• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN SEJARAH DALAM PUISI Sebuah Kajia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CATATAN SEJARAH DALAM PUISI Sebuah Kajia"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN SEJARAH DALAM PUISI

(Sebuah Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur pada Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” Karya Alifdal)

1. Latar Belakang

Alifdal adalah nama pena dari Anwar Dharma. Disamping itu ia juga memiliki banyak nama lainnya, seperti Dharmawati, Andhar, dan Andi Massani. Pernah menjadi redaktur luar negeri Harian Rakyat, Organ PKI dan kemudian mendapatkan tugas sebagai koresponden Harian Rakyat berkedudukan di Moskow, yang ketika itu merupakan Ibu Kota USSR. Disebabkan adanya perbedaan politik dengan pemerintah Uni Sovyet, Anwar diusir dan terpaksa pindah ke Cina. Dari sana ia mendapat tugas ke Albania. di Ibukota Albania, Tirana, ia memimpin redaksi majalah API (singkatan dari Api Pemuda Indonesia), penanggungjawab siaran bahasa Indonesia Radio Tirana dan anggota redaksi majalah bahasa Inggris Indonesian Tribune. Kemudian oleh pemimpin delegasi PKI, ia ditarik kembali ke Cina dan meninggal dunia di Beijing pada tanggal 11 Mei 1984.

Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” merupakan salah satu puisi karya sastrawan-sastrawan PKI yang masih tersisa. Karena sejak pergolakan politik pada tahun 1965, banyak karya sastrawan-sastrawan PKI, baik yang tergabung dalam Lekra maupun yang ada di luar negeri dihancurkan dan dilarang terbit. Pasca reformasi tahun 1998, puisi-puisi yang hanya beredar dalam kalangan terbatas, sesama tapol dan napol, bermunculan satu persatu. Sebagian besar puisi karya para tapol dan napol tersebut berisi memoar perjalanan hidup mereka sejak diasingkan, selama menjalani masa tahanan, hingga masa pembebasannya.

(2)

pembaca untuk terlibat secara emosional dalam kejadian yang tercatat di dalamnya.

Arif Bagusprasetia (2002) menyatakan bahwa; “Sastra tidak pernah lahir dalam tabung vakum sejarah. Sastrawan penciptanya, bahkan setiap orang, senantiasa hidup dalam, dan dihidupi oleh, sejarah yang tertanam dalam ruang ingatan pribadi, sering tanpa disadari. Sungguh patut disayangkan, betapa mudah melupakan sejarah. Begitu banyak dari kita menganggapnya tidak penting, menyekapnya di balik urgensi persoalan hari ini dan impian hari depan. Padahal, hilangnya kesadaran sejarah, terhapusnya tilas waktu yang berlalu bisa menjerumuskan kita ke dalam lubang lingkaran-setan. Kesalahan dan tragedi akan terus menerus diulang.”

Berdasarkan latar belakang di atas kiranya perlu dilakukan kajian terhadap Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mengungkap kebenaran sejarah yang tertuang dalam puisi tersebut. Sehingga pembaca mendapatkan pengetahuan baru terkait dengan pencatatan sejarah yang perlu dilengkapi. Kajian akan dilakukan dengan Kajian Hermeneuitika Paul Ricoeur. Paul Ricoeur membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya

2. Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Struktur Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati ?

2. Bagaimanakah Latar Belakang penulisan Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati ?

3. Bagaimanakah hubungan Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati dengan teks lainnya?

(3)

3. Analisis a. Kajian Teori

1) Sekilas tentang Hermenetika

Menurut bahasa, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan (Sumaryono, 1999:23). Asal kata hermeneutik, dari kata hermes, dewa dalam mitologi Yunani. Dewa Hermes ini bertugas sebagai penghubung antara Sang Maha Dewa di langit dengan para manusia di bumi. Sebetulnya, secara theologis, peran Dewa Hermes bisa dianalogikan dengan peran Nabi utusan Tuhan. Tugas Nabi utusan Tuhan, sebagai penerang sekaligus juga penghubung untuk menyampaikan pesan dan atau ajaran dari Tuhan kepada umat manusia. Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan, yang disandarkan pada Hermes ini, tercakup dalam 3 (tiga) bentuk makna dasar hermeneuein dan hermenia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentukan kata kerja hermeneuein, ialah: 1. Mengungkapkan kata-kata, 2. Menjelaskan suatu kondisi, dan 3. Menerjemahkan bahasa asing. Ketiga makna tadi, bisa diwakili kata kerja bahasa Inggris to interpret, yang membentuk makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Karena itu, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda, yaitu: 1. Pengucapan lisan, 2. Penjelasan yang masuk akal, dan 3. Penerjemahan dari bahasa lain (Palmer: 2005:15-16).

