KENDALA KONTRAKTOR DALAM MENERAPKAN GREEN
CONSTRUCTION UNTUK PROYEK KONSTRUKSI DI
INDONESIA
Wulfram I. Ervianto1 1
Kandidat Doktor Teknik Sipil-Institut Teknologi Bandung, email: ervianto@mail.uajy.ac.id
ABSTRAK
Studi mengenai green construction di Indonesia telah dimulai sejak beberapa tahun terakhir yang diawali dengan berbagai kajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu. Dilain pihak, sebagian kecil penyedia jasa sebagai pelaku konstruksi telah mulai menerapkan prinsip green construction dalam melaksanakan pekerjaannya. Kementerian Pekerjaan Umum sebagai representasi dari pemerintah, berperan untuk mempersiapkan regulasi sebagai penentu arah konstruksi berkelanjutan Indonesia. Ketiga pihak tersebut diatas merupakan institusi yang berperan penting sebagai pendukung dalam mengembangkan konsep green construction di Indonesia. Pada saat ini, kajian-kajian dalam pengembangan green construction masih bersifat sporadis dan terpisah-pisah yang berdampak pada kecepatan penerapannya di Indonesia. Berpijak pada situasi tersebut diatas perlu kiranya dilakukan kajian untuk mengurai keterlibatan antar pihak sehingga terpetakan tugas dan fungsi masing-masing pihak. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terkait kendala dalam menerapkan green construction oleh penyedia jasa, lebih spesifik kontraktor di Indonesia. Penelitian ini diawali dengan melakukan kajian yang mendalam berbasiskan data sekunder untuk mengetahui sebaran informasi green construction yang masih bersifat terpisah-pisah. Selanjutnya, data dan informasi tersebut dikaji secara mendalam berdasarkan pendekatan kualitatif. Hasil kajian ini adalah: (a) Kontraktor masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan peralatan yang ramah lingkungan; (b) Belum tersedianya pekerja yang terlatih dalam melaksanakan pekerjaan yang berprinsip pada green construction; (c) Belum adanya kepastian jenis material ramah lingkungan yang dinyatakan oleh lembaga yang dilegitimasi; (d) Keterbatasan teknologi dalam melaksanakan green construction; (e) Belum efektif terjadinya internal kolaborasi antara kontraktor besar dengan kontraktor spesialis sehingga jumlahnya masih sangat terbatas; (f) Terbatasnya regulasi yang mengatur tentang green construction.
Kata Kunci: kendala, penerapan, green construction, proyek konstruksi
1.
PENDAHULUAN
Penelitian terkait dengan konstruksi berkelanjutan di dunia diawali pada tahun 1994 oleh
Conseil International du Batiment yang intinya adalah melakukan penghematan bahan dan pengurangan limbah dalam proses pembangunan. Sedangkan untuk skala nasional diawali dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember tahun 2007, Indonesia sepakat untuk menurunkan konsentrasi CO2 di udara sebesar 26% sampai dengan 41% di akhir tahun β0β0 dan disepakati tentang ―peta jalur hijau‖ dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon. Sebagai respon terhadap kesepakatan tersebut pada tahun yang sama mulai dikembangkan konsep green construction.
prinsip-prinsip green construction yang menjadi aspek penting untuk menilai green construction di Indonesia [4].
Peran pemerintah dalam merespon berkembangnya isu green dinyatakan dalam bentuk regulasi yang berupa: (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. (b) Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau, (c) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan, (d) Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Bangunan Hijau. Peraturan yang terkait dengan bangunan hijau di Indonesia terdiri dari 42 pasal/ayat yang mengatur terkait dengan perencanaan bangunan hijau, 53 pasal/ayat terkait tahap pelaksanaan konstruksi (green construction), dan 46 pasal/ayat terkait tahap operasional [5].
Pada tingkat praktis, implementasi green construction di Indonesia diawali pada tahun 2007 oleh salah satu kontraktor nasional yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam proyek pembangunan kedutaan besar Singapura di Jakarta. Meskipun pada saat itu pengetahuan tentang green construction masih belum tergambarkan dengan jelas maknanya namun hal ini merupakan langkah penting bagi industri jasa konstruksi di Indonesia dalam memperbaiki aktivitas pembangunan.
