• Tidak ada hasil yang ditemukan

JEJARING SOSIAL PENENUN BUGIS docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JEJARING SOSIAL PENENUN BUGIS docx"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

JEJARING SOSIAL PENENUN BUGIS-WAJO1

Oleh:

Muhammad Syukur2

Abstract

Panetrasi sistem ekonomi pasar dan perkembangan tekhnologi pertenunan dalam masyarakat Wajo membuat penenun menjadi terbelah kedalam tiga kelompok yaitu penenun gedogan, penenun ATBM, dan pengusaha tenun. Kondisi ini mengindikasikan adanya perbedaan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh ketiga kelompok dalam merespon ekonomi pasar perkembangan tekhnologi. Penelian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana landasan moral dalam membangun dan memanfaat jaringan dalam kegiatan tenun yang dipraktekken oleh ketiga kelompok penenun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam, observasi partisipasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan yang dimiliki oleh kalangan penenun dalam kegiatan produksi dan distribusi senantiasa melibatkan adanya solidaritas sosial dan kepentingan ekonomis serta jaringan tersebut berlangsung dalam bentuk hubungan horisonltal dan vertikal. Penenun gedogan lebih banyak memainkan jaringan yang bersifat solidaritas sosial dibandingkan jaringan kepentingan ekonomis. Penenun ATBM cenderung berada ditengah-tengah antara solidaritas dan kepentingan ekonomi Sedangkan pengusaha tenun lebih banyak memanfaatkan jaringan kepentingan ekonomi dibandingkan jaringan solidaritas. Kata Kunci: Jaringan Sosial, Moral, Penenun, Bugis-Wajo

PENDAHULUAN

Setiap sistem ekonomi yang dianut oleh suatu masyarakat, maka ia senantiasa melibatkan tindakan masyarakat yang menjadi pemilik dari sistem ekonomi tersebut. Berkaitan dengan tindakan ekonomi masyarakat, maka terdapat dua kutub pemikiran yang saling bertentangan yaitu kubu undersocialized yang memandang bahwa tindakan ekonomi senantiasa berorientasi pada pencapaian manfaat (utility). Persoalan untung rugi merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan (cost – benefit ratio). Sedangkan kubu lainnya yaitu oversocialized

sebaliknya menyatakan bahwa tindakan ekonomi dituntun oleh aturan berupa nilai dan norma-norma yang diinternalisasikan melalui proses sosialisasi.

Granovetter (1985; 1992) mengambil jalan tengah diantara dua kubu yang saling bertentangan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi secara sosial berada dan tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu dan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai bentuk tindakan sosial, tindakan ekonomi melekat di jaringan hubungan pribadi dan institusi sosial ketimbang yang dilakukan oleh aktor.

Kehadiran sistem ekonomi global yang masuk melalui kegiatan perdagangan dan penjajahan ke dalam sistem ekonomi masyarakat di Wajo, mempengaruhi tatanam kehidupan sosial khususnya dalam kegiatan masyarakat penenun. Kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan yang ada sejak abad ke-13 dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai busana keseharian dan busana adat namun dalam perkembangan selanjutnya yaitu sekitar abad ke-14

1 Bagian dari isi Disertasi

(2)

dan abad ke-15 para penenun yang memproduksi kain sarung sudah mulai di komersialkan dalam jumlah terbatas.

Kegiatan menenun semakin berkembang pasca kemerdekaan Republik Indonesia dengan digunakannya Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), namun perkembangan ini tidak serta merta menghilangkan alat tenun gedogan dari kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan. Penggunaan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di Kabupaten Wajo bermula sejak tahun 1950-an. Saat ini hanya beberapa pengusaha yang menggeluti kegiatan tenun. Memasuki tahun 1980-an berbagai pengusaha tenun muncul di Kabupaten Wajo yang mempekerjakan buruh tenun yang bukan berasal dari anggota keluarga dan digaji dalam jumlah uang tertentu (Armayani, 2008). Produksi tenun semakin bervariasi, selain sarung dengan motif khas Bugis, juga diproduksi berbagai jenis kain seperti; kain sutera motif tekstur polos, selendang, bahan pakaian, perlengkapan adat, asesoris rumah tangga, hotel, kantor atau dengan kata lain produksi tenun disesuaikan permintaan pasar atau selera konsumen.

Penetrasi sistem ekonomi global kedalam kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan merubah tatanam kehidupan sosial ekonomi dalam komunitas penenun. Gejala ini ditandai dengan adanya 3 kelompok penenun yang memiliki tindakan ekonomi yang berbeda satu sama lain. Fenomena ini sangat terasa ketika Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) mulai digunakan pada tahun 1950-an. Sistem ekonomi tenun secara perlahan sebagian berubah dari bentuk produksi dan distribusi yang bersifat tradisional dan otonom menjadi produksi dan distribusi yang terlibat dalam jaringan struktur sosial yang tergantung satu dengan yang lainnya. Sementara itu, perubahan kultur sebagian penenun ditandai dengan pergeseran orientasi produksi. Produksi yang sebelumnya untuk keperluan keluarga dan adat berubah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka untuk mengejar keuntungan dan mengakumulasi modal. Nilai-nilai yang bertujuan untuk mengejar keuntungan dan mengakumulasi modal merasuk ke sebagian orang pengusaha tenun ATBM. Namun disisi lain, terdapat penenun yang berproduksi dengan cara-cara tradisional.

Realitas di Wajo menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5.113 orang penunun gedogan, Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) berjumlah 1.914. Sekitar 75% atau 1.435 ATBM dimiliki oleh pengusaha tenun dan 479 ATBM dimiliki penenun ATBM skala rumah tangga, sedangkan hanya 1 pengusaha yang memiliki ±25 buah Alat tenun Mesin (ATM). (Data Sekunder, Diolah, 2012). Kehadiran tiga kelompok penenun tersebut yang hidup berdampingan dalam satu kawasan menjadi menarik untuk dikaji karena masing-masing dari kelompok penenun memiliki tindakan yang berbeda dalam kegiatan tenun. Persoalan ini dapat ditelusuri melalui analisis keterlekatan tindakan ekonomi penenun yang terkait dengan adanya perbedaan landasan moral dalam membangun dan memanfaatkan jaringan bisnis.

METODOLOGI PENELITIAN

(3)

Sasaran penelitian adalah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan usaha tenun yang bermukim di lokasi penelitian pada saat penelitian ini dilaksanakan, baik penenun gedogan, penenun ATBM skala rumah tangga, maupun pengusaha tenun. Penentuan responden ditetapkan secara purposive.

Paradigma penelitian yang digunakan adalah konstuktivis. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam, observasi, dan domentasi. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu; pertama, proses reduksi data,

kedua penyajian data, ketiga penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1994). Pemeriksaan keabsahan data juga dilakukan melalui empat cara, yaitu: derajat kepercayaan (credibility); keteralihan (transferability); kebergantungan (dependability); kepastian (confirmability).

