• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Lingkup Filsafat ilmu dan ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ruang Lingkup Filsafat ilmu dan ruang "

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

RUANG LINGKUP FILSAFAT

A. Objek Material dan Objek Formal Filsafat.

Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan. Kumpulan pengetahuan untuk dapat disebut ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat yang dimaksudkan di antaranya adalah objek material (material object) dan objek formal (formal object).

Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu yang diselidiki atau sesuatu yang dipelajari. Objek material mencakup apapun baik hal yang konkrit (badan manusia, badan hewan, tumbuhan, batu, kayu, tanah) maupun hal yang abstrak (misalnya ide-ide, nilai-nilai, angka). Objek formal adalah sudut pandangan, cara memandang, cara mengadakan tinjauan yang dilakukan oleh seorang pemikir atau peneliti terhadap objek material serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada saat yang sama membedakannya dan bidang-bidang lain. Satu bidang objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda pula. Sebagai contoh, misalnya objek materialnya adalah “manusia” dan manusia ini ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di antaranya : fisiologi, anatomi, psikologi, antropologi, sosiologi, ilmu pendidikan dan sebagainya.

(2)

Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang dinamis.

Bertalian dengan pengertian objek material dan objek formal ini, ada perbedaan antara filsafat dengan ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu yang bukan filsafat). Misalnya objek material berupa “pohon kelapa”. Seorang ahli ekonomi akan mengarahkan perhatiannya (objek formal) pada aspek ekonomi dari pohon itu. Misalnya berapa harga buahnya, kayunya kalau dijual. Seorang ahli pertanian mempunyai sudut pandangan yang khusus yang menyangkut pertumbuhan pohon itu. Misalnya bagaimana caranya agar pohon kelapa itu tumbuh subur. Seorang ahli biologi akan mengarahkan perhatiannya pada unsur-unsur yang terkandung dalam pohon, daun dan buahnya. Seorang ahli hukum mengarahkan perhatiannya pada siapa yang memiliki pohon itu.

Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ilmuwan yang ahli di bidang tertentu, mengarahkan pethatiannya pada salah satu aspek dan objek materialnya. Disiplin ilmu khusus terbatas ruang lingkupnya atau cakupannya, artinya bidang kajiannya tidak mencakup bidang-bidang lain yang bukan wewenangnya. Setiap ilmu menggarap kaplingnya masing-masing dan tidak begitu peduli dengan kapling ilmu lain. Inilah yang disebut otoritas dan otonomi (kemandirian) keilmuan, yaitu wewenang yang dimiliki seorang ilmuwan untuk mengembangkan disiplin ilmunya tanpa campur tangan pihak luar. Para ilmuwan itu hanya berbicara tentang bidangnya sendiri. Pada hal kadangkala setiap ilmuwan khusus menghadapi persoalan yang tidak dapat diselesaikan hanya mengandalkan kemampuan ilmu yang dikuasainya. Ada sejumlah persoalan fundamental yang melampaui wewenang setiap ilmu khusus. Persoalan-persoalan umum yang ditemukan dalam bidang ilmu khusus itu antara lain seperti yang berikut.

(a) Sejauh mana batas-batas (ruang lingkup) yang menjadi wewenang masing-masing ilmu khusus itu? Dari mana ilmu khusus itu mulai dan sampai mana harus berhenti?

(b) Di manakah sesungguhnya tempat ilmu-ilmu khusus dalam realitas yang melingkupinya?

(3)

(d) Apakah persoalan hubungan sebab akibat (causality) yang berlaku dalam ilmu kealaman juga berlaku dalam pula bagi ilmu-ilmu sosial ataupun humaniora. Misalnya setiap logam kalau dipanaskan pasti memuai. Gejala ini berlaku bagi semua logam. Panas merupakan faktor penyebab memuainya logam. Akan tetapi sulit untuk memastikan bahwa setiap kebijakan (policy) pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri akan menimbulkan kenaikan harga barang. Bisa saja kenaikan harga barang itu disebabkan oleh faktor lainnya misalnya adanya inflasi, banyaknya permintaan konsumen, langkanya barang tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kenaikan gaji pegawai negeri agaknya hanya salah satu dan beberapa sebab.

Contoh-contoh yang dikemukakan menunjukkan bahwa setiap ilmu khusus menjumpai problim-problim yang bersifat umum atau bersifat kefilsafatan. Problim semacam itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri (meskipun muncul dan ilmu itu), karena setiap ilmu memiliki objek material yang terbatas.

Filsafat melampaui ilmu-ilmu khusus, baik dalam objek material maupun objek formal. Objek formal filsafat terarah pada keumuman yang ada pada ilmu-ilmu khusus. Dengan tinjauan yang terarah pada keumuman itu, filsafat berusaha mencari hubungan-hubungan di antara bidang-bidang ilmu yang bersangkutan. Kegiatan filsafat yang demikian itu disebut multidisipliner.

B. Persoalan Filsafat

(4)

Ciri-ciri problim filsafat adalah sebagai benikut.

(1) Bersifat sangat umum. Problim keflisafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek atau peristiwa-peristiwa khusus. Dengan kata lain sebagian problim flisafat bersangkutan dengan ide-ide besar (great ideas), misalnya ide tentang kebenaran (truth), kebaikan (goodness) dan keindahan (beauty). Ide-ide pokok itu masing-masing bersangkutan dengan lingkungan tertentu atau dikenakan bagi pokok persoalan tertentu.

