• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGIMBASAN KETAHANAN BIBIT PISANG AMBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGIMBASAN KETAHANAN BIBIT PISANG AMBON"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENGIMBASAN KETAHANAN BIBIT PISANG RAJA TERHADAP PENYAKIT LAYU FUSARIUM DENGAN EKSTRAK BAKTERI ANTAGONIS

(INDUCED RESISTANCE OF RAJA CULTIVAR BANANA SEEDLING TO FUSARIUM WILT BY APPLYING ANTAGONISTIC BACTERIA EXTRACT)

Oleh:

Loekas Soesanto dan Ruth Feti Rahayuniati

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Kontak: lukassus26@gmail.com ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak bakteri antagonis terhadap ketahanan bibit pisang Raja, perkembangan penyakit layu Fusarium, dan pertumbuhan tanaman pisang. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan meliputi tanpa ekstrak bakteri antagonis dan tanpa Fusarium oxysporum f.sp. cubense, tanpa ekstrak bakteri antagonis dan F. oxysporum, ekstrak Pseudomonas flourescens P60 dan F. oxysporum, P. flourescens P32, atau Bacillus subtilis dan F. oxysporum. Peubah yang diamati meliputi kandungan senyawa fenol (glikosida, saponin, tanin), masa inkubasi, keparahan penyakit, laju infeksi, keefektifan antagonis, kepadatan akhir Fusarium, jumlah akar terinfeksi, antagonis pada bonggol masing-masing sebesar 31,51 dan 25,88%; sedangkan pada daun masing-masing sebesar 19,67 dan 20,58%. Perlakuan tersebut belum mampu meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman pisang Raja.

Kata Kunci: Ketahanan terimbas, Layu Fusarium, Bakteri antagonis. ABSTRACT

(2)

antagonistic effectivity in the seedling corm of 31.51 and 25.88%, respectively, and in the seedling leave of 19.67 and 20.58%, respectively. The treatments did not increase growth of the banana seedling yet.

Key words: Induced resistance, Fusarium wilt, Antagonistic bacteria. I. PENDAHULUAN

Pisang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan memiliki berbagai manfaat baik buah atau bagian tanaman lain. Selain dikonsumsi segar, pisang juga digunakan sebagai bahan baku makanan olahan. Pisang mengandung gizi yang cukup tinggi, yaitu terdiri atas air, karbohidrat, protein, lemak dan vitamin A, B1, B2 dan C (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005). Sentra produksi pisang di Indonesia terdapat di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan NTB (Ditjen PPHP, 2005). Salah satu pisang komoditas ekspor, yaitu pisang Raja.

Salah satu kendala bagi peningkatan produksi pisang adalah gangguan penyakit tanaman mulai pembibitan sampai pascapanen. Penyakit terpenting yang merusak tanaman pisang adalah penyakit layu Fusarium, yang disebabkan jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Penyakit pisang tersebut termasuk paling berbahaya di dunia. Di Indonesia, serangan paling parah oleh patogen ini (bersama dengan Ralstonia solanacearum) ditemukan di Sumatera barat (Nasir dan Jumjunidang, 2004). F. oxysporum umumnya menyerang tanaman sejak tanaman masih muda (Suastika dan Kamandalu, 2005).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini, tetapi belum memberikan harapan dan hasil yang memuaskan. Pengendalian hayati patogen tular-tanah merupakan pilihan yang perlu dikembangkan, sebab relatif murah dan mudah dilakukan, serta bersifat ramah lingkungan. Penggunaan agensia pengendali hayati yang berasal dari bakteri antagonis telah banyak dilaporkan. Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis merupakan bakteri antagonis yang banyak dimanfaatkan sebagai agensia hayati untuk beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman.

(3)

Mekanisme ketahanan ketahanan terimbas atau Induced Resistance adalah preinokulasi tanaman dengan berbagai agensia fisik, kimia, dan hayati, yang dapat menyebabkan perubahan reaksi penyakit yang diakibatkan oleh inokulasi berikutnya dengan patogen sasaran (Misaghi, 1982). Selain itu, reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel atau jaringan mampu menghasilkan senyawa toksin terhadap patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen di dalam tanaman (Agrios, 2005). Ketahanan secara kimiawi ditunjukkan dengan terbentuknya senyawa kimia yang mampu mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen (Chairul, 2003) dan umumnya dengan konsentrasi lebih tinggi daripada tanaman tidak tahan (Mansfield, 2000; Agrios, 2005).

