• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Bogor, Desember 2018 Tim Peneliti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Bogor, Desember 2018 Tim Peneliti"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

Laporan akhir Riset Aksi Paludikultur dengan judul “Restorasi Ekosistem Gambut Partisipatif Dengan Model Paludikultur Di KHG Sungai Mendahara - Sungai Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi” ini

disusun dalam rangka memenuhi kewajiban yang tertuang dalam pasal 1 ayat 2 Surat Perjanjian Kerjasama Swakelola (Kontrak) antara Pejabat Pembuat Komitmen Kedeputian Penelitian dan Pengembangan BRG dengan Institut Pertanian Bogor Nomor: SPKS 03/BRG/D4/06/2018 dan Nomor: 7622/IT3/KP/2018/IT3.11/PN/2018 tanggal 4 Juni 2018.

Kegiatan Penelitian Riset Aksi ini juga dilakukan pelatihan-pelatihan bagi kelompok tani peserta Riset Aksi untuk meningkatkan kapasitasnya. Disamping itu untuk meningkatkan jejaring diantara stakeholders juga dilakukan kegiatan Sosialisasi Riset Aksi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kedua kegiatan tersebut dibuat laporan tersendiri yang terpisah dari Laporan Akhir ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Akhir ini.

Dalam Laporan Akhir ini disajikan hasil penelitian pertumbuhan jenis-jenis tanaman Paludikultur yang dibuat dalam dua model yaitu Jalur dan Applied Nucleation. Disamping itu juga dilakukan penelitian tentang tinggi muka air gambut sebelum dan sesudah dibuat canal blocking. Rantai pasar beberapa komoditas tanaman paludikultur juga dilakukan pada Riset Aksi ini.

Semoga laporan Akhir ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan acuan untuk restorasi lahan gambut terdegradasi di tempat lainnya..

Bogor, Desember 2018 Tim Peneliti

(3)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……… 2 DAFTAR ISI……… 3 DAFTAR TABEL ... 4 DAFTAR GAMBAR ... 4 I. PENDAHULUAN ... 6 1.1. Latar Belakang ... 6 1.2. Tujuan Umum ... 7 1.3. Tujuan Khusus ... 7 1.5. Output ... 7

1.5.1. Terwujudnya Sistem Prakondisi Masyarakat ... 7

1.5.2. Terwujudnya demplot restorasi lahan gambut dengan pendekatan Paludikultur dan Agroforestry ... 7

1.5.3. Rantai Pasar beberapa komoditas tanaman Paludikultur dan Agroforestry ... 7

II. PRINSIP DAN STRATEGI RESTORASI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI... 7

III. PENDEKATAN TEKNIS ... 9

3.1. Logical Framework ... 9

3.2. Deskripsi Kegiatan Riset Aksi ... 9

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 9

3.2.2. Kegiatan Riset Aksi ... 10

IV. METODOLOGI ... 11

4.1 Monitoring Pertumbuhan Tanaman ... 11

4.2 Monitoring Water Level dan Subsidensi ... 13

4.3 Survey Rantai Pasar Komoditas Paludikultur dan Agroforetry ... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

5.1 Demplot Paludikultur ... 15

5.1.1 Pemagaran Areal Demplot ... 15

5.1.2 Daya Hidup Tanaman ... 15

5.1.3 Pemeliharaan Tanaman... 18

5.1.4 Laju Pertumbuhan Tanaman ... 19

5.1.5 Kandungan Klorofil Daun ... 25

5.1.6 Penyulaman Tanaman ... 28

5.2 Demplot Agroforestry ... 31

5.2.1 Pemagaran Areal Demplot ... 31

5.2.2 Daya Hidup Tanaman ... 31

5.2.3 Pemeliharaan Tanaman... 32

5.2.4 Laju Pertumbuhan Tanaman ... 32

5.2.5 Kandungan Klorofil Daun ... 35

5.2.6 Penyulaman Tanaman ... 36

5.3 Subsidensi dan Tinggi Muka Air ... 36

5.4 Rantai Pasar Beberapa Komoditas Paludikultur dan Agroforestry ... 42

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Logical Framework ... 9

Tabel 2 Hasil Uji T-Student Pola Penanaman terhadap Parameter yang diamati ... 21

Tabel 3 Rekapitulasi Pertumbuhan Tanaman 12 BST dan Tanaman Sulaman ... 23

Tabel 4 Penurunan permukaan tanah gambut di lahan demplot ... 38

Tabel 5 Tinggi Muka Air (TMA) di lahan demplot paludikultur ... 40

Tabel 6 Tinggi Muka Air (TMA) di lahan demplot agroforestry ... 42

Tabel 7 Daftar tim peneliti ... 46

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Peta lokasi penelitian restorasi lahan gambut dengan pendekatan konsep applied nucleation dan agroforestry ... 10

Gambar 2. Demplot Riset Aksi Paludikultur ... 11

Gambar 3 Demplot Agroforestry ... 11

Gambar 4 Ilustrasi Tata Letak Tanaman di Demplot Paludikultur ... 12

Gambar 5 Pengukuran Tinggi, Diameter dan Pelabelan pada Tanaman yang diukur ... 12

Gambar 6 Titik-titik Pengukuran tinggi muka air dan subsidensi di demplot Paludikultur .. 13

Gambar 7 Titik-titik Pengukuran tinggi muka air dan subsidensi di demplot Agroforestry . 14 Gambar 8 Kegiatan Pembuatan Pagar pada Demplot Paludikultur ... 15

Gambar 9 Persentase Daya Sintas Tanaman sebelum dan setelah dilakukan Pemagaran ... 16

Gambar 10 A)Tanaman yang diduga dirusak oleh hama babi hutan; B) Tanaman yang mengalami kekeringan ... 16

Gambar 11 Kondisi Tanaman Hidup pada Pola Paludikultur sebelum dilakukan Pemagaran ... 17

Gambar 12. A) Tanaman jelutung yang diserang oleh hama pemakan daun (Kurang Sehat); B) Penyakit bercak daun (merana) dan C) Penyakit bercak daun (kurang sehat) ... 17

Gambar 13. Kondisi Tanaman yang tergolong Sehat ... 18

Gambar 14 A) Kondisi lahan sebelum dilakukan pembersihan; B) Kondisi lahan setelah dilakukan pembersihan ... 18

Gambar 15. Kondisi Lahan Pola Tanam Jalur Sebelum dan Sesudah dilakukan Pembersihan Lahan ... 18

Gambar 16 a) Riap Pertumbuhan Tinggi Bulanan Berjalan pada Tanaman Jelutung dan b) Riap Pertumbuhan Diameter Bulanan Berjalan pada Tanaman Jelutung pada 12 BST ... 19

Gambar 17 Rata-rata Tinggi Tanaman Jelutung pada berbagai Model Penanaman selama Interval Pengamatan ... 20

Gambar 18 Rata-rata Diameter Tanaman Jelutung pada berbagai Model Penanaman selama Interval Pengamatan ... 20

Gambar 19 Rata-rata Tinggi Tanaman Buah-buahan pada Model Penanaman Applied Nucleation ... 21

Gambar 20 Rata-rata Diameter Tanaman Buah-buahan pada Model Penanaman Applied Nucleation ... 22

(5)

Gambar 21 a) Riap Pertumbuhan Tinggi Bulanan Berjalan pada Tanaman Buah-buahan b) Riap Pertumbuhan Diameter Bulanan Berjalan pada Tanaman Buah-buahan

pada 12 BST ... 23

Gambar 22 Kondisi Lahan sebelum dilakukan pembersihan, hal tersebut diduga menghambat pertumbuhan tanaman ... 24

Gambar 23 Tanaman jengkol,Rambutan dan nangk umur 1 tahun yang mampu tumbuh Optimal ... 24

Gambar 24 Pengukuran Kadar Klorofil menggunakan SPAD-502 ... 25

Gambar 25 Kadar Klorofil Tanaman Jelutung yang terdapat pada berbagai Model Penanaman ... 25

Gambar 26 a) Tanaman Jelutung dengan Kadar Klorofil (Unit SPAD) 29,7; b) Jelutung dengan nilai 44,1; c) Jengkol dengan nilai 42,3; dan d) Jengkol dengan nilai 19,4. ... 26

Gambar 27 Hubungan Kadar Klorofil dan Riap Diameter Bulanan (a) Riap Tinggi Bulanan (b), c) Riap Diameter Bulanan Berjalan, d) Riap Tinggi Bulanan Berjalanpada Tanaman Jelutung di berbagai Pola Tanam ... 27

Gambar 28 Kadar Klorofil pada berbagai Jenis Tanaman Buah-buahan di Demplot Penelitian ... 27

Gambar 29 Hubungan Kadar Klorofil dan Riap Diameter Bulanan (a) Riap Tinggi Bulanan (b), c) Riap Diameter Bulanan Berjalan, d) Riap Tinggi Bulanan Berjalan pada Tanaman Buah-buahan di di Model Penanaman ... 28