Kebenaran secara umum bersangkutan dengan pemikiran dari cabang filsafat yang disebut logika. Wacana-wacana dalam bidang pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah, dipengaruhi oleh ide kebenaran. Orang berbicara tentang kebenaran dalam bidang ilmu pengetahuan, matematika, filsafat, sejarah, agama, teologi. Kebenaran juga dipersoalkan apakah hanya ada dalam pertimbangan pikiran ataukah dalam pengungkapannya dalam bentuk bahasa, atau pada kemampuan pencerapan indera atau pada pengalaman-pengalaman manusia. Persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan ide kebenaran sangat luas. Apakah ukuran kebenaran itu? Bagaimana hubungan antara kebenaran dengan kenyataan. Macam-macam kebenaran, misalnya kebenaran teoritis dan kebenanan praktis, kebenaran illahi dan kebenaran manusiawi, kebenaran kata dan kebenaran makna. Segi moral dan kebenaran, misalnya pensaratan untuk menemukan kebenaran di antaranya kemerdekaan berpikir dan kebebasan berdiskusi.

Kebaikan pada umumnya bersangkutan dengan kehendak manusia atau realisasinya dalam tindakan atau tingkah laku dan merupakan pokok persoalan dalam etika atau moral. Ide tentang kebaikan (goodness) atau yang baik (the good) atau sifat baik (good) dapat dikatakan bersangkutan dengan manusia, benda maupun Tuhan. Orang dikatakan baik kalau dia sering menolong atau membantu orang lain. Suatu kehendak dikatakan baik kalau dilatarbelakangi dorongan tanpa pamrih. Suatu kehidupan keluarga dikatakan baik kalau keluarga itu hidup sejahtera dan bahagia dan dihargai masyarakat. Suatu masyarakat dikatakan baik kalau kehidupan sekelompok orang yang sifatnya adil dan suasana damai. Sebuah pisau dikatakan baik karena benda itu tajam dan enak digunakan. Sebuah lukisan dikatakan baik dalam arti lukisan itu baik dilihat dan menimbulkan perasaan senang. Dalam ajaran agama ada ungkapan yang menyatakan “Tuhan itu maha baik”.

(5)

yaitu keadilan, persamaan dan kebebasan. Ketiga ide itu merupakan tiga serangkai ide sebagai dasar dan ukuran dalam berbagai perbuatan seseorang dalam hubungannya dengan orang-orang lain. Keadilan, persamaan dan kebebasan merupakan tiga serangkai ide pokok secara bersama-sama menjadi cita yang baik bagi perbuatan manusia dalam kehidupan masyarakat di manapun. Berbuat adil berarti berbuat baik atau mewujudkan ide kebaikan. Menghargai persamaan dan kebebasam pada orang lain berarti berbuat baik atau mewujudkan ide kebaikan.

Keindahan pada umumnya dikaitkan dengan perasaan senang dan merupakan persoalan pokok dalam estetika (filsafat keindahan) dan seni (art). Keindahan memberikan kepada manusia perasaan senang atau pengalaman yang menyenangkan. Ide keindahan atau hal yang indah dalam kehidupan manusia bertebaran dalam alam dan seni.

(2) Bersifat spekulatif. Persoalan filsafat yang dihadapi manusia melampaui batas pengetahuan sehari-hari bahkan melampaui batas pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berifat empiris atau pengetahuan yang menyangkut fakta atau kenyataan yang dapat diindera. Pengetahuan fakta adalah pengetahuan yang dapat diukur, dihitung atau ditimbang yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka atau bersifat kuantitatif. Memang ada fakta tentang filsafat, misalnya Plato menulis buku “Republik”, dan Immanuel Kant meninggal tahun 1804. Bila seseorang menanyakan pada Anda tentang “Apa filsafat anda?”, berarti jawabannya bukanlah definisi-definisi atau fakta-fakta historis yang Anda ketahui atau informasi khusus yang Anda miliki melainkan Anda mencoba menyatakan makna tentang apa yang Anda ketahui dan Anda punyai.

(6)

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf melampaui batas-batas pengetahuan yang telah mapan (established), artinya para filsuf itu berusaha untuk menduga kemungkinan yang akan terjadi. Para filsuf telah memberikan sumbangan yang penting dengan membuat terkaan-terkaan yang cerdik (intelligent guess) tentang hal-hal yang tidak tercakup dalam pengetahuan yang sekarang dimiliki masyarakat.

Misalnya tentang ”kematian”, “kebahagiaan”, “masyarakat adil makmur”, “manusia seutuhnya”, “civil society”. Dalam sejarah filsafat Yunani dicatat bahwa Democritos (460-370 SM) menyatakan jauh sebelum bukti-bukti ilmiah kemudian membuktikan adanya atom-atom. Demikian pula Empedocles (w. 433 SM) mengajukan teori tentang evolusi jauh sebelum para ilmuwan biologi menarik kesimpulan yang sama tentang teori itu. Banyak temuan-temuan ilmiah dalam bidang psikologi dan sosiologi yang memperkuat teori-teori filsafat yang telah dikemukakan sebelumnya oleh para filsuf. Namun tidak dapat diingkari bahwa para filsuf telah mengajukan banyak sekali terkaan namun kemudian ditolak oleh fakta-fakta yang dikemukakan oleh para ilmuwan.