(4)

antara pembaca dengan teks dan sang pengarang, pasti menimbulkan keterasingan dan kesenjangan, bahkan bukan suatu mustahil, penyimpangan. Masalah keterasingan inilah yang menjadi tekanan hermeneutika sebagai sebuah teori, hingga pemahaman teks dalam hermeneutika mengharuskan perbedaan antara makna teks dan signifikansi konteks. Ada 3 (tiga) yang terlibat dalam proses pemahaman, penafsiran dan pemaknaan atas suatu teks, yaitu dunia pengarang, dunia teks dan dunia pembaca (the world of the text, the world of author and the world of reader). Berkaitan dengan peringatan di atas, maka ada gambaran dalam hermeneutika. Gambaran struktur triadik seni interpretasi tersebut adalah: 1. Tanda (sign) atau pesan (message) atau teks (text), 2. Perantara atau penafsir dan 3. Audiens.

Hermeneutika, bagaimanapun bisa dipahami sebagai ilmu yang berusaha untuk merefleksikan tentang bagaimanakah suatu teks itu merupakan wahana yang merekam gagasan-gagasan atau peristiwa-peristiwa (events) yang sudah berlangsung lama, dimungkinkan untuk dapat dipahami dengan benar dan secara eksistensial bisa mempunyai makna dalam kondisi kekinian kita.

Suatu teks yang merupakan produk yang telah berlalu itu, di dalam hermeneutika harus bisa mendorong untuk berdialog dengan penafsir maupun audiensnya yang keberadaannya tidak bersamaan waktu dan tempatnya, yang baru dan kulturnya berbeda pada sepanjang sejarah. Sungguhpun begitu, hermeneutika bukanlah berarti asal memindahkan teks tersebut ke dalam konteksnya yang baru dengan sembarangan. Mengapa? Hal ini disebabkan jika pemindahan semena-mena itu dilakukan, maka ada kesan yang tidak dapat dihindari bahwa teks tersebut seakan-akan turun begitu saja kepada masyarakat yang statis, masyarakat yang tidak mengenal perubahan. Itu hal yang mustahil.

(5)

Jika hal ini dianalogikan dengan suatu gerakan, maka hermeneutika itu bergerak dari masa kini, dengan horison kekinian ke masa yang telah lewat di mana teks tersebut muncul dengan horison masa lalunya. Lebih dari itu, masa lalu itu bertemu dengan horison masa kini.

Hermeneutika sangat menentukan antara kesadaran dengan objeknya. Harus ada kesadaran terhadap sejarah yang akan menjelaskan makna teks dan membuatnya rasional. Selanjutnya ada kesadaran praktis untuk mempergunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis untuk tindakan praktis. Atas dasar tatanan itu, maka tidak hanya menyangkut proses pemahaman dan penafsiran saja dalam menggunakan pendekatan hermeneutika untuk menginterpretasikan suatu teks. Namun lebih dari itu, harus dimulai dari keberanian untuk melakukan kritik historis, kemudian dilanjutkan dengan kritik eiditis serta diteruskan dengan kritik praktis. Dengan menengok masa lalu, hermeneutika telah dipergunakan untuk memahami pesan yang telah dikenal dan dipakai dalam meneliti teks-teks kuno yang otoritatif di bidangnya, seperti kitab suci atau dokumen sejarah dan juga termasuk karya sastra.

2) Tokoh-tokoh Hermeneutika

Menurut Palmer (2005), Sumaryono (1999), dan Rahardjo (2007), beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, ya itu pertama Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.

Kedua, Wilhelm Dilthey (1833 -1911), tokoh hermeneutika metodis, berpendapat bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian men gekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.

(6)

membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias -bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.

Keempat, Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.

Kelima, Hans Georg Gadamer (1900 -2002), tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya , kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.

Keenam, Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.

Ketujuh Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.

Kedelapan, Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

3) Hermeneutika Paul Ricoeur

(7)

text”. Berdasarkan pengertian ini Ricoeur kemudian mengatakan, “So, the key idea will be the realisation of discourse as a text; and elaboration of the

catagories of the text will be the concern of subsequent study”.