HASIL DAN PEMBAHASAN Preferensi Penenun dalam Berjejaring

Pandangan orang Bugis Wajo mengenai keberhasilan suatu usaha sangat ditentukan oleh bantuan orang lain, kerja keras dan ketekunan sendiri serta ridho Tuhan. Kesadaran akan perlunya bantuan orang lain dalam mengembangkan usaha mereka, maka pembentukan jaringan sosial menjadi hal yang sangat penting untuk dibangun. Pengembangan jaringan sosial penenun di Wajo diluar batas teritorial Wajo dilakukan dengan cara menelusuri pebisnis-pebisnis di daerah yang bersangkutan dengan senantiasa mempertimbangkan latar belakang kekerabatan, kedaerahan (sesama orang Bugis - Wajo), pertemanan, kesukuan (sesama etnis Bugis), dan sekiranya disuatu wilayah tidak ada orang bugis yang mau menjalin kerjasama bisnis dengannya barulah kemudian pilihan dijatuhkan kepada etnis lainnya. Pengembangan jaringan seperti ini berakar prinsip orang Bugis “silellung sirui” (saling mengejar dan menarik) sebagai modal penting dalam membangun rivalitas konstruktif dalam berusaha.

Preferensi orang Bugis Wajo dalam pengembangan usaha diberbagai wilayah lebih mendahulukan kerabat. Jika disuatu wilayah mereka tidak memiliki kerabat barulah kemudian ia mencari sesama orang Bugis Wajo, lalu selanjutnya sesama teman, sesama etnis Bugis, dan etnis lainnya. Pertimbangan untuk lebih mendahulukan kerabat dalam pengembangan jaringan bisnis disebabkan karena adanya hubungan sedarah yang bersifat emasional dan keintiman sehingga satu sama lain sudah saling mengenal dan trust (kepercayaan) yang terbangun sudah sangat kuat. Kerjasama dengan kerabat dalam pengembangan pemasaran kain tenun di luar wilayah Bugis, bukan hanya melibatkan kerjasama bisnis tetapi juga memiliki dimensi lain yaitu saling mengobati kerinduan jika saling bertemu. Kerabat yang ada dirantau bisa menanyakan keadaan keluarga dan perkembangan di kampung halaman sedangkan pedagang kain dan pengusaha tenun yang berasal dari Wajo bisa mendengarkan ceritera tentang perjuangan hidup yang dialami kerabat di rantau.

(4)

anut. Berbagai perayaan adat yang dilaksanakan di daerah rantau menuntut mereka untuk menggunakan kain tenun Bugis. Oleh karena itu, setiap rumah tangga Bugis senantiasa berusaha memiliki kain tenun Bugis yang mereka persiapkan digunakan dalam perayaan upacara adat. Penggunaan kain tenun Bugis pada upacara adat bagi perantau Bugis merupakan simbol identitas ke-Bugis-an mereka ditengah masyarakat tempat mereka menetap.

Gambar: 1 Preferensi Jaringan Bisnis Penenun Bugis

Sumber: Data Lapangan Diolah, 2012 Keterangan:

1. Jaringan Kekeluargaan/Kekerabatan (Selessureng/Sumpunglolo) 2. Jaringan Kedaerahan (Sikampong)

3. Jaringan Pertemanan (sahabat) 4. Jaringan Kesukuan (Sempugi) 5. Jaringan Etnis Lain (to lain)

Berdasarkan gambar 1 tersebut, maka preferensi pembentukan jaringan bisnis penenun dapat disimpulkan bahwa semakin kecil lingkaran, maka semakin kohesif jaringan hubungan dan semakin tinggi pula kemungkinan untuk terciptanya saling percaya (trust). Jaringan bisnis yang dijalankan oleh penenun merupakan jembatan dan perekat dalam mengembangkan usaha. Berbagai kemudahan yang didapatkan dari adanya jaringan bisnis tersebut dapat dilihat dari berbagai kemudahan yang diperoleh seseorang atau kelompok untuk mengakses berbagai macam sumberdaya seperti informasi, barang, jasa, harga, kekuasaan dan sebagainya.

Berdasarkan sistem sosial pada masyarakat Bugis jaringan hubungan tersebut dibentuk oleh sistem kekerabatan bilateral dimana hubungan kekerabatan pada masyarakat bugis ditarik berdasarkan hubungan dari pihak ayah dan ibu. Jaringan yang terbentuk melalui garis keturunan dari pihak ayah dan ibu tersebut

5 1

3

4 1

(5)

selanjutnya disebut masselessureng/sumpunglolo (hubungan kekeluargaan/ kekerabatan). Jaringan sosial yang menunjuk pada sikampong (sekampung) yaitu hubungan yang terbentuk melalui adanya kesamaan daerah tempat tinggal. Jaringan sosial yang menunjuk pada ikatan pertemanan bisa merujuk pada persamaan sekolah, organisasi, selera, dan lain-lain. Sedangkan sempugi (sesama etnis Bugis) menunjuk pada jaringan sosial yang terbentuk karena ikatan kesukuan (satu suku) yang sama, namun berasal dari daerah yang berbeda. Sebagimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Etnis Bugis menghuni beberapa wilayah kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Pilihan dijatuhkan kepada orang lain (lingkaran 5) jika tidak ditemukan pebisnis yang berada pada lingkaran 1,2,3, dan 4.

Jaringan Penenun dalam Kegiatan Produksi

Kegiatan produksi merupakan proses yang diorganisasi secara sosial dimana barang dan jasa diciptakan. Kegiatan produksi yang dilakukan penenun gedogan seringkali mengakibatkan mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk memproduksi barang-barang sejak dari bahan baku sampai menjadi produksi yang siap dipakai. Penenun gedogan biasanya berfungsi sekaligus sebagai pedagang yang menjual produk akhirnya. Penenun gedogan lebih mandiri dan sangat otonom dalam hubungan produksi. Ketergantungan dengan pihak luar hanya pada ketersediaan modal dan pengadaan benang.

Jaringan kuat yang dimiliki oleh kalangan penenun gedogan dengan keluarga, tetangga, dan sesama penenun gedogan memberikan basis motivasi yang lebih besar untuk saling memberikan bantuan. Kuatnya solidaritas yang terbangun dalam jaringan penenun gedogan ditandai oleh adanya solidaritas dan pertemuan yang intensif, keintiman, dan perilaku resiprokal. Kepercayaan (trust) yang kuat timbul dari hubungan yang sangat intensif dan intim sehingga memungkinkan mereka saling mengetahui kepribadian masing-masing. Struktur yang terbentuk oleh hubungan-hubungan emosional ini cenderung lebih mantap dan permanen. Terdapat suatu mekanisme yang berfungsi menjamin stabilitas struktur yang melibatkan norma-norma dan nilai-nilai yang dapat membatasi suatu tindakan sosial yang mengganggu kepermanenan struktur tersebut.