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan upaya yang dapat diterapkan untuk meningkatkan ketahanan tanaman. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme pengimbasan ketahanan bibit pisang Raja terhadap penyakit layu Fusarium, yaitu menggunakan ekstrak beberapa bakteri antagonis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak bakteri antagonis terhadap peningkatan ketahanan bibit pisang Raja dari penyakit layu Fusarium, terhadap perkembangan penyakit layu Fusarium, dan terhadap pertumbuhan bibit tanaman pisang Raja.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan dan Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal soedirman selama enam bulan mulai Juli sampai Desember 2008.

Penyiapan isolat

Isolat jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) (Haryono, 2007) disiapkan dengan medium kentang dekstrosa cair, yang digojog (Orbital shaker Daiki) selama 5 hari dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar. Isolat bakteri antagonis P. fluorescens P60 (Soesanto dan Termorshuizen, 2001) dan P. fluorescens P32 (Koleksi L. Soesanto) disiapkan dalam medium King’s B cair (Schaad, 1980) dan digojog dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar selama 24 jam. Isolat B. subtilis (Koleksi D.S Utami) disiapkan dengan medium Nutrient Broth dan digojog selama 2 hari pada kecepatan dan suhu yang sama.

Penyiapan medium tanam dan bahan tanaman

(4)

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 6 ulangan dan tiap perlakuan terdiri atas tiga bibit tanaman. Perlakuan yang dicoba adalah K0 = tanpa ekstrak bakteri antagonis, tanpa inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, K1 = tanpa ekstrak bakteri antagonis + inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, P1= ekstrakP. fluorescens P60 + inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, P2 =ekstrakP. fluorescens P32 + inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, dan Bs= ekstrak B. subtilis + inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense. Bonggol bibit pisang direndam dalam larutan ekstrak bakteri antagonis selama 5 menit, kemudian ditanam dalam medium pasir steril. Setelah 1 minggu, dilakukan inokulasi dengan menyiramkan suspensi Foc sebanyak 20 ml/tanaman.ke daerah perakaran tanaman, yang telah dilukai dengan pisau steril. Pemeliharaan dilakukan dengan pemupukan menggunakan larutan Hoagland (Lo, 2002).

Variabel dan Pengukuran

Variabel dan pengukuran yang diamati dalam penelitian ini adalah 1) komponen patosistem, terdiri atas masa inkubasi yang dihitung sejak inokulasi patogen sampai munculnya gejala pertama, dalam satuan hari setelah inokulasi (hsi), keparahan penyakit dengan menggunakan kategori serangan atau skala kerusakan mengacu pada skala kerusakan menurut Mak et al. (2008), yaitu untuk gejala pada daun, skala 1 = tidak ada infeksi (tanaman sehat), 2 = daun sedikit menguning, 3 = sebagian besar daun menguning, 4 = semua daun menguning, dan 5 = tanaman mati; sedangkan gejala pada akar, skala 1 = jaringan pada bagian atau sekitar bonggol tidak ada perubahan warna, 2 = tidak ada perubahan warna pada bagian bonggol, perubahan warna terdapat pada bagian yang berhubungan dengan akar, 3 = perubahan warna 0 - 5%, 4 = perubahan warna 6 - 20%, 5 = perubahan warna 21 - 50%, 6 = perubahan warna > 50%, 7 = perubahan warna mencapai bonggol tanaman, dan 8 = tanaman mati. Menurut Mak et al. (2008), keparahan penyakit (DSI) pada daun dan akar dihitung dengan rumus:

∑ (Nilai kategori x jumlah bibit tiap kategori serangan) DSI = ∑ (Jumlah bibit yang diamati)

Selanjutnya dimasukkan ke dalam kelompok ketahanan menurut Skala DSI Skala DSI untuk LSI Skala DSI untuk RDI Keterangan

1 1 Tahan

1,1 – 2 1,1 – 3 Toleran

2,1 – 3 3,1 – 5 Rentan

3,1 – 4 5,1 – 8 Sangat rentan

(5)



Keterangan: r = laju infeksi, Xo = proporsi penyakit awal, Xt = proporsi penyakit pada waktu t, dan t = waktu pengamatan, keefektifan antagonis, dihitung berdasarkan Djaya et al. (2003), yaitu:

Keterangan: Ea = keefektifan antagonis, IPk = Intensitas penyakit pada kontrol /tanpa perlakuan, dan IPp = Intensitas penyakit pada perlakukan, jumlah akar terinfeksi, dihitung pada akhir penelitian. 2) komponen pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh tertinggi, jumlah daun, dihitung pada akhir pengamatan, dan bobot basah akar, ditimbang pada akhir pengamatan. 3) analisis jaringan tanaman, dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenol secara kualitatif. Senyawa fenol yang diuji adalah glikosida, saponin, dan tanin, menurut Chairul (2003). Selain itu, juga diuji penghambatan perkecambahan konidium jamur untuk mengetahui persentase penghambatan metabolit sekunder yang dihasilkan terhadap perkecambahan konidium patogen, menurut Wirianata (2004) yang dimodifikasi. Pengamatan perkembangan jamur di dalam tanaman dilakukan dengan mengisolasi akar dan bonggol tanaman. Akar dan bonggol yang akan diamati dipotong kemudian direndam dalam dalam larutan kloroks 1% selama ± 3 menit, dicuci dua kali, dikeringkan, dipotong lebih kurang 1 cm, diisolasi pada medium PDA, dan diinkubasi minimum 5 hari. Isolat yang tumbuh diamati melalui mikroskop dengan pewarnaan menggunakan lactophenol cotton blue. Selain itu, dilakukan pula pengamatan dengan cara membuat irisan melintang akar, diwarnai dengan lactophenol cotton blue, dan diamati menggunakan mikroskop.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang dicoba. Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan DMRT pada tingkat kesalahan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Senyawa Fenol

Hasil pengujian menunjukkan adanya peningkatan kandungan senyawa glikosida, saponin, dan tanin setelah diperlakukan dengan ekstrak bakteri antagonis (Tabel 1).

(6)

Perlakuan Glikosida Saponin Tanin

K0 + + +

K1 + ++ +

P1 +++ +++ +++

P2 +++ ++ +

Bs +++ +++ +

Keterangan: - = tidak ada kandungan fenol, + = sedikit fenol, ++ = cukup fenol, +++ = banyak fenol. K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1 = F. oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 = Ekstrak P. flourescens P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 + F. oxysporum, dan Bs = Ekstrak B. subtilis + F. oxysporum.

Akar dan bonggol tanaman pisang yang telah diimbas dengan bakteri antagonis menunjukkan perbedaan kandungan glikosida dibandingkan dengan kontrol. Tanaman pisang yang diperlakukan dengan P1, P2, dan Bs menunjukkan peningkatan kandungan glikosida, saponin, dan tanin (Tabel 1). Peningkatan kandungan glikosida diduga karena ekstrak bakteri antagonis mampu meningkatkan kadar senyawa fenol pada tanaman pisang. Menurut Nio (1989) dan Chairul (2003), glikosida merupakan senyawa antara karbohidrat dan zat lain yang dinamakan radikal aglikon, yang terdapat pada berbagai jenis tetumbuhan tinggi dan memberikan pengaruh fisiologis. Seperti halnya kandungan glikosida, saponin diduga berperan dalam pengaktifan sistem pertahanan tanaman terhadap patogen. Nio (1989) menyatakan bahwa saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian tertentu, yang dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Perlakuan P1 yaitu pengimbasan ekstrak bakteri antagonis P. fluorescens P60 menunjukkan kandungan tanin paling tinggi dibanding perlakuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengimbasan dengan ekstrak P. fluorescens P60 mampu mengaktifkan mekanisme pertahanan tanaman yang sebelumnya sudah ada. Menurut Agrios (2005), senyawa fenol dan tanin terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam sel daun atau buah yang masih muda, dan diperkirakan bertanggung jawab dalam ketahanan jaringan yang masih muda tersebut terhadap mikroba patogen seperti Botrytis.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Komponen Patosistem

Berdasarkan hasil penelitian, pengimbasan dengan ekstrak bakteri antagonis berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi, keefektifan antagonis pada daun dan bonggol, serta kepadatan konidium Fusarium akhir. Akan tetapi, tidak memengaruhi keparahan penyakit, laju infeksi, dan jumlah akar terinfeksi (Tabel 2).