Discourse (wacana) sendiri, dilihat Ricoeur sebagai sesuatu yang lahir dari tuturan individu. Dalam hal ini Ricoeur menyinggung teori linguistik Ferdinand de Saussure yang diperbandingkan dengan konsep Hjemslev. Saussure, dalam Course in Linguistic General (1974) membedakan bahasa dalam dikotomi tuturan individu (parole) dengan sistem bahasa (langue). Sedangkan Hjemslev mengkategorikan-nya dalam skema dan penggunaan. Dari dualitas inilah, menurut Ricoeur, teori tentang wacana (discourse) lahir. Dalam perspektif Ricoeur, parole atau ujaran individu identik dengan wacana (discourse). Menurut Ricoeur, wacana berbeda dengan bahasa sebagai sistem (langue).

Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur. Karakter peristiwa sendiri merujuk pada orang yang sedang berbicara. Ricoeur menulis, “The eventful character is now linked to the person who speaks; the event consists in the fact that someone speaks, someone expresses himself in

taking up speech” (1981: 133). Selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat empat unsur pembentuk wacana, yakni terdapatnya subjek yang menyatakan, isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, alamat yang dituju, dan terdapatnya konteks (ruang dan waktu). Dalam wacana terjadi lalu-lintas makna yang sangat kompleks.

(8)

Aspek yang dimaksud menyangkut juga biografi kreator (seniman) dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir. Ricoeur, dengan merujuk pada Dilthey, menyebutnya sebagai lingkaran hermenetik (hermeneutical circle) (1981: 165).

Ricoeur menawarkan empat kategori metodologis sebagai jawabannya, yakni objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi (pemahaman diri). Dua yang pertama merupakan kutub objektif. Hal ini penting sebagai prasyarat agar teks bisa mengatakan sesuatu. Objektivasi melalui struktur adalah usaha menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks3. Di sini tampak bahwa hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menguraikan teks (objek yang ditafsirkan).

Namun begitu, analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian struktural demikian. Bergerak lebih jauh dari kajian struktur, analisis hermeneutika melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Bagaimanapun berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antarelemen tersebut. Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya: psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah, dan lain-lain. Ini yang dimaksud dengan distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan (Haryatmoko, 2002).

(9)

(1) Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.

(2) Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.

(3) Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.

(4) Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.

(5) Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.

Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.

Menurut Ricoeur, karya wacana atau karya literer ditandai tiga unsur formal yang membentuknya yaitu komposisi, genre, dan gaya bahasa. Ketiganya digunakan untuk memaknai karya yang dalam pemaknaan hermeneutik Ricoeur disebut sense atau makna tekstual yakni makna yang terbangun dari hubungan antartanda yang ada dalam teks sendiri juga mencari makna tekstual dalam keutuhannya. Komposisi adalah struktur otonom semantik karya sastra, genre adalah jenis karya sastra, dan gaya adalah gaya bahasa yang digunakan pengarang yang menjadi ciri khas karyanya.

(10)

di luar teks. Sedangkan pemahaman merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada di luar teks yang disebut sebagai makna kontekstual. Pemahaman sepenuhnya diperantarai oleh seluruh prosedur penjelasan yang mendahuluinya dan mengiringinya. Jadi, analisis struktural adalah mediasi untuk memahami teks yang berarti mengikuti pergerakannya dari pengertian kepada rujukan, dari apa yang ia katakan kepada tentang apa yang dibicarakannya.

Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak pernah lepas dari unsur bahasa sebagai medianya, sebab bahasa merupakan sarana seseorang mengungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, meng -apresiasi karya. Di sisi lain, pembicaraan tentang interpretasi terhadap teks untuk dicari maknanya terkait erat dengan her -meneutika. Hermeneutika teks dalam konteks diri manusia dengan relasi sosialnya dan dalam relasi berbahasa dan berelasi sistem tanda itulah dirumuskan “siapa aku/diri ini dan siap diri yang lain itu? Contoh yang baik terdapat dalam bahasa Indonesia sastrawi yang dieks -plorasi Pramoedya Ananta Toer. Ekspresi kreatif kode bahasa dan konvensi egaliter bahasa Indonesia Pram secara tajam mengungkapkan perlawanan terhadap strategi feodal budaya jawa yang memperbudak Nusantara ditambah kolonialisme sehingga menjadi bangsa yang kerdil. Bahasa Pram mengungkapkan perlawanan terhadap kultur yang menindas agar kemerdekaan diri dan kemerdekaan bangsalah yang dimenangkan (Sutrisno, 2004:4-5).

(11)

b. Pemaknaan Terhadap “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” 1) Segi Struktur

Analisis struktural akan dilakukan dengan menyajikan contoh secara acak. Balada Api 26 Tak Pernah Mati

I

dan prambanan (1) suara menggelegar: ”siap memimpin dan mengangkat senjata tumbangkan pemerintah kolonial belanda!”

ke Jakarta, Banten, dan Periangan ke Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, di mana-mana semangat menyala tekad utama: berani dan setia

biar darah tertumpah, mati menanti, demi rakyat, demi kemerdekaan.