(6)

oleh Allah SWT. Pemaknaan seperti itu melahirkan keharmonisan hubungan diantara mereka dan tidak ada perselisihan.

Hubungan sosial melalui jaringan kuat yang dilandasi hubungan emosional biasanya cenderung menjadi hubungan yang dekat dan menyatu. Diantara aktor yang terlibat terdapat kecenderungan untuk saling menyukai atau tidak menyukai perilaku aktor lainnya dalam jaringan. Kontrol sosial yang relatif kuat diantara aktor memudahkan munculnya nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi mengembangkan kontuinitas jaringan. Akibatnya jaringan kuat ini akan menghasilkan rasa solidaritas yang tinggi, dimana aktor berusaha mengurangi kepentingan pribadinya. Tindakan saling memberi dan menerima (resiprokal) diantara para aktor terpola secara tradisional. Prinsip resiprokal ini melekat dalam budaya orang Bugis Wajo yang mengedepankan hubunngan atas dasar sibali perri

(tolong menolong dalam kesusahan) dan sibali reso (tolong menolong dalam pekerjaan).

Rasionalitas penenun gedogan untuk memproduksi kain tenun corak bangsawan untuk kalangan bangsawan menunjukkan adanya dua rasionalitas yang bekerja sekaligus yaitu rasionalitas tradisional dan rasionalitas intrumental (Weber, 1978). Pembelahan tindakan rasionalitas ditandai adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis atas kain corak bangsawan di produksinya untuk kalangan bangsawan (rasional intrumental), namun disisi ia juga memiliki rasionalitas tradisional dimana tindakan penenun gedogan didasarkan pada kebiasaan masa lalu dan masih dipraktekkan dan diterima begitu saja tanpa adanya refleksi. Alasan pembenaran yang sering dikemukakan penenun gedogan bahwa inilah cara yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kami yang sudah berlangsung secara turun-temurun.

Solidaritas dengan sesama penenun juga dilakukan dalam mendapatkan bahan baku. Penenun gedogan sering menitipkan uang kepada tetangga dan untuk dibelikan benang di pasar. Solidaritas dengan kerabat dan tetangga juga senantiasa dijaga, karena melalui kerabat dan tetangga tersebut, selalu menjadi perantara dalam kegiatan jual beli antara penenun dan konsumennya tanpa mereka meminta imbalan jasa. Penghematan dalam konsumsi rumah tangga juga dilakukan ketika penenun ini sepi order penjualan, bahkan terkadang mereka tidak menghadiri undangan pesta perkawinan demi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan temuan Hefner (1983) pada masyarakat Tengger di Jawa Timur dimana masyarakat disana juga cenderung mengurangi konsumsi keluarga dan mengurangi pesta dalam kegiatan ritual pada saat kondisi keuangan keluarga terganggu.

(7)

terbentuk antara penenun gedogan dengan pedagang benang yang menjadi langganan lebih bersifat jaringan kuat. Kepercayaan (trust) diantara keduanya sangat kuat. Hubungan diantara keduanya sangat intim dan sering diselah-selah transaksi jual beli yang dilakukan berlanjut kepada saling menceritakan masalah dan pengalaman hidup yang mereka hadapi. Hubungan juga bisa berlanjut pada saling mengundang dalam acara perkawinan atau hajatan lainnya, bahkan hubungan bisa saling mempengaruhi dalam kesamaan pilihan politik. Berbagai jaringan sosial yang dimiliki oleh penenun gedogan lebih bersifat diad (duaan) dan triad (tigaan) sehingga analisis yang tonjolkan berada pada struktur hubungan, kesetaraan dan ketidakseteraan sosial, dan kecenderungan terjadinya pertukaran.

Sedangkan kalangan penenun ATBM juga memiliki jaringan kuat yang terbangun dengan tetangga dan kerabat serta teman dan memberikan basis motivasi yang lebih besar untuk saling memberikan bantuan. Jaringan kuat dikalangan penenun ATBM ditandai oleh adanya hubungan yang bersifat emosional yang intensif, keintiman, dan perilaku resiprokal. Hubungan berdasarkan hubungan emosional yang melibatkan adanya rasa kekeluargaan dan persahabatan. Tolong-menolong diantara sesama tentangga, kerabat dan teman menjadi pemandangan yang lazim dijumpai dalam kehidupan sosial para penenun ATBM. Namun demikian, kegiatan tolong menolong tidak dijumpai dalam rangkaian kegiatan tenun karena berbagai proses kegiatan tenun sudah melibatkan jasa dan upah.

Jaringan sosial yang terbentuk diantara sesama penenun ATBM yang saling bertetangga lebih bersifat jaringan kuat. Jaringan ini diikat oleh hubungan emosional dan adanya kepentingan ekonomi. Hubungan diantara keduanya terjadi melalui saling membantu dalam kegiatan sosial tetapi tidak dalam kegiatan tenun. Berbagai rangkaian dalam kegiatan tenun sudah melibatkan pertukaran uang dan jasa. Para penenun ATBM saling membagi informasi tentang berbagai tentang jenis corak, motif dan warna kain tenun yang laris terjual di pasar. Meskipun terlihat mereka saling barsaing dalam memasarkan kain tenun yang di produksi, namun mereka tidak menganggap teman sesama penenun sebagai saingan. Tindakan penenun ATBM untuk saling membagi informasi terhadap sesama penenun ATBM mencerminkan adanya ikatan solidaritas dan kepentingan ekonomi diantara keduanya. Terdapat keinginan untuk mendapatkan kepastian akan produk yang mereka hasilkan untuk bisa laku dijual di pasar. Sedangkan pemberian upah kepada orang lain dalam kegiatan menganai dan pencucukan menunjukkan adanya kepentingan ekonomi.

(8)

berada dalam lingkaran ketiga dalam referensi penenun dalam membangun jaringan. Hubungan kedua belah pihak berlangsung secara tidak seimbang karena satu pihak mempunyai kekuatan yang lebih kuat dibanding pihak lain, atau terjadi hubungan patron-klien. Gejala ini sejalan Willer (1999) bahwa jaringan sosial bisa membentuk hubungan yang bersifat vertikal dan horisontal. Dalam konteks penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan sosial antara penenun ATBM dengan pedagang benang menempatkan posisi penenun ATBM dalam posisi klien (anak buah) sedangkan pedagang benang berada pada posisi patron (punggawa/bos). Jaringan antara penenun ATBM dan pedagang benang terjalin karena adanya saling membutuhkan secara ekonomi, namun dalam realitasnya hubungan tersebut bersifat tidak setara. Penenun ATBM cenderung tunduk pada berbagai aturan main yang ditetapkan oleh pihak pedagang benang seperti besaran bunga yang ditetapkan, waktu pelunasan dan lain-lain.