Gambar 30 Penaburan Dolomit sebelum dilakukannya Penanaman ... 28

Gambar 31 Kegiatan Penanaman dengan Cara Penugalan ... 29

Gambar 32 Performa Pertumbuhan Tanaman Jelutung Sulaman ... 29

Gambar 33 Performa Diameter Tanaman Buah-buahan Sulaman ... 30

Gambar 34 Performa Tinggi Tanaman Buah-buahan Sulaman ... 30

Gambar 35 Kadar Klorofil Tanaman Buah-buahan Sulaman ... 30

Gambar 36 Pemasangan pagar pada lokasi demplot agroforestry ... 31

Gambar 37 Persentase hidup tanaman pada demplot agroforestry ... 32

Gambar 38 Diameter (mm) pada berbagai Jenis Tanaman Selama Periode Pengukuran ... 33

Gambar 39 Peforma Pertumbuhan Tinggi pada berbagai Jenis Tanaman ... 33

Gambar 40 Riap Tinggi Bulanan berjalan pada berbagai Jenis Tanaman ... 34

Gambar 41 Riap Diameter Bulanan Berjalan pada berbagai Jenis Tanaman ... 34

Gambar 42 Kadar Klorofil (Unit SPAD) pada berbagai Jenis Tanaman ... 35

Gambar 43 Pola Hubungan antara Klorofil (Unit SPAD) dengan Riap Diameter Bulanan Berjalan ... 35

Gambar 44 Pola Hubungan Kadar Klorofil dengan Riap Tinggi Bulanan Berjalan ... 36

Gambar 45 Subsiden tanah gambut di lokasi studi ... 37

Gambar 46 Pipa pengamatan subsiden dan piezometer ... 38

Gambar 47. Tinggi Muka Air (TMA) di lokasi demplot paludikultur sebelum dan ... 40

Gambar 48 Tinggi Muka Air (TMA) di lahan demplot paludikultur ... 41

Gambar 49 Tinggi Muka Air (TMA) di lokasi demplot agroforestry sebelum dan sesudah penyekatan ... 41

Gambar 50 Tinggi Muka Air (TMA) di lahan demplot agroforestry ... 42

Gambar 51 Rantai pasar komoditas buah-buahan gambut mulai dari petani sampai tingkat pedagang. ... 44

(6)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk merestorasi hutan rawa gambut yang terdegradasi dan bekas terbakar melalui Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016, tentang pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG), dan diberi mandat merestorasi lahan rawa gambut seluas 2 (dua) juta hektar pada kurun waktu lima tahun dari tahun 2016-2020.

Salah satu inisiatif Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah sebuah proyek perintis riset aksi paludikultur partisipatif di lahan gambut terdegradasi, pada tingkatan tapak. Untuk pelaksanaan restorasi tersebut BRG telah bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya. Dalam kaitan ini BRG telah bekerjasama dengan IPB untuk diimplementasikan di lahan gambut di Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi yang merupakan daerah Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Mendahara-Sungai Batanghari. Beberapa kegiatan yang dilakukan mencakup restorasi hutan lahan gambut yang terdegradasi dengan pola partisipatif, perbaikan manajemen hidrologi, dan pemantauan partisipatif.

Kegiatan penelitan riset aksi paludikultur tahun kedua ini merupakan penggabungan dari dua penelitian sebelumnya pada tahun pertama (tahun 2017) yaitu riset aksi restorasi lahan gambut terdegradasi dengan pendekatan konsep Applied Nucleation (penanaman kelompok) dan pilot projek restorasi lahan gambut berkelanjutan menggunakan sistem agroforestri paludikultur. Kedua penelitian ini dilaksanakan di Hutan Desa Sungai Beras. Lokasi kedua penelitian ini berdekatan dengan jarak sekitar 350 m. Luas kegiatan restorasi tersebut masing-masing 2 ha, yang mengkonversi kebun sawit tidak produktif menjadi tanaman kehutanan dan pertanian.

Pada tahun pertama (2017) penelitian riset aksi dengan pendekatan konsep Applied Nucleation (penanaman kelompok) telah dilakukan/dihasilkan penanaman 2 ha di lahan gambut dengan 5 jenis pohon yaitu jelutung (60%) dan pohon buah petai, jengkol, rambutan dan nangka (40 %). Pada persiapan tanaman telah ditebang 216 pohon sawit dengan cara pangkas pelepah dan penebangan sawit sebagai model konversi sawit untuk paludikultur. Dalam penelitian ini telah dibuat 2 sekat parit di tengah areal untuk pembasahan areal penanaman. Dalam penelitian ini telah dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dan pelatihan untuk pelaksana kegiatan dan keberlanjutan hasil penanaman. Kelompok tani yang terlibat adalah kelompok tani Pagar Indah I dan dalam penanaman kelompok Wanita Tani Makmur Barokah.

Pada akhir pelaksanaan kegiatan Tahun 2017 umur tanaman pada demplot masih berkisar 2 bulan sehingga parameter tanaman belum banyak teramati. Salah satu kegiatan utama pada tahun 2018 ini adalah melanjutkan pemeliharaan dan monitoring demplot sampai tanaman tersebut tumbuh baik. Sejalan dengan kegiatan pemeliharaan maka dilakukan pengukuran dan monitoring parameter-parameter tanaman dan lahan yang diperlukan untuk analisis pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Jenis kegiatan yang dilakukan pada tahun kedua penelitian antara lain adalah penyulaman, pemupukan, pengukuran persen tumbuh, monitoring tinggi muka air dan subsidensi. Untuk pelaksanaan kegiatan lanjutan perlu pelibatan masyarakat dalam pemantauan (community monitoring) perlu terus diperkuat untuk memberdayakan kapasistas lokal.

Pada tahun pertama (2017) riset pilot projek restorasi lahan gambut berkelanjutan menggunakan sistem agroforestri paludikultur adalah kegiatan pembangunan empat sekat kanal di lokasi pilot project, revegetasi lahan gambut dengan model agroforestry pada kawasan hutan lindung, revitalisasi berkelanjutan dari model agroforestry. Tanaman yang ditanam dalam riset ini adalah jelutung, gaharu, mangga, jengkol, alpokat, petai, nanas, buah naga dan sereh wangi. Rencana kegiatan pilot project untuk selanjutnya adalah melanjutkan pemeliharaan dan

(7)

pengamatan kinerja plot existing sehingga sampai pada analisis usaha tani, memperluas area plot existing, melengkapi data pemetaan dan baseline KHG Sungai Batanghari-Sungai Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Harapannya, kegiatan pilot project ini dapat menjadi contoh dan masukan yang baik bagi BRG.

1.2. Tujuan Umum

Tujuan umum riset aksi ini adalah untuk memulihkan fungsi ekosistem gambut yang terdegradasi. Tujuan khusus kegiatan ini adalah untuk mendapatkan model Restorasi Lahan Gambut (RLG) partisipatif melalui pemantapan kolaborasi antar stakeholder serta sistem prakondisi yang sesuai bagi seluruh stakeholder, keberhasilan revegetasi dan pemulihan lahan gambut yang terdegradasi serta analisis kelayakan ekonomi usaha RLG untuk peningkatan masyarakat desa. Adapaun model RLG partisipatif yang dihasilkan diharapkan dapat juga dilaksanakan di wilayah lain sehingga terjadi proses-proses replikasi best practices serta perluasan penerapannya. Setelah tiga (3) tahun hasil riset dan inovasi ini dapat disinergikan dengan seluruh stakeholder untuk mendukung pelaksanaan restorasi lahan gambut oleh BRG.

1.3. Tujuan Khusus

Tujuan khusus kegiatan ini adalah untuk mendapatkan model RLG partisipatif melalui pemantapan kolaborasi antar stakeholder serta sistem prakondisi yang sesuai bagi seluruh stakeholder. Adapaun model RLG partisipatif yang dihasilkan diharapkan dapat juga dilaksanakan di wilayah lain sehingga terjadi proses-proses replikasi best practices serta perluasan penerapannya. Disamping itu, penelitian ini menghasilkan kajian hidrologi mikro yang berguna untuk memaksimalkan pertumbuhan tanaman di lahan gambut.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat Restorasi Lahan Gambut (RLG) ini adalah sebagai model restorasi lahan gambut dari penggunaan lahan gambut kebun sawit tidak produktif menjadi tanaman kayu-kayuan dan tanaman pertanian. Demplot ini juga sebagai penyempurnaan implementasi restorasi gambut oleh BRG dan juga sebagai show window riset yang dapat digunakan untuk merestorasi lahan gambut terdegrasi di tempat lain.

