• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wayang Klitik Sebagai Acara Selametan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Wayang Klitik Sebagai Acara Selametan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Wayang Klitik” Sebagai Acara Selametan Mata Air

“Sendang”

di Desa Wonosoco Undaan Kudus

Sejak Era Islam Abad ke-13 sampai sekarang

Penelitian

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Materi dan Pembelajaran Sejarah Kebuudayaan Islam Semester VI

Dosen Pembimbing : Moh. Rosyid

Disusun Oleh:

Suko Wahyudi : 111325

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS JURUSAN TARBIYAH (PAI)

(2)

A. Latar Belakang

Setiap penelitian tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan utama penelitian ini adalah ritual Wayang Klitik, sebuah karya seni yang mempunyai mitologis terhadap pertumbuhan dan perkembangan di Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Mungkin sebagian orang tidak pernah mengenal sama sekali budaya Wayang Klitik. Namun lain halnya masyarakat Wonosoco, Wayang Klitik dianggap sebagai ritual tahunan guna untuk

memperlancar sumber Mata Air yang biasanya masyarakat setempat menyebutnya “Mata Air Sendang”.1

Desa Wonosoco mempunyai dua mata air yaitu sendang dewot menurut riwayatnya sendang tersebut di huni roh penunggu yaitu Nyai Ngariyah dan sendang Gading penunggunya Nyi Suminah. Namun Sendang Dewot yang dijadikan Sumber utama untuk kebutuhan rumah tangga atau pengairan sawah.

Anggapan desa wonosoco ritual wayang klitik sangat kental kaitannya dengan mata air tersebut. Menurut Pak Slamet juru kunci mata air sendang mengatakan, sendang tersebut ditemukan oleh prajuritnya kanjeng sultan Nyokro kusumo Mataram yang bernama Eyang Saji (senopati mataram) di temani oleh Kanjeng pangeran

Kajuran pada saat pertempuran colonial belanda yang memperebutkan wilayah gunung kendeng yang disebut “wetan tuban kulon taban”yang sekarang dijuluki pegunungan kapur.

Tradisi tahunan Wayang Klitik desa Wonosoco sangat menarik dikaji lebih dalam. Amanat Eyang Saji yang menyuruh untuk

mengadakan ritual wayang klitik, membuat warga setempat tidak berani meninggalkan budaya tersebut. Pernah suatu ketika penduduk desa tidak melaksanakan upacara ritual Wayang Klitik dikarenakan sibuk

(3)

mengikuti kegiatan perlombaan desa lalu masyarakat setempat mengalami musibah.2

Dalang Wayang Klitik di desa Wonosoco tidak sembarang dalang dia adalah Bp. Sutikno Warga setempat yang mempunyai garis

keturunan Ki Sumarlan dalang wayang klitik pertama di desa wonosoco, tidak salah budaya Wayang Klitik di Kota Kretek ini merupakan icon yang patut kita lestarikan. Dalam penuturan Bp. Sutikno ketika ditemui penulis dia menuturkan “gus jigang, bagus olehe ngaji lan olehe

dagang” sebuah filosofis yang mempunyai nilai estetika yang mendorong masyarakat untuk melestarikan Wayang Klitik .3

Berdasarkan pemaparan singkat diatas, beberapa pertanyaan akademik yang muncul sekitar kajian Wayang Klitik sebagai ritual mata air sendang didesa Wonosoco adalah bagaimana kegiatan tersebut dianggap sakral dan wajib untuk dilaksanakan per-tahunnya? Lalu mengapa Wayang Klitik di kesampingkan oleh bangsa kita, yang

memiliki etos budaya leluhur layaknya Wayang Kulit yang masih banyak kita temui di berbagai daerah? Dan bagaimana kita sebagai regenerasi melestarikan karya seni yang hampir punah ini?