Sawahiunto, Padang-Sibusuk, dan Silungkang, dan rakyat di Kalimantan Barat, bangkit perkasa bertekad bulat

untuk merdeka, untuk bebas.

(12)

komunis tak pernah surut di tengah jalan,

Korban yang gugur memupuk dendam ke tiang gantungan tak pernah muram di bibir Egom, Hasan, dan Dirja terkilas senyum perwira

dan pekik perkasa: hidup PKI! di mata Siroda, Siganjil dan Sipati memancar sinar kekuatan

tanah tinggi, gudang-arang dan tanah merah jauh, di hutan belantara Digul hulu,

namun mereka berlawan tak pemah menyerah karena mereka punya keyakinan:

“suluh dinyalakan dalam malam-mu

kami yang meneruskan kepada pelanjut angkatan.”(3)

Mereka bukan patah, bukan hilang tapi tumbuh dan berkembang

dalam dada generasi-generasi mendatang, semangat mereka pemberi ilham keberanian dan kesetiaan

angkatan demi angkatan.

(13)

III

Ketika di tepi hang maut ngalihan

Indonesia Raya dan internasionale dinyanyikan dan pekik perkasa melepas gema:

“aku mati untukmu,

Cipinang, Bukit Duri, dan Kali Sosok, sebut juga kamp-kamp konsentrasi Plantungan, Buru, dan di mana saja

di tengah-tengah bencah darah penyiksaan “12 november” selalu dinyanyikan,

komunis tak gentar, tak pernah takut menghadapi siksaan

dan regu penembak

di dadanya menyala api dendam yang tak pernah padam,

sebelum musuh rakyat dilenyapkan

sebelum tercapai kebebasan dan kemerdekaan.

Komunis bukan perindu warna-warni bianglala di kaki langit lenyap kembali,

tapi pejuang hari depan yang megah yang tak tercegah,

(14)

dan tak ada kekuatan fasis,

Api dendam dua-enam tak pemah padam bergaung di gunung-gunung disambut desa menyatu dengan gegap-gempita buruh di kota dan nelayan berdendang di tengah lautan sedang meraih pagi meninggalkan malam ke senjata, ke senjata!

***

Keterangan Tambahan di bawah Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” dalam Buku Balada Api 26,Kumpulan Puisi dan Cerpen:

(1) Konferensi CC PKI yang berlangsung pada tanggal 25 Desember 1925 di Prambanan, memutuskan untuk mencetuskan pemberontakan 12 November 1926.

(2) PARI (Partai Republik Indonesia) nama partai yang dibentuk Trotskis Tan Malaka, karena dia tidak menyetujui pemberontakan.

(3) Bagian dari bait sajak Aliarcham yang ditulis di Digul (4) Kompetai adalah polisi militer fasis Jepang

(5) Ucapan Amir Sjarifudin dan Suripno ketika akan ditembak di Ngalihan setelah teror putih peristiwa Madiun 1948

Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” di atas terdiri dari 4 bagian, 16 bait, 128 baris. Bagian pertama terdiri atas 5 bait, bagian dua terdiri atas 4 bait, bagian tiga terdiri atas 2 bait, dan bagian empat terdiri atas 5 bait. Bunyi a pada sebagian besar baris akhir baris dalam bait-bait puisi ini memberikan efek gelora semangat. Efek tersebut semakin terlihat dalam rangkaian kata yang bersemangat.

Kita bisa melihat gelora semangat ini mulai dari bait pertama: ....

(15)

gema perkasa partai tercinta partai proletar!

Kemudian dilanjutkan pada bait ketiga sebagai berikut: Kumpulkan senapang, asahlah parang,

pertajam tombak, kumpulkan uang, pemberontakan tak dapat ditunda-tunda tekad utama: berani dan setia

...

Pada tahun 1900-1928, perlawanan-perlawanan banyak dikobarkan melalui kelompok-kelompok. Namun kesadaran nasionalisme mulai nampak. Perjuangan dilakukan oleh kelompok-kelompok. Seperti misalnya kelompok komunis, kelompok Islam, kelompok nasionalis, dan lain-lain. Dalam puisi ini juga menggambarkan semangat yang dikibarkan oleh kelompok PKI.

Korban yang gugur memupuk dendam ke tiang gantungan tak pernah muram di bibir Egom, Hasan, dan Dirja terkilas senyum perwira

dan pekik perkasa: hidup PKI! ...