Para filsuf merenungkan apa hakikat kenyataan sampai melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah yang bersifat empiris. Pertanyaan-pertanyaan apakah Tuhan itu ada atau tidak, apakah ada nilai-nilai yang terdalam, apakah ada tujuan terakhir dan semua yang ada. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak ditujukan pada seorang ilmuwan, akan tetapi ditujukan pada seorang filsuf. Pertanyaan kefilsafatan bukanlah pertanyaan yang menyangkut fakta yang mungkin ilmuwan dapat menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan menanyakan nilai-nilai dan makna-makna dan bahkan mencakup nilai dan maka itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan kefilsafatan menuntut perenungan secara imajinatif, dan kesiapan untuk melampaui fakta-fakta dengan maksud dapat merumuskan beberapa hipotesis yang lebih dapat dipahami daripada semata-mata meninjau secara ilmiah. (3) Bersangkutan dengan nilai-nilai. Persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan-keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama dan sosial. Filsafat merupakan kegiatan untuk mencari kebijaksanaan atau kearifan (wisdom), jadi bukan mencari informasi tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan wisdom adalah suatu sikap menilai dan menimbang-nimbang sejumlah tindakan dengan memberikan penafsiran yang masuk akal.

(7)

dipertahankan. Dengan adanya nilai-nilai yang ada dalam kehidupan manusia, maka manusia merasa senang, merasa puas atau merasa bahagia. Nilai-nilai bersangkutan dengan pemahaman dan penghayatan manusia. Para filsuf mendiskusikan pertanyaan tentang nilai-nilai yang terdalam (ultimate values). Kebanyakan pertanyaan kefilsafatan berkaitan dengan hakikat nilai-nilai. Hasil-hasil pemikiran manusia tentang alam, kedudukan manusia dalam alam, sesuatu yang dicita-citakan manusia, semuanya itu secara tersirat mengandung nilai-nilai. Misalnya pertanyaan “apakah Tuhan itu? Jawaban yang diberikan berupa norma-norma yang digunakan dalam menilai tindakan dan memberi bimbingan dalam mengadakan pilihan atas perbuatan yang akan dilakukan.

Ada perbedaan antara flisafat dan ilmu dalam kaitannya dengan masalah nilai-nilai. Ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fakta-fakta yang bersifat kuantitatif. Ilmu pengetahuan tidak memberikan jawaban tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan. Apabila seorang ilmuwan diajukan pertanyaan tentang hydrogin cyanide dan penicilin, maka mereka akan menjawab bahwa hydrogin cyanide adalah racun yang baik, sedangkan penicilin adalah zat pembunuh kuman. Jawaban ilmuwan hanya berupa fakta-fakta. Dalam hal ini ilmuwan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan apakah euthanasia atau mematikan (bukan membunuh) pasien karena belas kasihan (mercy killing) dapat dibenarkan secara moral ataukah tidak.Hanya mengandalkan ilmu saja, para ilmuwan tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan terhadap penicilin dan hydrogin cyanide.

(4) Bersifat kritis. Filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh para ilmuwan tanpa sebelumnya diperiksa secara kritis. Setiap bidang pengalaman manusia baik yang menyangkut ilmu maupun agama mendasarkan penyelidikannya pada anggapan-anggapan dasar (assumption) yang diterima sebagai titik tolak untuk pangkal berpikir atau berbuat. Asumsi-asumsi itu diterima dengan begitu saja dan diterapkan tanpa diperiksa secara kritis. Salah satu tugas utama ahli filsafat atau seorang filsuf adalah memeriksa dan menilai asumsi-asumsi, mengungkapkan artinya dan menentukan batas-batas penerapannya.

(8)

sintesis, mengadakan kritik dan menyatupadukan (mengintegrasikan). Dengan demikian persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan sebagai suatu keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.

(6) Bersifat implikatif. Kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban itu akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-kepentingan hidup yang pokok bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan mutakhir yang menyangkut manusia misalnya : Apakah manusia seutuhnya itu? Apakah manusia yang berkualitas itu? Apakah negara yang adil dan makmur itu? Semua pertanyaan yang diajukan itu bersifat implikatif karena pertanyaan itu sebagai kelanjutan (implikasi) dari jawaban pertanyaan yang jauh sebelumnya sudah dipersoalkan oleh para filsuf yaitu: Apakah manusia itu?

C. Pertanyaan Kefilsafatan

Menurut Plato, filsafat dimulai karena adanya rasa kekaguman, ketakjuban (Ingg. Wonder; Yun. Thauma). Orang yang kagum atau heran berarti ia menghadapi problim. Ada sesuatu yang tidak diketahui dan yang dihadapi, misalnya dari mana asalnya dan bagaimana sifat-sifatnya. Pada jaman dahulu sekitar 6 abad sebelum Masehi di Yunani, tempat munculnya filsafat, manusia kagum terhadap kejadian-kejadian alam yang merusak misalnya gempa bumi, banjir, badai, wabah penyakit, bencana kelaparan. Pada tahap awal kekaguman manusia lebih terarah pada hal-hal yang bersangkutan dengan alam semesta, atau hal-hal yang di luar diri manusia. Namun dalam perkembangan lebih lanjut manusia juga kagum terhadap dirinya sendini, sehingga dia menanyakan “siapakah saya”, “darimana asalnya saya”, “kemana pada akhimya saya “.

(9)

Manusia berpikir tentang perbuatan-perbuatan apa yang harus dipilih dalam kerangka tujuan yang terakhir. Di lain pihak, muncul suatu keadaan dimana muncul suatu pemikiran yang tidak menyangkut tindakan. Pada kasus yang kedua ini manusia tertarik untuk memperoleh kebenaran tentang sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan tujuan-tujuan praktis. Manusia hanya sekedar mengetahui. ini disebut pemakaian akal secara contemplative (Aristoteles menggunakan kata theoretikos yang berarti bersangkutan dengan mengetahui).