(7)
(8)

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap komponen patosistem Perlakuan Masa

inkubasi (hsi)

(Keparahan Penyakit)tn Laju infeksi (unit/hari)tn

Kepadatan Fusarium akhir (n x 107/g tanah)

Keefektifan

antagonis(%) Jumlahakar terinfeksi

(%) tn

Tingkat keparahan Pada

Daun

Pada bonggol

Pada daun

Pada bonggol

K0 72,500 b 1,31 3,05 0,00302 0,19 b 0,00 b 0,00 b 66,44 Toleran

K1 44,667 a 1,52 3,38 0,00439 1,47 a 0,00 b 0,00 b 81,93 Rentan

P1 76,333 b 1,23 1,99 0,00263 1,23 a 19,67 a 31,51 a 60,52 Toleran

P2 75,167 b 1,26 2,94 0,00335 0,82 ab 20,58 a 25,88 ab 64,73 Toleran

Bs 52,500 ab 1,51 3,33 0,00522 1,49 a 14,06 ab 12,03 ab 67,74 Rentan

(9)

Hasil penelitian menunjukkan, terjadi beda nyata antarperlakuan pada masa inkubasi (Tabel 2). Perlakuan K1 berbeda nyata dengan perlakuan K0, P1, dan P2, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan Bs. Nilai rerata perlakuan menujukkan bahwa K1 memiliki masa inkubasi tercepat sebesar 44,67 hari setelah inokulasi (hsi). Hal ini diduga karena patogen lebih cepat beradaptasi dan menginfeksi akar tanaman pisang dibandingkan dengan perlakuan lain. Masa inkubasi terlama terjadi pada perlakuan P1 atau terjadi perlambatan masa inkubasi sebesar 41,49%.

Perbedaan masa inkubasi pada perlakuan diduga dipengaruhi oleh senyawa fenol yang dihasilkan oleh bibit tanaman pisang. Bibit tanaman pisang yang diimbas dengan ekstrak P. fluorescens P60 (P1), menunjukkan kandungan glikosida, tanin, dan saponin yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 1). Hal ini diduga bahwa pengimbasan dengan P1 menimbulkan ketahanan sistemik karena senyawa yang terdapat dalam ekstrak mampu diserap lebih cepat oleh tanaman. Menurut Semangun (2001), tanaman yang tahan maupun yang rentan menghasilkan fitoaleksin, tetapi tanaman yang tahan membentuknya lebih cepat dan lebih banyak, dan senyawa fenol berkadar tinggi terdapat dalam jaringan muda yang tahan terhadap patogen.

2. Keparahan Penyakit

Keparahan penyakit memiliki hubungan yang erat dengan masa inkubasi. Keparahan penyakit didasarkan pada keparahan daun dan bonggol (Tabel 2). Berdasarkan hasil pengamatan, rerata keparahan penyakit pada daun lebih rendah daripada keparahan penyakit pada akar atau bonggol. Hal ini diduga karena infeksi patogen belum mencapai seluruh bagian tanaman dan baru menginfeksi bagian akar dan bonggol. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardinus (2006), bahwa gejala sekunder yaitu gejala yang terjadi di tempat lain pada tanaman, merupakan akibat dari kerusakan pada bagian yang menunjukkan gejala primer.

(10)

keparahan penyakit masing-masing sebesar 19,07 dan 41,12%. Rendahnya keparahan penyakit diduga karena tingkat kevirulenan patogen yang rendah dan adanya faktor lingkungan yang dapat memacu atau menghambat pertumbuhan patogen. Agrios (2005) menyatakan bahwa terjadinya suatu penyakit mempunyai hubungan yang erat adanya patogen virulen, faktor inang yang rentan terhadap serangan patogen, dan kondisi suhu yang mendukung untuk perkembangan penyakit.

3. Laju Infeksi

Rendahnya angka laju infeksi diduga bertalian dengan rendahnya keparahan penyakit, yang disebabkan adanya patogen yang virulen sehingga tanaman gagal melakukan mekanisme pertahanan. Menurut van Loon et al. (1998), semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan serangan patogen. Mekanisme tersebut gagal ketika tanaman diinfeksi oleh patogen virulen karena patogen mencegah adanya reaksi ketahanan atau menghindari pengaruh pengaktifan ketahanan. Apabila mekanisme ketahanan dapat dipicu lebih dulu sebelum adanya infeksi patogen tanaman., maka penyakit dapat dikurangi.

