• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara Kerja moto dc Hermeneutik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Cara Kerja moto dc Hermeneutik"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Cara Kerja Hermeneutik :

Pada intinya hermeneutika memiliki berbagai macam metodologi dalam perjalanannya sebagai disiplin ilmu penafsiran, meski demikian dalam tulisan ini penulis hanya akan fokus membahas dua macam cara kerja hermeneutis sebagaimana yang diungkapkan oleh Mudja Raharjo yaitu hermeneutika intensional ala Hirsch dan hermeneutikan efektual ala Gadamer.

Hermeneutika Intensional merupakan turunan dari hermeneutika romantis Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey yang berpandangan bahwa mode kerangka kerja hermeneutika jenis ini ialah menemukan makna asli yang dikehendaki pengarang. Sementara dalam pandangan

hermeneutika efektual menurut Gadamer bahwa sebuah teks tidak sementinya dicari makna yang diletakkan oleh pengarang di dalamnya, sebab itu sama dengan memenjarakan makna teks, sejatinya bahwa teks harus tetap terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai dengan kreativitas sang penafsir teks itu sendiri. Asusmi Gadamer ini diperkuat oleh Paul Ricoeur bahwa pembaca pada intinya tidak terlibat dalam tindakan penulis dalam tulisannya dan penulis pun tidak terlibat dalam pembacaan para pembaca.Dengan demikian, teks pada intinya telah mengganti hubungan dialog langsung antara penggagas (pengarang) dengan penafsir (pembaca teks), kenyataan ini pula yang memungkinkan bagi lahirnya interpretasi teks yang berbeda antara pengarang (sumber teks) dengan penafsir (pembaca teks).

Pandangan Gadamer tentang teks juga diperkuat oleh Von Homboldt bahwa teks (bahasa) adalah sarana terbatas dengan keguanaan tak terbatas. Maka dari itu teks (bahasa) harus dipahami sebagai wujud yang mampu berkembang biak secara tak terbatas dengan menggunakan elemen-elemen yang terbatas (fakta yang teramati). Seirama dengan

pandangan paradigma kritis bahwa manusia dalam memahami teks harus menyelam ke dalam teks agar ia mampu menyingkap makna yang terkandung dibaliknya. Pernyataan ini

mempertegas asumsi sebelumnya bahwa dalam pandangan hermeneutika efektual, bahasa (teks) tidak boleh dibingkai hanya pada pengertian sebagaimana yang dimaksudkan

pengarang, melainkan ia harus terbuka untuk menerima arus interpretasi dari setiap pembaca dan penerima teks itu sendiri.

Dari kedua tawaran metodis hermeneutika tersebut penulis dapat menangkap pesan bahwa :

(2)

2. Pandangan Hermeneutika efektual lebih menekankan pada kebebasan penafsir dalam mengelaboris makna teks yang diterima sehingga memungkinkan lahirnya pemaknaan baru yang bisa jadi berbeda dengan kehendak sang pegnarang (sumber teks itu sendiri).

Ruang lingkup :

Hermeunitika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan pendefinisian tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam enam kategori hermeunitika sebagai berikut :

a) Hermeunitika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci

Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir. Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab suci.

b) Hermeunitika sebagai Metode Filologi

(3)

c) Hermeunitika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik

Hermeunitika linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis, ia telah melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.

d) Hermeunitika sebagai Fondasi Metodologis dari geiteswissenschaften

Dalam perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.

e) Hermeunitika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial

Hermeunitika sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika yang tidak terkait dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak terjait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.

f) Hermeunitika sebagai Sistem Penafsiran

(4)

Langkah pemahaman Hermeunitika menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Kunci Dari Hermeneutika :

Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.

Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut dengan “lingkaran hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).

Paling tidak ada tiga sumbangan penting pemikiran Gadamer bagi dunia pendidikan.

Pertama, keterbukaan terhadap yang lain. Hal ini bisa ditengarai dari konsep pemahaman Gadamer yang meniscayakan meleburnya latar belakang penafsir dalam dunia makna sehingga melahirkan pluralitas penafsiran. Di sinilah pentingnya keterbukaan terhadap yang lain dalam bingkai saling menghormati dan saling menghargai.