1.5. Output

1.5.1. Terwujudnya Sistem Prakondisi Masyarakat

1.5.2. Terwujudnya demplot restorasi lahan gambut dengan pendekatan Paludikultur dan Agroforestry

1.5.3. Rantai Pasar beberapa komoditas tanaman Paludikultur dan Agroforestry II. PRINSIP DAN STRATEGI RESTORASI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI

Secara konseptual, Restorasi Lahan Gambut (RLG) harus mempertimbangkan secara menyeluruh aspek politik, ekosistem, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka Rehabiltasi lahan gambut terdegradasi harus mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

(8)

1. Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) sebagai satuan pengelolaan: Konsekuensi dari pengelolaan sumberdaya dengan KHG sebagai unit pengelolaan adalah: a. Rumusan Tujuan Bersama; b. Standar, Kriteria dan Indikator Pencapaian Tujuan; c. Keterpaduan dan Koordinasi

2. Berkesinambungan (multi-years)

3. Kejelasan Wewenang dan Tata Hubungan Kerja

4. Penguasaan Lahan (Tenurial) dan Konflik Penguasaan Lahan 5. Berbagi Pembiayaan (Cost Sharing)

6. Rehabiltasi Lahan Gambut Terdegradasi Harus Menjadi Bagian Kebutuhan Masyarakat 7. Partisipatif dan Transparan

8. Akuntabilitas, Efektifitas, dan Efisiensi

Sedangkan strategi spesifik yang dapat dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan keberhasilan restorasi hutan gambut terdegradasi bersama masyarakat adalah :

1. Membangun persamaan persepsi tentang produktivitas lahan gambut, pentingnya hutan gambut dan lingkungan hidup, pentingnya restorasi hutan dan lahan gambut, tujuan dan manfaat restorasi hutan dan lahan gambut bagi kesejahteraan masyarakat.

2. Membangun kepercayaan diantara stakeholder dalam kegiatan restorasi hutan dan lahan gambut serta pengubah paradigma kegiatan restorasi hutan dan lahan gambut dari orientasi perproyekan yang berjangka pendek menjadi pembangunan hutan dan lahan gambut berkelanjutan yang berjangka panjang.

3. Mengubah paradigma lama dalam penyusunan rencana kegiatan khususnya perencanaan restorasi hutan gambut terdegradasi yang bersifat top down menjadi buttom up yang dilandasi kaidah ilmiah serta kelayakan ekonomi-ekologi dengan melibatkan secara aktif masyarakat dalam semua level pengambilan keputusan.

4. Menempatkan masyarakat sekitar kegiatan sebagai pelaku utama kegiatan restorasi hutan dan lahan gambut sehingga terbangun dan tertanam secara mendalam di benak masyarakat: rasa memiliki, memelihara/menjaga agar tingkat keberhasilan kegiatan restorasi hutan dan lahan gambut lebih tinggi serta ada jaminan bagi masyarakat akan menikmati hasil yang diperoleh dari kegiatan ini.

5. Mendorong terbangunnya kemandirian masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut khususnya pengelolaan lahan gambut terdegradasi secara berkelanjutan.

Dengan demikian maka secara ringkas strategi yang harus dilakukan adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Pra-kondisi: merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk menyamakan persepsi setiap stakeholder sehingga dalam restorasi hutan dan lahan sudah dianggap sebagai kebutuhan bersama antara masyarakat, pemerintah baik pusat maupun daerah dan pelaku usaha.

2. Sistem kolaborasi antara stakeholder 3. Pembangunan Demplot

(9)

III. PENDEKATAN TEKNIS 3.1. Logical Framework

Logical framework disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Logical Framework Strategi

Intervensi

Indikator yang dapat diukur

Cara Verifikasi Asumsi

Tujuan Umum:

Memulihkan fungsi ekosistem gambut yang terdegradasi

Fungsi ekosistem yang berjalan baik  Hasil analisis hidrologi mikro  Subsidensi menurun  Pertumbuhan tanaman baik

Tidak ada konflik lahan

Ada dukungan para pihak Tujuan Khusus: Mendapatkan model restorasi lahan gambut partisipatif Terbangunnya model restorasi lahan gambut seluas 4 ha  Persen keberhasilan tumbuh tanaman  Keberadaan 2 pola restorasi gambut yaitu Paludikultur dan Agroforestry  Adanya keterlibatan kelompok tani  Laporan Teknis Keterlibatan aktif masyarakat

Kesesuaian jenis dan tempat tumbuh Output 1. Terwujudnya Sistem Prakondisi Masyarakat Peningkatan kapasitas kelompok tani

 Partisipasi aktif pada kegiatan revegetasi  Laporan pelatihan Ketersediaan narasumber teknis Output 2. Terwujudnya demplot restorasi lahan gambut dengan pendekatan Paludikultur dan Agroforestry

 Keberadaan berbagai pola tanam sebagai alternatif teknik restorasi ekosistem gambut

Water level dan

subsidensi

Persen tumbuh dari berbagai pola tanam

Hasil analisis hidrologi makro dan mikro Hasil analisis subsidensi Hasil analisis kesuburan tanah gambut Laporan Teknis

Kesesuaian jenis dan tempat tumbuh

Tidak ada gangguan hama babi

Masyarakat peduli terhadap restorasi dan manfaat yang akan diperoleh. Output 3. Rantai Pasar beberapa komoditas tanaman Paludikultur dan Agroforestry

Hasil survey supply dan demand produk paludikultur

 Laporan hasil Survey supply dan demand produk Paludikultur

Tersedia pasar produk paludikultur

Output 4. Analisis hidrologi mikro di lokasi demplot

 Fluktuasi muka air pada demplot dan kaitannnya dengan sekat kanal yang ada.

 Tersedianya peta pola aliran air mikro pada demplot

Data primer dan data sekunder cukup tersedia

3.2. Deskripsi Kegiatan Riset Aksi 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di KHG Sungai Mendahara - Sungai Batanghari, Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Status

(10)

penggunaan lahan di lokasi penelitian adalah Hutan Desa. Areal tersebut termasuk areal prioritas untuk restorasi gambut menurut BRG. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian restorasi lahan gambut dengan pendekatan konsep applied nucleation dan agroforestry

3.2.2. Kegiatan Riset Aksi

Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam riset pada tahun kedua ini adalah: 1. Peningkatan Kapasitas Kelompok Tani melalui kegiatan pelatihan

2. Evaluasi persen pertumbuhan hasil penanaman pada tahun pertama 3. Penyulaman tanaman yang mati

4. Penyiangan gulma penganggu setiap 3 bulan sekali 5. Pemupukan dengan pupuk daun 3 bulan sekali

6. Pengukuran pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman setiap bulan 7. Analisis klorofil tanaman

8. Monitoring tinggi muka air dan subsidensi setiap bulan 9. Pemagaran tanaman untuk menghindari serangan hama babi 10. Pemeliharan sekat kanal

11. Analisis hidrologi mikro untuk pencegahan kebakaran dan keberhasilan pertumbuhan tanaman.

(11)

IV. METODOLOGI 4.1 Monitoring Pertumbuhan Tanaman

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada areal demplot Riset Aksi Paludikultur dan Agroforestry, Institut Pertanian Bogor (IPB)-Badan Restorasi Gambut (BRG) yaitu di Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Hulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Lokasi monitoring pertumbuhan tanaman pada demplot Riset Aksi Paludikultur disajikan pada Gambar 2, sedangkan pada demplot Agrofrestri disajikan pada Gambar 3.

Gambar 2. Demplot Riset Aksi Paludikultur

Gambar 3 Demplot Agroforestry

Sebelum dilakukan kegiatan monitoring pertumbuhan tanaman, dilakukan kegiatan pemeliharaan yaitu pembersihan gulma dan pemagaran pada areal demplot penelitian. Pembersihan gulma pada demplot Riset Aksi meliputi penyiangan pada jalur tanaman serta penyiangan pada piringan tanaman. Pembersihan lahan dilakukan secara manual menggunakan alat bantu golok. Sedangkan pemagaran dilakukan menggunakan kawat yang terbuat dari besi serta patok gelam berukuran ± 2 meter. Dengan jarak antar patok sebesar 1,5 – 2 meter. Pagar

(12)

terdiri lima lapis untuk meminimalisir secara optimal adanya hama babi hutan dewasa maupun yang masih kecil.

Pengukuran awal tinggi tanaman dilakukan pada tanggal Tanggal 27 November 2017 – 29 November 2017. Pengukuran kedua dilakukan pada tanggal 31 Juli 2018, serta pengukuran ketiga dilakukan pada tanggal 3 Desember 2018. Sehingga total waktu pengamatan yang didapatkan ialah selama 12 bulan.

Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan terdiri dari meteran 30 meter, phiband meter, GlobalPositioningSystem (GPS), hagahypsometer, meteran jahit, kompas, kamera digital, alat tulis, tally sheet, dan alat-alat bantu lainnya

Prosedur Kerja

Pengambilan data monitoring pertumbuhan tanaman dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran secara langsung terhadap beberapa parameter yaitu tinggi, diameter serta kondisi tanaman. Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan secara sampling dari total individu tanaman pada demplot penelitian. Jumlah sampling yang digunakan yaitu terdiri dari 3 baris pada bagian atas, tengah dan bawah demplot penelitian paludikultur (Gambar 4).

Gambar 4 Ilustrasi Tata Letak Tanaman di Demplot Paludikultur

Pengukuran tinggi diukur dengan menggunakan pita ukur yang mulai dari pangkal batang hingga titik tumbuh pucuk apikal, sedangkan pengukuran diameter dilakukan dengan menggunakan kaliper pada ketinggian 10 cm di atas permukaan tanah (Gambar 5).