4. Kepadatan Fusarium akhir

Kepadatan awal patogen sebesar 10,4 x 107 konidium per ml larutan, yang berarti bahwa terdapat penurunan terhadap jumlah akhir konidium patogen sebesar 85,86%. Hasil analisis statistika kepadatan konidium menunjukkan bahwa K1 berbeda nyata dengan P2, tetapi tidak berbeda dengan P1 dan Bs. Hal ini menunjukkan bahwa mengimbasan dengan ekstrak P. fluorescens P32 (P2) mampu menurunkan jumlah konidium patogen. Menurut Oka (1993), epidemiologi perkembangan suatu penyakit, termasuk layu Fusarium ditentukan oleh jumlah inokulum awal dan laju infeksi dalam satuan waktu. Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk mengendalikan penyakit, inokulum patogen harus dihilangkan atau dikurangi.

5. Keefektifan Antagonis

(11)

19,67 dan 20,58%. Pada bonggol, perlakuan paling efektif terjadi pada perlakuan

P1 yaitu 31,51%. Menurut Maryani dan Kasiamdari (2004), dinding sel yang terinfeksi mengalami peningkatan pembentukan senyawa penyusunnya, terutama lignin, suberin, kutin dan senyawa fenol lainnya sebagai perlindungan diri.

6. Jumlah Akar Terinfeksi

Perlakuan pengimbasan dengan ekstrak Pseudomonas fluorescens P60 (P1), P. fluorescens P32 (P2) menunjukkan rerata jumlah akar terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga adanya pengaruh lingkungan selama penelitian sehingga memengaruhi penyebaran dan perkembangan penyakit, terutama rerata suhu dan kelembapan sebesar 340C dan 80%. Menurut Semangun (2002), penyebaran penyakit ke tanaman lain dapat terjadi melalui aliran air, atau alat pertanian yang terkontaminasi.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Bibit Pisang

Parameter pertumbuhan yang digunakan adalah pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot basah akar, yang dihitung pada akhir pengamatan. Data hasil penelitian terhadap komponen pertumbuhan tanaman menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dari tiap perlakuan (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman Perlakuan Tinggi tanaman

(cm)tn

Jumlah daun (helai)tn

Bobot basah akar (g)tn

K0 44,70 5,40 5,763

K1 42,10 5,30 5,333

P1 46,60 5,90 6,127

P2 45,50 5,60 6,470

Bs 40,90 5,00 5,022

Keterangan: K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1 = F. oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 = Ekstrak P. flourescens P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 + F. oxysporum, dan Bs = Ekstrak B. subtilis + F. oxysporum. tn = tidak nyata.

(12)

daun dan bobot basah akar menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata pada semua perlakuan yang dicoba. Hal ini diduga bahwa F. oxysporum belum sampai menginfeksi ke batang palsu tanaman pisang, sehingga tinggi tanaman dan jumlah daun relatif seragam karena untuk dapat menginfeksi seluruh tubuh tanaman membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut Hadisutrisno (2004), penyakit layu Fusarium dan penyakit tanaman karena Fusarium sp. mempunyai perkembangan penyakit yang relatif lambat.

Pengaruh Perlakuan terhadap Perkecambahan Konidium Jamur dan Keberadaan Fusarium di dalam Tanaman

Tabel 4. Konidium yang berkecambah dan keberadaan Fusarium Perlakuan Konidium yang

berkecambah (%)

Keberadaan Foc (%)tn Pada akar Pada bonggol

K0 15,87 10,00 10,00

K1 47,00 50,00 50,00

P1 15,59 30,00 30,00

P2 29,19 30,00 30,00

Bs 42,13 20,00 20,00

Keterangan: K0 = Tanpa ekstrak bakteri antagonis + tanpa F. oxysporum, K1 = F. oxysporum tanpa ekstrak bakteri antagonis, P1 = Ekstrak P. flourescens P60 + F. oxysporum, P2 = Ekstrak P. flourescens P32 + F. oxysporum, dan Bs = Ekstrak B. subtilis + F. oxysporum. tn = tidak nyata.

1. Perkecambahan Konidium Jamur

Ekstrak tanaman dari akar dan bonggol berbeda antarperlakuan terhadap besarnya persentase perkecambahan konidium jamur patogen (Tabel 4). Pada kontrol positif, persentase perkecambahan spora menunjukkan nilai tertinggi, yaitu 47%, kemudian diikuti perlakuan Bs, P2, K0, sedangkan persentase perkecambahan konidium terendah terdapat pada perlakuan P1, sebesar 15,59% atau terjadi penurunan sebesar 31,41%. Menurut Firmansyah (2008), peningkatan aktivitas mekanisme pengimbasan ketahanan tanaman dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Bakteri antagonis berperan sebagai faktor biotik yang menghambat infeksi patogen, dan senyawa fenol yang dihasilkan oleh bibit tanaman pisang merupakan faktor abiotik.