Jaringan sosial yang terbentuk antara penenun ATBM dengan buruh tenun bersifat jaringan kuat. Preferensi penenun ATBM dalam merekrut buruh tenun didasarkan pada pertimbangan hubungan kekerabatan. Jaringan sosial antara penenun ATBM dan buruh melibatkan adanya hubungan emosional, kepentingan, dan power (kekuatan). Timbulnya hubungan emosional dalam jaringan penenun ATBM dengan buruh dilandasi oleh adanya solidaritas atas dasar hubungan kekerabatan sehingga cenderung lebih mantap dan harmonis. Jaringan antara penenun ATBM dengan buruh tenun juga melibatkan adanya kepentingan (interest) diantara keduanya. Penenun ATBM ingin mendapatkan keuntungan dari penjualan kain tenun yang dihasilkan buruh, sedangkan buruh tenun ingin mendapatkan upah dari kain yang mereka tenun. Hubungan seperti ini melibatkan adanya tujuan ekonomis yang ingin dicapai oleh masing-masing aktor. Dalam konteks penelitian ini putusnya kerjasama antara penenun ATBM dengan buruh tidak sertamerta memutus jaringan sosial yang terjadi diantara keduanya. Kondisi ini terjadi karena adanya persinggungan antara hubungan emosional dan hubungan kepentingan dalam jaringan sosial antara penenun ATBM dan buruh tenun. Hubungan diantara keduanya bukan hanya diikat oleh logika untuk saling mencari keuntungan (kepentingan) atau hubungan ekonomis semata, tetapi juga diikat oleh emosional atas dasar hubungan kekerabatan.

Jaringan sosial antara penenun ATBM dan buruh tenun juga melibatkan adanya power (kekuatan) yang menempatkan penenun ATBM sebagai pusat power atau bos/Ponggawa (patron) sedangkan buruh tenun (klien). Pusat power

(penenun ATBM) mempunyai kewenangan dalam mengkaji kinerja dan mengontrol setiap kegiatan dalam organisasi produksi. Jaringan sosial yang melibatkan adanya power tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajiban mereka secara sukarela, tanpa adanya insentif. Oleh karena itu, dibutuhkan distribusi penghargaan dan sanksi (reward and sanction) yang bersifat informal guna menyokong timbulnya kerelaan dengan nilai dan norma yang ditetapkan oleh pusat power.

(9)

mereka diikat oleh hubungan rasa (emosi). Durabilitas pertemuan yang intensif yang dibalut oleh rasa kekeluargaan, kedaerahan dan perasaan senasib masih mewarnai hubungan diantara mereka. Tolong-menolong dalam bentuk keterlibatan secara fisik dan materi pada acara duar kehidupan (life cycle) yang terkait dengan upacara kesedihan seperti kematian masih selalu dilakukan, sedangkan daur kehidupan yang terkait kegembiraan (perkawinan, aqiqah, sunatan, dan lain-lain) tidak mesti dilakukan dengan terlibat secara fisik dalam kegiatan tersebut, namun secara finansial mereka terlibat. Pengusaha tenun sering mengirimkan amplop sumbangan (passolo) sebagai tanda keterlibatan mereka dalam acara daur kehidupan yang terkait kegemberiaan.

Jaringan antara pengusaha tenun dengan buruh tenun juga melibatkan adanya kepentingan (interest) ekonomi, emosional (solidaritas) dan power

(kekuatan) diantara keduanya. Pengusaha tenun ingin mendapatkan keuntungan dari penjualan kain tenun yang dihasilkan buruh, sedangkan buruh tenun ingin mendapatkan upah dari kain yang mereka tenun. Hubungan seperti ini melibatkan adanya tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan. Ketika tujuan-tujuan tersebut sudah tercapai, maka biasanya hubungan tersebut bisa tidak berkelanjutan. Dalam konteks penelitian ini putusnya kerjasama dalam pekerjaan antara pengusaha tenun dengan buruh tidak sertamerta memutus jaringan sosial yang terjadi diantara keduanya. Hubungan emosional yang muncul disebabkan karena mereka berasal dari sesama suku Bugis (sempugi). Hubungan diantara keduanya sering berlanjut dalam acara saling mengundang diantara mereka jika salah pihak melakukan hajatan. Kondisi ini terjadi karena adanya persinggungan antara hubungan emosional dan hubungan kepentingan dalam jaringan sosial antara pengusaha tenun dan buruh tenun.

Jaringan sosial antara pengusaha tenun dan buruh tenun juga melibatkan adanya power (kekuatan) yang menempatkan pengusaha tenun sebagai pusat power atau bos/Ponggawa (patron) sedangkan buruh tenun berada pada bawahan (klien). Jaringan sosial yang melibatkan adanya power tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajiban mereka secara sukarela, tanpa adanya insentif. Oleh karena itu, dibutuhkan distribusi penghargaan dan sanksi (reward and sanction) yang bersifat informal guna menyokong timbulnya kerelaan dengan nilai dan norma yang ditetapkan oleh pusat power. Pengusaha tenun sebagai patron bertindak memberikan keterjaminan pendapatan dan keamanaan bagi si klien. Pengusaha tenun disamping memberikan upah yang sesuai dengan kesepakatan dengan buruh, juga senantiasa membantu memberi sumbangan jika ada keluarga yang mengalami musibah.

(10)

Zat pewarna umumnya dibeli secara kontan pada pengusaha yang ada di Sengkang dan Makassar. Bahkan terkadang ada pengusaha tenun yang membeli zat pewarna dari Surabaya dan Jakarta. Jaringan sosial yang tercipta antara pengusaha tenun dengan pedagang zat pewarna di Makassar, Surabaya dan Jakarta, lebih bersifat jaringan lemah. Ikatan diantara mereka dibalut oleh adanya kepentingan ekonomi untuk saling mendapatkan untung dari transaksi bisnis yang mereka jalankan. Intensitas pertemuan yang kurang membuat lemahnya kepercayaan (trush) diantara mereka. Realitas sosial yang telah dikemukakan sesuai pandangan Granovetter (1973; 1985) bahwa struktur sosial dan jaringan sosial dapat mempengaruhi hasil ekonomi seperti perekrutan tenaga kerja, harga, produktivitas dan inovasi.

Mengacu kepada konsep yang dikembangkan oleh Willer (1999) bahwa terdapat dua tipe jaringan yaitu jaringan sosial dan jaringan ekonomi. Berdasarkan konsep Willer tersebut, maka penulis dapat mengkategorikan bahwa jaringan yang dimiliki oleh pengusaha tenun bersifat banyak mengandalkan jaringan ekonomi daripada jaringan sosial, sedangkan jaringan yang dikembangkan oleh penenun gedogan dan penenun ATBM lebih banyak ke jaringan sosial dibanding jaringan ekonomi.