Gambar 5 Pengukuran Tinggi, Diameter dan Pelabelan pada Tanaman yang diukur Riap pertumbuhan tanaman diklasifikasikan menjadi riap pertumbuhan bulanan dan riap pertumbuhan bulanan berjalan, yang didapatkan dengan rumus sebagai berikut:

(13)

Riap Pertumbuhan = (𝑿𝟏)−(𝑿𝟎)

𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒗𝒂𝒍 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒎𝒂𝒕𝒂𝒏

Keterangan:

Riap Pertumbuhan = Pertambahan tinggi per satuan waktu (cm bulan-1) X1 = tinggi pada akhir pengamatan (cm)

X0 = tinggi pada awal pengamatan (cm)

Interval pengamatan = 8, 4 (untuk riap pertumbuhan bulanan berjalan) dan 12 bulan (untuk riap pertumbuhan bulanan)

Selain pengukuran terhadap pertumbuhan tanaman, dilakukan juga perhitungan persentase tumbuh tanaman dengan menghitung total tanaman yang hidup dan mati.Pengukuran persentase tumbuh tanaman dibagi menjadi dua yaitu persentase pertumbuhan saat belum dilakukan pemagaran dan persentase pertumbuhan saat setelah dilakukan pemagaran. Adapun rumus yang digunakan dalam menghitung persentase tumbuh tanaman (Daya Sintas) adalah sebagai berikut:

∑𝐴

∑𝐵 × 100%

Keterangan:

∑A = Jumlah Tanaman pada Akhir Pengamatan

∑A = Jumlah Tanaman pada Awal Pengamatan

Pengukuran lain yang dilakukan ialah kadar klorofil menggunakan alat SPAD-502 meter (Soil Plant Analysis Development). Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dengan karakteristik merupakan daun yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, dengan ditentukan berdasarkan warna daun dan letak daun. Semua sampel daun tiap individu diukur kemudian diambil rata-ratanya sehingga didapatkan nilai kandungan klorofil yang mewakil satu individu.

4.2 Monitoring Water Level dan Subsidensi

Lokasi pengukran tinggi muka air dan subsidensi dilakukan dibeberapa titik, baik di demplot Paludikultur (Gambar 6) maupun di demplot Agroforestri (Gambar 7)

(14)

Gambar 7 Titik-titik Pengukuran tinggi muka air dan subsidensi di demplot Agroforestry

Pengukuran tinggi muka air dan dan subsiden dilakukan dengan paralon ukuran 2 inchi. Untuk muka air dilakukan dengan paralon yang ujungnya ditutup kayu yang dilancipkan, sedangkan pada pada bagian paralon yang tertancap ke dalam gambut (sekitar 100 cm) dilubangi dengan jarak setiap 5 cm dan sekitar 25 cm paralon muncul diatas tanah. Paralon setelah ditancapkan sedalam 100 cm diisi alat pengukur (pelampung dari bambu yang ujungnya ditancakan ke gabus).

Tinggi muka air diukur tinggi pelampung sampai tinggi paralon dikurangi 25 cm. Pengukuran subsiden dilakukan dengan menancapkan paralon yang masuk kedalam tanah dan kira-kira 75 cm di atas permukaan tanah. Tinggi paralon dan batas antara permukaan tanah dicat merah. Pengukuran subsiden dilakukan dengan mengukur turunnya tanah dari batas cat merah dan tidak dicat dalam cm per bulan

4.3 Survey Rantai Pasar Komoditas Paludikultur dan Agroforestri

Metode yang digunakan adalah wawancara dan pengisian kuisioner terhadap para petani, pedagang lokal di Sungai Beras dan pedagang di Pasar Angso Duo, Provinsi Jambi. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan purposive sampling yaitu menentukan responden yang dipilih dengan cara sengaja. Responden yang dipilih adalah orang yang memiliki kemampuan, pengalaman dan pengetahuan dalam bidang komoditas buah-buahan yakni petani dan pedagang yang terlibat.

Jumlah responden petani sebanyak 20 orang, pedagang desa Sungai Beras 3 orang dan pedagang di Desa Angso Duo adalah 5 orang.

(15)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Demplot Paludikultur

5.1.1 Pemagaran Areal Demplot

Hama babi diketahui merupakan hama yang kerap menganggu tanaman, khususnya tanaman jelutung. Pada areal yang rawan terhadap babi hutan, perlindungan dapat dilakukan menggunakan pagar yang mengeliling demplot. Sedangkan, perlindungan hayati dapat dilakukan menggunakan lengkuas yang ditanam mengelilingi bibit jelutung (Tata et al. 2015). Perlunya adanya pemagaran berguna untuk meningkatkan serta menjaga persentase tumbuh pada demplot penelitian. Kegiatan pemagaran dilakukan pada tanggal 21 – 22 September 2018. Dokumentasi kegiatan pemagaran disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kegiatan Pembuatan Pagar pada Demplot Paludikultur

5.1.2 Daya Hidup Tanaman

Pengamatan terhadap persentase tumbuh tanaman dilakukan terhadap total individu tanaman. Pola tanam jalur memiliki karakteristik ditanami dengan tanaman monokultur jelutung, sedangkan pola tanam applied nucleation memiliki karakteristik ditanami dengan tanaman jelutung yang dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan seperti jengkol, nangka, rambutan dan petai. Hasil pengamatan persentase tumbuh pada berbagai pola tanam sebelum dan setelah dilakukan pemeliharaan dan pemagaran disajikan pada Gambar 9.

(16)

Gambar 9 Persentase Daya Sintas Tanaman sebelum dan setelah dilakukan Pemagaran Persentase tumbuh tanaman sebelum dilakukan pemeliharaan dan pemagaran cenderung rendah, secara keseluruhan berkisar dibawah 60%. Persentase tertinggi terdapat pada tanaman Rambutan di pola tanam applied nucleation dengan nilai 56,25%. Persentase tertinggi lainnya terdapat pada tanaman Jelutung di pola tanam jalur dengan nilai 51,83% dan nangka di pola tanam applied nucleation dengan nilai 51,79%. Tanaman Jengkol memiliki persentase terendah dengan nilai hanya 29,46%. Secara keseluruhan, penyebab kematian tanaman yang dijumpai di lapangan didominasi akibat adanya hama babi (Gambar 10). Sedangkan penyebab lainnya yaitu dapat berupa kekeringan (Gambar 10), tidak tahan terhadap naungan karena tingginya ilalang/pakis atau tumbuhan lain yang menutupi tanaman serta serangan hama dan/ penyakit.

Hama babi merupakan faktor dominan yang berkontribusi terhadap rendahnya persentase hidup tanaman tersebut, hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya persentase hidup tanaman setelah dilakukan pemagaran dengan rentang 89,29 % - 95,54%. Persentase terendah berdasarkan Gambar 11 masih terdapat pada tanaman jengkol. Selain karena adanya hama babi, diduga tanaman jengkol memliki tingkat adaptasi yang cukup sulit dengan kondisi tapak tempat tumbuh yang ada.

Gambar 10. A)Tanaman yang diduga dirusak oleh hama babi hutan; B) Tanaman yang mengalami kekeringan

Sedangkan, dari total individu tanaman yang hidup, dilakukan pengamatan juga terhadap kondisi tanaman berupa kurang sehat dan merana. Adapun hasil pengamatan disajikan pada Gambar 11. Tanam Jalur - Sebelum Pemagaran Tanam Jalur - Setelah Pemagaran Applied Nucleation -Sebelum Pemagaran Applied Nucleation -Setelah Pemagaran Tumbuh (%) Jelutung 51.83 93.33 48.21 93.21 Tumbuh (%) Petai 39.29 93.75 Tumbuh (%) Jengkol 29.46 89.29 Tumbuh (%) Nangka 51.79 91.07 Tumbuh (%) Rambutan 56.25 95.54 A B

(17)

Gambar 11 Kondisi Tanaman Hidup pada Pola Paludikultur sebelum dilakukan Pemagaran Kondisi tanaman kurang sehat ditunjukkan dari adanya serangan hama (Gambar 12), maupun gejala penyakit bercak daun (Gambar 12). Sedangkan kondisi tanaman merana ditunjukkan dari adanya mati pucuk, layu daun akibat kekeringan (Gambar 10), maupun penyakit bercak daun dengan intensitas yang tinggi.

Gambar 12. A) Tanaman jelutung yang diserang oleh hama pemakan daun (Kurang Sehat); B) Penyakit bercak daun (merana) dan C) Penyakit bercak daun (kurang sehat)

Berdasarkan Gambar 12, diduga bahwa penyakit bercak daun yang terdapat pada tanaman jelutung disebabkan oleh Lasiodiplodia sp (Gambar 12, B) dan Colletotrichum sp. (Gambar 12, C). Sedangkan, kondisi tanaman yang tergolong sehat disajikan pada Gambar 13. 4.82 1.93 1.85 3.70 4.55 0.00 3.70 0.00 6.90 5.17 1.59 0.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 Kurang

Sehat Merana KurangSehat Merana KurangSehat Merana KurangSehat Merana KurangSehat Merana

Jelutung Petai Jengkol Nangka Rambutan

Pe rs en ta se ( %)

Tanam Jalur Applied Nucleation

A B

(18)

Gambar 13. Kondisi Tanaman yang tergolong Sehat

5.1.3 Pemeliharaan Tanaman

Kegiatan pembersihan lahan dilakukan pada tanggal 25 Juli 2018 – 28 Juli 2018. Pembersihan lahan dilakukan pada areal jalur tanaman, serta pada piringan tanaman guna memberikan tempat tumbuh yang optimal bagi tanaman. Pembersihan lahan dilakukan secara manual dengan menggunakan alat bantu golok. Adapun kondisi lahan sebelum dan sesudah dibersihkan disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 A) Kondisi lahan sebelum dilakukan pembersihan; B) Kondisi lahan setelah dilakukan pembersihan

Contoh kegiatan pembersihan lahan pada pola tanam jalur disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Kondisi Lahan Pola Tanam Jalur Sebelum dan Sesudah dilakukan Pembersihan Lahan

A

(19)

5.1.4 Laju Pertumbuhan Tanaman

Laju pertumbuhan tanaman merupakan salah satu indikator untuk menilai tingkat adaptasi tanaman terhadap lokasi tempat tumbuh, selain karena faktor genetik tanaman tersebut. Model penanaman dengan pola applied nucleation dan tanam jalur diharapkan dapat memberikan input yang positif terhadap performa pertumbuhan, terutama untuk tanaman Jelutung. Laju pertumbuhan tanaman bulanan berjalan selama 8 BST (Bulan Setelah Tanam) dan 12 BST (Bulan Setelah Tanam) jelutung disajikan pada Gambar 16.