Semangat kelompok ini muncul dalam bait ke 9:

Senapang, penjara, dan pengasingan pengawal, tembok, dan kawat berduri tak kuasa membunuh PKI.

...

Hingga bait akhir puisi ini, semangat tersebut masih mencoba mengobarkan semangat juang. Seperti berikut ini:

...

(16)

Bab satu puisi ini berisi tentang perjalanan peristiwa pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada 12 November 1926. Berdasarkan catatan tambahan yang diberikan di bawah puisi, peristiwa pemberontakan tersebut sudah direncanakan sejak tanggal 25 Desember 1925. Rapat partai dilaksanakan di Prambanan pada tanggal 25 Desember 1925. Kemudian masing-masing utusan menyebarkan rencana pemberontakan tersebut ke kota-kota lain, bahkan hingga luar jawa. Seperti tergambar dalam bait berikut:

...

dan prambanan suara menggelegar: ”siap memimpin dan mengangkat senjata tumbangkan pemerintah kolonial belanda!”

Utusan-utusan komite pemberontakan menyebar ke seluruh nusantara

membawa pesan,

ke Jakarta, Banten, dan Periangan ke Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, ...

Persiapan pemberontakan tersebut dilaksanakan dengan segala upaya. Berdasarkan catatan tambahan di bawah puisi, persiapan dilakukan hampir satu tahun. Semangat mempersiapkan pemberontakan tergambar dalam bait berikut:

Kumpulkan senapang, asahlah parang, pertajam tombak, kumpulkan uang, pemberontakan tak dapat ditunda-tunda tekad utama: berani dan setia

biar darah tertumpah, mati menanti, demi rakyat, demi kemerdekaan ...

Maka pada tanggal yang sudah direncanakan tersebut, pecahlah berbagai pemberontakan terhadap Belanda. Berbagai wilayah di sebutkan dalam puisi ini, seperti terlihat dalam bait ke-4 berikut:

Nyala api dicetuskan sudah berkobar-kobar menjilat merah

(17)

Ciamis, Tasikmalaya, dan Padelarang, Solo, Boyolali, Banyumas,

Kediri dan Pekalongan,

Sawahlunto, Padang-Sibusuk, dan Silungkang, dan rakyat di Kalimantan Barat,

bangkit perkasa bertekad bulat untuk merdeka, untuk bebas. ...

Bab dua puisi ini menceritakan peristiwa perlawanan yang dilakukan oleh PKI kepada Belanda. Peristiwa tersebut digambarkan secara sederhana dalam puisi ini. Hingga kemudian banyak orang PKI yang asingken ke Digul. Namun kekalahan tersebut tidak menyurutkan semangat perlawanan yang dilakukan oleh PKI. Peristiwa peperangan yang terjadi digambarkan bait ke-6 sebagai berikut:

Korban yang gugur memupuk dendam ke tiang gantungan tak pernah muram di bibir Egom, Hasan, dan Dirja terkilas senyum perwira

dan pekik perkasa: hidup PKI! di mata Siroda, Siganjil dan Sipati memancar sinar kekuatan

bagaikan jurus-jurus pencak silatnya membela kawan-kawan partai, melihat gantungan dengan senyum sambil berpantun:

“panyalaian bukit surungan bancah laweh bergantung batu, bernyanyilah tiang gantungan rakyat mendengar merasa rindu.”

Pada bait selanjutnya, dikisahkan peristiwa pengasingan pejuang PKI ke Digul. Seperti digambarkan sebagai berikut:

Ribuan diangkut ke pengasingan

tanah tinggi, gudang-arang dan tanah merah jauh, di hutan belantara Digul hulu,

...

(18)

Musuh PKI saat ini adalah tentara-tentara Jepang. Pada era ini, semangat ke-Indonesia-an sudah mulai muncul. Hal ini seiring dengan kesadaran nasionalisme dan persatuan yang dicetuskan oleh aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1928. Seperti terlihat dalam Bait berikut:

Dalam masa-masa sulit PKI partai dibangun kembali

situasi ilegal tahun-tahun tigalimaan atau ketika disiksa tangan-tangan kompetai api dua-enam tetap membara

mendekap dada tetap setia kepada rakyat, kepada partai.

Ketika di tepi hang maut ngalihan

Indonesia Raya dan internasionale dinyanyikan dan pekik perkasa melepas gema:

“aku mati untukmu, kubela dengan jiwa”

menjelujur merah semangat pahlawan pejuang-pejuang dua-enam.