Dalam perkembangan lebih lanjut, problim-problim yang dihadapi para filsuf jawabannya dapat diperoleh dengan berpikir sendiri atau ditanyakan kepada orang lain dengan mengadakan dialog (tanya jawab). Pengetahuan yang dicari para filsuf mencakup baik pengetahuan tentang dunia tempat mereka hidup yaitu yang menyangkut pertanyaan apakah sesuatu hal itu (knowledge of what is) dan juga pengetahuan tentang “apa yang seharusnya diperbuat (knowledge of what ought to be). Pengetahuan tentang dunia yang mengelilingi manusia sebagian merupakan apa yang sekarang disebut ilmu (science), sehingga para filsuf angkatan pertama adalah juga sebagai ilmuwan. Di samping mencari pengetahuan tentang dunia yang mengelilinginya dan pengetahuan tentang kehidupan yang baik para filsuf mengadakan refleksi tentang apa yang mereka perbuat dan mengadakan pemeriksaan secara kritis terhadap dasar-dasar pengetahuan.

Filsuf Yunani Socrates (469-399 SM) tidak hanya tertarik untuk memperoleh pengetahuan tentang jenis kehidupan yang dianggap paling benilai, namun ia juga mengadakan pemeriksaan tentang dasar-dasar sesuatu kehidupan yang lebih bernilai dibanding dengan kehidupan yang lain.

Plato (427-347 SM), menulis tentang masyarakat yang dicita-citakan (ideal society), dimana terwujud keadilan yang sempurna dan juga meneliti makna kata “keadilan” serta meneliti pelbagai cara untuk menetapkan apakah sesuatu masyarakat dikatakan adil ataukah tidak.

Demikian juga Aristoteles (384-322 SM), sebagai murid Plato, tidak hanya menulis buku-buku tentang fisika, biologi dan psikologi, tetapi juga menulis tentang logika, dan juga epistemologi (teori pengetahuan).

(10)

merupakan kegiatan kefilsafatan yang pokok dan penting. Kebenaran tidak pernah selesai, sehingga perlu mendengar pendapat atau buah pikiran orang lain. Karena itu dalam melaporkan dan menerangkan filsafat, Socrates dan Plato menggunakan bentuk dialog.

Ada beberapa ciri metode dialektis yang perlu mendapat perhatian khusus. Berpikir secara dialektis adalah:

(1) Memeriksa perbedaan-perbedaan dengan maksud untuk memperoleh kesamaan-kesamaan dasar.

(2) Memeriksa kesamaan-kesamaan yang nampak dengan maksud untuk memperoleh perbedaan-perbedaan yang penting sehingga dapat mengetahui hubungan di antara perbedaan itu.

(3) Memahami masing-masing gagasan dalam konteks yang lebih luas.

Keheranan (wonder) para filsuf akan diikuti dengan mengajukan pertanyaan. Ada beberapa bentuk pertanyaan kefilsafatan.

(1) Pertanyaan Apa (What).

Pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf yang pertama kali adalah pertanyaan “apa”. Misalnya ditanyakan “Apakah gempa itu?”; “Apakah pelangi itu?”; “Apakah hujan itu?”; “Apakah manusia itu?”. Pertanyaan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh pengetahuan tentang “keapaan” (whatness) dan sesuatu hal, atau pengetahuan tentang hakikat atau essensi dan sesuatu yang ditanyakan. Hakikat ini dianggap menentukan adanya sesuatu hal. Dengan pertanyaan “apa” diharapkan dapat diperoleh pengetahuan yang bersifat teoritis, artinya sekedar memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat hakikat atau sifat-sifat yang menentukan keapaan sesuatu hal.

(2) Pertanyaan Mengapa (Why).

(11)

mengajukan pertanyaan. Pada umumnya untuk memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat yang saling berkaitan adalah dengan mengajukan pertanyaan mengapa. Pertanyaan mengapa mengandung tiga arti yaitu:

(a) sebab (causal) (b) tujuan (telic)

(c) struktural (structural)

(a) Pertanyaan “mengapa” yang berarti sebab (causal).

Dengan mengajukan pertanyaan mengapa, manusia ingin mengetahui peristiwa-peristiwa yang mendahului atau peristiwa yang mengakibatkan terjadinya sesuatu gejala. Misalnya pertanyaan “Mengapa terjadi halilintar?” Jawabnya, karena muatan listrik (kilat) berbenturan dengan awan. “Mengapa Anda pincang?” Dijawab, karena lutut saya luka. Penemuan dan generalisasi tentang hubungan sebab-akibat (kausal) dilakukan dengan metode empiris, dengan mendasarkan diri pada banyaknya rangkaian peristiwa yang telah terjadi dalam kondisi yang terkontrol.

(b) Pertanyaan “mengapa” yang berarti tujuan (telic).

Seringkali kalau ada orang diajukan pertanyaan “Mengapa Anda pergi ke Malioboro?” Jawaban yang dikemukakan misalnya “untuk membeli buku”; “untuk membeli baju”; “untuk meilihat-lihat saja”; “hanya sekedar jalan-jalan”. Dengan pertanyaan semacam itu, berarti orang tidak mengharapkan memperoleh pengetahuan tentang sebab seseorang melakukan perbuatan akan tetapi menanyakan tujuan mengapa dia melakukan hal itu. Jawaban atas pertanyaan “mengapa” merupakan suatu peristiwa yang terjadi sesudah perbuatan pokoknya. Jadi, kegiatan “pergi” ini mendahului perbuatan “membeli” buku.