Beberapa alasan mengapa penulis mengangkat topik ini

diantaranya adalah pertama, ritual Wayang Klitik di Desa Wonoco bukan berarti serta merta melakoni amanat dari Eyang Saji yang dipercaya membawa keberkahan bagi penduduk setempat, tapi melainkan sebatas Syukuran tahunan dalam hal memperingati leluhur mereka. Ritual

tersebut tidak jauh beda dengan Kanjeng Sunan Kudus yang setiap tahunnya di adakan “Bukak Luwur”. Selain itu Sunan Kudus memberikan

2 Lalu terjadi kejadian yang tidak di inginkan para warga desa terserang wabah penyakit diantaranya Muntah-muntah, sakit perut dan pusing Bahkan sampai-sampai Air Sumber Sendang berubah warna menjadi Merah. Kejadian itu dianggap warga desa sebagai peringatan karena tidak melaksanakn Tradisi yang sudah dianjurkan (sumber Internet).

(4)

pantangan kepada semua masyarakat Kudus dilarang untuk menyembelih hewan Sapi, barang siapa yang melanggar akan

mendapatkan balaknya. Kedua, nilai historis Wayang Klitik merupakan sebuah legitimasi bangsa yang perlu di lestarikan bagi bangsa Indonesia meskipun keberadaan Wayang Klitik hanya dikalangan etnis tertentu seperti Desa Wonosoco. Hal ini karena jarang ter-expose oleh media sosial lainnya.4

B. Ruang Lingkup Penelitian

Kajian penelitian ini membatasi pada tiga lingkup yaitu lingkup spasial, lingkup temporal, dan lingkup keilmuan.

Ruang lingkup spasial adalah batasan yang didasarkan pada kesatuan wilayah, daerah, tempat objek penelitian. Desa Wonosoco, Undaan, Kudus, Jawa Tengah menurut garis lintang terletak pada LS : 6, 9731˚ 29, 53” BT : 110, 8104˚ 3, 59”5. Daerah tersebut merupakan

daerah secara greografis yang lingkupnya terbatas untuk menunjukkan peristiwa yang bersifat lokal.

Harapan penulis, budaya wayang klitik yang diselenggarakan tiapa tahun menunjukkan adanya peran syiar Islam pada zaman dahulu. Hal ini, dirujukkan pada zaman kesultanan atau kerajaan yang

didasarkan penyebaran Islam yang masih kental kaitannya dengan sejarah para Walisongo, seperti sunan Kalijogo yang sering

menggunakan pementasan drama dengan wayang kulit atau budaya lokal. “Hasil dakwah para wali pun akhirnya menunjukkan keberhasilan seperti yang dirasakan saat ini.”6

4 Untuk mengantisipasi kerusakan Wayang Klitik yang asli, pihak Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, berupaya membuat replika wayang klitik yang menjadi salah satu kesenian khas di Kota Keretek. Hal itu dilakukan karena wayang asli akan segera dimuseumkan. Kebijakan itu ditempuh karena usia wayang asli yang sudah mencapai puluhan tahun dan perlu diselamatkan untuk peninggalan generasi mendatang, baca (Suara Merdeka; 20/03/2013).

5 Data menurut “SNVT Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010” yang tertulis di tempat Mata air sendang Ds. Wonosoco.

(5)

Dipilihnya lingkup spasial karena pentingnya budaya lokal tersebut untuk dipertahankan bahkan muncul kalimat Arab Digarap, Jowo Digowo. Artinya dakwah yang dilakukan para wali tidak

meninggalkan budaya Jawa. Dengan begitu, acara seperti selametan dan ritual wayang klitik hingga saat ini perlu dipertahankan, karena budaya lokalnya masih kental. Untuk itu, dia berharap tidak usah memaknai acara semacam selametan menjadi bid’ah atau haram.7

Ruang lingkup temporal merupakan batasan waktu yang telah di tentukan untuk menjadi objek penelitian.8 Data penelitian ini terjadi

sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia sampai era Colonial sekitar abad 16-20, yakni ditemukannnya Mata Air Sendang dan Wayang Klitik dijadikan sebagai Simbol selametan Warga Wonosoco.