12 BST 8 BST 3.0 2.5 2.0 1.5 R ia p T in g g i B u la n a n B e rj a la n ( cm /b u la n ) Applied Nucleation Tanam Jalur Pola Tanam 1.35 1.77 1.28 3.10 Jelutung Tanam Jalur Applied Nucleation 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 R ia p D ia m e te r B u la n a n B e rj a la n ( m m /b u la n ) 0.61 0.49

Gambar 16 a) Riap Pertumbuhan Tinggi Bulanan Berjalan pada Tanaman Jelutung dan b) Riap Pertumbuhan Diameter Bulanan Berjalan pada Tanaman Jelutung pada 12 BST

Berdasarkan Gambar 16, diketahui bahwa riap pertumbuhan tinggi bulanan berjalan pada pola penanaman applied nucleation memiliki nilai yang lebih baik (1,77 cm/bulan dan 3,10 cm/bulan) dibandingkan dengan pola tanam jalur (1,35 cm/bulan dan 1,29 cm/bulan), baik pada umur selama 8 BSTmaupun 12 BST. Pada applied nucleation, laju pertumbuhan masih cenderung meningkat, berbanding terbalik dengan pola tanam jalur yang masih cenderung stagnan. Sedangkan,riap pertumbuhan diameter berjalan pada umur 12 BST pada pola tanam jalur memiliki nilai yang lebih (0,61 mm/bulan) dibandingkan pola applied nucleation (0,49 mm/bulan), walaupun dengan nilai yang tidak cukup berbeda. Laju pertumbuhan tinggi yang cukup signifikan terlihat adanya peningkatan diduga bahwa hal tersebut diakibatkan karena pada fase pertumbuhan awal, tanaman akan lebih dahulu melakukan pertumbuhan tinggi dibandingkan diameter guna mendapatkan cahaya untuk proses fotosintesisnya.

(20)

Periode pengukuran secara terus menerus dengan rentang yang sama sangat diperlukan dalam monitoring selanjutnya untuk mengetahui kapan fase pertumbuhan mencapai titik belok hingga fase pertumbuhan tersebut memasuki fase asimptotis untuk mengalami pertumbuhan lambat (cenderung stagnan).

Performa rata-rata tinggi tanaman Jelutung pada berbagai model penanaman disajikan pada Gambar 17. Tanam Jalur Applied Nucleation 12 BST 8 BST 0 BST 12 BST 8 BST 0 BST 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T in g g i (c m ) 40.85 42.56 51.63 56.72 56.77 69.125

Gambar 17 Rata-rata Tinggi Tanaman Jelutung pada berbagai Model Penanaman selama Interval Pengamatan

Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman cenderung tidak terlalu bervariasi berdasarkan grafik box plot diatas, kecuali pada pola penanaman applied nucleation pada umur 12 BST. Pada berbagai kelas umur, rata-rata pertumbuhan tinggi pada pola tersebut cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pola tanam jalur. Perbedaan tingkat pertumbuhan sendiri dapat dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

Performa rata-rata diameter tanaman jelutung disajikan pada Gambar 18.

Tanam Jalur Applied Nucleation 12 BST 8 BST 12 BST 8 BST 25 20 15 10 5 D ia m e te r (m m ) 9.35 9.95 11.77 11.94

Gambar 18 Rata-rata Diameter Tanaman Jelutung pada berbagai Model Penanaman selama Interval Pengamatan

(21)

Sama halnya dengan rata-rata pertumbuhan tinggi, pada pola applied nucleation memliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada tanam jalur namun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan.

Pengamatan jelutung terhadap pola penanaman menunjukkan bahwa pola penanaman applied nucleation sedikit memberikan pengaruh terhadap performa dan kadar klorofil tanaman. Dilakukan pengujian menggunakan Uji t-student dari kedua pola penanaman untuk membuktikan asumsi tersebut berdasarkan kaidah statistik. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil Uji T-Student Pola Penanaman terhadap Parameter yang diamati

Parameter Pola Penanaman

Tinggi 0 BST -

Tinggi 8 BST -

Tinggi 12 BST -

Diameter 8 BST -

Diameter 12 BST -

Riap Tinggi Bulanan Berjalan 8 BST - Riap Tinggi Bulanan Berjalan 12 BST ** Riap Diameter Bulanan Berjalan 12 BST - Kadar Klorofil (Unit SPAD) *

Keterangan: ** = berbeda nyata pada taraf 5%; * = berbeda nyata pada taraf 10%

Tabel 2 menunjukkan bahwa pola penanaman dapat memberikan perbedaan yang nyata pada taraf 5% terhadap parameter riap tinggi bulanan berjalan pada umur 12 BST. Selain itu, kadar klorofil pada kedua pola penanaman juga memiliki perbedaan yang nyata pada taraf 10%. Namun pada parameter lainnya, tidak terdapat perbedaan yang cukup nyata antara kedua pola penanaman.

Pengamatan juga dilakukan terhadap tanaman buah-buahan yang terdapat pada pola penanaman applied nucleation. Performa rata-rata tinggi dan diameter pada berbagai jenis tanaman pada pola penanaman applied nucleation disajikan pada Gambar 19 dan Gambar 20.

12 BST 8 BST 0 BST 250 200 150 100 50 0 T in g g i (c m ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 58.67 28 84.23 43.17 88.2 75.2 109.18 68.83 111.47 106.4 135.15 85

Gambar 19 Rata-rata Tinggi Tanaman Buah-buahan pada Model Penanaman Applied Nucleation

(22)

Pada Gambar 19, performa tinggi tanaman buah-buahan tertinggi terdapat pada tanaman nangka dengan nilai sebesar 135,15 cm pada umur 12 BST. Sedangkan, tertinggi kedua terdapat pada tanaman rambutan dengan nilai sebesar 111,47 cm pada umur 12 BST. Tanaman dengan nilai terendah ialah tanaman jengkol dengan nilai sebesar 85 cm dengan umur 12 BST. Pada parameter persentase tumbuh, pada tanaman jengkol juga menunjukkan nilai yang cukup rendah. Sehingga dapat diduga bahwa, tanaman jengkol masih sulit beradpaptasi dengan baik untuk tumbuh di lahan gambut. Perlu dilakukan pengukuran terhadap parameter-parameter yang ada secara lebih lanjut untuk mengetahui tingkat adapatasi tanaman-tanaman tersebut. 12 BST 8 BST 35 30 25 20 15 10 5 0 D ia m e te r (m m ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 10.02 8.81 9.59 6.88 12.68 15 12.39 9

Gambar 20 Rata-rata Diameter Tanaman Buah-buahan pada Model Penanaman Applied Nucleation

Pada parameter diameter, didapatkan bahwa jenis petai memiliki rata-rata terbaik pada umur 12 BST yaitu 15 mm. Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada tanaman jengkol. Laju pertumbuhan tanaman pada model penanaman applied nucleation terhadap tanaman buah-buahan juga menunjukkan nilai yang bervariasi sesuai dengan tingkat adaptasi masing-masing jenis tanaman tersebut. Adapun nilai laju pertumbuhan tinggi dan diameter bulanan pada tiap jenis tanaman disajikan pada Gambar 21.