(c) Pertanyaan “mengapa” yang berarti struktural.

(12)

menderita perasaan rendah diri”; Semua yang terjadi adalah wujud dari kekuasaan Tuhan”.

Ada kemungkinan untuk menafsirkan kembali sesuatu penjelasan struktural (seperti halnya penjelasan tujuan) sebagai kumpulan penjelasan menurut sebab; cara ini banyak dilakukan oleh kaum positivisme. Bagi penganut positivisme, suatu penjelasan yang bukan kausal (sebab) tidak dianggap sah secara objektif.

D. Rintangan Berpikir Secara Jelas.

Berpikir bagi manusia merupakan sarana untuk memahami kenyataan atau untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah yang bersifat ilmiah. Semuanya itu tidak dengan begitu saja dapat dilakukan melainkan ada rintangan-rintangan sehingga kegiatan berpikir itu tidak mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Seperti halnya rintangan dalam berbicara yang memungkinkan si pembicara tidak dapat berbicara secara jelas, demikian pula ada beberapa rintangan yang menghambat manusia untuk dapat berpikir secara jelas. Hal-hal seperti emosi, kepentingan pribadi, tekanan-tekanan dari luar dapat menyesatkan pemikiran. Rintangan-rintangan untuk berpikir secara jelas dapat merupakan sebab sehingga ilmu dan filsafat menjadi sesat. Secara khusus rintangan-rintangan ini mempengaruhi dan menyesatkan pengetahuan sehari-hari atau pengetahuan akal-sehat (common sense).

Francis Bacon (1564-1626) inembenikan contoh-contoh kiasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir yang disebutnya Idols of the Mind, yang terdin atas the Idols of the Tribe, the Idols of the cave, the Idols of the Market-place dan the Idols of the Theater.

(13)

cenderung untuk menerima kesimpulan-kesimpulan yang sama dan berbagai kepentingan kemungkinan dapat menguasai mereka.

2. Idola Goa (Idols of the cave). Idola ini bersangkutan dengan manusia sebagai individu. Setiap manusia dikiaskan mempunyai goa (cave) atau kandang (den) nya sendiri-sendiri yang dapat memberi warna sifàt-sifatnya. Manusia cenderung menmjau dirinya sebagai pusat dari dunia sekelilingnya. Semua penafsiran ditentukan oleh sudut pandangan pribadinya dan terbatas. Mereka cenderung melebih-lebihkan pengetahuan yang disenanginya yang diperoleh dari bacaan dan pengalaman pnibadi.

3. Idola Pasar (Idols of the Market-place). Idola ini timbul karena penggunaan kata-kata dan nama-nama dalam pembicaraan sehari-hari. Bahasa dapat menyesatkan manusia untuk menjelaskan gagasan-gagasan. Pemilihan kata-kata yang jelek dan tidak tepat dapat menimbulkan pemikiran yang sesat. Hal ini dapat terjadi bila manusia menggunakan kata-kata yang kabur, bermakna ganda (ambigous) dan emosional. Kata-kata seperti orang komunis, orang Islam, kelompok radikal, gerakan ekstrim artinya mungkin tidak jelas. Kata-kata itu dapat membangkitkan emosi dan menimbulkan perilaku yang salah bila diterapkan. 4. Idola Teater (Idols of the Theater). Idola ini terjadi karena keterikatan manusia pada partai, keyakinan, dogma-dogma, filsafat, ilmu, agama dan sistem-sistem pemikiran pada waktu tertentu. Sistem-sistem-sistem yang diterima sedemikian banyaknya yang menjadi dunia ciptaan manusia sendiri. Semuanya itu dapat mempengaruhi manusia karena dianut oleh orang banyak. Mode-mode, hobby dengan mudah dapat menggoncangkan kehidupan manusia. Isme-isme, ideologi, aliran-aliran pemikiran dalam bidang filsafat, ekonomi, politik dan seni dapat mempengaruhi alam pikiran penganutnya dan mereka dapat menyimpulkan secara sesat.

(14)

merasionalisasikan, berusaha menemukan “alasan” atas hal-hal yang dipercayainya

Orang tidak dapat berpikir secara jelas karena terpengaruh oleh propaganda. Bila manusia ingin menghadapi fakta-fakta dan berpikir jelas, pemikirannya dapat sesat karena informasi-informasi yang diterima dapat diputarbalikkan. Para ahli propaganda menggunakan radio, tv, surat kabar dan film untuk mengendalikan pemikiran manusia. Para ahli propaganda pertama-tama membangkitkan emosi atau keinginan orang dan kemudian dengan cara yang sugestif menyajikan cara bertindak yang kelihatannya dengan cara yang memuaskan bagi perwujudan emosi atau keinginan.

Rintangan lain yang menghambat berpikir secara jelas adalah authority (kewibawaan atau wewenang). Ketertarikan secara tidak kritis atau membuta adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang tidak filsafat dan tidak ilmiah. Authority dapat berupa kebiasaan, tradisi, keluarga, agama, negara atau media massa. Penerimaan secara tidak kritis dan authority disebut authoritarianism. Bila seseorang menerirna pengetahuan atau informasi dan authority secara tidak kritis berarti usahanya untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah menjadi tidak bebas. Cara yang tepat untuk menerima pengetahuan atau informasi dan authority adalah cara yang kritis dalam arti tidak menerima begitu saja melainkan penerimaan tentng kebenaran pengetahuan ini dapat dilakukan setelah diperoleh bukti-bukti yang memperkuatnya.