Jaringan Penenun dalam Kegiatan Distribusi

Sistem pemasaran kain tenun bugis terjadi melalui proses pertukaran uang dan barang (kain tenun) yang terjadi dipasar. Kain tenun yang diproduksi oleh para penenun di Wajo di distribusikan di pasar, baik pasar dalam pengertian

marketplace (tempat pasar) maupun market (pasar). Marketplace (tempat pasar) yang menjadi tempat distribusi kain tenun Bugis tersebar diberbagai wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Wajo dan pasar sentral Sengkang sendiri. Sedangkan market (pasar) dimana kain tenun bugis bisa didistribusikan kapan saja dan dimana tanpa terikat adanya suatu tempat tertentu dan waktu tertentu.

Pemasaran kain tenun bagi kalangan penenun gedogan tidak hanya terjadi di pasar, tetapi terkadang juga ada pembeli yang datang secara langsung ke rumah penenun gedogan untuk memesan kain tenun sesuai dengan selera pembeli. Terdapat pula pedagang pengumpul dan pengusaha tenun yang datang membeli ke rumah para penenun gedogan untuk membeli kain tenun. Sistem pemasaran kain tenun yang paling umum dijalankan oleh penenun gedogan adalah menjual hasil produksi mereka di pasar. Penentuan harga kain tenun ditentukan melalui mekanisme tawar-menawar antara penjual (penenun gedogan) dan pembeli (pedagang pengumpul). Tawar-menawar adalah pola tipikal penentuan harga dalam transaksi jual beli yang dilakukan oleh penenun gedogan. Oleh karena tawar-menawar biasanya membutuhkan waktu yang cukup, maka waktu bukan merupakan sumber daya yang berharga dan langka sebagaimana dalam institusi pasar dalam masyarakat industri modern. Berbeda dengan kapitalisme modern dimana harga barang dan jasa ditentukan oleh kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran yang abstrak. Seseorang dapat pergi berbelanja di toko dan menemukan harga pasti yang ditetapkan untuk barang tertentu.

(11)

Sumber: Data Lapangan Diolah, 2012.

Berdasarkan gambar 2 tersebut, maka dapat dipahami bahwa jalur distribusi (pemasaran) kain tenun yang diproduksi oleh kalangan penenun gedogan menempuh dua cara yaitu distribusi secara langsung dan distribusi tak langsung. Pemasaran secara langsung terjadi manakala konsumen datang ke rumah penenun gedogan untuk memesan atau membeli barang. Sedangkan pemasaran secara tidak langsung menggunakan jalur melalui: tetangga, kerabat dan teman; pedagang pengumpul; pengusaha tenun; dan lembaga adat. Terdapat konsumen yang biasa memesan kain tenun melalui tetangga, kerabat, teman dari penenun gedogan tersebut. Penenun gedogan paling sering menggunakan jalur pedagang pengumpul untuk menjual hasil produksinya. Pedagang pengumpul di tingkat Kecamatan dan Kabupaten selanjutnya ada yang menjual langsung kepada konsumen dan ada juga yang dijual kepada pedagang provinsi. Pedagang provinsi menjual kepada pedagang yang tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan dan sebagian lagi dijual pedagang antarpulau. Terdapat juga konsumen yang membeli barang kepada pedagang provinsi. Pengusaha tenun juga sering membeli kain yang diproduksi oleh penenun gedogan untuk mereka jual di toko atau butiknya. Jalur terakhir yang digunakan oleh penenun gedogan dalam distribusi kain adalah lembaga adat. Jaringan sosial yang terbentuk antara penenun gedogan dengan pedagang pengumpul/pappalele yang sudah berlangganan lebih bersifat jaringan kuat. Meskipun jaringan yang terbentuk memiliki kepentingan (interest) ekonomi, namun karena intensitas pertemuan yang cenderung berulang sehingga kepercayaan (trust) yang muncul diantara keduanya sangat kuat. Hubungan diantara keduanya tidak hanya dalam transaksi jual beli, tapi biasa berlanjut pada saling mengundang dalam acara perkawinan atau hajatan lainnya.

Jaringan sosial yang terbentuk diantara sesama penenun ATBM yang saling bertetangga lebih bersifat jaringan kuat. Hubungan diantara keduanya

Penenun Gedogan

Konsumen Langsung

Pedagang Pengumpul

Lembaga Adat

Pedagang Kabupaten

Pedagang Provinsi

Pedagang Antar Pulau

Konsumen

Toko/Butik Kerabat, tetangga

dan teman

(12)

terjadi melalui saling membantu dalam kegiatan sosial tetapi tidak dalam kegiatan tenun. Berbagai rangkaian dalam kegiatan tenun sudah melibatkan pertukaran uang dan jasa. Para penenun ATBM saling membagi informasi tentang berbagai hal terkait jenis corak, motif dan warna kain tenun yang laris terjual di pasar. Meskipun terlihat mereka saling barsaing dalam memasarkan kain tenun yang di produksi, namun mereka tidak menganggap sesama penenun sebagai saingan.

Penenun ATBM umumnya menggunakan tempat pasar (marketplace) untuk memasarkan hasil produksinya, namun ada juga konsumen yang datang ke rumahnya untuk membeli kain tenun.. Hasil produksi para penenun ATBM biasanya dititipkan pada beberapa pedagang yang berjualan di pasar. Penentuan harga kain tenun yang diproduksi oleh kalangan penenun ATBM ditentukan oleh mekanisme pasar yang berlaku di tingkat lokal. Kain tenun yang dibeli dari penenun ATBM oleh kalangan pedagang pengumpul selanjutnya didistribusikan ke pedagang di Makassar Mall dan pasar Butung di Kota Makassar. Pedagang di Makassar menjual kain tersebut sebagian di Makassar, dan sebagian lainnya di jual berbagai daerah diluar Sulawesi Selatan.

Gambar 3. Jalur Distribudi Penenun ATBM

Sumber: Data Lapangan Diolah, 2012.