Setelah enam tahun green construction diimplementasikan di Indonesia, sampai dengan saat ini belum ada informasi mengenai sejauh mana penerapannya dalam proyek konstruksi serta hambatan yang ditimbulkannya. Berpijak pada fakta tersebut diatas maka perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk mengetahui kendala yang ditimbulkan dalam mengimplementasikan green construction di Indonesia. Dengan adanya kajian ini maka dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyusun strategi dalam penerapan green construction di Indonesia.
2.
KAJIAN PUSTAKA
Tujuan sustainable construction adalah menciptakan bangunan berdasarkan disain yang memperhatikan ekologi, menggunakan sumberdaya alam secara efisien dan ramah lingkungan selama operasional bangunan [1]. Bagian dari sustainable construction adalah
green construction yang merupakan proses holistik yang bertujuan untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan antara lingkungan alami dan buatan [7]. Green construction
didefinisikan suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi untuk meminimalkan dampak negatif proses konstruksi terhadap lingkungan agar terjadi keseimbangan antara kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia untuk generasi sekarang dan mendatang [2].
Green Construction
Faktor Aspek
Prioritas I
Indikator
Prioritas II Perilaku Minimum
waste
Maksimum value Perilaku Minimum
waste
Maksimum value
Gambar 1: Hirarki green construction
Tabel 1: Komposisi indikator green construction di Indonesia Jumlah
indikator
Perilaku Minimum
waste
Maksimum
value
Prioritas I 96 (70,07%) 31
(22,63%) 34 (24,82%) 31 (22,63%) Prioritas
II 41(29,93%) 8 (5,84%) 8(5,84%) 25(18,25%)
Perilaku didefinisikan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan [6]. Hal ini berarti bahwa perilaku baru akan terwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan yang disebut rangsangan, dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu.
Maksimum value didefinisikan suatu aktivitas yang bertujuan untuk mencapai nilai tertentu. Pengertian ―nilai‖ adalah hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan [6]. Pada saat ini isu pentingnya adalah keberlanjutan kehidupan manusia yang memuat isu lingkungan (energi, air, udara, tanah, kesehatan dan keselamatan).
Minimum waste didefinisikan sebuah aktivitas yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya limbah sehingga beban di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat berkurang. Selain itu, mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana sehingga mempermudah untuk proses daur ulang.
Dalam sebuah studi terkait hambatan penerapan green construction di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ditemukan hal-hal sebagai berikut: (a) pembiayaan serta perawatan green building, (b) modal atau biaya, (c) pembuatan peraturan yang sah dalam penerapan green construction, (d) membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya green building, (e) penataan kota untuk mewujudkan konsep green building, (f) pemilihan material/bahan bangunan yang ramah lingkungan, (g) faktor kesehatan, (h) pembuatan disain yang strategis [8]. Dalam hasil tersebut terlihat belum ada pemisahan yang jelas berdasarkan pada tahapan daur hidup proyek konstruksi (green building dengan green construction). Namun demikian, beberapa informasi yang dapat diperoleh terkait dengan hambatan dalam
3.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul Pengembangan Model
Assessment Green Construction Pada Proses Konstruksi Untuk Proyek Konstruksi di Indonesia seperti diperlihatkan dalam gambar 2.
Lembaga asesor Perguruan Tinggi
Kontraktor
Sintesa aspek green contruction
Rancangan alat pengumpul data masyarakat sekitar proyek
Indikator green construction
Pengembangan metoda assessment green construction di Indonesia
Metoda assessment green construction
di Indonesia
Bobot aspek-faktor-indikator Rancangan alat pengumpul data
untuk pakar Rancangan alat pengumpul data
untuk kontraktor
Konfirmasi indikator yang telah diimplementasikan
di proyek
Indikator green construction
Konfirmasi indikator yang telah dan belum diimplementasikan
Kendala dalam implementasi
Rekomendasi
Gambar 2: Tahapan penelitian
4.