E. Prinsip-prinsip Pemikiran

Berpikir secara ilmiah dan berpikir secara kefilsafatan mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh kebenaran. Proses berpikir yang khas disebut penalaran (reasoning) yang tahap terakhir adalah memperoleh kesimpulan (inference) yang benar dari segi isinya dan valid dari segi bentuknya. Penalaran adalah suatu corak pemikiran yang khas yang dimiliki manusia untuk dari pengetahuan yang ada kemudian memperoleh pengetahuan airnya terutama sebagai sarana untuk memecahkan sesuatu masalah. Supaya kebenaran itu dapat diperoleh maka dalam berpikir tersebut hams mengikuti prinsip-prinsip berpikir.

(15)

yang mengandung kebenaran universal. Kebenaran ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dimana dan kapan saja dapat digunakan. Prinsip itu tidak membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas atau terbukti dengan sendirinya (self-evident), karena terlalu sederhana, maka prinsip itu disebut dengan aksioma atau prinsip dasar.

Aksioma berasal dari bahasa Yunani axioma “yang dipikirkan bernilai”. Aksioma atau assumsi di dalam logika berarti keterangan yang kebenarannya diterima tanpa pembuktian lebih lanjut untuk menjadi dasar awal atau pegangan dalam sesuatu penalaran. Dalam arti umum aksioma dapat didefinisikan sebagai suatu pemyataan yang mengandung kebenaran universal yang kebenarannya sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident). Aksioma merupakan sesuatu hal yang diterima sebagai pernyataan yang bersifat universal, dan merupakan pernyataan fundamental yang tidak dapat dideduksikan dan pernyataan lain serta sebagai titik totak dan diperolehnya suatu kesimpulan. Misalnya aksioma yang dikemukakan oleh Euklidus, seorang ahli geometrika Iskandariah di sekitar tahun 300 SM, yang menyatakan “suatu keseluruhan lebih besar daripada sebagian”. Pernyataan semacam ini merupakan suatu keterangan yang jelas atau terbukti dengan sendirinya, secara langsung dapat dimengerti sehingga tidak perlu membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.

Prinsip-prinsip berpikir ada empat, yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Leibniz. Aristoteles mengemukakan 3 prinsip yaitu: Prinsip kesamaan (principle of identity), prinsip kontradiksi (principle of contradiction) atau ada yang menyebut princip tidak ada pertentangan (principle of non-contratiction) dan prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak ada kemungkinan ketiga (principles of excluded middle). Sedangkan Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) mengemukakan satu prinsip cukup lalasan (principle of sufficient reason).

(16)

mempunyai sifat-sifat (atribut) yang tertentu pula, maka kita tidak boleh melupakan bahwa objek-objek itu tetap mempunyai sifat-sifat yang telah ditentukan itu dan sifat-sifat itu tidak boleh berubah, karena kalau sifat-sifat itu berubah maka arti konsep itu berubah pula. Sebuah konsep yang memiliki arti yang berubah-ubah akan menimbulkan kekacauan dalam pemikiran, dan selanjutnya kesimpulan yang diperoleh menjadi sesat (fallacy).

Secara simbolis pernyataan identitatis dapat dirumuskan: “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.

(2) Prinsip kontradiksi. Dalam istilah Latin disebut principium contradictionis. Hamilton menyebut prinsip ini sebagai prinsip non kontradiksi, karena tidak adanya kontradiksi merupakan syarat bagi pemikiran yang sah (valid). Dengan demikian penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, yang dimaksudkan adalah tidak adanya kontradiksi (pertentangan yang saling menyisihkan) dalam suatu pernyataan, artinya bukan kontradiksi itu yang menjadi prinsip. Prinsip ini direvisi menjadi prinsip tidak adanya kontradiksi (principle of non-contradiction). Prinsip non kontradiksi berbunyi :“ sesuatu hal tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan” atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar atau tidak benar pada waktu yang sama”.

Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah bahwa dua sifat yang bertentangan secara kontradiksi (bertentangan secara mutlak, misalnya hidup dengan tidak hidup) tidak mungkin ada pada satu hal dalam waktu dan tempat yang sama. Misalnya pemyataan: manusia ini hidup dan tidak hidup. Kedua pengertian sebagai sifat untuk manusia itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam waktu yang sama, meskipun manusia itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dari pada saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya (hidup dan tidak hidup) bersamaan waktu.

Secara simbolis dapat dirumuskan: “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”.

(17)

mungkin diantara kedua sifat yang berkontradiksi itu (hitam dan tidak hitam) tidak akan ada yang benar. Tidak ada kemungkinan ketiga yaitu keduanya benar atau keduanya salah pada satu benda.

(4) Prinsip cukup alasan. Dalam bahasa Latin disebut principium rationis suffecientis. Prinsip ini melengkapi prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan berbunyi bahwa sesuatu hal itu identik dengan dirinya sendiri, kemudian dilengkapi oleh prinsip ke empat “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin secara tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi. Diuraikan secara lain, “adanya sesuatu itu mesti mempunyai adalan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”. Misalnya, jika suatu benda jatuh (ke bawah), alasannya ialah adanya daya tarik bumi (gravitasi), sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. (5) Prinsip yang ke empat ini sebagai tambahan bagi prinsip ke satu artinya secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, tetap sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi perubahan, maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab perubahan.

