini

mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi39.

3. Tinjauan Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum a. Pengertian Pengadaan Tanah

Menurut John Salindeho pengadaan tanah adalah menyediakan tanah atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan sesuatu sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan40.

38 Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi

(Edisi Revisi +). PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 79

39Boedi Harsono, op.cit. hlm. 298-299

40John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 1993,

(15)

Pada dasarnya pengertian di atas dimaksudkan untuk menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan Pemerintah, dalam rangka proyek atau pembangunan infrastruktur negara sesuai program pemerintah yang telah ditentukan. Bukan tidak ada tanah yang tersedia, tetapi tanah bebas dari hak orang atau badan hukum yang justru dibutuhkan oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan sesuai strategi pembangunan nasional, diperlukan (tanah) demi terlaksananya program bertalian dengan proyek yang telah direncanakan41.

Sementara menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 dikatakan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tesebut”. Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65 Tahun 2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa Pengadaan adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan mendasarkan pada asas: Kemanusiaan,

keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan,

keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan serta kesetaraan.

(16)

b. Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah 1) Pengertian Kepentingan Umum :

Istilah kepentingan umum, pertama kali bermula dari ketentuan Pasal 18 Undang Undang Pokok Agraria , “...kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,,,,”. Selanjutnya Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1961 sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUPA, menyatakan “ ,,,kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan,,,”. Pasal 1 butir 5 Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No 36 Tahun 2005), menyatakan, “ Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”. Hakikat Kepentingan Umum dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. John Salindeho telah merumuskan bahwa kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan

mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara42.

Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dimaksud kepentingan umum dalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Pasal 5 Perpres No 65 tahun 2006, menyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :

(17)

a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan

bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e) tempat pembuangan sampah;

f) cagar alam dan cagar budaya; atau

g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

2) Karakteristik Kepentingan Umum ;

Menurut Adrian Suteji, ada tiga prinsip suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :

a) Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.

Bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dapat dimiliki oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.

b) Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah. Bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah. c) Tidak mencari keuntungan.

Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.

(18)

Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat, kriteria bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk kepentingan umum, yaitu :43

a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar memiliki kualifikasi untuk kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat dari beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat kepentingan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya;

b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar mempunyai kualifikasi sebagai kegiatan untuk kepentingan umum harus memenuhi syarat bentuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 2 lampiran Instruksi Presiden 1973 (bahwa sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan, sudah termasuk dalam rencana induk pembangunan dari daerah yang bersangkutan dan yang telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat) dan Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005; dan

c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri-ciri kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut benar-benar dimiliki pemerintah, dikelola oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan.

43Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah

(19)

c. Tata Cara Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 65 tahun 2006 mengatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (tiga ) macam, yakni: Pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Kedua, jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pengadaan tanah yang dilakukan dengan yang pertama dan kedua di atas masuk dalam katagori pengadaan tanah secara sukarela (voluntary land acquisition). Dalam klasifikasi teoritis cara pengadaan dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan ini disebut sebagai pemindahan hak, dengan cara pemindahan hak tersebut, hak atas tanah langsung berpindah dari pihak yang empunya kepada pihak yang membutuhkan. Jika yang ditempuh adalah cara pelepasan atau penyerahan hak, maka setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan” status tanah menjadi tanah negara, yang selanjutnya dilakukan

permohonan hak oleh pihak yang membutuhkan tanah44. Cara

pengadaan yang dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang telah diatur sebelumnya dalam UU No. 20 tahun 1961 merupakan

44Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

(20)

pengadaan tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang empunya tanah

(compulsory acquisition of land).

Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik Indonesia sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara pengadaan tanah, baik untuk kepentingan umum, usaha maupun pribadi. Cara yang digunakan

tergantung pada (Boedi Harsono, 2005: 5):45

1) Status hukum tanah yang diperlukan;

2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah; 3) Peruntukan tanah yang diperlukan;

4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanah yang bersangkutan.

Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk menetapkan sistem tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup jika sudah diketahui46:

1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;

2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau yang tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:

a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya,atau

b) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya;

3) Status hukum yang memerlukan tanah

kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai bersedia menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya, apakah yang memerlukannya:

a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang diterimanya, atau

b) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan diperolehnya.