DATA DAN ANALISIS DATA
Narasumber dalam penelitian ini adalah satu responden General Manager, empat Project Manager, satu Site Manager, dan satu Site Engineer yang bekerja pada perusahaan milik swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Survey dilakukan di Jakarta, Medan, Makassar, Pulau Bali yang meliputi Denpasar, Bangli, dan Ubud. Informasi diperoleh menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui diskusi dan pengisian kuisioner yang dilaksanakan pada tanggal 2 s/d 22 September 2013 untuk lokasi Medan, Makassar dan Pulau Bali, sedangkan lokasi di Jakarta dilakukan pada tanggal 10 dan 18 Desember 2013. Hasil kajian ini berupa informasi mengenai hal-hal terkait green construction yang telah dan belum diimplementasikan di proyek yang diperlihatkan dalam tabel 2. Justifikasi yang digunakan untuk menentukan indikator yang telah diimplementasikan di tingkat proyek didasarkan komposisi jawaban responden antara ―ya‖ dan ―tidak‖ yang mempunyai delapan variasi. Indikator green construction dianggap belum diimplementasikan jika jawaban ―ya‖
bernilai dibawah 50 seperti diperlihatkan dalam tabel 3. Sedangkan informasi lebih rinci terkait dengan kendala yang dihadapi oleh pengelola proyek dalam mengimplementasikan
Tabel 2: Indikator green construction yang belum diaplikasikan di level proyek
Faktor Green Construction Indikator belum
diaplikasikan Perencanaan Dan Penjadwalan Proyek
Konstruksi 0 dari 5
Sumber Dan Siklus Material 3 dari 10 Rencana Perlindungan Lokasi Pekerjaan 2 dari 12 Manajemen Limbah Konstruksi 3 dari 12 Penyimpanan Dan Perlindungan Material 1 dari 3 Kesehatan Lingkungan Kerja Tahap
Konstruksi 3 dari 17
Program Kesehatan Dan Keselamatan
Kerja 0 dari 3
Pemilihan dan Operasional Peralatan
Konstruksi 2 dari 5
Dokumentasi 2 dari 8
Pelatihan Bagi Subkontraktor 0 dari 4 Pengurangan Jejak Ekologis Tahap
Konstruksi 3 dari 6
Kualitas Udara Tahap Konstruksi 3 dari 6
Konservasi Air 2dari 7
Tepat Guna Lahan 3 dari 4
Konservasi Energi 7 dari 20
Manajemen Lingkungan Proyek
Konstruksi 2 dari 15
Total 38 dari 137
Tabel 3: Komposisi indikator green construction yang telah dan belum diimplementasikan di proyek berdasarkan perilaku, minimum waste dan maksimum value
Komposisi jawaban Ya/Tidak
Jumlah indikator - %
Status indikator Perilaku Minimum
waste
Maksimum
value
100/0
28 (19,72%)
35 (24,65%)
36 (25,35%)
99 indikator telah Diimplementasikan (72,26%)
85,7/14,3 71,4/28,6 57,1/42,9 42,9/57,1
11 (7,75%)
7 (4,93%)
20 (14,08%)
38 indikator belum Diimplementasikan (27,74%)
28,6/71,4 14,3/85,7 0/100
Indikator Green Construction Yang Belum Diimplementasikan
mengetahui lebih lanjut penyebabnya yang dibedakan berdasarkan prinsip lean construction, yaitu terkait perilaku, minimum waste dan maksimum value.
Tabel 4: Indikator green construction kategori perilaku
No. Indikator Kendala/penjelasan Rekomendasi
1
Pengukuran air limpasan akibat pembangunan terhadap lokasi sekitar
Lokasi Bangunan gedung relatif sempit kurang signifikan
Berisfat situasional Pengadaan sumur resapan disekitar lokasi proyek
sehingga tidak terjadi air
Terkendala dengan ragam/jenis material yang terbarukan
Permasalahan teknologi
3
Pengukuran kualitas udara secara berkala (air quality meter)
Tidak ada hambatan, karena tidak disyaratkan oleh pemilik proyek maka tidak dilakukan
Peran aktif Pemilik proyek
4
Persyaratan kualitas udara sebagai bagian dalam dokumen lelang dan kontrak
Secara spesifik tidak dijelaskan dalam kontrak persyaratan kualitas udara dalam dokumen tender dan kontrak
Secara spesifik tidak dijelaskan dalam kontrak
Peran aktif Pemilik proyek
6 Penanaman pohon di sekitar kontraktor keet
Tidak ada hambatan, karena tidak disyaratkan oleh pemilik proyek maka tidak dilakukan
Peran aktif untuk mendukung pekerjaan di lokasi proyek baik di dalam atau luar ruangan
Belum ada standarisasi yang jelas
sebagai acuan Regulasi
8
Pengukuran intensitas cahaya sesuai ketentuan (min 300 lux)
Tidak ada hambatan, karena tidak disyaratkan oleh pemilik proyek maka tidak dilakukan
Peran aktif Pemilik proyek