Bab keempat mengisahkan perjalanan kekalahan PKI pasca pergolakan politik pada tahun 1965. Peristiwa tersebut kemudian disusul maksuknya aktivis partai ke dalam penjara dan kamp-kamp penahanan. Seperti digambarkan dalam bait berikut:

Sebutlah penjara demi penjara

Cipinang, Bukit Duri, dan Kali Sosok, sebut juga kamp-kamp konsentrasi Plantungan, Buru, dan di mana saja ...

(19)

2) Latar Belakang Tulisan

Puisi ini tidak bisa dilepaskan dengan catatan pergerakan Partai komunis Indonesia. Terlebih jika melihat biografi pengarangnya yang merupakan salah satu aktivis PKI. Peristiwa yang melatarbelakangi penulisan puisi ini tidak lepas dari peristiwa kegagalan PKI menguasai pemerintahan Indonesia. Sehingga terjadi pengasingan orang-orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dengan aktivitas PKI.

Mengutip tulisan Asep Sambodja dalam pengantar Buku Balada Api 26, Kumpulan Puisi dan Cerpen. Bahwa peristiwa Prambanan menjadi titik tonggak perlawanan Partai Komunis dalam melakukan perjuangan kemerdekaan. Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.” (Soe Hok Gie, 2005).

Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926 (Williams, 2003).

(20)

tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003), Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan gagalnya pemberontakan di Jawa pada 1926 dan Sumatera Barat pada awal 1927. Pertama, tidak ada kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu. Tan Malaka adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak keputusan itu, karena menurutnya pemberontakan itu masih sangat prematur (Zara, 2007). Lebih lanjut, Tan Malaka yang juga menjadi Wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk Asia Tenggara memberikan alasan penolakannya yakni: a) Situasi revolusioner belum ada; b) PKI belum cukup berdisiplin; c) Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI; d) Tuntutan atau semboyan konkret belum dipikirkan; e) Imperialisme internasional bersekutu melawan komunisme (Soe Hok Gie, 2005). Penolakan Tan Malaka ini didukung oleh Jamaludin Tamin, Subakat, dan Suprodjo. Grup Tan Malaka ini dicap oleh anggota komunis lainnya sebagai kaum Trotsky (sebagaimana juga disinggung dalam baris terakhir bagian satu), yakni kaum yang suka memecah belah partai.

Kedua, banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat.

(21)

orang-orang Sarekat Hijau memang antek-antek Belanda tulen. Yang dirugikan dengan kehadirannya tidak saja pejuang-pejuang PKI, melainkan juga pejuang-pejuang SI nasionalis. Organisasi Sarekat Hijau ini kelihatannya bersifat Islam, kostumnya sangat islami, tetapi sebenarnya didirikan oleh pihak Belanda dengan maksud mengacaukan kalangan Islam sendiri (Noer, 1996).

Ketiga, sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga

ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda. Senjata-senjata yang dibeli dengan cara swadaya masyarakat juga berhasil disita Belanda. Dengan demikian, rakyat Banten berjuang dengan persenjataan yang minim dan tanpa komando. Sementara musuh yang dihadapi memiliki persenjataan modern dan sangat terlatih.

Meskipun demikian, semangat perjuangan yang dikobarkan PKI pada 1925-1926 itu merupakan turning point dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat revolusioner ini baru mendapatkan hasilnya yang konkret 20 tahun kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945.

Buku Gelora Api 26 ini para sastrawan Lekra merekam peristiwa pemberontakan 1926 itu dalam karya berupa cerpen dan puisi. Agam Wispi dan S. Anantaguna yang kita kenal sebagai penyair kuat Lekra, dalam buku ini menulis cerpen. Demikian pula dengan Sugiarti Siswadi, T. Iskandar A.S., dan Zubir A.A. yang dikenal sebagai cerpenis papan atas Lekra. Para sastrawan inipun menyumbangkan cerpen-cerpen mereka. Sementara penyair Chalik Hamid dan Nurdiana menyumbangkan puisi. Selain nama-nama yang telah disebut, sastrawan lain yang cerpennya dimuat dalam buku ini adalah A. Kembara (yang juga menulis puisi) dan A. Awiyadi. Dan penyair yang puisinya dimuat dalam buku ini adalah Alifdal, Anantya, Mahyuddin, dan M.D. Ani.