45Boedi Harsono, op.cit. hlm. 5

(21)

Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah dapat disusun dalam suatu sistem sebagai berikut47:

1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara, maka tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan dan pemberian hak atas tanah;

2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka acaranya adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk melepaskan hak ulayatnya, dengan pemberian ganti-rugi atas tanam tumbuh rakyat yang ada diatasnya.

Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanah sesuai dengan status pihak yang akan menggunakannya melalui cara permohonan pemberian hak tersebut di atas.

3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara yang digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya kesediaan yang empunya tanah untuk menyerahkan kepada yang memerlukan, dengan ketentuan:

a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela, maka ditempuh:

a) Acara pemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-menukar atau hibah, yaitu jika yang memerlukan memenuhi syarat sebagai subyek hak tanah yang dipindahkan itu;

b) Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak yang memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi subyek hak yang semula menentukan status tanah tersebut.

b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia menyerahkannya dengan suka rela, apabila syarat-syarat telah terpenuhi, maka dapat ditempuh acara pencabutan hak, sebagai cara pengambilan tanah secara paksa48.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No 65 Tahun 2006, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah Daerah Istimewa/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah Daerah Istimewa/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota, sedangkan untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota

47Ibid, hlm. 6-7

(22)

Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Panitia pengadaan tanah bertugas (Pasal 7):

1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda–benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;

2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya

akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang

mendukungnya;

3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;

4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;

5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;

6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;

7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; dan

8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas

pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang

(23)

Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah,

sehingga didapat kesepakatan baik mengenai pelaksanaan

pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya. Berdasarkan Pasal 12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil, pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah

memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara

independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah. Sementara itu berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini telah memperkenalkan pembatasan waktu (120 hari) dan konsepsi konsinyasi (penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan penilai, batasan waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat menghindarkan berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus untuk menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.

Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, yaitu: pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan pengadaan tanah untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah yang dilakukan Pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan pengadaan tanah bukan untuk kepentingan umum (misalnya: kepentingan komersial). Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa pula digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan komersial,

(24)

yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum termasuk pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial lainnya49.

d. Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah dan Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Di dalam diktum pertimbangan Perpres No. 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006, menyatakan “bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah”. Pasal 4 menyatakan “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.”.Maria S.W. Soemardjono berpendapat prinsip penghormatan ini diberikan kepada pemegang hak atas tanah (subyek), karena konstitusi menjamin hak seseorang atas tanah yang merupakan hak ekonominya.

Kebijakan pengambilalihan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, di mana perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut50:

1) Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya, tanpa membedakan bahwa mereka yang tergusur tetap tinggal di tempat semula atau pindah ke lokasi lain;

2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum51, maka ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan:

49Ibid, hlm. 5

50 S.W. Soemardjono, op. cit. hlm. 90-91

(25)

a) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;

b) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya; c) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan memberikan

alternatif lokasi baru yang dilengkapai dengan fasilitas dan pelayanan yang layak; dan

d) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan yang setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil alaihan. Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan bangunan seyogyanya didasarkan pada biaya pengggantian nyata. Bila diperlukan dapat diminta jasa penilai independent untuk melakukan taksiran ganti kerugian.

3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas, mencakup:

a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat;

b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti pemilikan lain;

c) Penyewa bangunan;

d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan pekerjaan; e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan kerja

atau penghasilan; dan

f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang akan kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.

4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak dilaksanakan survei dasar dan survei sosial ekonomi;

5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman kembali,

dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan sungguh-sungguh terjamin;

6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus

ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali, integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan semenjak awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan oleh kedua belah pihak;dan

7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan

menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses

pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta tatacara penyampaiannya.

Ganti kerugian merupakan bukti terhadap pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan dalam

(26)

penghormatan kepada seorang yang haknya dikurangi dengan memberikan imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaannya sebelum hak tersebut dikurangi atau diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi kesejahteraan. Kerugian yang akan terjadi itu setidaknya meliputi52 :

1) Kehilangan tanah (tanah pertanian, pekarangan, akses ke hutan dan sumber-sumber alam lain, kehilangan tanah kepunyaan bersama); 2) Kehilangan bangunan (untuk rumah atau bangunan fisik lain); 3) Kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan (karena

ketergantungannya kepada hutan dan sumber-sumber alam lainnya); dan

4) Kehilangan pusat-pusat kehidupan dan budaya masyarakat (tempat-tempat religius, (tempat-tempat ibadah, kuburan, hak atas sumber daya alam).

Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Perpres No 65 tahun 2006) :

1) Uang; dan/atau

2) Tanah pengganti; dan/atau 3) Pemukiman kembali; dan/atau

4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas (Pasal 15 ayat (1) Perpres No.65 tahun 2006):

1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan

(27)

penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;

2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;dan

3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.

e. Kebijakan Yuridis Undang-Undang No. 2 Tahun 2012

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan Undang-Undang yang ditunggu tunggu, peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-Undang ini diharapankan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.

Ada beberapa Pasal yang perlu mendapat perhatian antara lain: Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang-Undang ini: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. memang baik terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.

Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih baik lagi menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas

(28)

keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 Undang-Undang ini. Kalimat: “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.

Pasal 41 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib ditegaskan pada Undang-Undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang berhak.

Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai tanah dilakukan bidang per bidang tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini dimaksudkan untuk dapatnya memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada bidang tanah yang berdampingan dalam keadaan tertentu yang satu harus dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih rendah. Dimungkinkan dalam pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan nilainya akan naik, tetapi di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak tersisa atau tersisa sedikit. Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya akan naik, oleh karena itu nilai ganti ruginya harus lebih rendah daripada bidang tanah yang tergusur habis.

Diatur pada Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang digunakan bagi pembangunan untuk kepentingan umum terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.

Setelah penetapan lokasi pembangunan pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang

(29)

memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Selanjutnya bila kita perhatikan Pasal 41: Pasal 41

1) Ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5).

2) Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:

a. melakukan pelepasan hak; dan

b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.

3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.

4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan.

Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini mencerminkan Undang-Undang ini represif. Kalimat “tidak dapat

diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan fakta

hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19 ayat (2)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:

(30)

Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.

Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat diganggu gugat.

Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat diganggu

gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan

sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.

Pasal Pasal 43 Undang-Undang ini menyatakan: Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlakudan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

(31)

Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya Undang-Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 Undang-Undang ini sendiri.

4. Teori Normatif Hukum

Pandangan Normatif adalah Kerangka berpikir tentang hukum, keberlakuannya, penerapannya, pembentukannya dan penegakannya harus berdasar kepada segala bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum tersebut. Pandangan ini mutlak memberlakukan dogmatika hukum yang bersumber pada hukum positif, sehingga tidak memperhitungkan tentang faktor Empiris yang mengukur manfaat keberlakuan hukum dengan melihat kondisi/ fakta di masyarakat, disebut pandangan Positivistik.

llmu hukum adalah ilmu yang memiliki kepribadian yang khas (sui

generis). Ciri ilmu hukum sebagai sui generis: karakter normatif ilmu

hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, lapisan ilmu hukum. Dari sudut kualitas sulit dikelompokkan dalam Ilmu Pengetahuan Alam atau

dalam Ilmu Pengetahuan Sosial. Jelaslah, sangat sulit untuk

mengkategorikan ilmu hukum ke dalam kelompok ilmu yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu hukum adalah ilmu yang suigeneris. Ilmu hukum menurut T. Gijssels mempunyai tiga lapisan, jika dalam tataran dogmatik hukum dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum termasuk ilmu praktis, karena bertujuan untuk problem solving. Tetapi dalam tataran teori hukum ilmu hukum masuk ilmu normatif. Dalam tataran filsafat, tidak dapat

(32)

ilmu hukum dipertanyakan masuk apa karena filsafat bukan ilmu, tetapi filsafat adalah induk dari ilmu. Terakhir, ilmu Hukum dibedakan menjadi Ilmu hukum normatif obyeknya norma dengan Ilmu hukum empiris yang terdiri dari factual patterns of behavior, Sociological jurisprudence dan

socio-legal studies53.