F. Berpikir Secara Kefilsafatan

Menurut Aritoteles, filsafat dimulai dari rasa kagum (lnggris, wonder; Yunani, thauma) yang tumbuh dari suatu aporia. Aporia berarti “problim” atau “tanpa jalan keluar”. Problim dapat diartikan sebagai suatu situasi yang teoritis maupun praktis, untuk itu tidak ada jawaban yang lazim secara otomatis memadai, oleh karena itu memerlukan proses perenungan.

(18)

Sesuatu hal yang dihadapi manusia yang berupa persoalan itu belum jelas duduk persoalannya, sehingga dibutuhkan jawaban yang dapat menjelaskannya. Jawaban atas persoalan ini dapat diperoleh dengan kegiatan akal yang disebut berpikir.

Berfilsafat adalah berpikir. Namun tidak dapat dibalik bahwa berpikir adalah berfilsafat. Kalau dikatakan berfilsafat adalah berpikir, hal ini dimaksudkan bahwa berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata “adalah” dalam “berfilsafat adalah berpikir” mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak identik dengan berpikir melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Dengan demikian tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah berpikir dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya seorang mahasiswa berpikir bagaimana agar memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester sekarang, atau seorang pegawai negeri memikirkan berapa jumlah gaji yang akan diterima untuk bulan yang akan datang, atau seorang pedagang berpikir tentang laba yang akan diperoleh dalam bulan ini. Semua contoh yang dikemukakan itu bukanlah berpikir secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa atau berpikir sehari-hari yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan.

(1) Berfilsafat adalah berpikir secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya atau berpikir sampai ke hakikat, essensi, atau substansi yang dipikirkan. Berfilsafat adalah berpikir sarnpai pada keapaan (whatness) dari sesuatu hal. Pada awal munculnya filsafat, manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera, karena pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak tetap atau selalu berubah. Manusia yang berfilsafat dengan menggunakan akalnya berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat itu adalah pengetahuan yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati itu adalah pengetahuan yang mesti, tetap dan kekal, di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak kekal yaitu yang hanya kebetulan, senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang kejadian-kejadian itu ada sesuatu yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak berubah dan inilah yang disebut hakikat.

(19)

Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum manusia (common experience of mankind). Dengan cara penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara yang ditempuh seorang filsuf untuk mencapai sasaran pemikirannya berbeda-beda, namun yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.

(3) Berfilsafat adalah berpikir secara konseptual. Yang dimaksud konsep di sini adalah hasil dari generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir tentang “manusia tertentu” atau “manusia khusus” melainkan berpikir tentang “manusia secara umum” atau “kemanusiaan”. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran atas perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang tertentu, orang-orang khusus, sebagaimana dipelajari oleh psikologi, melainkan bersangkutan dengan pemikiran tentang “apakah kebebasan itu?”. Dengan ciri yang konseptual ini, berpikir secara kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup sehari-hari.

(4) Berfilsafat adalah berpikir secara koheren. Yang dimaksud dengan koheren adalah berhubungan dengan sesuatu pengertian umum, bertalian dengan suatu prinsip, atau sesuai dengan kaidah-kaidah atau hukum-hukum logika. Misalnya dalam bentuk penalaran : A=B; B=C; jadi A=C. Suatu pernyataan dikatakan benar kalau putusan itu selaras (coherence) dengan putusan sebelumnya yang dikatakan benar.

(5) Berrfilsafat adalah berpikir secara konsisten. Yang dimaksud konsisten adalah konsep atau bentuk uraian yang tidak mengandung kontradiksi. Kontradiksi adalah pertentangan yang saling menyisihkan. Contoh pernyataan yang tidak konsisten misalnya “lingkaran yang berbentuk segitiga”; “bujangan yang sudah nikah”

(20)

(7) Berfilsafat adalah berpikir secara komprehensif. Yang dimaksud komprehensif adalah mencakup secara keseluruhan. Filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta beserta bagian-bagiannya secara menyeluruh. Kalau suatu sistem filsafat bersifat komprehensif, berarti sistem itu mencakup secara keseluruhan, dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luarnya.

(8) Berfilsafat adalah berpikir secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka setiap filsafat dapat dikatakan merupakan hasil dari pemikiran secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural maupun religius. Sikap-sikap bebas ini banyak ditunjukkan oleh para filsuf di segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berpikir menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.

Kebebasan berpikir itu adalah kebebasan yang berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki secara bebas itu tidaklah berarti sembarangan, sesuka hati, anarkhi, malahan sebaliknya berpikir dan menyelidiki yang sangat terikat. Akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dan kaidah (hukum) dan disiplin pikiran itu sendiri. Di sinilah berpikir dan menyelidiki dengan bebas itu berarti berpikir dan menyelidiki menggunakan disiplin yang seketat-ketatnya. Dengan demikian pikiran yang dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat. Ditinjau dan aspek ini berfilsafat dapatlah dikatakan mengembangkan pikiran dengan sadar, semata-mata menurut kaidah pikiran itu sendiri (laws of thought).