(23)

12 BST 8 BST 8 7 6 5 4 3 R ia p T in g g i B u la n a n B e rj a la n ( cm /b u la n ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 3.69 5.9 3.12 3.21 5.95 7.8 6.49 4.04 Rambutan Petai Nangka Jengkol 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 R ia p D ia m e te r B u la n a n B e rj a la n ( m m /b u la n ) 0.66 1.55 0.70 0.53

Gambar 21 a) Riap Pertumbuhan Tinggi Bulanan Berjalan pada Tanaman Buah-buahan b) Riap Pertumbuhan Diameter Bulanan Berjalan pada Tanaman Buah-buahan pada 12 BST

Berdasarkan Gambar 21, riap tinggi bulanan berjalan tertinggi terdapat pada tanaman petai dengan nilai 5,9 cm/bulan (8 BST) dan 7,8 cm/bulan (12 BST). Riap tertinggi kedua terdapat pada tanaman nangka dengan peningkatan tren pertumbuhan yang cukup signifikan dari 3,12 cm/bulan (8 BST) hingga 6,49 cm/bulan (12 BST). Sama halnya dengan parameter pengukuran lainnya, jengkol memiliki nilai terendah

Riap Diameter bulanan berjalan pada umur 8 BST-12 BST pada Gambar 21, memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Tumbuhan petai memiliki riap tertinggi dengan nilai 1,55 mm/bulan dan tumbuhan jengkol memiliki riap terendah dengan nilai sebesar 0,53 mm/bulan. Rekapitulasi pertumbuhan tanaman Jelutung (pola tanam jalur dan applied nucleation), serta tanaman buah-buahan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rekapitulasi Pertumbuhan Tanaman 12 BST dan Tanaman Sulaman

Jenis Tanaman Pola Penanaman Rata-rata Tinggi (cm), 12 BST Rata-rata Diameter (mm), 12 BST Rata-rata Tinggi (cm), sulaman Rata-rata Diameter (mm), sulaman

(24)

Applied Nucleation 69,13 11,94 21,6 5,27 Jengkol Applied Nucleation 85 9,00 26,65 3,77 Nangka 135,15 12,39 49,95 5,42 Petai 106,4 15,00 26,46 4,36 Rambutan 111,47 12,68 24,71 3,77

Riap pertumbuhan terhadap masing-masing tanaman cenderung disebabkan oleh kemampuan genetik pada tiap jenis, kesesuaian ekologi tempat tumbuh tiap jenis, serta karakteristik masing-masing pada setiap jenis seperti perbedaan bentuk tajuk tanaman. Faktor-faktor ekologi atau Faktor-faktor-Faktor-faktor lingkungan yang melatarbelakangi terjadinya interaksi oleh tumbuhan dalam persaingan, antara lain cahaya, air tanah, oksigen, unsur hara dan karbon dioksida.Terjadinya cekaman oleh faktor lingkungan atau adanya patogen herbivora (Lambers et al. 1998) juga menjadi hambatan terhadap laju pertumbuhan relatif. Pada pengamatan yang dilakukan, terdapat banyaknya paku-pakuan, ilalang, serta trubusan dari tanaman pioneer seperti Evodia latifolia dan Macaranga sp. yang dapat menghambat tanaman dalam mendapatkan cahaya (Gambar 22).

Gambar 22 Kondisi Lahan sebelum dilakukan pembersihan, hal tersebut diduga menghambat pertumbuhan tanaman

Perlu dilakukannya pembersihan lahan secara periodik untuk mengoptimalkan pertumbuhan pada tiap individu tanaman. Hal tersebut untuk mengurangi persaingan antara individu terutama dalam mendapatkan cahaya dan mendapatkan hara dan air. Berbagai tanaman dengan kondisi laju pertumbuhan yang relatif optimal disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Tanaman jengkol,Rambutan dan nangk umur 1 tahun yang mampu tumbuh Optimal

(25)

5.1.5 Kandungan Klorofil Daun

Klorofil merupakan pigmen utama fotosintesis pada tanaman. Pigmen tersebut dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang di bawah 480 nm dan diantara 550 nm dan 700 nm (Heldt 2005). Pada umumnya, kandungan klorofil daun menunjukkan status fisiologi tanaman sehingga berbanding lurus terhadap laju fotosintesis (Gitelson et al. 2003; Emerson 1929). Salah satu pengukur alat kadar klorofil ialah dengan menggunakan Minolta SPAD-502 (Soil Plant Analysis Development) meter (Balasubramanian et al. 2000). SPAD merupakan alat pengukur cahaya yang digunakan untuk mengukur tingkat kehijauan daun dengan cara cepat serta dapat menentukan jumlah relatif keberadaan klorofil dengan transmitan di daun pada dua panjang gelombang yang berbeda (600 – 700 nm dan 400 – 500 nm) (Gitelson et al. 2003).

Gambar 24 Pengukuran Kadar Klorofil menggunakan SPAD-502

Pada pengukuran kali ini, dilakukan pengamatan kandungan klorofil daun pada sampel tanaman yang sama dengan pengukuran performa pertumbuhan. Gambar 25, menunjukkan kadar klorofil pada tanaman Jelutung pada berbagai model penanaman.

Tanam Jalur Applied Nucleation 60 50 40 30 20 K a d a r K lo ro fi l (U n it S P A D ) 43.39 48.56 Jelutung

Gambar 25 Kadar Klorofil Tanaman Jelutung yang terdapat pada berbagai Model Penanaman

Laju fotosintesis pada umumnya memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan tanaman. Sehingga, perlu diketahui apakah tingkat kadar klorofil memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan tanaman tersebut. Berdasarkan Gambar 25, pola penanaman applied nucleation memiliki kadar klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam jalur dengan nilai masing-masing yaitu 48,56 (unit SPAD) dan 43,39 (unit SPAD). Perbedaan

(26)

visual warna daun pada berbagai rentang klorofil pada tanaman-tanaman yang terdapat dalam demplot penelitian disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26 a) Tanaman Jelutung dengan Kadar Klorofil (Unit SPAD) 29,7; b) Jelutung dengan nilai 44,1; c) Jengkol dengan nilai 42,3; dan d) Jengkol dengan nilai 19,4.

Selanjutnya,Gambar 27 menunjukkan hubungan antara kadar klorofil (unit SPAD) dan laju pertumbuhan diameter serta tinggi pada tanaman jelutung.Laju Pola hubungan respon dilakukan terhadap riap bulanan berjalan dan riap bulanan dengan umur 12 BST.

60 50 40 30 20 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p D ia m e te r B u la n a n ( m m /b u la n

) Applied NucleationTanam Jalur

Pola Tanam 65 60 55 50 45 40 35 30 14 12 10 8 6 4 2

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p T in g g i B u la n a n ( cm /b u la n ) Applied Nucleation Tanam Jalur Pola Tanam 60 50 40 30 20 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p D ia m e te r B u la n a n B e rj a la n ( m m /b u la n ) Applied Nucleation Tanam Jalur Pola Tanam 65 60 55 50 45 40 35 30 16 12 8 4 0

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p T in g g i B u la n a n B e rj a la n ( cm /b u la n ) Applied Nucleation Tanam Jalur Pola Tanam A B C D A B C D

(27)

Gambar 27 Hubungan Kadar Klorofil dan Riap Diameter Bulanan (a) Riap Tinggi Bulanan (b), c) Riap Diameter Bulanan Berjalan, d) Riap Tinggi Bulanan Berjalanpada Tanaman Jelutung di berbagai Pola Tanam

Secara umum, pola respon yang ditunjukkan antara kadar klorofil dan riap diameter/tinggi pada berbagai pola penanaman menunjukkan pola yang linier. Pola tersebut menggambarkan bahwa semakin tinggi kadar klorofil, semakin tinggi juga riap pertumbuhan diameter maupun tinggi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa respon hubungan yang digambarkan oleh nilai R-square tertinggi terdapat pada pola penanaman applied nucleation antara riap tinggi bulanan dan kadar klorofil dengan nilai sebesar 45,7% (Y= -2,50 + 0,17X). Namun, nilai tersebut masih tergolong cukup rendah sehingga masih belum dapat memberikan asumsi yang cukup baik apakah kadar klorofil dapat memberikan pengaruh terhadap riap diameter/tinggi.

Pengamatan kadar klorofil juga dilakukan terhadap tanaman buah-buahan yang terdapat di pola applied nucleation. Kadar klorofil pada berbagai jenis tanaman disajikan pada Gambar 28. 70 60 50 40 30 20 K a d a r K lo ro fi l (U n it S P A D ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 43.28 40.74 60.04 28.6

Gambar 28 Kadar Klorofil pada berbagai Jenis Tanaman Buah-buahan di Demplot Penelitian Berdasarkan Gambar 28, nilai kadar klorofil tertinggi terdapat pada tanaman nangka sebesar 60,04 (Unit SPAD). Hubungan kadar klorofil terhadap laju pertumbuhan diameter dan tinggi bulanan pada tanaman buah-buahan disajikan pada Gambar 29.

70 60 50 40 30 20 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p D ia m e te r B u la n a n ( cm /b u la n ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 70 60 50 40 30 20 20 15 10 5 0

Kada Klorofil (Unit SPAD)

R ia p T in g g i B u la n a n ( cm /b u la n ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman A B

(28)

70 60 50 40 30 20 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p D ia m e te r B u la n a n B e rj a la n ( m m /b u la n ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 70 60 50 40 30 20 25 20 15 10 5 0

Kadar Klorofil (Unit SPAD)

R ia p T in g g i B u la n a n B e rj a la n ( cm /b u la n ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman

Gambar 29 Hubungan Kadar Klorofil dan Riap Diameter Bulanan (a) Riap Tinggi Bulanan (b), c) Riap Diameter Bulanan Berjalan, d) Riap Tinggi Bulanan Berjalan pada Tanaman Buah-buahan di di Model Penanaman

Berdasarkan Gambar 29 diatas, diketahui bahwa tingkat korelasi tertinggi antara kadar klorofil dan riap diameter/tinggi terdapat pada tanaman petai. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai R-square pada hubungan kadar klorofil dan riap diameter bulanan berjalan ialah sebesar 77,9% dengan persamaannya yaitu Y = -1,449 + 0,074X. Sedangkan nilai R-square pada hubungan kadar klorofil dan riap tinggi bulanan berjalan pada tanaman petai ialah sebesar 94,2% dengan persamaannya yaitu Y = -3,91 + 0,28X.Hal serupa juga ditunjukkan antara hubungan kadar klorofil dengan riap tinggi bulanan dengan nilai R-square sebesar 89,4 % dengan persamaannya yaitu Y = -4,89 + 0,34X. Sedangkan nilai R-square pada hubungan klorofil dengan riap diameter bulanan ialah 89,8% dengan persamaannya yaitu Y = -0,76 + 0,05X.