3) Hubungan antar Teks

Asep Sambodja (2010) berpendapat karya-karya puisi dalam buku Balada

Api 26,Kumpulan Puisi dan Cerpen merupakan sumbangsih sastrawan Lekra bagi

(22)

kebangsaan yang sudah ada. Kalau kita baca buku teks sejarah, maka yang kita dapatkan adalah data-data yang diperoleh dari arsip, artefak, dan berbagai peninggalan sejarah lainnya. Sementara sastrawan memberikan roh atau jiwa pada setiap peristiwa sejarah yang diangkat dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastrawan mencoba masuk, merasuk, dan memerankan salah satu tokoh atau pelaku sejarah dan mencoba menghidupkannya dengan perasaan dan pikiran imajinatif pengarangnya. Ia pun dituntut untuk menghidupkan tokoh-tokoh lain sezamannya demi membangun struktur cerita. Namun, sastrawan postmodern biasanya tidak mau takluk dengan konteks zaman seperti itu. Ia bisa mencipta secara arbitrer.

Pelukisan suasana Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati terkait dengan perjuangan benar-benar tampak dan tampil. Hubungan antar karya tampak dalam buku kumpulan puisi dan cerpen karya sastrawan Lekra ini. Adanya rapat gelap, kekhawatiran dikuntit resersir atau mata-mata atau intel, pengkhianatan yang dilakukan teman maupun bangsa sendiri, sampai keteguhan menghadapi hukuman yang disertai siksaan terdapat dalam cerpen “Sabotase” karya Zubir A.A., “Sukaesih” karya Sugiarti Siswadi, “Dari Daerah Pembuangan” karya T. Iskandar A.S., dan “Kakek” karya A. Kembara. Perspektif yang digunakan para cerpenis itu adalah perspektif para pejuang yang berada di garis depan, bukan perspektif para priyayi yang duduk di kursi kekuasaan sembari menikmati kesengsaraan bangsanya. Bukan pula dari perspekif para pengkhianat seperti orang-orang Sarekat Hijau yang dibentuk Belanda. Tidak juga dari perspektif kolonial Belanda. Dengan demikian, atmosfir perjuangan sangat terasa dalam cerpen-cerpen tersebut. Perasaan geregetan karena ingin membunuh tentara Belanda, perasaan sakit karena dikhianati oleh teman sendiri, dan perasaan tak menentu saat melakukan rapat gelap dan hidup nomaden, semuanya hadir dan mengalir dalam karya-karya tersebut.

(23)

digunakan Nurdiana dalam merefleksikan peristiwa pemberontakan PKI pada 1926 khususnya di Banten. Berikut ini kutipan puisi “November Bulan Historis” karya Nurdiana selengkapnya. di ujung senapan dan tiang gantungan, gugur Egom, Dirdja, dan Hasan, serta Si Patai dan Si Manggulung, berpencaran makam pahlawan,

(24)

Betapa banyak pejuang tumbang, pemberontakan tahun dua enam, bagaikan obor nyala cemerlang, bak mercusuar di alam kelam.

Pemberontakan tahun dua enam, Sangkakala revolusi Indonesia!

Gelora semangat sangat terasa dalam puisi di atas. Senada dengan Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati. Terdapat kaitan dan kesamaan isi di dalamnya. Tentang semangat perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh Partai Komunis pada tanggal 12 November 1926, tentang tokoh-tokoh seperti Egom, Hasan, dan Dirja, tentang pembuangan ke Digul, dan tentang semangat meneruskan perjuangan ideologi.

4) Pemahaman Pembaca

Puisi menuntut kepekaan dan kelihaian penyair dalam membaca suatu peristiwa. Yang ditangkap penyair dari sebuah peristiwa adalah sesuatu yang inti dan hakiki. Karena itu, kekuatan penyair terletak pada pilihan kata yang mewakili sebuah peristiwa. Jika cerpenis mencoba mengangkat suatu peristiwa dengan mendeskripsikan sebuah konflik yang menjadi pusat narasi, maka penyair ditantang untuk memilih diksi yang tepat, sehingga sebisa mungkin sebuah kata bisa mewakili sebuah peristiwa. Atau, dalam satu kata terdapat seribu makna.

(25)

Dalam Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati terungkap kejadian yang mengiringi sejarah negara Indonesia ini. Bahwa pada tanggal 12 November 1926 pernah terjadi pemberontakan yang cukup besar dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Keberadaan tokoh-tokoh dan organisasi kemerdekaan yang selama ini “mungkin” belum diterima masyarakat.

Sastra sejarah semacam ini sangat penting artinya bagi para sejarawan. Kalau ditanyakan apakah karya sastra bisa menjadi sumber sejarah, maka jawabannya sudah pasti: bisa. Sastrawan yang berpaham realisme sosialis pasti sangat paham apa arti karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, karena sastrawan yang tergabung dalam Lekra sangat menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari suatu gerakan penyadaran rakyat, gerakan pencerdasan rakyat (Setiawan, 2003).