Dalam ilmu hukum jangan pernah tidak dapat menyampingkan karakterisitik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum mempunyai sifat empiris analitisnya. Keberadaan sifat empiris analistiknya karena ilmu hukum merupakan ilmu praktis yang bersifat normologis, berusaha memperoleh pengetahuan factual empiris yakni pengeahuan tentang hubungan yang tetap yang berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kasualistas deterministic. Ilmu hukum mengarah pada refleksi pemecahan masalah kongkrit dalam masyarakat berbeda dari hakikat hukum empiris sebagai bagian dari ilmu social yang dipelajari untuk meramalkan proses social54

Dari penjelasan tersebut berarti, terdapat perbedaan hukum normatif dengan ilmu hukum empiris yang merupakan ilmu social. Ilmu hukum normatif merupakan ilmu praktis merubah keadaan menawarkan penyelesaian terhadap problem masayarakat, ilmu hukum memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan ilmu yang lainnya

Oleh karena itu menurut Johnny Ibrahim konsekuesinya terhadap metode penelitian hukum : pertama, dalam melakukan penelitian hukum yang digunakan metode normatif, yakni metode doktrinal dengan preskriptif untuk menemukan hukum secara hermeneuis. Kaidah tersebut menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yurisdis dari subyek hukum. Kedua, metode penelitian hukum bertumpu pada metode doktrinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum ”metode empiris” dapat

53 Sidharta Arief, pemetaan aliran pemikiran hokum dan kosekwensinya, 2009,hlm 156 54 Ibrahim Johnny, teori dan metodologi penelitian hokum, normative, 2007, hlm 50

(33)

digunakan selama diperlukan penggunaan metode dalam perspektif yang berbeda harus dijelaskan dan dipertanggung jawabkan secara ilmiah55.

5. Teori Penegakan Hukum

Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin) yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea (bahasa Yunani) yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Para ahli menggunakan kata teori sebagai bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (sesuai kenyataan), juga simbolis. 56

Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yakni

peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib.57

Pelanggaran terhadap peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu. Berdasarkan definisi tersebut maka unsur-unsur hukum mencakup empat hal yaitu :

1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; 2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;

3) Peraturan itu bersifat memaksa; dan

4) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas.

Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Hukum tidak

55 Ibid, hlm 161-163

56 Juhaya S. Praja, Teori hukum dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung, 2011,

hlm.1

57 C.S.T. Kansil., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

(34)

terlepas dari kehidupan manusia maka untuk membicarakan hukum kita

tidak dapat lepas membicarakanya dari kehidupan manusia.58

Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum

sendiri adalah untuk menciptakan suatu kedamaian dalam masyarakat.59

Pada hakekatnya hukum sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Sistem dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai susunan, kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain. Hukum sebagai suatu sistem, Lawrence M Friedman mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung dalam hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen yakni struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum yang berinteraksi.60

Struktur Hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum beserta aparatnya yang mencakup kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, kantor pengacara dengan pengacaranya, dan pengadilan dengan hakimnya. Substansi Hukum adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir, dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat. 61

58 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima,

Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2010, hlm. 1

59 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,

Jakarta, 1986, hlm. 13

60Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Diterjemahkan

oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm. 17

61 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume

(35)

Substansi hukum adalah bagian substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam undang-undang. Struktur hukum disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.

Kultur hukum merupakan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta kultur hukum yang baik yang dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum. Baik substansi hukum, struktur hukum, maupun kultur hukum ini terkait satu sama lain.

Upaya dalam mengenal hukum sebagai suatu sistem seperti yang

dikemukakan oleh Lon. L. Fuller62 harus dicermati apakah telah memenuhi 8

(delapan) asas (principles of legality) :

1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. 2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diundangkan. 3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.

4) Peraturan-peraturan itu harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6) Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan.

7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan.

62Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 51

(36)

8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum harus mempunyai tiga nilai idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang

baik yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan.63 Masyarakat

mengharapkan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Kegunaan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum. Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan

hukum. Berdasarkan karakteristiknya keadilan bersifat subyektif,

individualistis, dan tidak menyamaratakan.64

Apabila penegak hukum menitik beratkan pada nilai keadilan dengan mengesampingkan nilai kegunaan dan kepastian hukum Maka hukum tidak akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika menitikberatkan pada nilai kegunaan dengan mengesampingkan nilai kepastian hukum dan keadilan maka hukum tidak akan berjalan. Oleh karena itu dalam penegakan hukum maka nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kegunaan merupakan suatu kesatuan yang berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus di laksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran. Dalam hal hukum dilanggar maka hukum harus di tegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Soerjono

63 Ibid, hlm. 19

(37)

Soekanto mengemukakan lima faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum atau keefektifan hukum tersebut antara lain 65:

1) Faktor hukumnya sendiri;

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di terapkan; dan

5) Faktor kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Hukum merupakan suatu intersub-sistem dalam masyarakat yang semakin luas ruang lingkupnya maupun peranannya. Oleh karena itu, muncul masalah bagaimana mengusahakan agar hukum semakin efektif, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana mempermudah interaksi sosial dan sarana pembaharu. Keberhasilan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat untuk kepentingan manusia telah tercapai maksudnya. Kegagalan dalam pelaksanaan hukum berarti ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak tercapai maksudnya atau tidak berhasil dalam implementasinya. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum dapat dilihat dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya. 66

65 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.8

(38)

B. Penelitian yang Relevan.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :

No Penelitian Relevan Perbedaan Peelitian

1 Tesis 2010

Pengadaan Tanah

untuk Kepentingan Umum Kurang dari

satu hektar dan

penetapan ganti kerugiannya (Studi

Kasus Pelebaran

Jalan Gatot Subroto di Kota Tangerang)

Wahyu Candra Alam Sri Haryono

Penelitian ini meneliti tentang pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang Luasnya Kurang

Dari Satu Hektar dan

Penetapan Ganti

Kerugiannya dalam pembangunan

Pelebaran Jalan

Gatot Subroto dan

pembuatan Over

Pass di Kota

Tangerang apakah

sudah sesuai dengan

peraturan yang berlaku dan memenuhi rasa keadilan masyarakat yang terkena pembangunan tersebut Meneliti dan menganalis tentang tata cara pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang menjamin kedudukan hukum

hak atas tanah

serta Kendala yang

ada dalam pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan solusinya

(39)

2 Tesis (2008) Pelaksaaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Kota Padang

Rinda Rahmi Sri Haryono

Penelitian ini menitik beratkan tentang pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di kota

Padang, pihak yang

berwenang dalam

pengadaan tanah

bagi pembangunan

untuk kepentingan

umum, kendala yang

dihadapi dalam

pengadaan tanah

serta peranan Dinas Tata Ruang dan Tata

Bangunan dalam

pengadaan tanah

untuk kepentingan

umum, kasus tentang pengadaan tanah dan pembahasannya.

Meneliti dan

menganalis tentang tata cara pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang menjamin kedudukan hukum

hak atas tanah

serta Kendala yang

ada dalam pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan solusinya 3 Tesis 2006 judul Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum di Semarang (Studi kasus Pelebaran

Dwi Fratmawati Sri Haryono

penelitian yang dilakukan meneliti tentangpelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Meneliti dan menganalis tentang tata cara pengadaan

tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan

Referensi

Dokumen terkait

Research methodology applied in this research included 1) Descriptive quantitative method 2) Documentation as both data collecting method and research instrument

Pertama, kajian ini berupaya menjelaskan bagaimana kelompok tani di Desa Giriwinangun dalam pengembangan manajemen dan usaha anggota kelompok tani, meningkatkan

Klaten Materi Pecahan Melalui bantuan alat peraga benda konkrit tahun 2010/2011” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan media pembelajaran alat

Produk-produk yang betul-betul kompetitif, penawaran dan permintaan domestik akan tergantung pada harga barang, sedangkan permintaan dan penawaran asing (ekspor) akan bergantung

(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan

Ringkasan Analisis Variansi Pengaruh Konsentrasi dan Asal Ekstrak Gulma terhadap Persentase Perkecambahan Biji Mimosa pudica .... Ringkasan Analisis Variansi Pengaruh Konsentrasi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada RSUP Persahabatan Jakarta Timur selaku instansi yang terkait mengenai faktor -faktor yang berhubungan