Dipilihnya lingkup temporal tersebut menandaskan bahwa tradisi Wayang Klitik di Desa Wonosoco sudah berlangsung turun temurun. Dari keterangan Juru Kunci mata air sendang Pak slamet, Asal-usul tradisi ini dilakukan yaitu, Sewaktu Pangeran Kejoran bertapa (Istokhoroh B. Arab, teteki B. Jawa) dia ingin melihat sosok penunggu Mata Air tersebut, lalu pangeran Kejoran di suruh noleh ngalor ngetan (menghadap utara timur) dan melihat wanita cantik berbaju Hijau mupus membawa selendang locan berjarit batik kawong ditanya Pangeran Kejoran asalmu dari mana? Aku yang mengku(menjaga) Sendang Dewot ini(MBAH NGARIYAH) dan Ini adikku yang mengku(menjaga) Sendang Gading ini (MBAH SUMINAH) aku pesan sama kamu dua mata air sendang ini adalah air kehidupan untuk menghidupi semua warga, maka dari itu aku tolong buatkan “Wayang Klitik” yang berasal dari kayu yang supaya besok anak cucu kita melestarikan sumber mata air ini tidak akan surut dan satu tahun sekali wayang tersebut di buat ritual dan sebelum ritual Wayang kayu(Klitik)

7 Radar Kudus, 21/2/2014

(6)

menyembelih kambing kendit (kambing yang mempunyai bulu putih yang melingkar di tubuhnya).

Adapun ruang lingkup keilmuan adalah ilmu yang dijadikan sebagai pemandu atau membantu ilmu sejarah untuk penelitian ilmu sejarah. Ilmu sejarah dalam penelitian ini kategori sejarah kebudayaan dan kesenian Perwayangan di Indonesia. Wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan kahasanah budaya Jawa.9 Adapun ilmu bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah ilmu dakwah. Sejak zaman kerajaan yang dijadikan salah satu media penyebaran islam adalah seni perwayangan. Menurut M. Aminuddin Sanwar Media dakwah adalah alat yang dipakai sebagai perantara untuk melaksanakan kegiatan dakwah.10

Seperti halnya wayang klitik di desa wonosoco, yang dulu sebagai upacara bersih sendang sekaligus berupaya sebagai ajaran penyiaran agama islam pada zaman nenek moyang. Bahkan Sunan Kudus

merupakan orang pertama yang menciptakan Wayang Menak yang diadaptasi dari cerita zaman kenabian. Hal ini menunjukkan bahwa wayang juga dianggap ada nilai-nilai Hindu jelas kurang tepat, karena fakta sejarah menunjukkan wayang merupakan salah satu media paling efektif dalam perkembangan agama Islam pada zaman dahulu. Karena masyarakat semasa itu masih memeluk agama Hindu. Walisongo tak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi keyakinan masyarakat.

Dalam sejarah di Desa Wonosoco, Penulis menggunakan

kedekatan psikis dan fisik yaitu menghormati leluhur Desa Wonosoco. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara factual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk

9 H. M. Darori Amin, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hlm.183

(7)

menghimpun, mengolah, dan menganalisa. Sedangkan data yang penulis peroleh dengan cara, observasi dan wawancara.

Kedekatan Psikis

Pendekatan psikis yang dilakukan penulis terhadap topik ini, dalam mempertimbangkan aspek penghormatan masyarakat terhadap leluhur mereka adalah Pertama: kebudayaan wayang klitik di Desa Wonosoco sudah mendarah daging bagi masyarakat setempat, Ke-Dua: upaya yang dilakukan masyarakat setempat demi menghormati leluhur bisa dilihat dengan adanya pagelaran Wayang Klitik yang diadakan setiap tahunnya, Ke-Tiga: Ds. Wonosoco memiliki budaya local (wayang Klitik) yang keberadaannya berpotensi bagi kelestarian wayang di Indonesia.

Kedekatan Fisik

Pendekatan Fisik yang dilakukan penulis terhadap topik ini, adalah Pertama: pementasan atau pertunjukkan Wayang Klitik selalu

menyampaikan nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para penggemarnya, Ke-Dua: penulis menemukan Wayang Klitik banyak mengandung falsafah kehidupan religious

terhadap upacara bersih sendang di Desa Wonosoco, Ke-Tiga: penulis berharap adanya pemerhati daerah yang memotret kebudayaan lokal tersebut.

B. Pembahasan

1. Bagaimana kegiatan tersebut dianggap sakral dan wajib untuk dilaksanakan per-tahunnya?

(8)

dengan amanat Eyang Saji ketika memberi wasiat pada penduduk desa Wonosoco untuk melestarikan Tanggapan wayang klitik di bulan Rajab. Kepercayaan animisme masioh melekat sampai sekarang. Msyarakat takut untuk meninggalkannya mengingat kejadian yang pernah menimpa warga. Penduduk desa pernah terserang wabah penyakit diantaranya Muntah-muntah, sakit perut dan pusing bahkan sampai-sampai Air Sumber Sendang berubah warna menjadi Merah. Kejadian itu dianggap warga desa sebagai peringatan karena tidak melaksanakn Tradisi yang sudah dianjurkan.