(13)

Adanya Fusarium yang menginfeksi tanaman dibuktikan dengan isolasi jamur Fusarium pada akar dan bonggol yang terinfeksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap keberadaan F. oxysporum. Berdasarkan hasil rerata keberadaan F. oxysporum pada akar dan bonggol, kontrol positif tetap menunjukkan jumlah tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yaitu masing-masing 50 dan 60%.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dapat berjalan karena bantuan berbagai pihak; untuk itu diucapkan terima kasih kepada Nur Azizah dan Chaerul Basir atas bantuan teknisnya.

SIMPULAN

1. Ekstrak bakteri antagonis P. flourescens P60 dan P. flourescens P32 berpotensi mengimbas ketahanan penyakit layu Fusarium pada bibit tanaman pisang Raja, yang ditunjukkan dengan peningkatan kandungan senyawa fenol, yaitu glikosida, saponin, dan tanin.

2. Ekstrak bakteri antagonis berpotensi P. flourescens P60 dan P. flourescens P32 menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pada bibit pisang Raja, yang ditunjukkan pada perlambatan masa inkubasi selama 76,333 dan 75,167 hari setelah inokulasi (hsi) dengan keefektifan antagonis pada bonggol sebesar 31,51 dan 25,88%; sedangkan pada daun sebesar 19,67 dan 20,58%.

3. Ekstrak bakteri antagonis belum mampu meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman pisang Raja.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, Fifth Edition. Academic Press, California. 922 hal.

Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1996. Introductory of Mycology. John Willey and Sons, New York. 632 pp.

Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

(14)

Chairul. 2003. Identifikasi Secara Cepat Bahan Bioaktif Pada Tumbuhan di Lapangan. Berita Biologi 6(4): 621-628.

Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. 2005. Road Map Pisang: Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pisang. (On-line).

http://www.gribisnis.web.id/layana/data/01_profilorganisasai/rencanastrate gi/lampiranroadmap/Road%20map%20pisang.pdf Diakses 20 Agustus 2008.

Ditjen PPHP Departemen Pertanian. 2005. Potensi Investasi Pisang di Indonesia. (On-line). http:/agribisnis.deptan.go.id/index.php? files=Berita_Detail&tbl=berita&idberita=341&drt=9. Diakses 20 Agustus 2008.

Djaya, A.A., R.B. Mulya, Giyanto, dan Marsiah. 2003. Uji Keefektifan Mikroorganisme dan Bahan Organik terhadap Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Tomat. Prosiding Kongres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah PFI, Bandung, 6-8 Agustus 2003. Hal. 61-70. Domsch, K.H., W. Gams dan T.H. Anderson. 1993. Compedium of Soil Fungi.

IHW-Verlag. Eching. 859 hal.

Dwijoseputro. 1982. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta. 188 hal. EPA. 1997. Bacillus subtilis Final Risk Assessment.

http://www.epa.gov/oppt/biotech/pubs/fra/fra009.htm. Diakses 20 Agustus 2008.

Firmansyah, R. 2008. Potensi Bakteri Endofit Dan Filoplen Asal Daun Mucuna pruriens Linn. dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman dan Menekan Penyakit Bercak Daun (Cercospora sp.) pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). http://www.scribd.com/doc/7681332/-Potensi-Bakteri-Endofit-Dan-Filoplen-Asal-Daun-Mucuna-Pruriens-Linn-Dalam Memacu-Pertumbuhan-Tanaman-dan-Menekan-Penyakit-Bercak-Daun-Cercospora-sp-p?autodown=pdf. Diakses 24 Januari 2009.

Goto, M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathogen. Academic Inc., San Diego, California. 342p.

Hadisutrisno, B. 2004. Taktik dan Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Gangguan Penyakit Layu Fusarium. Hal. 26-35. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Symposium Nasional I Tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.

Hanudin, E. Sutarya, S. Mihardja dan I. Sanusie. 2008. Mikroba antagonis Agen Pengendali Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur. Haryono,J. 2007. Pengaruh Pemateuran Medium Tanam dan Pengendalian Hayati

(15)

Plants. FAO. (On-line). http://www.fao.org/docrep/007/ae216e0k.htm. Diakses 23 Juli 2008.