Pola hubungan linier antara kadar klorofil dan riap diameter/tinggi bulanan tidak selalu dalam kondisi meningkat, dimana hal tersebut ditemukan pada tanaman nangka. Pola tersebut juga ditemukan pada tanaman jengkol antara kadar klorofil dan riap tinggi bulanan serta riap tinggi bulanan berjalan.

5.1.6 Penyulaman Tanaman

Penyulaman tanaman dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2018 terhadap tanaman-tanaman yang mati. Tanaman yang disulam meliputi semua jenis tanaman-tanaman yang ditanam di demplot penelitian paludikultur dan agroforestry. Sebelum dilakukan penanaman, dilakukan pemupukan dolomit terdahulu untuk menstabilkan nilai pH di arean penanaman.

Gambar 30 Penaburan Dolomit sebelum dilakukannya Penanaman

Adapun jumlah yang tanaman disulam yaitu sebanyak 615 tanaman pada demplot paludikultur. Penanaman dilakukan selama kurang lebih tiga hari sesuai dengan jumlah dan titik penanamanseperti perencanaan atau desain awal.

(29)

Gambar 31 Kegiatan Penanaman dengan Cara Penugalan

Tanaman sulaman juga dilakukan pengukuran performa pertumbuhan serta kadar klorofilnya untuk mendapatkan informasi pertumbuhan awal. Gambar 32 menunjukkan informasi awal terkait diameter, tinggi dan kadar klorofil pada tanaman jelutung sulaman pada demplot penelitian. Kada r Klor ofil ( Unit SPAD ) Ting gi (cm ) Diam eter ( mm) Tana m Ja lur Appli ed N uclea tion Tana m Ja lur Appli ed N uclea tion Tana m Ja lur Appli ed N uclea tion 40 30 20 10 0 4.71 5.27 18.91 21.6 35.75 35.9

Gambar 32 Performa Pertumbuhan Tanaman Jelutung Sulaman

Berdasarkan informasi awal terkait dengan performa pertumbuhan, tanaman jelutung dengan pola applied nucleation memiliki nilai yang lebih baik daripada pola tanam jalur pada berbagai tingkat parameter pertumbuhan. Sedangkan, informasi awal terkait dengan tanaman buah-buahan sulaman disajikan Gambar 33,Gambar 34, dan Gambar 35.

(30)

Rambutan Petai Nangka Jengkol 16 14 12 10 8 6 4 2 0 D ia m e te r (m m ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 3.77 4.36 5.42 3.77

Gambar 33 Performa Diameter Tanaman Buah-buahan Sulaman

Rambutan Petai Nangka Jengkol 200 150 100 50 0 T in g g i (c m ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 24.71 26.46 49.95 26.65

Gambar 34 Performa Tinggi Tanaman Buah-buahan Sulaman

Rambutan Petai Nangka Jengkol 80 70 60 50 40 30 20 10 K a d a r K lo ro fi l (U n it S P A D ) Jengkol Nangka Petai Rambutan Jenis Tanaman 33.29 31.15 50.08 26.26

Gambar 35 Kadar Klorofil Tanaman Buah-buahan Sulaman

Berdasarkan Gambar 33 dan 34, tanaman nangka sulaman memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman lainnya pada berbagai parameter pertumbuhan termasuk kadar klorofil (Unit SPAD).

(31)

5.2 Demplot Agroforestry

5.2.1 Pemagaran Areal Demplot

Salah satu pemeliharan tanaman pada demplot Agroforestry yang telah dilakukan adalah melakukan pemagaran dengan kawat berduri. Pada tahun sebelumnya pemagaran sudah dilakukan menggunakan jarring (net), namun mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh serangan babi hutan. Pembangunan pagar kawat dilakukan setelah kegiatan penyulaman. Pemagaran ini perlu dilakukan guna menjaga tanaman yang sudah tumbuh pada demplot agroforestry agar dapat tumbuh secara optimum. Pembangunan pagar dilakukan bersama para petani yang mengelola demplot tersebut.

Gambar 36 Pemasangan pagar pada lokasi demplot agroforestry

5.2.2 Daya Hidup Tanaman

Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman pada umur 8 bulan untuk masing-masing jenis tanaman adalah beragam. Persentase tertinggi ditunjukan oleh jenis alpukat dengan nilai 74 % dan yang paling rendah adalah nanas dan nangka dengan masing-masing nilai sebesar 30% dan 28 %. Daya hidup tanaman yang tinggi menunjukan bahwa adaptasi tanaman terhadap kesesuaian tempat tumbuh. Ada faktor menurunnya persentase hidup tanaman yang disebabkan oleh hama babi hutan. Kerusakan tanaman yang ada di demplot agroforestry terjadi karena adanya hama tersebut yang merusak bagian akar maupun batang tanaman, sehingga performa tanaman untuk tumbuh menjadi rendah. Secara rinci persentase hidup tanaman pada demplot agroforestry dapat dilihat dibawah ini.

(32)

Gambar 37 Persentase hidup tanaman pada demplot agroforestry

5.2.3 Pemeliharaan Tanaman

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada demplot agroforestry adalah kegiatan pembersihan jalur dan penyiangan disekitar tanaman. Teknik pemeliharaan yang dilakukan adalah menggunakan parang yakni pembabatan pada tanaman liar yang ada disekitar tanaman pokok pada jalur penanaman. Kegiatan pembabasan dari gulma ini memberi dampak yang baik guna performa tanaman dapat tumbuh dengan baik. Adanya ruang terbuka memberikan tanaman pokok untuk berfotosintesis dengan baik.

5.2.4 Laju Pertumbuhan Tanaman

Laju pertumbuhan merupakan tingkat atau pertambahan performa tanaman dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat dilihat pada setiap karakter pertumbuhan seperti diameter, tinggi tanaman, dan riap tanaman. Selain itu, pengukuran pertumbuhan pada selang waktu 8 bulan, 10 bulan dan 12 bulan pada jenis tanaman seperti alpukat, gaharu, jelutung, mangga dan petai.

74 63 63 60 56 53 30 28 00 10 20 30 40 50 60 70 80 Pers en ta se h id u p ta n aman (% ) Jenis tanaman Alpukat Gaharu Mangga Jelutung Jengkol Petai nanas Nangka

(33)

Gambar 38 Diameter (mm) pada berbagai Jenis Tanaman Selama Periode Pengukuran Secara performa pertumbuhan diameter, petai dan mangga memiliki tingkat pertumbuhan yang tertinggi dalam tiga kali periode pengukuran (8 BST, 10 BST, dan 12 BST) dengan laju pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini dapat menjadi informasi dasar untuk jenis-jenis tersebut yang mampu tumbuh pada lingkungan atau lahan gambut dengan pola agroforestry.

Gambar 39 Peforma Pertumbuhan Tinggi pada berbagai Jenis Tanaman

Sama halnya dengan parameter pengukuran lainnya, performa pertumbuhan tertinggi terdapat pada tanaman petai dengan laju pertumbuhan yang cukup signifikan. Performa tertinggi kedua terdapat pada jenis tanaman mangga. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada demplot paludikultur maupun agroforestry, diketahui bahwa jenis tanaman petai merupakan tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik pada demplot penelitian dilihat dari parameter pengamatannya. 12 BST 10 BST 8 BST 40 30 20 10 0 D ia m e te r (m m ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis 19.39 13.27 8.05 7 10.20 30.1 17.58 10.47 8 11.64 35 20.25 12.57 8 12.86 12 BST 10 BST 8 BST 400 300 200 100 0 T in g g i (c m ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis 129.25 89 39.14 84 67 188.5 101.25 48.86 90 75 240.25 121.75 59.71 94 85.14

(34)

Gambar 40 Riap Tinggi Bulanan berjalan pada berbagai Jenis Tanaman

Riap tinggi bulanan berjalan tertinggi terdapat pada tanaman petai dalam 10 BST hinggga 12 BST dengan nilai masing-masing yaitu 29,63 cm/bulan dan 25,88 cm/bulan. Secara keseluruhan, tidak terjadi perubahan laju pertumbuhan secara signifikan dalam 10 BST hingga 12 BST. Diperlukan pengukuran secara periodik dan dalam jangka waktu yang lama untuk mengetahui trend pertumbuhan pada jenis-jenis tanaman yang diamati. Tanaman petai juga tergolong sebagai tanaman legum yang memiliki karakteristik cepat tumbuh (fast growing) dan mudah beradaptasi.