Berdasarkan gambar 3, maka dapat diketahui bahwa jalur distribusi yang digunakan penenun ATBM melalui dua jalur yaitu distribusi langsung dan distribusi tak langsung. Distribusi langsung terjadi manakala konsumen datang ke rumah penenun ATBM untuk membeli kain tenun. Sedangkan jalur distribusi tak langsung menggunakan 3 saluran distribusi yaitu melalui: tetangga, kerabat, dan teman; pedagang pengumpul; dan melalui pengusaha tenun. Sepertinya penenun gedogan, maka penenun ATBM-pun menggunakan saluran kerabat, tetangga dan teman sebagai jalur pemasaran kain yang diproduksi. Terdapat kecenderungan beberapa konsumen yang akan membeli kain dengan harga murah dan tidak punya

Penenun ATBM

Konsumen

Langsung PengumpulPedagang

Pedagang Kabupaten

Pedagang Provinsi

Pedagang Antarpulau

Konsumen

Toko/Butik Kerabat, tetangga

dan teman

Pengusaha Tenun

(13)

akses langsung ke penenun ATBM, maka jalur kerabat, tetangga, atau teman biasa digunakan. Penenun ATBM-pun sering meminta tolong kepada kerabat, tetangga dan teman untuk membantu memasarkan kain tenun yang mereka produksi. Jadi kerabat, tetangga dan teman sering menjadi perantara antara penenun ATBM dan konsumen dalam pemasaran kain tenun. Jalur yang paling umum digunakan oleh penenun ATBM dalam kegiatan pemasaran adalah melalui pedagang pengumpul atau pedagang tingkat kabupaten. Selanjutnya dari pedagang tingkat kabupaten ada menjual langsung kepada konsumen dan ada juga yang mendistribusikan ke pedagang tingkat provinsi. Pedagang tingkat provinsi umumnya memiliki kios pakaian di Makassar mall dan pasar Butung (Kota Makassar) selanjutnya ada yang menjual langsung kepada konsumen dan adapula yang menjual ke pedagang yang ada di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan dan adapula dijual ke pedagang antarpulau. Jalur terakhir yang digunakan oleh penenun ATBM dalam pemasaran adalah melalui pengusaha tenun. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penenun ATBM sering menjadi pengesub dari pengusaha tenun. Ketika pengusaha tenun mendapat pesanan kain dalam jumlah banyak, maka ia menyerahkan sebagian pesanan tersebut kepada penenun ATBM untuk dikerjakan dengan sistem kontrak. Selanjutnya kain hasil produksi penenun ATBM didustribusikan kembali oleh pengusaha tenun melalui para pembatik yang ada di Jawa. Kain tenun yang dipasarkan oleh pengusaha tenun kepada pembatik di Jawa adalah umumnya kain tenun dalam bentuk tekstur polos. Selanjutnya oleh pengusaha batik di Jawa, membatik kain tersebut untuk selanjutnya di jual kepada konsumen. Terdapat juga pengusaha tenun yang mendistribusikan kepada konsumen langsung kain tenun di hasilkan oleh penenun ATBM.

Sedangkan pengusaha tenun memproduksi sesuatu dengan tujuan utama adalah pasar dan mereka pada umumnya memiliki jaringan pemasaran di beberapa daerah bahkan memiliki toko atau butik di kota Sengkang dan Makassar. Jaringan pemasaran para pengusaha tenun tidak hanya pasaran lokal tetapi sudah merambah sampai ke tingkat nasional dan global. Umumnya para pengusaha tenun di Wajo memiliki persediaan barang dalam jumlah banyak dan sudah mulai menggunakan jasa transportasi dan pengiriman untuk distribusi barang ke berbagai daerah. Sistem pambayaran kain tenun dalam jumlah banyak yang dikirim ke berbagai daerah tidak selamanya menggunakan uang kontan (cash), tetapi terkadang menggunakan pembayaran dengan sistem rekening giro.

(14)

pengusaha tenun. Hubungan antara kerabat, tetangga, dan teman dengan pengusaha tenun dalam transaksi jual beli tidak hanya melibatkan adanya kepentingan ekonomis, tetapi juga melibatkan adanya hubungan emosional yang bersifat kekeluargaan dan pertemanan. Konsumen yang memesan kain tenun melalui kerabat, tetangga dan teman dari sang pengusaha tenun biasanya mendapatkan harga yang relatif lebih murah dibandingkan konsumen yang membeli langsung ke pengusaha tanpa adanya hubungan emosional.

Pengusaha tenun juga melayani pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer di Kabupaten dan pedagang pengecer di Provinsi. Jaringan distribusi antara pengusaha tenun pedagang pengecer di Kabupaten dan pedagang pengecer di Provinsi tidak hanya melibatkan adanya kepentingan bisnis, tetapi juga melibatkan adanya hubungan emosional. Intensitas pertemuan yang sering terjadi diantara mereka dan adanya kepentingan ekonomis membuat jaringan diantara mereka relatif bertahan lebih lama. Hubungan emosional yang muncul berasal dari ikatan kekeluargaan dan ikatan kedaerahan atau kesukuan. Pedagang pengecer tingkat kabupaten dan pedagang pengecer tingkat provinsi umumnya berasal daerah Wajo dan etnis Bugis serta ada diantara mereka masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pengusaha tenun. Sering terjadi diantara diselah-selah kegiatan transaksi bisnis, mereka sering berbincang tentang banyak di luar kegiatan bisnis. Kepercayaan yang muncul lebih kuat karena mereka saling mengenal karena sering bertemu dan berasal dari daerah yang sama dan etnis yang sama. Hubungan bisnis diantara mereka biasa berlanjut kepada saling mengundang ketika mereka melakukan hajatan.

Pengusaha tenun juga sering melayani pembeli di butiknya yang berasal dari wisatawan domestik dan mancanegara. Wisatawan domestik dan mancanegara biasanya diantar oleh pemandu wisata. Ditetapkannya desa Pakkanna Kecamatan Tanasitolo sebagai lokasi wisata tenun pada tahun 2009 membuat pengusaha tenun semakin sering melayani wisatawan domestik dan mancanegara. Wisatawan domestik yang biasa berkunjung dan berbelanja kepada pengusaha adalah umumnya tamu dari instansi pemerintah di Kabupaten Wajo. Sedangkan wisatawan mancanegara umumnya diantar pemandu wisata yang berasal travel perjalanan wisata yang ada di Kota Makassar. Jaringan antara pengusaha tenun dan wisatawan domestik dan mancanegara tersebut diikat oleh adanya kepentingan ekonomis tanpa adanya hubungan emosional. Meskipun pengusaha tenun melayani secara baik wisatawan domestik dan mancanegara tersebut, namun transaksi bisnis diantara keduanya jarang berulang.

(15)

memiliki tanggung jawab untuk mendukung berbagai kegiatan adat yang dilaksanakan. Harga yang ditawarkan oleh pengusaha tenun kepada lembaga adat lokal jauh lebih rendah dibandingkan lembaga adat lainnya yang juga sering memesan barang kepada pengusaha tenun. Jadi, dengan demikian, jaringan antara pengusaha tenun dan lembaga adat lokal tidak melibatkan kepentingan ekonomis semata tetapi juga melibatkan hubungan emosional. Sedangkan hubungan antara pengusaha tenun dengan lembaga diluar kabupaten Wajo, hanya melibatkan adanya kepentingan ekonomis semata.