Kedua, tidak fanatik terhadap paham atau mazhab yang dianut. Hal ini bisa dilihat dari sikap Gadamer yang tidak pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai sesuatu yang benar. Sebab, menurut Gadamer, setiap pemahaman dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sang penafsir sehingga penafsiran dan pemahaman akan sebuah teks menjadi sangat beragam.

(5)

meniscayakan sebuah pembaruan yang terus-menerus terhadap pengetahuan. Dengan semangat ini, seharusnya pendidikan bukan untuk mempertahankan status quo, tetapi untuk mencapai kemajuan di segala bidang.

Hermeneutika dalam Pendidikan. B. Variasi Hermeneutika menurut Lefevere

Lefevere (1977: 46-47) memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok. Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutika tradisional (romantik); kedua, hermeneutika dialektik; dan ketiga, hermeneutika ontologis. Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutika itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutika itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutika tradisional, dialektik, hingga ontologis.

1. Hermeneutika Tradisional

(6)

Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu

dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora (1977: 48), apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton (1983) “dunia” karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek.

Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena

pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (1977: 47-48); Eagleton, 1983: 59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan.

Kelemahan yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya “menghidupkan kembali” (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dmunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49). Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.

2. Hermeneutika Dialektik

Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia

(7)

merupakan permainan bahasa (Lefevere, 1977: 49).

Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan

pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.

Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa “penjelasan” dan pemahaman” dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut

sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini

dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48).

Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).

Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak mempertentangkan “penjelasan” dengan “pemahaman”-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting “penjelasan” dan “pemahaman” untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).

(8)

pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.

Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan

hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup

dipahami dalam dirinya sendiri. 3. Hermeneutika Ontologis

Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai konsep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis. Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagai metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.

Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih

mementingkan “rekreasi”. Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan “reproduktif”, tetapi sebagai jalan “produktif”.

(9)

dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)

Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung

sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.

C. Apa yg bisa disumbangkan hermeneutika untuk Pendidikan ?

Dengan mempertimbangkan variasi hermeneutika di atas, maka secara umum, ada 3 tujuan hermeneutika yang bisa dikembangkan untuk mengkritisi proses dan teori pendidikan. 1. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami,

2. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman, 3. Hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman.

Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan 3 unsur:

1. Unsur pengarang (author). 2. Unsur teks (text).

3. Unsur pembaca (reader).

Ke-3 elemen pokok inilah yang dalam study hermeneutika disebut Triadic Structure.

(10)

Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian teks kitab suci, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks teks kitab suci tsb hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan di-dialog-kan dengan dinamika realitas historisnya.

Metode hermeneutika pada dasarnya dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan interpretasi terhadap kitab suci hindu, budha, yahudi, kristen, islam, dll karena kesemua kitab suci tersebut memiliki unsur-unsur yang sama yaitu : pengarang, teks, dan pembaca.

Dengan menguasai metode hermeneutika, diharapkan setiap pembaca (reader)dapat menangkap pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam teks (text) secara utuh sebagaimana yang diharapkan oleh penulis (author)

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, UU No. Menurut ketentuan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan

Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik ini, serta berbagai pihak yang tidak

Penelitian ini dinilai rekonstruktif, karena novel ini muncul justru ditengah maraknya karya- karya sastra Arab yang coraknya misoginis. berbagai penelitian menunjukkan 5

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran secara nyata dan lebih mendalam terhadap keefektifan pelaksanaan program Proyek Penanggulangan Kemiskinan di

KSPPS “Sinar Sakinah Mandiri” merupakan salah satu koperasi wanita berdasarkan pada prinsip syariah yang telah melakukan kegiatan operasional selama ± 2 tahun.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kristanti (2017) lingkungan kerja non fisik terbagi menjadi 2 faktor yaitu hubungan kerja dengan atasan dan hubungan antar

Gambar 4.1Contoh Hasil Output berupa pose robot dan sudut–sudut α pada setiap linkage Inverse kinematik digunakan didalam sistem agar dapat menggerakkan

Hasil simulasi arus di daerah perairan Muara Sungai Silugonggo, Kabupaten Pati dibuat dalam kondisi mengikuti kondisi pengambilan sampel nitrat, ortofosfat dan kualitas