Karya sastra yang diciptakan bukanlah hasil dari igauan atau lamunan semata, bukan pula hasil dari rekayasa angan-angan. Dalam proses kreatifnya, para sastrawan sangat meyakini bahwa mencipta karya sastra itu yang penting adalah isinya. Jangan sampai mencipta karya sastra hanya unggul dalam bentuk, namun isinya hanya pepesan kosong. Istilah tersebut dipakai untuk menyebut penyair-penyair salon untuk mereka yang berkarya semata-mata demi keindahan kata-kata hampa. Apa yang dirasakan rakyat, apa yang dipikirkan rakyat, bahkan apa yang digelisahkan rakyat seyogyanya tertangkap dengan baik oleh para sastrawan. Dan segala perasaan, pikiran, dan kegelisahan itu kemudian dituangkan dalam karya sastra, baik prosa maupun puisi, setelah mengalami internalisasi atau pengolahan dan pengendapan dalam diri masing-masing sastrawan. Dengan demikian, bentuk artistik karya sastra akan melekat dan muncul dengan sendirinya pada kekhasan masing-masing sastrawan dalam berekspresi. Isi yang terdapat dalam karya sastra yang diekspresikan secara jujur oleh para sastrawan itulah yang dapat menjadi pintu masuk bagi para sejarawan menguak sejarah di masa silam.

(26)

Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati telah mengungkapkan catatan sejarah yang cukup penting bagi sejarah kemerdekaan Indonesia. Tanggal 12 November 1926 yang selama ini jarang atau bahkan tidak pernah dicatat sebagai hari bersejarah bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia minimal menjadi perlu diingat sebagai salah satu hari terjadinya peristiwa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena pada tenggal tersebut juga pernah terjadi pemberontakan yang cukup besar dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Terlepas dari perbedaan dan ideologi, bahwa sejarah tersebut pernah terjadi.

(27)

Daftar Pustaka

Ali, Lukman, dkk., 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.

Yogyakarta: Jalasutra.

Hamid, Chalik. 2008. Mawar Merah. Bandung: Ultimus.

Hamid, Chalik. 2010. Gelora Api 26: Kumpulan Cerpen dan Puisi. Bandung: Ultimus.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Nurdiana. 2008. Jelita Senandung Hidup. Bandung: Ultimus.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi.

Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.

Rahardjo, Mudjia. 2007. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang: Universitas Islam Negeri Malang Press.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. Ricoeur, P. 1981. Hermeneutics and The Human Sciences, Essays on language,

action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.

---. 2002. The Interpretation Theory, Filsafat Wacana Membelah Makna

dalam Anatomi Bahasa (terjemahan Musnur Hery). Yogyakarta:

IRCiSOD

Saidi, Acep Iwan. 2008. Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks.

Bandung: ITB Bandung.

Saussure, Ferdinand de. 1974. Course in Linguistics General. London: Fontana/Colins

Setiawan, Hersri. 2003. Aku Eks Tapol. Yogyakarta: Galang Press.

(28)

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam

Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan

Hendar Putranto (ed.). Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor). Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten. Yogyakarta: Syarikat.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merakesumba.

Referensi

Dokumen terkait

Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur atau Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon

Kegiatan PPL dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Mahasiswa praktikan mengadakan observasi langsung dalam proses KBM yang dilakukan oleh guru pamong/guru

Pinjaman modal kerja karyawan (MK karyawan) adalah pinjaman dana segar yang diberikan kepada karyawan Koperasi Simpan Pinjam Sarana Aneka Jasa dengan angsuran

Manfaat dari penelitian ini antara lain dengan dibuatnya aplikasi sistem parkir ini maka diharapkan dapat membantu masalah parkir yang ada, aplikasi sistem parkir ini dapat

Pada pemeriksaan Hb TM I dan TM II ibu mengalami keadaan Hb yang tidak normal, menurut Rukiyah (2010) Hb >11 gr% adalah Hb normal pada ibu hamil, namun

Hasil ulasan dan tes yang dimuat di PC Media tidak terkait dengan iklan atau hubungan bisnis perusahaan atau produk tersebut dengan PC Media. Kecuali disebutkan, tes dilakukan PC

Berdasarkan kegiatan pretes dan postes, terdapat siswa kelas eksperimen yang tidak mengikuti kegiatan tersebut, sehingga hanya terdapat 30 siswa yang memenuhi syarat

Mulai hari itu Si Kata Malem tinggal bersama anak dan istrinya. di