Mengingat hal tersebut secara otomatis membuat trauma bagi masyarakat setempat dan menjalankan amanat Eyang Saji yang menyuruh untuk mengadakan ritual wayang klitik.

Selain amanat, desa Wonosoco sekarang menganggap tanggapan (b.Jawa) Wayang Klitik untuk bersih Sendang sebagai hiburan bagi

penduduk lokal. Hal ini dutunjukkan dengan kemeriahan dan keceriaan warga ketika menjelang hari perayaan tidak hanya penduduk setempat tapi dari desa lain seperti Undaan lor atau desa-desa lainnya juga ikut berdatangan kedesa Wonosoco.

Wisata Domestik

Pada tahun 2010 Bupati Kudus H. Musthofa, meresmikan tempat Mata Air Sendang di Wonosoco, menjadi tempat wisata umum meskipun letaknya di pojok kota Kudus. Selain

pembangunan yang di desain dengan sedemikian bagusnya, suasana keasrian hutan tropis menambah pengunjung merasa nyaman dan betah untuk singgah di Desa Wonosoco.

Daya tarik wisata tidak berhenti disitu, beberapa wisata seperti gedung seni wayang klitik, goa glebon, tebing-tebing, goa

(9)

semangat masyarakat untuk mengembangkan wisatawan dari segi geografis dan alamnya.

2. Mengapa Wayang Klitik di kesampingkan oleh bangsa kita, yang memiliki etos budaya leluhur layaknya

Wayang Kulit yang masih banyak kita temui di berbagai daerah?

Wayang klithik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit. Wayang ini

pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan wayang krucil.

Di Jawa Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Di Jawa Timur tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang purwa, raja-rajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.

Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita

Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik

diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan.11

Kehilangan Ruhnya

Peran dan eksistensinya wayang klitik ditanah jawa kurang begitu diminati dari pada wayang kulit. Hal ini tidak terjadi pada wayang klitik saja seperti wayang-wayang lainnya banyak

mengalami kesuraman mungkin karena tergerus era globalisasi.

(10)

Penulis menemukan adanya beberapa faktor lunturnya budaya wayang klitik di Indonesia :

a. Minimnya minat untuk memperhatikan budaya wayang klitik atau wayang lainnya.

b. Cerita yang terkandung dalam pemetaannya monoton sehingga lama kelamaan kurang menarik.

c. Bahasa dan gaya yang digunakan sangat klasik dan rumit untuk dipahami oleh orang awam

d. Munculnya media sosial dan elektronik yang mengalihkan perubahan globalisasi.

Dari beberapa faktor tersebut, perwayangan di Indonesia sulit untuk bangkit dari kesuramannya. Satu-satunya yang harus dilakukan pemerintah adalah supaya untuk merayakannya di acara-acara tertentu seperti yang masih dilakukan hingga sekarang yaitu peringatan 17 Agustus, upacara desa, hari nasional dll.

3. Bagaimana kita sebagai regenerasi melestarikan karya seni yang hampir punah ini?

Budaya yang dahulu tak ternilai harganya, kini justru menjadi budaya yang tak bernilai di mata masyarakat. Sikap yang tak

menghargai itu memberikan dampak yang cukup buruk bagi

perkembangan budaya tradisional di negara kita. Mengapa? Karena salah satu cara untuk melestarikan budaya trsdisional adalah sikap dan perilaku dari masyarakatnya sendiri. Jika dalam diri setiap masyarakat terdapat jiwa nasionalis yang dominan, melestarikan budaya tradisional merupakan suatu kebanggaan, tapi generasi muda sekarang ini justru beranggapan yang sebaliknya, sehingga mereka menggagap

(11)