9
Melakukan pengukuran getaran mekanik
Tidak diharuskan oleh pemilik proyek karena tidak ada peralatan yang menghasilkan getaran
No. Indikator Kendala/penjelasan Rekomendasi
sampah yang
dikeluarkan
diharuskan oleh pemilik proyek Pemilik proyek
Tabel 5: Indikator green construction kategori minimum waste
No. Indikator Kendala/penjelasan Rekomendasi
1
Penggunaan kontainer untuk kantor lapangan proyek
Terlalu sempit, faktor transportasi kontainer
bersifat situasional
2
Pelaksanaan pekerjaan dengan metoda pra fabrikasi
Tidak semua sistem struktur bangunan dapat dipabrikasi
Permasalahan teknologi
3 Tingkat akurasi estimasi detil
Pengetahuan dalam estimasi terbatas, Belum ada standar yang digunakan sebagai acuan, Menggunakan estimasi yang biasa dilakukan sebelumnya
Regulasi
4
Penggantian peralatan lama dengan peralatan baru (konsumsi energi lebih efisien dan rendah emisi)
Terkendala biaya investasi
Mekanisme pembiayaan dengan bunga kompetitif
5 Pemilihan metoda land
clearing
Pada umumnya proyek gedung lokasinya sempit sehingga luasan yang menghasilkan top soil relative kecil
Peran aktif Pemilik proyek
6
Pemasangan alat meteran air di setiap keluaran sumber air bersih (PDAM, air tanah)
Untuk PDAM selalu ada meteran namun untuk pemakaian air tanah belum dilakukan karena tidak ada desakan dari pemilik proyek
Peran aktif Pemilik proyek
7
Pemakaian kran otomatis (untuk washtafel)
Tidak ada hambatan dalam implementasinya hanya saja harganya relatif lebih mahal dibandingkan kan biasanya,
Sosialisasi penghematan pemakaian air melalui
Tabel 6: Indikator green construction kategori maksimum value
No
. Indikator Kendala/penjelasan Rekomendasi
1
Menggunakan bahan baku kayu yang dapat dipertanggungjawabkan asal-usulnya
(bersertifikat)
Belum jelas mekanismenya, selain itu harga kayu terlalu mahal dan
Kebisingan yang ditimbulkan selama proses konstruksi
Belum adanya peralatan yang tidak mengeluarkan kebisingan (misalnya alat bor belum ada teknologinya)
Permasalahan teknologi
3 Pemanfaatan top soil hasil land clearing
Tidak semua lokasi proyek gedung terdapat top soil
Peran aktif Pemilik proyek
4 Dekonstruksi material bekas pakai
Kegiatan dekonstruksi belum umum dilaksanakan, Hanya material tertentu yang sudah digunakan yaitu besi tulangan
Peran aktif
(bernilai lebih rendah dibanding bentuk sebelumnya)
Daur ulang hanya untuk produk tertentu dengan cara bekerjasama dengan pihak lain, Terkendala peralatan untuk daur ulang
Peran aktif pemilik proyek dan
Permasalahan teknologi
6
Melakukan upcycle, (bernilai lebih tinggi dibanding bentuk sebelumnya)
Daur ulang hanya untuk produk tertentu dengan cara bekerjasama dengan pihak lain, Terkendala peralatan untuk daur ulang
Peran aktif pemilik proyek dan
Permasalahan teknologi
7
Material rawan terhadap debu disimpan diluar lokasi proyek
Perlu mobilisasi jika akan digunakan
Disimpan di lokasi proyek namun
Penggunaan lampu
merkuri untuk
penerangan
lampu konvensional mengandung merkuri yang berpotensi mengganggu kesehatan (pada saat lampu pecah)
Tidak ramah lingkungan
9 Penggunaan styrofoam untuk insulasi panas
Dalam pembuatan styrofoam
digunakan CFC yang akan terurai dalam waktu 65-130 tahun dapat merusak lapisan ozon.
No
. Indikator Kendala/penjelasan Rekomendasi
pekerja ditempatkan di sekitar lokasi proyek sehingga tidak memerlukan moda transportasi untuk mencapai lokasi proyek
12 Dokumentasi produk dari kayu bersertifikat
Karena belum dipersyaratkan oleh pemilik proyek maka tidak perlu adanya dokumentasi
Peran aktif Pemilik proyek
13
Larangan menebang pohon dalam radius 12,2 meter dari bangunan
Ketentuan tersebut hanya diberlakukan dalam proyek green, untuk proyek pada umumnya tidak menjadi persyaratan
Peran aktif Pemilik proyek
14
Rencana dan simulasi pengaruh air limpasan di lokasi proyek terhadap lingkungan
Debit air limpasan dapat dihitung berdasarkan tiga komponen yaitu: koefisien run off , data intensitas curah hujan dan catchment area, untuk proyek gedung dimana lokasinya relatif sempit maka perhitungan ini tidak terlalu signifikan.