Mansfield, J.W. 2000. Antimikrobial Compounds and Resistance. Pp. 325-370. In: A.J. Slusarenko, R.S.S. Fraser, and L.C. van Loon (eds), Mechanisms of Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publiser, London.

Mardinus. 2006. Jamur Patogenik Tumbuhan. Andalas University Press, Padang. Maryani and R.S. Kasiamdari. 2004. Kenampakan anatomis Jaringan Tanaman

kedelai [Glycine max (L) Merr.] Terinfeksi Jamur Mikroskopis. Hal. 150-159. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Symposium Nasional I Tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.

Misaghi, I.J. 1982. Physiology and Biochemistry of Plant-Pathogen Interaction. Plenum Press, New York.

Nasir, N. dan Jumjunidang. 2004. Identifikasi Ras Fusarium oxysporum f.sp. cubense pada Pisang Menggunakan Metode Volatile Odour Test dan Vegetative Compatibility Group Test. Hal. 70-81. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Symposium Nasional I Tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.

Nio, O.K. 1989. Zat-zat Toksik yang Secara Alamiah Ada pada Bahan Makanan Nabati. Cermin Dunia Kedokteran 58:24-28.

Oka, I.N. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 92 hal.

Rokhlani. 2005. Potensi Pseudomonas fluorescens P60, Trichoderma harzianum, dan Gliocladium sp. dalam Menekan Fusarium oxysporum f.sp. gladioli in vitro dan in planta. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal

Sastrahidayat, I.R. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya. 366 hal.

Schaad, N.W. 1980. Laboratory Guide for Identification of Plat Pathogenic Bacteria. Bacteriological Committee of The American Phitopathological Society, St. Paul, Minnesota. 67 hal.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

____________. 2002. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Soesanto, L dan A.J. Termorshuizen. 2001. Potensi Pseudomonas fluorescens P60 sebagai Agensia Hayati jamur-jamur Patogen Tular Tanah. Prosiding Kongres XIV dan Seminar Nasional PFI, Bogor. Hal. 183-186.

---. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

(16)

Layu Pisang di Propinsi Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (3): 405-416.

Sunarjono, H. 2004. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta. 96 hal.

Supriadi. 2006. Analisis Resiko Agens Hayati untuk Pengendalian Patogen Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 25(3): 75-80.

Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

van der Plank, J.E. 1963. Plant Diseases: Epidemics and Control. Academic Press, New York.

van Loon, L.C., P.A.H.M. Bakker, and C.M.J. Pieterse. 1998. Systemic Resistance induced by rhizosphere bacteria. Annu. Rev. Phytopathol. 36:453-483. Widono, S., C. Sumardiyono, dan B. Hadisutrisno. 2003. Pengimbasan Ketahanan

Pisang Trehadap Penyakit layu Fusarium dengan Burkholderia cepacia. Agrosains 5(2): 72-79.

Gambar

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap komponen patosistem
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman
Tabel 4. Konidium yang berkecambah dan keberadaan Fusarium

Referensi

Dokumen terkait

43 Menurut Ginting dkk (2008) yang menyatakan bahwa sudah saatnya pembangunan tidak lagi diletakkan pada kekuatan sumber daya alam, tetapi pada kekuatan sumber

Bila tujuan agama, melindungi ke- turunan manusia, berarti pula seluruh benih-benih manusiapun dilindungi, maka ovum-ovurnnyapun dihormati dalam arti tidak boleh dijadikan

Hasil penelitian berupa crossplot dan struktur geologi lapangan Penobscot dengan analisis atribut seismik dan metode SCI untuk memberikan pola sebaran AI yang

Sehingga kelimpahan Harpacticoida akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman [18] Berbeda dengan Harpacticoida, Nematoda adalah taksa meiofauna yang

Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem yang dibuat bagi pekerja sebagai upaya pencegahan timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metoda ekstraksi dan ukuran benih yang terbaik untuk benih hasil pemuliaan dan yang belum dimuliakan, yaitu : (1) Ekstraksi benih dengan

Jika kita mengacu pada pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa 8 ³%XPL GDQ DLU GDQ NHND\DDQ DODP \DQJ WHUNDQGXQJ di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

Baru-baru ini dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan dari flywheel, yakni pada sistem suspense, akan tetapi selama ini penelitian yang dilakukan terbatas