(21)

G. Pentingnya Filsafat.

Ada orang yang menyatakan bahwa tidak begitu penting mempersoalkan apa yang diyakini atau dipercayai seseorang. Yang penting adalah melakukan hal-hal yang baik dari hasilnya diharapkan juga baik. Di lain pihak ada beberapa orang yang berkecenderungan menilai tindakan yang didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan (beliefs) dan keyakinan-keyakinan (convictions). Gagasan-gagasan (ideas) merupakan dasar dari tindakan, dengan kata lain seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan kecuali dia mempercayai sesuatu. Komunisme mungkin tidak pernah ada kalau Karl Marx tidak meletakkan dasar-dasar dalam filsafatnya. Sekali seseorang menerima suatu gagasan maka hampir dapat dipastikan dia akan menyatakan gagasan tersebut dalam bentuk ucapan, tindakan atau sikap. Dengan demikian gagasan merupakan kekuatan (daya) yang menentukan dalam sejarah ummat manusia. Filsafat sebagai suatu idea, juga dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan manusia baik dalam hidup sehari-hari maupun kehidupan ilmiah. Manusia memang membutuhkan filsafat.

1. Setiap orang harus memutuskan dan melakukan tindakan. Kalau seseorang akan memutuskan secara bijaksana dan berbuat secara runtut (consistent), dia perlu menemukan nilai-nilai (values) dan makna sesuatu hal. Kehidupan memaksa manusia untuk mengadakan pilihan-pilihan dan bertindak berdasarkan pada skala nilai-nilai. Manusia perlu menjawab masalah tentang benar dan salah, keindahan dan keburukan, bermoral dan tidak bermoral. Pencarian atas patokan-patokan (standards) dan tujuan-tujuan merupakan bagian yang penting dan tugas filsafat. Filsafat tertarik pada aspek kualitatif dan hal-hal yang direnungkan. Filsafat tidak mengabaikan aspek autentik (asli) pengalaman manusia dan mencoba merumuskan patokan-patokan dan tujuan-tujuan dengan cara yang paling masuk akal.

Sesudah mengajukan pertanyaan tentang “Apa guna filsafat?” Jacques Maritain menyatakan bahwa filsafat mengingatkan manusia atas kegunaan yang luhur dan hal- hal yang tidak menyangkut sarana-sarana melainkan bersangkutan dengan tujuan-tujuan. Manusia tidak hanya hidup dengan roti, vitamin dan penemuan-penemuan teknologis. Manusia juga hidup dengan nilai-nilai (values) dan kenyataan-kenyataan yang mengatasi ruang dan waktu dan berharga bagi kepentingannya sendiri.

(22)

manusia berbuat semata-mata adat, tradisi atau hukum, berarti dia tidak bebas. Ketika ditanya apa yang telah dilakukan filsafat terhadapnya, Aristoteles menyatakan bahwa filsafat memungkinkan dia berbuat secara bebas, sedangkan orang lain berbuat karena takut pada hukum. Seseorang yang bebas adalah mereka yang membuat asas-asas dan kaidah-kaidah yang dengannya dia dapat hidup. Dalam suatu masyarakat yang ideal, setiap orang akan menyetujui atas setiap kaidah, dan kalau dia tidak suka pada kaidah tersebut maka dia akan mengkritiknya dan berusaha untuk mengadakan perubahan. Dia akan melakukan hal ini berdasar atas fakta-fakta dan asas-asas yang konsisten.

3. Filsafat adalah salah satu dari beberapa sarana yang terbaik untuk memelihara kebiasaan berefleksi (perenungan). Filsafat dapat membantu memperluas bidang-bidang kesadaran untuk menjadi lebih hidup, lebih kritis dan lebih cerdas. Dalam banyak bidang pengetahuan khusus, ada kumpulan fakta-fakta yang tertentu dan khusus, dan kepada para mahasiswa diajukan masalah-masalah sehingga dipraktekkan untuk sampai pada jawaban yang cepat dan mudah. Namun dalam filsafat ada perbedaan-perbedaan sudut pandangan yang harus dipertimbangkan. Ada masalah-masalah yang belum terselesaikan yang penting bagi kehidupan. Akibatnya, rasa kekaguman, rasa ingin tahu, dan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat spekulatif dan para mahasiswa dapat terus dipelihara dan dikembangkan.

Referensi

Dokumen terkait

Tuntutan tugas Intelijen sesuai kebutuhan kegiatan operasi Penggalangan mempunyai aspek taktis dan strategis dimana akal pikiran lawan atau bakal lawan merupakan sasaran utama

Hasil secara keseluruhan perhitungan response bias pada kedua teknik pengukuran menunjukkan bahwa responden cenderung memberikan respon konservatif dibandingkan respon

Penyakit jamur akar putih yang disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman karet di Indonesia, baik di perkebunan

Proyeksi PUS dimaksudkan untuk mengetahui jumlah penduduk usia sekolah dalam suatu kawasan, yang digunakan sebagai data dasar dalam menghitung kebutuhan ruang belajar atau

Hatiku ibu akan menyakiti karena saya berdoa dari jauh, tetapi dengan setiap won pertempuran, saya berterima kasih kepada Tuhan bahwa Dia mendorong kita untuk melatih mereka

Data keluaran yang dihasilkan dari sistem ini adalah hasil diagnosis melalui de- teksi kelainan tumbuh kembang pada anak yang digunakan oleh para tenaga medis khu- susnya spesialis

Menu File, yaitu menu-menu yang berkaitan dengan operasi file seperti menyimpan dokumen, membuka file, ekspor ke pdf, melakukan/ pengatur pencetakan dan keluar dari

Guru membagi kelas ke dalam kelompok asal dan membagi tugas kelompok ahli, kemudian menganjurkan siswa untuk berada pada kelompok asal masing-masing sesuai yang telah