Gambar 41 Riap Diameter Bulanan Berjalan pada berbagai Jenis Tanaman

Sama halnya dengan pengukuran laju pertumbuhan tinggi, jenis tanaman petai juga memiliki laju pertumbuhan diameter tercepat dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan laju pertumbuhan yang mencapai 5.35 mm/bulan (10 BST) dan kemudian menurun menjadi 2.45 mm/bulan (12 BST). Laju pertumbuhan terendah terdapat pada tanaman

12 BST 10 BST 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 R ia p T in g g i B u la n a n B e rj a la n ( cm /b u la n ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis 29.63 6.13 5.29 3 4 25.88 10.25 5 2 5.07 12 BST 10 BST 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 R ia p D ia m e te r B u la n a n B e rj a la n ( m m /b u la n ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis 5.35 2.16 1.21 0.5 0.72 2.45 1.34 1.05 0 0.61

(35)

Gaharu, baik pada pertumbuhan tinggi maupun pertumbuhan diameter. Laju pertumbuhan yang rendah karena karakteristik tanaman tersebut dalam beradaptasi cukup rendah.

5.2.5 Kandungan Klorofil Daun

Pengukuran klorofil dilakukan guna mengetahui kadar atau tingkat kehijauan daun. Hal ini penting guna mengetahui standar atau ukuran klorofil pada masing-masing jenis pada demplot agroforestry.

Gambar 42 Kadar Klorofil (Unit SPAD) pada berbagai Jenis Tanaman

Jenis tanaman petai memiliki tingkat kehijauan daun yang lebih baik dibandingkan tanaman lainnya. Kadar klorofil yang diukur menurut unit SPAD pada umumnya memiliki hubungan terhadap laju fotosintesis tanaman. Sehingga, hal tersebut diduga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya performa tinggi dan diameter pada tanaman petai.

Gambar 43 Pola Hubungan antara Klorofil (Unit SPAD) dengan Riap Diameter Bulanan Berjalan 80 70 60 50 40 30 20 K lo ro fi l (U n it S P A D ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis 58.74 46.1 52.11 26.3 41.31 80 70 60 50 40 30 20 7 6 5 4 3 2 1 0

Klorofil (Unit SPAD)

R ia p D ia m e te r B u la n a n B e rj a la n ( m m /b u la n ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis

(36)

Berdasarkan Gambar diatas, diketahui bahwa hampir pada seluruh jenis tanaman, memiliki pola hubungan yang linier atau setiap kenaikan kadar klorofil berpengaruh terhadap peningkatan riap diameter tersebut. Hal tersebut kecuali pada jenis petai, yang berhubungan secara terbalik. Pola hubungan terbaik terdapat pada jenis tanaman jelutung, ditunjukkan melalui nilai R-square yang mencapai 45.5%.

Gambar 44 Pola Hubungan Kadar Klorofil dengan Riap Tinggi Bulanan Berjalan Sama halnya dengan pola hubungan sebelumnya, hampir pada semua jenis tanaman memiliki pola hubungan yang positif kecuali pada tanaman petai. Pola hubungan terbaik ditunjukkan pada jenis tanaman alpukat dengan nilai R-square sebesar 50.2%.

5.2.6 Penyulaman Tanaman

Kegiatan penyulaman dilakukan pada bulan Oktober 2018 bersama para petani pengelola. Penyulaman merupakan penggantian tanaman yang mati dengan tanaman yang hidup berupa bibit tanaman dari persemaian yang telah tersedia. Data penyulaman diperoleh hasil dari pengamatan tanaman yang mati di lapangan. Umumnya kegiatan penyulaman intensif dilakukan 1-2 tahun setelah penanaman agar pertumbuhan tanaman dapat seragam.

5.3 Subsidensi dan Tinggi Muka Air

Subsiden diartikan sebagai penurunan permukaan gambut yang telah direklamasi akibat perubahan penggunaan lahan. Data/informasi tentang perkiraaan laju subsiden sangat penting untuk perencanaan sistem drainase dan pengaturan tata air, pendugaan umur pakai lahan gambut dari berbagai ketebalan dan ekosistem, serta perencanaan pemanfaatan lahan gambut secara optimal dalam rangka memelihara kelestarian gambutnya. Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991; Salmah et al., 1994, Wösten et al., 1997).

80 70 60 50 40 30 20 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Klorofil (Unit SPAD)

R ia p T in g g i B u la n a n B e rj a la n ( cm /b u la n ) alpukat gaharu jelutung mangga petai Tanaman Jenis

(37)

Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen: (1) Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di bawah muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi (menjadi padat). (2) Pengkerutan yaitu pengurangan volume gambut di atas muka air tanah karena proses drainase/pengeringan. (3) Dekomposisi/oksidasi yaitu menyusutnya massa gambut akibat terjadinya dekomposisi gambut yang berada dalam keadaan aerobik. (4) Kebakaran yang menyebabkan menurunnya volume gambut.

Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan subsiden karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas. Faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat dan pemupukan. Penggunaan alat berat dapat berpengaruh terhadap meningkatnya berat jenis (bulk density) tanah sehingga terjadi pemadatan. Sementara itu, pemberian pupuk pada tanah gambut dapat menciptakan lingkungan yang cocok bagi berkembangnya dekomposer (organisme yang berperan dalam pelapukan bahan organik). Setelah terciptanya lingkungan yang cocok bagi perkembangannya, maka aktivitas organisme dekomposer pun akan meningkat dan akan mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik serta berpengaruh terhadap subsiden tanah gambut.

Aktifitas manusia dalam membuat saluran atau parit juga merupakan faktor penting dalam terjadinya subsiden. Gambut secara fisik memiliki daya menahan beban (bearing capacity) yang rendah. Bila didrainase, lahan gambut akan mengalami subsiden (penurunan permukaan), dan potensial mengalami kering tidak balik (irriversible drying) dan berdampak terhadap penurunan kemampuan daya menahan airnya (hidrofobik), serta resiko ancaman kebakaran semakin tinggi. Akar tanaman yang timbul atau terlihat di atas permukaan tanah dapat menjadi tanda bahwa di lokasi studi telah terjadi penurunan permukaan gambut seperti yang terlihat pada Gambar 45.

(38)

Sebagai upaya untuk mengetahui laju penurunan tanah gambut di lokasi studi, dilakukan pemasangan pipa pengamatan subsiden (Gambar 46). Analisis subsiden dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap kondisi gambut di lapangan. Terdapat delapan pipa pengamatan subsiden di lahan Demplot Paludikultur dan enam pipa pengamatan subsiden di lahan Demplot Agroforestry.

Gambar 46 Pipa pengamatan subsiden dan piezometer

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata penurunan permukaan tanah gambut di lahan Demplot 1 sebesar 2.4 cm, sedangkan di lahan Demplot Agroforestry penurunan permukaan tanah gambut sebesar 2.6 cm selama 1 tahun (Tabel 4).

Tabel 4. Penurunan permukaan tanah gambut di lahan demplot

Demplot No Kode Subsiden tanah

gambut (cm) 1 1 B1 2 2 B2 3 3 B3 1.5 4 D1 3 5 D2 3 6 D3 2.5 7 C1 2 8 C2 2.5 Rata-rata 2.4 2 1 A1 1.5 2 A2 2.5 3 B1 3.0 4 B2 3.0 5 C1 1.5

Gambar

Gambar 6 Titik-titik Pengukuran tinggi muka air dan subsidensi di demplot Paludikultur
Gambar 7 Titik-titik Pengukuran tinggi muka air dan subsidensi di demplot Agroforestry  Pengukuran tinggi muka air dan dan subsiden dilakukan dengan paralon ukuran 2 inchi
Gambar 8 Kegiatan Pembuatan Pagar pada Demplot Paludikultur  5.1.2 Daya Hidup Tanaman
Gambar  10.  A)Tanaman  yang  diduga  dirusak  oleh  hama  babi  hutan;  B)  Tanaman  yang  mengalami kekeringan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegunaan praktis dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan sebagai masukan dalam mengembangkan perusahaan terutama yang berhubungan dengan

Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol atau kata-kata baik lisan maupun tulisan. Komunikasi ini hanya dapat

Berdasarkan hasil penelitian yang tellah dilakukan mengenai pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja, tunjangan, pengembangan karir terhadap kinerja perawat pada Rumah Sakit

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta pertolongan-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang

Sebagian besar pekerja yang bekerja di penambangan ini adalah masyarakat Pilohayanga Barat namun ada juga masyarakat sebelah yang bekerja di penambangan ini yaitu

"Mereka berasal dari mana?" tanya Rangga yang teringat akan Raden Segara, laki-laki berwajah cukup tampan dan bertubuh tinggi besar setengah raksasa itu.. "Tidak ada

Gambar freehand atau menggambar tangan bebas untuk membuat skesta secara cepat dalam memvisulisasikan suatu obyek ataupun gambar – gambar teknik sering dilakukan oleh orang –

Dengan ini saya menyatakan laporan akhir berjudul Pembenihan dan Pembesaran Ikna Gurame Osphronemus gouramy di Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Wilayah Selatan adalah