Sebagai para generasi muda penerus bangsa, jiwa dan sikap nasionalis sangatlah diperlukan. Bukan hanya untuk kepentingan politik saja kita dituntut untuk berjiwa nasionalis, tetapi dalam

mempertahankan dan melestarikan budayapun juga demikian. Kita butuh untuk menyadari bahwa untuk mempertahankan budaya

peninggalan sejarah itu tidak mudah. Butuh pengorbanan yang besar pula. Oleh karenanya tak cukup apabila hanya ada satu generasi muda yang mau untuk tapi yang lain masa bodoh. Dalam melakukannya dibutuhkan kebersamaan untuk saling mendukung dan mengisi satu sama lar[.in. Dalam kata lain dalam menjaga kelestarian budaya juga diperlukan kekompakan untuk saling mengisi dan mendukung.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan beragam seni budaya yang hampir punah adalah dengan

melaksanakan: Pendataan, Inventarisasi, dan Pendokumentasian.12

Peran Mahasiswa

Menyikapi hal tersebut penulis juga ikut prihatin atas rendahnya generasi yang mempunyai minat melestarikan generasi wayang di Indonesia. Sebagai mahasiswa tentunya harus memeliki sikap empati dan Skeptis serta ikut berperan aktif dalam melestarikan seni budaya wayang. Atas identisnya mahasiswa didasarkan pada agen of change (agen perubahan). Tentunya hal tersebut membuat rujukan atas peran mahasiswa untuk menumbuhkan semangat jiwa para remaja dan masyarakat pada umumnya, seperti melaksanakan acara seminar kebudayaan atau pagelaran wayang.

Namun untuk memerangi arus globalisasi ibarat menerjang ombak yang sangat sulit atau bahkan tidak mungking untuk diterjang. Tapi paling tidak mahasiswa atau remaja sudah mempunyai semangat,

(12)

untuk berperan aktif dalam melestarikan budaya wayang yang keberadaannya hampir punah.

C. Penutup

Saya penulis hanya bisa mengucap sepatah kata terima kasih banyak kepada semua nara sumber dan dosen pengampu Bp. Rosyid, yang sudah membimbing dan mendampingi dalam penulisan ini. Semoga penelitian ini bisa dijadikan rujukan kepada siapa yang ingin menelitinya lebih lanjut dan bisa bermanfaat bagi umumnya. Amiiin. Sekian terima kasih.

Daftar Pustaka

Rosyid, Abdul. “Perlawanan Samin”.

Amin. M. Darori, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000.

Sanwar, M. Aminuddin, Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1984,

Suara Merdeka; 20/03/2013

Radar Kudus, 21/2/2014

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia besar

http://hannypuspita.wordpress.com/education/tergesernya-budaya-tradisional-karena-pengaruh-budaya-asing/

Data menurut “SNVT Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010” yang tertulis di tempat Mata air sendang Ds.

Wonosoco.

Responden

“ Sutikno” adalah dalang wayang klitik di desa wonosoco.

“Jadul Maula” acara seminar wayang klitik di Gedung menara YMS3K, 20/2/2014.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendeskripsikan mengenai pesan-pesan moral pada Pertunjukan wayang kulit dalam Lakon “Wahyu Makutharama” dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjowinangun,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kritik sosial dan pesan moral lewat pementasan wayang kulit lakon Bima Suci oleh dalang Ni Paksi Rukmawati di Desa Kedung Wangan

Bagaimana kritik sosial dan pesan moral lewat pementasan wayang kulit lakon Bima Suci dalang Ni Paksi Rukmawati (pentas di Desa Kedung Wangan Ungaran Semarang Jawa

Selama dalang memainkan tokoh wayang satu persatu dalam adegan kundur kedhaton iringan garap tetap dengan iringan Ladrang puspita panca warna laras pelog pathet nem yang dimulai

Maka ia tak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Anak laki-laki dapat warisan dari bapak dan ibunya dan pada asalnya berhak atas semua harta benda yang

Cerita-cerita dalam wayang kulit Jawa sangat kental dengan budaya patriarki, munculnya beberapa dalang perempuan diharapkan dapat menafsirkan kembali dan memodifikasi cerita

Format merupakan bentuk atau ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu model, dalam hal ini adalah model wayang kulit purwa, untuk dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja

Ajaran hablumminal 'alm atau hubungan antara manusia dengan alam yang disampaikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Cupu Manik Astagina” sajian dalang Enthus Susmono ini di