Bersifat situasional
15
Pengadaan
sumur/resapan untuk buangan/limpasan air
Adanya tambahan biaya untuk pengadaan sumur pengisian serta bersifat kasuistis masuk ke drainase kota
Adanya tambahan biaya untuk pengadaan sumur pengisian serta bersifat kasuistis
Membuat perhitungan pengurangan CO2 yang didapatkan dari efisiensi energi
Sudah dilakukan terutama untuk proyek green sedangkan proyek pada umumnya tidak dilakukan
Peran aktif Pemilik proyek
18 Jadwal transportasi karyawan
Sebagian kontraktor telah melaksanakan, namun untuk proyek yang tersebar lokasinya tempat tinggal pekerja terletak di sekitar proyek
Bersifat situasional
19
Penggunaan sensor cahaya untuk lampu penerangan yang ada di lokasi proyek oleh sebagian kontraktor, misalnya PT PP pada proyek normalisasi kali Pesanggrahan
5.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan fakta tersebut diatas maka dapat disimpulkan hambatan yang terjadi dalam mengimplementasikan green construction adalah:
1. Permasalahan teknologi, dimana kontraktor masih terkendala oleh beberapa hal sebagai berikut: (a) penggunaan bahan bakar alternatif, (b) teknologi daur ulang, (c) terbatasnya ketersediaan peralatan yang ramah lingkungan dalam hal tingkat kebisingan, (d) implementasi komponen prafabrikasi, (e) ragam material terbarukan.
2. Peran aktif dari pemilik proyek dalam beberapa hal sebagai berikut: (a) mensyaratkan pemakaian kayu yang dapat dipertanggungjawabkan asal usulnya, (b) mensyaratkan pembuatan sistem untuk infiltrasi air tanah, (c) ketentuan filterisasi air yang akan disalurkan kedalam riol kota, (d) ketentuan tidak menebang pohon kecuali yang berada dalam massa bangunan, (e) mensyaratkan penggunaan air secara bertanggung jawab baik yang bersumber dari PDAM maupun air tanah, (f) melakukan monitoring sampah yang dihasilkan, (g) memantau kebisingan, getaran, dan kondisi air tanah yang diakibatkan oleh aktivitas proyek, (h) memantau kualitas udara selama proyek berlangsung untuk menciptakan udara bersih.
3. Terbatasnya regulasi yang mengatur tentang implementasi green construction dalam beberapa hal sebagai berikut: (a) standarisasi terkait dengan penerangan yang sesuai untuk aktivitas konstruksi baik di dalam maupun diluar ruangan, (b) ketentuan penggunaan peralatan konstruksi yang rendah emisi dan berbahan bakar alternatif.
4. Campur tangan sumber pendanaan dalam hal peremajaan berbagai peralatan yang rendah emisi dan efisien bahan bakar.
5. Faktor lainnya yang mencakup sosialisasi penghematan air, energi, penggunaan sensor cahaya untuk penerangan dan tidak menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri, styrofoam dan zat lain yang tidak ramah lingkungan.
Beberapa kesimpulan tersebut diatas ada kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinulingga dalam hal belum adanya kejelasan tentang material ramah lingkungan, belum lengkapnya peraturan terkait dengan green construction dan kepedulian terhadap kesehatan pekerja belum menjadi perhatian utama.
6.
DAFTAR PUSTAKA
1. Conseil International Du Batiment (1994).
2. Ervianto, W.I. (β01β), Laporan υenelitian ―Identifikasi Faktor Green ωonstruction υada
ψangunan Gedung di Indonesia‖, ITψ-JICA.
3. Ervianto, W.I. (2012), Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau, Penerbit ANDI, Yogyakarta. 4. Ervianto, W.I., dkk (2011) Pengembangan Model Assessment Green Construction Pada Proses
Konstruksi Untuk Proyek Konstruksi di Indonesia, Konferensi Nasional Pascasarjana Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, 20 Desember 2011
5. Ervianto, W.I., dkk (2013) Kajian Kerangka Legislatif Penerapan Green Construction Dalam Proyek Konstruksi Bangunan Gedung Di Indonesia, Seminar Nasional Pascasarjana Teknik Sipil IX, 6 Pebruari 2013