Pengusaha tenun juga memiliki jaringan dengan instansi pemerintah dan swasta. Beberapa pengusaha tenun di Wajo sering mendapat orderan dari instansi pemerintah baik yang ada di Wajo maupun di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan. Hubungan antara pengusaha tenun dengan pemerintah Kabupaten Wajo dalam transaksi bisnis melibatkan adanya kepentingan ekonomis, hubungan emosianal dan adanya kekuatan (power) yang tidak seimbang. Menurut KS (48 tahun/pengusaha tenun) pemerintah Kabupaten Wajo biasa memesan kain tenun kepada beberapa pengusaha ketika ada perayaan adat di Kabupaten Wajo. Namun, kain tenun yang dipesan tersebut biasa tidak dibayar sesuai harga yang telah disepakati sebelumnya, jadi biasa pengusaha mengalami kerugian. Pemerintah juga sering mengikutkan para pengusaha dalam berbagai pameran (misalnya pameran pariwisata, festival kesenian, perindustrian dan lain-lain) dimana ada biaya disediakan oleh penyelenggara atau ada anggaran pemerintah daerah untuk ikut berpartisipasi dalam acara tersebut, namun biaya tersebut terkadang ditanggung sendiri oleh kalangan pengusaha. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa posisi pemerintah memiliki kekuatan (power) untuk tidak membayar sesuai harga perjanjian dan tidak transparannya pemerintah Kabupaten dalam anggaran pemeran. Pengusaha sering memprotes, namun karena dia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan, sehingga ulah pemerintah tersebut diterima sambil menggerutu. Pengusaha tenun sering memanfaatkan kegiatan pameran untuk saling tukar informasi antar peserta pemeran sehingga memungkinkan adanya jaringan baru dalam pemasaran. Menurut KS (48 tahun), bahwa keikutsertaan dalam pemeran merupakan ajang yang cukup efektif untuk memperluas jalur pemasaran. Meskipun jaringan antara pengusaha tenun dengan pemerintah setempat melibatkan adanya kepentingan ekonomi dan melibatkan adanya kekuatan yang tidak seimbang, namun hubungan ini bersifat langgeng karena tidak ada pilihan lain bagi keduanya untuk tidak saling terhubung. Pemerintah membutuhkan pengusaha tenun untuk menggerakkan roda perekonimian di masyarakat, sedangkan pengusaha tenun mengharapkan peran pemerintah dalam mengatur pengembangan persuteraan alam di Wajo.

(16)

karena kuatir nanti mereka tidak mau lagi membeli barang kepadanya. Penjualan kain kepada pihak swasta biasanya disertai dengan perjanjian tertulis dan sistem pembayaran secara kontan. Barang akan dilunasi oleh pihak swasta setelah barang tersebut diterima di oleh instansi swasta. Pembayaran biasa melalui uang kontan dan biasa menggunakan rekening giro. Pengusaha tenun di Wajo juga pernah menjalin kerjasama dengan desainer dari Jakarta. Jaringan antara pengusaha tenun dengan desainer tersebut melibatkan adanya kepentingan ekonomis semata.

Sebagian kain yang dihasilkan oleh pengusaha tenun didistubisikan kepada para pedagang yang ada di Makassar (pedagang tingkat provinsi). Selanjutnya oleh pedagang provinsi mendistribusi kepada konsumen langsung dan ada juga yang di distribusikan melalui pedagang antarpulau. Hubungan antara pengusaha tenun dengan pedagang tingkat provinsi diikat oleh adanya kepentingan ekonomis dan hubungan emosional. Pengusaha tenun senantiasa menjaga kepercayaan dan hubungan dengan pedagang tingkat provinsi. Hubungan diantara yang diikat perasaan emosional sebagai sesama orang Wajo atau sesama orang Bugis. Hubungan ini tidak saja terjadi dalam kegiatan bisnis tetapi juga bisa berlanjut kepada saling mengundang ketika masing-masing melaksanakan hajatan. Kalangan pengusaha tenun senantiasa menjaga hubungan baik dengan para langganan. Hubungan antara pengusaha tenun dengan pengusaha batik melibatkan adanya kepentingan ekonomi dimasing-masing pihak ingin mendapatkan keuntungan. Disisi lain hubungan diantara mereka jika melibatkan adanya power, dimana pengusaha batik memiliki power yang lebih kuat dibandingkan pengusaha tenun. Pengusaha batik senantiasa mensortir kain yang mereka terima dari pengusaha tenun, dan jika tidak sesuai dengan mereka inginkan maka kain tersebut tidak diterimanya. Pengusaha tenun hanya bisa pasrah jika kain yang jual kepada pembatik ternyata ditolak karena tidak sesuai yang diinginkan pembatik.

Gambar 4. Jalur Distribusi Pengusaha Tenun

Pengusaha Tenun

Desainer Lembaga

Adat Pedagang

Provinsi

Pedagang Antar Pulau Kerabat,

tetangga dan teman

Instansi Pemerintah

/ Swasta Toko/Butik

Pedagang Kabupaten

(17)

Sumber: Data Lapangan Diolah, 2012.

Berdasarkan gambar 4, maka dapat dipahami bahwa pengusaha menjalakan dua jalur distribusi yaitu distrubusi langsung dan distribusi tak langsung. Distribusi langsung terjadi manakala konsumen datang langsung membeli ke toko/butik yang di miliki oleh pengusaha. Konsumen langsung yang bisa membeli kain ke pengusaha tenun berasal dari pembeli perorangan etnis bugis, wisatawan domestik dan mancanegara, lembaga pemerintah dan swasta, lembaga adat, dan kolektor kain. Sedangkan distribusi tak langsung terjadi melalui jalur desainer, pedagang tingkat kabupaten, pedagang tingkat provinsi, dan pembatik di Jawa. Kain yang dibeli oleh desainer selanjutnya diolah terlebih menjadi pakaian jadi sebelum dijual ke konsumen. Sedangkan kain yang dibeli oleh pedagang kabupaten sebagian dijual di tingkat lokal dan sebagian dijual kepada pedagang tingkat provinsi. Selanjutnya pedagang tingkat provinsi menjual sebagian tenun tersebut di Makassar dan sebagian lagi di jual ke pedagang antarpalau. Pengusaha tenun yang memproduksi kain tenun dengan tekstur polos umumnya di distibusikan kepada para pembatik yang ada Jawa. Bahkan ada juga pengusaha tenun di Wajo yang biasa mendapat pesanan kain sutera polos (putih) dari masyarakat Bali untuk digunakan dalam acara ritual keagamaan.

PENUTUP

Jaringan sosial pada penenun menunjukkan berbagai tipe hubungan sosial yang terikat atas dasar identitas kekerabatan, ras, etnik, pertemanan, ketetanggaan, ataupun atas dasar kepentingan tertentu. Hasil Penelitian ini sejalan dengan Boissevain (1978), bahwa jaringan sosial adalah struktur sosial masyarakat itu sendiri. Jaringan sosial adalah pola hubungan sosial di antara individu, kelompok atau organisasi. Temuan penelitian ini menunjukkan relevansi dengan temuan Mitchell, (Scott, 1991) bahwa kekuatan jaringan dipengaruhi oleh resiprositas, intensitas, dan durabilitas hubungan antarpihak.

Setiap jaringan sosial (lemah atau kuat) yang dimiliki oleh penenun senantiasa menghasilkan suatu ikatan/perekat dan menunjang bagi kelangsungan kegiatan tenun yang sedang dijalankan. Temuan penelitian ini sesuai Granovetter (1974; 1983) katakan bahwa ikatan apapun bentuknya; lemah atau kuat, memberikan kemudahan dalam menjalankan kegiatan usaha. Terdapat kecenderungan bahwa setiap aktor yang terlibat dalam suatu jaringan cenderung mengurangi kepentingan-kepentingan pribadi. Jaringan sosial memudahkan mobilitas sumberdaya. Salah satu keuggulan pengusaha tenun atas kedua penenun lainnya di Wajo (penenun gedogan dan penenun ATBM) terletak pada kemampuan para pengusaha tenun dalam melakukan mobilitas sumberdaya. Kemampuan pengusaha tenun dalam menggerakkan sumberdaya terletak pada

(18)

jaringan sosial yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan temuan Powell dan Smith-Doerr (Smelser dan Swedberg: 1994) tentang pentingnya jaringan sosial dalam membantu kemampuan memobilisasi sumber daya dalam bentuk finansial dan informasi dalam rangka pengembangan usaha. Pengusaha tenun dalam mengembangkan usahanya, tidak hanya mengandalkan jaringan sosial yang mereka miliki di tingkat lokal, tetapi juga mereka mampu membangun jaringan sosial di level nasional dan global. Jadi berbeda dengan kedua tipe penenun lainnya yang lebih mengandalkan jaringan sosial di tingkat lokal dan supra-lokal.

Dasar moralitas penenun dalam mengembangkan jaringan bersumber pada pandangan bahwa keberhasilan suatu usaha sangat ditentukan oleh bantuan orang lain, kerja keras dan ketekunan sendiri serta ridho Tuhan. Penenun di Wajo dalam mengembangkan usahanya dilakukan dengan strategi menemukan jaringan sosial yang mungkin mereka miliki di daerah tersebut dengan cara menelusuri pebisnis di daerah yang bersangkutan yang berletarbelakang hubungan kerabat, kedaerahan, kesukuan pertemanan. Jika tidak menemukan jaringan pebisnis dengan latarbelakang hubungan kerabat, kedaerahan, kesukuan pertemanan, barulah kemudian pilihan diarahkan kepada pebisnis yang dari etnis lainnya (non-Bugis). Tipe jaringan sosial yang ada pada ketiga level penenun seperti jaringan sosial bersifat emosional (solidaritas), kepentingan (interest), dan power (kekuatan), hirarkhis maupun horisontal secara terus menerus saling bersinggungan.

Tipe jaringan sosial yang dimiliki oleh pengusaha tenun lebih luas dan lebih banyak diikat oleh adanya kepentingan ekonomi dan power dibandingkan hubungan emosional atau solidaritas. Sedangkan penenun gedogan dan penenun ATBM jaringannya sangat terbatas dan lebih banyak diikat oleh adanya hubungan emosional atau solidaritas dibandingkan kepentingan ekonomi dan power. Hubungan yang dimiliki oleh penenun gedogan lebih mampu bertahan lama karena dibalut oleh rasa kebersamaan dan saling membutuhkan dengan aktor yang ada dalam jaringannya. Sedangkan jaringan yang dimiliki pengusaha tenun cenderung tidak bisa bertahan lama, karena ketika masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan melibatkan kepentingan ekonomi sehingga kalau tujuan ekonomi sudah tercapai, maka putuslah jaringan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Armayani, dkk.,2008. Profil Persuteraan di Kabupaten Wajo. Sengkang: Pemda Wajo.

Biggart, Nicole Woolsey. 2002. Readings in Economic Sociology. Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publishers.

Boissevain, J. (1978). Friends of friends: Network, Manipulator and Coalition. London and Worcester Oxford: Basil Blackwell.

Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. (Second Edition), Thousand Oaks: Sage Pul. Inc.

Geertz, Clifford. 1989. Penjaja dan Raja.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Granovetter, M. 1985. “Economic Action and Social Structure: The Problem of

(19)

______,. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of Sociology, Volume 78, Issue 6 (May, 1973), 1360-1380. USA: University of Chicago Press - JSTOR.

Granovetter, M., & Sweddberg, Richard (edit). 1992. The Sociology of Economic Life. Boulder, San Francisco, Oxford: Westview Press.

Hefner, R.W. 1983. The Problem of Preference: Economic and Ritual Change in Highlands Java. Man. New Series, Vol. 18/4, pp. 669-689.

Miles, B. Mattew dan A. Michael Haberman, 1994. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Powell, Walter W., dan Smith-Doerr, Laurel. 1994. Networks and Economic Life.

in Smelser, N. J. and R. Swedberg (editors). 1994. Handbook of Economic Sociology. Firts Edition. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Sadapotto, Andi. 2010. Penataan Institusi Untuk Peningkatan Kinerja Persuteraan Alam di Sulawesi Selatan: Studi Komparasi di Enrekang, Soppeng dan Luoding City – Cina. Disertasi pada SPS-IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan).

Scott, J. (1991). Social networking analysis. London: Sage Publications.

Smelser, N. J. and R. Swedberg (editors). 1994. Handbook of Economic Sociology. Firts Edition. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Sitorus, M.T. Felix. 1999. Pembentukan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Disertasi pada SPS-IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan).

Weber, Max. 1978. Economy and Society: An Outline of Interpretatif Sociology.

Vol. I (edited by Roth, G., and Wittich, G.). Barkeley: University of California Press.

Willer, David (edited). 1999. Network Exchange Theory. London: Praeger Publisher.

Gambar

Gambar 3. Jalur Distribudi Penenun ATBM
Gambar 4. Jalur Distribusi Pengusaha Tenun

Referensi

Dokumen terkait

Tempat Pelaksanaan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh Rincian Kegiatan Sekolah Teuku Nyak Arif Fatih Bilingual School dan Fatih. Bilingual School berkesempatan

Sarafino (1994) menetapkan adanya 3 dimensi dalam dukungan sosial yaitu: dukungan sosial yang melibatkan adanya keakraban dan penerimaan yang memberikan keyakinan dan dukungan

rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi

yang telah memberikan semangat, waktu, masukan dan arahan dalam penulisan format dari tugas akhir. Kenny Badjora Lubis, M.Kom penguji yang telah membantu dan

Ubaidillatul Fahmi & Hadi Sunaryo 73 Berdasarkan hasil pengujian normalitas data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov seperti pada Tabel 3 tersebut, maka dapat

Hasil dari pengukuran maksila Manusia Pawon menunjukkan bahwa densitas tulang trabekula yang paling tinggiuntuk maksila Manusia Pawon terletak pada regio posterior

Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya lokal pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia

Guna meningkatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan ashitaba maka diformulasikan granul effervescent, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi